Anda di halaman 1dari 26

Laporan Kasus

DISPEPSIA

OLEH
NOVELMA AZMI
0808151253

Pembimbing :
dr. DANI ROSDIANA, SpPD

KEPANITRAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU
2012

BAB 1
PENDAHULUAN
Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam
praktek praktis sehari-hari. Diperkirakan hampir 30% kasus pada praktek umum
dan 60% pada praktek gastroenterologis merupakan kasus dispepsia. Dispepsia
berasal dari bahasa Yunani, dys yang berarti sulit , dan pepse yang berarti
pencernaan.2 Dispepsia adalah istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau
1

kumpulan gejala atau keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di
epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa,
regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada.1 Secara umum, dispepsia terdiri
dari dispepsia organik (40%), dimana terdapat lesi struktural mukosa
gastroduodenum dan dispepsia fungsional (60%), biasanya tidak ditemukan lesi
struktural mukosa gastroduodenum.3 Selain prevalensi dispepsia cukup tinggi,
keluhan tersebut sering kali mengganggu kualitas hidup penderita. Dispepsia
bukan suatu penyakit tapi merupakan suatu kumpulan gejala yang harus dicari
penyebabnya. 4
Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai
penyakit, tentunya termasuk pula penyakit pada lambung, yang diasumsikan oleh
orang awam sebagai penyakit maag/lambung. Penyakit hepato-pankreato-bilier
(hepatitis, pankreatitis kronik, kolesistitis kronik, dll) merupakan penyakit
tersering setelah penyakit yang melibatkan gangguan patologis pada esofagogastroduodenal (tukak peptik, gastritis, dll). Beberapa penyakit di luar sistem
gastrointestinal dapat pula bermanifestasi dalam bentuk sindrom dispepsia, seperti
gangguan kardiak (iskemia inferior/ infark miokard), penyakit tiroid, obat-obatan,
dan sebagainya.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan klasifikasi
Dispepsia merupakan kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri
atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang,
2

rasa perut penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada yang
menetap atau mengalami kekambuhan.2,7 Dalam konsensus Roma II tahun 2000,
disepakati bahwa definisi dispepsia adalah rasa tidak nyaman di daerah
epigastrium. Dispepsia bukan suatu penyakit tapi merupakan suatu kumpulan
gejala yang harus dicari penyebabnya.1
Dalam konsensus Roma II yang khusus membicarakan tentang kelainan
gastrointestinal fungsional, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai dispepsia
yang berlangsung sekurang-kurangnya 12 minggu, yang mana tidak perlu
berturut-turut dan dalam 12 bulan sebelumnya terdapat:1

Dispepsia yang menetap atau berulang (rekuren),

Tidak ada bukti dari adanya penyakit organik yang mungkin dapat
menjelaskan simptom.

Tidak ada bukti bahwa dispepsia semata-mata berhubungan dengan


gangguan defekasi atau diasosiasikan dengan perubahan frekuensi
defekasi atau bentuk feses (bukan irritable bowel).
Banyak

penyakit

yang

dapat

menyebabkan

sindroma

dispepsia.

Berdasarkan penyebabnya dispepsia dibagi menjadi dua, yaitu: 3,7


1. Dispepsia organik (40%), bila telah diketahui adanya kelainan organik
sebagai penyebabnya. Dispepsia organik ini bisa disebabkan oleh ulkus
peptikum, tumor gastrointestinal, iskemia intestinal kronik, penyakitpenyakit pankreatikobilier, dan akibat obat-obatan, termasuk NSAID
gastropathy.
2. Dispepsia nonorganik (60%) atau dispepsia fungsional atau dispepsia
nonulkus (DNU), bila tidak jelas penyebabnya. Diagnosis dispepsia
fungsional bisa ditegakkan bila dispepsia organik telah disingkirkan.

Konsensus Roma II membagi dispepsia fungsional berdasarkan gejalanya


ke dalam 3 subtipe, yaitu ulcer-like dyspepsia, dysmotility-like dyspepsia dan
unspecified (non-spesifik dyspepsia) dan dalam konsensus Roma III pembagian

dispepsia fungsional ini direvisi lagi menjadi 2 subtipe yaitu post prandial
distress syndrome dan epigastric pain syndrome.3
Dispepsia fungsional berdasarkan krieria Roma II dan Roma III
Roma II
Dispepsia fungsional
Berlangsung sekurang-kurangnya selama 12
minggu, dalam 12 bulan yang ditandai
dengan, :
- Gejala yang menetap atau berulang
(nyeri atau tidak nyaman yang berpusat
pada abdomen atas)
- Tidak ada bukti penyakit organik
(berdasarkan endoskopi)
- Tidak ada bukti bahwa dyspepsia
berkurang setelah defekasi atau
perubahan pola dan bentuk defekasi
a. Dispepsia like-ulcer
b. Dispepsia like-dysmotility
c. Dispepsia Unspecified

