Anda di halaman 1dari 25

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Skor APGAR

2.1.1

Pengertian skor APGAR


Skor APGAR merupakan metode praktis yang secara sistematis digunakan

untuk menilai bayi baru lahir segera sesudah lahir, untuk membantu
mengindentifikasi bayi yang memerlukan resusitasi akibat asidosis hipoksik
(Rudolph, 2006).
Skor APGAR adalah suatu metode klinik untuk mengidentifikasi
neonatus, menilai secara cepat keadaannya apakah butuh resusitasi atau tidak,
termasuk menilai efektivitas dari resusitasi itu sendiri. Skor APGAR memiliki
lima komponen, yaitu Appearance, Pulse, Grimace, Activity, Respiration. Jumlah
total dari kelima komponen tersebut menjadi ukuran penilaian cepat keadaan bayi
yang baru lahir, yaitu dengan melihat warna kulit, denyut nadi, tonus otot, refleks
menangis, dan usaha bernafas dari bayi.
Tabel 2.1 Tabel skor APGAR (Rudolph)
TANDA

0 POIN

1 POIN

2 POIN

Denyut nadi

Tidak ada

< 100

> 100

Usaha bernapas

Tidak ada

Tonus otot

Lemas

Refleks iritabilitas

Tidak ada respon

Warna kulit

Kebiruan, pucat

Lambat,
Baik, menangis
tidak teratur
ekstrimitas sedikit Bergerak aktif
fleksi
Meringis
Menangis
kencang
Tubuh
merah Seluruh
tubuh
muda, ekstrimitas berwarna merah
pucat / kebiruan
muda

Sumber : Buku ajar pediatri Rudolph, 2006

Skor APGAR diukur pada menit pertama dan kelima setelah kelahiran.
Pengukuran pada menit pertama digunakan untuk menilai bagaimana ketahanan
bayi melewati proses persalinan. Pengukuran pada menit kelima menggambarkan
apakah bayi tersebut dapat bertahan setelah keluar dari rahim ibu. Pengukuran
skor APGAR dilakukan untuk menilai apakah bayi membutuhkan bantuan nafas
atau mengalami kelainan jantung (Zieve, 2011).
Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya skor APGAR adalah faktor
ibu dan faktor bayi. Faktor ibu antara lain primiparitas, cara persalinan, usia dan
penyakit yang menyertai selama kehamilan, sedangkan faktor bayi antara lain
cedera pada saat lahir, hipotermia, hipoglikemia, hipoksemia, hipotensi,
pernafasan irregular, dan asfiksia berat (Ondoa-onama & Tumwine, 2003).
Jumlah skor APGAR 7-10 menyatakan bayi dalam kondisi normal atau
baik, jumlah skor 4-6 menyatakan bayi mengalami asfiksia ringan, dan jumlah
skor 0-3 menyatakan bayi mengalami asfiksia berat (Montgomery, 2000).
Tabel 2.2 Tabel interpretasi skor APGAR
Jumlah Skor

Interpretasi

Catatan

7-10

Normal

4-6

Asfiksia ringan

0-3

Asfiksia berat

Memerlukan
tindakan
medis segera seperti
penyedotan lender yang
menyumbat jalan napas,
atau pemberian oksigen
untuk
membantu
bernapas.
Memerlukan
tindakan
medis yang lebih intensif.

Sumber : Prawirohardjo, 2002

2.2

Asfiksia

2.2.1

Pengertian asfiksia
Menurut Hidayat (2009) Asfiksia neonatorum merupakan suatu kondisi

dimana bayi tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir
(Hidayat, 2009). Asfiksia adalah keadaan gawat bayi yang tidak
dapat bernafas spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan
kadar oksigen dan terjadinya peningkatan karbon dioksida yang
dapat menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut
(Manuaba, 2007).
2.2.2

Penyebab asfiksia
Angka kematian perinatal yang tinggi pada preeklamsia disebabkan oleh

asfiksia, berat badan lahir rendah (BBLR), dan infeksi. Asfiksia bisa terjadi karena
gangguan perfusi uteroplasenter akibat vasospasme dan kerusakan arteri spiralis.
Untuk mengetahui derajat atau tingkat asfiksia pada bayi BBLR dapat ditentukan
dengan menggunakan penilaian skor APGAR (Kawuryan, 2004).
2.2.3

Etiologi dan faktor risiko asfiksia


Ada beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan

gangguan sirkulasi darah uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi


menjadi berkurang yang mengakibatkan hipoksia bayi di dalam rahim dan dapat
berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir, diantaranya adalah :
1. Faktor ibu

a.

