Anda di halaman 1dari 12

Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol. 6 No.

1, Juni 2011

PENAPISAN KAPANG LAUT PENGHASIL SENYAWA SITOTOKSIK


DARI BEBERAPA PERAIRAN DI INDONESIA
Muhammad Nursid*), Ekowati Chasanah*), Murwantoko**), dan Subagus Wahyuono***)
ABSTRAK
Kapang yang berasal dari laut merupakan sumber senyawa sitotoksik yang dapat
dikembangkan sebagai bahan obat antikanker. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) menapis kapang
laut penghasil senyawa sitotoksik dari beberapa wilayah perairan di Indonesia, 2) mengidentifikasi
kapang penghasil senyawa sitotoksik paling kuat dan 3) mengetahui nilai inhibition concentration
50 (IC 50) dari senyawa sitotoksik yang dihasilkan. Kapang diisolasi dari organisme laut yang
diambil dari Taman Nasional Laut Wakatobi-Sulawesi Tenggara, Pantai Binuangeun-Banten,
dan perairan sekitar kota Manado-Sulawesi Utara, dan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu.
Kultivasi cair dilakukan pada media Malt Extract Broth (MEB) dan Soluble Starch-Soytone (SW S)
selama 4 minggu pada suhu 2728oC dalam kondisi statis. Identifikasi kapang secara molekular
dilakukan secara PCR dengan menggunakan primer ITS1 dan ITS4. Aktivitas sitotoksik dari
ekstrak yang dihasilkan diuji dengan metode MTT (3-(4,4-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide). Hasil uji MTT terhadap 46 strain kapang menunjukkan bahwa kapang
MFW39 memiliki aktivitas sitotoksik yang paling kuat (35,4%) terhadap sel T47D. Hasil identifikasi
secara molekular menunjukkan bahwa kapang tersebut memiliki similaritas sebesar 99% dengan
kapang Emericella nidulans. Ekstrak miselium dan broth kapang MFW 39 dapat menghambat
pertumbuhan sel T47D dengan nilai IC50 berturut-turut sebesar 21,9 dan 169,3 g/mL. Riset
selanjutnya akan difokuskan untuk meneliti kapang laut strain MFW39.
ABSTRACT:

Screening of marine fungi producing cytotoxic compound from Indonesian


waters. By: Muhammad Nursid, Ekowati Chasanah, Murwantoko and
Subagus Wahyuono

Marine-derived fungi have proven to be a rich source of cytotoxic compounds for the
development of new anti cancer drugs. The aims of this research were to: 1) screen cytotoxic
activity of marine fungi from Indonesian waters, 2) indentify marine fungus that produced that
produced the most active cytotoxic compound and 3) investigate inhibition concentration 50 (IC50)
value of cytotoxic compound. The fungi were isolated from marine organism collected from
Wakatobi Marine National Park-South East Sulawesi, Binuangeun Beach-Banten, Manado watersNorth Sulawesi and Kepulauan Seribu Marine National Park-Jakarta. Liquid cultures of the fungi
were carried out in Malt Extract Broth and Soluble Starch Soytone medium for 4 weeks at 2728 oC
without shaking. Molecular identification of fungus was conducted through PCR amplificatin using
primers of ITS1 and ITS4 primer. Cytotoxic activity of the extract was tested by using MTT (3-(4.4dimethylthiazol-2-yl)-2.5-diphenyl-tetrazolium bromide) method. The MTT test showed that MFW39
strain exhibited the strongest cytotoxic activity. Molecular identification revealed that MFW39 marine
fungus was similar to Emericella nidulans with precent identity of 99%. Mycelium and broth extract
of MFW39 fungus inhibited the growth of T47D cell with IC50 values of 21.9 and 169.3 g/mL,
respectively. Further research will be focus on to the strain of MFW39 marine fungi.
KEYWORDS:

screening, cytotoxic activity, marine fungi, Emericella nidulans

PENDAHULUAN
Spesies kapang di dunia ini diperkirakan berjumlah
sekitar 1,5 juta spesies t etapi yang sudah
dideskripsikan baru sekitar 510%. Keanekaragaman
kapang di daerah tropik diperkirakan lebih tinggi
dibandingkan di daerah sub-tropik (Hawksworth, 2001;
Hyde, 1998). Indonesia memiliki perairan laut yang
sangat luas yaitu sekitar 2/3 dari luas wilayahnya.
*)

**)
***)

Keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya


merupakan salah satu yang tertinggi di dunia termasuk
keanekaragaman mikroba khususnya kapang.
Menurut G andjar et al. (2006), ti nggi nya
keanekaragaman kapang di Indonesia karena
lingkungannya yang lembab dan suhu di daerah tropis
yang mendukung pertumbuhan kapang. Menurut Rifai
(1995), sekitar 200.000 spesies kapang diperkirakan
terdapat di Indonesia.

Peneliti pada Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Balitbang KP, KKP;
Jl. KS. Tubun Petamburan VI, Slipi, Jakarta Pusat; E-mail: muhammadnursid@gmail.com
Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada; Jl. Flora Bulaksumur Gedung A-4, Jogyakarta
Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada; Sekip Utara, Jogyakarta

45

M. Nursid, E. Chasanah, Murwantoko, dan S. Wahyuono

Penelitian mengenai bioprospeksi kapang yang


diisolasi dari lingkungan laut di Indonesia bisa
dikatakan masih terbatas baik biodiversitas maupun
kemodiversitasnya. Beberapa penelitian dalam bidang
ini misalnya dilakukan oleh Namikoshi et al. (2001);
Proksch et al. (2003); Chasanah et al. (2009); dan
Pratitis et al. (2009). Dengan mempertimbangkan
tingginya biodiversitas kapang yang ada di Indonesia
serta potensinya sebagai penghasil senyawa aktif
maka penelitian tentang senyawa metabolit sekunder
dari kapang yang berasal dari perairan Indonesia
penting untuk dilakukan.
Di negara maju yang telah berhasil mengatasi
penyakit infeksi, kanker menjadi penyebab kematian
kedua setelah penyakit kardiovaskular. Kanker ialah
suatu penyakit sel dengan ciri gangguan atau
kegagalan mekanisme pengatur multiplikasi dan fungsi
homeostasis lainnya pada organisme multiselular
(Nafrialdi & Gan, 2007). Salah satu kanker yang
banyak menyerang kaum wanita adalah kanker
payudara. Kanker payudara merupakan jenis kanker
yang memiliki keganasan tertinggi setelah kanker leher
rahim. Jenis kanker ini di Indonesia cenderung terus
meningkat dari tahun ke tahun (Tjindarbumi &
Mangunkusumo, 2002).
Berbagai upaya dilakukan untuk mencari bahan
obat antikanker, salah satunya dengan memanfaatkan
senyawa bahan alam. Senyawa bahan alam untuk
obat anti kanker secara umum ditapis berdasarkan
aktivitas sitotoksik atau anti proliperatif yang dimiliki
dengan menggunakan sel lestari kanker (cancer cell
lines). Penggunaan sel lestari kanker dalam
biodiscovery obat antikanker memiliki beberapa
keuntungan diantaranya mudah cara penanganannya,
memiliki kemampuan replikasi yang tidak terbatas,
homogen, bersifat repeatable (dapat diulang), serta
secara in vitro dapat diketahui mekanisme molekular
suatu senyawa antikanker yang sedang dipelajari
(Burdal et al., 2003; Felth, 2011). Salah satu sel yang

