Anda di halaman 1dari 10

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM KARDINAH KOTA TEGAL

JOURNAL READING:
HUBUNGAN ANTARA PERDARAHAN SUBDURAL DENGAN TERAPI
ANTITROMBOTIK PADA BAYI DENGAN ATROFI SEREBRAL

OLEH:
THIEA ARANTXA
030.09.255

PEMBIMBING:
dr. H. R. SETYADI, SpA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI


TEGAL, OKTOBER 2014
1

LEMBAR PERSETUJUAN

Presentasi journal reading dengan judul


HUBUNGAN ANTARA PERDARAHAN SUBDURAL DENGAN TERAPI
ANTITROMBOTIK PADA BAYI DENGAN ATROFI SEREBRAL

Penyusun:
Thiea Arantxa
030.09.255

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSU Kardinah Kota Tegal periode 22 September
29 November 2014.

Tegal, Oktober 2014

dr. H. R. Setyadi, SpA

Hubungan antara Perdarahan Subdural dengan Terapi


Antitrombotik pada Bayi dengan Atrofi Serebral

Penyusun:
Louis T. Dang, MD, PhD
Jordan A. Shavit, MD, PhD
Rani K. Singh, MD
Sucheta M. Joshi, MD, MS
Steven M. Leber, MD, PhD
John D. E. Barks, MD
Renee A. Shellhaas, MD, MS
Divisi Neurologi Pediatri, Hematologi/ Onkologi Pediatri, dan Neonatologi
Departemen Pediatri dan Penyakit Menular
C. S. Mott Childrens Hospital
University of Michigan, Ann Arbor, Michigan

Diterbitkan:
American Academy of Pediatrics 2014; 134: e889-e893
DOI: 10.1542/peds.2013-3029
http://www.pediatrics.org/cgi/doi/10.1542/peds.2013-3029

Abstrak

Heparin berat-molekul-rendah, seperti enoxaparin, sering digunakan untuk mengatasi


trombosis pada bayi. Jurnal ini mempresentasikan 4 bayi dengan cedera otak difus yang
berkembang menjadi trombosis sinus vena serebral atau trombosis vena dalam yang ditangani
dengan enoxaparin. Bayi-bayi tersebut kemudian mengalami perdarahan subdural, dan
pemberian enoxaparin dihentikan. Pada 3 kasus, perdarahan subdural ditemukan pada
pemeriksaan rutin MRI otak, dan pada 1 kasus, pencitraan dilakukan segera setelah terjadi
kejang fokal. Dua pasien memerlukan intervensi bedah saraf secepatnya, dan semua
perdarahan subdural membaik atau menyembuh pada pencitraan selanjutnya. Masing-masing
bayi mengalami defisit neurologis berat, yang lebih dimungkinkan disebabkan oleh keadaan
penyerta berupa cedera otak difus daripada perdarahan subdural itu sendiri. Risiko
perdarahan intrakranial karena enoxaparin lebih tinggi pada pasien dengan cedera otak difus,
dan pertimbangan matang harus dilakukan sebelum memberikan terapi pada populasi ini.
(Pediatrics 2014; 134: e889-e893)
Kata Kunci: Hematoma subdural, perdarahan otak, bayi, ensefalomalasia, hipoksia-iskemia
otak, trombosis sinus intrakranial, trombosis vena, antikoagulan, enoxaparin
Singkatan:
CVST: cerebral venous sinus thrombosis/ trombosis sinus vena serebral
DOL: day of life/ hari hidup
DVT: deep vein thrombosis/ trombosis vena dalam
ICH: intracranial hemorrhage/ perdarahan intrakranial
LMWH: low-molecular-weight heparin/ heparin berat-molekul-rendah
MRV: magnetic resonance venogram/ venogram resonansi magnetik
SDH: subdural hemorrhage/ perdarahan subdural

Hubungan antara Perdarahan Subdural dengan Terapi


Antitrombotik pada Bayi dengan Atrofi Serebral

Neonatus dan bayi diberikan terapi antitrombotik seperti heparin berat-molekul-rendah


(LMWH) untuk mengatasi trombosis sinus vena serebral (CVST) atau trombosis vena dalam
(DVT). Terapi antitrombotik dengan LMWH dilaporkan aman bagi bayi, karena efek
perdarahan intrakranial (ICH) jarang, dan pada kasus dengan ICH, biasanya tidak ditemukan
morbiditas dan mortalitas signifikan dari ICH. Namun, antikoagulasi pada kondisi yang
disertai cedera otak berat, seperti cedera hipoksik-iskemik, masih belum diteliti.

