Di susun oleh :
Sejarah Pajak
SEJARAH PEMUNGUTAN PAJAK
Pada tahun 509-27 SM di Roma ada beberapa pungutan yang diwajibkan kepada
rakyatnya, dengan sebutan seperti censor, questor dan jenis pungutan lainnya. Pajak
langsung (tributum) dipungut pada zaman perang terhadap penduduk Roma sampai tahun
167 SM. Setelah abad kedua penguasa Roma mengandalkan pajak tidak langsung yang
disebut vegtigalia, seperti portoria yakni pungutan atas penggunaan pelabuhan.
Di zaman Julius Caesar dikenal centesima rerum venalium yakni sejenis pajak
penjualan dengan tarif 1% dari omzet penjualan. Di Italia dikenal decumae, yakni pungutan
sebesar 10% dari para petani atau penguasa tanah. Setiap penduduk di Italia, termasuk
penduduk Roma sendiri dikenakan pajak langsung (tributum) yang tetap. Di Mesir,
pembuatan piramida pada akhirnya dilakukan dalam bentuk kerja paksa, yang pada
mulanya adalah suatu bentuk pengabdian dan sifatnya sukarela dari rakyat Mesir. Pada
abad ke-14 di Spanyol dikenal dengan istilah alcabala, salah satu bentuk pajak penjualan.
Di benua Amerika, setelah benua tersebut menjadi koloni Inggris, penduduk koloni
mempunyai kewajiban membayar berbagai pungutan kepada pemerintah kolonial Inggris,
yang dikemudian waktu menjadi penyebab Revolusi Amerika, yaitu setelah diundangundangkannya The Stamp act (1765) dan The Townshend Act (1767). The Stamp Act
merupakan undang-undang yang mewajibkan setiap penduduk koloni tersebut untuk
membayar pajak atas pembelian koran, kartu judi, dadu, dan akte perkawinan. The
Townshend Act merupakan pemungutan terhadap teh, kertas, cat, dan kartu.
PERKEMBANGAN PEMUNGUTAN PAJAK
Pajak pada mulanya dibayar secara natura, yaitu hasil pertanian, hasil hutan dan hasil
perkebunan serta barang tambang mulia seperti emas dan perak. Selain itu juga pajak dapat
dibayar dengan tenaga, yaitu dengan melakukan pekerjaan tanpa diberi imbalan. Kemudian
sejalan dengan perkembangan waktu pajak dibayar dengan uang. Di seluruh dunia telah
mengakui bahwa pajak merupakan sumber utama penerimaan negara dan sebagai alat
UU Pajak penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No.2 tahun 1968
UU no.21 Tahun 1959 tentangpajak deviden yang diubah dengan UU No.10 Tahun
1967 tentang pajak atas bunga, deviden, dan royalty
UU No.19 tahun 1959 tentang penagihan pajak Negara dengan surat Paksa
UU no.8 Tahun 1967 tentang tata cara pemungutan PPd, PKK dan PPs atau Tata
cara MPS-MPO.
Terlalu banyak undangan-undangan yang dikeluarkan mengakibatkan masyarakat
Undang-Undang No.6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP);
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 1983
TENTANG
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a.
bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara,
karena itu menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban
kenegaraan bagi para warganya yang merupakan sarana peran serta dalam pembiayaan
negara dan pembangunan nasional;
b.
c.
d.
bahwa oleh karena itu, sesuai pula dengan amanat yang terkandung dalam Garisgaris Besar Haluan Negara (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor II/MPR/1983), perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan yang
berlaku dengan sistem yang memberikan kepercayaan kepada subyek pajak untuk
melaksanakan kewajiban serta memenuhi haknya di bidang perpajakan, sehingga dapat
mewujudkan perluasan dan peningkatan kesadaran kewajiban perpajakan serta
meratakan pendapatan masyarakat;
e.
bahwa untuk dapat mencapai maksud tersebut di atas, perlu diadakan pembaharuan
dan penggantian peraturan perundang-undangan perpajakan yang selama ini berlaku;
Undang-Undang No.8 Tahun 1983 Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang Dan Jasa
Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN Dan PPnBM);
Undang-Undang No.12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan (UU PBB);
Pada tahun 1994, empat dari kelima UU tersebut pada tahun 1994 mengalami perubahan
dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu dengan UU, yaitu sebagai berikut :
Kemudian pada tahun 1997 pemerintah membuat beberapa undang-undang yang berkaitan
dengan masalah perpajakan untuk mendukung undang-undang yang sudah ada, yaitu :
UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan.
Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus menerus dan untuk
memberikan rasa keadilan dan pelayanan kepada Wajib Pajak, maka pada tahun 2000
pemerintah kembali mengadakan perubahan terhadap UU Perpajakan yang dibuat pada
tahun 1983 yang selengkapnya seperti dibawah ini.
UU Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan No.16 Tahun 2000 Diubah Dengan
UU No.28 Tahun 2007,Mulai Berlaku 1 Januari 2008. Lalu KUP Ini Pun
Mengalami Perubahan Lagi Dengan UU No.16 Tahun 2009 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ke4
Atas UU No.6 Tahun 1983 Tentang KUP.
UU Pph No.17 Tahun 2000 Diubah Dengan UU No.36 Tahun 2008 Berlaku Mulai 1
Januari 2009.
UU Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah No.18 Tahun 2000 Diubah Dengan UU No.42 Tahun 2009 Mulai Berlaku 1
April 2010.
itu maka mereka harus membayar sewa tanah (land rent) dengan natura secara tetap kepada
penguasa.
Tahun 1945 1951
Pajak Bumi semula pelaksanaan pemungutannya dengan cara lama digunakan secara
penuh. Kemudian Pajak Bumi di wilayah negara Republik Indonesia dengan pusat
pemerintahan di Yogyakarta dihapus, sedangkan di wilayah federal Pajak Bumi terus
berlaku. 1951 Pajak Bumi di negara Republik Indonesia dihapus, diganti dengan UndangUndang No.14 tahun 1951, yaitu
Pajak Penghasilan atas Tanah Pertanian (PPTP).
Tahun 1951 - 1959
UU No.14 tahun 1951, melahirkan Jawatan Pendaftaran dan Pajak Penghasilan Tanah Milik
Indonesia (P3TMI). Tugasnya adalah melakukan pendaftaran atas tanah-tanah milik adat
yang ada di Indonesia. Namun karena P3TMI ini ternyata dianggap hanya mengurus
pendaftaran tanah saja, maka namanya diubah lagi menjadi Jawatan Pendaftaran Tanah
Milik Indonesia (PTMI). Tugasnya yaitu menjadikan tugas yang sama seperti yang diatas
ditambah kewenangan untuk mengeluarkan Surat Pendaftaran Sementara terhadap tanah
milik yang sudah terdaftar.
Tahun 1959 - 1985
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPU) No.11 Tahun 1959 tentang
Pajak Hasil Bumi telah ditetapkan menjadi Undang-Undang yaitu Undang-Undang No.1
Tahun 1961. Jawatan yang mengelola Pajak Hasil Bumi dirubah menjadi Direktorat Pajak
Hasil Bumi. Sesuai dengan SK Menteri Iuran Negara PMPPU 1-1-3 29 November 1965,
Direktorat Pajak Hasil Bumi diubah namanya menjadi Direktorat Iuran Pembangunan
daerah (DIT-IPEDA). Pajak Hasil Bumi (PHB) menjadi Iuran Pembangunan Daerah
(IPEDA). Pengenaan Iuran pembangunan daerah dilakukan terhadap tanahtanah di
pedesaan, perkotaan, perhutanan, perkebunan dan pertambangan.
The Reseived ordinance on the Income Tax of 1920. Pendapatan menurut pengertian
ordonansi ini adalah jumlah keseluruhan yang diterima baik dalam bentuk uang atau yang
dapat dinilai dengan uang yang diperoleh dari barang-barang bergerak atau tidak gerak,
atau dari kegiatan perdagangan atau pekerjaan keilmuan atau pekerjaan lain, baik yang
dikerjakan sekali-sekali atau secara kontinyu; kegiatan kantor perusahan, pelayanan, dan
dari keruntungan lain yang diperoleh setelah dikurangi ongkos-ongkos pengeluaran.
