Anda di halaman 1dari 5

Masyarakat Budaya dan Politik Asia Selatan

Moch. Arief Setiawan


071211231059
Monarki Bhutan dan Nepal: Serupa Tapi Tak Sama
Bhutan dan Nepal merupakan negara yang pernah menggunakan model
pemerintahan monarki absolut. Akan tetapi dalam masa transisi menuju
pemerintahan yang demokratis keduanya memiliki perbedaan yang tajam. Berikut
penulis akan mengurai satu persatu antar negara. Bhutan merupakan negara
landlocked yang terletak di sebelah utara India, yang berbatasan dengan Tibet,
Tiongkok di Utara, dan India di sebelah Selatan dan Provinsi Arunachal Pradesh di
sebelah Baratnya. Secara umum perkembangan politik Bhutan mampu dibagi
menjadi tiga periode utama. Periode pertama adalah teokrasi yang berjalan dari
tahun 1616 hingga 1907. Periode kedua adalah 100 tahun pemerintahan dibawah
Dinasti Wangchuk. Terakhir adalah periode ketiga, yaitu sejak 2008 ketika Bhutan
memutuskan menjadi bagian dari negara yang menganut demokrasi, monarki
Bhutan pun berubah menjadi monarki konstitusional (Wolf t.t, 3).
Monarki di Bhutan baru muncul pada tahun 1907, setelah proses pemerintahan yang
menganut model teokrasi. Teokrasi yang ada di Bhutan (Chhoesi) dipimpin oleh
head of state disebut dengan Shabdrung. Sedangkan kemudian dibawah
kepemimpinan Shabdrung, proses pemerintahan terbagi menjadi dua, yaitu terdiri
dari Druk Desi, yang membawahi berbagai permasalahan administratif kenegaraan,
dan Je Khenpo, yaitu bagian pimpinan pemerintahan yang membawahi persoalan
agama dan merupakan representasi dari Agama Budha, sekaligus menjadi pimpinan
dari model monarki di Bhutan atau Drastsang Lhenstog atau Council/Commission
for Ecclesiatical Affairs. Shabdrung Ngawang Namgyal merupakan seorang biksu
dari Tibet yang mengawali membentul model pemerintahan Chhoesi. Pemerintahan
yang mampu menyatukan penduduk Bhutan ini membawa pengaruh krusial bagi
jalannya pemerintahan yang united, sebelumnya Bhutan merupakan negara yang
yang masih terdiri dari klan-klan yang masih saling berperang satu sama lain. Selain
terdiri dari klan klan, Bhutan memiliki identitas yang dinamakan sebagai Drukpa
identity (Wolf t.t, 3).

Ketika Bhutan masih dibawah model pemerintahan klan-klan dan pemimpin


religius, Bhutan terlibat peperangan dengan Mongol. Setidaknya lima kali
peperangan yang pernah terjadi dan Bhutan selalu memenangkan pertempuran yang
terjadi. Sebagai bentuk penghormatan yang membawa kemenangan bagi Bhutan
adalah Shabdrung, maka sejak saat itulah Shabdrung menjadi pimpinan dari
Bhutan. Shabdrung meletakkan pondasi dasar bagi Negara Bhutan.
Kendatipun Bhutan sudah memiliki pemimpin Shabdrung, bukan kemudian
pemerintahan Bhutan berjalan lancar, Bhutan terlibat adalam perang saudara dan
konflik internal, khususnya setelah meninggalnya Shabdrung Ngawang Namgyal
tahun 1651, sehingga kemudian power lebih terkonsentrasi pada pemimpin lokal.
Bhutan kemudian juga mengalami kolonialisme yang dilakukan oleh English East
India Company pada tahun 1774 melalui perjanjian damai diantara keduanya.
Hingga kemudian Bhutan berada dibawah payung Bristish-India. Pada akhirnya
muncul persengketaan perbatasan antara Bhutan dengan India khususnya di wilayah
Duar. Wilayah Duar merupakan wilayah milik Bhutan yang telah dikontrol sejak
abad ke 18. Inggris kemudian mengembalikan wilayah Duar ke Bhutan dengan
kompensasi-kompensasi khusus, dan kemudian menjadikan Bhutan sebagai wilayah
otonomi khusus dan pada tahun 1865 melalui perjanjian Shinculu yang direvisi pada
tahun 1910, Bhutan diharuskan mengikuti setiap kebijakan luar negara yang dibuat
oleh Inggris. Pada tahun 1947 ketika India merdeka dari Inggris, India pun mengakui
Bhutan sebagai negara berdaulat (Wolf t.t, 4).
Dinasti

Wangchuck

merupakan

penguasa

pertama

monarki

Bhutan.

