Anda di halaman 1dari 18

Perubahan Sosial di Vietnam (Studi Kasus Pengurangan Gizi Buruk)

(Social Change in Vietnam (Case Study Reducing of Malnutrition))

Rahmat Wibowo
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIP Universitas Jember
Jalan Jawa 7 No 47, Jember 68121
E-mail: rahmatwibowo.fisip@students.unej.ac.id

Abstrak
Gizi buruk merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh masyarakat dunia termasuk
di Vietnam. Bahkan Vietnam mengalami kasus kekurangan gizi buruk termasuk kelaparan yang
cukup parah di dunia pada tahun 1980-1990-an. Berbagai upaya pemerintah dalam menangani
kasus tersebut telah diupayakan bahkan bantuan internasional telah mengalir. Akan tetapi pasca
berakhirnya bantuan tersebut, masyarakat Vietnam khususnya Vietnam bagian utara masih
mengalami gizi buruk. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk menangani gizi buruk yaitu
pendekatan Positive Deviance. Oleh sebab itu rumusan masalah dalam penelitian ini tentang
bagaimana pendekatanPositive Deviance mampu menciptakan perubahan sosial dalam
mengubah pola dan perilaku masyarakat Vietnam dalam menangani kekurangan gizi. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaiaman proses pendekatan Positive Deviance dalam
menciptakan perubahan sosial di masyarakat Vietnam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Positive Deviancemampu menciptakan perubahan sosial di dalam masyarakat berupa perubahan
sikap, perilaku dan tindakan yang lebih baik di mana masyarakat Vietnam lebih sadar akan
kebutuhan asupan gizi bagi anak-anak dan terjadi peningkatan gizi yang lebih baik di masyarakat
Vietnam sehingga mengurangi angka gizi buruk.

Kata kunci : pendekatan Positive Deviance, perubahan sosial, gizi buruk

Abstract
Malnutrition is one of the problems faced by the people of the world, including in
Vietnam. Even Vietnam suffered severely malnourished cases including severe hunger in the
world in 1980-1990's. Government efforts in dealing with such cases have been pursued even
international aid has flowed. However, after the expiry of such assistance, the people of
Vietnam, especially the northern part of Vietnam is still suffering from severe malnutrition. One
approach used to address malnutrition is Positive Deviance approach. Therefore, the
formulation of the problem in the study of how the Positive Deviance approach is able to create
social change in the changing patterns and behavior of the Vietnamese community in addressing
malnutrition. The purpose of this study was to determine How can the process of Positive
Deviance approach to create social change in communities Vietnam. The results showed that the
Positive Deviance able to create social change in society in the form of changes in attitudes,
behaviors and actions better where the Vietnamese community more aware of the needs of
nutrition for children and an increaseinbetter nutrition in the Vietnamese community, thereby
reducing the number malnutrition.

Keywords: Positive Deviance approach, social change, malnutrition

Pendahuluan
Kekurangangizimenyebabkanlebihdarisetengahjumlahkematiananak
Namun

kekurangan

gizi

ini

wanitabahakn

keluarga,

seluruhdunia.

bekerjasecaraperlahan,terus-

menerus,danseringkalitidakterdiagnosa.Kekurangangizimerupakan
diammembahayakananak,

di

situasidaruratyang

danpadaakhirnyaakan

diam-

mengancam

kelangsunganhidupseluruhmasyarakat.

Krisiskekurangan gizi ini sifatnyaterus-menerusdan

memilikipengaruh

besarterhadap

yang

masa

depanseluruhdesa.

Kekurangangizimengarahpadakematiandanketidakmampuananakdalamskalaluassertamemilikiim

plikasiyang lebihbesar.Menurut WHO, Kekurangangizimenggangguperkembangan mental


danfisik, bahkan banyak anak, dalam kondisilaparyang kronissudahmenjadijalanhidup mereka.
Tidak