Prinsip-prinsip dalam UU Pajak Pendapatan:
a) Pajak diterapkan pada perseorangan, badan, pemegang saham, kerjasama
perdagangan, dan badan hukum lainnya termasuk perusahaan asing yang
berkegiatan di Indonesia.
b) Penilaian pajak tahunan dihitung menurut sistem fiktif. Pendapatan secara total
yang diperoleh dari berbagai sumber sejak tanggal 1 Januari setiap tahun digunakan
sebagai jumlah pendapatan yang nyata apabila wajib pajak tidak mempunyai
sumber pendapatan reguler. Peningkatan atau penurunan pendapatan selama tahun
takwim tidak dijadikan sebagai patokan.
c) Penghasilan wanita menikah disatukan dengan penghasilan suaminya, kecuali di
mana pasangan tersebut tinggal secara terpisah atau mengatur kekayaan terpisah.
Tahun 1932-1983
Personal Income Tax Ordinance of 1932 (Ordonansi Pajak Pendapatan 1932 = Ordonantie
op de Inkomstenbelasting 1932) pada tahun 1932. Kemudian diganti menjadi Ordonansi
Pajak Pendapatan 1944 bernama Pajak Perang (Oorlogsbelasting). Sejak 1 Januari 1946
diubah menjadi Pajak Peralihan (Overgangsbelasting). kemudian dengan Undang-undang
No.21 tahun1957 (LN No.41 tahun195) nama Ordonansi tersebut dengan resmi menjadi
Ordonansi Pajak Pendapatan 1944. Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 ini dalam bentuk
aslinya disiapkan di Australia oleh pemerintah Hindia Belanda dalam pelarian, sewaktu
Indonesia diduduki Jepang. Ditetapkan bahwa Subyek Pendapatan adalah Orang Pribadi,
dan badan. Sedangkan Obyek pajaknya adalah pendapatan bersih. Mulai berlaku sejak 1
Januari 1945. Pada saat yang bersamaan maka Ordonantie op de Inkomstenbelasting
Dari uraian di atas tampak bahwa karena kepentingan rakyat, negara memerlukan dana
untuk kepentingan tersebut. Dana yang akan dikeluarkan ini tentunya didapat dari rakyat itu
sendiri melalui pemungutan yang disebut dengan pajak. Pemungutan pajak haruslah
terlebih dahulu disetujui oleh rakyatnya sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 23 ayat 2
Undang-Undang Dasar 2945 yang menegaskan agar setiap pajak yang akan dipungut
haruslah berdasarkan undang-undang. Pemungutan pajak yang harus berlandaskan undangundang ini berarti pemungutan pajak tersebut telah mendapat persetujuan dari rakyatnya
melalui perwakilannya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang biasa disebut berasaskan
yuridis. Dengan asas ini berarti telah memberikan jaminan hukum yang tegas akan hak
negara dalam pemungutan pajak.
Untuk mengetahui apa arti pajak, Santoso Brotodiharjo, S.H., dalam bukunya Pengantar
Ilmu Hukum Pajak mengemukakan beberapa pendapat pakar tentang definisi pajak yang
beberapa di antaranya dalam kutipan sebagai berikut:
1. Mr. Dr. N. J. Feldmann
Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada Penguasa,
(menurut norrma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dann semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran
umum.
2. Prof. Dr. M.J.H. Smeets
Pajak adalah prestasi kepada Pemerintah yang terutang melalui norma-norma
umum, dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra-prestasi yang dapat
ditunjukkan dalam hal yang individual; maksudnya adalah untuk membiayai
pengeluaran pemerintah. Smeets mengakui bahwa definisinya hanya menonjolkan
fungsi budgeter saja; baru kemudian ia menambahkan fungsi mengatur pada
definisinya.
3. Dr. Soeparman Soemahamidjaja
Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh Penguasa
berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang
dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.