METODE
Penulis mempelajari temuan klinis dan radiologis dari 4 bayi (usia 1-11 minggu) yang
masing-masing memiliki CVST atau DVT yang komorbid dengan cedera otak difus dan
diterapi dengan enoxaparin, dengan target kadar anti-Xa di antara 0.5 dan 1 U/ml. Badan
peninjau institusional University of Michigan mengesahkan penelitian ini, dan informedconsent telah dilakukan.

HASIL
Gambaran klinis dari keempat kasus diringkas dalam Tabel 1.
Kasus 1
Bayi perempuan aterm, lahir dengan depresi pernapasan karena korioamnionitis
maternal, diduga sepsis. Bayi mengalami kejang, berlanjut menjadi status epileptikus pada
hari hidup (DOL) ke-2. MRI otak dengan venogram resonansi magnetik (MRV) pada DOL
ke-7 menunjukkan cedera otak luas dan kemungkinan trombosis sinus transversus kanan.
Mulai diberikan enoxaparin, dan 4 hari kemudian, ultrasonografi kranial rutin menunjukkan

tidak adanya ICH. Pasien dipulangkan dari rumah sakit setelah 2.5 minggu dengan
fenobarbital dan enoxaparin.
MRI rutin yang dilakukan kembali pada usia 2.5 bulan menunjukkan subdural
hematoma (SDH) bilateral besar dengan tingkat maturasi yang berbeda-beda, 8 x 3.5 cm di
kanan dan 8 x 2.7 cm di kiri, dengan efek massa (Gambar 1A). Didapatkan ensefalomalasia
kistik luas dan bukti adanya nekrosis laminar. Kadar anti-Xa 0.29 U/ml, dan enoxaparin
dihentikan. Kadar anti-Xa pasien tidak pernah melebihi 1.06 U/ml. Pasien dirawat di ICU.
Ditemukan bahwa pasien mengalami kejang infrekuen pada pengawasan video EEG
berkelanjutan, dan pasien menjalani kraniotomi parietal bilateral untuk evakuasi SDH.
Penyebab yang mendasari cedera otak pasien belum jelas antara iskemia, infeksi, gangguan
metabolik, atau penyebab lain. SDH pasien membaik secara signifikan pada pencitraan MRI
ulang (Gambar 1E). Pada usia 12 bulan, pasien masih membutuhkan medikasi antikonvulsan
dan menunjukkan gangguan neurologis berat, dengan mikrosefali dan lingkar kepala yang
menetap setara dengan persentil ke-50 pada usia 3 minggu.
Kasus 2
Bayi perempuan aterm berusia 11 minggu yang sebelumnya sehat, datang dengan
muntah, demam, dan letargi dan ditemukan mengalami hipernatremia berat dengan kadar
sodium 199 mmol/l. Saat masuk rumah sakit, CT-scan kepala menunjukkan hiperdensitas
pada sinus transversus kanan, dan MRI otak dengan MRV yang dilakukan segera setelah itu
mengkonfirmasi bahwa terdapat CVST pada sinus sagitalis superior dan transversus kanan.
Terapi dimulai dengan enoxaparin, dan tak lama setelah itu, pasien mengalami kejang,
berlanjut menjadi status epileptikus.
CT-scan ulangan dengan venogram pada hari rawat ke-3 menunjukkan tidak ada
perdarahan, dengan trombus sinus transversus yang stabil. Pada hari rawat ke-9, CT-scan
kepala menunjukkan diferensiasi kelabu/ putih yang buruk tapi tanpa perdarahan. MRI otak
dengan MRV pada hari rawat ke-15 menunjukkan difusi lambat pada talamus bilateral,
pedunkulus serebri, dan corpus callosum, dengan perbaikan CVST. Pada hari rawat ke-40,
MRI otak rutin dengan MRV menunjukkan SDH bilateral setebal 13 mm (Gambar 1B) dan
difusi lambat yang luas pada hemisfer serebral. Kadar anti-Xa 0.47 U/ml, dan enoxaparin
dihentikan. Kadar maksimal anti-Xa pasien adalah 1.73 U/ml, yang didapatkan 5 hari setelah
dimulainya enoxaparin. Pasien ini menjalani pembedahan untuk drainase SDH, dan
ultrasonografi kranial pada hari ke-3 pascaoperasi tidak menunjukkan SDH yang signifikan.
6