hanya

itu

anak-anak

yang beratbadannyakurangsedikitsaja,

sudahmeningkatkan

risikopenderitaan. Vietnam merupakan salah satu negara yang mengalami kekurangan gizi yang
cukup parah pada tahun 1990an. Tidak hanya itu Vietnam bahkan mengalami bencana kelaparan
pada masa itu.
Kekurangan gizi dan gizi buruk merupakan salah satu masalah dalam kehidupan sosial
yang memiliki kompleksitas penyebab masalah tersebut. Gizi buruk dipengaruhi oleh bebagai
faktor yang saling berhubungan. Salah satu pandangan yang disampaikan oleh Nency dan Arifin
(2005:2-3) menyatakan bahwa kekurangan gizi disebabkan asupan makanan yang kurang dan
karena anak sering sakit atau terkena infeksi. Asupan makanan yang kurang inilah yang
disebabkan oleh berbagai faktor seperti tidak tersedianya makanan yang memadai , tidak
mendapatkan makanan bergizi seimbang yang cukup dan pola makan yang salah. Selain itu
kondisi infeksi yang kronis bisa menyebabkan kekurangan gizi akibatnya bisa menyerang sistem
kekbalan tubuh. Tidak hanya itu faktor yang menjadi penyebab masalah gizi buruk juga
bisadikarenakan aspek klinis atau medis, lingkungan fisik seperti faktor cuaca, musim, keadaan
rumah, radiasi, serta faktor psikososial seperti cinta dan kasih sayang, kualitas interaksi anak
dengan orang tua. Faktor sosial budaya seperti adat istiadat tentang pengetahuan dan pemaknaan
gizi seperti kepribadian orang tua, nilai, norma, ketabuan juga turut berperan dalam munculnya
kekurangan gizi.
Foster dan Anderson (1986) menjelaskan bahwa terdapat keterkaitan antara masalah
makanan dengan sistem sosial budaya masyarakat. Foster dan Anderson menyatakan bahwa
tidak ada satu kelompok pun, bahkan dalam keadaaan kelaparan yang akut, akan
mempergunakan semua zat gizi yang ada sebagai makanan, karena pantangan agama, tahayul,
kepercayaan tentang kesehatan dan suatu peristiwa yang kebetulan dalam sejarah.
Pengaruhaspekbudayadankebiasaanmenjadi salah faktor yang mempengaruhi status gizi bagi

masyarakat.

Informasi

dan

pengetahuantentanggizibaruberadapadatingkatmengetahuiberbagaijenisbahanmakanan
mengandunggizi,

yang

tetapibelumsampaipadatingkatkesadaranakan

pentingnyamengkonsumsimakanan yang mengandungzatgizi.Pengetahuan orang tentanggizibisa


berbeda-beda,

meskipun

hidupdalammasyarakat

berbedainidapatterjadikarenaperbedaan

yang

sama.

Pengetahuan

proses

gizi

sosialisasi

dialamiseseorangbaikdalamkeluargamaupunlingkunganlainnyasepertisekolah,

yang
yang

temanbermain,

sumberbacaan dan lain-lain. Sedangkan menurut Zainal Arifin (1999) disebutkan bahwa
pengetahuan

yang

dimiliki

oleh

setiap

perbedaanpsikologis,

individu

akan

berbeda

disebabkan

polaasuh,

oleh

interaksi,

dantingkatkemampuandalammenyerappengetahuansetiapindividunya.
SupardiSuparlan

(1980:238)

melalui

pendekatankebudayaansebagaikognitifataupengetahuankebudayaan
mendefinisikankebudayaan

kemudian

sebagaikeseluruhanpengetahuanmanusiasebagaimakhluk

sosial

yangdiperguanakanuntukmemahamidanmenginterpretasikanlingkungandanpengalamannya,serta
menjadikerangkalandasanbagimewujudkandanterwujudnyakelakuan.
Sistempengetahuansebagaisebuahkebudayaanadalahmilikbersama,

yang

dikomunikasikanpadasetiapindividulewat proses belajar, baiklewatpengalaman, interaksi social


maupuninteraksisimbolis. Sehingga cakupan budaya yang luas demikian tersebut tidak akan
mampu diserap secara menyeluruh oleh individu-individu pemilik. Oleh sebab itu pengetahuan
budaya yang bervariasi menjadikan setiap individu memiliki kebebasan untuk menaklukan,
memanipulasi dan mengubah lingkungan yang dihadapinya. Hal ini berarti setiap individu akan
memerlakukan lingkungan sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya, akan tetapi tetap bahwa
individu

akan

diakui

sebagai

bagian

dari

suatu

kelompok

apabila

individu

tersebutbertindaksesuaidenganaturan-aturan yang dianggappantassecarabudaya. Oleh sebab itu


keberadaan Positive Deviant bisa diidentifikasi dalam kehidupan sosial masyarakat.

Kerangka Pemikiran
Pendekatan Positive Deviance (Penyimpangan Positif)
Positive Deviancedidasarkan pada asumsi bahwa beberapa solusi untuk masalah-masalah
masyarakat sebenarnya sudah ada di dalam masyarakat dan hanya perlu diketemukan saja. Oleh
karena, perubahan perilaku berlangsung secara perlahan, sehingga tidak jarang solusi-solusi
yang diketemukan dalam suatu masyarakat bisa lebih bertahan dibandingkan dengan solusi dari
luar yang dibawa masuk ke dalam masyarakat tersebut.
PositiveDeviance adalah sebuah pendekatan yang digunakan untuk mencari jalan keluar
terhadappermasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh komunitas. Pendekatan ini berasumsi
bahwa dalam setiap masyarakat atau komunitas terdapat individu-individu tertentu (deviant
positif) yangmempunyai kebiasaan-kebiasaan dan perilaku-perilaku spesial atau tidak umum
yang memungkinkanmereka dapat menemukan cara-cara yang lebih baik untuk mengatasi
masalah-masalah dibandingkantetangga-tetangga mereka yang memiliki sumber yang sama dan
menghadapi

risiko

yang

serupa(Moniqueand

J.