Ia mencantumkan istilahh Iuran Wajib dengan harapan terpenuhinya ciri bahwa
pajak dipungut dengan bantuan dari dan kerja sama dengan Wajib Pajak, sehingga
Dari 4 (empat) pengertian pajak di atas, dapat disimpulkan bahwa ada lima unsur yang
melekat dalam pengertian pajak, yaitu:
1. Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang;
2. Sifatnya dapat dipaksakan;
3. Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh
pembayar pajak;
4. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun
daerah (tidak boleh dipungut oleh swasta); dan
5. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah (rutin
dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.
Sifat pemungutan pajak yang dapat dipaksakan dapat dijelaskan bahwa uang yang
dikumpulkan dari pajak akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pembangunan serta
pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Supaya ada kepastian dalam proses
pengumpulannya dan berjalannya pembangunan secara berkesinambungan, maka sifat
pemaksaannya harus ada dan rakyat itu sendiri telah menyetujuinya dalam bentuk undang-
undang. Unsur pemaksaan di sini berarti apabila Wajib Pajak tidak mau membayar pajak,
pemerintah dapat melakukan upaya paksa dengan mengeluarkan suatu surat paksa agar
Wajib Pajak mau melunasi utang pajaknya.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa swasta tidak diperbolehkan melakukan pungutan
pajak? Pertanyaan ini dapat dijawab bahwa yang menjalankan roda pembangunan dan
pelayanan kepada masyarakat adalah pemerintah (baik pusat maupun daerah). Pemerintah
dalam melaksanakan pembangunan tidak berorientasi untuk mencari keuntungan,
sedangkan swasta dalam melakukan kegiatan itu berorientasi untuk mencari profit. Selain
itu, apa yang telah dilakukan pemerintah selalu dipertanggungjawabkan kepada rakyat pada
kurun waktu tertentu. Uang dikumpulkan dari pajak dan pengeluarannya dilakukan melalui
mekanisme kontrol setiap tahun yang dikenal dengan nama APBN/APBD. Dari format
APBN/APBD dapat diketahui untuk keperluan apa saja uang pajak digunakan.
Dari ketiga sumber penerimaan di atas, penerimaan dari sektor pajak ternyata merupakan
salah satu sumber penerimaan terbesar negara. Dari tahun ke tahun dapat dilihat bahwa
penerimaan pajak terus meningkat dan memberi andil yang besar dalam penerimaan negara.
Penerimaan dari sektor pajak selalu dikatakan merupakan primadona dalam membiayai
pembangunan nasional. Sedangkan penerimaan dari migas, yang dahulu selalu menjadi
andalan penerimaan negara, sekarang ini sudah tidak bisa diharapkan sebagai sumber
penerimaan keuangan negara yang terus-menerus karena sifatnya yang tidak bisa diperbarui
(non-renewable resources). Penerimaan migas pada suatu waktu akan habis sedangkan dari
pajak selalu dapat diperbarui sesuai dengan perkembangan ekonomi dan masyarakat itu
sendiri.
Sebagai gambaran, di bawah ini disajikan perbandingan besarnya sumber penerimaan
negara dari sektor pajak, dibandingkan dengan penerimaan dari sektor migas dalam kurun
waktu satu dasawarsa terakhir dari tahun 1989/1990 sampai dengan 1999/2000.
(dalam miliar rupiah)
Tahun
Volume
Pajak
Migas
Persentase
Persentase
(1)
APBN
(3)
(4)
(3:2)=(5)
(4:2)=(6)
1989/1990
(2)
39.834,5
16.084,1
13.381,3
40,37
33,59
1990/1991
50.574,5
22.010,9
17.740,0
43,52
35,07
1991/1992
52.557,1
24.919,3
15.069,6
47,41
28,67
1992/1993
59.960,5
30.091,5
15.330,8
50,18
25,56
1993/1994
66.865,6
36.665,1
12.503,4
54,38
18,69
1994/1995
76.225,8
44.442,1
13.537,4
58,28
17,75
1995/1996
82.022,7
48.686,3
16.054,7
59,35
19,5
1996/1997
99.530,4
57.339,9
20.137,1
57,61
20,23
1997/1998
126.661,1
70.934,2
30.559,0
56,00
24,12
1998/1999
207.711,6
102.299,0
41.368,3
49,25
19,91
1999/2000
219.603,8
94.739,7
20.965,6
43,14
9,54
Sumber: Nota Keuangan APBN 1989/1990 sampai dengan 1999/2000 Dep. Keuangan.
