Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Tiada kata yang layak penulis ucapkan selain puji syukur kehadirat Allah
SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga penulisan makalah ini
mengenai Ratifikasi Perjanjian HAM Internasional dapat diselesaikan tepat
pada waktunya.
Dalam penulisan makalah ini, tidak jarang penulis menemukan kesulitankesulitan yang mendasar, namun kekurangan itu dapat teratasi dengan tersedianya
Teknologi informasi yang begitu canggih, serta motivasi dan dukungan dari
berbagai pihak, kesulitan-kesulitan itu akhirnya dapat diatasi. Maka dari itu,
penulis menyampaikan rasa terima kasih sebanyak-banyaknya kepada berbagai
pihak yang telah membantu penulis, baik secara langsung maupun secara tidak
langsung.
Makalah ini, disusun oleh penulis agar pembaca dapat memahami
perjanjian-perjanjian internasional khususnya HAM yang telah diikuti Indonesia,
serta produk hukum yang dihasilkan melalui ratifikasi yang dilakukan terhadap
perjanjian tersebut .
Meskipun demikian penulis menyadari bahwa Makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu demi kesempurnaan makalah ini penulis
sangat mengaharapkan masukan-masukan yang sifatnya membangun dari semua
pihak. Harapan penulis, mudah-mudahan makalah yang sederhana ini dapat
bermanfaat bagi kita semua sebagai insan akademik.
Makassar, 30 September 2015

PENULIS

Halaman | i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI.............................................................................................. ii
BAB I...................................................................................................... 1
PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A.

Latar Belakang.............................................................................. 1

B.

Rumusan Masalah.........................................................................2

C. Tujuan........................................................................................... 2
BAB II..................................................................................................... 3
PEMBAHASAN......................................................................................... 3
A.

Perjanjian HAM Internasional yang telah diterima Indonesia........3

B. Pembatasan dalam aliran yang di ratifikasi terkait perjanjian


Internasional mengenai HAM (Reservasi/ Deklarasi)...........................6
C. Implementasi dalam perundang-undangan yang mengatur
mengenai HAM.................................................................................... 9
BAB III................................................................................................... 12
PENUTUP.............................................................................................. 12
A.

Kesimpulan................................................................................. 12

B.

Saran.......................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 13

Halaman | ii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak awal, terlihat bahwa tujuan perjuangan rakyat Indonesia untu
mencapai kemerdekaan adalah untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan
yang lebih baik di semua bidang termasuk bidang Hak Asasi Manusia.
Proklamasi semdiri, dipandang sebagai jembatan dan pintu gerbang
memasuki kehidupan kebangsaan yang mengerhakan segenap potensi
kehidupan individu dan social demi terciptanya kehidupan yang sejahtera dan
berkeadilan1.
Hak Asasi Manusia dipercayai memiliki nilai universal. Nilai universal
berarti tidak mengenal batas ruang dan waktu. Nilai universal ini yang
kemudian diterjemahkan dalam berbagai produk hukum nasional2. Bahkan
nilai universal ini dikukuhkan dalam berbagai instrumen internasional,
termasuk perjanjian internasional di bidang HAM. Seperti International
Covenant on Civil and Political Rights3 International Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights4, International Convention on the Elimination of
all Forms of Racial Discrimination5 dan lain-lain.
Sebenarnya tidak ada satu ketentuan pun, baik hukum nasional maupun
hukum internasional yang mewajibkan negara meratifikasi konvensi
internasional. Majelis Umum PBB hanya mengimbau agar negara anggotanya
1

Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata
Usaha Negara Di Indonesia, Liberty: Yogyakarta, 1997, hal. 14.
Wahyu Nugroho, Konsistensi Pemerintah Indonesia dalam Political Will pasca
keikutsertaan ratifikasi Perjanjian Internasional bidang HAM, Jurnal Hukum, Vol XXVIII,
No. 2, Desember 2012, hal 3.
Diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 29 tahun 1999 tentang pengesahan
international convention on the elimination of all forms of racial discrimination 1965
(Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965).
Diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005 Tentang Pengesahan
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang pengesahan
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hakhak Sipil dan Politik).