Sternin,

2003:2).Pendekatanini

berbasispadakekuatanataumodalberdasarkankeyakinanbahwasetiapkomunitasadaindividuindividutertentu (Positive Deviant) yang mempunyaikebiasaan-kebiasaandanperilaku-perilaku


special, atautidakumum

yang memungkinkanmerekadapat

yang memilikisumber

yang

samadanmenghadapiresikoserupa. (Project concern international, 2003).

Postmoderinsm
Michael Foucault pada tahun 1980-an merupakan pemikir yang sulit menerima paham
otodoksi komunisme dan kemudian memutuskan hubungan dan sejak itu timbul keraguan
terhadap Marxisme. Analisisnya tentang discourse, power dan knowledge telah memberikan
sumbangan yang besar terhadap kritik pembangunan yang merupakan suatu diskursus yang

menyiratkan dominasi pendisiplinan dan normalisasi Dunia Pertama terhadap Dunia Ketiga.
Foucault menyatakan bahwa diskursus pembangunan adalah alat untuk mendominasi. Diskursus
pembangunan menjadi strategi dominasi, di mana mereka menggunakan alasan untuk
memecahkan

masalah

keterbelakangan

yang

dirancang

setelah

Perang

Dunia

II.

Keterbelakangan rakyat dianggap sebagai akibat dari kolonialisme yang panjang. Setelah
diskursus pembangunan digemakan, tidak saja mereka melanggengkan dominasi dan eksploitasi
ekonomi pada Dunia Ketiga tetapi diskursus pembangunan itu sendiri justru enjadi media
penghancuran gagasan alternatif rakyat Dunia Ketiga terhadapa kapitalisme.1
Pemikiran Michael Foucault menjelaskan tentang kontrol penciptaan diskursus dan
bekerjanya kekuasaan (power) pada pengetahuan, sehingga tidak jarang pemikiran Foucault
digunakan untuk melakukan pembongkaran terhadap teori dan praktek pembangunan. Michael
Foucault menyinggung tentang strukturalisme yang merupakansuatu pendekatan yang melihat
berbagai gejala budaya dan alamiah sebagai sebuah struktur yang terdiri atas unsur-unsur yang
saling berkaitan dalam satu kesatuan (Piaget). Pandangan strukturalisme menyatakan bahwa
praktik sosial yang nampak di masyarakat saat ini sebenarnya selalu didasari oleh stuktur dalam
atau fundamental yang biasanya tidak terlihat beroperasi di bawah kesadaran manusia. Oleh
sebab itu strukturalisme ditentukan oleh struktur tersebut dalam praktik sosialnya. Menurut
Foucault dalam bukunya yang berjudul Les mots et les choses (1966) danLarcheologie du savoir
(1969)menyatakan bahwa subjek ditentukan oleh struktur dalam yang ada di balik kesadaran
manusia bukan subjek tidak memaknai dunia melalui kebebasannya yang penuh dengan
kecemasan seperti pemikiran kaum eksistensialis.Dalam kedua karyanya tersebut Foucault
memperkenalkan istilah episteme yang selanjtunya dipahami sebagai sebuah struktur
pengetahuan atau gagasan. Istilah epistemesecara sederhana dapat diartikan sebagai keseluruhan
ruang bermakna,

stratigrafi

yang mendasari

kehidupan

intelektual,

serta

kumpulan

prapengandaian pemikiran suatu zaman. Dalam konteks sebagai sebuah struktur,episteme dapat
dikenali dari salah satu sifat struktur yang disepakati oleh para pemikir strukturalis, yaitu

totalitas. Dalam bukunya Larcheologie du savoir (1969), Foucault menjelaskan bahwa episteme
sebagai sebuah totalitas yang menyatukan, dalam arti mengendalikan cara manusia memandang
dan memahami realitas tanpa disadari. Menurut Foucault episteme tidak bisa dilihat atau bahkan
disadari ketika manusia ada di dalam cakupannya, hal ini disebabkan oleh pandangan bahwa
manusia telah berada dalam episteme yang berbeda ketika sadar akan episteme yang
mempengaruhi kita. Episteme tidak bisa dilacak, tetapi dapat ditemukan dengan cara
mengungkap hal yang tabu, yang gila, dan yang tidak benar menurut pandangan suatu zaman.
Sehingga secara singkat disebutkan bahwa ketika kita menemukan yang dianggap tabu maka
sebelumnya kita telah mengetahui yang tidak tabu (pantas). Saat kita mengetahui yang gila
maka kita sebelumnya telah tahu lebih dulu mana yang normal. Demikian halnya dengan
ketika kita nulai mengenal yang tidak benar maka berarti kita pernah ada di dalam yang
benar.
Foucault secara mendalam mempelajari praktik bagaimana manusia memerintah dirinya
melalui modes of obyectification yang mengubah makhluk menjadi subjek dan proses produksi
dari suatu disiplinary society demi kesejahteraan (welfare). Teknik individualizing (seperti
sekolah, pabrik, dan rumah sakit) membawa produksi docile bodies (yang dapat dikelola) dan
praktik-praktik yang membawa normalized subjects dan akhirnya praktik yang bersifat self
subjection (seperti psikiater, psikoanalisis dan seksualitas) membawa pada prses objectifying
(proses yang menganggap diri mereka sendiri sebagai objek). Sehinga Foucault menjelaskan
tentang bagaimana proses disiplin, normalisasi dan penggunaan kekusaan yang telah diterapkan
di berbagai pengalaman (kegilaan, sakit, pengetahuan tentang manusia, kejahatan dan
seksualitas) di mana praktik discursive itu diterapkan. Dalam setiap masyarakat produksi
diskursus dikontrol, diorganisasi dan disebarkan menurut beberapa prosedur sehingga diskursus
bukan hanya sekadar wacana tetapi gagasan yang memiliki sistem kekuasan dan dominasi.
Foucaut juga menjelaskan bahwa selain eksploitasi dan dominasi yang diakibatkan oleh
suatu diskursus ada satu bentuk dominasi yang diakibatkan oleh suatu diskursus yaitu subjection