banyak digunakan dalam penapisan senyawa yang


memiliki aktivitas antikanker adalah sel T47D (human
ductal breast epithelial tumor cell line). Sel T47D
pertama kali diisolasi dari jaringan tumor duktal
payudara seorang wanita berusia 54 tahun (Abcam,
2007). Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian
ini bertujuan untuk :
1. Menapis kapang laut penghasil senyawa sitotoksik
terhadap sel T47D dari beberapa wilayah perairan
di Indonesia.
2. Mengidentifikasi jenis kapang yang memiliki
aktivitas sitotoksik paling kuat.
3. Mengetahui nilai inhibition concentration 50 (IC50)
dari senyawa aktif yang dihasilkan.
BAHAN DAN METODE
Sampling Hospes
Sampel hospes (host) diambil dari Taman Nasional
Laut Wakatobi-Sulawesi Tenggara, perairan Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu-Jakarta, perairan
sekitar kota Manado-Sulawesi Utara dan pantai
Binuangeun-Banten (Gambar 1). Sampel hospes yang
diambil berasal dari golongan spons, ascidian, karang
lunak, dan rumput laut. Sampel hospes yang diperoleh
dibersihkan dengan air laut steril kemudian
dimasukkan ke dalam kantong plastik steril, diberi
label dan segera dipreservasi pada suhu dingin dengan
menggunakan es batu. Setiap spesimen sampel yang
diperoleh difoto baik ketika masih berada di dalam air
maupun ketika sudah berada di permukaan.
Identifikasi dan perkiraan taksonomik setiap hospes
dilakukan berdasarkan Colin & Arneson (1995).
Isolasi Kapang
Isolasi kapang dari hospes dilakukan dengan
menggunakan Minimum Fungi Medium (terdiri dari

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel.


Figure 1. Sampling location.

46

Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol. 6 No. 1, Juni 2011

0,02% ekstrak khamir, 0,1% soluble starch, 2% agar),


Malt Extract Agar medium (terdiri dari 0,3% ekstrak
malt, 0,3% ekstrak khamir, 0,5% pepton, 1,5% agar),
dan Glucose Peptone Yeast medium (0,1% glukosa,
0,05% pepton soya, 0,01% ekstrak khamir, 1,5%
agar). Penggunaan ketiga jenis media tersebut
dim aksudkan untuk mem perbesar peluang
memperoleh isolat kapang yang berbeda. Ketiga jenis
media tersebut dilarutkan dalam ASW (artificial
seawater, NaCl 70 g; KCl 3,0 g; Na2SO4 1,1 g; MgCl2
20,4 g; dan CaCl2 0,6 g, dilarutkan dalam akuades 4
L). Metode isolasi kapang dilakukan menurut Zhang
et al. (2009) dan Kjer et al. (2010) dengan beberapa
modifikasi. Sebelum dipotong, hospes disemprot
dengan alkohol 70%, kemudian secara aseptis,
sampel hospes dipotong dengan ukuran sekitar 24
mm3 dan potongan ditempatkan ke dalam petri yang
berisi media. Petri diinkubasi pada suhu ruang (27
29C) selama 37 hari. Setiap kapang yang tumbuh
pada cawan petri kemudian dipindah ke petri yang
baru berdasarkan bentuk dan warna hifa. Proses
isolasi dilakukan secara berulang hingga diperoleh 1
jenis kapang tunggal (strain murni).
Kultivasi dan Penapisan Kapang
Strain murni hasil isolasi dikultivasi dalam media
Malt Extract Broth/MEB (komposisi media MEB sama
dengan MEA namun tanpa menggunakan agar)
selama 3 minggu pada suhu 2729C dalam kondisi
statis. Ekstraksi metabolit yang terdapat dalam kultur
dilakukan dengan menggunakan etil asetat. Setiap
ekstrak kasar yang diperoleh ditimbang beratnya lalu
diuji aktivitas sitotoksiknya terhadap sel T47D pada
dosis 30 g/mL. Strain murni yang memiliki aktivitas
sitotoksik paling kuat selanjutnya diidentifikasi nama
jenisnya, dikultivasi dalam media cair 1 L, diekstraksi
dan diamati profil metabolitnya serta ditentukan nilai
IC50-nya terhadap sel T47D.
Kultivasi Strain Aktif
Strain aktif adalah kapang yang memiliki aktivitas
sitotoksik paling baik hasil dari proses penapisan.
Kultivasi strain aktif dilakukan di dalam media SWS
yang mengandung 1% soluble starch; 0,1% soya
pepton dan 1 L ASW. Kultivasi dilakukan selama 5
minggu pada suhu 2728oC dalam kondisi statis.
Ekstrak yang dihasilkan dari kultivasi 1 L tersebut
kemudian diuji aktivitas sitotoksiknya terhadap sel
T47D dalam berbagai variasi dosis.
Ekstraksi dan Profil Metabolit
Ekstraksi metabolit dari kapang yang terdapat
dalam miselium dan broth dilakukan secara terpisah.
Broth adalah bagian cairan yang terdapat dalam

