TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Skor APGAR
2.1.1
untuk menilai bayi baru lahir segera sesudah lahir, untuk membantu
mengindentifikasi bayi yang memerlukan resusitasi akibat asidosis hipoksik
(Rudolph, 2006).
Skor APGAR adalah suatu metode klinik untuk mengidentifikasi
neonatus, menilai secara cepat keadaannya apakah butuh resusitasi atau tidak,
termasuk menilai efektivitas dari resusitasi itu sendiri. Skor APGAR memiliki
lima komponen, yaitu Appearance, Pulse, Grimace, Activity, Respiration. Jumlah
total dari kelima komponen tersebut menjadi ukuran penilaian cepat keadaan bayi
yang baru lahir, yaitu dengan melihat warna kulit, denyut nadi, tonus otot, refleks
menangis, dan usaha bernafas dari bayi.
Tabel 2.1 Tabel skor APGAR (Rudolph)
TANDA
0 POIN
1 POIN
2 POIN
Denyut nadi
Tidak ada
< 100
> 100
Usaha bernapas
Tidak ada
Tonus otot
Lemas
Refleks iritabilitas
Warna kulit
Kebiruan, pucat
Lambat,
Baik, menangis
tidak teratur
ekstrimitas sedikit Bergerak aktif
fleksi
Meringis
Menangis
kencang
Tubuh
merah Seluruh
tubuh
muda, ekstrimitas berwarna merah
pucat / kebiruan
muda
Skor APGAR diukur pada menit pertama dan kelima setelah kelahiran.
Pengukuran pada menit pertama digunakan untuk menilai bagaimana ketahanan
bayi melewati proses persalinan. Pengukuran pada menit kelima menggambarkan
apakah bayi tersebut dapat bertahan setelah keluar dari rahim ibu. Pengukuran
skor APGAR dilakukan untuk menilai apakah bayi membutuhkan bantuan nafas
atau mengalami kelainan jantung (Zieve, 2011).
Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya skor APGAR adalah faktor
ibu dan faktor bayi. Faktor ibu antara lain primiparitas, cara persalinan, usia dan
penyakit yang menyertai selama kehamilan, sedangkan faktor bayi antara lain
cedera pada saat lahir, hipotermia, hipoglikemia, hipoksemia, hipotensi,
pernafasan irregular, dan asfiksia berat (Ondoa-onama & Tumwine, 2003).
Jumlah skor APGAR 7-10 menyatakan bayi dalam kondisi normal atau
baik, jumlah skor 4-6 menyatakan bayi mengalami asfiksia ringan, dan jumlah
skor 0-3 menyatakan bayi mengalami asfiksia berat (Montgomery, 2000).
Tabel 2.2 Tabel interpretasi skor APGAR
Jumlah Skor
Interpretasi
Catatan
7-10
Normal
4-6
Asfiksia ringan
0-3
Asfiksia berat
Memerlukan
tindakan
medis segera seperti
penyedotan lender yang
menyumbat jalan napas,
atau pemberian oksigen
untuk
membantu
bernapas.
Memerlukan
tindakan
medis yang lebih intensif.
2.2
Asfiksia
2.2.1
Pengertian asfiksia
Menurut Hidayat (2009) Asfiksia neonatorum merupakan suatu kondisi
dimana bayi tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir
(Hidayat, 2009). Asfiksia adalah keadaan gawat bayi yang tidak
dapat bernafas spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan
kadar oksigen dan terjadinya peningkatan karbon dioksida yang
dapat menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut
(Manuaba, 2007).
2.2.2
Penyebab asfiksia
Angka kematian perinatal yang tinggi pada preeklamsia disebabkan oleh
asfiksia, berat badan lahir rendah (BBLR), dan infeksi. Asfiksia bisa terjadi karena
gangguan perfusi uteroplasenter akibat vasospasme dan kerusakan arteri spiralis.
Untuk mengetahui derajat atau tingkat asfiksia pada bayi BBLR dapat ditentukan
dengan menggunakan penilaian skor APGAR (Kawuryan, 2004).
2.2.3
a.
b.
c.
10
d.