(bentuk penyerahan seseorang kepada orang lain sebagai individu, seperti pasien pada psikiater).
Lebih lanjut lagi Foucault menjelaskan bagaimana terdapat jenis kekuasaan/pengetahuan yang
sedang diterapkan untuk meyakinkan agar rakyat Dunia Ketiga menerima model perilaku
ekonomi dan budaya tertentu (kapitalisme). Sehingga negara maju berusaha melanggengkan
dominasi mereka pada negara Dunia Ketiga melalui beberapa strategi seperti discourse of
underdevelopment, yang berkaitan dengan segenap aparat pembangunan (dari organisasi
internasional, Ban Dunia, IMF, dan badan pembangunan lokal) dan berbagai teori pembangunan
yang diproduksi oleh organisasi internasional dan para ahli teori Barat, Strategi selanjutnya
untuk penetrasi dan kontrol dunia ketiga melalui teknologi komunikasi dan informasi, khusunya
media massa, TV dan film.

Metode Penelitian
Artikel ilmiah ini menggunakan metode analisis deskriptif-kualitatif dengan melalui studi
kepustakaan (library research). Oleh sebab itu data yang digunakan adalah data sekunder yang
diperoleh dari informasi-informasi atau kajian buku, surat kabar elektronik, dan publikasi dari
instansi-instansi terkait yang relevan dengan peristiwa dalam artikel ilmiah ini. Selain itu, datadata yang diperoleh berasal dari media internet sebagai penunjang informasi untuk keperluan
analisis.

Hasil dan Pembahasan


Pandangan

yang

menyatakan

bahwa

penyebabmasalahgiziburukadalahmasalahkemiskinandanaspekbudaya, faktanya tidak selamanya


mengarahke

pandangan

menunjukkanbahwamasalahgizi

tesebut

karena
buruk

Beberapakeluargamiskinmemilikikebiasaan-kebiasaan

beberapakeluargamiskinjustru
tersebut

telah

dapatteratasi.
yang

berbedaataumenyimpangdarijalurseharusnyadanmengambiljalurbarutetapimengutungkanyang

kemudian

berhasil

menghasilkan

keturunan

yang

sehatdanmemilikigizibaikmeskipunmerekamiskindanhidupdalamkomunitas

lebih
kelompok

masyarakat yang sama.


PendekatanPositive Deviance ini melihat bagaimana individu tertentu dalam komunitas
yang sama danmemiliki sumber yang sama, misalnya dicontohkan bahwa individu-individu
dalam suatu komunitas, sama-sama menghadapi kondisi kemiskinan dan menghadapi risiko
serupa berupa kekurangan gizi. Akan tetapi dalam komunitas tersebut terdapat individu/keluarga
yang miskintetapi memiliki anak yang tidak kekurangan gizi, yang kemudian disebut sebagai
penyimpangan

positif.

berbasispadakekuatanatau

Penyimpanganpositifmerupakanpendekatan
modal

yang

berdasarkankeyakinanbahwasetiapkomunitasadaindividu-

individutertentu (Positive Deviant) yang mempunyaikebiasaan-kebiasaandanperilaku-perilaku


special, atautidakumum

yang memungkinkanmerekadapat

samadanmenghadapiresikoserupa.

(Project

concern

yang memilikisumber

international,

2003).

yang

Kebiasaan-

kebiasaanmenemukancara-cara

yang

lebihbaikuntukmencegahkekurangangizidibandingkantetangga-tetanggamerekadanperilakuperilaku yang bermanfaatitudiantaranyakebiasaan-kebiasaandalam pemberianmakan, kebiasaankebiasaanpengasuhan,

kebiasaan-kebiasaankebersihan,

dankebiasaan-kebiasaanhidupsehat

lainnya.
Pada periode 1990an kekurangan gizi di Vietnam tahun 1990-1999 bahkan menjadi salah
satu yang tertinggi di Asia Tenggara. Untuk tingkat global rata-rata anak di bawah umur lima
tahun dengan kekurangan berat badan terdapat 28 persen dari populasi tersebut,. Untuk kawasan
Asia Selatan terdapat sekitar 49 persen mengalami kekurangan berat badan dan 19 persen di Asia
Timur dan Pasifik. Sementar itu, di Vietnam terdapat sekitar 46 persen yang mengalami gizi
buruk tersebut dengan angka ini menunjukkan bahwa negara Vietnam tertinggal jauh dari
negara-negara berkembang lainnya, termasuk negara-negara tetangganya (Thang dan Popkin
2003).