culture cair, berisi campuran media dan hasil metabolit


yang disekresi oleh kapang, sedangkan miselium
adalah bagian dari tubuh kapang yang terbentuk dari
kumpulan hifa yang bercabang. Metabolit dalam broth
diekstraksi dengan etil asetat sedangkan metabolit
yang terdapat dalam miselium diekstraksi dengan
campuran diklorometan (DCM) : metanol (MeOH) = 1
: 1.
Profil metabolit yang terdapat pada ekstrak
miselium dan broth dilihat dengan kromatografi lapis
tipis (KLT) dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT).
Analisis KLT dilakukan dengan plat alumunium yang
mengandung matriks SiO2. Sistem pengembang yang
digunakan adalah campuran DCM : MeOH = 10 : 1.
Deteksi dilakukan di bawah UV 254 nm dan disemprot
dengan phospomolybdic acid (PMA) kemudian
dipanaskan pada suhu 100C hingga bercak-bercak
muncul dengan jelas. Analisis KCKT dilakukan dengan
instrumen LCMS (Shimadzu), kolom ODS 2,0 x 150
mm, detektor photo diode array (PDA), sistem elusi
H2O 20%asetonitril 100% (gradien).
Uji Sitotoksik
Uji sitotoksik dilakukan dengan metode MTT (3(4,4-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyl-tetrazolium
bromide) menggunakan sel lestari T47D. Sel tersebut
dikultur dalam medium Roswell Park Memorial Institut
1640 (RPMI) (Sigma), Fetal Bovine Serum (FBS) 10%
(Gibco), fungizone 0,5% (Gibco) dan penisilinstreptomisin 2% (Gibco). Sel dipelihara dalam
inkubator dengan aliran CO2 sebesar 5 mL/menit pada
suhu 37C. Jumlah sel yang digunakan dalam uji
sebesar 20.000 sel/sumuran. Secara umum uji
sitotoksik dilakukan menurut Freshney (2005). Dosis
ekstrak yang digunakan untuk penapisan adalah
sebesar 30 g/ml sedangkan dosis untuk mengetahui
nilai IC50 ekstrak yang paling aktif adalah 1, 5, 25,
125, dan 625 g/mL. Dalam uji ini digunakan
doxorubicin sebagai kontrol positif. Doxorubicin
merupakan salah satu obat kemoterapi yang tersedia
secara komersial di pasaran. Persentase kematian
sel tumor dihitung berdasarkan rumus [{(A-D) (BC)}/(A-D)] x 100% dimana A = absorbansi kontrol sel,
B = absorbansi sampel, C = absorbansi kontrol
sampel dan D = absorbansi kontrol media. Nilai IC50
ditentukan dengan menggunakan analisis probit
dengan bantuan program statistik MINITAB 14.0.
Identifikasi Kapang
Kapang diidentif i kasi secara molekuler
berdasarkan sekuens gen ITS1-5.8S-ITS2 rDNA.
Amplifikasi sekuens gen tersebut dilakukan dengan
polymerase chain reaction (PCR) dengan
menggunakan primer Internal Transcribed Spacer 1
(ITS1) dan Internal Transcribed Spacer 4 (ITS4)

47

M. Nursid, E. Chasanah, Murwantoko, dan S. Wahyuono

masing-masing dengan urutan basa 5- CTT GGT CAT


TTA GAG GAA GTAA-3 dan 5- TCC TCC GCT TAT
TGA TAT GC-3. Isolasi DNA kapang dilakukan sesuai
dengan petunjuk yang ada pada protokol Fermentasi
DNA Extraction Kit. PCR dilakukan dengan volume
akhir sebanyak 25 L yang terdiri dari campuran 5
25 ng DNA, 0,4 mM primer, 0,2 mM dNTPs, 1,5 mM
MgCl2, 2,0 U Taq polymerase, dan 1,0x buffer. Produk
PCR kemudian dianalisis dengan elektroforesis,
dipurifikasi dengan menggunakan Fermentas Agarose
Gel DNA Purification Kit kemudian disekuens dengan
ABI PRISMTM 3730XL sequencer. Sekuens gen ITS1
dan ITS 2 yang diperoleh lalu dibandingkan dengan
sekuens gen ITS1-5.8S-ITS2 rDNA dari spesies
kapang yang sudah diketahui di NCBI GenBank.
Pensejajaran sekuens gen dan konstruksi pohon
filogenetik dilakukan dengan bantuan perangkat lunak
Molecular Evolutionary Genetics Analysis (MEGA)
versi 5.0. Hasil identifikasi kapang secara molekular
selanjutnya diperkuat dengan identifikasi secara
morfologi menurut buku Gandjar (1989) dan Pitt &
Hocking (2009).
HASIL DAN BAHASAN
Skrining Kapang Penghasil Senyawa
Sitotoksik
Keseluruhan isolat kapang yang diskrining aktivitas
sitotoksiknya berjumlah 46 isolat, dengan rincian 10
isolat berasal dari pantai Binuangeun, Kabupaten
Lebak, Banten, 8 isolat berasal dari perairan sekitar
Kota Manado, Sulawesi Utara, 9 isolat berasal dari
perairan sekitar pulau Pramuka kawasan Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dan 18
isolat berasal dari taman Nasional Laut Wakatobi,
Sulawesi Tenggara (Tabel 1). Hospes kapang sebagian
besar berasal dari spons (porifera) lalu diikuti karang
lunak (coelenterata), ascidia, dan rumput laut merah.
Menurut Bugni & Ireland (2004), spons merupakan
sumber host atau substrat yang paling banyak
dieksplorasi dalam penelitian senyawa bahan alam
dari kapang laut. Jumlah senyawa baru dari kapang
laut yang berasosiasi dengan spons merupakan yang
tertinggi dibandingkan dengan kapang yang
berasosiasi dengan host lain misalnya rumput laut,
moluska, ekinodermata, dan lain-lain.
Rendemen (yield) ekstrak yang dihasilkan dari
strain kapang tersebut berkisar antara 1,289,4 mg
dengan rata-rata sebesar 11,3 mg per 100 mL volume
kultur. Rendemen yang dihasilkan tergantung dari jenis
strain kapang yang dikultivasi. Beberapa kapang
memiliki biomassa yang tinggi sedangkan yang
lainnya rendah. Ekstrak yang dihasilkan masih berupa
ekstrak kasar (crude extract) yang terdiri dari banyak