Pasien dipulangkan dari rumah sakit beberapa hari kemudian, setelah dirawat selama 6
minggu.
Sebulan setelah pasien pulang, MRI otak ulang dengan MRV menunjukkan perbaikan
dari ukuran SDH, tanpa perburukan CVST. Empat bulan kemudian tindak lanjut MRI otak
menunjukkan penurunan ukuran SDH dan juga didapatkan atrofi otak, yang diperkirakan
disebabkan oleh cedera metabolik karena hipernatremia dan dehidrasi (Gambar 1F).
Pada usia 9 bulan, pasien mengalami gangguan perkembangan berat dengan mikrosefali
dengan lingkar kepala menetap setara dengan persentil ke-50 pada usia 2 bulan, gelisah dan
menangis terus-menerus. Penyebab definitif dari hipernatremia berat belum dapat
diidentifikasi.
Kasus 3
Bayi laki-laki berusia 21 hari yang lahir pada usia gestasi 35 minggu dengan sindrom
Pierson (sindroma nefrotik kongenital dengan ketergantungan dialisis peritoneal dan
mikrokoria), dengan riwayat sepsis MRSA (Staphylococcus aureus resisten-metisilin),
mengalami trombus pada vena jugularis interna dekstra karena penggunaan kateter. Diberikan
enoxaparin, tapi ultrasonografi ulangan pada pembuluh darah 2 hari kemudian menunjukkan
penyebaran bekuan ke dalam dinding vena jugularis interna. Diberikan infus heparin tidakterfraksi selama 1 hari dan kemudian kembali diberikan enoxaparin. Ultrasonografi kranial
rutin pada DOL ke-4, 28, dan 37 menemukan tidak ada perdarahan. MRI otak pada DOL ke42 menunjukkan penurunan volume otak yang difus. Ultrasonografi kranial ulang pada DOL
ke-64 dan 68 tidak menunjukkan perubahan kecuali bertambahnya ruang ekstraaksial.
Pada DOL ke-70, bayi tersebut mengalami kejang, yang berlanjut menjadi status
epileptikus dan diberikan terapi fenobarbital, infus midazolam, levetiracetam, fosfenitoin, dan
topiramat. Ultrasonografi kranial pada hari yang sama tidak menunjukkan perdarahan. Pada
DOL ke-77, MRI otak menunjukkan SDH frontal/ parietal kiri berukuran 4.5 x 2.7 x 5.3 cm
(Gambar 1C), bersama atrofi otak yang semakin memburuk. Kadar anti-Xa 0.7 U/ml, dan
enoxaparin dihentikan. Meskipun terdapat gagal ginjal, kadar anti-Xa pasien tidak melebihi
1.05 U/ml. Tim bedah saraf merekomendasikan observasi, karena SDH-nya tidak
memberikan efek massa yang signifikan atau peningkatan tekanan intrakranial. SDH
mengecil pada ultrasonografi kranial dan CT-scan kepala berikutnya, seperti pada MRI otak
yang dilakukan 3 bulan setelah SDH ditemukan (Gambar 1G). Pasien mikrosefali, dan pada
usia 6 bulan, lingkar kepalanya setara dengan persentil ke-50 pada usia 2.5 bulan. Pada usia 7
7

bulan, pasien tetap mengalami gangguan neurologis yang signifikan dan meninggal karena
gagal napas sekunder setelah dipindahkan ke comfort care.
Kasus 4
Bayi perempuan yang lahir pada usia gestasi 42 1/7 minggu secara seksio sesarea atas
indikasi detak jantung janin yang nonreassuring, ditemukan mengalami kejang neonatal.
Ultrasonografi kranial pada DOL ke-2 meningkatkan kecurigaan CVST. Pada DOL ke-7,
MRI otak dengan MRV mengkonfirmasi CVST pada sinus transversus kanan dan seluruh
sinus sagitalis. Didapatkan pula difusi lambat pada kedua hemisfer serebri. Terapi enoxaparin
kemudian dimulai.
Pada usia 3 bulan, MRI rutin menunjukkan SDH parietal kiri berukuran 3 mm (Gambar
1D). Sebagian besar sinus-sinus vena mengalami rekanalisasi, dengan trombus residual yang
minimal, disertai ensefalomalasia difus. Kadar anti-Xa 0.25 U/ml, dan enoxaparin dihentikan.
Pasien dirawat di rumah sakit untuk evaluasi, dan intervensi bedah saraf tidak diperlukan.
CT-scan kepala pada usia 4 bulan menunjukkan resolusi SDH. Pada usia 7 bulan,
pertumbuhan kepala lambat dan terjadi mikrosefali, setara dengan persentil ke-50 pada usia 3
minggu. Pada usia 12 bulan, pasien mengalami gangguan neurologis signifikan namun telah
berhenti diberikan terapi antikonvulsan, kecuali gabapentin, yang diberikan sebagai terapi
agitasi.