Roma III
Dispepsia fungsional
Kriteria diagnosis, termasuk didalamnya satu
atau lebih gejala dibawah ini, :
1. Rasa tidak nyaman setalah makan
2. Cepat merasa kenyang
3. Nyeri epigastrium
4. Rasa terbakar didaerah epigastrium
Dan tidak ada bukti penyakit struktural
(berdasarkan endoskopi) yang menyebabkan
gejala diatas.
a. Sindrom distress postprandial
Kriteria, :
1. Rasa tidak nyaman setalah makan
sehari-hari
sekurang-kurangnya
beberapa kali seminggu
2. Rasa cepat merasa kenyang setelah
makan sehari-hari sekurang-kurangnya
beberapa kali seminggu
Kriteria supportif, :
1. Terasa kembung pada perut atas atau
mual setelah makan atau sendawa yang
berlebihan
2. Bersama dengan nyeri epigastrik
b. Sindrom nyeri epigastrik
Kriteria, :
Nyeri atau rasa terbakar terlokalisir di
epigastrium
derajat
sedang
sekurangkurangnya sekali seminggu
1. Nyeri bersifat intermiten
2. Tidak menyebar ke region abdomen
lainnya atau region dada
3. Tidak berkurang setelah defekasi atau
flatus
4. Tidak memenuhi criteria gangguang
kandung empedu
Kriteria supportif, :
1. Nyeri dapat terasa seperti terbakar

tetapi tanpa nyeri retrosternal


2. Nyeri biasanya dipicu atau dihilangkan
dengan makanan tetapi timbul saat
puasa
3. Kadang-kadang timbul bersamaan
dengan sindrom postprondial

2.2 Epidemiologi
Dispepsia merupakan salah satu masalah pencernaan yang paling umum
ditemukan. Dialami sekitar 20%-30% populasi di dunia setiap tahun. 1,3
Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30% orang
dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Hanya sebagian kecil
terdokumentasi penyebab organiknya, sehingga diasumsikan sebagian besar
adalah dispepsia fungsional. Data di negara barat menunjukkan angka prevalensi
dispepsia berkisar 7-41%, tapi hanya 10-20% yang mencari pertolongan medis.
Angka insidens dispepsia diperkirakan antara 1-8%.1 Data Depkes tahun 2004
menempatkan dispepsia di urutan ke 15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien
rawat inap terbanyak di Indonesia dengan proporsi 1,3%. Pada dispepsia
fungsional, umur penderita dijadikan pertimbangan sering ditemukan pada usia
diatas 20 tahun sedangkan dispepsia organik seperti kasus keganasan sering
ditemukan pada usia diatas 45 tahun. Wanita lebih sering daripada laki-laki.2
2.3 Etiologi
Secara garis besar, penyebab sindroma dispepsia ini dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu kelompok penyakit organik dan gangguan fungsional.
5

Penyebab Dispepsia1
Esofago-gastro-duodenal

Tukak peptik, gastritis kronis, gastritis


NSAID, keganasan

Obat-obatan

Antiinflamasi non-steroid,
digitalis, antibiotik

Hepato-bilier

Hepatitis,
kolesistitis,
kolelitiasis,
keganasan, disfungsi sfingter Odii

Pankreas

Pankreatitis, keganasan

Penyakit sistemik lain

Diabetes melitus, penyakit tiroid, gagal


ginjal, kehamilan, penyakit jantung
koroner/iskemik

Gangguan fungsional

Dispepsia fungsional, irritable bowel


syndrome

teofilin,

2.4 Patofisiologi
Patofisiologi dari dispepsia organik tergantung dari penyakit organik yang
mendasarinya. Sedangkan pada dispepsia fungsional, proses patofisiologis yang
paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia
fungsional, yaitu: 1
a. Sekresi asam lambung
Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat sekresi
asam lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin
yang rata-rata normal. Diduga adanya sensitivitas mukosa lambung
terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.
b. Helicobacter pylori (Hp)
Peran Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya
dimengerti dan diterima. Dari berbagai laporan, kekerapan Hp pada
dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan
angka kekerapan Hp pada kelompok orang sehat.
c. Dismotilitas gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi
perlambatan pada pengosongan lambung dan adanya hipomotilitas antrum
(sampai 50% kasus), tapi harus dimengerti bahwa proses motilitas
gastrointestinal merupakan proses yang sangat kompleks sehingga
gangguan pengosongan lambung tidak dapat mutlak mewakili hal tersebut.
d. Ambang rangsang persepsi
6

Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi,


reseptor mekanik, dan nociceptor. Berdasarkan studi, tampaknya kasus
dispepsia ini mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap distensi balon
di gaster atau duodenum. Bagaimana mekanismenya belum dipahami.
Penelitian dengan menggunakan balon intragastrik mendapatkan hasil
pada 50% populasi dengan dispepsia fungsonal sudah timbul rasa nyeri
atau tidak nyaman di perut pada inflasi balon dengan volume yang lebih
rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada populasi
kontrol.
e. Disfungsi autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas
gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal
juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal
lambung waktu menerima makanan sehingga menimbulkan gangguan
akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.
f. Aktivitas mioelektrik lambung
Adanya
disritmia
mioelektrik
lambung

pada

pemeriksaan

elektrogastrografi dilaporkan terjadi pada beberapa kasus dispepsia


fungsional, tapi hal ini bersifat inkonsisten.
g. Hormonal
Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis dispepsia fungsional.
Dilaporkan adanya penurunan kadar motilin yang menyebabkan gangguan
motilitas antroduodenal.

Dalam beberapa percobaan, progesteron,

estradiol, dan prolaktin mempengaruhi kontraktilitas otot polos dan


memperlambat waktu transit gastroitestinal.
h. Diet dan faktor lingkungan
Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus
dispepsia fungsional dibandingan kasus kontrol.
i. Psikologis
Adanya stres akut dapat mempengaruh fungsi gastrointestinal dan
mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan
kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus
stres sentral. Korelasi antara faktor psikologis stres kehidupan, fungsi
autonom, dan motilitas tetap masih kontroversial. Tidak didapatkan
kepribadian yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini
7

dibandingan kelompok kontrol, walaupun dilaporkan dalam studi terbatas


adanya kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia, adanya sexual
abuse, atau adanya gangguan psikiatrik pada kasus dispepsia fungsional.
2.5 Anamnesis dan Pemeriksaan fisik
Anamnesis
Pasien dengan keluhan dispepsia

diperlukan

anamnesis

lengkap

diantaranya berapa sering terjadi keluhan dispepsia, sejak kapan terjadi keluhan,
adakah berkaitan dengan konsumsi makanan, konsumsi obat tertentu dan aktivitas
tertentu dapat menghilangkan keluhan atau memperberat keluhan, adakah nafsu
makan menghilang, muntah, muntah darah, BAB berdarah, batuk atau nyeri dada.
Pasien juga ditanya ada konsumsi obat obat tertentu, atau dalam masa
terdekat pernah operasi saluran cerna, ada riwayat penyakit ginjal, jantung atau
paru. Riwayat minum obat termasuk minuman yang mengandung alkohol dan
jamu yang dijual bebas di masyarakat. Hubungan dengan jenis makanan tertentu
perlu diperhatikan. Tanda dan gejala "alarm"(peringatan) seperti disfagia, berat
badan turun, nyeri menetap dan hebat, nyeri yang menjalar ke punggung, muntah
yang sangat sering, hematemesis, melena atau jaundice kemungkinan besar adalah
merupakan penyakit serius yang memerlukan pemeriksaan seperti endoskopi dan /
atau USG atau CTScan untuk mendeteksi struktur peptik, adenokarsinoma gaster
atau esophagus, penyakit ulkus, pankreatitis kronis atau keganasan pankreas
empedu.
Perlu ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan stresor psikososial
misalnya: masalah anak (meninggal, nakal, sakit, tidak punya), hubungan antar
manusia (orang tua, mertua,tetangga, adik ipar, kakak), hubungan suami-istri,
pekerjaan dan pendidikan (kegiatan rutin, penggusuran, pindah jabatan, tidak
naik pangkat). Hal ini berakibat eksaserbasi gejala pada beberapa orang.
Pasien ulkus peptikum biasanya berumur lebih dari 45 tahun, nyeri
berkurang dengan mencerna makanan tertentu atau antasid. Nyeri sering
membangunkan pasien pada malam hari banyak ditemukan pada ulkus duodenum.
Gejala esofagitis sering timbul pada saat berbaring dan membungkuk setelah
makan kenyang yaitu perasan terbakar pada dada, nyeri dada yang tidak
spesifik (bedakan dengan pasien jantung koroner), regurgitasi dengan gejala
perasaan asam pada mulut. Bila gejala dispepsia timbul segera setelah makan
biasanya didapatkan pada penyakit esofagus, gastritis erosif dan karsinoma.
8

