Anda di halaman 1dari 4

Aku terlahir dari keluarga yang sederhana.

Ayahku menginginkan seorang putra, namun


kemudian lahirlah aku. Putri pertama yang bernama NURUL AZKIYA. Bundaku sangat bahagia.
Entah sang ayah. Ayah dan ibuku bertemu di tempat perantauan, mereka punya kisah indah
sendiri tentang itu, ayah menikahi ibuku yang masih gadis, setelah menikah tahulah bunda kalau
ayah sudah memiliki istri dan 3 orang anak yang kesemuanya perempuan.
Aku dibesarkan bukan di lingkungan keluargaku, aku di titipkan bunda di sebuah
keluarga TNI, aku tumbuh dalam kasih sayang papa(sebutan untuk ayah angkatku). Aku tumbuh
di keluarga yang memiliki seorang anak perempuan, dialah Lisa, kakak angkatku dam mama ani
(ibu angkatku). Aku bahagia hidup di keluarga ini, Aku dekat sekali dengan papa, dia
membawaku kemanapun dia pergi. Bekerja, ke pasar, bermain, jalan-jalan sore, banyak moment
membahagiakan yang ku lalui bersamanya. Papa juga membanggakanku kesemua teman yang
dia punya. Papa tak pernah berkata kasar padaku sebesar apapun kesalahanku. Setidaknya itu
yang ada di ingatanku sampai saat ini. Tak jarang aku bersitegang dengan Lisa, dia suka
menggangguku, mengambil sebagian uang jajanku, tidur malam bersama mama tanpaku.
Terkadang aku menangis di kamar kami sendiri menanti papa. Itu sebabnya aku sangat
menyayangi papa.
Sampailah satu sore saat usiaku 4 tahun. Seorang wanita muda datang dan langsung
memelukku. Aku bingung dan ikut menangis, mereka menjelaskan padaku kalau itulah bundaku.
Orangtuaku yang sebenarnya, aku tak mengerti yang mereka bicarakan. Yang kutahu aku hanya
akan dipisahkan dari papaku. Aku melihat papa menangis, memelukku, menciumku dan akupun
meraung di pelukannya. Tapi apalah daya, aku hanya seorang anak kecil. Bunda dan papa berada
di kota yang berbeda. Papa di kota Padang, dan Bunda di kota kecil bernama Pematangsiantar.
Akhirnya, setelah 3 hari 2 malam sampailah aku ketempat yang mereka sebut rumah.
Semua berbeda dengan yang kujalani sebelumnya. Disini aku hanya seorang anak biasa, bukan
lagi anak perempuan dari papa berpangkat yang membanggakan. Aku hanya anak biasa yang tak
lagi di banggakan. Aku mulai jarang merasakan ungkapan kasih sayang, aku tak pernah diajak
berkeliling bersama ayah, apalagi adik laki-lakiku tlah lahir, Ridwan.
Ayah bahagia sekali dengan kelahiran adikku, ayah selalu mengaaknya bepergian,
menggendongnya di pundak, membawannya kemanaapun dia pergi seperti yang papa lakukan
padaku, sementara aku dirumah bersama bunda yang sibuk berjualan untuk membantu ekonomi
keluarga. Tak jarang aku menangis sendiri di kamar, merindukan keberadaan papa untukku.
Terkadang aku berusaha ingat jalan ke padang agar aku bisa pergi sendiri menemui papaku, dan
terkadang sebelum tidur aku berdoa agar ini semua hanya mimpi dan saat bangun aku masih
berada disamping papa. Namun ini nyata, semua ini nyata adanya. Dan aku hanya mampu
memendam kerinduanku pada papa.

