Jbptitbpp GDL Freddyhuta 22661 3 2010ta 2
Jbptitbpp GDL Freddyhuta 22661 3 2010ta 2
TEORI DASAR
yang tinggi menyebabkan permeabilitas pada reservoar panas bumi dapat berupa rekahan
(fracture) yang saling berhubungan. Dengan demikian, litologi reservoar panas bumi dapat
berupa apapun dengan syarat memiliki permebilitas yang baik.
Batuan penutup suatu sistem panas bumi yang baik memiliki permeabilitas rendah,
sehingga dapat menahan panas atau fluida yang terdapat di reservoar. Pada umumnya litologi
batuan penutup dapat berupa aliran batuan vulkanik, batuan sedimen berbutir halus, ataupun
batuan yang permeabilitasnya berkurang akibat pengendapan mineral dari fluida panas.
Sistem panas bumi ini dikategorikan menjadi tiga jenis sistem (Hochstein dan Browne,
2000), yaitu:
1. Sistem hidrotermal, merupakan proses transfer panas dari sumber panas ke
permukaan secara konveksi, yang melibatkan fluida meteorik dengan atau tanpa jejak
dari fluida magmatik. Daerah rembesan berfasa cair dilengkapi air meteorik yang
berasal dari daerah resapan. Sistem ini terdiri atas: sumber panas, reservoar dengan
fluida panas, daerah resapan, dan daerah rembesan panas berupa manifestasi.
2. Sistem vulkanik, merupakan proses transfer panas dari dapur magma ke permukaan
melibatkan konveksi fluida magma. Pada sistem ini jarang ditemukan adanya fluida
meteorik.
3. Sistem vulkanik-hidrotermal, merupakan kombinasi dua sistem di atas, yang diawali
dengan air magmatik yang naik kemudian bercampur dengan air meteorik.
Temperatur suatu sistem panas bumi diklasifikasikan menjadi tiga berdasarkan
temperatur reservoar (Hochstein dan Browne, 2000), yaitu:
serupa. Ambiguitas ini menyebabkan suatu metode geofisika tidak dapat dipakai untuk
melakukan interpretasi keadaan geologi tanpa adanya bantuan metode geofisika yang lain.
Dalam penelitian ini, ada 2 metode geofisika yang digunakan berupa metode gravitasi (gaya
berat) dan resistivitas (geolistrik).
g = G
M
R2
Keterangan:
g
Dari persamaan di atas dapat disimpulkan bahwa besar gaya gravitasi di permukaan bumi
tergantung dari posisi pengukuran terhadap pusat bumi (lintang, bujur, dan ketinggian) karena
morfologi permukaan bumi yang bervariasi akan memberikan jarak yang berbeda terhadap pusat
bumi. Namun, pada prakteknya besar gaya gravitasi hasil pengukuran dapat berbeda jauh dari
hasil perhitungan. Hal ini dapat disebabkan oleh suatu zona massa bawah permukaan yang
memberikan gangguan medan gravitasi, yang disebut juga dengan anomali gravitasi. Sebagai
contoh, batuan dengan densitas yang jauh lebih rendah dari batuan sekitarnya akan menyebabkan
anomali gaya gravitasi di daerah tersebut. Adanya anomali gravitasi ini dapat digunakan untuk
memperkirakan kondisi batuan dan struktur bawah permukaan sehingga membantu untuk
memperkirakan keberadaan sistem panas bumi di daerah tersebut.
Dalam prakteknya, nilai gravitasi hasil pengukuran di lapangan harus diolah terlebih
dahulu dengan beberapa koreksi sampai dapat diinterpretasi. Secara umum terdapat dua jenis
koreksi, yaitu koreksi internal dan koreksi eksternal. Koreksi internal terdiri dari kalibrasi
gravimeter, koreksi pegas, dan koreksi pasang-surut. Koreksi eksternal terdiri dari koreksi
lintang/elipsoid, koreksi udara bebas (free air), koreksi Bougeur, dan koreksi topografi (terrain).