Preeklamsia dan eklamsia

b.

Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)

c.

Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)

10

d.

Partus lama

e.

Ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus yang terus-menerus


mengganggu sirkulasi darah ke plasenta

f.
2.

Perdarahan banyak: plasenta previa dan solutio plasenta

Faktor Tali Pusat


a. Lilitan tali pusat
b. Tali pusat pendek
c. Simpul tali pusat
d. Prolapsus tali pusat

3.

Faktor Bayi
a. Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
b. Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu,
ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)
c. Kelainan bawaan (kongenital)
d. Air ketuban bercampur mekonium (Gomella, 2009).

2.2.4

Patofisiologi asfiksia pada preeklamsia


Ibu yang mengalami preeklamsia cenderung akan melahirkan bayi yang

asfiksia. Disfungsi endotel akan mengakibatkan gangguan keseimbangan antara


kadar hormon vasokostriktor (endotelin, tromboksan, angiotensin) dan vasodilator
(nitrioksida, prostasiklin). Vasokontriksi yang meluas menyebabkan hipertensi.
Vasokontriksi yang terjadi pada ginjal mengakibatkan peningkatan plasma protein
pada membran basalis glomerulus yang akan menyebabkan terjadinya proteinuria
(Cunningham, 2005).

11

Vasokonstriksi pembuluh darah mengakibatkan kurangnya suplai darah ke


plasenta sehingga terjadi hipoksia janin. Akibat lanjut dari hipoksia janin adalah
gangguan pertukaran gas antara oksigen dan karbon dioksida sehingga terjadi
asfiksia neonatorum.
Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit-menit pertama
kemudian disusul dengan pernapasan teratur dan tangisan bayi. Proses
perangsangan pernapasan ini dimulai dari tekanan mekanik pada persalinan,
disusul dengan keadaan penurunan tekanan oksigen arterial dan peningkatan
tekanan karbondioksida arterial, sehingga sinus karotikus terangsang untuk
terjadinya proses bernapas. Bila bayi mengalami hipoksia akibat suplai oksigen ke
plasenta menurun karena efek hipertensi dan proteinuria sejak intrauterin, maka
saat persalinan maupun pasca persalinan bayi berisiko asfiksia (Winkjosastro,
2007).
2.2.5

Klasifikasi klinis asfiksia


Menurut Mochtar (1998), klasifikasi klinis asfiksia dibagi dalam 2 macam,

yaitu sebagai berikut :


1.

Asfiksia Livida yaitu asfiksia yang memiliki ciri meliputi warna kulit
kebiru-biruan, tonus otot masih baik, reaksi rangsangan masih positif,
bunyi jantung reguler, prognosis lebih baik

2.

Asfiksia Pallida yakni asfiksia dengan ciri meliputi warna kulit pucat,
tonus otot sudah kurang, tidak ada reaksi rangsangan, bunyi jantung
irreguler, dan prognosis jelek.

12

2.2.6

Diagnosis asfiksia
Menurut Saifuddin, (2002), asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya

merupakan kelanjutan dari hipoksia janin. Diagnosis hipoksia dapat ditegakkan


ketika dalam persalinan ditemukan adanya tanda-tanda gawat janin. Ada beberapa
hal yang perlu mendapat perhatian :
a.

Denyut jantung janin


Frekuensi normal denyut jantung janin adalah antara 120 sampai
160x/menit. Selama his, frekuensi tersebut bisa turun, tetapi setelah his
dapat kembali lagi ke keadaan semula. namun apabila frekuensi turun
sampai dibawah 100x/ menit setelah his dan terlebih lagi tidak teratur, hal
tersebut merupakan tanda bahaya.

b.

Pemeriksaan darah janin


Dengan menggunakan amnioskop, darah janin tersebut diperiksa kadar
pH, adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Kelahiran yang
menunjukan tanda-tanda gawat janin dan pH <7,2 kemungkinan akan
disertai dengan asfiksia neonatorum. Oleh karena itu perlu diadakan
persiapan untuk menghadapi keadaan tersebut jika terdapat asfiksia.
Tingkatannya perlu diketahui untuk melakukan tindakan resusitasi yang
sempurna. Hal tersebut diketahui dengan penilaian menurut skor APGAR.

