Anda di halaman 1dari 9

PEMANFAATAN ENERGI METANA DI

INDONESIA
A. ABSTRAK
Salah satu langkah utama dalam Kebijakan Energi Nasional adalah
melakukan diversifikasi energi. Hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi
ketergantungan pada minyak dan gas konvensional. Diantara sekian banyak
sumber energi non konvesional adalah bitumen padat dan gas metan batubara
atau Coal Bed Methane (CBM).
Bitumen Padat tersebar pada pulau-pulau utama di Indonesia.
Keberadaan bitumen padat umumnya berasosiasi dengan batubara, walaupun
tidak harus selalu demikian. Eksplorasi bitumen padat telah dilaksanakan oleh
Pusat Sumber Daya Geologi sejak tahun 2000 dengan perkiraan sumber daya
bitumen padat sampai tahun 2007 sebesar 11,2 juta ton. Kandungan minyak
pada conto bitumen padat Indonesia sangat bervariasi mulai dari 1 lt/ton
hingga 248 lt/ton.
Wilayah Indonesia yang memiliki sumberdaya batubara yang
berlimpah secara otomatis berpotensi memiliki Gas metan batubara (CBM)
yang berlimpah pula. Studi awal menghasilkan perkiraan sumber daya CBM
Indonesia sekitar 453.30 TCF.
B. PENDAHULUAN
Krisis energi yang telah berlangsung beberapa tahun melahirkan
kebijakan strategis di bidang energi, diantaranya adalah melakukan
diversifikasi energi, dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan
terhadap minyak dan gas bumi konvensional. Salah satu sasarannya adalah
dengan mengurangi konsumsi minyak dari 54% pada tahun 2005 menjadi
20% pada tahun 2025.
Berkaitan dengan kebijakan diversifikasi energi, kiranya perlu
dilakukan eksplorasi sumber daya energi fosil diluar energi konvensional,
diantaranya adalah bitumen padat dan gas metan batubara atau Coal Bed
Methane (CBM).
C. BITUMEN PADAT
Bitumen padat adalah batuan sedimen yang mengandung material
organik, yang akan menghasilkan minyak melalui proses penyulingan atau

retort. Umumnya batuan yang dikategorikan sebagai bitumen padat berupa


serpih, namun batuan lain pun dapat juga dikategorikan sebagai bitumen
padat dengan syarat memiliki sejumlah material organik yang dapat
menghasilkan minyak dengan retorting proses.
Pada umumnya endapan bitumen padat muncul berasosiasi dengan
batubara. Hal ini erat kaitannya dengan proses pengendapan batuan tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, maka penyebaran bitumen padat di
Indonesia diasumsikan sama dengan penyebaran formasi pembawa batubara
(Gambar 1). Perlu diperhatikan bahwa bitumen padat tidak harus selalu
berasosiasi dengan batubara, walaupun pada umumnya keberadaan bitumen
padat seringkali berada diantara lapisan batubara (interburden). Namun ada
pula endapan bitumen padat yang secara stratigrafi berada di bawah lapisan
batubara, misalnya bitumen padat Formasi Sangkarewang yang lebih tua
umurnya dari batubara Formasi Sawahlunto (Cekungan Ombilin). Disinilah
perlunya penyelidikan khusus mengenai bitumen padat untuk mencermati
sebaran bitumen padat tersebut.

Gambar 1. Peta Sebaran Bitumen Padat di Indonesia


Pusat Sumber Daya Geologi telah melakukan penyelidikan mengenai
endapan bitumen padat sejak tahun 2000. Sampai saat ini (2008) setidaknya
telah ada 50 (lima puluh) program penyelidikan bitumen padat yang tersebar
pada beberapa daerah di Indonesia, dengan tingkat penyelidikan yang
berbeda-beda, mulai dari Penyelidikan Pendahuluan sampai pada
penyelidikan dengan menggunakan metode outcrop drilling. Tabel 1
menyajikan ringkasan hasil kegiatan penyelidikan bitumen padat yang

dilakukan Pusat Sumber Daya Geologi sejak tahun 2000 sampai dengan tahun
2007, sedangkan Gambar 2 memperlihatkan peta indeks lokasi penyelidikan
bitumen padat.

