Anda di halaman 1dari 36

Tugas Resume

Sejarah Pajak dan Sumber-sumber Penerimaan


Negara
Mata Kuliah : Hukum Pajak I
Dosen Pengampu : Putut Gunawarman F, SH, MH

Di susun oleh :

Fiqi Dwipatria Muslimin


NIM : 14.641.0279
Kelas : Menejemen IIIE (Pagi)

UNIVERSITAS PANCA MARGA PROBOLINGGO


2014

Sejarah Pajak
SEJARAH PEMUNGUTAN PAJAK
Pada tahun 509-27 SM di Roma ada beberapa pungutan yang diwajibkan kepada
rakyatnya, dengan sebutan seperti censor, questor dan jenis pungutan lainnya. Pajak
langsung (tributum) dipungut pada zaman perang terhadap penduduk Roma sampai tahun
167 SM. Setelah abad kedua penguasa Roma mengandalkan pajak tidak langsung yang
disebut vegtigalia, seperti portoria yakni pungutan atas penggunaan pelabuhan.
Di zaman Julius Caesar dikenal centesima rerum venalium yakni sejenis pajak
penjualan dengan tarif 1% dari omzet penjualan. Di Italia dikenal decumae, yakni pungutan
sebesar 10% dari para petani atau penguasa tanah. Setiap penduduk di Italia, termasuk
penduduk Roma sendiri dikenakan pajak langsung (tributum) yang tetap. Di Mesir,
pembuatan piramida pada akhirnya dilakukan dalam bentuk kerja paksa, yang pada
mulanya adalah suatu bentuk pengabdian dan sifatnya sukarela dari rakyat Mesir. Pada
abad ke-14 di Spanyol dikenal dengan istilah alcabala, salah satu bentuk pajak penjualan.
Di benua Amerika, setelah benua tersebut menjadi koloni Inggris, penduduk koloni
mempunyai kewajiban membayar berbagai pungutan kepada pemerintah kolonial Inggris,
yang dikemudian waktu menjadi penyebab Revolusi Amerika, yaitu setelah diundangundangkannya The Stamp act (1765) dan The Townshend Act (1767). The Stamp Act
merupakan undang-undang yang mewajibkan setiap penduduk koloni tersebut untuk
membayar pajak atas pembelian koran, kartu judi, dadu, dan akte perkawinan. The
Townshend Act merupakan pemungutan terhadap teh, kertas, cat, dan kartu.
PERKEMBANGAN PEMUNGUTAN PAJAK
Pajak pada mulanya dibayar secara natura, yaitu hasil pertanian, hasil hutan dan hasil
perkebunan serta barang tambang mulia seperti emas dan perak. Selain itu juga pajak dapat
dibayar dengan tenaga, yaitu dengan melakukan pekerjaan tanpa diberi imbalan. Kemudian
sejalan dengan perkembangan waktu pajak dibayar dengan uang. Di seluruh dunia telah
mengakui bahwa pajak merupakan sumber utama penerimaan negara dan sebagai alat

mencapai tujuannya, walaupun tidak seluruh negara di dunia mengandalkan penerimaan


negara dari sektor pajak. Ada beberapa Negara yang memiliki potensi sumber daya alam
negaranya sebagai penerimaan Negara yang utama.
Sejak zaman sebelum masehi pajak telah dipungut oleh penguasa suatu daerah,
untuk kepentingan penguasa. Maka bentuk iuran kepada penguasa tersebut merupakan
suatu paksaan, yang tentunya ada yang pro ada yang kontra. Penentuan siapa yang harus
membayar pajak, bagaimana dasar pengenaan pajaknya, dan berapa besar tarif pajak yang
dikenakan, ditentukan oleh keinginan penguasa semata. Pada akhirnya beban pajak yang
harus dipikul jadi lebih berat, penguasa dengan kesewenangannya menentukan jumlah
pajak sesuai kebutuhan penguasa bahkan melebihi yang dibutuhkan.
SEJARAH PERPAJAKAN DI INDONESIA
Kerajaan Mataram, Kediri, Majapahit, dan Pajang mengenal bentuk pajak tanah dan pajak
tidak langsung terhadap barang dagangan. Pejabat kerajaan pemungut pajak tidak digaji
oleh kerajaan maka seringkali mereka menerapkan pajak secara berlebihan. Upeti
perorangan ataupun kelompok orang diberikan kepada raja atau penguasa sebagai bentuk
penghormatan dan tunduk patuh pada kekuasaan raja atau penguasa suatu wilayah di
Indonesia merupakan bentuk pajak pada zaman kerajaan-kerajaan di Indonesia tumbuh.
Upeti tersebut berupa hasil bumi, dan pemajakan barang perdagangan. Sebagai imbalannya
maka rakyat mendapat pelayanan keamanan dan jaminan ketertiban. Kerajaan Mataram
raja-raja sudah melaksanakan hidup swasembada dan otonom.
VOC sebagai badan perdagangan menguasai wilayah Indonesia, dan tidak
memungut pajak di daerah kekuasaannya, seperti Batavia, Maluku, dan lain-lain. Tetapi
mengenakan Pajak usaha, Pajak Rumah, dan Pajak Kepala kepada pedagang Cina dan
pedagang lainnya. Selain itu VOC memiliki monopoli penjualan candu, garam, pemetikan
sarang burung dan lain-lain yang dijualnya pada pacht-pacht yang biasanya dipegang oleh
kapiten. Gubernur Jenderal Daendels juga mengadakan pemungutan pajak, menarik pajak
dari pintu gerbang dan pajak penjualan barang di pasar (bazarregten) termasuk pula
pungutan pajak terhadap rumah jadi. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Raffles

(1811-1815) menyelenggarakan administrasi dan reorganisasi yang mengeluarkan banyak


uang. Raffles mengadakan pembaruan sistem pajak yang dikenal dengan landrente stelsel,
dimana sistem pajak tersebut mengambil contoh
dari Benggala India. Pada masa penjajahan kolonial pajak merupakan hal yang dieksploitasi
untuk kepentingan penjajah. Pajak dilaksanakan tidak memperhatikan keadilan,
kemampuan, dan hak asasi manusia Indonesia, tetapi menjadi beban penderitaan dan
pengorbanan luar biasa rakyat Indonesia.
Di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda hingga sebelum tahun 1983 telah diberlakukan
cukup banyak Undang-Undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai
berikut:

Ordonansi Pajak Rumah Tangga;

Aturan Bea Meterai;

Ordonansi Bea Balik Nama;

Ordonansi Pajak Kekayaan;

Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor;

Ordonansi Pajak Upah;

Ordonansi Pajak Potong;

Ordonansi Pajak Pendapatan;

Undang-Undang Pajak Radio;

Undang-Undang Pajak Pembangunan I;

Undang-Undang Pajak Peredaran;

kemudian dengan perkembangan ekonomi dan masyarakat maka di undangkan lagi


beberapa UU yaitu:

UU Pajak penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No.2 tahun 1968

UU no.21 Tahun 1959 tentangpajak deviden yang diubah dengan UU No.10 Tahun
1967 tentang pajak atas bunga, deviden, dan royalty

