Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otitis media akut (OMA) adalah suatu radang mukoperiosteum dari
rongga telinga tengah yang disebabkan oleh kuman. Pada umumnya
merupakan komplikasi dari infeksi atau radang saluran nafas atas, misalnya
common cold, influenza, sinusitis, morbili dan sebagainya. Infeksi
kebanyakan melalui tuba Eustachii, selanjutnya masuk ketelinga tengah.
Adapun infeksi saluran nafas bagian atas akan menyebabkan invasi kuman ke
telinga tengah bahkan sampai kemastoid. Kuman penyebab utama adalah
bakteri piogenik seperti streptococcus hemolitikus, Staphylococcus aureus,
Streptococcus pneumonia, dan Haemophilus influenza (Bluestone, 2003)
OMA lebih sering terjadi pada anak oleh karena infeksi saluran nafas atas
sering terjadi pada anak-anak dan bentuk anatomi tuba Eustachii pada anak
lebih pendek, lebar dan agak horizontal letaknya disbanding orang dewasa.
Dengan keadaan itu infeksi mudah menjalar melalui tuba Eustachii. Menurut
Klein dan Howie frekuensi tertinggi di OMA terdapat pada bayi dan anak
berumur 0-2 tahun. Sedangkan menurut Moch melaporkan 50% dari kasus
OMA ditemukan pada anak berumur 0-5 tahun dan frekuensi tertinggi pada
umur 0-1 tahun (Titiasari, 2005)
Gejala klinis dari OMA antara lain sakit telinga, demam, kadang disertai
otore apabila telah terjaddi perforasi dari membrane timpani. OMA dapat
sembuh dengan atau tanpa disertai perforasi membrane timpani. OMA dapat
sembuh dengan atau tanpa disertai perforasi membrane timpani, tetapi dapat
pula berlanjut menjadi otitis media kronik (OMK) dan otitis media dengan
efusi (OME). Proses peradangan akut pada telinga tengah berjalan cepat dan
sebagian dapat menimbulkan proses destruktif, tidak hanya mengenai
mukoperiosteum saja tetapi juga mengenai tulang-tulang sekitarnya karena
telinga tengah hanya dibatasi tulang yang tipis. Adapun penjalaran penyakit
kedaerah sekitarnya tergantung pada keadaan penyakitnya sendiri dan terapi
yang diberikan. Otitis media akut atau OMA dapat memberikan komplikasi
seperti abses subperiosteal sampai komplikasi yang berat (meningitis dan
abses otak (Helmi, 2008)
1.2 Tujuan
Untuk mengetahui Anatomi dan fisiologi pendengaran, definisi OMA,
patofisiologi OMA, gejala klinis, cara menegakkan diagnosa, penatalaksanaan,
dan komplikasi OMA
BAB II
1

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Telinga

Fisiologi Pendengaran
Proses pendengaran terjadi mengikuti alur sebagai berikut: gelombang
suara mencapai membran tympani, membran tympani bergetar
menyebabkan tulang-tulang pendengaran bergetar. Tulang stapes yang
bergetar masuk-keluar dari tingkat oval menimbulkan getaran pada
perilymph di scala vestibuli. Karena luas permukaan membran
tympani 22 x lebih besar dari luas tingkap oval, maka terjadi
penguatan 15-22 x
pada tingkap oval (guyton,2007)
Membran basilaris yang terletak dekat telinga tengah lebih pendek
dan kaku, akan bergetar bila ada getaran dengan nada rendah. Hal ini
dapat diibaratkan dengan senar gitar yang pendek dan tegang, akan
beresonansi dengan nada tinggi (Guyton, 2007)
Getaran yang bernada tinggi pada perilymp scala vestibuli akan
melintasi membrana vestibularis yang terletak dekat ke telinga tengah.
2