Dengan melihat data di atas, terlihat bahwa sumber penerimaan pajak menunjukkan
penerimaan yang sangat besar atau dapat dkatakan hampir mencapai separuh dari volume
penerimaan APBN. Sekalipun demikian, bukan berarti sumber lainnya tidak terlalu penting,
tetapi posisi pajak teramat penting sebagai salah satu sumber penerimaan negara.
Data di atas menunjukkan bahwa peran penerimaan pajak dalam mengisi kas APBN dalam
rangka pembangunan nasional amat penting dan sangat strategis. Besarnya peranan pajak
yang demikian kiranya perlu ditanamkan dalam diri setiap orang agar dalam pelaksanaan
pembayaran pajak yang telah dilakukan dapat menjadi satu kebangaan tersendiri karena
telah memberikan konstribusinya dalam pembangunan nasional. Melihat pada ciri kelima
dari pengertian pajak sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dapat dikatakan bahwa
peranan pajak sangat diperlukan dalam rangka pembangunan.
Fungsi Pajak
Dalam literatur pajak sering disebutkan bahwa fungsi pajak ada dua yaitu fungsi budgeter
dan fungsi regulerend. Namun dalam perkembangannya fungsi pajak tersebut dapat
dikembangkan dan ditambah dua fungsi lagi yaitu fungsi demokrasi dan fungsi redistribusi.
Fungsi budgeter adalah fungsi yang letaknya di sektor publik yaitu fungsi untuk
mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan undang-undang berlaku
yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara,
yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan dan bila ada sisa (surplus) akan
digunakan sebagai tabungan pemerintah untuk investasi pemerintah.
Sedangkan fungsi regulerend adalah suatu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut akan
digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar
bidang keuangan. Fungsi Regulerend ini umumnya dapat dilihat di dalam sektor swasta.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Dr. Soemitro Djojohadikusumo dengan
Fiscal Policy sebagai suatu alat pembangunan yang haru smempunyai satu tujuan yang
bersamaan secara langsung menemukan dana-dana yang akan digunakan untuk public
investment dan secara tidak langsung digunakan untuk menyalurkan private saving ke arah
sektor-sektor yang produktif, maupun digunakan untuk mencegah pengeluaran-pengeluaran
yang menghambat pembangunan.
Fungsi demokrasi dari pajak adalah suatu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan
atau wujud sistem gotong-royong termasuk kegiatan pemerintahaan dan pembangunan
demi kemaslahatan manusia. Fungsi demokrasi pada masa sekarang ini sering dikaitkan
dengan hak seseorang apabila akan memperoleh pelayanan dari pemerintah. Apabila
seseorang telah melakukan kewajibannya membayar pajak kepada negara sesuai ketentuan
yang berlaku, maka ia mempunyai hak pula untuk mendapatkan pelayanan yang baik,
pembayar pajak bisa melakukan protes (complaint) terhadap pemerintah dengan
mengatakan bahwa ia telah membayar pajak, mengapa tidak mendapatkan pelayanan yang
semestinya. Fungsi pajak yang terakhir adalah fungsi redistribusi yaitu fungsi yang lebih
menekankan pada unsur pemerataan dan keadilan pada masyarakat. Hal ini dapat terlihat
misalnya dengan adanya tarif progresif yang mengenakan pajak lebih besar kepada
masyarakat yang mempunyai penghasilan besar dan pajak yang lebih kecil kepada
masyarakat yang mempunyai penghasilan yang lebih kecil.
