Anda di halaman 1dari 15

ISLAM DAN NILAI-NILAI BUDAYA LOKAL DI JAWA

(ANTARA KEPENTINGAN DAN TUNTUTAN INTEGRITAS)


Makalah diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Sejarah Perkembangan Pemikiran Modern dalam Islam
Dosen Pembimbing:
Prof. Fauzan Saleh, Ph.D.
Disusun Oleh:
WAHYUDI
NIM. 921211043

PROGRAM PASCASARJANA
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2011
Islam dan Nilai-nilai Budaya Lokal di Jawa
A.

Pendahuluan

Islam memiliki nilai yang universal dan absolut sepanjang zaman, namun demikian
Islam sebagai dogma tidak kaku dalam menghadapi zaman dan perubahannya. Islam selalu
memunculkan dirinya dalam bentuk yang luwes, ketika menghadapi masyarakat yang
dijumpainya dengan beraneka ragam budaya, adat kebiasaan atau tradisi.
Sebagai sebuah kenyatan sejarah, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi
karena keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai
ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa
hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan
kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final,
universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan
kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang
dapat berkembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai
kolektivitas tidak akan mendapat tempat.
Islam merespon budaya lokal, adat/tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka
diri untuk menerima budaya lokal, adat/tradisi sepanjang budaya lokal, adat/tradisi tersebut
tidak bertentangan dengan spirit nash Al-Quran dan As-Sunnah.
Demikian halnya dengan Islam yang berkembang di masyarakat Jawa yang sangat
kental dengan tradisi dan budayanya. Tradisi dan budaya Jawa hingga akhir-akhir ini masih
mendominasi tradisi dan budaya nasional di Indonesia. Nama-nama jawa juga sangat akrab
di telinga bangsa Indonesia, begitu juga jargon atau istilah-istilah Jawa. Hal ini
membuktikan bahwa tradisi dan budaya Jawa cukup memberi warna dalam berbagai
permasalahan bangsa dan negara di Indonesia.
Di sisi lain, ternyata tradisi dan budaya jawa tidak hanya memberikan warna dalam
percaturan kenegaraan, tetapi juga berpengaruh dalam keyakinan dan praktek-praktek
keagaman. Masyarakat Jawa memiliki tradisi dan budaya yang banyak dipengaruhi ajaran
dan kepercayaan Hindu dan Budha terus bertahan hingga sekarang, meskipun mereka sudah
memiliki keyakinan atau agama yang berbeda, seperti Islam, Kristen, atau yang lainnya.
Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bisa
meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya, meskipun terkadang tradisi dan budaya itu
bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Memang ada beberapa tradisi dan budaya Jawa
yang dapat diadaptasi dan terus dipegangi tanpa harus berlawanan dengan ajaran Islam,
tetapi banyak juga yang bertentangan dengan ajaran Islam. Masyarakat Jawa yang
memegangan ajaran Islam dengan kuat tentunya dapat memilih dan memilah mana budaya
Jawa yang masih dapat dipertahankan tanpa harus berhadapan dengan ajaran Islam.
Sementara masyarakat Jawa yang tidak memiliki pemahaman agama Islam yang cukup,
lebih banyak menjaga warisan leluhur mereka itu dan mempraktekkannya dalam kehidupan

mereka sehari-hari, meskipun bertentangan dengan ajaran agama Islam. Fenomena ini terus
berjalan hingga sekarang.
Gambaran masyarakat Jawa seperti di atas menjadi penting untuk dikaji, terutama
terkait praktek keagamaan kita sekarang. Sebagai umat beragama yang baik tentunya kita
perlu memahami ajaran agama kita dengan memadai, sehingga ajaran agama ini dapat
menjadi acuan dalam berperilakku dalam kehidupan kita. Karena itulah, dalam tulisan yang
singkat ini mencoba mengungkap masalah tradisi atau nilai-nilai lokal terutama dalam
masyarakat Jawa dalam pandangan ajaran agama Islam. Apakah tradisi dan budaya Jawa ini
sesuai dengan ajaran Islam atau sebaliknya, bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk
mengawali uraian tentang masalah ini penting kiranya terlebih dahulu dijelaskan siapa
masyarakat Jawa itu. Setelah itu akan dijelaskan bagaimana munculnya Islam Kejawen
dengan berbagai fenomena keagamaan yang terus mengakar hingga sekarang ini, terutama di
kalangan masyarakat Jawa.
B.