13

2.3

Persalinan

2.3.1

Pengertian persalinan
Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan

plasenta), yang dapat hidup ke dunia luar, dari rahim melalui jalan lahir atau
dengan jalan lain (Mochtar, 1998).
2.3.2

Sebab - sebab yang menimbulkan persalinan


Penyebab terjadinya persalinan belum diketahui dengan pasti, yang ada

hanyalah merupakan teori-teori yang komplek antara lain dikemukakan faktorfaktor humoral, struktur rahim, sirkulasi rahim, pengaruh tekanan pada saraf, dan
nutrisi.
1. Teori penurunan hormon : 1-2 minggu sebelum partus mulai terjadi
penurunan kadar hormon estrogen dan progesteron. Progesteron bekerja
sebagai penenang otot-otot polos rahim dan akan menyebabkan
kekejangan pembuluh darah sehingga timbul his bila kadar progesteron
turun.
2. Teori plasenta menjadi tua : akan menyebabkan turunnya estrogen dan
progesteron yang menyebabkan kekejangan pembuluh darah, hal ini akan
menimbulkan kontraksi rahim.
3. Teori distensi rahim : rahim yang menjadi besar dan merenggang
menyebabkan iskemia otot-otot rahim, sehingga mengganggu sirkulasi
utero-plasenter.

14

4. Teori iritasi mekanik : dibelakang serviks terletak ganglion servikale


(fleksus Frankenhauser). Bila ganglion ini digeser dan ditekan misalnya
oleh kepala janin, maka akan timbul kontraksi uterus.
2.3.3

Jenis-Jenis persalinan

a. Persalinan biasa (normal) disebut juga persalinan spontan, adalah proses


lahirnya bayi dari jalan lahir dengan tenaga ibu sendiri tanpa bantuan alatalat serta tidak melukai ibu dan bayi yang umumnya berlangsung kurang
dari 24 jam
b. Persalinan luar biasa (abnormal) ialah persalinan dengan bantuan alat-alat
atau melalui dinding perut dengan operasi sesarea (Mochtar, 1998).
2.4

Persalinan Normal

2.4.1

Pengertian persalinan normal


Partus biasa (normal) disebut juga partus spontan adalah proses lahirnya

bayi dari jalan lahir dengan tenaga ibu sendiri tanpa bantuan alat-alat serta tidak
melukai ibu dan bayi yang umumnya berlangsung kurang dari 24 jam (Mochtar,
1998).
2.4.2

Faktor-faktor persalinan normal


Persalinan normal dapat berlangsung karena adanya kerja sama ketiga

faktor penting berikut ini :


1. Power :
a. Kekuatan his
b. Kekuatan mengejan.

15

2. Passage :
a. Jalan lahir tulang
b. Jalan lahir lunak.
3. Passenger :
a. Janin, plasenta, dan selaput ketuban.
Selain itu terdapat dua faktor lainnya yang ikut menentukan kelangsungan
persalinan, yaitu :
4. Faktor psikologis pasien
a. Penerimaan pasien atas kehamilannya (kehamilan yang dikehendaki
atau tidak dikehendaki)
b. Penerimaan pasien terhadap petunjuk dan persiapannya untuk
menghadapi persalinan
c. Kemampuaannya untuk bekerja sama dengan pemimpin/penolong
persalinannya
d. Adaptasi pasien terhadap rasa nyeri persalinan.
2.4.3

Mekanisme persalinan normal


Persalinan letak belakang kepala menempati jumlah terbanyak dalam

sejarah persalinan, sehingga sangat penting diketahui sebagai dasar dalam


menyelesaikan persalinan dan untuk memecahkan masalah kemacetan persalinan
(distosia).
Persalinan letak belakang kepala, yang disebut dengan persalinan eutosia,
mempunyai gerakan utama sebagai berikut :
1. Turunnya (masuknya) kepala janin ke Pintu Atas Panggul (PAP)