Fungsi pajak ketiga dan keempat di atas sering kali disebut sebagai fungsi tambahan karena
fungsi ketiga dan keempat bukan merupakan tujuan utama dalam pemungutan pajak. Akan
tetapi dengan perkembangan masyarakat modern fungsi ketiga dan keempat menjadi fungsi
yang juga sangat penting, tidak bisa dipisahkan, dalam rangka kemaslahatan manusia serta
keseimbangan dalam mewujudkan hak dan kewajiban masyarakat.
Berkaitan dengan fungsi pajak di atas, khususnya untuk fungsi budgeter,tampak jelas jika
dilihat data sebagaimana dimaksud pada pendahuluan, di mana peran pajak yang sangat
strategis dalam kurun waktu 10 tahun terakhir tampak didominasi oleh penerimaan pajak.
Bahkan dalam kurun waktu enam tahun terakhir secara berturut-turut sejak tahun
1992/1993 sampai dengan tahun 1997/1998 persentase peran pajak telah mencapai di atas
50% dari volume penerimaan APBN. Sedangkan peran migas hanya mencapai di bawah
30% dari volume APBN.
c) Penafsiran Sistematik
Penafsiran sistematik penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang dan
mengaitkannya dengan ketentuan (pasal-pasal) lain dari undang-undang
dimaksud (dalam satu undang-undang) atau dengan mengaitkannya dengan
ketentuan (pasal-pasal) lain dari undang-undang lain.
d) Penafsiran Otentik
Penafsiran otentik adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang
dengan melihat pada apa yang telah dijelaskan dalm undang-undang tersebut.
Biasanya dalam suatu diatundang-undang terdapat sustu pasal mengenai
ketentuan umum yang isinya menjelaskan arti atau maksud dari ketentuan yang
telah diatur. Ketentuan umum demikian sering disebut terminologi yang
maksudnya untuk menjelaskan pengertian yang akan menjadi acuan jika
terdapat pengertian dalam sustu pasal yang tidak dimengerti. Terminologi inilah
yang dimaksud dengan penafsiran otentik.
e) Penafsiran Tata Bahasa
Penafsiran tata bahasa adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undangundang yang mendasarkan pada bunyi kata-kata secara keseluruhan dalam
kalimat-kalimat yang disusun oleh pembuat undang-undang. Penafsiran tata
bahasa ini cukup penting, sebab apabila kata-kata dalam kalimat suatu pasal
dalam undang-undang telah jelas maksudnya, maka tidak boleh lagi
dipergunakan cara-cara penafsiran lain.
f) Penafsiran Analogis
Penafsiran analogis adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undangundang dengan cara member kiasan (analog) pada kata-kata yang tercantum
Penerimaan
negara
merupakan
pemasukan
yang
diperoleh
untuk
membiayai
pembangunan
dan
meningkatkan
Undang-Undang
No.17
Tahun
2003
tentang
negara
yang
berasal
dari
penerimaan
perpajakan,
membutuhkan sumber-sumber penerimaan yang terdiri dari bumi, air, kekayaan alam,
pajak-pajak, bea, cukai, hasil perusahaan negara, penerimaan negara bukan pajak, dan
sumber-sumber lain.
Penerimaan negara yang paling potensial adalah dari peneriman pajak. Dapat
dikatakan setiap tahunnya penerimaan negara dari sektor pajak mengalami kenaikan.
Pada dasarnya penerimaan negara didapat dari masyarakat dan semestinya digunakan
lagi bagi kepentingan masyarakat pada umumnya.Pada awalnya masyarakat awam
hanya mengetahui penerimaan negara hanya pada sektor pajak saja, dan dalam hal ini
kita akan menjelaskan mengenai sumber-sumber ataupun jenis-jenis penerimaan negara
dari beberapa sektor.