UU No.19 tahun 1959 tentang penagihan pajak Negara dengan surat Paksa

UU no.74 tahun 1958 tentang pajak bangsa asing dan

UU no.8 Tahun 1967 tentang tata cara pemungutan PPd, PKK dan PPs atau Tata
cara MPS-MPO.
Terlalu banyak undangan-undangan yang dikeluarkan mengakibatkan masyarakat

mengalami kesulitan dalam pelaksanaanya. Selain itu, beberapa undang-undang di atas


ternyata dalam perkembangan tidak memenuhi rasa keadilan, dan masih memuat unsurunsur kolonial. Maka pada tahun 1983, pemerintah bersama-sama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat sepakat melakukan reformasi undang-undang perpajakan yang ada
dengan mencabut semua undang-undang yang ada dan mengundangkan 5 paket undangundang perpajakan yang sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktikkan serta tidak
menimbulkan duplikasi dalam hal pemungutan pajak dan unsur keadilan menjadi lebih
diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang semula official assessment diubah menjadi self
assessment.
Kelima undang-undang tersebut adalah

Undang-Undang No.6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP);
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 1983
TENTANG
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a.

bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara,
karena itu menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban
kenegaraan bagi para warganya yang merupakan sarana peran serta dalam pembiayaan
negara dan pembangunan nasional;

b.

bahwa sistem perpajakan yang merupakan landasan pelaksanaan pemungutan pajak


negara yang selama ini berlaku, tidak sesuai lagi dengan tingkat kehidupan sosialekonomi masyarakat Indonesia baik dalam segi kegotongroyongan nasional maupun
dalam laju pembangunan nasional yang telah dicapai;

c.

bahwa sistem perpajakan yang tertuang di dalam ketentuan-ketentuan perpajakan


yang berlaku selama ini belum dapat menggerakkan peran serta semua lapisan subyek
pajak yang besar peranannya dalam meningkatkan penerimaan dalam negeri dan sangat
diperlukan guna mewujudkan kelangsungan dan peningkatan pembangunan nasional;

d.

bahwa oleh karena itu, sesuai pula dengan amanat yang terkandung dalam Garisgaris Besar Haluan Negara (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor II/MPR/1983), perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan yang
berlaku dengan sistem yang memberikan kepercayaan kepada subyek pajak untuk
melaksanakan kewajiban serta memenuhi haknya di bidang perpajakan, sehingga dapat
mewujudkan perluasan dan peningkatan kesadaran kewajiban perpajakan serta
meratakan pendapatan masyarakat;

e.

bahwa untuk dapat mencapai maksud tersebut di atas, perlu diadakan pembaharuan
dan penggantian peraturan perundang-undangan perpajakan yang selama ini berlaku;

Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 Pajak Pajak Penghasilan (UU PPh);

Undang-Undang No.8 Tahun 1983 Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang Dan Jasa
Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN Dan PPnBM);

Undang-Undang No.12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan (UU PBB);

Undang-Undang N0. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai (UU BM).

Pada tahun 1994, empat dari kelima UU tersebut pada tahun 1994 mengalami perubahan
dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu dengan UU, yaitu sebagai berikut :

UU No.6 Tahun 1983 Diubah Dengan UU No.9 Tahun 1994

UU No.7 Tahun 1983 Diubah Dengan UU No.10 Tahun 1994

UU No.8 Tahun 1983 Diubah Dengan UU No.11 Tahun 1994

UU No.12 Tahun 1983 Diubah Dengan UU No.12 Tahun 1994.

Kemudian pada tahun 1997 pemerintah membuat beberapa undang-undang yang berkaitan
dengan masalah perpajakan untuk mendukung undang-undang yang sudah ada, yaitu :

UU No. 17 Tahun 1997 Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak

UU No. 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah

UU No. 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa

UU No. 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak

UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan.

Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus menerus dan untuk
memberikan rasa keadilan dan pelayanan kepada Wajib Pajak, maka pada tahun 2000
pemerintah kembali mengadakan perubahan terhadap UU Perpajakan yang dibuat pada
tahun 1983 yang selengkapnya seperti dibawah ini.

UU No.16 Tahun 2000 Mengenai Perubahan Atas UU No.6 Tahun 1983


Sebagaimana Telah Diubah Dengan UU No.9 Tahun 1994

UU No. 17 Tahun 2000 Mengenai Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1983


Sebagaimana Telah Diubah Dengan UU No. 10 Tahun 1994

UU No. 18 Tahun 2000 Mengenai Perubahan Atas UU No.8 Tahun 1983


Sebagaimana Telah Diubah Dengan UU No.11 Tahun 1994

UU No.19 Tahun 2000 Mengenai Perubahan Atas UU No.19 Tahun 1997

UU No.21 Tahun 2000 Mengenai Perubahan Atas UU No.21 Tahun 1997

UU No. 34 Tahun 2000 Mengenai Perubahan Atas UU No. 18 Tahun 1997


Selanjutnya pada tahun 2007 sampai 2009 pemerintah bersama DPR sepakat
melakukan perubahan atas UU Perpajakan :

UU Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan No.16 Tahun 2000 Diubah Dengan
UU No.28 Tahun 2007,Mulai Berlaku 1 Januari 2008. Lalu KUP Ini Pun
Mengalami Perubahan Lagi Dengan UU No.16 Tahun 2009 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ke4
Atas UU No.6 Tahun 1983 Tentang KUP.

UU Pph No.17 Tahun 2000 Diubah Dengan UU No.36 Tahun 2008 Berlaku Mulai 1
Januari 2009.

UU Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah No.18 Tahun 2000 Diubah Dengan UU No.42 Tahun 2009 Mulai Berlaku 1
April 2010.

Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan


Dimulai dari pengenaan pajak tanah (Land Rent) oleh pemerintahan kolonial Inggris
yang dipimpin oleh Thomas Stanford Raffless pada abad 19 tepatnya tahun 1813 di pulau
Jawa. Raffles menentukan pajak ini pada individu bukan pada desa. Raffles membagi tanah
atas kelompok-kelompok terhadap tanah kering dan tanah basah, pengenaan pajaknya
adalah rata-rata produksi pertahun untuk sawah (tanah basah), dan tegalan (tanah kering).
Dalil yang dijadikan dasar adanya pungutan pajak tanah menurut sejarah, adalah anggapan
bahwa semua tanah adalah milik Raja (souvereign), dan kepala desa-kepala desa yang
berada di bawah kekuasaan raja semuanya dianggap sebagai penyewa (Pachters). Karena