16

2. Fleksi kepala janin


3. Putaran paksi dalam
4. Defleksi kepala janin
5. Ekstensi kepala janin
6. Ekspulsi.
Penjelasan gerakan janin dalam persalinan adalah sebagai berikut :
1. Turunnya kepala Janin
Turunnya kepala dikenal dalam dua bentuk :
a. Masuknya kepala (engagement)
Pada primigravida, hal ini sudah terjadi pada minggu ke -36. Proses ini
disebabkan oleh kontraksi braxton Hicks, ketegangan pada dinding
abdomen dan ligamentum rotundum. Pada multigravida, proses ini terjadi
karena his persalinan
b. Majunya kepala janin (decent)
Terjadi karena his persalinan diikuti dengan mekanisme persalinan
kepala.
2. Fleksi kepala janin
Proses majunya kepala janin disebabkan oleh :
a. Tekanan air ketuban (yaitu mencari tempat yang lemah)
b. Tekanan langsung bokong pada kepala janin
c. Kontraksi yang dominan pada fundus uteri
d. Mengecilnya volume uterus
e. Perubahan bentuk badan janin

17

f. Kekuatan mengejan.
3. Putaran paksi dalam
Putaran paksi dalam merupakan upaya kepala janin untuk menyesuaikan
diri dengan jalan lahir sehingga hipomoklion berada dibawah simfisis.
4. Defleksi kepala janin
Dimulai dengan suboksipitalis berada dibawah simfisis yang berfungsi
sebagai hipomoklion, disertai dengan kekuatan his dan mengejan, maka terdapat
peluang proses defleksi, dan berturut-turut lahir ubun-ubun besar (UUB), dahi,
mata, hidung, mulut, dan dagu. Dengan demikian sebagian besar kepala janin
telah lahir.
5. Ekstensi kepala
Setelah sebagian besar kepala janin keluar, kekuatan persalinan
selanjutnya akan menyebabkan ekstensi kepala, hingga seluruh kepala lahir.
Bersama dengan lahirnya seluruh kepala janin, bahu janin masuk ke jalan lahir
dalam posisi depan-belakang.
6. Putaran paksi luar
Dengan masuknya bahu ke jalan lahir dalam posisi depan-belakang, kepala
janin menyesuaikan diri, sehingga oksipitalis kembali ke posisinya, sederet
dengan posisi tulang belakang.
7. Ekspulsi (persalinan badan janin)
Dengan masuknya bahu janin ke jalan lahir dengan posisi depan-belakang,
maka bahu depan bertindak sebagai hipomoklion. Bahu belakang lahir terlebih

18

dahulu, diikuti bahu depan, sehingga kedua bahu anak lahir. Persalinan sisa badan
janin tidak mengalami kesulitan (Manuaba, 2001).
2.4.4

Proses persalinan normal


Proses persalinan terdiri dari 4 kala yaitu :

Kala I : waktu untuk pembukaan serviks sampai menjadi pembukaan lengkap 10


cm
Kala II : kala pengeluaran janin, waktu uterus dengan kekuatan his ditambah
kekuatan mengedan mendorong janin keluar hingga lahir
Kala III : waktu untuk pelepasan dan pengeluaran plasenta
Kala IV : mulai dari lahirnya plasenta selama 1 2 jam.
1. Kala I (Kala pembukaan)
Inpartu (partus mulai) ditandai dengan keluarnya lendir bercampur darah
(blood show), karena serviks mulai membuka (dilatasi) dan mendatar
(effacement). Darah berasal dari pecahnya pembuluh darah kapiler sekitar kanalis
servikalis karena pergeseran, ketika serviks mendatar dan terbuka.
Kala pembukaan dibagi atas 2 fase, yaitu :
1. Fase laten : dimana pembukaan serviks berlangsung lambat sampai
pembukaan 3 cm berlangsung dalam 7 8 jam.
2. Fase aktif : berlangsung selama 6 jam dan dibagi atas 3 subfase
a. Periode akselerasi : berlangsung 2 jam pembukaan menjadi 4 cm
b. Periode dilatasi maksimal (steady) : selama 2 jam pembukaan
berlangsung cepat menjadi 9 cm