Raja

pertamanya adalah Sir Ugyen Wangchuck, putra ke 51 dari Druk Desi. Inggris pun
kemudian melakukan perjanjian dan coronation pada Ugyen Wangchuk. Raja
pertama ini berhasil melakukan konsolidasi dan mengakhiri perang saudara yang
terjadi di Bhutan. Ugyen Wangchuck digantikan oleh putranya Jigme Wangchuck
(1926-1952). Cucu dari Ugyen Wangchuck sekaligus raja ketiga dari Bhutan, yaitu
Jigme Dorji Wangchuck (1952-1972) dikenal sebagai bapak modernisasi di Bhutan.
Raja ketiga ini melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
Bhutan, serta menghapus dan melarang adanya perbudakan di Bhutan, selain itu
juga melakukan reformasi dalam bidang kepemilikan lahan dan menghapuskan
model tuan tanah (Wolf t.t, 4-5). Raja keempat, yaitu Jigme Shingye Wangchuck
meneruskan langkah ayahnya dalam membangun Bhutan yang lebih modern,

bahkan Raja Jigme Shingye mampu memperkenalkan Gross National Happiness,


yaitu skala kebahagiaan bagi manusia yang hidup berkecukupan tanpa adanya
keserakahan. Sehingga bagi Bhutan sendiri asalkan sudah mampu mencukupi
kebutuhan hidup manusia tidak perlu lagi untuk berambisi menguasai satu sama
lain.
Membahas demokrasi di Bhutan sebenarnya sudah ada sejak 1953. Raja ketiga
Bhutan Jigme Dorji Wangchuck menginisiasi adanya Monarki Konstitusional dengan
membentuk Majelis Nasional (Tshogu Chenmo). Majelis ini nantinya juga diberikan
hak untuk melakukan veto. Pada tahun 1968 Majelis umum diberikan hak penuh
untuk melakukan impeachment pada Raja pabila terbukti melanggar peraturan yang
telah ada dan disepakati, Majelis Umum juga menjadi lembaga yang bersifat
independen. Sejak saat itu pula Raja membentuk Dewan Menteri (Lhengye
Zhungstong) tahun 1965 dan Dewan Pertimbangan (Lodoi Tsogde) tahun 1968.
Puncak keberhasilan demokratisasi di Bhutan terjadi pada tahun 2008, yaitu ketika
Bhutan berhasil menggelar pemilu parlemen. Pemilihan umum di Bhutan terhitung
unik, yaitu pemilu dilakukan dua putaran. keunikan yang lain adalah empat partai
yang ada merepresentasikan perbedaan dan tujuan, sehingga tidak campur aduk.
Empat partai dilambangkan dengan warna yang berbeda, merah untuk partai yang
berfokus pada pembangunan dan industrialisasi, kuning untuk partai yang berfokus
pada pendidikan, kebudayaan dan lain-lain, hijau untuk partai yang berfokus pada
sustainablity, dan terakhir adalah partai yang berwarna biru yang berfokus pada
civic sense. Pemilu putaran pertama digelar tahun 2007, karena untuk mengikuti
pemilu putaran kedua di tahun 2008, hanya boleh diiukti oleh dua partai dengan
suara majoritas dari pemilu yang digelar tahun 2007. Partisipasi publik Bhutan
dalam pemilu tahun 2008 mencapai angka 80%. Selain itu partai yang awalnya
dilambangkan dengan warna pada akhirnya dimenangkan oleh partai merah yaitu
Bhutan Harmony Party (DPT) dan partai kuning yang diwakili oleh People
Democratic Party yang masih memiliki kedekatan dengan keluarga kerajaan (Wolf
t.t, 7).