Partus lama
e.
f.
2.
3.
Faktor Bayi
a. Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
b. Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu,
ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)
c. Kelainan bawaan (kongenital)
d. Air ketuban bercampur mekonium (Gomella, 2009).
2.2.4
11
Asfiksia Livida yaitu asfiksia yang memiliki ciri meliputi warna kulit
kebiru-biruan, tonus otot masih baik, reaksi rangsangan masih positif,
bunyi jantung reguler, prognosis lebih baik
2.
Asfiksia Pallida yakni asfiksia dengan ciri meliputi warna kulit pucat,
tonus otot sudah kurang, tidak ada reaksi rangsangan, bunyi jantung
irreguler, dan prognosis jelek.
12
2.2.6
Diagnosis asfiksia
Menurut Saifuddin, (2002), asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya
b.
13
2.3
Persalinan
2.3.1
Pengertian persalinan
Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan
plasenta), yang dapat hidup ke dunia luar, dari rahim melalui jalan lahir atau
dengan jalan lain (Mochtar, 1998).
2.3.2
hanyalah merupakan teori-teori yang komplek antara lain dikemukakan faktorfaktor humoral, struktur rahim, sirkulasi rahim, pengaruh tekanan pada saraf, dan
nutrisi.
1. Teori penurunan hormon : 1-2 minggu sebelum partus mulai terjadi
penurunan kadar hormon estrogen dan progesteron. Progesteron bekerja
sebagai penenang otot-otot polos rahim dan akan menyebabkan
kekejangan pembuluh darah sehingga timbul his bila kadar progesteron
turun.
2. Teori plasenta menjadi tua : akan menyebabkan turunnya estrogen dan
progesteron yang menyebabkan kekejangan pembuluh darah, hal ini akan
menimbulkan kontraksi rahim.
3. Teori distensi rahim : rahim yang menjadi besar dan merenggang
menyebabkan iskemia otot-otot rahim, sehingga mengganggu sirkulasi
utero-plasenter.
14
Jenis-Jenis persalinan
Persalinan Normal
2.4.1
bayi dari jalan lahir dengan tenaga ibu sendiri tanpa bantuan alat-alat serta tidak
melukai ibu dan bayi yang umumnya berlangsung kurang dari 24 jam (Mochtar,
1998).
2.4.2
15
2. Passage :
a. Jalan lahir tulang
b. Jalan lahir lunak.
3. Passenger :
a. Janin, plasenta, dan selaput ketuban.
Selain itu terdapat dua faktor lainnya yang ikut menentukan kelangsungan
persalinan, yaitu :
4. Faktor psikologis pasien
a. Penerimaan pasien atas kehamilannya (kehamilan yang dikehendaki
atau tidak dikehendaki)
b. Penerimaan pasien terhadap petunjuk dan persiapannya untuk
menghadapi persalinan
c. Kemampuaannya untuk bekerja sama dengan pemimpin/penolong
persalinannya
d. Adaptasi pasien terhadap rasa nyeri persalinan.
2.4.3
16
17
f. Kekuatan mengejan.
3. Putaran paksi dalam
Putaran paksi dalam merupakan upaya kepala janin untuk menyesuaikan
diri dengan jalan lahir sehingga hipomoklion berada dibawah simfisis.
4. Defleksi kepala janin
Dimulai dengan suboksipitalis berada dibawah simfisis yang berfungsi
sebagai hipomoklion, disertai dengan kekuatan his dan mengejan, maka terdapat
peluang proses defleksi, dan berturut-turut lahir ubun-ubun besar (UUB), dahi,
mata, hidung, mulut, dan dagu. Dengan demikian sebagian besar kepala janin
telah lahir.
5. Ekstensi kepala
Setelah sebagian besar kepala janin keluar, kekuatan persalinan
selanjutnya akan menyebabkan ekstensi kepala, hingga seluruh kepala lahir.
Bersama dengan lahirnya seluruh kepala janin, bahu janin masuk ke jalan lahir
dalam posisi depan-belakang.
6. Putaran paksi luar
Dengan masuknya bahu ke jalan lahir dalam posisi depan-belakang, kepala
janin menyesuaikan diri, sehingga oksipitalis kembali ke posisinya, sederet
dengan posisi tulang belakang.