Kebudayaan Jawa dan kehidupan beragamanya

Sebagian besar masyarakat Jawa sekarang ini menganut agama Islam. Di antara
mereka masih banyak yang mewarisi agama nenek moyangnya, yakni beragama Hindu atau
Budha, dan sebagian yang lain menganut agama Nasrani, baik Kristen maupun Katolik.
Khusus yang menganut agama Islam, masyarakat Jawa bisa dikelompokkan menjadi dua
golongan besar, golongan yang menganut Islam murni (sering disebut Islam Santri) dan
golongan yang menganut Islam Kejawen (sering disebut Agama Jawi atau disebut juga
Islam Abangan). Masyarakat Jawa yang menganut Islam Santri biasanya tinggal di daerah
pesisir, seperti Surabaya, Gresik dan lain-lain, sedang yang menganut Islam Kejawen
biasanya tinggal di Yogyakarta, Surakarta, dan Bagelen.
Dalam penelitiannya Clifford Geertz, seperti yang dikutip oleh Mark R. Woodwark,
mengatakan bahwa Islam tidak pernah sungguh-sungguh dipeluk di Jawa kecuali di
kalangan komunitas kecil para pedagang, dan hampir tidak ada sama sekali di dalam
lingkungan keratin. Geertz memilah masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan utama: santri,
yang merupakan kalangan muslim ortodoks; priyayi, kalangan bangsawan yang dipengaruhi
terutama oleh tradisi-tradisi Hindu-Jawa; abangan, masyarakat desa pemeluk animisme.
Hasil temuan Geerstz di atas menunjukkan ada ciri khusus tentang keberagaman
masyarakat Jawa, khususnya masyarakat muslimnya, meskipun dalam perkembangan
selanjutnya, ketika masyarakat sadar akan agamanya dan pengetahuannya tentang agama
semakin mendalam, mereka sedikit demi sedikit melepaskan ikatan sinkretisme yang
merupakan warisan dari kepercayaan atau agama masa lalunya yang dalam dinamikanya
dianggap sebagai budaya yang masih terus terpelihara dengan baik, bahkan harus dijunjung
tinggi. Dengan kata lain, budaya yang berkembang di Jawa ikut mempengaruhi sikap
keberagaman masyarakatnya. Sikap keberagaman seperti ini tidak hanya dimiliki
masyarakat desa, tetapi juga di kalangan masyarakat kota, terutama di kota-kota di Jawa
Tengah bagian selatan Yogayakarta, Solo (Surakarta), dan kota-kota lainnya.
Masyarakat seperti itulah yang kemudian melahirkan suatu agama yang kemudian
dikenal dengan Agama Jawi atau Islam Kejawen, yaitu suatu keyakinan dan konsep-konsep

Hindu-Budha yang cenderung ke arah mistik yang tercampur menjadi satu dan diakui
sebagai agama Islam. Pada umumnya pemeluk agama ini adalah masyarakat muslim, namun
tidak menjalankan ajaran Islam secara keseluruhan, karena adanya aliran lain yang juga
dijalankan sebagai pedoman, yaitu aliran kejawen. Kejawen sebenarnya bisa dikategorikan
sebagai budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam, karena budaya ini masih
menampilkan perilaku-perilaku yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti percaya
terhadap adanya kekuatan lain selain kekuatan Allah SWT. Kepercayaan terhadap kekuatan
dimaksud di antaranya adalah percaya terhadap roh, benda-benda pusaka, dan makam para
tokoh, yang dianggap dapat memberi berkah dalam kehidupan seseorang.
Menurut Soesilo Faham, Kejawen (sintekrisme) adalah percampuran agama HinduBudha-Islam, meskipun berupa percampuran, namun ajaran kejawen masih berpegang pada
tradisi Jawa asli sehingga dapat dikatakan mempunyai kemandirian sendiri. Agama bagi
kejawen adalah Manunggaling Kawulo Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhan). Konsep
penyatuan hamba dengan Tuhan dalam pandangan Islam santri dianggap mengarah pada
persekutuan Tuhan atau perbuatan syirik. Islam kejawen sebagai sebuah varian dalam Islam
merupakan hasil dari proses dialog antara tatanan nilai Islam dengan budaya lokal Jawa
yang lebih berdimensi tasawuf dan bercampur dengan budaya Hindu yang kurang
menghargai aspek syariat dalam arti yang berkaitan dengan hukum-hukum hakiki agama
Islam.
Mengenai sistem keyakinan Islam Kejawen juga sama dengan Islam lainnya, yaitu
percaya pada adanya Allah, Rasulullah atau Nabi, dan konsep askatologis lainnya dan pada
saat yang sama orang Jawa juga percaya pada adanya dewa-dewa, makhluk halus dan rohroh dari nenek moyang yang sudah meninggal. Sistem keyakinan orang kejawen ini lebih
banyak ditransformasikan kepada para pengikutnya secara lisan.
Dalam tradisi orang Kejawen, penghormatan kepada orang yang lebih tua, dan jika ia
sudah meninggal mereka menyebutnya leluhur. Istilah leluhur selalu dikaitkan dengan istilah
yang bermuara kepada para pembuka tanah (cikal bakal desa). Oleh karena itu, kalangan
masyarakat Jawa, terutama yang kurang terpelajar tidak terbiasa menulis secara cermat,
tetapi hanya budaya lisan sehingga sering kali apa yang disebut leluhur itu hanya perkiraan
saja. Lalu yang paling menonjol adalah memitoskan tokoh leluhur itu. Eksistensi leluhur
dalam masyarakat Kejawen adalah sosok yang arwahnya berada dalam alam ruhani yang
dekat dengan Yang Mahaluhur yang selalu patut untuk diteladani.
Sedangkan berkaitan dengan budaya khas yang dimiliki masyarakat yang terkait
dengan kehidupan beragamanya, menurut Simuh, ada tiga karakteristik:
1.