Sebaliknya bila muncul setelah beberapa jam setelah makan sering terjadi pada
ulkus duodenum. Pasien dispepsia non ulkus lebih sering mengeluhkan gejala di
luar GI, ada tanda kecemasan atau depresi, atau mempunyai riwayat pemakaian
psikotropik.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra-abdomen atau
intra lumen yang padat misalnya tumor, organomegali, atau nyeri tekan sesuai
dengan adanya ransang peritoneal/peritonitis. Inspeksi pada distensi, asites, parut,
hernia yang jelas, ikterus, dan lebam. Auskultasi pada bunyi usus dan karekteristik
motilitasnya. Palpasi dan perkusi abdomen, perhatikan tenderness, nyeri,
pembesaran organ dan timpani. Pemeriksaan tanda vital bisa ditemukan takikardi
atau nadi yang tidak regular. Auskultasi bunyi gallop atau murmur di jantung.
Perhatikan dan lakukan pemeriksaan terhadap ektremitas, adakah terdapat edema
perifer dan dirasakan akral hangat atau dingin. Lakukan juga perabaan terhadap
kelenjar limfa.
Membedakan dispepsia organik dan dispepsia fungsional 1,4
Dispepsia Organik

Dispepsia Fungsional

Anamnesis
1. Adanya
penyakit
organik
yang
menyertai misalnya tukak peptik,
gastritis, batu kandung empedu, Ca
saluran cerna bagian atas
2. Adanya alarm symtoms seperti
Usia >55 tahun (new onset), disfagia
atau odinofagia yang progresif, rectal
bleeding or melena, ada riwayat
keluarga yang menderita kanker saluran
cerna bagian atas, berat badan turun
>10% berat badan normal, ada riwayat
keganasan atau operasi pada gaster, ada
riwayat ulkus peptikum, anoreksia/cepat
kenyang, jaundice, muntah yang
persisten, anemia atau bleeding, ada
massa di abdomen.
PF
Adanya
kelainan
intraabdomen
/intralumen yang padat/tumor, adanya
9

Anamnesis
1. Tanpa ada keluhan penyakit somatik/da
yang menyertai
2. Gejala sesuai dengan tipe dispepsia
- Dispepsia tipe ulkus yang domin
nyeri epigastrik
- Dispepsia tipe dismotilitas ya
dominan keluhan kembung, mu
muntah, rasa penuh dan ce
kenyang
- Dispepsia tipe non-spesifik, tid
ada keluhan yang dominan
PF
Tidak ditemukan kelainan intraabdom
organomegali
Pemeriksaan penunjang
Radiologi, endoskopi, dan laboratori
tidak ada kelainan dan dalam batas norma
3. Bersifat idiopatik
4. Berhubungan dengan faktor psikososial

organomegali, ditemukan adanya nyeri


tekan yang sesuai dengan rangsangan
peritoneal atau peritonitis
Pemeriksaan penunjang
Dengan
radiologi,endoskopi,
laboratorium memperlihatkan adanya
gangguan patologis

2.6 Diagnosis
Diagnosis dispepsia fungsional adalah diagnosis yang telah ditetapkan,
dimana pertama sekali penyebab kelainan organik atau struktural harus
disingkirkan melalui pemeriksaan. Pemeriksaan yang pertama dan banyak
membantu adalah pemeriksaan endoskopi. Oleh karena dengan pemeriksaan ini
dapat terlihat kelainan di oesophagus, lambung dan duodenum. Diikuti dengan
USG (Ultrasonography) dapat mengungkapkan kelainan pada saluran bilier,
hepar, pankreas, dan penyebab lain yang dapat memberikan perubahan anatomis.
Pemeriksaan hematologi dan kimia darah akan dapat mengungkapkan penyebab
dispepsia seperti diabetes, penyakit tyroid dan gangguan saluran bilier. Pada
karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa pertanda tumor.
2.7 Pemeriksaan penunjang
Pada dasarnya langkah pemeriksaan penunjang diagnostik adalah untuk
mengidentifikasi adanya gangguan organik. Pemeriksaan laboraturium, radiologi
dan endoskopi merupakan langkah yang paling penting.1 Pemeriksaan radiologi,
yaitu OMD dengan kontras ganda, serologi helicobacter pylori, USG abdomen,
dan urea breath test. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain
sebagai diagnostik sekaligus terapeutik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
dengan endoskopi adalah: 6
a. CLO (rapid urea test)
b. Patologi anatomi (PA)
c. Kultur mikroorganisme (MO) jaringan
d. PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian
Pemeriksaan endoskopi perlu dilakukan segera terutama pada pasien
dengan keluhan yang muncul pertama kali pada usia tua atau pasien dengan alarm
symptoms untuk menyingkirkan kausa organik pada pasien dispepsia.5
10