itu maka mereka harus membayar sewa tanah (land rent) dengan natura secara tetap kepada
penguasa.
Tahun 1945 1951
Pajak Bumi semula pelaksanaan pemungutannya dengan cara lama digunakan secara
penuh. Kemudian Pajak Bumi di wilayah negara Republik Indonesia dengan pusat
pemerintahan di Yogyakarta dihapus, sedangkan di wilayah federal Pajak Bumi terus
berlaku. 1951 Pajak Bumi di negara Republik Indonesia dihapus, diganti dengan UndangUndang No.14 tahun 1951, yaitu
Pajak Penghasilan atas Tanah Pertanian (PPTP).
Tahun 1951 - 1959
UU No.14 tahun 1951, melahirkan Jawatan Pendaftaran dan Pajak Penghasilan Tanah Milik
Indonesia (P3TMI). Tugasnya adalah melakukan pendaftaran atas tanah-tanah milik adat
yang ada di Indonesia. Namun karena P3TMI ini ternyata dianggap hanya mengurus
pendaftaran tanah saja, maka namanya diubah lagi menjadi Jawatan Pendaftaran Tanah
Milik Indonesia (PTMI). Tugasnya yaitu menjadikan tugas yang sama seperti yang diatas
ditambah kewenangan untuk mengeluarkan Surat Pendaftaran Sementara terhadap tanah
milik yang sudah terdaftar.
Tahun 1959 - 1985
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPU) No.11 Tahun 1959 tentang
Pajak Hasil Bumi telah ditetapkan menjadi Undang-Undang yaitu Undang-Undang No.1
Tahun 1961. Jawatan yang mengelola Pajak Hasil Bumi dirubah menjadi Direktorat Pajak
Hasil Bumi. Sesuai dengan SK Menteri Iuran Negara PMPPU 1-1-3 29 November 1965,
Direktorat Pajak Hasil Bumi diubah namanya menjadi Direktorat Iuran Pembangunan
daerah (DIT-IPEDA). Pajak Hasil Bumi (PHB) menjadi Iuran Pembangunan Daerah
(IPEDA). Pengenaan Iuran pembangunan daerah dilakukan terhadap tanahtanah di
pedesaan, perkotaan, perhutanan, perkebunan dan pertambangan.

Tahun 1985 -1995


Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 telah diadakan Tax Reform yaitu
diadakan pembaruan dan penggantian atas peraturan perundang-undangan perpajakan yang
selama ini berlaku. Tax Reform tahun 1983 ini berlaku mulai tanggal 1 Januari 1984.
Dengan adanya Tax Reform maka sistem perpajakan Indonesia berubah dari Oficial
Assesment menjadi Self assesment. Tax Reform 1983, melahirkan Undang-Undang No.12
Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yang ditetapkan pada tanggal 27
Desember 1985 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986. Pada tanggal 9 November
1994, telah disahkan Undang-undang No.12 tahun 1994; tentang Perubahan atas Undangundang No.12 Tahun 1985 tentang PBB, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.
Sejarah Pajak Penghasilan
Sebelum 1920
Pajak pendapatan bagi orang eropa (tax patent duty), dan untuk orang Indonesia
adalah Pajak pendapatan yang disebut business tax. Business Tax tahun 1878 dikenakan
untuk pribumi sebesar 2% per tahun dari penghasilan, dan 4% pertahun dari penghasilan
orang Asing Asia. Seluruh orang Indonesia yang ikut serta dalam perdagangan kecil-kecilan
atau eceran baik merupakan subyek dari pajak ini. Yang dikecualikan adalah para petani
dan buruh yang bekerja pada tanah pertanian, kepala desa dan pegawai pemerintahan.
Tax Patent Duty adalah pajak yang dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh
dari usaha pertanian, manufakturing, kerajinan tangan, atau kegiatan industri di Hindia
Belanda. Tarif proporsional, yakni 2% dari pendapatan. Pendapatan minimum tidak
disebutkan dan biaya pengeluaran dari rumah tangga atau pengeluaran pribadi tidak
termasuk dalam perhitungan yang dikenakan pajak. Pajak Pendapatan untuk pertama kali
dipungut di Indonesia berdasarkan Ordonansi Pajak Pendapatan 1908 (Ordonantie op de
Inkomstenbelasting 1908). Kemudian ordonansi ini diganti dengan Ordonansi pajak
Pendapatan 1920.
Tahun 1920

The Reseived ordinance on the Income Tax of 1920. Pendapatan menurut pengertian
ordonansi ini adalah jumlah keseluruhan yang diterima baik dalam bentuk uang atau yang
dapat dinilai dengan uang yang diperoleh dari barang-barang bergerak atau tidak gerak,
atau dari kegiatan perdagangan atau pekerjaan keilmuan atau pekerjaan lain, baik yang
dikerjakan sekali-sekali atau secara kontinyu; kegiatan kantor perusahan, pelayanan, dan
dari keruntungan lain yang diperoleh setelah dikurangi ongkos-ongkos pengeluaran.
Prinsip-prinsip dalam UU Pajak Pendapatan:
a) Pajak diterapkan pada perseorangan, badan, pemegang saham, kerjasama
perdagangan, dan badan hukum lainnya termasuk perusahaan asing yang
berkegiatan di Indonesia.
b) Penilaian pajak tahunan dihitung menurut sistem fiktif. Pendapatan secara total
yang diperoleh dari berbagai sumber sejak tanggal 1 Januari setiap tahun digunakan
sebagai jumlah pendapatan yang nyata apabila wajib pajak tidak mempunyai
sumber pendapatan reguler. Peningkatan atau penurunan pendapatan selama tahun
takwim tidak dijadikan sebagai patokan.
c) Penghasilan wanita menikah disatukan dengan penghasilan suaminya, kecuali di
mana pasangan tersebut tinggal secara terpisah atau mengatur kekayaan terpisah.
Tahun 1932-1983
Personal Income Tax Ordinance of 1932 (Ordonansi Pajak Pendapatan 1932 = Ordonantie
op de Inkomstenbelasting 1932) pada tahun 1932. Kemudian diganti menjadi Ordonansi
Pajak Pendapatan 1944 bernama Pajak Perang (Oorlogsbelasting). Sejak 1 Januari 1946
diubah menjadi Pajak Peralihan (Overgangsbelasting). kemudian dengan Undang-undang
No.21 tahun1957 (LN No.41 tahun195) nama Ordonansi tersebut dengan resmi menjadi
Ordonansi Pajak Pendapatan 1944. Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 ini dalam bentuk
aslinya disiapkan di Australia oleh pemerintah Hindia Belanda dalam pelarian, sewaktu
Indonesia diduduki Jepang. Ditetapkan bahwa Subyek Pendapatan adalah Orang Pribadi,
dan badan. Sedangkan Obyek pajaknya adalah pendapatan bersih. Mulai berlaku sejak 1
Januari 1945. Pada saat yang bersamaan maka Ordonantie op de Inkomstenbelasting

1932 dinyatakan tidak berlaku. Perubahan-perubahan maupun tambahan-tambahan yang


prinsipil berturut-turut dilakukan oleh pemerintah sejak 1960, terakhir UU no.9 tahun 1970.
Tahun 1984
Undang-Undang No.7 tahun 1983 tentang PPh yang disyahkan tanggal 31 Desember 1983,
dan berlaku pada tanggal 1 Januari 1984. Kemudian ada perubahan atas Undang-Undang
No.7 Tahun
1983, yaitu disyahkannya Undang-Undang No.7 Tahun 1991 tentang Pajak Penghasilan.
Tahun 1994 telah lahir pula Undang-Undang No.10 Tahun 1994 tentang perubahan atas
Undang-Undang No.7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang No.7 tahun 1991. Terakhir dirubah lagi dengan UU No.17 tahun 2000 yang mulai
berlaku tanggal 1 Januari 2001.

Pengertian Pajak, Retribusi, dan Sumbangan


Pengertian Pajak
Dalam memahami mengapa seseorang harus membayar pajak untuk membiayai
pembanguan yang terus dilaksanakan, maka perlu dipahami terlebih dahulu akan pngertian
dari pajak itu sendiri. Seperti diketahui bahwa negara dala menyelenggarakan pemerintahan
mempunyai kewajiban untuk menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang
kesejahteraan, keamanan, pertahanan, maupun kecerdasan kehidupannya. Hal ini sesuai
dengan tujuan negara yang dicantumkan di dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea
keempat yang berbunyi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial.