Kebudayaan Jawa pra Hindu-Budha

Kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, sebelum datangnya pengaruh


agama Hindu-Budha sangat sedikit yang dapat dikenal secara pasti. Sebagai masyarakat
yang masih sederhana, wajar bila nampak bahwa sistem animisme dan dinamisme
merupakan inti kebudayaan yang mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya.
Agama asli yang sering disebut orang Barat sebagai religion magis ini merupakan nilai
budaya yang paling mengakar dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa.
2.

Kebudayaan Jawa masa Hindu-Budha

Kebudayaan Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hindu-Budha,


prosesnya bukan hanya sekedar akulturasi saja, akan tetapi yang terjadi adalah
kebangkitan kebudayaan Jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur agama dan
kebudayaan India. Ciri yang paling menonjol dalam kebudayaan Jawa adalah sangat
bersifat teokratis. Masuknya pengaruh Hindu-Budha lebih mempersubur kepercayaan
animism dan dinamisme (serba magis) yang sudah lama mengakar dengan cerita
mengenai ornag-orang sakti setengah dewa dan jasa mantra-mantra (berupa rumusan
kata-kata) yang dipandang magis.
3.

Kebudayaan Jawa masa kerajaan Islam


Kebudayaan ini dimulai dengan berakhirnya kerajaan Jawa-Hindu menjadi Jawa-Islam
di Demak. Kebudayaan ini tidak lepas dari pengaruh dan peran para ulama yang
mendapat gelar para wali tanah Jawa. Perkembangan Islam di Jawa tidak semudah yang
ada di luar Jawa yang hanya berhadapan dengan budaya lokal yang masih bersahaja
(animism-dinamisme) dan tidak begitu banyak diresapi oleh unsur-unsur ajaran HinduBudha seperti di Jawa. Kebudayaan inilah yang kemudian melahirkan dua varian
masyarakat Islam Jawa, yaitu Santri dan Abangan, yang dibedakan dengan taraf
kesadaran keislaman mereka.