Gambar 2. Indeks lokasi penyelidikan bitumen padat


Tabel 1. Hasil penyelidikan bitumen padat Pusat Sumberdaya Geologi
sampai tahun 2007.

Hasil berbagai penyelidikan menunjukkan bahwa endapan bitumen


padat tersebar di hampir seluruh pulau utama di Indonesia dengan ketebalan
lapisan bervariasi mulai dari beberapa centimeter sampai lebih dari 100 meter.
Analisa retort dari berbagai conto bitumen padat memberikan hasil
yang sangat bervariasi, mulai dari 1 lt/ton hingga mencapai 248 lt/ton (daerah
Pasar Wajo, Sulawesi Tenggara). Hasil analisa ini tentu saja sangat
dipengaruhi oleh jumlah kandungan material organik serta komposisi material
organiknya.
Sumber daya bitumen padat Indonesia sampai dengan tahun 2007
adalah sebesar 11,24 juta ton, dengan rincian 10,09 juta ton sumber daya
hipotetik dan 1,15 juta ton sumber daya tereka.
D. Gas Metan Batubara
Gas metan batubara atau Coal Bed Methane (CBM) merupakan gas
dengan komponen utama metana (CH4) yang terperangkap dalam lapisan

batubara, baik itu dalam pori batubara maupun dalam rekahan batubara. Gas
tersebut terperangkap dalam batubara pada saat proses pembatubaraan
(coalification).
Keberadaan CBM ini sangat membahayakan keamanan tambang.
Beberapa kasus kecelakaan tambang batubara terjadi karena ledakan yang
diakibatkan terbangnya gas metan ini ke udara. Dengan alasan keamanan,
alangkah baiknya apabila CBM ini diambil sebelum dilakukan penambangan
batubara. Hal ini juga memberikan keuntungan lain yaitu pasokan gas metan
yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi.
E. Penyelidik terdahulu
Advanced Resources International Inc. (ARII) telah melakukan study
awal mengenai potensi CBM di Indonesia yang meliputi 11 cekungan
batubara (Gambar 3) dengan total sumber daya CBM sebesar 453,30 TCF
(Tabel 2). Namun hasil ini dianggap belum mewakili potensi CBM Indonesia
keseluruhan mengingat masih banyak cekungan batubara Indonesia yang
tidak termasuk dalam study ini.

Gambar 3. Potensi CBM Indonesia (ARII, 2003)

Tabel 2. Potensi CBM Indonesia (ARII, 2003)

F. Parameter penting untuk CBM


Terdapat beberapa parameter penting yang perlu dipertimbangkan
dalam melakukan penilaian potensi CBM (Sumaatmadja, 2006), diantaranya:
1. Rank atau tingkat kematangan batubara, yang ditunjukkan dengan nilai
vitrinit reflectance (Ro) batubara. Batubara dengan rank menengah
Ro0,55% - 2 % memiliki kapasitas serapan gas metan yang baik.
2. Kedalaman lapisan batubara, yang ideal untuk tersimpannya gas metan
adalah antara 300 m sampai 1000 meter. Pada kedalaman kurang dari 300
meter, gas metan sangat mudah terlepas ke udara sehingga tidak dapat
diharapkan tersimpan pada batubara dengan baik; sedangkan pada
kedalaman lebih dari 1000 meter kapasitas serapan batubara akan
terganggu oleh temperatur yang tinggi.
3. Tekanan. Makin besar tekanan makin besar kapasitas serapan gas tetapi
dengan kecepatan yang makin berkurang sewaktu mendekati batas
jenuhnya.
4. Temperatur. Makin tinggi temperatur makin kecil kapasitas serapannya
atau mempertinggi desorpsi gasnya.
5. Mineral matter. Makin tinggi kandungan mineral matternya, makin kecil
kapasitas serapan gasnya. Kandungan abu dan sulfur termasuk dalam
mineral matter.
6. Moisture. Makin tinggi kandungan air dalam batubara maka makin kecil
kapasitas serapannya.
7. Komposisi maceral batubara. Liptinite (Type II dari organik matter) yang
banyak mengandung hidrogen akan paling banyak menghasilkan gas
metana disusul dengan vitrinite (Type III organik matter).
G. Potensi batubara bawah permukaan