Dari uraian di atas tampak bahwa karena kepentingan rakyat, negara memerlukan dana
untuk kepentingan tersebut. Dana yang akan dikeluarkan ini tentunya didapat dari rakyat itu
sendiri melalui pemungutan yang disebut dengan pajak. Pemungutan pajak haruslah
terlebih dahulu disetujui oleh rakyatnya sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 23 ayat 2
Undang-Undang Dasar 2945 yang menegaskan agar setiap pajak yang akan dipungut
haruslah berdasarkan undang-undang. Pemungutan pajak yang harus berlandaskan undangundang ini berarti pemungutan pajak tersebut telah mendapat persetujuan dari rakyatnya
melalui perwakilannya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang biasa disebut berasaskan
yuridis. Dengan asas ini berarti telah memberikan jaminan hukum yang tegas akan hak
negara dalam pemungutan pajak.
Untuk mengetahui apa arti pajak, Santoso Brotodiharjo, S.H., dalam bukunya Pengantar
Ilmu Hukum Pajak mengemukakan beberapa pendapat pakar tentang definisi pajak yang
beberapa di antaranya dalam kutipan sebagai berikut:
1. Mr. Dr. N. J. Feldmann
Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada Penguasa,
(menurut norrma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dann semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran
umum.
2. Prof. Dr. M.J.H. Smeets
Pajak adalah prestasi kepada Pemerintah yang terutang melalui norma-norma
umum, dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra-prestasi yang dapat
ditunjukkan dalam hal yang individual; maksudnya adalah untuk membiayai
pengeluaran pemerintah. Smeets mengakui bahwa definisinya hanya menonjolkan
fungsi budgeter saja; baru kemudian ia menambahkan fungsi mengatur pada
definisinya.
3. Dr. Soeparman Soemahamidjaja
Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh Penguasa
berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang
dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.
Ia mencantumkan istilahh Iuran Wajib dengan harapan terpenuhinya ciri bahwa
pajak dipungut dengan bantuan dari dan kerja sama dengan Wajib Pajak, sehingga

perlu pula dihindari pengunaan istilah paksaan. Selanjutnya ia berpendapat terlalu


berlebihan kalau khusus mengenai pajak ditekankan pentingnya unsur paksaan
karena dengan mencantumkan unsur paksaann seakan-akan tidak ada kesadaran
masyarakat untuk melakukan kewajibannya.
4. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H.
Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa-timbal (kontra-prestasi), yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum.
Rochmat Soemitro menjelaskan bahwa unsur dapat dipaksakan artinya bahwa
apabila utang pajak tidak dibayar, maka utang pajak tersebut dapat ditagih dengan
menggunakan kekerasan seperti dengan mengeluarkan surat paksa dan melakukan
penyitaan bahkan bisa dengan melakukan penyaderaan. Sedangkan terhadap
pembayaran pajak tersebut tidak dapat ditunjukkan jasa-timbal-balik tertentu,
seperti halnya dengan retribusi.

Dari 4 (empat) pengertian pajak di atas, dapat disimpulkan bahwa ada lima unsur yang
melekat dalam pengertian pajak, yaitu:
1. Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang;
2. Sifatnya dapat dipaksakan;
3. Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh
pembayar pajak;
4. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun
daerah (tidak boleh dipungut oleh swasta); dan
5. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah (rutin
dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.
Sifat pemungutan pajak yang dapat dipaksakan dapat dijelaskan bahwa uang yang
dikumpulkan dari pajak akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pembangunan serta
pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Supaya ada kepastian dalam proses
pengumpulannya dan berjalannya pembangunan secara berkesinambungan, maka sifat
pemaksaannya harus ada dan rakyat itu sendiri telah menyetujuinya dalam bentuk undang-

undang. Unsur pemaksaan di sini berarti apabila Wajib Pajak tidak mau membayar pajak,
pemerintah dapat melakukan upaya paksa dengan mengeluarkan suatu surat paksa agar
Wajib Pajak mau melunasi utang pajaknya.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa swasta tidak diperbolehkan melakukan pungutan
pajak? Pertanyaan ini dapat dijawab bahwa yang menjalankan roda pembangunan dan
pelayanan kepada masyarakat adalah pemerintah (baik pusat maupun daerah). Pemerintah
dalam melaksanakan pembangunan tidak berorientasi untuk mencari keuntungan,
sedangkan swasta dalam melakukan kegiatan itu berorientasi untuk mencari profit. Selain
itu, apa yang telah dilakukan pemerintah selalu dipertanggungjawabkan kepada rakyat pada
kurun waktu tertentu. Uang dikumpulkan dari pajak dan pengeluarannya dilakukan melalui
mekanisme kontrol setiap tahun yang dikenal dengan nama APBN/APBD. Dari format
APBN/APBD dapat diketahui untuk keperluan apa saja uang pajak digunakan.

Peran dan Fungsi Pajak dalam Pembangunan


Peran Pajak dalam Pembangunan
Hampir dalam setiap proyek pembangunan yang dilaksankan oleh pemerintah selalu
didengungkan bahwa proyek yang dibangun dibiayai dari dana pajak yang telah
dikumpulkan dari masyarakat. Untuk itu, diharapkan masyarakat juga menjaga proyek yang
ada untuk dapat dipakai bagi kepentingan bersama. Berkaitan dengan itu sudah selayaknya
apabila setiap individu dalam masyarakat dapat memahami dan mengerti akan arti dan
pentingnya peran pajak dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam APBN yang dibuat oleh pemerintah terdapat tiga
sumber penerimaan yang menjadi pokok andalan, yaitu:
a. Penerimaan dari sektor pajak;
b. Penerimaan dari sektor migas (minyak dan gas bumi); dan
c. Penerimaan dari sektor bukan pajak

Dari ketiga sumber penerimaan di atas, penerimaan dari sektor pajak ternyata merupakan
salah satu sumber penerimaan terbesar negara. Dari tahun ke tahun dapat dilihat bahwa
penerimaan pajak terus meningkat dan memberi andil yang besar dalam penerimaan negara.
Penerimaan dari sektor pajak selalu dikatakan merupakan primadona dalam membiayai
pembangunan nasional. Sedangkan penerimaan dari migas, yang dahulu selalu menjadi
andalan penerimaan negara, sekarang ini sudah tidak bisa diharapkan sebagai sumber
penerimaan keuangan negara yang terus-menerus karena sifatnya yang tidak bisa diperbarui
(non-renewable resources). Penerimaan migas pada suatu waktu akan habis sedangkan dari
pajak selalu dapat diperbarui sesuai dengan perkembangan ekonomi dan masyarakat itu
sendiri.
Sebagai gambaran, di bawah ini disajikan perbandingan besarnya sumber penerimaan
negara dari sektor pajak, dibandingkan dengan penerimaan dari sektor migas dalam kurun
waktu satu dasawarsa terakhir dari tahun 1989/1990 sampai dengan 1999/2000.
(dalam miliar rupiah)
Tahun

Volume

Pajak

Migas

Persentase

Persentase

(1)

APBN

(3)

(4)

(3:2)=(5)

(4:2)=(6)