Sebaliknya nada rendah akan menggetarkan bagian membrana basilaris


di daerah apex. Getaran ini kemudian akan turun ke perilymp scala
tympani, kemudian keluar melalui tingkap bulat ke telinga tengah
untuk diredam (Ganong, 2008)
Sewaktu membrana basilaris bergetar, rambut-rambut pada sel-sel
rambut bergetar terhadap membrana tectoria, hal ini menimbulkan
suatu potensial aksi yang akan berubah menjadi impuls. Impuls
dijalarkan melalui saraf otak statoacustikus (saraf pendengaran) ke
medulla oblongata kemudian ke colliculus Persepsi auditif terjadi
setelah proses sensori atau sensasi auditif. Sensori auditif diaktifkan
oleh adanya rangsang bunyi atau suara. Persepsi auditif berkaitan
dengan kemampuan otak untuk memproses dan menginterpretasikan
berbagai bunyi atau suara yang didengar oleh telinga. Kemampuan
persepsi auditif yang baik memungkinkan seorang anak dapat
membedakan berbagai bunyi dengan sumber, ritme, volume, dan pitch
yang berbeda. Kemampuan ini sangat berguna dalam proses belajar
membaca. Persepsi auditif (Ganong, 2008)
mencakup kemampuan-kemampuan berikut :
a. Kesadaran fonologis yaitu kesadaran bahwa bahasa dapat dipecah
ke dalam kata, suku kata, dan fonem (bunyi huruf)
b. Diskriminasi auditif yaitu kemampuan mengingat perbedaan antara
bunyi-bunyi fonem dan mengidentifikasi kata-kata yang sama
dengan kata-kata yang berbeda
c. Ingatan (memori) auditif yaitu kemampuan untuk menyimpan dan
mengingat sesuatu yang didengar
d. Urutan auditif yaitu kemampuan mengingat urutan hal-hal yang
disampaikan secara lisan
e. Perpaduan auditif yaitu kemampuan memadukan elemen-elemen
fonem tunggal atau berbagai fonem menjadi suatu kata yang utuh
2.2 Definisi Otitis Media Akut
Otitis media adalah suatu peradangan sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah. Otitis media akut didefinisikan bila proses peradangan pada telinga
tengah yang terjadi secara cepat dan singkat (dalam waktu kurang dari 3 minggu)
yang disertai dengan gejala local dan sistemik (Healy, 2003)

2.3 Etiologi
Otitis media akut bisa disebabkan oleh bakteri dan virus. Bakteri yang
paling sering ditemukan adalah Streptococcus pneumaniae, diikuti oleh
Haemophilus influenza, Moraxella catarrhalis, Streptococcus grup A, dan

Staphylococcus aureus. Beberapa mikroorganisme lain yang jarang ditemukan


adalah Mycoplasma pneumaniae, Chlamydia pneumaniae, dan Clamydia
tracomatis. Virus yang sering sebagai penyebab OMA adalah respiratory syncytial
virus. Selain itu bisa disebabkan virus parainfluenza (tipe 1,2, dan 3), influenza A
dan B, rinovirus, adenovirus, enterovirus, dan koronavirus. Penyebab yang jarang
yaitu sitomegalovirus dan herpes simpleks (Healy, 2003)
2.4 Patofisiologi
Otitis media akut terjadi karena terganggunya faktor pertahanan tubuh.
Sumbatan pada tuba Eustachius merupakan faktor utama penyebab terjadinya
penyakit ini. Dengan terganggunya fungsi tuba Eustachius, terganggu pula
pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah sehingga kuman masuk dan
terjadi peradangan. Gangguan fungsi tuba Eustachius ini menyebabkan terjadinya
tekanan negatif di telingah tengah, yang menyebabkan transudasi cairan hingga
supurasi. Pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran pernafasan atas (ISPA).
Makin sering anak-anak terserang ISPA, makin besar kemungkinan terjadinya
OMA. Pada bayi dan anak terjadinya OMA dipermudah karena: 1. morfologi tuba
eustachius yang pendek, lebar, dan letaknya agak horizontal; 2. sistem kekebalan
tubuh masih dalam perkembangan; 3. adenoid pada anak relatif lebih besar
dibanding orang dewasa dan sering terinfeksi sehingga infeksi dapat menyebar ke
telinga tengah (healy, 2003)
Beberapa faktor lain mungkin juga berhubungan dengan terjadinya
penyakit telinga tengah, seperti alergi, disfungsi siliar, penyakit hidung dan/atau
sinus, dan kelainan sistem imun (Healy, 2003)
2.5 Gejala Klinis
Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien.
Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di
dalam telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat
batuk pilek sebelumnya.
yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat
gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang
mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh
tinggi dapat mencapai 39,5C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan
sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan
kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur
membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun
dan anak tidur tenang (Helmi, 2008).
Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau
ringannya suatu penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran
temperatur, keluhan orang tua pasien tentang anak yang gelisah dan menarik