Penerimaan
negara
merupakan
pemasukan
yang
diperoleh
untuk
membiayai
pembangunan
dan
meningkatkan
Pajak Pusat:
Pajak Daerah:
Pajak Pusat:
-
Bea Meterai
Bea Masuk
Cukai
Pajak Ekspor
Pajak Reklame
Pajak Hiburan
Retribusi
Retribusi
merupakan
pemerintah
pungutan
(pusat/daerah)
yang
berdasarkan
dilakukan
oleh
undang-undang
Keuntungan BUMN/BUMD
Sebagai
pemilik
BUMN,
pemerintah
pusat
berhak
masyarakat,
apabila
masyarakat
perpajakan,
penyitaan
barang-barang
illegal,
Pencetakan Uang
menutup
defisit
anggaran,
apabila
tidak
ada
Pinjaman
Pinjaman
pemerintah
merupakan
sumber
penerimaan
karena
pinjaman
tersebut
harus
dibayar
Sumber
pinjaman
bisa
berasal
pemerintah,
institusi
Sumbangan,
hadiah,
dan
hibah
bukan
penerimaan
Pemerintah
dengan
dapat
menyelenggarakan
menunjuk
suatu
institusi
undian
berhadiah
tertentu
sebagai
penyelenggara
Jumlah
yang
diterima
pemerintah
adalah
selisih
dari
Serikat,
Kanada,
Australia,
Jepang,
Jerman,
penerimaan
negara
Indonesia (pernah).
Berdasarkan
institusi
yang
menanganinya,
dibedakan menjadi:
Penerimaan Pembiayaan
Privatisasi BUMN
Penerimaan perpajakan
pendapatan
dana
darurat,
dan
lain-lain
pendapatan.
Pajak adalah sumber terpenting dari penerimaan negara. APBN tahun 2010, 64 %
anggaran penerimaan dari pajak. Dari tahun ke tahun penerimaan pajak terus
meningkat dan memberi andil yang besar dalam penerimaan pajak.
Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan
tata cara perpajakan Indonesia yang telah disempurnakan dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007, pajak adalah iuran wajib yang dibayar oleh wajib pajak
berdasarkan norma-norma hukum untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
kolektif guna meningkatkan kesejahteraan umum yang balas jasanya tidak diterima
secara langsung.
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang digunakan untuk
melaksanakan pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pajak dipungut dari
warga Negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan
penagihannya. Pembangunan nasional Indonesia pada dasarnya dilakukan oleh
masyarakat bersama-sama pemerintah. Oleh karena itu peran masyarakat dalam
pembiayaan pembangunan harus terus ditumbuhkan dengan meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang kewajibannya membayar pajak. Berdasarkan APBD tahun 2011
sektor pajak daerah memiliki peran yang semakin besar karena akan digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Peran
pajak sangatlah penting bagi penerimaan kas Negara. Hal ini dapat dilihat dari tabel
APBD 2011.
Pajak merupakan alternatif yang sangat potensial. Sebagai salah satu sumber
penerimaan Negara yang sangat potensial, sektor pajak merupakan pilihan yang
sangat tepat, selain karena jumlahnya yang relatif stabil juga merupakan cerminan
partisipasi aktif masyarakat dalam membiayai pembangunan. Jenis pungutan di
Indonesia terdiri dari pajak Negara (pajak pusat), pajak daerah, retribusi daerah, bea
dan cukai dan penerimaan Negara bukan pajak. Salah satu 2 pos Penerimaan Asli
Daerah (PAD) dalam anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) adalah pajak
daerah.
Pajak yang paling penting terdiri dari Pajak Penghasilan dan Pajak
Pertambahan Nilai.
2. Bea
Bea Masuk : Bea yang dipungut dari jumlah harga barang yang dimasukkan ke
daerah pabean dengan maksud untuk dipakai dan dikenakan bea menurut tarif
tertentu.
Bea Keluar : Bea yang dipungut dari jumlah harga barang-barang tertentu yang
dikirim keluar daerah Indonesia, dan dihitung berdasarkan tarif tertentu
3. Cukai
Cukai adalah pungutan yang dikenakan atas barang barang tertentu berdasarkan
tarif yang sudah ditetapkan untuk masing-masing jenis barang tertentu. Cukai tidak
dikenakan atas semua barang. Barang barang yang dikenakan cukai antara lain adalah
Tembakaudan minuman keras.