48

campuran senyawa ditambah dengan pengotor seperti


garam-garam dan protein dari media.
Hasil uji sitotoksik memperlihatkan bahwa nilai
inhibisi ekstrak terhadap proliferasi sel T47D dengan
dosis 30 g/mL berkisar antara 035,5% (rata-rata
penghambatan sebesar 10,7%). Ekstrak yang
memiliki aktivitas sitotoksik paling kuat terhadap sel
T47D adalah ekstrak yang diperoleh dari kapang
dengan kode isolat MFW39 (Tabel 1) dengan jumlah
ekstrak yang dihasilkan sebesar 13,1 mg.
Kapang MFW39 disolasi dari permukaan ascidia
W-02-08 dengan menggunakan media MEA. Ascidia
W-02-08 diambil dari perairan sekitar pulau WangiWangi yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional
Laut Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Berdasarkan
kenampakan morfologi, ascidia ini diperkirakan
termasuk dalam genus Aplidium. Perkiraan ini
diperkuat oleh hasil identifikasi yang dilakukan oleh
Pusat Penelitian Oseanologi LIPI yang menyatakan
bahwa ascidia ini termasuk dalam jenis Aplidium
longithorax. Hasil uji sitotoksik terhadap 46 ekstrak
kapang disajikan dalam Tabel 1, doxorubicin dengan
dosis 5 g/mL digunakan sebagai kontrol positif.
Inhibisi ekstrak MFW39 terhadap peroliferasi sel
T47D adalah sebesar 35,4 % sedangkan doxorubicin
(sebagai kontrol positif) memiliki nilai inhibisi sebesar
70,5% pada dosis 5 g/mL (Gambar 2). Nilai
hambatan ekstrak MFW39 masih jauh lebih kecil dari
doxorubicin kemungkinan besar karena ekstrak yang
diujikan masih sangat kasar. Pada saat panen
(harvest), metabolit dari miselium dan broth masih
bercampur sehingga kemungkinan besar kadar
senyawa sitotoksik yang terdapat di dalamnya masih
sangat kecil. Pada tahap ini juga belum diketahui
pada bagian mana senyawa sitotoksik terdapat pada
kapang MFW39, apakah pada ekstrak miselium atau
ekstrak broth. Meskipun nilai inhibisi ekstrak MFW39
tidak sebesar nilai inhibisi doxorubicin, tetapi hasil
penelitian ini memberi petunjuk bahwa isolat kapang
MFW39 mampu menghasilkan senyawa aktif yang
mampu menghambat proliferasi sel T47D.
Morfologi sel T47D setelah diberi perlakuan ekstrak
MFW39, doxorubicin dan tanpa perlakuan disajikan
pada Gambar 2. Hasil pengamatan morfologi
memperlihatkan bahwa pemberian ekstrak MFW39
dapat menyebabkan perubahan morfologi pada sel
T47D dibandingkan dengan ekstrak yang lain.
Berdasarkan pengamatan secara visual terhadap foto
sel setelah diberi perlakuan ekstrak MFW39, morfologi
sel T47D tampak berubah menjadi bulat sedangkan
sel yang tidak diberi perlakuan (kontrol sel), bentuknya
tetap pipih-lonjong (seperti bentuk daun) dan melekat
kuat di dasar flask kultur. Ekstrak yang tidak aktif
(tidak mengandung senyawa sitotoksik) tidak dapat
menyebabkan perubahan pada morfologi sel.

Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol. 6 No. 1, Juni 2011

Tabel 1. Isolat kapang dan bobot ekstrak kasar yang diperoleh dari 100 mL kultur cair
Table 1. Fungal isolate and weight of crude extract obtained from 100 mL liquid culture
Isolat
Kapang/
Hospes dan Perkiraan Taksonomis/
Fungal
Host and Taxonomic Prediction
Isolate
MFB01 B-05-09 (rum put laut Halym ania durvillae )
MFB02 B-05-09 (rum put laut Halym ania durvillae )
MFB03 B-05-09 (rum put laut Halym ania durvillae )
MFB04 B-05-09 (rum put laut Halym ania durvillae )
MFB06 B-01-09 (karang lunak Sarcophyton s p.)
MFB07 B-10-09 (s pons tidak teridentifikas i)
MFB09 B-10-09 (s pons tidak teridentifikas i)
MFB10 B-10-09 (s pons tidak teridentifikas i)
MFB11 B-05-09 (rum put laut Halym ania durvillae )
MFB13 B-12-09 (s pons tidak teridentifikas i)
MFM03 M-15-19 (s pons tidak teridentifikasi)
MFM04 M-08-09 (s pons tidak teridentifikasi)
MFM08 M-14-09 (s pons tidak teridentifkas i)
MFM09 M-18-09 (s pons tidak teridentifikasi)
MFM10 M-08-09 (s pons tidak teridentifikasi)
MFM13 M-11-09 (s pons tidak teridentifikasi)
MFM14 M-11-09 (s pons tidak teridentifikasi)
MFM15 M-14-09 (s pons tidak teridentifkas i)
MFP03 PS-17-09 (s pons tidak teridentifikas i)
MFP06 PS-17-09 (s pons tidak teridentifikas i)
MFP09 PS-63-09 (s pons tidak teridentifikas i)
MFP10 PS-64-09 (s pons tidak teridentifikas i)
MFP11 PS-18-09 (s pons tidak teridentifkasi)
MFP13 PS-17-09 (s pons tidak teridentifikas i)
MFP15 PS-17-09 (s pons tidak teridentifikas i)
MFP17 PS-17-09 (s pons tidak teridentifikas i)
MFP23 PS-17-09 (s pons tidak teridentifikas i)
MFW01 W-02-08 (as cidia Aplidium longitorax )
MFW05 W-02-08 (as cidia Aplidium longitorax )
MFW06 W-02-08 (as cidia Aplidium longitorax )
MFW07 W-02-08 (as cidia Aplidium longitorax )
MFW20 W-14-08 (s pons tidak teridentifikasi)
MFW23 W-14-08 (s pons tidak teridentifikasi)
MFW26 W-14-08 (s pons tidak teridentifikasi)
MFW28 W-14-08 (s pons tidak teridentifikasi)
MFW29 W-14-08 (s pons tidak teridentifikasi)
MFW39 W-02-08 (as cidia Aplidium longitorax)
MFW40 W-01-08 (karang lunak Sinularia s p.)
MFW41 W-01-08 (karang lunak Sinularia s p.)
MFW42 W-01-08 (karang lunak Sinularia s p.)
MFW50 W-08-08 (s pons Ircinia s p.)
MFW52 W-24-08 (s pons Aaptos s p.)
MFW61 W-25-08 (s pons tidak teridentifkas i)
MFW62 W-47-08 (karang lunak Lob ophytum s p.)
MFW70 W-08-08 (s pons Ircinia s p.)
Doxorubicin

Golongan/Group

Lokasi
Sampling/
Sampling
Location

Rum put laut/Seaweed


Rum put laut/Seaweed
Rum put laut/Seaweed
Rum put laut/Seaweed
Binuangeun,
Spons /Sponge
Banten
Spons /Sponge
Spons /Sponge
Spons /Sponge
Rum put laut/Seaweed
Spons /Sponge
Spons /Sponge
Spons /Sponge
Spons /Sponge
Perairan
Spons /Sponge
Sekitar
Spons /Sponge
Manado
Spons /Sponge
Spons /Sponge
Spons /Sponge
Spons /Sponge
Spons /Sponge
Spons /Sponge
Perairan
Spons /Sponge
Sekitar
Spons /Sponge
Kepulauan
Spons /Sponge
Seribu
Spons /Sponge
Spons /Sponge
Spons /Sponge
As cidia
As cidia
As cidia
As cidia
Spons /Sponge
Spons /Sponge
Spons /Sponge
Tam an
Spons /Sponge
Nas ional
Laut
Spons /Sponge
Wakatobi,
As cadia
Karang lunak/Soft coral Sulawes i
Karang lunak/Soft coral Tenggara
Karang lunak/Soft coral
Spons /Sponge
Spons /Sponge
Spons /Sponge
Karang lunak/Soft coral
Spons /Sponge