19

c. Periode deselerasi : berlangsung lambat, dalam waktu 2 jam


pembukaan menjadi 10 cm atau lengkap.
2. Kala II
Pada kala pengeluaran janin, his terkoordinir, kuat, cepat, dan lebih lama.
Kira -kira 2-3 menit sekali. Kepala janin telah turun masuk ruang panggul
sehingga terjadilah tekanan pada otot-otot dasar panggul yang secara reflektoris
menimbulkan rasa mengedan. Karena tekanan pada rektum, ibu merasa seperti
mau buang air besar, dengan tanda anus terbuka. Pada waktu his, kepala janin
mulai kelihatan, vulva membuka dan perinium meregang. Dengan his mengedan
yang terpimpin, akan lahirlah kepala, diikuti oleh seluruh badan janin.
3. Kala III (kala pengeluaran plasenta)
Setelah bayi lahir, kontraksi rahim istirahat sebentar, uterus teraba keras
dengan fundus uteri setinggi pusat, dan berisi plasenta yang menjadi tebal 2x
sebelumnya. Beberapa saat kemudian, timbul his pelepasan dan pengeluaran
plasenta. Dalam waktu 5-10 menit seluruh plasenta terlepas, terdorong ke dalam
vagina dan akan lahir spontan atau dengan sedikit dorongan dari atas simpisis atau
fundus uteri. Seluruh proses biasanya berlangsung 5-30 menit setelah bayi lahir.
Pengeluaran plasenta disertai dengan darah kira-kira 100 200 cc.
4. Kala IV
Adalah kala pengawasan selama satu jam setelah bayi dan plasenta lahir
untuk mengamati ibu terutama terhadap bahaya perdarahan postpartum (Mochtar,
1998).

20

2.5

Seksio Sesaria

2.5.1

Pengertian seksio sesaria


Suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada

dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas
500 gram (Prawirohardjo, 2007).
2.5.2

Macam macam seksio sesarea

1. Seksio sesarea klasik menurut Sanger


lebih mudah dimulai dari insisi segmen bawah rahim, dengan indikasi :
a. Seksio sesarea yang diikuti dengan sterilisasi
b. Terdapat pembuluh darah besar sehingga diperkirakan akan terjadi
robekan segmen bawah rahim dan perdarahan
c. Pada letak lintang
d. Kepala bayi telah masuk pintu atas panggul
e. Grande multipara yang diikuti dengan histerektomi
kelebihan operasi seksio sesarea klasik menurut Sanger yaitu mudah
dilakukan karena lapangan operasi relatif luas.
Kekurangan :
a. Kesembuhan luka operasi relatif sulit
b. Kemungkinan terjadinya ruptura uteri pada kehamilan berikutnya lebih
besar
c. Kemungkinan terjadinya perlekatan dengan dinding abdomen lebih
besar (Manuaba, 1995).

21

2. Seksio sesarea ismika (profunda)


Dilakukan dengan membuat sayatan melintang-konkaf pada segmen
bawah rahim (low cervical transversal) kira-kira 10 cm.
Kelebihan :
a. Penjahitan luka lebih mudah
b. Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik
c. Tumpang tindih dari peritoneal flat baik sekali untuk menahan
penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum
d. Perdarahan kurang
e. Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptura uteri spontan
kurang atau lebih kecil.
Kekurangan :
a. Luka dapat melebar kekiri, kanan, dan bawah, sehingga dapat
menyebabkan uterine putus dan terjadi perdarahan hebat
b. Keluhan pada kandung kemih post operatif tinggi.
3. Seksio sesarea ekstraperitonealis
Seksio sesaria tanpa membuka peritoneum paretalis, dengan demikian
tidak membuka kavum abdominal (Mochtar, 1998).
2.5.3

Indikasi seksio sesarea


Dalam persalinan ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan

suatu persalinan yaitu jalan lahir, janin, kekuatan ibu, psikologi ibu dan penolong.
Apabila terdapat salah satu gangguan pada salah satu faktor tersebut akan
mengakibatkan

persalinan

tidak

berjalan

dengan

lancar

bahkan

dapat

22

menimbulkan komplikasi yang dapat membahayakan ibu dan janin (Mohctar,


1998).
Operasi seksio sesarea dilakukan jika kelahiran pervaginam mungkin akan
menyebabkan resiko pada ibu ataupun pada janin. Indikasi dilakukannya seksio
sesarea adalah :
1. Indikasi ibu
Secara terperinci ada beberapa indikasi medis seorang ibu yang harus
menjalani seksio sesarea yaitu:
a. Jika panggul sempit, sehingga besar anak tidak proporsional dengan
indikasi panggul ibu (disporsi). Oleh karena itu, penting untuk
melakukan pengukuran panggul pada waktu pemeriksaan kehamilan
awal. Dengan tujuan memperkirakan apakah panggul ibu masih dalam
batas normal
b. Pada kasus gawat janin akibat terinfeksi misalnya, kasus ketuban pecah
dini (KPD)
c. Pada kasus ibu mengalami preeklamsia/eklamsia, sehingga janin
terpengaruh akibat komplikasi ibu
d.