Sementara itu Suyanto menjelaskan bahwa karakteristik budaya Jawa adalah religius,
non-doktriner, toleran, akomodatif, dan optimistik. Karakteristik seperti ini melahirkan
corak, sifat, dan kecenderungan yang khas bagi masyarakat Jawa seperti berikut: 1) percaya
kepada Tuhan Yang Mahaesa sebagai Sangkan Paraning Dumadi dengan segala sifat dan
kebesaran-Nya; 2) bercorak idealistis, percaya kepada sesuatu yang bersifat immateriil
(bukan kebendaan) dan hal-hal yang bersifat adikodrati (supernatural) serta cenderung ke
arah mistik; 3) lebih mengutamakan hakikat daripada segi-segi formal dan ritual; 4)
mengutakaman cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia; 5) percaya
kepada takdir dan cenderung bersikap pasrah; 6) bersifat konvergen dan universal; 7) momot
dan non-sektarian; 8) cenderung pada simbolisme; 9) cenderung pada gotong royong, guyub,
rukun, dan damai; dan 10) kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi.
Pandangan hidup Jawa memang berakar jauh ke masa lalu. Masyarakat Jawa sudah
mengenal Tuhan sebelum datangnya agama-agama yang berkembang sekarang ini. Semua
agama dan kepercayaan yang datang diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa. Mereka
tidak terbiasa mempertentangkan agama dan keyakinan. Mereka menganggap bahwa semua
agama itu baik dengan ungkapan mereka: sedaya agami niku sae (semua agama itu baik).
Ungkapan inilah yang kemudian membawa konsekuensi timbulnya sinkretisme di kalangan
masyarakat Jawa.
Masyarakat Jawa yang menganut Islam sinkretis hingga sekarang masih banyak
ditemukan, terutama di Yogyakarta dan Surakarta. Mereka akan tetap mengakui Islam
sebagai agamanya, apabila berhadapan dengan permasalahan mengenai jatidiri mereka,
seperti KTP, SIM, dan lain-lain. Secara formal mereka akan tetap mengakui Islam sebagai
agamanya, meskipun tidak menjalankan ajaran-ajaran Islam yang pokok, seperti shalat lima
waktu, puasa Ramadlan, zakat, dan haji.
Masyarakat Jawa, terutama yang menganut Kejawen, mengenal banyak sekali orang
atau benda yang dianggap keramat. Biasanya orang yang dianggap keramat adalah para
tokoh yang banyak berjasa pada masyarakat atau para ulama yang menyebarkan ajaran-

ajaran agama dan lain-lain. Sedang benda yang sering dikeramatkan adalah benda-benda
pusaka peninggalan dan juga makam-makam dari para leluhur serta tokoh-tokoh yang
mereka hormati. Di antara tokoh yang dikeramatkan adalah Sunan Kalijaga dan para wali
sembilan yang lain sebagai tokoh penyebar agama Islam di Jawa. Tokoh-tokoh lain dari
kalangan raja yang dikeramatkan adalah Sultan Agung, Panembahan Senopati, Pangeran
Purbaya, dan masih banyak lagi tokoh lainnya. Masyarakat Jawa percaya bahwa tokohtokoh dan benda-benda keramat itu dapat memberi berkah. Itulah sebabnya, mereka
melakukan berbagai aktivitas untuk mendapatkan berkah dari para tokoh dan benda-benda
keramat tersebut.
Masyarakat Jawa juga percaya kepada makhluk-makhluk halus yang menurutnya
adalah roh-roh halus yang berkeliaran di sekitar manusia yang masih hidup. Makhlukmakhluk halus ini ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan manusia. Karena itu,
mereka harus berusaha untuk melunakan makhluk-makhluk halus tersebut agar menjadi
jinak, yaitu dengan memberikan berbagai ritus atau upacara.
Di samping itu, masyarakat Jawa juga percaya akan adanya dewa-dewa. Hal ini
terlihat jelas pada keyakinan mereka akan adanya penguasa Laut Selatan yang mereka
namakan Nyai Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan). Masyarakat Jawa yang tinggal di daerah
pantai selatan sangat mempercayai bahwa Nyai Roro Kidul adalah penguasa Laut Selatan
yang mempunyai hubungan dengan kerabat Mataram (Yogyakarta). Mereka memberi bentuk
sedekah laut agar mereka terhindar dari mara bahaya.
Itulah gambaran tentang masyarakat Jawa dengan keunikan mereka dalam beragama
dan berbudaya. Hingga sekarang keunikan ini justru menjadi warisan tradisi yang dijunjung
tinggi dan tetap terpelihara dalam kehidupan mereka. Bahkan dengan adanya otonomi
daerah, masing-masing daerah mencoba menggali tradisi-tradisi semisal untuk dijadikan
tempat tujuan wisata yang dapat menambah income bagi daerah yang memiliki dan
mengelolanya.
C.