Yield
(mg)
21.9
22.4
89.4
16.5
9.9
24.5
9.2
24.5
2.6
13.4
17.5
13.4
9.4
13.2
7.9
7.2
7.7
11.0
16.0
15.3
8.9
17.8
16.7
5.7
11.9
3.8
3.4
5.1
5.8
2.8
4.0
4.3
4.9
3.9
5.1
9.2
13.1
1.2
5.9
5.2
2.2
2.8
1.6
13.7
6.4

Penghambatan
Sel/Cells
Inhibition (%) *)
5.5
13.6
10.5
13.3
19.2
10.6
0.0
0.0
18.9
19.2
15.3
29.4
0.0
3.5
0.0
26.9
0.0
2.8
7.2
2.8
2.1
0.0
0.6
0.6
2.8
3.1
0.0
13.0
14.1
23.9
4.5
4.7
2.3
16.3
28.7
17.7
35.4
18.7
15.2
26.1
8.9
15.7
4.1
15.5
8.2
70.5

Keterangan/Note :
*)
Penghambatan pertumbuhan sel T47D (%) setelah diberi perlakuan ekstrak kapang selama 24 jam (dosis
ekstrak kapang = 30 g/mL, doxorubicin = 5 g/mL)/Growth inhibition of T47D cells (%) after being treated with
fungi extract for 24 hours (dose of fungal extract = 30 g/mL, doxorubicin = 5 g/mL).

49

M. Nursid, E. Chasanah, Murwantoko, dan S. Wahyuono

Sebelum diberi MTT/Before MTT treatment

MWF-39-08

Doxorubicin

Kontrol Sel/Cell Control

Setelah diberi MTT/After MTT treatment

MWF-39-08
Gambar 2.
Figure 2.

Doxorubicin

Morfologi sel T47D setelah diberi perlakuan ekstrak kapang MFW39 dan kristal formazan yang
terbentuk (tanda panah) setelah 3 jam pemberian MTT (perbesaran 100 x).
Morphology of T47D cells after being treated with MFW39 fungal extract and formazan crystal
formed (arrows) after 3 hours exposing with MTT (100 x magnification).

Aktivitas sitotoksik yang terdapat pada ekstrak


kapang MFW39 juga dapat dideteksi berdasarkan
kristal formazan yang terbentuk di dalam mikroplat
setelah 3-4 jam pemberian MTT. Kristal formazan yang
terbentuk setelah pemberian ekstrak MF-39-08 relatif
paling sedikit dibandingkan dengan kristal formazan
yang terbentuk akibat perlakuan ekstrak kapang
lainnya (Gambar 2). Dalam uji sitotoksik metode MTT,
jumlah kristal formazan sebanding dengan jumlah sel
yang hidup. Reaksi MTT merupakan reaksi reduksi
seluler yang didasarkan pada pemecahan garam
tetrazolium MTT yang berwarna kuning menjadi kristal
formazan yang berwarna biru keunguan. Enzim
suksinat dehidrogenase pada mitokondria sel hidup
mampu memecah MTT menjadi kristal formazan
(Zachary, 2003). Reaksi tersebut melibatkan piridin
nukleotida kofaktor NADH dan NADPH yang hanya
dikatalis oleh sel hidup, sehingga jumlah formazan
yang terbentuk proporsional dengan jumlah sel yang
hidup. Semakin banyak sel yang hidup, semakin
banyak kristal formazan yang terbentuk, semakin
tinggi nilai absorbansi yang diperoleh dan
mengindikasikan mortalitas yang rendah.
Profil Metabolit Kapang MFW39
Rendemen metabolit dari kultivasi kapang MFW39
dalam media cair SWS pada skala 1 L sebesar 360,8
mg untuk ekstrak miselium dan ekstrak broth sebesar

50

Kontrol Sel/Cell Control

57,4 mg. Ekstraksi metabolit dari miselium kapang


dilakukan dengan campuran diklorometan : metanol
= 1 : 1. Campuran kedua pelarut ini dipilih karena
diklorometan bersifat non polar sedangkan metanol
bersif at polar sehingga campuran keduanya
diharapkan dapat menarik atau melarutkan semua
metabolit sekunder yang terdapat pada miselium.
Proses ekstraksi metabolit dari miselium dilakukan
dengan sonikasi selama 2 jam untuk memecah
dinding sel dari miselium sehingga proses ekstraksi
berjalan dengan lebih sempurna.
Ekstraksi metabolit dari broth dilakukan dengan
etil asetat karena pelarut ini bersifat semipolar
sehingga diharapkan dapat menarik senyawa metabolit
sekunder hasil metabolisme kapang yang terdapat
dari broth dalam kisaran polaritas yang lebar mulai
yang bersifat non polar sampai polar. Selain itu, etil
asetat memisah dengan baik dengan broth ketika
didiamkan dalam corong pisah setelah dilakukan
pengocokan sehingga mudah memisahkan antar
keduanya.
Ekstraksi terhadap miselium dan broth dilakukan
secara terpisah karena ada kemungkinan metabolit
sekunder yang terdapat pada miselium dan broth
memiliki perbedaan. Ada metabolit tertentu yang hanya
terdapat dalam miselium dan ada pula metabolit
tertentu yang hanya terdapat pada broth. Alasan
lainnya adalah jika senyawa sitotoksik yang dihasilkan

Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol. 6 No. 1, Juni 2011

antara 0,10,5. Ekstrak miselium maupun broth


memiliki serapan yang kuat di bawah UV 254 nm.
Hal ini memberi petunjuk bahwa senyawa-senyawa
dalam kedua ekstrak tersebut mempunyai ikatan
rangkap ataupun merupakan suatu senyawa aromatik
(Gritter et al., 1991).
Kromatogram KCKT juga memperlihatkan bahwa
broth memiliki kandungan metabolit yang lebih
beragam (Gambar 4). Ekstrak broth memiliki lebih
banyak puncak dengan waktu retensi yang lebih

oleh kapang hanya terdapat pada miselium atau broth


saja, maka untuk penelitian selanjutnya dapat
difokuskan pada miselium atau broth saja.
Untuk melihat profil metabolit dari ekstrak miselium
dan broth dilakukan dengan KLT dan KCKT.
Berdasarkan kromatogram KLT (Gambar 3) terlihat
bahwa profil metabolit dari miselium (M) berbeda
dengan metabolit yang terdapat dalam broth (B).
Miselium terlihat memiliki keragaman metabolit yang
lebih kecil dibanding dengan broth terutama pada Rf
A

B
Rf 0,8

Rf 0,8

Rf 0,5

Rf 0,5

Rf 0,1

A
Gambar 3.

