Anda di halaman 1dari 4

Gunung Sinabung, fenomena vulkanisme di dataran tinggi Karo, beberapa waktu terakhir tidak

hentinya menjadi headline di beberapa media baik cetak maupun elektronik. Beberapa gunung
api aktif lainnya juga seperti tidak mau kalah dengan Sinabung, Gunung Raung di Jawa Timur
misalnya. Sebagai bagian dari rangkaian Ring of Fire, alamiahnya Indonesia memiliki potensi
bencana amat besar, ditambah lagi banyaknya penduduk Indonesia menyebabkan implikasi
bencana yang ditimbulkan sangat berbahaya dan begitu mengancam nyawa penduduk. Peristiwa
26 Desember 2004 adalah satu dari sekian banyak contoh bencana yang teramat melekat di
memori seluruh penduduk Indonesia, sampai-sampai pada beberapa jenjang sekolah saat guru
bertanya contoh bencana di Indonesia pasti selalu ada yang menjawab gempa dan tsunami Aceh
satu dekade silam.
Indonesia memang negeri yang akrab dengan bencana. Sejarah mencatat, sejak berdiri bangsa ini
telah mengalami semua jenis bencana. Jika membicarakan bencana, yang terbesit difikiran
sebagian besar umat manusia di bumi ini adalah gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir
bandang, tanah longsor, angin puting beliung, kebakaran hutan, dan kekeringan. Tidak salah
memang, karena secara defenisi-kontekstual beberapa contoh tersebut memang sangat pantas
disebut sebagai bencana, sebagaimana defenisi bencana itu sendiri menurut Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2007 yakni peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
menggangu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam
dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga megakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Melihat kenyataan di masyarakat, umumnya sebagian besar penduduk Indonesia hanya mengenal
bencana yang disebabkan oleh alam, padahal bencana tidak hanya berkutat pada fenomena alam,
sesuai defenisi bencana menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 bencana juga
disebabkan oleh faktor nonalam. Banyak yang hampir lupa dengan adanya bencana sosial,
bencana akibat wabah penyakit, bencana akibat kegagalan aplikasi teknologi, dan bencana akibat
kegagalan transportasi baik di darat, laut, dan udara.
---Bencana Transportasi, Si Pembunuh Besar yang Hampir Terlupa--Medan, 30 Juni 2015. Pesawat militer TNI-AU Republik Indonesia jenis Hercules tipe C-130
dengan nomor A-1310 jatuh setelah baru 2 menit lepas landas dari Lanud Soewondo (dulunya
Bandara Polonia) Medan sekitar pukul 11.50 pagi. Jatuhnya pesawat ini sekitar 2 km dari lokasi
pesawat Mandala Airlines yang jatuh satu dekade silam di sekitar Jalan Djamin Ginting, Padang
Bulan Medan. Korban tewas mencapai lebih dari 140 jiwa. Pihak Pangkalan Udara menyatakan
dari 140 lebih korban 122 diantaranya prajurit dan penumpang yang ada di dalam pesawat,
selebihnya adalah warga sekitar lokasi pesawat tersebut jatuh.
Kejadian ini begitu menghentak dunia transportasi udara di tanah air setelah di awal tahun 2015
maskapai Air Asia QZ-8501 tujuan Singapura jatuh di sekitar selat Karimata dan menewaskan
sekitar 162 orang termasuk 7 awak pesawat. Selain kecelakaan transportasi udara, Indonesia juga
memiliki ribuan kasus kecelakaan transportasi laut, sungai, dan darat. Data Statistik Kejadian
Bencana Tahun 2014 dari Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Kemenkes mencatat