C. Penerimaan Negara Bukan Pajak (Non-Tax)
Dalam pasal 2 UU No. 20 Tahun 1997 terdapat tujuh jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP), yaitu:
a. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah yang terdiri:
- Penerimaan jasa giro,
- Penerimaan sisa anggaran pembangunan (SIAP) dan sisa anggaran rutin (SIAR)
b. Penerimaan dari pemanfaatan SDA terdiri:
- Royalti bidang perikanan,
- Royalti bidang kehutanan,
- Royalti bidang pertambangan, kecuali Migas.
Royalti adalah pembayaran yang diterima oleh negara sehubungan dengan
pemberian izin atau fasilitas kepada pihak lain untuk pemanfaatan atau mengolah
kekayaan negara.
c. Penerimaan dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan dari:
- Bagian laba pemerintah,
- Hasil penjualan saham pemerintah,
- Deviden: Pembayaran berupa keuntungan yang diterima oleh negara sehubungan
dengan keikutsertaan mereka selaku pemegang saham dalam suatu perusahaan.
d. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilakukan pemerintah, terdiri:
- Pelayanan pendidikan,
- Pelayanan kesehatan,
- Pemberian hak paten, hak cipta, dan merk.
Ervan Islami
(14.641.0324)
Fiqi Dwi P
(14.641.0279)
Hanifatul Nikmah
(14.641.0305)
(14.641.0325)
Yusuf Hasyim
(14.641.0347)
Pertanyaan Audien :
Jawaban :
Undang- undang nomer 12 tahun 1985 dan 1994 sebesar 0,5 %
3. Erik Dwi Purnomo 14.641.0348
Soal :
Ada berapa jenis pajak pada masa kerajaan dan berapa jumlah pajak yang harus
diberikan ?
Jawaban :
Padamulanyapajakmerupakansuatuupeti (pemberiansecaracuma-cuma)
namunsifatnyamerupakansuatukewajiban yang dapatdipaksakan yang
harusdilaksanakanolehrakyat (masyarakat) kepadaseorang raja ataupenguasa. Saatitu,
rakyatmemberikanupetinyakepada raja ataupenguasaberbentuknaturaberupapadi,
ternak, atauhasiltanamanlainnyasepertipisang, kelapa, dan lain-lain. Pemberian yang
dilakukanrakyatsaatitudigunakanuntukkeperluanataukepentingan raja
ataupenguasasetempatdantidakadaimbalanatauprestasi yang
dikembalikankepadarakyatkarenamemangsifatnyahanyauntukkepentingansepihakdanse
olah-olahadatekanansecarapsikologiskarenakedudukan raja yang lebihtinggi status
sosialnyadibandingkanrakyat.
karenaitumenempatkanperpajakansebagaisalahsatuperwujudankewajibankenegaraan
bagi para warganya yang
merupakansaranaperansertadalampembiayaannegaradanpembangunannasional.
bahwasistemperpajakan yang
merupakanlandasanpelaksanaanpemungutanpajaknegara yang selamainiberlaku,
tidaksesuailagidengantingkatkehidupansosial-ekonomimasyarakat Indonesia
baikdalamsegikegotongroyongannasionalmaupundalamlajupembangunannasional
yang telahdicapai.
bahwasistemperpajakan yang tertuang di dalamketentuan-ketentuanperpajakan yang
berlakuselamainibelumdapatmenggerakkanperansertasemualapisansubyekpajak
yang
besarperanannyadalammeningkatkanpenerimaandalamnegeridansangatdiperlukangu
namewujudkankelangsungandanpeningkatanpembangunannasional.
bahwaolehkarenaitu, sesuai pula denganamanat yang terkandungdalamGarisgarisBesarHaluan Negara (KetetapanMajelisPermusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor II/MPR/1983), perludiadakanpembaharuansistemperpajakan yang
berlakudengansistem yang
memberikankepercayaankepadasubyekpajakuntukmelaksanakankewajibansertamem
enuhihaknya di bidangperpajakan,
sehinggadapatmewujudkanperluasandanpeningkatankesadarankewajibanperpajakan
sertameratakanpendapatanmasyarakat.
bahwauntukdapatmencapaimaksudtersebut di atas,
perludiadakanpembaharuandanpenggantianperaturanperundangundanganperpajakan yang selamainiberlaku.