Rf 0,1

KLT ekstrak miselium (M) dan broth (B) dibawah UV 254 nm (A), dan divisualisasikan dengan
PMA (B).
TLC of mycelium (M) and broth (B) extract under 254 nm UV (A) and visualized with PMA (B).

Figure 3.

MaxP lot (1. 00 )

27

21

m A bs

1 75 0

1 50 0

1 25 0

44

46

1 00 0

53

49
50
51

52

45
41
42
43

47
48

37
40

38

39

29
30
31
32
33
34
35
36

23
24
25
26

20
15
16
17
18
19

5
6

25 0

13
14

7
8
9
10 1 1

12

50 0

28

22

75 0

0
5.0

7. 5

10 .0

1 2. 5

1 5. 0

1 7 .5

20 .0

22 .5

25 .0

2 7.5

3 0.0

3 2. 5

35 .0

37 .5

4 0. 0

42 .5

4 5.0

47.5

mi n

M a x P lo t ( 1 . 0 0 )

31

m A bs

1 75 0

1 50 0

3 2
34
2 9

26

48
47

4 5
46

42
4 3
44

37
33 98
4 0
41

35
3 6

33

30

27

25 0

25

1 1
1 2

21

10

50 0

28

17

14

13

18

75 0

1 9

20

1 00 0

22
2 3
24

15
1 6

1 25 0

0
7 .5

1 0 .0

1 2 .5

15.0

17 . 5

20 . 0

2 2. 5

2 5 .0

2 7.5

3 0 .0

3 2 .5

35 . 0

3 7. 5

4 0. 0

4 2 .5

4 5 .0

4 7 .5

m in

Gambar 4. Kromatogram KCKT ekstrak miselium (A) dan broth (B).


Figure 4. HPLC chromatogram of mycelium (A) and broth (B) extracts.

51

M. Nursid, E. Chasanah, Murwantoko, dan S. Wahyuono

berdekatan dibanding ekstrak miselium. Meskipun


demikian, ekstrak miselium dan broth memiliki
beberapa persamaan puncak misalnya puncak nomor
27 dari ekstrak miselium kemungkinan besar sama
dengan puncak nomor 31 dari ekstrak broth.
Kapang dikenal sebagai mikroba yang mampu
menghasilkan berbagai macam senyawa metabolit
sekunder dari golongan alkaloid, poliketida, terpen,
steroid, dan peptida. Senyawa metabolit sekunder
dari kapang memiliki kisaran bioaktivitas yang luas.
Menurut Bugni & Ireland (2004), senyawa metabolit
sekunder dari kapang kebanyakan diteliti aktivitasnya
sebagai antibiotik dan antikanker.
Identifikasi Kapang
Identifikasi jenis kapang secara molekular
dilakukan dengan mengisolasi genom DNA kapang
MFW39. DNA yang diperoleh selanjutnya di-PCR
untuk mengamplifikasi daerah ITS1-5.8S-ITS2
(berukuran sekitar 450-550 pasang basa). Hasil
purif ikasi produk PCR di v isualisasi dengan
elektroforesis gel (Gambar 5). Amplifikasi daerah ITS15.8S-ITS2 berhasil dilakukan, hal ini terlihat dengan
adanya pita DNA di daerah sekitar 500 bp (Gambar
5). Hasil sekuensing produk PCR memperlihatkan
bahwa kapang MFW39 memiliki tingkat similaritas
sebesar 99% dengan Emericella nidulans. Pohon
filogenetik strain MFW39 disajikan pada Gambar 6.
Secara morfologi kapang MFW39 pada media MEA
memiliki koloni yang berwarna hijau kekuningan
dengan zona pertumbuhan yang berwarna putih.
Sebalik koloni berwarna kuning kecoklatan dan sedikit
abu-abu. Diameter koloni yang berumur 5 hari
mencapai 56 cm. Konidiofor tidak bersekat,
berdinding halus dan memiliki warna coklat. Vesikula
berbentuk lonjong agak bulat. Konidia berbentuk bulat
dengan jumlah sangat banyak (dominan) dan memiliki
dinding yang agak kasar. Karakteristik morfologi

tersebut memiliki kesamaan dengan kapang


Emericella nidulans seperti yang dideskripsikan oleh
Gandjar (1989) serta Pitt & Hocking (2009).
Nama umum dari kapang Emericella nidulans
adalah Aspergillus nidulans. Nama Emericella
nidulans diperoleh setelah siklus reproduksinya
diketahui secara lengkap. Emericella nidulans
merupakan kapang filamentus yang bersif at
kosmopolitan dan secara khusus terdapat di dalam
tanah. Kapang ini telah diisolasi dari berbagai substrat
yang ada di lingkungan terestrial (Gandjar, 1989;
Gandjar et al., 2006). Meskipun spesies ini berasal
dari lingkungan terestrial namun Kralj et al. (2006)
berhasil mengisolasi kapang ini dari lingkungan laut
tepatnya dari permukaan alga hijau. Jenis lain dari
genus Emericella yang berhasil diperoleh dari
lingkungan laut misalnya Emericella variecolor yang
diisolasi dari spons Haliclona valliculata (Bringmann
et al., 2003). Kapang ini berada dalam lingkungan laut
kemungkinan besar terbawa oleh aliran air hujan dari
daratan dan masuk ke dalam laut kemudian spora
tersebut menempel atau terhisap oleh invertebrata laut
yang bersifat filter feeder.
Menurut Hooler et al. (2000), isolasi kapang dari
organisme laut tidak menunjukkan bahwa kapang
tersebut tumbuh dan berkembang dalam tubuh
organisme tersebut. Dalam kasus kapang yang
diisolasi dari spons, bisa saja spora kapang tersebut
berasal dari spora kapang terestrial karena spons
bersifat filter feeder. Menurut Kohlmeyer & Kohlmeyer
(1979), banyak peneliti yang belum berhasil
menunjukkan bahwa kapang yang diisolasi dari
lingkungan laut dapat tumbuh di habitat laut. Kapang
tersebut kemungkinan dalam keadaan dorman dalam
bentuk spora atau fraksi hifa dimana spora ini akan
tumbuh serta bersporulasi apabila lingkungan
menguntungkan. Menurut Konig et al. (2006), kapang
dari lingkungan terestrial dapat tumbuh dengan baik

Gambar 5. Hasil PCR daerah ITS1-5.8S-ITS2 kapang MFW39.


Figure 5. PCR result of ITS1-5.8S-ITS2 region of MFW39 fungal.