sepanjang 2014 kejadian bencana alam tercatat sebanyak 456 kejadian dengan jumlah korban
meninggal mencapai 957 jiwa. Sementara itu, data Korps Lalu Lintas (Korlantas) Mabes Polri
merilis data sepanjang Januari-Nopember 2014 tercatat angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia
mencapai 85.765 kejadian dengan korban jiwa meninggal mencapai 26.623 jiwa. Jika
dibandingkan dengan kejadian bencana alam, bencana transportasi nyatanya 28 kali lebih tinggi
daripada bencana alam. Dilansir dari WHO, Indonesia berada di urutan kelima dengan jumlah
kematian terbanyak akibat kecelakaan lalu lintas dengan jumlah korban mencapai 120 jiwa per
harinya. Dekade Aksi Keselamatan Jalan yang dicanangkan PBB pada tahun 2010 silam seolah
tiada arti jika melihat jumlah korban yang ada tiap tahunnya.
Bencana transportasi atau yang disebut juga sebagai kecelakaan transportasi adalah kecelakaan
moda transportasi yang terjadi di darat, laut, dan udara. Bencana transportasi yang hampir
sebagian besar penduduk belum mengenalnya sebagai salah satu jenis bencana yang termaktub
dalam Undang-Undang sesungguhnya adalah mesin pembunuh yang sangat ganas. Ia seperti
pembunuh besar yang hampir terlupakan. Bagaimana tidak? Setiap hari ratusan nyawa melayang,
namun masih benyak juga yang belum menyadarinya. Terlebih lagi bencana transportasi yang
disebabkan oleh pembunuh nomor satu, yakni kendaraan bermotor. Keberadaan 60 juta unit
sepeda motor dan 8 juta unit mobil di jalanan Indonesia rasanya cukup menjadi modal
pembunuh manusia secara massif dengan perlahan.
---Merumuskan Kembali Mitigasi Bencana Transportasi--Istilah mitigasi mencuat dan popular di Indonesia setelah terjadinya bencana besar yang melanda
negeri ini. Beberapa lembaga negara non kementerian dibentuk untuk menangani kasus bencana
sebelum, pada saat dan setelah terjadinya bencana tersebut. Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 tentang penanggulangan bencana mendefenisikan mitigasi sebagai serangkaian upaya
untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Apabila menyinggung masalah mitigasi dan keterkaitannya dengan bencana, pola pikir
masyarakat masih tetap mainstream dalam arti kata selalu memikirkan bencana alam seperti
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, longsor, dan lain-lain. Jarang sekali atau hampir tidak
pernah masalah mitigasi dikaitkan dengan transportasi, padahal ada 68 juta unit lebih moda
transportasi yang menjadi hidden disaster yang berperan sebagai mesin pembunuh dan bisa
membunuh kapan saja. Setiap hari ada sekitar 120 jiwa melayang akibat kecelakaan lalu lintas.
Ketika pemberitaan meletusnya gunung harus ditetapkan sebagai bencana nasional dibesarbesarkan, ketika itu juga secara diam mesin-mesin pembunuh di jalan raya bekerja
menghilangkan ratusan nyawa. Perlahan tapi pasti.
Dalam hal ini, penting sekali merumuskan kembali model mitigasi untuk bencana transportasi di
Indonesia. Sebab, kecelakaan juga merupakan peristiwa yang mengancam dan menggangu
kehidupan dan penghidupan masyarakat oleh faktor nonalam atau faktor manusia sehingga
megakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan dan dampak psikologis sehingga

dibutuhkan serangkaian upaya untuk mengurangi resiko (mitigasi), baik melalui pembangunan
fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman.
Perumusan mitigasi bencana alam yang ada tampaknya sudah sangat memadai mulai dari
sebelum terjadi hingga pasca bencana. Gempa bumi misalnya, mitigasi yang dilakukan untuk
menghadapi gempa sudah amat mapan, penduduk di wilayah rawan gempa sudah jauh-jauh hari
membangun struktur bangunan tempat tinggal yang terbuat dari bahan kayu yang rekatif aman
terhadap gempa. Pada saat terjadi gempa penduduk sudah mengerti bagaimana cara menghindar,
setidaknya penduduk mengetahui bahwa tanah yang luas, jauh dari bangunan, bersembunyi di
bawah meja adalah langkah-langkah yang ampuh untuk menghindari keganasan gempa. Setelah
terjadinya bencana penduduk engan kembali ke rumah dikarenakan takut adanya gempa susulan,
pasca bencana juga diisi dengan kegiatan rehabilitasi dan terkadang diisi dengan kegiatan
trauma healing kepada para korban yang umumnya ada di bawah umur. Lantas bagaimana
dengan mitigasi bencana transportasi? Bagaimana rumusan yang jelas tentang mitigasi bencana
tranportasi sebelum kejadian? Apa yang dilakukan saat terjadinya kejadian di jalan raya? Serta
bagaimana pendekatan pasca bencana? Adakah kita jumpai tim trauma healing yang menghibur
sanak saudara korban yang darahnya terkucur di jalan, yang tenggelam di laut, dan yang terbakar
di pesawat, kereta api, bus, dan moda transportasi lain?. Hal-hal inilah yang masih menjadi
pertanyaan besar, ketika kecelakaan transportasi ditetapkan sebagai bencana menurut undangundang negara dan ketika bencana transportasi menjadi pembunuh nomor satu, justru kegiatan
mitigasinya seolah prematur, tidak komprehensif, dan tidak semassif kegiatan mitigasi bencana
alam. Agaknya kita perlu merumuskan kembali secara menyeluruh bagaimana kegiatan mitigasi
yang dilakukan untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan oleh bencana transportasi.
Kecelakaan transportasi, baik di darat, laut, dan udara merupakan kejadian yang harusnya
mendapat mitigasi sedini mungkin. Tidak perlu melihat siapa yang salah siapa yang benar dalam
hal ihwal kasus-kasus kecelakaan transportasi di tanah air. M Joel Deksa Mastana, Direktur
Safety Ride and Drive Center Akademi Motorcycle Indonesia (15/04) mengatakan bahwa urusan
lalu lintas adalah tanggung jawab bersama dan sistem lalu lintas di Indonesia masih jauh dari
kata baik, mulai dari pengendara, penegak hukumnya, maupun pemerintahnya. Kecelakaan
transportasi yang bermetamorfosa menjadi bencana transportasi harus mimiliki sistem mitigasi
yang tangguh.
Pengendara dan awak moda transportasi sebaiknya mengetahui dasar keamanan dalam
berkendara. Masyarakat sudah mengenal keberadaan KNKT (Komite Nasional Keselamatan
Transportasi), namun umumnya masyarakat akan mendengar nama komite ini saat adanya air
crush (kecelakaan pesawat), keeclakaan kereta api, atau bus yang berpenumpang penuh.
Beberapa moda transportasi tersebut memang sejak dini sudah memiliki awak yang terlatih dan
dipandu dengan standar operasional yang baku. Namun, bagaimana dengan pengendara mobil,
angkot, dan pengendara sepeda motor?. Dilansir dari Korlantas Mabes polri, sepeda motor salah
satu mesin pembunuh nomor satu diantara semua kejadian kecelakaan transportasi, yakni
mencapai 75%. Pengendara kendaraan bermotor harus dibekali konsep mitigasi bertransportasi
yang baik dan benar, tak hanya pengendara, masyarakat luas pun harus diberikan pengetahuan