Aku pasrah karna tak mampu berbuat apapun untuk bertemu papa. Semetara ayahku
kembali berbahagia dengan kelahiran adik keduaku, Hasan. Aku semakin jauh dari mereka,
bunda dan ayahku. Tak ada satupun ingatanku tentang kebersamaan ini yang membuatku
bahagia. Ayahku begitu mencintai kedua adikku, pernah satu ketika ayahku membawa kedua
adikku ke kedai kopi di sekitar rumahku, sementara ibuku pergi dan aku dikurung di rumahku
sendirian. Momen ini tak pernah hilang dari ingatanku sekalipun. Aku menangis, menendangnendang pintu rumahku sambil memanggil papa. Aku merindukan papa, saat itu aku hanya ingin
papa ada di sini dan membawaku pergi dari rumah ini. Aku begitu membutuhkan papa. Tapi lagilagi semua hanya hayalan di kepala kecilku saja. Saat aku menangis, bundapun pulang dan aku
diberi pukulan kasih sayangnya. Bunda marah padaku karna pintu rumah ini bisa rusak karna
kaki kecilku, tapi siapa yang sadar dan bertanggungjawab atas hancurnya masa kecilku ?. bahkan
akupun tak mampu.
Satu hari di pertengahan 1998, saat itu aku dikelas 1 SDN tak jauh dari rumahku. Diusia
4 setengah tahun, bukan waktu yang pas untuk memulai pendidikan, tapi bundaku melakukannya
agar aku terikat dan tak bisa kembali lagi ke papa. Hari itu saat pelajaran berlangsung, papa tibatiba berdiri di depan kelasku memakai seragam TNI kebanggaanku. Dengan mata bingungku aku
mamandangnya dan berlari memeluk kakinya. Hanya itu yang mampu kuraih saat itu. Ya Tuhan,
aku benar-benar merindukan sosok ini. Tak mampu kutuliskan betapa bahagia dan bangganya
aku saat itu, kurasa inilah akhir hidup jemuku. Di angkatnya aku di pelukannya, inilah tempatku
seharusnya. Malamnya aku tidur memeluk papa, aku tak ingin beliau pergi lagi. Ditengah malam
kulihat papa menangis dan bersitegang dengan bunda. Kenapa harus dipisahkan aku sama
anakku ros, aku sudah sayang sama nurul, aku cuma ingin bawa dia kembali dan di sekolahkan
di padang kata papa sambil meneteskan air mata. Tapi dia anakku bang, mau sampai kapan dia
pisah dariku jawab bunda tak kalah sengit. Aku yang tak mengerti apapun mulai menangis
memeluk papa. Entah apa yang meeka bicarakan, kulihat papa membawa tasnya keluar rumah.
Aku berteriak histeris malam itu, aku tak mau di tinggal papa lagi. Aku menjerit sangat histeris
hingga pingsan, aku benar-benar terpukul. Saat bangun kulihat rumahku tlah ramai oleh
tetanggaku. Tapi aku tak melihat papa. Begitulah aku melewati hari itu.
Aku dan ayah tak begitu dekat, entahlah perasaanku dia tak begitu menyayangiku di
bandingkan kedua adikku. Seperti saat itu saat aku kelas 3 SD, Pagi itu bunda sedang pergi
kepasar, ayah membangunkanku pergi ke sekolah. Setelah selesai aku pamit pada ayah, mencium
tangannya dan berangkat. Karena masih terlalu pagi berangkat, aku berfikir menjemput ana,
teman sekelasku yang rumahnya dekat dengan pasar, lagipula ana punya ayah yang baik, dia
selalu memberiku jajan kalau pergi bersama ana. Tapi sampai di rumah ana, ternyata ana sudah
berangkat. Akupun kembali kesekolah, tapi naas di tengah perjalanan aku bertemu ibu, aku
dimarahi, dibawa pulang kerumah dan di pukul. Saat itu sampai sekarang aku berfikir, dimana
letak kesalahanku?
Hari itu aku tak jadi berangkat kesekolah, mereka berdua memukulku. Wajahku berbekas.
Tapi siapa yang sadar dan tahu kalau hatiku tak sekedar biram dan berbekas ?. Hatiku hancur.
2