A. Koreksi internal, meliputi:
1. Kalibrasi gravimeter
Kalibrasi gravimeter dilakukan untuk mencegah kesalahan pembacaan. Koreksi
ini dilakukan dengan cara mengikat satu titik di lapangan penelitian dengan titik
referensi. Cara mengikat titik ini adalah dengan mengukur gravitasi di titik
lapangan kemudian mengukur di titik referensi dengan gravimeter yang sama. Hal
ini dilakukan berulang kali dalam 1 hari. Nilai bacaan yang diperoleh di kedua
titik kemudian dibandingkan sehingga nilai bacaan yang benar di titik lapangan
dapat ditentukan.
2. Koreksi pasang surut (tidal correction)
Efek pasang surut yang seiring dengan perubahan posisi relatif benda-benda langit
seperti bumi, bulan, dan matahari akan mempengaruhi pembacaan nilai gravitasi
pada titik pengukuran. Untuk koreksi ini digunakan software berbasis bahasa
FORTRAN dengan menggunakan formula Longman (1959).
3. Koreksi pegas (drift correction)
Koreksi ini digunakan untuk mengkoreksi hasil bacaan pegas akibat adanya
kelelahan pegas (fatique). Secara umum, sejalan dengan berjalannya waktu maka
mesin akan semakin panas mengakibatkan pegas akan makin lelah dan
merenggang, Hal ini akan menghasilkan data pengukuran yang tidak akurat.
Untuk itu, pada akhir pengukuran dilakukan pengukuran kembali pada titik awal.
Dari hasil pengukuran tersebut dapat dibuat grafik dari perubahan nilai gravitasi
akibat perenggangan pegas terhadap waktu. Umumnya nilai pembacaan gravitasi
adalah linear terhadap nilai waktu.
B. Koreksi eksternal, meliputi:
1. Koreksi lintang/elipsoid (latitude correction)
7
3. Koreksi Bouguer
Koreksi Bouguer adalah koreksi untuk seluruh efek gravitasi disebabkan sejumlah
massa di atas muka laut rata-rata dan di bawah stasiun pengukuran yang tidak
diperhitungkan oleh koreksi udara bebas. Koreksi Bouguer (BC) dirumuskan
sebagai berikut:
BC (Wolfgang, 1989) = 2h Gh = 0.04187 * * h
Keterangan:
BC
gObs
FAC
BC
TC
Dari pengolahan data reduksi di atas, diperoleh hasil akhir berupa anomali Bouguer
lengkap (Complete Bouguer Anomaly). Data CBA ini diolah dengan menggunakan program
Surfer 8 untuk mendapatkan peta penyebaran anomali Bouguer lengkap daerah penelitian. Peta
penyebaran anomali Bougeur lengkap ini kemudian diolah lagi pada program Surfer 8
menggunakan metode polinomial orde 2 untuk mendapatkan peta penyebaran nilai anomali
regional pada daerah tersebut. Hasil pengurangan antara nilai anomali Bouguer dengan nilai
anomali regional akan menghasilkan nilai anomali sisa/residual. Nilai anomali residual ini
mencerminkan distribusi gravitasi secara lokal di daerah tersebut. Dari nilai anomali residual ini
kita dapat melakukan interpretasi terhadap kondisi geologi dibawah permukaan, seperti adanya
sesar serta keberadaan sumber panas dari suatu sistem panas bumi.
Prinsip dari metode resistivitas atau disebut juga metode geolistrik adalah
menginjeksikan arus ke dalam bumi dan mengukur beda potensial pada titik-titik tertentu. Harga
beda potensial yang terukur bergantung pada sifat kelistrikan batuan yang ada.
Dalam pengukuran tahanan jenis yang sebenarnya diasumsikan bahwa medium yang
dialiri arus adalah medium yang bersifat homogen dan isotropik. Namun seperti yang kita
ketahui bahwa bumi pada kenyataannya terdiri dari lapisan-lapisan bersifat inhomogen dan
anisotropik dengan tahanan jenis yang berbeda-beda. Oleh karena itu, harga tahanan jenis yang
terukur dari metode ini adalah harga tahanan jenis (resistivitas) semu yang mewakili nilai
resistivitas sebenarnya. Persamaan yang digunakan untuk menghitung besar tahanan jenis batuan
adalah :
R=
L
A
Keterangan:
R
= panjang (m)
= luas (m2)
Resistivitas batuan dapat kita pergunakan untuk memperkirakan lebih lanjut sifat-sifat
dari batuan tersebut. Batuan dengan resistivitas rendah dapat diinterpretasikan bahwa batuan
tersebut mengandung material konduktif (mineral logam) atau mengandung fluida (air) yang
mengindikasikan bahwa batuan tersebut memiliki porositas yang baik dan dapat diinterpretasikan
sebagai zona reservoar dalam suatu sistem panas bumi.