Konsep Positive Deviance yang telah diterapkan oleh organisasi Save The Children
dalam menanggulangi masalah atau gizi buruk di Vietnam. Tokoh yang penting dalam
pengembagan

pendekatan

ini

mendemonstrasikanmanfaatnya

yaituMonique
yang

dan

Jerry

Sterninyang

luarbiasadenganmenyelenggarakan

theChildrenuntukPendidikandanRehabilitasiGizi

juga

programSave

di Vietnam. Save The Children mulai

mengaplikasikan pendekatan ini pada empat kelompok masyarakat yang sangat miskin di
Vietnam bagian utara. Secara keseluruhan terdapat sekitar 70% anak di bawah umur 3 tahun
yang mengalami kekurangan gizi di desa-desa tersebut, namun terdapat 30% dari populasi
tersebut yang memiliki anak-anak dengan gizi yang baik. Dari30 % anak-anak yang memiliki
gizi baik tersebut kemudian diidentifikasi berasal dari keluarga-keluarga yang sangat miskin.
Keluarga-keluarga miskin dengan anak-anak yang memiliki gizi baik inilah yang disebut dengan
penyimpang positif (Positive Deviant).
Dari keseluruhan populasi di desa-desa tersebut terdapat keluarga-keluarga yang samasama miskin akan tetapi memilikianakdengangizi yangbaik. Penyebab mereka memiliki anakanak dengan gizi baik dibandingkan dengan keluarga-keluarga miskin lainnya ternyata
ditemukanbahwapadasetiapkeluargamiskindengananakbergizibaik,

sang

ibuataupengasuhmengumpulkandaun-daunubidanmengumpulkanudangdankepitingkecilyang
diperolehnya dari sawah sebagaitambahanmakananuntuk anak mereka. Alam telah memberikan
karunia tersebut secara gratis pada manusia, akan tetapi berdasarkan budaya dan kearifan lokal di
desa-desa

tersebut,

menurutadat-istiadat

setempat

menyatakanbahwamakanantersebuttidaksesuai, atauberbahayabagianak-anak mereka. Tidak


hanya itu ditemukan juga juga bahwa keluarga-keluarga dengan anak yang bergizi baik ini
ternyata memiliki pola pemberianmakandancaraperawatansepertipemberian ASI (Air SusuIbu)
yang lebih baik, pemberianmakansecaraaktif, cucitangan secara rutin sebelum makan,
sertapenyediaanmakandanminumyangmemadaiketikaanakdalam kondisi sakit.

Salah satu masalah yang dihadapi oleh masyarakat miskin di Vietnam yang memiliki
anak dengan gizi buruk yaitu pemberian ASI eklusif yang kurang optimal. Dalam kelompok
masyarakat miskin tersebut semua ibu tahu akan pemberian ASI bagi proses pertumbuhan dan
perkembangan bayi mereka, tetapi belum optimal. Meskipun sebagian besar ibu-ibu sadar akan
perilaku yang benar, seperti memulai menyusui secara dini dan secara eksklusif, dan tentang
kecukupan asupan susu bagi bayi. Namun, sebagian besar dari para ibu harus segera kembali
bekerja ke sawah tidak lama pasca melewati proses melahirkan, dengan demikian ibu-ibu yang
harus bekerja di luar rumah memiliki kuantitas kemungkinan lebih kecil untuk menyusui secara
eksklusif daripada ibu yang tidak bekerja.
Akan tetapi terdapat juga ibu-ibu yang bekerja di luar rumah tetapi tetap memberikan
ASI eksklusif, mereka menyuempatkan diri untuk berhenti bekerja dan pulang ke rumah untuk
menyusui, inilah salah satu Positive Deviant. Sehinggaibu-ibu yang sedang hamil tua dan ibu-ibu
yang baru melahirkan ditekankan untuk memberikan ASI eklusif secara optimal.
Oleh

sebab

itu

kemudian

dirancang

dan

diadakan

sebuah

program

pendidikandanpengembangan rehabilitasigizi. Ibuataupengasuhdarianak-anak keluarga miskin


yang

mengalamikekurangangizidiundanguntukmenghadirikegiatanselamaduaminggu,

kemudianmerekadiajakberlatih

bersama

dengancara-carabarudalam

pemberianmakandanperawatananakmereka. Di dalam programtersebut disediakan makanan


penduduk setempat lokalsepertinasi, tahu, ikan, dandagingdalamrangka untuk merehabilitasi atau
memulihkantingkat gizi anak. Namun tujuan jangka panjangnya berupa mempertahankan
keluarga-keluarga tersebuut agar tetap memberikan gizi baik sama halnya ketika mengikuti
agenda rehabilitasi merupakan tantangan yang utama.