DISKUSI
Penulis mempresentasikan 4 bayi, 3 di antaranya dengan CVST dan 1 menderita DVT
karena penggunaan kateter. Masing-masing diterapi dengan enoxaparin dan kemudian
berkembang menjadi SDH dalam 6 hingga 12 minggu setelah dimulai terapi antikoagulasi. 1
bayi mengalami komorbid cedera kepala difus yang kemungkinan disebabkan oleh hipoksikiskemik perinatal dan pada 1 bayi disebabkan oleh hipernatremia berat dan dehidrasi. 2 bayi
mengalami atrofi otak yang tidak diketahui penyebabnya. Keempat bayi mengalami kejang
sebelum atau bersama perkembangan SDH, tapi hanya 1 kasus yang ditemukan lewat
pencitraan segera setelah kejadian kejang baru. 3 kasus lainnya ditemukan saat dilakukan
MRI rutin dengan MRV rutin. Hanya 2 kasus yang membutuhkan intervensi bedah saraf.
Perkembangan pada bulan ke-7 sampai 12 ditemukan buruk. Hal ini lebih mungkin
disebabkan oleh kelainan otak yang mendasarinya (iskemik, metabolik, atau etiologi genetik)
daripada oleh konsekuensi langsung dari SDH, karena ensefalomalasia luas atau atrofi otak
didapatkan pada MRI ketika SDH ditemukan (pada kasus 1, 2, dan 4). Penulis tidak
mengikutsertakan data mengenai heparin yang tidak-terfraksi atau warfarin dalam konteks ini
namun penulis mengharapkan perhatian keamanan yang sama.
Pada pasien-pasien dengan atrofi otak, peningkatan ruang ekstraaksial dapat
meregangkan vena-vena jembatan yang rapuh, meningkatkan risiko perdarahan. Data penulis
9

menunjukkan bahwa keputusan untuk memberikan antikoagulan atau tidak pada bayi dengan
tromboembolisme vena harus dipertimbangkan mengingat adanya risiko perdarahan
intraserebral disamping keuntungan dari antikoagulan itu sendiri. Pertimbangan ini terutama
penting pada kasus-kasus dengan komorbid cedera hipoksik-iskemik serebral, infeksi, atau
kelainan metabolik-genetik yang dapat berlanjut menjadi atrofi otak. Pencitraan otak rutin
pada bayi dengan antikoagulasi tidak hanya untuk memeriksa rekanalisasi sinus pada CVST,
tapi juga harus dipertimbangkan untuk memantau perdarahan intraserebral pada pasien
dengan atrofi otak yang sedang berlangsung. CT-scan dan MRI lebih sensitif daripada
ultrasonografi kranial dalam mendeteksi perdarahan, terutama SDH yang tidak berada dekat
dengan fontanel. Namun, ini harus diseimbangkan dengan kebutuhan sedasi atau anestesia
untuk pencitraan pada kelompok umur ini. Data penulis menunjukkan kebutuhan untuk
penelitian lebih lanjut, untuk menentukan waktu dan modalitas yang optimal dalam
pengawasan pencitraan neurologis bagi kelompok pasien dengan terapi antikoagulasi
LMWH.
KESIMPULAN
Bayi-bayi yang berisiko mengalami atrofi serebral, baik yang disebabkan oleh cedera
iskemik difus ataupun sebab lain, sangat rentan untuk terjadinya SDH yang signifikan secara
klinis ketika diterapi dengan LMWH. Kondisi komorbid cedera otak difus dapat menjadi
kontraindikasi relatif penggunaan antikoagulasi untuk CVST atau DVT yang kecil dan
nonprogresif.

10

Anda mungkin juga menyukai