2.8 Penatalaksanaan
Strategi penatalaksanaan:2
a. Bila tidak ada alarm symptoms terapi empirik
b. Bila
ada
alarm
symptoms
segera

lakukan

pemeriksaan

esofagogastroduodenoskopi (EGD)
c. Tiap-tiap pasien mempunyai karakteristik dan keluhan tersendiri (tailor
made)
d. Terapi psikologis dan terapi edukasi penting untuk dispepsia fungsional
e. Kadang-kadang pada satu pasien terdapat overlap (dispepsia, GERD, IBS)

Gambar 1. Pendekatan dan penatalaksanaan dyspepsia

11

Gambar 2. Penatalaksanaan dyspepsia fungsional

Gambar 3. Penatalaksanaan Dispepsia Fungsional Tipe Ulkus

12

Gambar 4. Penatalaksanaan Dispepsia Fungsional Tipe Dismotilitas

1.

Terapi umum:7
A. Istirahat
B. Diet
a. Seimbang antara karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin
b. Jangan banyak pantangan
C. Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup pada pasien dengan dispepsia fungsional meliputi:2
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Makan dengan frekuensi yang sedikit


Berhenti merokok
Mengurangi minum alkohol
Mengurangi mengkonsumsi kafein
Menghindari makanan yang merangsang
Mempertahankan berat badan yang ideal
Review pengobatan
13

2. Medikamentosa:
Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:1
a. Antasid
Antasida merupakan obat yang paling umum dikonsumsi oleh pasien
dispepsia, tapi dalam studi metaanalisis, obat ini tidak lebih unggul
dibandingkan plasebo. Golongan obat ini mudah didapat dan murah.
Antasid akan menetralisir sekresi asam lambung. Antasid biasanya
mengandung Na bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat.
Pemberian antasid jangan terus-menerus, sifatnya hanya simtomatis, untuk
mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama,
juga berkhasiat adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis
besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2.
b. Antikolinergik
Kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak selektif yaitu pirenzepin
bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan seksresi
asam

lambung

sekitar

28-43%.

Pirenzepin

juga

memiliki

efek

sitoprotektif.
c. Antagonis reseptor H2
Obat ini juga umum diberikan pada pasien dispepsia. Umumnya
manfaatnya ditujukan untuk menghilangkan rasa nyeri ulu hati. Golongan
obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau
esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis
respetor H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin.
d. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari
proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI
adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
e. Sitoprotektif
Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2).
Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel
14

parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen,


yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi
mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk
lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar
lesi mukosa saluran cerna bagian atas (SCBA).
f. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia
fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan
memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance).
g. Psikoterapi
Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat
antidepresi dan antianxietas) pada pasien dengan dispepsia fungsional,
karena tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor
kejiwaan seperti cemas dan depresi.
2.9 Prognosis
Dispepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan
penunjang yang akurat mempunyai prognosis yang baik.1

15

BAB III
ILUSTRASI KASUS

Identitas Pasien
Nama

: Nn.S

Umur

: 15 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Pekerjaan

: Pelajar

Status

: Belum menikah

No. MR

: 74 92 80

Masuk RS

: 18 Desember 2012

ANAMNESIS (Auto-anamnesis)
16

Keluhan Utama
Nyeri ulu hati sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak 1 tahun SMRS pasien mulai sering merasakan nyeri ulu hati hilang
timbul dan tidak menjalar, mual (+), muntah tidak ada, perut terasa
kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh dan rasa tak nyaman bertambah
saat makan, demam (-), menggigil (-), nyeri menelan (-). Biasanya ketika
nyeri ulu hatinya kambuh pasien membeli obat di warung (Promag) dan
biasanya nyerinya hilang setelah minum obat tersebut. Pasien tidak ada
mengeluhkan nyeri dada ataupun rasa panas di dada. BAK tidak ada
keluhan, riwayat BAB berdarah atau berwarna hitam (-), riwayat muntah
hitam atau berdarah (-), penurunan berat badan (-). Pasien mengaku tidak

pernah mengkomsumsi obat-obatan pereda nyeri kepala atau nyeri sendi.