Oleh sebab itu Monique dan Jerry

Sterninbersama Save the Children memintakepada seluruh ibu-ibupengasuhyang mengikuti


kegiatan rehabilitasi agarmembawabeberapaudang, kepitingdansayuran (bahan makananPositive
Deviant) sebagaisyaratuntukbisamengikutisesirehabilitasi gizi tersebut. Harapan dari permintaan
kepada para ibu atau pengasuh untuk membawa danmengumpulkanudang, kepiting,

sayurdanmemberikannyakepadaanaknyamasing-masingsebagaimakanansehari-hari
haridalam

program

tersebut

tidak

lepas

agar

selama 14

merekadapatmelanjutkanpraktek-

praktektersebutsetelahanak-anakmerekamengikuti rehabilitasi.
Keberhasilan pendekatan Positive Devianceyang dilakukan oleh Jerry Sternindalam
mnenagani gizi buruk di kelompok masyarakat Vietnam nampak dari penurunan angka penderita
gizi buruk di masyarakat tersebut dari sekitar 700 anak yang mengikuti proses rehabilitasi gizi
tersebut, yang semuanyamengalamikekurangangizi pada tingkatduadantiga, Pasca berakhirnya
program rehabilitasi tersebut nampak bahwa dua tahun kemudian, anak-anak yang mengikuti
rehabilitasi dipantaukembali danternyatamenunjukkanbahwa terjadi peningkatan yang cukup
signifikan di mana hanyaada sekitar 3% yang tetapmengalamikekurangangizitingkatduadantiga.
Selain itu juga menunjukkan bahwa sekitar 95% dariseluruhpeserta program rehabilitasi
berhasilmengalamipemulihan dan menjadi ke dalam keadaan normal, sedangkan sebanyak 38%
status gizinya lebih membaik dengan statusnya berhasil mencapai gizi buruk ke leveltingkatsatu.
Berdasarkan data dari Save the Children di Vietnam dengan adanya program tersebut
telahmenunjukkandampak yang cukup signifikan dalammencegahkekurangangizipada masa
berikutnya.

Data

acuan

di

mana

terdapat

3%

anak

di

bawahumur

tahuntergolongmengalamistatusgiziburuk, sebanyak 12% tergolongke dalam kuranggizisedang,


dan 26% termasukkuranggiziringan. Padatahun1995 angka menunjukkan bahwa hanya sekitar
5%

anak

yang

mengalamikuranggizisedangdan

2%

lainnyamengalamikuranggiziringan.

Sehingga program tersebutberhasil mengurangikekurangangizisedangdanburukhingga 80%.


Sehingga dengan adanya data-data di atas juga menunjukkan bahwa ibu atau
pengasuhmampumempertahankanpengetahuan mereka tentang status gizi yang lebih baik yang
didapatkan dari keikutsertaan mereka dalam program rhabilitasi dengan pendekatan Positive
Deviance. Keturunan-keturunan mereka yang mengikuti program tersebut selanjutnya juga lahir
dan hidup dengan kondisi gizi yang baik dalam masyarakat tersebut. Dalam hal ini para ibu atau

pengasuh berhasil memberikan layanan pemberian gizi yang lebih baik kepada keturunanketurunan mereka
Tidak hanya itu untuk menguatkan keberhasilan penerapan pendekatan Positive Deviance
penulis juga menyajikan tabel tingkat prevalensi gizi buruk di Vietnam sejak tahun 1990
sebelum dilaksanakannya program rehabilitasi anak-anak yang mengalami kekurangan gizi dan
dan data pada tahun-tahun pasca penerapan program tersebut yaitu tahun 1994, 2000, 2002 dan
tahun 2004.
Tabel 1 Tingkat Prevalensi Gizi Buruk di Vietnam tahun 1990 -2004
Year
Malnutrition

1990

1994

2000

2002

2004

Underweight*

45.0

44.9

33.8

30.1

26.6

Moderate

29.8

33.9

27.8

25.3

22.8

Severe

13.0

9.2

5.4

4.5

3.6

2.2

1.8

0.6

0.3

0.2

56.5

46.9

36.5

33.0

30.7

Moderate

24.4

29.5

23.8

21.5

19.9

Severe

32.1

17.4

12.7

11.5

10.8

11.6

8.6

7.9

7.7

Verysevere
Stunting**

Wasting***
9.4
Source: National Institue of Nutrition Vietnam

*Underweight dapat dirdartikan sebagai berat badan rendah akibat gizi kurang
**Pengertian Pendek dan Sangat Pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut
Umur atau Tinggi Badan menurut Umur yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely. Stunting
dapat diketahui bila seorang balita sudah ditimbang berat badannya dan diukur panjang atau tinggi badannya, lalu
dibandingkan dengan standar, dan hasilnya berada dibawah normal. Jadi secara fisik balita akan lebih pendek
dibandingkan balita seumurnya.
***wasting yaitu berat badan yang rendah dibandingkan tinggi/panjangnya dikaitkan dengan jangka tahan hidup
yang lebih pendek.
Source: National Institue of Nutrition Vietnam

Dari tabel 1 dapat ditunjukkan bahwa terdapat penurunan yang cukup signifikan dalam
tingkat prevalensi gizi buruk yang diderita oleh masyarakat Vietnam. Prevalensi (seberapa sering
suatu penyakit atau kondisi terjadi pada sekelompok orang, biasanya dihitung dengan membagi
jumlah orang yang memiliki penyakit atau kondisi dengan jumlah total orang dalam kelompok)
gizi buruk terus menurun dari tahun 1994 (acuan tahun 1990 sebelum adanya program Save the
Children)

dan

seterusnya

bagi

kekurangan

berat

badan.