Nilai-nilai Budaya Lokal Masyarakat Jawa

Sebagian besar masyarakat Jawa telah memiliki suatu agama secara formal, namun
dalam kehidupannya masih nampak adanya suatu sistem kepercayaan yang masih kuat
dalam kehidupan religinya, seperti kepercayaan terhadap adanya dewa, makhluk halus, atau
leluhur. Semenjak manusia sadar akan keberadaannya di dunia, sejak saat itu pula ia mulai
memikirkan akan tujuan hidupnya, kebenaran, kebaikan, dan Tuhannya. Salah satu contoh
dari pendapat tersebut adalah adanya kebiasaan pada masyarakat Jawa terutama yang
menganut Islam Kejawen untuk ziarah (datang) ke makam-makam yang dianggap suci pada
malam Selasa Kliwon dan Jumah Kliwon untuk mencari berkah.
Masyarakat Jawa yang menganut Islam Kejawen dalam melakukan berbagai aktivitas
sehari-hari juga dipengaruhi oleh keyakinan, konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilainilai budaya, dan norma-norma yang kebanyakan berada di alam pikirannya. Menyadari
kenyataan seperti itu, maka orang Jawa terutama dari kelompok kejawen tidak suka
memperdebatkan pendiriannya atau keyakinannya tentang Tuhan.
Mereka tidak pernah menganggap bahwa kepercayaan dan keyakinan sendiri adalah
yang paling benar dan yang lain salah. Sikap batin yang seperti inilah yang merupakan lahan
subur untuk tumbuhnya toleransi yang amat besar baik di bidang kehidupan beragama
maupun di bidang-bidang yang lain.

Tradisi dan budaya itulah yang barangkali bisa dikatakan sebagai sarana pengikat
orang Jawa yang memiliki status sosial yang berbeda dan begitu juga memiliki agama dan
keyakinan yang berbeda. Kebersamaan di antara mereka tampak ketika pada momen-momen
tertentu mereka mengadakan upacara-upacara (perayaan) baik yang bersifat ritual maupun
seremonial yang sarat dengan nuansa keagamaan.
Di antara nilai-nilai budaya lokal yang masih dipertahankan dan dilestarikan
masyarakat Jawa sampai saat ini antara lain:
1. Sekaten
Menurut sejarahnya, perayaan Sekaten bermula sejak kerajaan Islam Demak.
Meski sebelumnya, ketika jaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Majapahit,
perayaan semacam Sekaten yang disebut Srada Agung itu sudah ada. Perayaan yang
menjadi tradisi kerajaan Majapahit tersebut berupa persembahan sesaji kepada para
dewa, disertai dengan mantra-mantra, sekaligus untuk menghormati arwah para leluhur.
Namun ketika Majapahit runtuh, dan kemudian berdiri kerajaan Demak, oleh
Raden Patah (Raja Demak pertama) dengan disertai dukungan para wali, perayaan
tersebut selanjutnya dialihkan menjadi kegiatan yang bersifat Islami. Serta menjadi
sarana pengembangan (syiar) Islam yang dilakukan para wali dengan membunyikan
gamelan yang bernama Kyai Sekati pada setiap bulan Mulud (Jawa), dalam rangka
perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Perayaan itu kemudian disebut Sekaten
dari kata Sekati. Pendapat lainnya menyatakan, kata Sekaten berasal dari bahasa Arab,
yaitu syahadatain, yang berarti dua kalimat syahadat. Inti dari acara perayaan ini adalah
berupa peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW sekaligus sebagai wahana dakwah
agama Islam di Jawa, terutama Yogyakarta.
2. Grebeg
Grebeg adalah upacara adat di Keraton Yogyakarta yang diselenggarakan tiga
kali dalam seahun untuk memperingati hari besar Islam. Mengenai istilah Grebeg ini
berasal dari bahasa Jawa Grebeg yang berarti diiringi para pengikut. Karena
perjalanan Sultan keluar dari istana itu memang selalu diikuti banyak orang, sehingga
disebut Grebebg. Pengertian Grebeg lain mengatakan bahwa karena gunungan itu
diperebutkan warga masyarakat yang berarti digrebeg.
Pelaksanaan upcara tersebut bertepatan dengan hari-hari besar Islam seperti:
a. Grebeg Syawal, dilaksanakan pada hari pertama bulan Syawal untuk memperingati hari
raya Idul Fitri.
b. Grebeg Besar, dilaksanakan pada hari kesepuluh bulan Besar (Dzulhijjah) untuk
memperingati hari raya Idul Adha (Qurban).
c. Grebeg Maulud, dilaksanakan pada hari keduabelas bulan Mulud (Rabiul Awal) untuk
memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Pada setiap upacara grebeg, Sultan berkenan memberi sedekah berupa gunungan
kepada rakyatnya. Gunungan tersebut berisi makanan yang dibuat dari ketan, telur
ayam, buah-buahan, serta sayuran yang semuanya dibentuk seperti gunung (tumpeng
besar) sehingga desebut gunungan. Gunungan ini sebagai simbol kemakmuran dan
kesejahteraan kerajaan Mataram. Selanjutnya gunungan tersebut dibawa menuju
halaman Masjid Agung untuk dibacakan doa terlebih dahulu oleh Abdi Dalem Penghulu
Kraton. Setelah itu gunungan tersebut diperebutkan oleh masyarakat yang ingin
mendapatkan berkah dari gunungan itu.
3. Labuhan