Pemilu yang digelar pun terhitung cukup bersih sehingga mendapat

sambutan positif di mata internasional.


Apa yang terjadi di Bhutan berbeda dengan yang terjadi di Nepal. Nepal juga
merupakan negara monarki akan tetapi dinamika dalam negerinya lebih kacau

dibandingkan dengan Bhutan. Secara mendasar demokrasi yang terjadi di Bhutan


adalah

democracy from above sedangkan di Bhutan demojrasi tidak tercipta

dengan sendirinya melainkan muncul karena kondisi ketimpangan sosial dan


kudeta-kudeta berdarah yang terjadi. Militer memegang kendali terhadap berbagai
sistem kenegaraan. Sepertihalnya monarki yang dibangun oleh militer Gorkha pada
tahun 1768-1846 di bawah kekuasaan Raja Shah. Hingga kemudian Shah
digulingkan dan digantikan oleh Klan Rana (1846-1950), tapi dengan tanpa
memenjarakan Shah. Rana kemudian melakukan pembentukan kementerian dan
berbagai struktur pemerintahan Nepal (Thapa 2011, 7).
Dikarenakan struktur pemerintahan yang di dominasi oleh militeristik pada
akhrinnya memicu people movement dan intervensi India pada tahun 1951, hingga
terbentuklah pmeerintahan interim Nepal. Namun lagi-lagi Nepal jatuh kedalam
otoritarian yang memicu gerakan people power yang dinamakan Jana Andolan I
pada tahun 1990 yang dipimpin oleh seorang borjuis yang pro akan demokrasi.
Hingga pada akhirnya memaksa raja untuk melakukan reformasi yang berisi
penyerahan kekuasaan pada rakyat, menjamin hak azazi manusia, serta melakukan
reformasi di parlemen. namun kemudian hal ini kembali gagal ketika Raja
Gyanendra di tahun 2002 melakukan intervensi dan tahun 2005 Nepal bergeser
menjadi negara dengan neo-authoritarian. Proses demokratisasi di Nepal berjalan
lambat hal ini diperparah dengan munculnya kelompok Maois yang nelakukan
tindakan teorisme dan alih-alih menggulingkan pemerintahan namun semakin
membuat kondisi Nepal berada di titik kritis (Thapa 2011, 8).
Berdasarkan pendapat singkat penulis, perbedaan mendasar yang melatarbelakangi
perbedaan di Nepal dan Bhutan adalah faktor kemunculan demokrasi itu sendiri.
Bhutan menjadi negaramonarki absolut, kendati pun demikian Bhutan masih
memperhatikan kesejahteraan rakyatnya dan bahkan kemunculan monarki mampu
meredam perang saudara yang pernah terjadi, semua rakyat melegitimasi raja. Raja
pula memiliki itikad baik untuk melakukan demokratisasi, demokrasi berasal dari
atas dan mampu diterima dengan baik. Hal berbeda terjadi di Nepal ketika monarki
muncul, kemunculannya pun tidak secara damai, monarki muncul menggunakan
tindakan koersif yang dilakukan oleh kelompok militer, rakyat yang tidak puas dan
dengan kondisi yang serba kekurangan pada akhirnya tidak sepenuhnya
melegitimasi pemerintahan, kondisi ekonomi yang tidak stabil semakin parah

dengan kemunculan kelompok pemberontak Maois. Aksi-aksi terorisme merebak di


Nepal, alih-alih melakukan revolusi justru semakin merugikan rakyat Nepal sendiri.
Referensi:
Thapa, Ganga Bahadur, 2011. Explaining Nepal Democracy. Hiroshima University
Partnership Project for Peacebuilding and Capacity Development (HiPeC II).
HiPeC Discussion Paper Series Vol.12.
Wolf, Siegfried O., t.t. Bhutans Political Transition: Between Ethnic Conflict and
Democracy. APSA Journal (Applied Political Science of South Asia).

Anda mungkin juga menyukai