Halaman | 1

meratifikasi perjanjian internasional. Negara tetap mempunyai kedaulatan


penuh untuk meratifikasi atau tidak meratifikasi perjanjian internasional, jika
melakukan ratifikasi, maka kepentingan nasional tetap diletakkan sebagai
pertimbangan utamanya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa sajakah Perjanjian HAM Internasional yang telah diterima

Indonesia ?
2. Apa sajakah pembatasan dalam aliran yang di ratifikasi terkait
perjanjian Internasional mengenai HAM (Reservasi/ Deklarasi) ?
3. Apa sajakah implementasi dalam perundang-undangan yang mengatur
mengenai HAM ?
C. Tujuan
1.

Untuk mengetahui Perjanjian HAM Internasional yang telah diterima

2.

Indonesia
Untuk mengetahui pembatasan dalam aliran yang di ratifikasi terkait

3.

perjanjian Internasional HAM (Reservasi/ Deklarasi)


Untuk mengetahui implementasi dalam perundang-undangan yang
mengatur mengenai HAM

Halaman | 2

BAB II
PEMBAHASAN
A. Perjanjian HAM Internasional yang telah diterima Indonesia
Ratifikasi perjanjian Internasional mengenai HAM berlaku di
Indonesia melalui Undang-undang dan Keputusan Presiden. Berbagai
perjanjian HAM Internasional yang telah diterima Indonesia diantaranya:
1. Konvensi

Penghapusan

Segala

Bentuk

Diskriminasi

terhadap

Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of


Discrimination against Women).
Kovensi ini mulai berlaku sejak September 1981 dan dirafikasi
oleh Indonesia melalui UU No. 7 tahun 1984. Sejak pemberlakuannya,
konvensi

ini

telah

menjadi

instrumen

internasional

yang

menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang politik,


ekonomi, sosial budaya, dan sipil. Konvensi ini mensyaratkan agar
negara melakukan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda
untuk menjalankan suatu kebijakan yang menghapus diskriminasi
terhadap perempuan serta memberikan kesempatan kepada mereka
untuk mendapatkan HAM dan kebebasan dasar berdasarkan kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan. Dalam pelaksanaannya, Konvensi ini
juga

mengatur

mengenai

pembentukan

Komite

Penghapusan

Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).


2. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child)
Konvensi Hak Anak mulai berlaku sejak September 1990 dan
disahkan oleh Indonesia melalui Keppres No. 36 tahun 1990. Dalam
Konvensi ini negara harus menghormati dan menjamin hak bagi setiap
anak tanpa diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
pendapat politik atau pendapat lainnya, kewarganegaraan, asal usul
kebangsaan atau sosial, kekayaan, kecacatan, kelahiran atau status lain.
Negara juga harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk

Halaman | 3

memastikan bahwa anak dilindungi dari segala bentuk diskriminasi


atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang
disampaikan, atau kepercayaan orang tua anak, walinya yang sah, atau
anggota keluarganya. Konvensi ini juga membentuk Komite Hak Anak
(CRC) untuk mengawasi pelaksanaan isi Konvensi.
3. Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention against Torture and
Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)
Konvensi

Menentang

Penyiksaan

dan

Perlakuan

atau

Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusia dan Merendahkan


Martabat Manusia (Kovensi Menentang Penyiksaan) mulai berlaku
sejak Januari 1987. Indonesia mesahkan Konvensi ini melalui UU No.
5 tahun 1998. Kovensi ini mengatur lebih lanjut mengenai apa yang
terdapat dalam Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik. Konvensi ini
mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif,
administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya guna: 1)
mencegah tindak penyiksaan, pengusiran, pengembalian (refouler),
atau pengekstradisian seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan
yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang tersebut akan berada
dalam keadaan bahaya (karena menjadi sasaran penyiksaan), 2)
menjamin agar setiap orang yang menyatakan bahwa dirinya telah
disiksa dalam suatu wilayah kewenangan hukum mempunyai hak
untuk mengadu, memastikan agar kasusnya diperiksa dengan segera
oleh pihak-pihak yang berwenang secara tidak memihak, 3) menjamin
bahwa orang yang mengadu dan saksi-saksinya dilindungi dari segala
perlakuan buruk atau intimidasi sebagai akibat dari pengaduan atau
kesaksian yang mereka berikan, 4) menjamin korban memperoleh
ganti rugi serta (hak untuk mendapatkan) kompensasi yang adil dan
layak. Konvensi ini dalam pelaksanaannya diawasi oleh Komite
Menentang Penyiksaan (CAT), yang dibentuk berdasarkan aturan yang
terdapat didalamnya.