Labuhan berasal dari kata labuh yang artinya sama dengan larung yaitu
membuang sesuatu ke dalam air (sungai atau laut). Dalam hal yang ini yang dibicarakan
adalah labuhan dalam arti memberi sesaji kepada roh halus yang berkuasa di suatu
tempat.
Upacara Labuhan yaitu upacara melempar sesaji dan benda-benda keraton ke
laut, untuk dipersembahkan kepada Penguasa Laut Selatan atau Kanjeng Ratu Kidul,
dengan maksud sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta atas segala kemurahan
yang telah diberikan kepada seluruh pimpinan dan rakyat Yogyakarta, serta berharap
semoga Keraton Mataram Yogyakarta tetap lestari dan rakyatnya selalu dapat hidup
dengan damai sejahtera.
Di samping itu adanya kepercayaan bahwa setiap raja mempunyai kewajiban
untuk memberikan sesaji kepada roh halus yang menunggui tempat-tempat yang
mempunyai peranan penting (misalnya tempat bertapa) dari raja-raja sebelumnya
terutama raja pendiri dinasti Mataram (Panembahan Senapati), karena roh-roh halus itu
dianggap membantu pendiri dinasti itu dalam menegakkan kerajaan. Dengan demikian
maksud dan tujuan diadakannya upacara labuhan ialah untuk keselamatan pribadi Sri
Sultan, Kraton Yogyakarta dan rakyat Yogyakarta.
4. Slametan
Slametan berasal dari kata slamet (Arab: salamah) yang berarti selamat, bahagia,
sentausa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak
dikehendaki. Menurut Cliord Geertz, slamet berarti gak ana apa-apa (tidak ada apaapa), atau lebih tepat tidak akan terjadi apa-apa (pada siapa pun). Konsep tersebut
dimanifestasikan melalui praktik-praktik slametan. Slametan adalah kegiatan-kegiatan
komunal Jawa yang biasanya digambarkan oleh ethnografer sebagai pesta ritual, baik
upacara di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang lebih besar, mulai dari
tedak siti (upacara menginjak tanah yang pertama), mantu (perkawinan), hingga upacara
tahunan untuk memperingati ruh penjaga. Dengan demikian, slametan merupakan
memiliki tujuan akan penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di
samping itu juga untuk menahan kekuatan kekacauan (talak balak). Dalam tradisi
slametan, unsur yang dicari bukanlah makan bersama di tempat si empunya hajat,
melainkan oleh-oleh berupa berkat (berkah) yang diyakini sebagai makanan bertuah.
Selain itu, slametan juga dilakukan apabila mereka mempunyai niat atau hajat
tertentu, ketika akan membangun rumah, pindah rumah, menyelenggarakan pesta
perkawinan, kehamilan anak pertama. Di samping itu juga untuk memperingati keluarga
yang meninggal. Slametan untuk memperingati keluarga yang meninggal ini dilakukan
untuk memperingati 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, dan 1000 harinya. Slametan untuk
memperingati orang yang meninggal biasanya disertai membaca dzikir dan bacaan
thoyyibah tahlil, sehingga slametan ini biasa juga disebut tahlilan.
Dengan pernyataan senada, Nurcholish Madjid mengatakan, kaum santri
menolak banyak sekali unsur-unsur adat Jawa, tetapi mempertahankan sebagian lain
yang kemudian diberi warna Islam. Adat Jawa yang masih dipertahankan kaum santri
dan yang paling banyak menjadi target kutukan kaum reformis adalah sekitar selamatan.
Yang dinamakan selamatan di sini adalah acara makan-makan untuk mendoakan orang
mati, baik pada saat meninggalnya maupun sesudahnya, seperti selamatan tiga hari,
tujuh hari, empat puluh hari, setahun (pendak), dan seribu hari setelah meninggal. Selain
selamatan-selamatan tersebut pada saat yang dirasa perlu keluarga yang meninggal ini