Pada kasus plasenta terletak dibawah yang menutupi ostium uteri


internum (plasenta previa), biasanya plasenta melekat di bagian tengah
rahim. Akan tetapi pada kasus plasenta previa menutupi ostium uteri
internum

e. Pada kasus kelainan letak, jika posisi anak dalam kandungan letaknya
melintang dan terlambat diperiksa selama kehamilan belum tua

23

f.

Jika terjadi kontraksi yang lemah dan tidak terkordinasi, hal ini
menyebabkan tidak ada lagi kekuatan untuk mendorong bayi keluar dari
rahim

g. Jika ibu mempunyai riwayat persalinan sebelumnya adalah seksio


sesarea maka persalinan berikutnya umumnya harus seksio sesarea
karena takut terjadi robekan rahim. Namun sekarang, teknik seksio
sesarea dilakukan dengan sayatan dibagian bawah rahim sehingga
potongan pada otot rahim tidak membujur lagi. Dengan demikian
bahaya rahim robek akan lebih kecil dibandingkan dengan teknik seksio
sesarea dulu yang sayatan dibagian tengah rahim dengan potongan yang
bukan melintang (Cunningham, et,al 2006)
h. Partus lama (prolonged labor)
i. Partus tak maju (obstructed labor)
2. Malpresentasi janin :
a) Letak lintang :
Greenhill dan Eastman sama-sama sependapat bahwa :
a. Bila ada kesempitan panggul, maka seksio sesarea adalah cara terbaik
dalam segala letak lintang dengan janin hidup dan besar biasa
b. Semua primigravida dengan letak lintang harus ditolong dengan seksio
sesarea, walaupun tidak ada perkiraan panggul sempit
c. Multipara dengan letak lintang dapat lebih dulu ditolong dengan caracara lain.

24

b) Letak bokong :
Seksio sesarea dianjurkan pada letak bokong bila ada :
a. Panggul sempit
b. Primigravida
c. Janin besar dan berharga.
c) Gemelli, menurut Eastman seksio sesarea dianjurkan :
a. Bila janin pertama letak lintang atau persentasi bahu (shoulder
presentation)
b. Distosia oleh karena tumor
c. Gawat janin (Mochtar, 1998).
3. Indikasi sosial
Selain indikasi medis terdapat indikasi nonmedis untuk melakukan seksio
sesarea yaitu indikasi sosial. Persalinan seksio sesarea karena indikasi sosial
timbul karena adanya permintaan pasien walaupun tidak ada masalah atau
kesulitan untuk melakukan persalinan normal. Indikasi sosial biasanya sudah
direncanakan terlebih dahulu untuk dilakukan tindakan seksio sesarea
(Cunningham, et,al 2006).
2.5.4

Kontraindikasi seksio sesarea


Kontraindikasi seksio sesarea dilakukan baik untuk kepentingan ibu

maupun untuk kepentingan anak, oleh sebab itu, seksio sesarea tidak dilakukan
kecuali tidak dalam keadaan terpaksa. Seksio sesarea tidak boleh dilakukan pada
kasus-kasus seperti ini:

25

a.

Janin sudah mati dalam kandungan. Dalam hal ini dokter memastikan
denyut jantung janin tidak ada lagi, tidak ada lagi gerakan janin anak
dan dari pemeriksaan USG untuk memastikan keadaan janin

b. Janin terlalu kecil untuk mampu hidup diluar kandungan


c. Terjadi infeksi dalam kehamilan
d. Anak dalam keadaan cacat seperti Hidrocefalus dan anecepalus
(Cunningham, et,al 2006).
2.5.5

Komplikasi seksio sesarea

a) Infeksi puerperal (nifas)


a. Ringan, dengan kenaikan suhu beberapa hari saja
b. Sedang, dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi, disertai dehidrasi
dan perut sedikit kembung
c. Berat, dengan peritonitis, sepsis, dan ileus paralitik. Hal ini sering
dijumpai pada partus terlantar, dimana sebelumnya telah terjadi
infeksi intrapartal karena ketuban yang telah pecah terlalu lama.
b) Perdarahan, disebabkan karena :
a. Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka
b. Atonia uteri
c. Perdarahan pada placental bed
d. Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila
reperitonialisasi terlalu tinggi
e. Kemungkinan ruptura uteri spontan pada kehamilan mendatang
(Mochtar, 1998).