1989/1990

(2)
39.834,5

16.084,1

13.381,3

40,37

33,59

1990/1991

50.574,5

22.010,9

17.740,0

43,52

35,07

1991/1992

52.557,1

24.919,3

15.069,6

47,41

28,67

1992/1993

59.960,5

30.091,5

15.330,8

50,18

25,56

1993/1994

66.865,6

36.665,1

12.503,4

54,38

18,69

1994/1995

76.225,8

44.442,1

13.537,4

58,28

17,75

1995/1996

82.022,7

48.686,3

16.054,7

59,35

19,5

1996/1997

99.530,4

57.339,9

20.137,1

57,61

20,23

1997/1998

126.661,1

70.934,2

30.559,0

56,00

24,12

1998/1999

207.711,6

102.299,0

41.368,3

49,25

19,91

1999/2000

219.603,8

94.739,7

20.965,6

43,14

9,54

Sumber: Nota Keuangan APBN 1989/1990 sampai dengan 1999/2000 Dep. Keuangan.
Dengan melihat data di atas, terlihat bahwa sumber penerimaan pajak menunjukkan
penerimaan yang sangat besar atau dapat dkatakan hampir mencapai separuh dari volume
penerimaan APBN. Sekalipun demikian, bukan berarti sumber lainnya tidak terlalu penting,
tetapi posisi pajak teramat penting sebagai salah satu sumber penerimaan negara.
Data di atas menunjukkan bahwa peran penerimaan pajak dalam mengisi kas APBN dalam
rangka pembangunan nasional amat penting dan sangat strategis. Besarnya peranan pajak
yang demikian kiranya perlu ditanamkan dalam diri setiap orang agar dalam pelaksanaan
pembayaran pajak yang telah dilakukan dapat menjadi satu kebangaan tersendiri karena
telah memberikan konstribusinya dalam pembangunan nasional. Melihat pada ciri kelima
dari pengertian pajak sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dapat dikatakan bahwa
peranan pajak sangat diperlukan dalam rangka pembangunan.

Fungsi Pajak
Dalam literatur pajak sering disebutkan bahwa fungsi pajak ada dua yaitu fungsi budgeter
dan fungsi regulerend. Namun dalam perkembangannya fungsi pajak tersebut dapat
dikembangkan dan ditambah dua fungsi lagi yaitu fungsi demokrasi dan fungsi redistribusi.
Fungsi budgeter adalah fungsi yang letaknya di sektor publik yaitu fungsi untuk
mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan undang-undang berlaku
yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara,
yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan dan bila ada sisa (surplus) akan
digunakan sebagai tabungan pemerintah untuk investasi pemerintah.
Sedangkan fungsi regulerend adalah suatu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut akan
digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar
bidang keuangan. Fungsi Regulerend ini umumnya dapat dilihat di dalam sektor swasta.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Dr. Soemitro Djojohadikusumo dengan
Fiscal Policy sebagai suatu alat pembangunan yang haru smempunyai satu tujuan yang

bersamaan secara langsung menemukan dana-dana yang akan digunakan untuk public
investment dan secara tidak langsung digunakan untuk menyalurkan private saving ke arah
sektor-sektor yang produktif, maupun digunakan untuk mencegah pengeluaran-pengeluaran
yang menghambat pembangunan.
Fungsi demokrasi dari pajak adalah suatu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan
atau wujud sistem gotong-royong termasuk kegiatan pemerintahaan dan pembangunan
demi kemaslahatan manusia. Fungsi demokrasi pada masa sekarang ini sering dikaitkan
dengan hak seseorang apabila akan memperoleh pelayanan dari pemerintah. Apabila
seseorang telah melakukan kewajibannya membayar pajak kepada negara sesuai ketentuan
yang berlaku, maka ia mempunyai hak pula untuk mendapatkan pelayanan yang baik,
pembayar pajak bisa melakukan protes (complaint) terhadap pemerintah dengan
mengatakan bahwa ia telah membayar pajak, mengapa tidak mendapatkan pelayanan yang
semestinya. Fungsi pajak yang terakhir adalah fungsi redistribusi yaitu fungsi yang lebih
menekankan pada unsur pemerataan dan keadilan pada masyarakat. Hal ini dapat terlihat
misalnya dengan adanya tarif progresif yang mengenakan pajak lebih besar kepada
masyarakat yang mempunyai penghasilan besar dan pajak yang lebih kecil kepada
masyarakat yang mempunyai penghasilan yang lebih kecil.
Fungsi pajak ketiga dan keempat di atas sering kali disebut sebagai fungsi tambahan karena
fungsi ketiga dan keempat bukan merupakan tujuan utama dalam pemungutan pajak. Akan
tetapi dengan perkembangan masyarakat modern fungsi ketiga dan keempat menjadi fungsi
yang juga sangat penting, tidak bisa dipisahkan, dalam rangka kemaslahatan manusia serta
keseimbangan dalam mewujudkan hak dan kewajiban masyarakat.
Berkaitan dengan fungsi pajak di atas, khususnya untuk fungsi budgeter,tampak jelas jika
dilihat data sebagaimana dimaksud pada pendahuluan, di mana peran pajak yang sangat
strategis dalam kurun waktu 10 tahun terakhir tampak didominasi oleh penerimaan pajak.
Bahkan dalam kurun waktu enam tahun terakhir secara berturut-turut sejak tahun
1992/1993 sampai dengan tahun 1997/1998 persentase peran pajak telah mencapai di atas

50% dari volume penerimaan APBN. Sedangkan peran migas hanya mencapai di bawah
30% dari volume APBN.

CIRI-CIRI YANG MELEKAT PADA PENGERTIAN PAJAK


Ciri-ciri pajak yang tersimpul dalam berbagai definisi (selain definisi Dr. Soeparman yang
memang membuka ide baru) itu sebagai berikut:
a) Pajak peralihan kekayaan dari orang/badan ke pemerintah
b) Pajak dipungut berdasarkan/dengan kekuatan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya, sehingga dapat dipaksakan
c) Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi langsung
secara individual yang diberikan oleh pemerintah
d) Pajak dipungut oleh negra baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
e) Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari
pemasukannya masih terdapat surplus, digunakan untuk membiayai public
investment
f) Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari pemerintah
g) Pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung
Apabila suatu peraturan menimbulkan berbagai penafsiran menurut pendapat mereka
yang membacanya, maka yang berwenang memutuskan penafsiran adalah hakim karena
hakim yang berwenang memutuskan keadilan atas suatu kasus bila terjadi sengketa
yang diajukan ke pengadilan. Penafsiran (interpretasi) hukumyang juga digunakan
dalam lapangan hukum pajak sebagai alat untuk mencoba memahami undang-undang
yang berlaku, penafsiran-penafsiran tersebur adalah sebagai berikut:
a) Penafsiran Historis
Penafsiran historis adalah penafsiran atas suatu undang-undang dengan melihat
pada sejarah dibuatnya suatu undang-undang. Misalnya dokumen rapat
pembahasan antara pemerintah dengan DPR yang dibuat secara resmi baik oleh
pemerintah maupun pemerintah dengan DPR. Dengan penafsiran historis dapat
diketahui maksud dari pembuatan undang-undang
b) Penafsiran Sosiologis

Penafsiran sosiologis adalah penafsiran atas suatu tentuan dalam undang-undang


yang disesuaikan dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Penafsiran
sosiologis akan menyebabkan penyesuaian antara undang-undang tertulis
dengan perkembangan (perubahan) kehidupan suatu masyarakat.