52

Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol. 6 No. 1, Juni 2011

Pe nic illiu m wa k s m a nii


Pe nic illiu m c itr inum
Pe nic illiu m v irg at um
As pe rg illu s c la va tu s
As pe rg illu s fu m iga tu s
As pe rg illu s pa ra s it ic us
As pe rg illu s us tu s
MF W 3 9
Em e ric ella nid ula ns
G y m na s c ella da nk a liens is
Hy p oc r ea v ir en s
F us ar iu m in c a rn at um
F us ar iu m o x y s po ru m
G ib b er ella m o nilifo rm is
Alt er na ria a lt er na ta
Ca nd ida t ro pic a lis
Ca nd ida alb ic an s
Sa c c ha ro m yc es c er ev is ia e
Rh iz o pus s to lon ife r

0.3 0

0 .25

0 .2 0

0 .1 5

0 .1 0

0 .0 5

0 .00

Gambar 6. Pohon filogenetik kapang MFW39.


Figure 6. Phylogentic tree of MFW39 fungal.
B
A

Keterangan/Note: a : konidiofor/conidiophore; b : vesikula/vesicle; c : konidia/conidia

Gambar 7.
Figure 7.

Koloni dalam media MEA (A) dan gambaran mikroskopis kapang MFW39 (B) (perbesaran 2000x).
Colony of MFW39 fungal on MEA medium (A) and microscopic features of MFW39 fungal (B)
(2000x magnification).

dalam media yang mengandung air laut karena


memiliki daya toleransi dan adaptasi yang baik dalam
habitat yang berkadar kadar garam tinggi.
Aktivitas Sitotoksik
Hasil uji aktivitas sitotoksik ekstrak miselium dan
broth terhadap sel T47D (sel kanker payudara)

memperlihatkan adanya perubahan yang jelas


terhadap morfologi sel setelah diberi perlakuan ekstrak
MFW39. Ekstrak miselium terlihat memiliki efek
sitotoksik yang lebih kuat dibanding ekstrak broth
karena pada dosis 1 g/mL menyebabkan perubahan
morfologi sel sedangkan perubahan morfologi sel akibat
pemberian ekstrak broth terjadi pada dosis yang lebih
tinggi yaitu 5 g/mL (Gambar 8). Demikian juga halnya

53

M. Nursid, E. Chasanah, Murwantoko, dan S. Wahyuono

Sebelum perlakuan MTT/Before MTT treatment


1 g/mL

5 g/mL

25 g/mL

125 g/mL

625 g/mL

Setelah perlakuan MTT/After MTT treatment


1 g/mL

5 g/mL

25 g/mL

125 g/mL

Sebelum perlakuan MTT/Before MTT treatment


5 g/mL
25 g/mL
125 g/mL

1 g/mL

625 g/mL

625 g/mL

Setelah perlakuan MTT/After MTT treatment


1 g/mL

5 g/mL

25 g/mL

125 g/mL

Ekstrak miselium/
Mycelium extract

625 g/mL

Ekstrak broth/
Broth extract

Gambar 8. Morfologi sel T47D setelah diberi perlakuan ekstrak miselium dan broth selama 24 jam.
Figure 8. Morphology of T47D cells after being treated with mycelium and broth extract for 24 hours.
dengan jumlah kristal formazan yang terbentuk.
Kristal formazan yang terbentuk pada sel yang diberi
perlakuan ekstrak miselium pada dosis 1 g/mL
sangat sedikit bila dibandingkan dengan kristal
formazan yang terbentuk pada sel yang diberi ekstrak
broth pada dosis yang sama (Gambar 8).

Penghambatan Sel/
Cells inhibition (%)

Profil penghambatan pertumbuhan sel T47D akibat


pemberian ekstrak miselium dan broth disajikan pada
120
110
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

Gambar 9. Ekstrak miselium pada dosis 1 g/mL


mampu menghambat pertumbuhan sel T47D,
sedangkan ekstrak broth tidak menunjukkan
penghambatan terhadap sel T47D pada dosis 1, 5,
dan 25 g/mL (Gambar 9).
Hasil perhitungan nilai IC50 dengan program
MINITAB 14.0 memperlihatkan bahwa ekstrak
miselium memiliki aktivitas sitotoksik yang lebih kuat

Miselium/Mycelium
Broth

25

125

625

Dosis Ekstrak/Extract Dose (g/mL)

Gambar 9. Penghambatan sel T47D setelah diberi ekstrak miselium dan broth inkubasi 24 jam.
Figure 9. Inhibition of T47D cells treated with mycelium and broth extract of 24 hour incubation.

54

Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol. 6 No. 1, Juni 2011

(IC50 21,9 g/mL) dibanding dengan ekstrak broth (IC50


169,3 g/mL). Ekstrak miselium memiliki aktivitas
yang lebih kuat kemungkinan disebabkan oleh
senyawa aktif yang terdapat pada kapang MFW39
tidak dilepas keluar dari sel tetapi tetap dipertahankan
berada di dalam miselium. Jika senyawa aktif tersebut
dilepas dari sel-sel miselium dan masuk ke dalam
media kultur (broth) maka ekstrak broth juga memiliki
efek sitotoksik yang kuat. Keberadaan senyawa aktif
dalam miselium ada hubungannya dengan mekanisme
pertahanan diri terutama untuk melindungi struktur
reproduksi seperti halnya miselium. Senyawa
metabolit sekunder pada kapang pada umumnya
berhubungan dengan proses sporulasi dan pigmentasi.
Selain itu metabolit toksik yang dihasilkan oleh
kapang berfungi untuk melindungi koloni yang sedang
tumbuh (Calvo et al., 2002).
KESIMPULAN
Hasil penapisan terhadap 46 strain kapang
penghasil senyawa sitotoksik memperlihatkan bahwa
strain kapang MFW39 memiliki nilai inhibisi terbaik
(35,4%) terhadap pertumbuhan sel T47D pada
konsentrasi ekstrak sebesar 30 g/mL. Berdasarkan
hasil identifikasi secara molekular dan morfologi,
kapang MFW39 termasuk dalam jenis Emericella
nidulans. Hasil uji sitotoksik terhadap sel T47D
menunjukkan bahwa ekstrak miselium memiliki
aktivitas sitotoksik yang lebih kuat (IC50 = 21,9 g/
mL) dibanding dengan ekstrak broth (IC50 = 169,3 g/
mL). Penelitian selanjutnya akan difokuskan untuk
mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa sitotoksik
yang terdapat dalam ekstrak miselium kapang
MFW39.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis ucapkan terima kasih kepada Gintung
Patantis, S.Kel atas bantuannya dalam identifikasi
kapang MFW39 secara molekular dan Asri Pratitis,
S.Pi atas bantuannya dalam isolasi kapang laut dari
sampel hospes yang berasal dari Taman Nasional Laut
Wakatobi.
DAFTAR PUSTAKA
Abcam. 2007. T47D (Human ductal breast epithelial
tumor cell line) whole cell lysate (ab14899) datasheet.
htt p:// www.a bcam.com/ index .html?datashe et=
14899. Diakses pada tanggal 11 Mei 2011.
Bringmann, G., Lang, G., Steffens, S., Gunther, E., and
Schaumann. 2003. Evariquinone, isoemericellin and
stromemycin from a sponge derived strain of the
fungus Emericella variecolor. Phytochemistry. 63:
437443.