Benar benar hancur. Mereka tak percaya padaku Tuhan. Disekolah, aku termasuk murid pintar
dan di perhitungkan. Itulah sebabnya aku lebih senang di sekolah daripada dirumah. Tapi lagilagi nasib baik tak berpihak padaku, aku hidup sebagai anak yang pengecut. Meskipun aku
pintar, tapi aku sering di bully di sekolah hanya karena sifatku yang sedikit tomboy.
Tak lama setelah kejadian itu, haripun berlalu dan aku duduk didepan pintu rumahku
yang berjaring. Bunda sengaja membuat jaring agar aku dan adikku tak bisa keluar rumah, jadi
kalau mau bermain, aku harus membujuk temanku agar mau masuk rumahku. Namun tak
selamanya berjalan mulus, sore itu aku memanggil Nanda, tetangga depan rumahku yang duduk
bersama orangtuanya. Aku mengajaknya masuk, dan dia pura-pura tak mendengarku. Setelah itu
datanglah tari yang ingin jajan di kedai ibuku. Ibuku sedang mandi dan aku berbincang
dengantari. Jangan mau kawan sama dia, dia budeg, aku panggil-panggil gak nyahut kataku
pada tari. Bunda datang dan langsung marah padaku. anak kurang ajar, ngomongin bundanya
budeg katanya, dan lagi-lagi badanku jadi sasaran empuk pukulannya. Malam hari ayah
memanggilku dan bertanya, aku jawab aku dan teri membicarakan nanda, dan lagi-lagi mereka
berdua tak percaya.dan begitulah aku menjalani hidupku.
Dan disuatu pagi kulihat ayah meminum kopinya. Beliau berpamitan padaku dan kedua
adikku, entah apa yang dikatakannya padaku saat itu, bahkan aku tak mengingat satupun katakatanya sampai saat ini. Yang kutahu dia pergi ke Jawa Timur untuk mengunjungi nenek kami,
ibunya yang sedang sakit. Dan diapun pergi.
Aku tak begitu merasa kehilangan Dia. Karena ada satu moment lagi di kelas 3 SD yang
terpampang manis di ingatanku sampai saat ini. Waktu itu guruku sedang sibuk berbincang
dengan teman sesama pengajarnya di kelas kami saat pelajaran. Karena kami ribut, beliau
memberi kami tugas menulis angka satu sampai seribu. Sehabis magrib aku dan kedua adikku
main kerumah ocik (Panggilan untuk adik bunda perempuan dalam bahasa adat sipirok) yang
tinggal di samping rumah karena di rumahku tak ada tv saat itu. Bunda marah dan bertengkar
dengan ocik, bunda marah karena hari sekolah bukan saat kami menonton. Tapi ocik bilang tak
seharusnya seketat itu karena menonton hanya sekedar hiburan. Jadilah malam itu kami pulang
kerumah jam 9 malam. Saat mau tidur aku teringat tugas dari guruku, maka akupun
mengerjakannya. Bunda marah besar padaku dan ocik. Jadilah aku menerima pukulan dan
cacian. Malam itu aku tak di izinkan tidur samai PR ku selesai, saat aku ketiduran yang kuingat
bunda membangunkanku jam 3 pagi untuk itu. Tapi karena belum selesai juga, besoknya aku tak
diizinkan sekolah. Hari selanjutnya aku pergi ke sekolah dengan PR yang tlah selesai, dan
ternyata PR kami semua itu sama sekali tak di periksa. Ya Tuhan. Tapi kelas 3 SD aku mamu
meraih Juara II terbaik di kelasku.

Tahun itu ajaran baru dimulai, dan aku duduk di bangku kelas IV. Bunda termasuk
orangtua yang aktif, beliau buka usaha kecil-kecilan saat itu. Kerupuk goreng dan aku yang
menjual di sekolah. Sekalian untuk menambah jajan buatku.
Siang itu aku pulang sekolah, ada perasaan bahagia, entah apa. Akhirnya terjawab
sudah rasa itketika aku sampai di rumah. Papa menyambutku. Dengan bahagia kupeluk dirinya,
rasanya semua kembali baik-baik saja waktu itu.

Anda mungkin juga menyukai