Rata-rata,

prevalensi

underweightmenurun sebesar 1,1% per tahun pada dekade 90-an, dan 1,8% per tahun pada
periode dari tahun 2000 sampai 2004. Prevalensi stunting menurun rata-rata sebesar 2% per
tahun di periode 1990-2000 sebesar 1,5% per tahun pada periode dari tahun 2000 sampai
2004.1Sedangkan untuk kategori wasting, sempat mengalami peningkatan di tahun 1994 akan
tetapi secara keseluruhan turun drastis di tahun-tahun berikutnya hal ini menunjukkan bahwa
tetap ada peningkatan yang drastis dalam upaya pengentasan gizi buruk di Vietnam.
Sehingga dengan keberhasilan program yang diterapkan oleh Save the Children ini
menunjukkan bahwa terjadi perubahan sosial di mana perilaku masayarakat miskin di Vietnam
yang pada awalnya mayoritas menjunjung teguh terhadap adat istiadat setempat. Mereka
awalnya sangat enggan untuk memakan udang, kepiting dan sayuran dari ubi-ubian karena
berdasarkan adat istiadat setempat bahwa bahan makanan tersebut tidak cocok untuk di makan
bahkan dilarang. Padahal bahan makanan tersebut faktanya memiliki kandungan yang cukup
baik bagi kebutuhan gizi anak yang dalam proses pertumbuhan. Dengan adanya program tersebut
telah mengubah sikap, perilaku dan tindakan masyarakat sekitar tentang hidup lebih baik lagi,
tidak hanya soal pengetahuan tentang bahan makanan tetapi juga pola kebiasaa bagaimana
memberikan asupan gizi yang baik kepada keturunan dan keluarga mereka. Para ibu atau
pengasuh telah memiliki pengetahuan yang lebih luas dan ini akan berdampak pada keluargakeluarga mereka serta masyarakat pada umumnya, karena kecenderungan seorang perempuan
terutama ibu merupakan agen yang berperan dalam sosialisasi dalam keluarga dengan peran
penting yang diemban seperti mengasuh dan mendidik manusia.

Keberadaan organisasi Save the Chldren di Vietnam menurut penulis menunjukkan


bahwa adanya kekuasaan atau pengetahuan yang sedang diterapkan untuk meyakinkan agar

Nguyen Cong Khan. et al. 2007. Reduction in Childhood Malnutrition in Vietnam from 1990 to 2004. Asia Pacific

Journal Nutrition. Volume 16, No.2.

masyarakat Dunia Ketiga dalam hal ini Vietnam untuk menerima model berupa budaya tertentu
atau bahkan ekonomi. Save the Children sendiri sebelumnya juga telah berhasil memasuki
beberapa negara dunia ketiga yang mengalami masalah terhadap kesehatan masyarakat terutama
kekurangan gizi yang dialami oleh anak-anak. Ini menunjukkan bahwa terdapat upaya perluasan
power ke berbagai negara dunia. Organisasi internasional seperti Save the Children dibuat
dengan tujuan alih-alih pembangunan dari keterbelakangan yang diperkuat dengan pengetahuan
dan diperkaya dengan desain sistem manajemen yang canggih yang meyakinkan. Sehingga
dalam kasus Vietnam ini, memang ada niat yang baik dari Save the Children berupa niat
kemanusiaan dan wawasan positif akan tetapi sebenarnya itu adalah bentuk kekuasaan dan
kontrol baru yang lebih halus.
Nampak juga bahwa diskursus pembangunan di Vietnam telah dibentuk melalui
penciptaan

abnormalities,

seperti

underdevelopment

berupa

kekurangan

gizi

yang

terutamamelanda kawasan Vietnam bagian utara. Dengan underdevelopment berupa kekurangan


gizi inilah yang dianggap sebagai suatu masalah yang harus dipecahkan. Oleh sebab itu
organisasi Save the Children yang berasal dari Amerika Serikat berusaha memberikan pengaruh
dan powernya dengan menawarkan semacam penyembuhan untuk menyelesaikan permasalahn
kekurangan gizi di Vietnam tersebut.
Tidak

hanya

Amerika

Serikat

sebagai

negara

yang

menawarkan

semacam

penyembuhan melalui Save the Children ini melakukan penetrasi dan kontrol beberapa negara
termasuk Vietnam melalui teknologi dan informasi terutama media massa. Bahkan sudah

terdapat sekitar 120 negara yang telah dimasuki oleh organisasi Save the Children produk
Amerika Serikat yang telah menjangkau sebanyak 143 juta anak di seluruh dunia.2

http://www.savethechildren.org/site/c.8rKLIXMGIpI4E/b.6115947/k.B143/Official_USA_Site.htm