telinga atau tugging, serta membran timpani yang kemerahan dan


membengkak atau bulging (Helmi, 2008)
2.6 Klasifikasi
Ada 5 stadium OMA berdasarkan pada perubahan mukosa telinga
tengah, yaitu:
1. Stadium Oklusi
Stadium ini ditandai dengan gambaran retraksi Curulent timpani akibat
tekanan Curulent telinga tengah. Membran timpani kadang tampak normal
atau berwarna suram.
2. Stadium Hiperemis
Pada stadium ini tampak pembuluh darah yang melebar di sebagian atau
seluruh Curulent timpani, Curulent timpani tampak hiperemis disertai
edem.
3. Stadium Supurasi
Stadium ini ditandai edem yang hebat telinga tengah disertai hancurnya sel
epitel superfisial serta terbentuknya eksudat Curulent di kavum timpani
sehingga Curulent timpani tampak menonjol (bulging) Curulen liang
telinga luar.
4. Stadium Perforasi
Pada stadium ini terjadi Curulen Curulent timpani sehingga nanah keluar
dari telinga tengah ke liang telinga.
5. Stadium Resolusi
Pada stadium ini Curulent timpani berangsur normal, perforasi Curulent
timpani kembali menutup dan Curule Curulent tidak ada lagi. Bila daya
tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah maka resolusi dapat terjadi
walaupun tanpa pengobatan (Healy, 2003)
Ada juga yang membagi OMA menjadi 5 stadium yang sedikit
berbeda yaitu: 1. Stadium kataralis; 2. Stadium eksudasi; 3. Stadium
supurasi; 4. Stadium penyembuhan dan 5. Stadium komplikasi
(Healy, 2003)

2.7 Cara Mendiagnosa OMA


Kriteria Diagnosis OMA
Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal
berikut, yaitu:
1. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.

2.

Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan


di telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara
tanda berikut, seperti menggembungnya membran timpani atau
bulging, terbatas atau tidak ada gerakan pada membran timpani,
terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani, dan terdapat
cairan yang keluar dari telinga.
3. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan
dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti kemerahan
atau erythema pada membran timpani, nyeri telinga atau otalgia yang
mengganggu tidur dan aktivitas normal.
Menurut Klein (2011) keparahan OMA dibagi kepada dua kategori, yaitu
ringan-sedang, dan berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah terdapat
cairan di telinga tengah, mobilitas membran timpani yang menurun,
terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani, membengkak
pada membran timpani, dan otore yang purulen. Selain itu, juga terdapat
tanda dan gejala inflamasi pada telinga tengah, seperti demam, otalgia,
gangguan pendengaran, tinitus, vertigo dan kemerahan pada membran
timpani. Tahap berat meliputi semua kriteria tersebut, dengan tambahan
ditandai dengan demam melebihi 39,0C, dan disertai dengan otalgia yang
bersifat sedang sampai berat.
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan
pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan
pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan
pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania
dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi
tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan memperbaiki
sistem imum lokal dan sistemik (Titisari, 2005).
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali
tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat
tetes hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12
tahun atau HCl efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas
12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian
antibiotik (Helmi, 2008).
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan
analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin.
Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau

sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar


konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis
terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.
Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap penisilin,
diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang
terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50
mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis (Helmi, 2008).
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk
untuk melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala
cepat hilang dan tidak terjadi ruptur (Helmi, 2008).
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara
berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3
sampai dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya
sekret akan hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10
hari (Helmi, 2008).
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret
tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret
mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik
dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan, mungkin telah
terjadi mastoiditis (Helmi, 2008).
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik.
Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam
dua sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik
yang segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari tejadinya komplikasi supuratif
seterusnya. Masalah yang muncul adalah risiko terbentuknya bakteri yang resisten
terhadap antibiotik meningkat. Menurut American Academy of Pediatrics (2004)
dalam Kerschner (2007)

2.9 Komplikasi
Komplikasi dari OMA dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu
melalui erosi tulang, invasi langsung dan tromboflebitis. Komplikasi ini dibagi
menjadi komplikasi intratemporal dan intrakranial. Komplikasi intratemporal
terdiri dari: mastoiditis akut, petrositis, labirintitis, perforasi pars tensa, atelektasis
telinga tengah, paresis fasialis, dan gangguan pendengaran. Komplikasi

intrakranial yang dapat terjadi antara lain yaitu meningitis, encefalitis,


hidrosefalus otikus, abses otak, abses epidural, empiema subdural, dan trombosis
sinus lateralis (Priyono,2010)
Komplikasi tersebut umumnya sering ditemukan sewaktu belum adanya
antibiotik, tetapi pada era antibiotik semua jenis komplikasi itu biasanya
didapatkan sebagai komplikasi dari otitis media supuratif kronik (OMSK).
Penatalaksanaan OMA dengan komplikasi ini yaitu dengan menggunakan
antibiotik spektrum luas, dan pembedahan seperti mastoidektomi (Ghanie, 2010)
.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Otitis Media Akut (OMA) peradangan akut mukoperiosteum telinga
tengah yang disebabkan oleh bakteri. Pada umumnya OMA merupakan

komplikasi dari infeksi saluran nafas atas. Infeksi melalui tube eustachi,
selanjutnya masuk ketelinga tengah. Sebagian besar OMA terjadi pada anak,
karena infeksi saluran nafas atas banyak pada anak, dan bentuk tuba eustachii
pada anak lebih pendek, lebar dan mendatar. Penatalaksanaan OMA pada
prinsipnya adalah terapi medikamentosa yang diberikan tergantung dari
stadium penyakitnya. Prinsipnya dalah pemberian antibiotika dan parasintesis
untuk menghindari perforasi spontan.
3.2 Saran
Dari pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
diminta kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Pediatrics and American Academy of Family Physicians.
Diagnosis and management of acute otitis media. Clinical practice
guideline. Pediatrics 2004;113(5):1451-1465
Bluestone CD. Definition, terminology, and classification. In: Rosenfeld RM,
Bluestone CD,eds. Evidence-based otitis media. 2nd edition. Ontario:BC
Decker Inc;2003.p.120-135
Ghanie A. Penatalaksanaan otitis media akut pada anak. Tinjauan pustaka.
Palembang: Departemen THT-KL FK Unsri/RSUP M.Hoesin;2010.
Healy GB, Rosbe KW. Otitis media and middle ear effusions. In: Snow JB,
Ballenger JJ,eds. Ballengers otorhinolaryngology head and neck surgery.
16th edition. New York: BC Decker;2003. p.249-59.
Helmi. Dalam buku acuan modul telinga. Radang telinga tengah. Edisi pertama.
Kolegium ilmu kesehatan THT-KL, 2008
Priyono H. Restuti RD, Iswara A. Handryastuti S. Komplikasi intratemporal dan
intrakranial pada otitis media akut anak. Laporan kasus. Jakarta:
Departemen THT-KL FKUI/RSCM.

Titisari H. Prevalensi dan sensitivitas Haemophillus influenza pada otitis media


akut di RSCM dan RSAB Harapan Kita [Tesis]. Jakarta:FKUI;2005.

10

Anda mungkin juga menyukai