c) Penafsiran Sistematik
Penafsiran sistematik penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang dan
mengaitkannya dengan ketentuan (pasal-pasal) lain dari undang-undang
dimaksud (dalam satu undang-undang) atau dengan mengaitkannya dengan
ketentuan (pasal-pasal) lain dari undang-undang lain.
d) Penafsiran Otentik
Penafsiran otentik adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang
dengan melihat pada apa yang telah dijelaskan dalm undang-undang tersebut.
Biasanya dalam suatu diatundang-undang terdapat sustu pasal mengenai
ketentuan umum yang isinya menjelaskan arti atau maksud dari ketentuan yang
telah diatur. Ketentuan umum demikian sering disebut terminologi yang
maksudnya untuk menjelaskan pengertian yang akan menjadi acuan jika
terdapat pengertian dalam sustu pasal yang tidak dimengerti. Terminologi inilah
yang dimaksud dengan penafsiran otentik.
e) Penafsiran Tata Bahasa
Penafsiran tata bahasa adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undangundang yang mendasarkan pada bunyi kata-kata secara keseluruhan dalam
kalimat-kalimat yang disusun oleh pembuat undang-undang. Penafsiran tata
bahasa ini cukup penting, sebab apabila kata-kata dalam kalimat suatu pasal
dalam undang-undang telah jelas maksudnya, maka tidak boleh lagi
dipergunakan cara-cara penafsiran lain.
f) Penafsiran Analogis
Penafsiran analogis adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undangundang dengan cara member kiasan (analog) pada kata-kata yang tercantum

dalam undang-undang, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak


termasuk dalam suatu ketentuan menjadi termasuk berdasarkan analog yang
dibuat. Penafsiran analogis ini tidak boleh dipakai dalam undang-undang pajak
karena dapat merugikan wajib pajak dan

tidak adanya kepastian hukum

terhadap suatu peristiwa yang terjadi.


g) Penafsiran A. Contrario
Penafsiran A. Contrario adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalm undangundang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara suatu peristiwa
yang terjadi dengan peristiwa yang sudah diatur dalam suatu ketentuan undangundang. Seperti halnya penafsiran analogis, penafsiran A. Contrario dalam
lapangan hukum pajak juga tidak diperbolehkan karena akan merugikan wajib
pajak dan menimbulkan ketidakpastian dalam hukum yang sudah jelas
pengaturannya.

Penerimaan

negara

merupakan

pemasukan

yang

diperoleh

negara untuk membiayai dan menjalankan setiap program-program


pemerintahan, sedangkan sumber-sumber penerimaan negara berasal
dari berbagai sektor, dimana semua hasil penerimaan tersebut akan
digunakan

untuk

membiayai

pembangunan

dan

meningkatkan

kesejahtraan seluruh rakyat Indonesia.


Berdasarkan

Undang-Undang

No.17

Tahun

2003

tentang

Keuangan Negara dan Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang


Perbendaharaan Negara bahwa pendapatan negara adalah semua
penerimaan

negara

yang

berasal

dari

penerimaan

perpajakan,

penerimaan negara bukan pajak, serta penerimaan hibah dari dalam


negeri dan luar negeri.
Dalam melaksanakan pembangunan, negara memerlukan dana yang tidak sedikit
sebagai syarat mutlak agar pembangunan dapat berhasil. Oleh karena itu, negara

membutuhkan sumber-sumber penerimaan yang terdiri dari bumi, air, kekayaan alam,
pajak-pajak, bea, cukai, hasil perusahaan negara, penerimaan negara bukan pajak, dan
sumber-sumber lain.
Penerimaan negara yang paling potensial adalah dari peneriman pajak. Dapat
dikatakan setiap tahunnya penerimaan negara dari sektor pajak mengalami kenaikan.
Pada dasarnya penerimaan negara didapat dari masyarakat dan semestinya digunakan
lagi bagi kepentingan masyarakat pada umumnya.Pada awalnya masyarakat awam
hanya mengetahui penerimaan negara hanya pada sektor pajak saja, dan dalam hal ini
kita akan menjelaskan mengenai sumber-sumber ataupun jenis-jenis penerimaan negara
dari beberapa sektor.

Penerimaan

negara

merupakan

pemasukan

yang

diperoleh

negara untuk membiayai dan menjalankan setiap program-program


pemerintahan, sedangkan sumber-sumber penerimaan negara berasal
dari berbagai sektor, dimana semua hasil penerimaan tersebut akan
digunakan

untuk

membiayai

pembangunan

dan

meningkatkan

kesejahtraan seluruh rakyat Indonesia. Pengelompokan sumber-sumber


penerimaan negara sebagai berikut.

Sumber-sumber Penerimaan Negara


Pajak
-

Pajak merupakan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah


(pusat/daerah) terhadap wajib pajak tertentu berdasarkan undangundang (pemungutannya dapat dipaksakan) tanpa ada imbalan
langsung bagi pembayarnya.

Jenis pajak di Indonesia:

Pajak Pusat:

Pajak Daerah:

Pajak Pusat:
-

Pajak Penghasilan (PPh)

Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN)

Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn-BM)

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Bea Meterai

Bea Masuk

Cukai

Pajak Ekspor

Jenis pajak di Indonesia:


Pajak Daerah:
-

Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)

Pajak Hotel dan Restoran (PHR)

Pajak Reklame

Pajak Hiburan

Pajak Bahan Bakar

Retribusi

Retribusi

merupakan

pemerintah

pungutan

(pusat/daerah)

yang

berdasarkan

dilakukan

oleh

undang-undang

(pemungutannya dapat dipaksakan) di mana pemerintah


memberikan imbalan langsung bagi pembayarnya.

Contoh, pelayanan medis di rumah sakit milik pemerintah,


pelayanaan perpakiran oleh pemerintah, pembayaran uang
sekolah, dll

Keuntungan BUMN/BUMD

Sebagai

pemilik

BUMN,

pemerintah

pusat

berhak

memperoleh bagian laba yang diperoleh BUMN.

Demikian pula dengan BUMD, pemerintah daerah sebagai


pemilik BUMD berhak memperoleh bagian laba BUMD.

Denda dan Sita

Pemerintah berhak memungut denda atau menyita asset


milik

masyarakat,

apabila

masyarakat

(individu/kelompok/organisasi) diketahui telah melanggar


peraturan pemerintah

Misalnya: denda pelanggaran lalulintas, denda ketentuan


peraturan

perpajakan,

penyitaan

barang-barang

illegal,

penyitaan jaminan atas hutang yang tidak tertagih, dll

Pencetakan Uang

Pencetakan uang umumnya dilakukan pemerintah dalam


rangka

menutup

defisit

anggaran,

apabila

tidak

ada

alternatif lain yang dapat ditempuh pemerintah.

Penentuan besarnya jumlah uang yang dicetak harus


dilakukan dengan cermat, agar pencetakan uang tidak
menimbulkan inflasi

Pinjaman

Pinjaman

pemerintah

merupakan

sumber

penerimaan

negara, yang dilakukan apabila terjadi defisit anggaran.

Pinjaman pemerintah dikemudian hari akan menjadi beban


pemerintah,

karena

pinjaman

tersebut

harus

dibayar

kembali, berikut dengan bunganya.