7. Ekspulsi (persalinan badan janin)
Dengan masuknya bahu janin ke jalan lahir dengan posisi depan-belakang,
maka bahu depan bertindak sebagai hipomoklion. Bahu belakang lahir terlebih
18
dahulu, diikuti bahu depan, sehingga kedua bahu anak lahir. Persalinan sisa badan
janin tidak mengalami kesulitan (Manuaba, 2001).
2.4.4
19
20
2.5
Seksio Sesaria
2.5.1
dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas
500 gram (Prawirohardjo, 2007).
2.5.2
21
suatu persalinan yaitu jalan lahir, janin, kekuatan ibu, psikologi ibu dan penolong.
Apabila terdapat salah satu gangguan pada salah satu faktor tersebut akan
mengakibatkan
persalinan
tidak
berjalan
dengan
lancar
bahkan
dapat
22
e. Pada kasus kelainan letak, jika posisi anak dalam kandungan letaknya
melintang dan terlambat diperiksa selama kehamilan belum tua
23
f.
Jika terjadi kontraksi yang lemah dan tidak terkordinasi, hal ini
menyebabkan tidak ada lagi kekuatan untuk mendorong bayi keluar dari
rahim
24
b) Letak bokong :
Seksio sesarea dianjurkan pada letak bokong bila ada :
a. Panggul sempit
b. Primigravida
c. Janin besar dan berharga.
c) Gemelli, menurut Eastman seksio sesarea dianjurkan :
a. Bila janin pertama letak lintang atau persentasi bahu (shoulder
presentation)
b. Distosia oleh karena tumor
c. Gawat janin (Mochtar, 1998).
3. Indikasi sosial
Selain indikasi medis terdapat indikasi nonmedis untuk melakukan seksio
sesarea yaitu indikasi sosial. Persalinan seksio sesarea karena indikasi sosial
timbul karena adanya permintaan pasien walaupun tidak ada masalah atau
kesulitan untuk melakukan persalinan normal. Indikasi sosial biasanya sudah
direncanakan terlebih dahulu untuk dilakukan tindakan seksio sesarea
(Cunningham, et,al 2006).
2.5.4
maupun untuk kepentingan anak, oleh sebab itu, seksio sesarea tidak dilakukan
kecuali tidak dalam keadaan terpaksa. Seksio sesarea tidak boleh dilakukan pada
kasus-kasus seperti ini:
25
a.
Janin sudah mati dalam kandungan. Dalam hal ini dokter memastikan
denyut jantung janin tidak ada lagi, tidak ada lagi gerakan janin anak
dan dari pemeriksaan USG untuk memastikan keadaan janin
26
2.6
Preeklamsia
2.6.1
Pengertian preeklamsia
Preeklamsia adalah sindrom klinis yang ditandai dengan hipertensi dan
Epidemiologi preeklamsia
Secara global jumlah kematian ibu akibat preeklamsia mencapai 10-15%.
27
2.6.3
mempengaruhi terjadinya preeklamsia. Walaupun belum ada teori yang pasti yang
berkaitan dengan dengan terjadinya preeklamsia. Faktor risiko tersebut meliputi :
1.
Riwayat preeklamsia
Seseorang yang mempunyai riwayat preeklamsia atau riwayat keluarga
dengan
preeklamsia
maka
akan
meningkatkan
risiko
terjadinya
penghambat
(blocking
preeklamsia
2.
Primigravida
Pada
primigravida
pembentukan
antibodi
Kegemukan
4.
Kehamilan ganda
Preeklampsia lebih sering terjadi pada wanita yang sedang hamil bayi
kembar atau lebih
5.
28
2.6.4
Diagnosis preeklamsia
1.
Preeklamsia ringan
a. Tekanan darah absolut 140/90 mmHg atau kenaikan sistolik 30 mmHg
dan diastolik 15 mmHg
b. Edema ringan
c.