Sejak 1 bulan SMRS pasien merasakan nyeri ulu hatinya makin sering
kambuh dari sebelumnya. Nyeri terasa menyesak, disertai rasa mual,
kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh dan rasa tak nyaman bertambah
saat makan, demam(-), menggigil (-), nyeri menelan (-), batuk (-), nyeri
dada (-), rasa panas di dada(-). BAK dan BAB tidak ada keluhan. Seperti

biasanya, pasien membeli obat di warung ketika nyeri ulu hatinya kambuh.
2 hari SMRS pasien mengeluhkan nyeri ulu hatinya kambuh lagi seperti
terasa ditekan dan menyesak sehingga menimbulkan sesak pada pasien,
nyeri tidak menjalar, mual (+), muntah tidak ada, demam tidak ada, batuk
(+), tidak ada nyeri dada ataupun rasa panas di dada, Buang air kecil dan
buang air besar lancar, tidak ada keluhan. Pasien kemudian berobat ke
RSUD AA.

Riwayat Penyakit Dahulu


-

Riwayat maag (+)

Tidak ada riwayat keganasan/operasi gaster

Tidak ada riwayat ulkus peptikum

DM (-)

Hipertensi (-)

17

Riwayat Penyakit Keluarga


-

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama

Tidak ada keluarga yang punya riwayat kanker saluran cerna bagian atas

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan


- Pasien merupakan seorang pelajar
- Pasien memiliki aktifitas diluar jam sekolah (Ekstrakurikuler)
- Pasien suka mengkonsumsi makanan yang pedas-pedas
- Pasien tidak suka mengkonsumsi makanan mengandung serat
- Pasien berstatus ekonomi menengah ke bawah
- Kebiasaan merokok(-), alkohol(-), minum jamu-jamuan (-), kebiasaan
minum kopi (-)
Pemeriksaan Umum
- Kesadaran
- Keadaan Umum
- Tekanan Darah
- Nadi
- Napas
- Suhu

: Komposmentis
: Tampak sakit sedang
: 110/70mmHg
: 84x/menit
: 22x/menit
: 36.30C

Pemeriksaan Fisik
Kepala
- Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, udem palpebra tidak
-

ada.
Leher :
Inspeksi

tidak terlihat pembesaran pada leher kanan, hiperemis (-),

Palpasi

venektasi (-), discharge (-)


Pembesaran KGB (-)

Toraks
Paru :
Inspeksi

: Dada simetris kiri dan kanan, gerak nafas simetris, tidak

ada bagian yang tertinggal, spider naevi(-)


Palpasi
: Vocal fremitus kanan = kiri
Perkusi
: Sonor pada kedua lapangan paru.
Auskultasi
: Vesikuler kedua lapangan paru, ronki (-), wheezing (-)
-

Jantung :
Inspeksi

: ictus kordis tidak terlihat

Palpasi

: ictus kordis teraba SIK V LMCS

Perkusi

: Batas jantung kanan : Linea Sternalis Dekstra


18

Batas jantung kiri

: 2 jari medial LMCS SIK V

Auskultasi

: bunyi jantung normal, teratur, bising (-)

Abdomen :
Inspeksi
Palpasi

: Perut datar, venektasi (-)


: Nyeri tekan epigastrium (+), nyeri tekan supra pubis (-)

hepar dan lien tidak teraba, ballotemen (-/-), tidak ada teraba
massa.
-

Perkusi
: Timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-/-)
Auskultasi
: Bising usus (+) Normal
Ekstremitas
Akral hangat
Refilling kapiler < 2 detik
Edema (-)

Pemeriksaan Penunjang
Tanggal 18 Desember 2012
Darah rutin :
- Hb
: 11,3 g/dl
- Ht
: 34,7 %
- Leukosit
: 7.700/mm3
- Trombosit
: 270.000/mm3
- GDS
: 91 mg/dl
RESUME
Nn.S, perempuan , 15 tahun, datang ke RSUD AA Pekanbaru dengan keluhan
utama nyeri ulu hati yang semakin menyesak sejak 2 hari SMRS. Dari anamnesis
didapatkan bahwa pasien sering merasakan nyeri ulu hati yang hilang timbul,
mual (+), kembung (+), cepat kenyang, perut terasa penuh, nyeri bertambah saat
makan dan nyeri berkurang setelah mengkonsumsi obat (promag), batuk (+) dan
sesak (+). Dari pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan epigastrium.