bisa menyelenggarakan haul. Dalam selamatan itu biasanya dibacakan tahlil, suatu ritus
dengan bahasa Arab yang intinya adalah membaca kalimat laa ilaaha illallah, dengan
maksud berdoa untuk kebahagiaan yang meninggal, atau yang lebih controversial lagi
(di mata kaum reformis) adalah mengirimkan pahala wirid itu kepada arwah yang
meninggal.
Tetap lestarinya slametan ini memberikan makna bahwa hubungan sosial
masyarakat tetap kokoh. Masyarakat merasa diperlakukan sama satu dengan lainnya.
Kalau mereka sudah duduk bersama, tidak dibedakan satu dengan lainnya, tidak ada
yang lebih rendah dan tidak ada yang lebih tinggi. Slametan menimbulkan efek
psikologi dalam bentuk keseimbangan emosional dan mereka meyakini bakal selamat,
tidak terkena musibah atau tertimpa malapetaka setelah mereka melakukan kegiatan ini.
5. Ruwatan
Ruwatan merupakan upacara adat yang bertujuan membebaskan seseorang,
komunitas, atau wilayah dari ancaman bahaya. Inti upacara ini sebenarnya adalah doa,
memohon perlindungan dari ancaman bahaya seperti bencana alam, juga doa memohon
pengampunan, dosa-dosa dan kesalahan yang telah dilakukan yang dapat menyebabkan
bencana. Upacara ini berasal dari ajaran budaya Jawa kuno yang bersifat sinkretis,
namun sekarang diadaptasikan dengan ajaran agama. Ruwatan bermakna
mengembalikan ke keadaan sebelumnya, maksudnya keadaan sekarang yang kurang
baik dikembalikan ke keadaan sebelumnya yang baik. Makna lain ruwatan adalah
membebaskan orang atau barang atau desa dari ancaman bencana yang kemungkinan
akan terjadi, jadi bisa dianggap upacara ini sebenarnya untuk tolak bala. Upacara ini
berasal dari cerita Batara Kala, yaitu raksasa yang suka makan manusia. Menurut
kepustakaan Pakem Ruwatan Murwa Kala Javanologi gabungan dari beberapa
sumber, antara lain dari Serat Centhini (Sri Paku Buwana V), bahwa orang yang harus
diruwat.
Lebih lanjut menurut Baedhowi, dalam ruwatan harus dilengkapi dengan
berbagai sesajen yang dulunya masih sederhana dan hanya terdiri dari beberapa macam
sesajen saja, namun sekarang sesajen itu sudah banyak macamnya. Sesajen-sesajen ini
terdiri dari berbagai macam makanan, lauk pauk kemasan hasil bumi dalam bentuk kecil
yang diikat dan digantungkan sepanjang batang bamboo melintang di atas panggung
bagian depan dan dengan layar di sisi atas. Sesajen ini sebenarnya merupakan
perlambang antara harapan dan rasa syukur. Dari berbagai ragam ruwatan yang
dilakukan orang Jawa tampak sekali pusaran tradisi pada pembebasan sukerta dari
mangsa Batara Kala.
6. Nyadran
Ritual ini merupakan cara untuk mengagungkan, menghormati, dan memperingati roh
leluhur yang dilaksanakan pada bulan Ruwah atau Syaban sesudah tanggal 15 hingga
menjelang ibadah puasa di bukan Ramadhan. Dalam ritual Nyadran ada dua tahap yaitu tahap
slametan dan tahap ziarah. Pada tahap slemetan biasanya orang membakar sesajen baik berupa
kemenyan atau menyajikan kembang setaman. Setelah selesai orang melakukan sesajen baru
orang melakukan tahap ke dua yaitu ziarah ke makam.
Menghormati leluhur sebagai inti dari ritual nyadran, menurut Karkono Kamajaya, telah
ada sebelum Islam datang ke Indonesia. Kebiasaan menghormati para arwah leluhur juga
merupakan tradisi yang ada pada suku-suku lain di luar Jawa. Modus mereka untuk
menghormati ini juga beragam. Dalam tradisi Jawa kebiasaan ini telah disebutkan dalam kitab
Negarakertagama karangan Mpu Prapanca, yaitu perayaan sradda untuk memperingati

Tribuwana atau Rajapatni, yang dipimpin para bikshu budha. Dengan demikian ada
kemungkinan bahwa kata nyadran berasal dari kata sradda. Waktu upacara sradda adalah
dimulai bulan Srawana (Juli-Agustus) dan bulan Bhadrawada (Agustus-September).
Pada waktu nyadran makam-makam biasanya dibersihkan dan ditaburi bunga-bunga,
yang disusul dengan pembacaan doa sambil membakar dupa. Bila dalam tradisi Jawa Kuno
upacara sradda dipimpin para bikhsu, maka dalam ritual nyadran biasanya dipimpin seorang
modin atau kaum. Dan waktu pelaksanaan mengalami pergeseran, yaitu pada bulan Ruwah atau
Syaban.
7.