26

2.6

Preeklamsia

2.6.1

Pengertian preeklamsia
Preeklamsia adalah sindrom klinis yang ditandai dengan hipertensi dan

proteinuria selama trimester kedua kehamilan (Powell, Levine & Karumanchi,


2011). Preeklamsia mencakup banyak hal, menyerang banyak organ yang
berhubungan dengan proses penyakit mencapai 5-8% pada kehamilan setelah 20
minggu. Tampilan klinis sangat bervariasi tetapi umumnya didapatkan kombinasi
hipertensi dan proteinuria (Turner, 2010).
2.6.2

Epidemiologi preeklamsia
Secara global jumlah kematian ibu akibat preeklamsia mencapai 10-15%.

Di amerika serikat, preeklamsia merupakan penyebab kematian ibu ketiga dengan


jumlah kematian ibu 54 orang dari 540 kematian ibu pada tahun 2004 (Turner,
2010).
Indonesia memiliki frekuensi kejadian preeklampsia sekitar 3-10%.
Berdasarkan data di RSU Dr. Soetomo, kejadian preeklamsia tercatat 30 hingga
50 kasus per tahunnya. Dengan prevalensi 1,08%, angka kejadian preeklamsia ini
lima kali lebih tinggi daripada angka kejadian di Bangkok dan 10 kali lebih besar
dari Singapura (Dachlan, 2008).
Provinsi Aceh sendiri berdasarkan survey awal yang dilakukan oleh
Mayang Sari di Rumah Sakit Kesdam Banda Aceh tahun 2012 didapatkan jumlah
pasien yang mengalami preeklamsia berjumlah 63 orang (30%) dan pada tahun
2013 dari bulan Januari sampai dengan bulan Mei didapatkan pasien dengan
kejadian preeklamsia berjumlah 35 orang (20%) (Sari, 2012).

27

2.6.3

Faktor risiko preeklamsia


Ada beberapa penelitian yang menyimpulkan sejumlah faktor yang

mempengaruhi terjadinya preeklamsia. Walaupun belum ada teori yang pasti yang
berkaitan dengan dengan terjadinya preeklamsia. Faktor risiko tersebut meliputi :
1.

Riwayat preeklamsia
Seseorang yang mempunyai riwayat preeklamsia atau riwayat keluarga
dengan

preeklamsia

maka

akan

meningkatkan

risiko

terjadinya

penghambat

(blocking

preeklamsia
2.

Primigravida
Pada

primigravida

pembentukan

antibodi

antibodies) belum sempurna sehingga meningkatkan risiko terjadinya


preeklamsia. Perkembangan preeklamsia semakin meningkat pada umur
kehamilan pertama dan kehamilan dengan umur yang ekstrim, seperti
terlalu muda atau terlalu tua
3.

Kegemukan

4.

Kehamilan ganda
Preeklampsia lebih sering terjadi pada wanita yang sedang hamil bayi
kembar atau lebih

5.

Riwayat penyakit tertentu


Wanita yang mempunyai riwayat penyakit tertentu sebelumnya, memiliki
risiko terjadinya preeklampsia. Penyakit tersebut meliputi hipertensi
kronik, diabetes, penyakit ginjal atau penyakit degeneratif (Mochtar, 1998)

28

2.6.4

Diagnosis preeklamsia

1.

Preeklamsia ringan
a. Tekanan darah absolut 140/90 mmHg atau kenaikan sistolik 30 mmHg
dan diastolik 15 mmHg
b. Edema ringan
c.

Kenaikan BB 1 kg/minggu

d. Proteinuria kuantitatif diatas 0,3 gr/24 jam atau kualitatif 1+ s/d 2+


pada kateter atau midstream.
2. Preeklamsia berat
a. Tekanan darah 160/110 mmHg
b. Edema umum dan paru disertai sesak dan sianosis
c. Proteinuria di atas 5 gr/24 jam atau kualititatif 3+ s/d 4+
d. Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di
epigastrium
e. Oliguria, air kencing kurang dari 500 cc/24 jam (Manuaba, 2001).
2.6.5

Penatalaksanaan preeklamsia
Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah terjadinya

preeklamsia berat atau eklamsia, dan dapat melahirkan janin yang hidup dan
melahirkan janin dengan trauma yang sekecil-kecilnya (Wiknjosastro, 2006).
1.