DIAGNOSIS KERJA :
Dispepsia fungsional tipe dismotilitas
19

RENCANA PEMERIKSAAN :
- Pemeriksaan kimia darah
- Pemeriksaan analisa gas darah
- Endoskopi

RENCANA PENATALAKSANAAN
Terapi umum:

Istirahat

Diet

Seimbang antara karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin

Jangan banyak pantangan

Modifikasi gaya hidup


Modifikasi gaya hidup pada pasien dengan dispepsia fungsional meliputi:3
-

Mengatur pola makan dan istirahat yang cukup

Makan dengan frekuensi yang sedikit dan sering

Menghentikan konsumsi makanan yang pedas

Menghindari makanan yang merangsang

Mengkonsumsi makanan yang berserat

Medikamentosa:
- IVFD RL 20 tetes/mnt
- Injeksi ranitidin 2x1 amp
- Antasid syr 3x 1sdm
- Domporidon 3x1 mg
- Alprazolam 1x0,25mg

Follow up
19 Desember 2012
20

: Nyeri ulu hati (+), nafsu makan kurang, mual (+), muntah (-), BAB dan
BAK tidak ada keluhan.

: TD : 120/80 mmHg, nadi : 84x/mnt, pernafasan : 18 x/mnt, S : 36,5 0C


Abdomen: Nyeri tekan epigastrium (+)

: Dispepsia tipe dismotilitas

: - IVFD RL 20 tetes/mnt
- Injeksi ranitidin 2x 50 mg
- Antasid syr 3x 1 sdm
- Alprazolam 1x 0,25 mg
- Domperidon 3x 10 mg

20 Desember 2012
S

: Nyeri ulu hati berkurang, mual (+), muntah (-), BAB dan BAK tidak ada
keluhan.

: TD : 110/80 mmHg, nadi : 78x/mnt, pernafasan : 20 x/mnt, S : 36,4 0C


Abdomen: Nyeri tekan epigastrium (+)

: Dispepsia tipe dismotilitas

: - IVFD RL 20 tetes/mnt
- Injeksi ranitidin 2x 50 mg
- Antasid syr 3x 1 sdm
- Alprazolam 1x 0,25 mg
- Domperidon 3x 10 mg

21 Desember 2012

21

: Nyeri ulu hati berkurang, nafsu makan baik, mual (-), muntah (-), BAB
tidak ada keluhan.

: TD : 100/80 mmHg, nadi : 82x/mnt, pernafasan : 20 x/mnt, S : 36,1 0C


Abdomen: Nyeri tekan epigastrium (-)

: Dispepsia tipe dismotilitas

: - IVFD RL 20 tetes/mnt
- Injeksi ranitidin 2x 50 mg
- Antasid syr 3x 1 sdm
- Alprazolam 1x 0,25 mg
- Domperidon 3x 10 mg

Pasien diizinkan pulang

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada pasien ini dari anamnesis didapatkan keluhan utama yang membawa
pasien datang berobat ke rumah sakit adalah nyeri ulu hati yang semakin berat dan
terasa menyesak sejak 1 hari SMRS. Pasien sudah mengeluhkan adanya nyeri ulu
hati sejak 1 tahun SMRS, keluhan nyeri ulu hati hilang timbul dan tidak menjalar,
pasien juga merasa mual namun tidak sampai muntah, perut terasa kembung,
cepat kenyang, rasa perut penuh dan rasa tak nyaman bertambah saat makan.
Keluhan yang dirasakan pasien ini merupakan kumpulan gejala yang pada
umumnya ditemukan pada sindroma dispepsia.
Keluhan sindroma dispepsia yang dirasakan oleh pasien sudah
berlangsung lebih kurang selam 1 tahun terakhir, keluhan bersifat kronis dan
sering kambuh, dari anamnesis didapatkan juga bahwa pasien tidak ada melena,
22

muntah darah, penurunan BB, disfagia, perubahan defekasi dan riwayat


keganasan/operasi gaster. Hal ini menyingkirkan diagnosis dispepsia organik dan
mengarahkan ke dispepsia fungsional.
Keluhan pasien yang dominan nyeri ulu hati, mual, muntah, kembung,
cepat kenyang, perut terasa penuh, dan rasa tak nyaman bertambah saat makan,
hasil anamnesis ini mengarahkan ke diagnosis dispepsia fungsional tipe
dismotiliti. Dari pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan epigastrium, tidak
ditemukan kelainan intraabdomen/organomegali, hal ini mendukung ke arah
diagnosis dipepsia fungsional.
Pada sindroma dispepsia ini tidak banyak hal-hal penting yang ditemukan
pada pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik yang cermat lebih ditujukan untuk
mencari ada tidaknya kelainan intra abdomen atau intra lumen yang padat
(tumor), organomegali, nyeri tekan yang sesuai dengan adanya rangsangan
peritonial/peritonitis.
Pada pasien ini ditegakkan diagnosis dispepsia fungsional tipe dismotiliti
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien tidak ditemukan adanya
kelainan organik yang menyertai dan mengarah ke dispepsia fungsional dengan
gejala seperti tipe dismotilitas yaitu nyeri ulu hati, kembung, cepat kenyang, perut
terasa penuh, mual, dan rasa tak nyaman bertambah saat makan, namun diagnosis
pasti diperlukan pemeriksaan penunjang yaitu endoskopi.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien dispepsia yang belum
diinvestigasi terutama harus ditujukan untuk mencari kemungkinan adanya
kelainan organik sebagai kausa dispepsia. Pasien dispepsia dengan alarm
symptoms kemungkinan besar didasari kelainan organik. Termasuk alarm
symptons secara umum, yaitu: (1)disfagia, (2) weight loss, (3) bukti perdarahan
saluran cema (hematemesis, melena, hematokhezia, anemia defisiensi besi, atau
fecal occult blood), atau (4) tanda obstruksi saluran cerna atas (muntah, perut
terasa cepat penuh). Pasien dengan alarm symptoms perlu dilakukan endoskopi
segera untuk menyingkirkan penyakit tukak peptik dengan komplikasinya, GERD,
atau keganasan.
23