Halaman | 4

4. Konvensi

Penghapusan

Segala

Bentuk

Diskriminsasi

Rasial

(International Convention on the Elimination of All Forms of Racial


Discrimination)
Konvensi ini mulai berlaku sejak Januari 1969 dan disah oleh
Indonesia melalui UU No. 29 tahun 1999. Terdapat larangan terhadap
segala bentuk diskriminasi rasial dalam bidang politik, ekonomi, sosial
dan budaya. Selain itu, Konvensi ini juga menjamin hak setiap orang
untuk diperlakukan sama di depan hukum tanpa membedakan ras,
warna kulit, asal usul dan suku bangsa. Konvensi ini juga membentuk
Komite

Penghapusan

Diskriminasi

Rasial,

yang

mengawasi

pelaksanaannya.
5. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights)
Kovenan ini mulai berlaku pada Januari 1976. Indonesia melalui
UU

No.

11 tahun

2005

mengesahkannya. Alasan

perlunya

mempertimbangkan hak-hak dalam Kovenan ini adalah :


- Hukum berlaku tidak pada keadaan vakum. Aparat penegak hukum
dalam melaksanakan tugasnya tidak lepas dari masalah ekonomi,
sosial, dan budaya masyarakat.
- Asumsi bahwa hak ekonomi dan hak sosial tidak penting diterapkan
dalam pekerjaan sehari-hari adalah tidak benar, karena dalam hak
ekonomi terdapat prinsip non-diskriminasi dan perlindungan terhadap
penghilangan paksa.
- Hak-hak yang dilindungi oleh dua Kovenan diakui secara universal
sebagai sesuatu yang saling terkait satu sama lain.
Seperti halnya Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan ini
dalam pelaksanaannya juga diawasi oleh suatu Komite (Komite
tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
6. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights)

Halaman | 5

Hak-hak dalam DUHAM diatur secara lebih jelas dan rinci dalam
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang mulai
berlaku secara internasional sejak Maret 1976. Konvenan ini mengatur
mengenai:
a. Hak hidup;
b. Hak untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum secara kejam,
tidak manusiawi atau direndahkan martabat;
c. Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi;
d. Hak untuk tidak dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuan
memenuhi kewajiban kontraktual;
e. Hak atas persamaan kedudukan di depan pengadilan dan badan
peradilan; dan
f. Hak untuk tidak dihukum dengan hukuman yang berlaku surut
dalam penerapan hukum pidana.
Kovenan ini telah disahkan oleh lebih dari 100 negara di dunia.
Indonesia turut mengaksesinya 6[1] atau pengesahannya melalui
Undang-Undang No. 12 tahun 2005, sehingga mengikat pemerintah
beserta aparatnya. Pelaksanaan Kovenan ini diawasi oleh Komite Hak
Asasi Manusia.
B. Pembatasan dalam aliran yang di ratifikasi terkait perjanjian
Internasional mengenai HAM (Reservasi/ Deklarasi)
Pembatasan- pembatasan dalam Proses ratifikasi perjanjian
Internasional mengenai HAM dapat melalu 2 cara yaitu proses Reservasi
dan Deklarasi. Beberapa produk hukum hasil ratifikasi diantaranya :
1. Undang-undang Republik Indonesia No 12 tahun 2005 tentang
Pengesaham International Convenant on Civil and Political Rights
(Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).

Halaman | 6

Berdasarkan pasal 1 ayat 1 : Mengesahkan International Covenant on


Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Sipil dan Politik) dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 1.
2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 Tentang
Pengesahan International Convenant On Economic, Social And
Cultural Rights (Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi,
Sosial Dan Budaya)
Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 : Mengesahkan International Covenant
on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) dengan Declaration
(Pernyataan) terhadap Pasal 1.
3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 Tentang
Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading

Treatment

or

Punishment

(Konvensi

Menentang

Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak


Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia).
Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 : Mengesahkan Convention Against
Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusia, atau Merendahkan
Martabat Manusia) dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 20
dan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal 30 ayat (1).
Pensyaratan (Reservation) dan Deklarasi (Declaration) Konvensi ini
memperbolehkan Negara Pihak mengajukan pensyaratan terhadap 2
pasal, yakni :
a Menyatakan tidak mengakui kewenangan Komite Menentang
Penyiksaan dalam Pasal 20, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat
(1) Konvensi.