Preeklamsia ringan
Istirahat di tempat tidur merupakan terapi utama dalam penanganan

preeklamsia ringan. Istirahat dengan berbaring pada sisi tubuh menyebabkan


aliran darah ke plasenta dan aliran darah ke ginjal meningkat, tekanan vena pada

29

ekstrimitas bawah juga menurun dan reabsorpsi cairan di daerah tersebut juga
bertambah. Selain itu dengan istirahat di tempat tidur mengurangi kebutuhan
volume darah yang beredar dan juga dapat menurunkan tekanan darah dan
kejadian edema. (Wiknjosastro, 2006).
2.

Preeklamsia berat
Pada preeklamsia berat, persalinan harus terjadi dalam 24 jam. Jika seksio

sesarea akan dilakukan, anestesi yang aman/terpilih adalah anastesi umum. Tidak
harus dilakukan anastesi spinal, karena anestesi spinal berhubungan dengan
hipotensi (Cunningham, 2005). Pada pasien preeklamsia berat segera harus diberi
sedativa yang kuat untuk mencegah timbulnya kejang. Sebagai pengobatan untuk
mencegah timbulnya kejang dapat diberikan larutan magnesium sulfat 40%
sebanyak 10 ml disuntikan intramuskular pada bokong kiri dan kanan sebagai
dosis permulaan. Pemberian dapat diulang dengan dosis yang sama dalam rentang
waktu 6 jam menurut keadaan pasien. Tambahan magnesium sulfat hanya dapat
diberikan jika diuresis pasien baik, refleks patella positif dan frekuensi pernafasan
lebih dari 16 kali/menit. Obat ini memiliki efek menenangkan, menurunkan
tekanan darah dan meningkatkan diuresis. Selain magnesium sulfat pasien dengan
preeklamsia dapat juga diberikan klorpromazin dengan dosis 50 mg secara
intramuskular ataupun diazepam 20 mg secara intramuskular (Wiknjosastro,
2006).
2.6.6

komplikasi preeklamsia
Preeklamsia dapat menyebabkan kelahiran awal atau komplikasi pada

neonatus berupa prematuritas. Risiko fetus diakibatkan oleh insufisiensi plasenta

30

baik akut maupun kronis. Pada kasus berat dapat ditemui fetal distress baik pada
saat kelahiran maupun sesudah kelahiran (Pernoll, 1987). Komplikasi yang sering
terjadi pada preeklamsia berat adalah :
a. Solusio plasenta. Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu hamil yang
menderita hipertensi akut
b. Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian
maternal
c. Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara yang
berlangsung selama seminggu dapat terjadi. Perdarahan kadangkadang terjadi pada retina, hal ini merupakan tanda gawat dan akan
terjadi apopleksia serebri.
d. Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada pasien preeklampsiaeklampsia diakibatkan vasospasmus arteriol umum. Kerusakan sel-sel
hati dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati
e. Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus berupa
pembengkakan sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan
struktur lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai
gagal ginjal
f. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intrauterin
g. Komplikasi lain berupa lidah tergigit, trauma dan fraktur karena
terjatuh akibat kejang, aspirasi pneumonia (Wiknjosastro, 2006).

31

2.6.7

Pencegahan preeklamsia
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tanda-

tanda dini preeklamsia, dalam hal ini harus dilakukan penanganan preeklamsia
tersebut. Walaupun preeklamsia tidak dapat dicegah seutuhnya, namun frekuensi
preeklamsia dapat dikurangi dengan pemberian pengetahuan dan pengawasan
yang baik pada ibu hamil.
Pengetahuan yang diberikan berupa tentang manfaat diet dan istirahat yang
berguna dalam pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti berbaring, dalam hal ini
yaitu dengan mengurangi pekerjaan sehari-hari dan dianjurkan lebih banyak
duduk dan berbaring. Diet tinggi protein dan rendah lemak, karbohidrat, garam
dan penambahan berat badan yang tidak berlebihan sangat dianjurkan. Mengenal
secara dini preeklamsia dan merawat penderita tanpa memberikan diuretika dan
obat antihipertensi merupakan manfaat dari pencegahan melalui pemeriksaan
antenatal yang baik dan teratur (Wiknjosastro, 2006).

Anda mungkin juga menyukai