Kenaikan BB 1 kg/minggu
Penatalaksanaan preeklamsia
Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah terjadinya
preeklamsia berat atau eklamsia, dan dapat melahirkan janin yang hidup dan
melahirkan janin dengan trauma yang sekecil-kecilnya (Wiknjosastro, 2006).
1.
Preeklamsia ringan
Istirahat di tempat tidur merupakan terapi utama dalam penanganan
29
ekstrimitas bawah juga menurun dan reabsorpsi cairan di daerah tersebut juga
bertambah. Selain itu dengan istirahat di tempat tidur mengurangi kebutuhan
volume darah yang beredar dan juga dapat menurunkan tekanan darah dan
kejadian edema. (Wiknjosastro, 2006).
2.
Preeklamsia berat
Pada preeklamsia berat, persalinan harus terjadi dalam 24 jam. Jika seksio
sesarea akan dilakukan, anestesi yang aman/terpilih adalah anastesi umum. Tidak
harus dilakukan anastesi spinal, karena anestesi spinal berhubungan dengan
hipotensi (Cunningham, 2005). Pada pasien preeklamsia berat segera harus diberi
sedativa yang kuat untuk mencegah timbulnya kejang. Sebagai pengobatan untuk
mencegah timbulnya kejang dapat diberikan larutan magnesium sulfat 40%
sebanyak 10 ml disuntikan intramuskular pada bokong kiri dan kanan sebagai
dosis permulaan. Pemberian dapat diulang dengan dosis yang sama dalam rentang
waktu 6 jam menurut keadaan pasien. Tambahan magnesium sulfat hanya dapat
diberikan jika diuresis pasien baik, refleks patella positif dan frekuensi pernafasan
lebih dari 16 kali/menit. Obat ini memiliki efek menenangkan, menurunkan
tekanan darah dan meningkatkan diuresis. Selain magnesium sulfat pasien dengan
preeklamsia dapat juga diberikan klorpromazin dengan dosis 50 mg secara
intramuskular ataupun diazepam 20 mg secara intramuskular (Wiknjosastro,
2006).
2.6.6
komplikasi preeklamsia
Preeklamsia dapat menyebabkan kelahiran awal atau komplikasi pada
30
baik akut maupun kronis. Pada kasus berat dapat ditemui fetal distress baik pada
saat kelahiran maupun sesudah kelahiran (Pernoll, 1987). Komplikasi yang sering
terjadi pada preeklamsia berat adalah :
a. Solusio plasenta. Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu hamil yang
menderita hipertensi akut
b. Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian
maternal
c. Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara yang
berlangsung selama seminggu dapat terjadi. Perdarahan kadangkadang terjadi pada retina, hal ini merupakan tanda gawat dan akan
terjadi apopleksia serebri.
d. Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada pasien preeklampsiaeklampsia diakibatkan vasospasmus arteriol umum. Kerusakan sel-sel
hati dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati
e. Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus berupa
pembengkakan sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan
struktur lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai
gagal ginjal
f. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intrauterin
g. Komplikasi lain berupa lidah tergigit, trauma dan fraktur karena
terjatuh akibat kejang, aspirasi pneumonia (Wiknjosastro, 2006).
31
2.6.7
Pencegahan preeklamsia
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tanda-
tanda dini preeklamsia, dalam hal ini harus dilakukan penanganan preeklamsia
tersebut. Walaupun preeklamsia tidak dapat dicegah seutuhnya, namun frekuensi
preeklamsia dapat dikurangi dengan pemberian pengetahuan dan pengawasan
yang baik pada ibu hamil.
Pengetahuan yang diberikan berupa tentang manfaat diet dan istirahat yang
berguna dalam pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti berbaring, dalam hal ini
yaitu dengan mengurangi pekerjaan sehari-hari dan dianjurkan lebih banyak
duduk dan berbaring. Diet tinggi protein dan rendah lemak, karbohidrat, garam
dan penambahan berat badan yang tidak berlebihan sangat dianjurkan. Mengenal
secara dini preeklamsia dan merawat penderita tanpa memberikan diuretika dan
obat antihipertensi merupakan manfaat dari pencegahan melalui pemeriksaan
antenatal yang baik dan teratur (Wiknjosastro, 2006).