Pinjaman dapat diperoleh dari dalam maupun luar negeri

Sumber

pinjaman

bisa

berasal

pemerintah,

institusi

perbankan, institusi non bank, maupun individu

Sumbangan, Hadiah, Dan Hibah

Sumbangan, hadiah, dan hibah dapat diperoleh pemerintah


dari individu, institusi, atau pemerintah

Sumbangan, hadiah, dan hibah dapat diperoleh dari dalam


maupun luar negeri

Tidak ada kewajiban pemerintah untuk mengembalikan


sumbangan, hadiah, atau hibah.

Sumbangan,

hadiah,

dan

hibah

bukan

penerimaan

pemerintah yang dapat dipastikan perolehannya. Tergantung


kerelaan dari pihak yang memberi sumbangan, hadiah, atau
hibah

Penyelenggaraan Undian Berhadiah

Pemerintah
dengan

dapat

menyelenggarakan

menunjuk

suatu

institusi

undian

berhadiah

tertentu

sebagai

penyelenggara

Jumlah

yang

diterima

pemerintah

adalah

selisih

dari

penerimaan uang undian dikurangi dengan biaya operasi


dan besarnya hadiah yang dibagikan.

Banyak negara menyelenggarakan undian berhadiah, seperti


Amerika

Serikat,

Kanada,

Australia,

Jepang,

Jerman,

penerimaan

negara

Indonesia (pernah).
Berdasarkan

institusi

yang

menanganinya,

dibedakan menjadi:

Penerimaan Pemerintah Pusat

Penerimaan Pemerintah Daerah Propinsi

Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

Penerimaan Pemerintah Pusat

Penerimaan Pembiayaan

Pinjaman sektor Perbankan

Pinjaman luar negeri

Penjualan Obligasi Pemerintah

Privatisasi BUMN

Penjualan aset pemerintah

Penerimaan Negara dan Hibah

Penerimaan Dalam Negeri

Penerimaan perpajakan

Penerimaan bukan pajak (PNBP)

Bagian laba BUMN

Lain-lain penerimaan yang sah

Penerimaan Pemerintah Daerah Propinsi

Penerimaan Pembiayaan, terdiri dari:

Pinjaman dari Pemerintah Pusat

Pinjaman dari Pemerintah Daerah Otonom Lainnya

Pinjaman dari BUMN/BUMD

Pinjaman dari Bank/Lembaga non Bank

Pinjaman dari Luar Negeri

Penjualan Aset Daerah


Penerbitan Obligasi Daerah

Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang terdiri dari:


Pajak Daerah
Retribusi Daerah
Bagian laba BUMD
PAD lainnya yang sah, yang terdiri dari pendapatan
hibah,

pendapatan

dana

darurat,

dan

lain-lain

pendapatan.

Pendapatan dari Dana Perimbangan, terdiri dari:


Bagian daerah dari PBB dan BPHTB
Bagian daerah dari Pajak Penghasilan Wajib Pajak
Perseorangan/Pribadi
Bagian daerah dari Sumber daya alam
Bagian daerah dari Dana Alokasi Umum
Bagian daerah dari Dana Alokasi Khusus

Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

Penerimaan Pembiayaan, terdiri dari:


Pinjaman dari Pemerintah Pusat
Pinjaman dari Pemerintah Daerah Otonom Lainnya

Pinjaman dari BUMN/BUMD


Pinjaman dari Bank/Lembaga non Bank
Pinjaman dari Luar Negeri
Penjualan Aset Daerah
Penerbitan Obligasi Daerah

A. Bumi, Air, dan Kekayaan Alam


Pasal 33 UUD 1945 mengatur bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran
rakyat yang sebesar-besarnya. Selanjutnya Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Pokok
Agraria menegaskan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa. Bumi, air, dan ruang angkasa milik bangsa Indonesia merupakan kekayaan
nasional.
Yang termasuk pengertian menguasai adalah mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaannya, menentukan dan mengatur
yang dapat dimiliki atas bagian dari bumi, air, dan ruang angkasa, serta mengatur
hubungan hukum antara subjek hukum dan pembuatan-pembuatan hukum mengenai
bumi, air, dan ruang angkasa. Negara hanya menguasai bumi, air, dan ruang angkasa.
Sehingga, dapat dipahami bahwa negara tidak dapat menjual tanah kepada pihak swasta.
Contoh penerimaan negara dari kekayaan alam adalah minyak dan gas bumi.

B. Pajak-Pajak, Bea, dan Cukai


1. Pajak

Pajak adalah sumber terpenting dari penerimaan negara. APBN tahun 2010, 64 %
anggaran penerimaan dari pajak. Dari tahun ke tahun penerimaan pajak terus
meningkat dan memberi andil yang besar dalam penerimaan pajak.
Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan
tata cara perpajakan Indonesia yang telah disempurnakan dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007, pajak adalah iuran wajib yang dibayar oleh wajib pajak
berdasarkan norma-norma hukum untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
kolektif guna meningkatkan kesejahteraan umum yang balas jasanya tidak diterima
secara langsung.
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang digunakan untuk
melaksanakan pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pajak dipungut dari
warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan
penagihannya. Pembangunan nasional Indonesia pada dasarnya dilakukan oleh
masyarakat bersama-sama pemerintah. Oleh karena itu peran masyarakat dalam
pembiayaan pembangunan harus terus ditumbuhkan dengan meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang kewajibannya membayar pajak. Berdasarkan APBD tahun 2011
sektor pajak daerah memiliki peran yang semakin besar karena akan digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Peran
pajak sangatlah penting bagi penerimaan kas Negara. Hal ini dapat dilihat dari tabel
APBD 2011.
Pajak merupakan alternatif yang sangat potensial. Sebagai salah satu sumber
penerimaan Negara yang sangat potensial, sektor pajak merupakan pilihan yang
sangat tepat, selain karena jumlahnya yang relatif stabil juga merupakan cerminan
partisipasi aktif masyarakat dalam membiayai pembangunan. Jenis pungutan di
Indonesia terdiri dari pajak Negara (pajak pusat), pajak daerah, retribusi daerah, bea
dan cukai dan penerimaan Negara bukan pajak. Salah satu 2 pos Penerimaan Asli
Daerah (PAD) dalam anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) adalah pajak
daerah.
Pajak yang paling penting terdiri dari Pajak Penghasilan dan Pajak
Pertambahan Nilai.