Kesimpulan
Masalah kekurangan gizi meruapakan masalah yang hampir dialami oleh semua negara di
dunia terutama negara-negara berkemang. Bahkan kekurangan gizi atau gizi buruk menjadi
penyumbang terbesar bagi kematian anak di seluruh dunia karena lebih dari setengah kematian
anak disebabkan oleha kekurangan gizi. Salah satu negara yang mengalami gizi buruk yang
cukup parah adalaha Vietnam. Pada tahun 1990-an, Vietnam dihadapkan dengan kondisi
kelaparan yang hebat bahkan bantuan internasional tidak mampu menyelesaikan persoalan
tersebut. Faktor penyebab kekurangan gizi memang beragam dan memiliki keterkaitan satu sama
lain. Pandangan yang menyebutkan bahwa kemiskinan dan budaya merupakan salah satu
penyebab kekurangan gizi justru dalam kondisi tertentu tidak relevan untuk diterapakan. Hal ini
dapat dilihat dari masyarakat di Vietnam bagian utara yang mengalami kekurangna gizi, dari
masyarakat yang mengalami kekurangan gizi ternyata ada beberapa keluarga yang memiliki anak
dengan gizi baik, padahal sama-sama mengalami suatu kondisi kemiskinan dengan sumber daya
yang sama. Hal inilah yang disebut dengan Positive Deviancekarena menyimpang dari adat
istiadat setempat, yang melarang konsumsi akan udang, kepiting dan daun ubi.
Kehadiran Save the Children di Vietnam dengan berbagai program rehabilitasi mereka
yang diperkenalkan kepada masyarakat Vietnam tidak lepas dari upaya mereka untuk
memperluas pengaruh dan power mereka. Save the Children bahkan menawarkan aturan-aturan
tentang bagaimana mengatasi kekurangan gizi di negara Vietnam tersebut. Meski demikian Save
the Children yang memiliki markas utama di Amerika Serikat ini telah berhasil menurunkan
angka gizi buruk di Vietnam dengan penurunan yang drastis. Indikator ini juga menunjukkan

bahwa dalam masyarakat setempat telah terjadi perubahan sosial di mana masyarakat terutama
ibu atau pengasuh telah mendapatkan pengetahuan yang lebih baik tentang pangan dan yang
terpenting terjadi perubahan pola pikir dan sikap di mana mereka bisa menerima nilai-nilai yang
diajarkan oleh Save the Children serta yang terpenting nilai adat istiadat yang melarang beberapa
bahan pangan kemudian dianggap sebagai sesuatu yang salah.
Daftar Pustaka

Fakih, Mansour. 2011. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

PCI. 2004. Positive Deviance & Hearth : Suatu Pendekatan Perubahan Perilaku dan Pos Gizi.
Jakarta : PD Indonesia.

Jurnal
Nguyen Cong Khan. et al. 2007. Reduction in Childhood Malnutrition in Vietnam from 1990 to
2004. Asia Pacific Journal Nutrition. Volume 16, No.2.

Zuldesni. 2010. POSITIVE DEVIANCE : PENYIMPANGAN POSITIF SEBAGAI MODEL


DALAM MENGATASI MASALAH GIZI BURUK. Universitas Andalas.

Internet
Amstrong, Rachel dan Jim Amstrong. 2010. Exploring Positive Deviance Further.
http://www.governancenet.com/wp-content/uploads/2011/10/Exploring_PositiveDeviance.pdf. Diakses pada tanggal 11 April 2015.

Cahyadi,

Firdaus.

2013.

Belajar

Melakukan

Perubahan

Sosial.

www.satudunia.net/system/files/Indepth%20Report,%20Belajar%20Melakukan%20Per
ubahan%20Sosial.pdf. Diakses pada tanggal 10 April 2015.

Heath, Chip dan Dan Heath. 2010. SWITCH: Mengubah Situasi Ketika Perubahan Sulit Terjadi.
https://books.google.co.id/books?id=576gVjhNzJsC&pg=PP6&lpg=PP6&dq=switch+
mengubah+situasi+ketika+perubahan+sulit+terjadi&source=bl&ots=CpEzjtpZ7W&si

g=2iwyS65_erIupNxBawn6TImEGzk&hl=id&sa=X&ei=LY8vVefgE8zauQTn2ICYBA&
redir_esc=y#v=onepage&q=switch%20mengubah%20situasi%20ketika%20perubahan
%20sulit%20terjadi&f=false. Diakses pada tanggal 10 April 2015.

Nguyen,

Ngoc

P.2008.

Childhood

Povert

in

Vietnam:

Review.http://www.younglives.org.uk/files/technical-notes/childhood-poverty-invietnam-a-review. diakses pada tanggal 11 April 2015.

Anda mungkin juga menyukai