Bugni, T.S. and Ireland, C.M. 2004. Marine-derived fungi:


a chemically and biologically diverse group of
microorganisms. Nat. Prod. Rep. 21: 143163.
Burdall, S.E., Hanby, A.M., Lansdown, M.R.J., and Speirs,
V. 2003. Breast cancer cell lines: friend or foe? Breast
Cancer Res. 5: 8995.
Calvo, A.M., Wilson, R.A., Bok, J.W., and Keller, N.P. 2002.
Relationship between secondary metabolism and
fungal development. Microbiology and Molecular
Biology Reviews. p. 447438.
Colin, P.L. and Arneson, C. 1995. Tropical Pacific
Invertebrates. A Field guide to the Marine
Invertebrates Occuring on Tropical Pacific Coral
Reefs, Seagrass Beds and Mangrove. Coral Reef
Press, California. 296 pp.
Chasanah, E., Januar, H.I., Irianto, H.E., Bourne, D.,
Liptrot, C., and Wright, A. Screening of anticancer
activity of fungi derived from Indonesia marine
sponges. 2009. Journal of marine and fisheries
postharvest and biotechnology, special edition in
conjuction with World Ocean Conference 2009. p. 1
8.
Felth, J. 2011. Studies of Cytotoxic Compounds of Natural
Origin and Their Mechanism of Action. Dissertations.
University of Uppsala. 58 pp.
Freshney, R.I. 2005. Culture of Animal Cells. A Manual of
Basic Technique, Fifth Edition. John Wiley and Son,
Inc., Hoboken, New Jersey.
Gandjar, I. 1989. Pengenalan Kapang Umum Tropik.
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Gandjar, I., Sjamsuridjal, W., dan Oetari, A. 2006. Mikologi
Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta. 238 pp.
Gritter, R.J., Bobbit, J.M., and Schwarting, A.E. 1991.
Pengantar kromatografi. Diterj emahkan oleh
Padmawinata, K. Penerbit ITB, Bandung. 266 pp.
Holler, U., Wrigth, A.T., Matthee, G.F., Konig, G.M., Draeger,
S., Aust, H.J., and Schulz, B. 2000. Fungi from marine
sponges : diversity, biological activity and secondary
metabolites. Mycol. Res. 104(11): 13541365.
Hyde, K.D., Gareth, Jones, E.B.G., Leano, E., Pointing,
S.B., Poonyth, A.D., and Vrijmoed, L.P. 1998. Role of
fungi in marine ecosystems. Biodiversity and
Conservation. 7: 11471161.
Hawksworth, D.L. 2001. The magnitude of fungal
diversity : the 1.5 million species estimate revisited.
Mycol. Res. 105(12): 14221433.
Konig, G., Kehraus, S., Seibert, S.F., Abdel-Latif, A., and
Muller, D. 2006. Natural products from marine
organism and their associated microbes. Chem. Bio.
Chem. 7: 229238.
Kohlmeyer, J. and Kohlmeyer, E. 1979. Marine Mycology:
the Higher Fungi. Academic Press, New York. 690 pp
Kralj, A., Kehraus, S., Krick, A., Eguereva, A., Kelter, G.,
Maurer, M., Wortmann, A., Fiebig, H.H., and Konig, M.
2006. Arugosin G and H : prenylated polyketodes from
marine-derived fungi Emericella nidulans var.
acristata. J. Nat. Prod. 69: 9952000.
Kjer, J., Debbab, A., Aly, H., and Proksch, P. 2010. Methods
for isolation of marine-derived endophytic fungi and

55

M. Nursid, E. Chasanah, Murwantoko, dan S. Wahyuono


their bioactive secondary products. Nature Protocols.
5(3): 479490.
Nafrialdi dan Gan, S. 2007. Antikanker. In. Gunawan, S.G.,
Setiabudi, R., Nafrialdi, dan Elysabeth (eds.).
Farmakologi dan Te rapi, Edisi 5. Departemen
Farmakologi dan Terapeutik, FK UI, Jakarta. 926 pp.
Namikoshi, M., Akano, K., Kobayashi, H., Koike, Y.,
Kitazawa, A., Rondonuwu, A.B., and Pratasik, S.B.
2002. Distribution of marine filamentous fungi
associated with marine sponges in coral reefs of
Palau and Bunaken Island, Indonesia. Journal of
Tokyo University of Fisheries. 88: 1520.
Pratitis, A., Chasanah, E., and Nursid, M. 2009. Skrining
aktivitas sitotoksik dan peredaman radikal bebas
DPPH ektrak marine fungi yang diisolasi dari spons
asal perairan Wakatobi. Prosiding Seminar Nasional
Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan, Jakarta.
Pitt, J.I. and Hocking, A.D. 2009. Fungi and Food
Spoilage. Spinger, New York. 519 pp.

56

Proksch, P., Ebel, R., Edrada, R.S., Schupp, P., Lin W.H.,
Sudarsono., Wray, V., and Steube, K. 2003. Detection
of pharmacologically active natural products using
ecology, selected examples from Indopacific marine
invertebrates and sponge-derived fungi. Pure Appl.
Chem. 75: 343352.
Rifai. M.A. 1995. The Biodiversity of Indonesian Microbial
Diversity. Regional warkshop on culture collection of
microorganism in Southeast Asia. Gadjah Mada
University, Yogyakarta.
Tjindarbumi, D. and Mangunkusumo, R. 2002. Cancer
in Indonesia, present and future, Jpn. J Clin. Oncol.
32(supplement 1): 1721.
Zhang, Y., Mu, J., Feng, Y., Kang, Y., Zhang, J., Gu, P.J.,
W ang, Y., Ma, L.F., and Zhu, Y.H. 2009. Broadspectrum antimicrobial epiphytic and endophytic
fungi from marine organisms: Isolation, bioassay and
taxonomy. Marine Drugs. 7: 97112.
Zachary, I. 2003. Determination of cell number. In
Hughes, D. and Mehmet, H. (eds.). Cell Proliferation
and Apoptosis. BIOS Scientific Publisher Limited.

Anda mungkin juga menyukai