tentang kemitigasian dalam bidang transportasi agar siap sebelum, saat peristiwa dan setelah
terjadinya peristiwa.
Di jalan raya, banyak ditemukan kesemrawutan lalu lintas. Prasarana lalu lintas yang belum
memadai ditambah arogansi pengendara yang menimbulkan kegaduhan makin menambah
potensi bencana transportasi di tanah air. Pendekatan preventif sebagai mitigasi sebelum
terjadinya bencana harus ditekankan pada pengendara moda transportasi. Membatasi jumlah
penumpang, memberlakukan pelarangan siswa membawa kendaraan bermotor, dan perbaikan
sarana prasarana lalu lintas adalah beberapa langkah penting yang harus sesegera mungkin
diaplikasikan. Jalan raya masih menjadi pembunuh mematikan bagi pengendara.
Kapanpun semua masyarakat harus siap menjadi agen mitigasi dalam kasus bencana
transportasi. Saat ada kasus kecelakaan kendaraan bermotor, kebanyakan orang-orang yang ada
di sekitar kejadian hanya melihat dan takut mengevakuasi korban ke rumah sakit dan ke tempat
yang lebih menjamin keselamatan korban, seharusnya masyarakat sekitar kejadian bisa menjadi
saviour bagi korban yang mengalami kecelakaan bukan malah menjadi penonton dan wartawan
dadakan. Ini adalah bukti lemahnya mitigasi saat terjadinya bencana transportasi. Masyarakat
harus diedukasi mengenai mitigasi pada saat terjadinya bencana transportasi agar tidak hanya
menjadi penonton. Setelah terjadi bencana transportasi, masyarakat dan pemerintah juga harus
bergegas memperbaiki sistem lalu lintas. Masyarakat lebih preventif terhadap pengendara di
bawah umur. Masyarakat juga harus bisa menggantikan peran petugas dalam menertibkan
pengendara yang ugal-ugalan serta di bawah umur.
Itu sebabnya mengapa mitigasi bencana transportasi teramat penting untuk diedukasi kepada
masyarakat luas. Mitigasi bencana transportasi sebelum peristiwa melalui pengetatan
pengamanan dan perbaikan sarana prasarana transportasi setidaknya akan mengurangi angka
korban. Kemudian edukasi kepada masyarakat agar lebih peka dan responsive terhadap kasus
kecelakaan pada saat terjadi harus sesegera mungkin digalakkan agar masyarakat bisa menjadi
savior bagi korban. Kemudian, pasca peristiwa harus dilakukan berbagai evaluasi dan perbaikan
sistem serta pengetatan regulasi dan keikutsertaan masyarakat sebagai laskar peduli ransportasi
agar dapat meminimalisir jumlah korban. Bencana transportasi merupakan pembunuh besar yang
berbahaya, ia pelan namun pasti amat mematikan, bencana transportasi sebagai hidden disaster
musti dirumuskan mitigasinya agar mengurangi bahaya dan jumlah korban jiwa.
http://www.kompasiana.com/akbarasia/merumuskan-mitigasi-bencana-transportasisi-pembunuh-yang-hampir-terlupakan_559b476f3fafbd3c048b4568

Anda mungkin juga menyukai