Halaman | 7

b. Menyatakan tidak terikat pada pengajuan penyeIesaian suatu

perselisihan

di

antara

Negara

Pihak

kepada

Mahkamah

Internasional, berdasarkan Pasal 30 ayat (1) Konvensi.


Konvensi ini juga memungkinkan Negara Pihak membuat deklarasi
mengenai kewenangan. KomiteMenentang Penyiksaan, sebagaimana
diatur oleh Pasal 21 dan Pasal 22 Konvensi.
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1999 Tentang
Pengesahan International Convention On The Elimination Of All
Forms Of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional
Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965).
Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 : Mengesahkan International Convention
on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965
(Konvensi

Internasional

tentang

Penghapusan

Segala

Bentuk

Diskriminasi Rasial 1965) dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap


Pasal 22.
Pensyaratan terhadap pasal 22 konvensi internasional tentang
penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial 1965 :
Pemerintah Republik Indonesia menyatakan tidak terikat pada
ketentuan Pasal 22 Konvensi Internasional tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965 dan berpendirian bahwa
apabila terjadi persengketaan akibat perbedaan penafsiran atau
penerapan isinya yang tidak terselesaikan melalui saluran sebagaimana
diatur dalam pasal tersebut, dapat menunjuk Mahkamah Internasional
hanya berdasarkan kesepakatan para pihak yang bersengketa.
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 Tentang
Pengesahan

Konvensi

Mengenai

Penghapusan

Segala

Bentuk

Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All


Forms Of Discrimination Against Women)

Halaman | 8

Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 : Mengesahkan Konvensi mengenai


Penghapusan

Segala

Bentuk

Diskriminasi

terhadap

Wanita

(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination


Against Women) yang telah disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Desember 1979, dengan pensyaratan
(reservation) terhadap Pasal 29 ayat (1) tentang penyelesaian
perselisihan mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini, yang
salinannya dilampirkan pada Undang-undang ini.
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990
Tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child
(Konvensi Tentang Hak-Hak Anak)
Berdasarkan Pasal 1: Mengesahkan Convention on the Rights of the
Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) yang telah ditandatangani
oleh Pemerintah Republik Indonesia di New York, Amerika Serikat,
pada tanggal 26 Januari 1990, sebagai hasil Sidang Majelis Umum
Perserikatan Bangsa- Bangsa yang diterima pada tanggal 20 Nopember
1989 dengan pernyataan (declaration), yang salinan naskah aslinya
dalam bahasa Inggris sebagaimana terlampir pada Keputusan Presiden
ini.

C. Implementasi dalam perundang-undangan yang mengatur mengenai


HAM
Ratifikasi perjanjian internasional memperlihatkan sekaligus menjadi
pembuktian bahwa Indonesia sangat menjunjung tinggi perlindungan
HAM Warga negaranya. Seiring berjalannya waktu, muncul beberapa
lembaga yang menjadi instrument penegakan Hak Asasi Manusia yang
memperkuat proses perlindungan HAM di Indonesia diantaranya :
1.

UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang di dalamnya


memuat penjelasan mengenai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Halaman | 9

Komisi Nasional HAM pada awalnya dibentuk dengan keppres No. 50


tahun 1993 sebagai respon terhadap tuntutan masyarakat maupun
tekanan dunia internasional mengenai perlunya penegakkan hak-hak
asasi manusia di Indonesia. Kemudian dengan lahirnya undang-undang
No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, Komnas HAM terbentuk
dengan keppres tersebut harus sesuai dengan UU No. 39 tahun 1999.
Yang bertujuan untuk membantu pengembangan kondisi yang kondusif
bagi