Pada pasien ini tidak ditemukan adanya alarm symptoms. Rasa perut yang
cepat penuh pada pasien ini bukanlah suatu tanda obstruksi saluran cerna namun
pada pasien dengan dispepsia fungsional terjadi perlambatan pengosongan
lambung sehingga pasien merasa perutnya cepat penuh. Pada pasien tidak terdapat
keluhan nyeri menelan, muntah dan perubahan pola BAB ini dapat menyingkirkan
diagnosis banding Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dan Irritable Bowel
Syndrome (IBS).
Pemeriksaan laboratorium biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang
lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja. Dari hasil pemeriksaan darah bila
ditemukan leukositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Dalam kasus pasien ini,
pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan darah rutin, namun tidak adanya
leukositosis, hal ini dapat menyingkirkan fakta adanya infeksi saluran cerna
bagian atas yang mungkin menjadi penyebab timbulnya dispepsia pada pasien ini.
Prinsip penatalaksanaan dispepsia pada pasien ini sesuai dengan
penatalaksaan dispepsia tanpa alarm symptoms, yaitu dengan menggunakan terapi
empirik dengan obat-obatan dan hasilnya juga memuaskan, yang mana pasien
sembuh dengan obat-obatan yang diberikan. Hal ini sesuai dengan konsensus
nasional

Helicobacter pylori (H.pylori),

dimana pasien dengan dispepsia

sebelum diperiksa H.pylori perlu diberikan terapi empirik terlebih dahulu, yaitu
dengan anti asam seperti penghambat reseptor H2 dan penghambat pompa proton
selama 2 minggu. Jika tidak ada perbaikan maka perlu dilakukan evaluasi untuk
mengidentifikasi H.pylori. pemeriksaan H.pylori

terdiri dari pemeriksaan

noninvasif dan invasif. Pemeriksaan noninvasif terdiri dari urea breath test
(UBT), serologi IgG H.pylori dan stool antigen test (SAT), sedangkan
pemeriksaan iinvasif dapat dilakukan dengan 3 cara, yakni rapid urea test,
pemeriksaan histologi dan kultur.
Endoskopi direkomendasikan sebagai investigasi pertama pada evaluasi
penderita dispepsia dan sangat penting untuk dapat mengklasifikasikan keadaan
pasien apakah dispepsia organik atau fungsional. Dengan endoskopi dapat
dilakukan biopsi mukosa untuk mengetahui keadaan patologis mukosa lambung.

24

Endoskopi bisa juga digunakan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk


biopsi dari lapisan lambung. Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah
mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi oleh H.pylori.
Pemeriksaan H.pylori merupakan pendekatan bermanfaat pada penanganan kasus
dispepsia baru. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, dapat sebagai
diagnostik sekaligus terapeutik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FK UI; 2007.

25

2. Tbm Calcaneus Online. Dispepsia. 2009; http://www.tbmcalcaneus.org


diakses 8 Januari 2010.
3. Zainal, Andi. Sindroma Dispepsia. Pekanbaru: FK UR; 2009.
4. Djumhana AH. Recent Management of Dyspepsia. Bandung :FK
Unpad.2011
5. Mansjoer A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FK UI; 2001.
6. Geeraerts B. Funcitional dyspepsia: past, present, and future. J
Gastroentereol 2008; 43: 251-255.
7. Tarigan CJ. Perbedaan Depresi pada Pasien Dispepsia Fungsional dan
Dispepsia Organik. Medan: FK USU; 2003

26

Anda mungkin juga menyukai