Pusat Sumber Daya Geologi telah melakukan kajian mengenai potensi


batubara bawah permukaan mulai kedalaman 100 meter sampai dengan 500
meter pada beberapa daerah di sisi timur Pulau Kalimantan, mulai dari
Cekungan Tarakan di utara sampai dengan Cekungan Barito & Asam-asam di
selatan (Fatimah, 2004, 2005, 2006; Susilawati, 2005). Hasil dari kajian ini
disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4. Pada tabel tersebut terlihat bahwa sumber
daya batubara pada kedalaman 300-500 meter adalah sebesar 2.883,359 juta
ton, suatu angka yang cukup memberikan harapan akan potensi CBM yang
cukup besar.

Khusus untuk Sumatera Selatan, data potensi batubara bawah


permukaan diperoleh dari proyek kerja sama Joint Study on Coal Resources
and Reserves Evaluation System antara Pusat Sumber Daya Geologi dengan
Pemerintah Jepang (yang diwakili NEDO). Hasil kegiatan ini tertera pada

Tabel 5, yang menunjukkan potensi batubara bawah permukaan untuk tiap


daerah.
H. Penyelidikan CBM Pusat Sumber Daya Geologi
Menindaklanjuti data penyelidik terdahulu maupun hasil kajian
mengenai potensi batubara bawah permukaan, Pusat Sumber Daya Geologi
telah melakukan kegiatan pemboran batubara yang disertai dengan
pengukuran gas dalam batubara di daerah Loa Lepu dan Buana Jaya,
Kalimantan Timur. Saat ini (2008) juga sedang dilakukan pekerjaan yang
sama di daerah Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan dan Tamiang, Sumatera
Selatan. Hasil pengukuran gas batubara daerah Loa Lepu menunjukkan
bahwa batubara di daerah ini mengandung gas CO2 sebesar 2,50 juta m3, gas
N2 sebesar 16,04 juta m3 dan gas CH4 sebesar 3,31 juta m3 (Cahyono,
2006). Sedangkan batubara daerah Buana Jaya mengandung 13,14 juta m3
gas CO2, 3,42 juta m3 gas N2 dan 14,66 juta m3 gas CH4 (Wibisono, 2007).
Kajian potensi CBM berupa kompilasi data sekunder yang disertai
pengumpulan conto batubara secara acak (random sampling) serta
pengukuran kandungan gas (sorption isotherm) juga dilakukan pada beberapa
blok penyelidikan di Kalimantan Selatan yaitu Blok Tempirak, Blok Rantau,
Blok Sebambam dan Blok Satui (Sumaatmadja, 2006). Hasil kajian ini
menunjukkan bahwa terdapat potensi CBM pada blok-blok tersebut yaitu
3.87 BCF pada Blok Tempirak, 19.22 BCF pada Blok Rantau, 5.79 BCF pada
Blok Sebambam dan 12.9 BCF pada Blok Satui. Perhitungan kandungan gas
dilakukan dengan mempertimbangkan sejumlah parameter, antara lain: kadar
abu, sulfur, bulk density, ketebalan batubara, nilai sorption isotherm, serta
luas daerah potensi.
I. PENUTUP
Penyelidikan bitumen padat maupun gas metan batubara masih sangat
perlu dilakukan di Indonesia mengingat masih banyak daerah yang belum
terinventarisir terutama daera-daerah remote yang masih sulit dijangkau,
karena keterbatasan infrastruktur. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya,
Pusat Sumber Daya Geologi memiliki kewajiban untuk melakukan
penyelidikan mengenai bitumen padat dan gas metan batubara agar komoditikomoditi ini dapat bernilai guna untuk dimanfaatkan bagi kepentingan bangsa
Indonesia.

J. DAFTAR PUSTAKA
http://psdg.bgl.esdm.go.id/
Majalah Energi
www.esdm.go.id

Anda mungkin juga menyukai