2. Bea
Bea Masuk : Bea yang dipungut dari jumlah harga barang yang dimasukkan ke
daerah pabean dengan maksud untuk dipakai dan dikenakan bea menurut tarif
tertentu.
Bea Keluar : Bea yang dipungut dari jumlah harga barang-barang tertentu yang
dikirim keluar daerah Indonesia, dan dihitung berdasarkan tarif tertentu
3. Cukai
Cukai adalah pungutan yang dikenakan atas barang barang tertentu berdasarkan
tarif yang sudah ditetapkan untuk masing-masing jenis barang tertentu. Cukai tidak
dikenakan atas semua barang. Barang barang yang dikenakan cukai antara lain adalah
Tembakaudan minuman keras.
C. Penerimaan Negara Bukan Pajak (Non-Tax)
Dalam pasal 2 UU No. 20 Tahun 1997 terdapat tujuh jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP), yaitu:
a. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah yang terdiri:
- Penerimaan jasa giro,
- Penerimaan sisa anggaran pembangunan (SIAP) dan sisa anggaran rutin (SIAR)
b. Penerimaan dari pemanfaatan SDA terdiri:
- Royalti bidang perikanan,
- Royalti bidang kehutanan,
- Royalti bidang pertambangan, kecuali Migas.
Royalti adalah pembayaran yang diterima oleh negara sehubungan dengan
pemberian izin atau fasilitas kepada pihak lain untuk pemanfaatan atau mengolah
kekayaan negara.
c. Penerimaan dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan dari:
- Bagian laba pemerintah,
- Hasil penjualan saham pemerintah,
- Deviden: Pembayaran berupa keuntungan yang diterima oleh negara sehubungan
dengan keikutsertaan mereka selaku pemegang saham dalam suatu perusahaan.
d. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilakukan pemerintah, terdiri:
- Pelayanan pendidikan,
- Pelayanan kesehatan,
- Pemberian hak paten, hak cipta, dan merk.

e. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan, yang terdiri:


- Lelang barang,
- Denda,
- Hasil rampasan yang diperoleh dari kejahatan.
f. Penerimaan berupa hibah.
g. Penerimaan lain yang diatur dengan UU.
D. Hasil Perusahaan Negara
Yang tergolong dalam perusahaan negara adalah semua perusahaan yang
modalnya merupakan kekayaan negara dengan tidak melihat bentuknya. Selain itu, ada
perusahaan negara yang berada dalam lapangan hukum perdata yang berbentuk PT yang
sahamnya seluruhnya berada di tangan pemerintah atau kementerian yang bersangkutan.
E. Sumber-Sumber Lain
Yang termasuk sumber-sumber lain ialah pencetakan uang (deficit spending).
Pemerintah Indonesia pernah melaksanakannya dalam rangka memenuhi kebutuhan
akan investasi negara untuk membiayai pembangunan yang tercermin dalam Anggaran
Belanja dan Pembangunan.
Sumber lainnya dari penerimaan negara adalah Pinjamam Negara, baik dari dalam
negeri maupun luar negeri. Pinjaman dalam negeri ada dua, yakni pinjaman jangka
pendek dan pinjaman jangka panjang. Pinjaman jangka pendek dengan cara pemberian
pembukaan uang muka oleh Bank Indonesia kepada pemerintah sebelum penerimaan
negara masuk ke kas negara. Pemberian uang muka ini untuk mencegah kevakuman
dalam rangka pemerintah melakukan pengeluaran-pengeluaran. Pinjaman jangka
panjang dilaksanakan dengan cara menerbitkan obligasi berjangka waktu. Penjualan
obligasi untuk membiayai pembangunan.
Pinjaman luar negeri terdiri dari dua macam:
1. Bantuan Program, yaitu bantuan keuangan yang diterima dari luar negeri berupa
devisa kredit. Devisa kredit ini kemudian dirupiahkan dan akan digunakan untuk
pembiayaan pembangunan.
2. Bantuan Proyek, yaitu bantuan kredit yang diterima pemerintah dari negara donor
berupa peralatan dan mesin-mesin untuk membangun proyek tertentu, misal proyek
tenaga listrik, jembatan, jalanan, pelabuhan, telekomunikasi, dan irigasi.

DAFTAR PERTANYAAN DAN JAWABAN PRESENTASI KELOMPOK 1


MANAJEMEN E TENTANG SEJARAH PAJAK DAN SUMBER PENERIMAAN
NEGARA
Nama Kelompok :

Ervan Islami

(14.641.0324)

Fiqi Dwi P

(14.641.0279)

Hanifatul Nikmah

(14.641.0305)

Rendy Riyan Dika

(14.641.0325)

Yusuf Hasyim

(14.641.0347)

Pertanyaan Audien :

1. Novi Suci Rahmadani 14.641.0354


Soal :
Indonesia membeli barang keluar negeri itu peraturannya ikut indonesia atau luar
negeri ?
Jawaban :
Ikut peraturan Indonesia yang diatur dalam undang undang perpajakan
2. Prayogo Permadi 14.641.0276
Soal :
Berapa persen pajak yang diterima pemerintah BUMD dan BUMN. Jelaskan ?

Jawaban :
Undang- undang nomer 12 tahun 1985 dan 1994 sebesar 0,5 %
3. Erik Dwi Purnomo 14.641.0348
Soal :
Ada berapa jenis pajak pada masa kerajaan dan berapa jumlah pajak yang harus
diberikan ?
Jawaban :
Padamulanyapajakmerupakansuatuupeti (pemberiansecaracuma-cuma)
namunsifatnyamerupakansuatukewajiban yang dapatdipaksakan yang
harusdilaksanakanolehrakyat (masyarakat) kepadaseorang raja ataupenguasa. Saatitu,
rakyatmemberikanupetinyakepada raja ataupenguasaberbentuknaturaberupapadi,
ternak, atauhasiltanamanlainnyasepertipisang, kelapa, dan lain-lain. Pemberian yang
dilakukanrakyatsaatitudigunakanuntukkeperluanataukepentingan raja
ataupenguasasetempatdantidakadaimbalanatauprestasi yang
dikembalikankepadarakyatkarenamemangsifatnyahanyauntukkepentingansepihakdanse
olah-olahadatekanansecarapsikologiskarenakedudukan raja yang lebihtinggi status
sosialnyadibandingkanrakyat.

4. Ikka Suhardiningsih 14.641.0319


Soal :
Tolong jelaskan undang-undang tahun 1983 tentang ketentuan umum !
Jawaban :
bahwa Negara Republik Indonesia
adalahnegarahukumberdasarkanPancasiladanUndang-UndangDasar 1945 yang
menjunjungtinggihakdankewajibanwarganegara,

karenaitumenempatkanperpajakansebagaisalahsatuperwujudankewajibankenegaraan
bagi para warganya yang

merupakansaranaperansertadalampembiayaannegaradanpembangunannasional.
bahwasistemperpajakan yang
merupakanlandasanpelaksanaanpemungutanpajaknegara yang selamainiberlaku,
tidaksesuailagidengantingkatkehidupansosial-ekonomimasyarakat Indonesia
baikdalamsegikegotongroyongannasionalmaupundalamlajupembangunannasional

yang telahdicapai.
bahwasistemperpajakan yang tertuang di dalamketentuan-ketentuanperpajakan yang
berlakuselamainibelumdapatmenggerakkanperansertasemualapisansubyekpajak
yang
besarperanannyadalammeningkatkanpenerimaandalamnegeridansangatdiperlukangu

namewujudkankelangsungandanpeningkatanpembangunannasional.
bahwaolehkarenaitu, sesuai pula denganamanat yang terkandungdalamGarisgarisBesarHaluan Negara (KetetapanMajelisPermusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor II/MPR/1983), perludiadakanpembaharuansistemperpajakan yang
berlakudengansistem yang
memberikankepercayaankepadasubyekpajakuntukmelaksanakankewajibansertamem
enuhihaknya di bidangperpajakan,
sehinggadapatmewujudkanperluasandanpeningkatankesadarankewajibanperpajakan

sertameratakanpendapatanmasyarakat.
bahwauntukdapatmencapaimaksudtersebut di atas,
perludiadakanpembaharuandanpenggantianperaturanperundangundanganperpajakan yang selamainiberlaku.

Anda mungkin juga menyukai