pelaksanaan

perlindungan

dan

hak-hak

asasi

penegakkan

manusia

hak-hak

dan

asasi

meningkatkan
manusia

guna

berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan


berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
2. Keppres No. 181 tahun 1998 yang mengenai Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan. Dasar pertimbangan pembentukan
komisi nasional ini adalah sebagai upaya mencegah terjadinya dan
menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Sifatnya
independen dan bertujuan untuk menyebarluaskan pemahaman bentuk
kekerasan terhadap perempuan, menegmbangkan kodisi yang kondusif
bagi penghapusan bentuk kekerasan terhadap perempuan serta
meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan hak asasi perempuan.
3. UU No 26 tahun 2000 yang mengatur mengenai Pengadilan Hak Asasi
Manusia.
Sejak era reformasi berbagai produk hukum dilahirkan untuk memperbaiki
kondisi hak asasi manusia di Indonesia, khususnya hak sipil dan politik.
Antara lain, UUD 1945 pasal 28A sampai pasal 28J, Ketetapan MPR
Nomor XVII/ MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, UU Pers, UU
tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (UU Unjuk rasa), UU
HAM (UU No. 39 Tahun 1999), UU Pemilu, UU Parpol, UU Otonomi
Daerah, perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau

Halaman | 10

merendahkan martabat, dan UU ratifikasi Konvensi Anti Diskriminasi


Rasial. Dari sisi politik, rakyat Indonesia telah menikmati kebebasan
politik yang luas. Empat kebebasan dasar, yaitu hak atas kebebasan
berekspresi dan berkomunikasi, hak atas kebebasan berkumpul, hak atas
kebebasan berorganisasi, dan hak untuk turut serta dalam pemerintahan,
yang vital bagi bekerjanya sistem politik dan pemerintahan demokratis
telah dinikmati oleh sebagian besar rakyat Indonesia.

Halaman | 11

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perjanjian HAM Internasional yang telah diterima Indonesia diantaranya :
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against
Women), Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child),
Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention against Torture and Other
Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment), Konvensi
Penghapusan

Segala

Bentuk

Diskriminsasi

Rasial

(International

Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination),


Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights), dan
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights)
2. Pembatasan- pembatasan dalam Proses ratifikasi perjanjian Internasional
mengenai HAM dapat melalu 2 cara yaitu proses Reservasi dan
Deklarasi. Ratifikasi dilakukan pada:

(1) Undang-undang Republik

Indonesia No 12 tahun 2005 tentang Pengesaham International


Convenant on Civil and Political Rights (Deklarasi); (2) Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan
International Convenant On Economic, Social And Cultural Rights
(Deklarasi); (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
1998 Tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Deklarasi dan
Reservasi); (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun
1999 Tentang Pengesahan International Convention On The Elimination
Of All Forms Of Racial Discrimination 1965 (Reservasi); (5) UndangUndang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap

Halaman | 12

Wanita (Reservasi); Dan (6) Keputusan Presiden Republik Indonesia


Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Convention On The Rights
Of The Child (Deklarasi).
3. Seiring berjalannya waktu, muncul beberapa lembaga yang menjadi
instrument penegakan Hak Asasi Manusia yang memperkuat proses
perlindungan HAM di Indonesia diantaranya : Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Pengadilan Hak Asasi Manusia.
B. Saran
1. Pelaksanaan regulasi yang telah ditetapkan tetap perlu mendapat
pengawasan untuk mencegah penyimpangan terhadap aturan yang
terkadang disalahgunakan oleh pemangku jabatan.
2. Hak Asasi Manusia mutlak dan menjadi tanggung jawab semua kalangan,
jadi diperlukan kerja sama dalam menciptakan situasi dan kehidupan yang
berdasarkan atas konstitusi yang di dalamnya mengatur atas perlindungan
Hak Asasi Manusia.

Halaman | 13

DAFTAR PUSTAKA

Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan


Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Liberty: Yogyakarta, 1997.
Putri Pramesti Ningyas, perlindungan hak politik perempuan dalam undang undang politik di indonesia era reformasi. Skripsi fakultas Universitas Islam
Indonesia.

Di

unduh

dari

http://law.uii.ac.id/images/stories/dmdocuments/FH-UIIPERLINDUNGAN-HAK-POLITIK-PEREMPUAN-DALAM-UNDANG%E2%80%93-UNDANG.pdf. (30 September 2015).


Wahyu Nugroho, Konsistensi Pemerintah Indonesia dalam Political Will pasca
keikutsertaan ratifikasi Perjanjian Internasional bidang HAM,

Jurnal

Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012.

Halaman | 14

Anda mungkin juga menyukai