Pada penelitian ini diperoleh data resistivitas yang diukur dengan menggunakan
metode/konfigurasi Schlumberger (Gambar 2.3). Data resistivitas batuan akan diolah menjadi
dua bagian penting, yaitu pemetaan (mapping) dan penampang (sounding) resistivitas. Data
mapping dipakai untuk membuat peta penyebaran resistivitas batuan secara lateral pada beberapa
kedalaman tertentu. Sedangkan data sounding dipakai untuk mengetahui penyebaran resistivitas
batuan secara vertikal pada beberapa tempat.
10
Pada elektroda A dan B dialirkan arus I, sedangkan nilai beda potensial V diukur dari
elektroda M dan N. Besar resistivitas dapat dihitung dari persamaan:
= k * V/I
Keterangan:
= faktor geometri
(Telford, 1978)
Besar jarak antara A ke B dan konfigurasi elektroda yang dipakai menentukan kedalaman
observasi. Metode resistivitas dengan konfigurasi Schlumberger mempunyai kedalaman
penyebaran resistivitas lateral batuan maksimal hanya 1/3 dari panjang jarak elektroda terjauh.
Lebih dalam dari itu maka tingkat akurasinya diragukan atau tidak akurat lagi. Sebagai contoh
untuk jarak AB 1000 meter maka kedalaman maksimal yang dapat dihitung adalah 500 meter
(AB/2 = 500) dan keakuratan hasil observasi maksimal hanya sampai kedalaman 350 meter.
Untuk pemetaan (mapping), umumnya dipakai kedalaman observasi AB/2 = 250 m, AB/2 = 500
m, AB/2 = 750 m, dan AB/2 = 1000 m. Sedangkan untuk penampang (sounding), pada penelitian
ini dipakai kedalaman observasi dengan menaikkan jarak AB/2 secara logaritmik. Semakin besar
11
AB/2, semakin dalam jangkauan arus, sehingga informasi yang diperoleh semakin dalam, tapi
arus yang diperlukan juga semakin besar.
bumi dan perhitungan suhu pada reservoar panas bumi di bawah permukaan. Penentuan tipe
fluida panas bumi adalah dengan menggunakan diagram plot segitiga Cl-SO 4 -HCO 3
(Giggenbach, 1988, op cit Nicholson, 1993). Sedangkan perhitungan suhu pada reservoar panas
bumi menggunakan metode geotermometer.
Data kimia yang diperlukan dalam penentuan tipe fluida reservoar adalah kandungan
relatif dari unsur klorida (Cl), bikarbonat (HCO 3 ), dan sulfat (SO 4 ). Metode yang dilakukan
adalah dengan menghitung persentase kandungan relatif dari ketiga unsur di atas. Persentase
ketiga unsur tersebut kemudian diplot ke dalam diagram segitiga Cl-HCO 3 -SO 4 .
Dalam menghitung temperatur reservoar maka metode yang digunakan adalah
geotermometer dari data manifestasi permukaan berupa air panas. Geotermometer didasarkan
pada variasi kandungan beberapa unsur dalam fluida panas bumi yang hadir sebagai fungsi dari
temperatur. Unsur-unsur tersebut dapat berwujud padat, gas, atau berupa isotop. Kebanyakan
geotermometer didasarkan pada suatu reaksi persamaan kimia yang tertentu. Air klorida
merupakan tipe air yang baik digunakan dalam mengaplikasikan metode geotermometer
dikarenakan pH-nya netral dan mata air yang natural tidak mengalami mixing dengan fluida lain.
12
13