Tirakat
Salah satu tradisi atau budaya yang begitu popular di kalangan orang Jawa adalah
Tirakat. Tirakat adalah berpuasa pada hari-hari tertentu dengan cara-cara tertentu. Karena dekat
dengan ritual puasa dalam ibadah Islam baku, maka orang Agami Jawi biasanya juga
melaksanakan puasa, walaupun tidak melaksanakan syariat yang lain secara rutin. Inti dari ritual
tirakat adalah latihan untuk menjalani kesukaran-kesukaran hidup untuk mendapatkan
keteguhan iman. Jadi tirakat merupakan ritual keagamaan yang disengaja agar seseorang
menjalani kesukaran, kesulitan, dan kesengsaraan. Pemeluk Agami Jawi percaya bahwa ritual
ini berpahala dan bermanfaat dalam melatih keteguhan pribadi.
Tirakat ini memiliki berbagai jenis di antaranya mutih, siyam, nglowong, ngepel,
ngebleng dan patigeni. Mutih berarti seseorang berpantang makan selain nasi putih saja pada
hari Senin dan Kamis. Siyam artinya menjalani puasa pada bulan Ramadhan sebulan penuh.
Nglowong artinya berpuasa selama beberapa hari menjelang hari-hari besar Islam. Ngepel
artinya membiasakan makan dalam porsi sedikit, yaitu tidak lebih dari satu genggam tangan
selama satu atau dua hari. Ngebleng berarti berpuasa dan menyenderi dalam ruangan tertentu
dengan tidak makan atau minum selama tenggang waktu tertentu, seperti 40 hari. Sedangkan
patigeni berarti berpuasa di dalam suatu ruangan yang gelap pekat yang tak dapat ditembus
cahaya.
Jenis ritual ini sangat dekat dengan praktik-praktik yoga dalam Hindu. Praktik yoga
ditengarai sebagai benih bagi kemunculan praktik-praktik tapa-brata dan semedi. Tapa brata,
seperti disebut di atas merupakan bentuk pendisiplinan diri secara keras dengan berbagai bentuk
kegiatan yang sulit seperti puasa, sedangkan semedi merupakan cara pemusatan konsentrasi
pada kekuatan adi-kodrati untuk mencapai penyatuan. Pada intinya, tirakat merupakan latihan
laku prihatin bagi seseorang untuk terbiasa menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Dengan
laku prihatin ini, seseorang berharap semakin dekat pada Tuhan.

8.

Ziarah makam
Kebiasaan datang ke makam-makam tertentu adalah umum sekali di kalangan
Islam Santri yang masih terpengaruh dengan kejawen. Hanya saja menurut Nurcholish
Madjid, hal ini tidak jelas, apakah kebiasaan ini lebih berakar dalam konsep-konsep
sufisme atau jawanisme. Sebab, sebelum Islam datang, agama yang ada adalah Hindu
yang tidak mengenal kubur atau makam. Dan makam yang banyak dikunjungi untuk
ziarah itu umumnya adalah makam orang-orang yang dinamakan wali atau orang suci
yang keramat, sehingga meskipun sudah meninggal akan mampu memberi kesehatan,
keselamatan, sukses dalam usaha dan lain-lain. Di Jombang, makam yang paling
terkenal ialah yang di Betek, Mojoagung, kurang lebih 10 KM sebelah timur Jombang
menuju Surabaya. Setiap malam Jumat beratus orang berziarah, dan pada malam
Jumat Legi jumlah itu dapat mencapai ribuan.

9.

Wayang

Wayang merupakan salah sastu warisan bangsa Indonesia yang sudah


berkembang selama berabad-abad. Sementara pembuatan wayang dari kulit
kerbau,dimulai oleh Sunan Kalijaga pada zaman Raden Patah. Sebelumnya lukisan
wayang yang menyerupai bentuk manusia sebagaimana yang terdapat pada relief Candi
Panataran di daerah Blitar. Lukisan yang mirip manusia oleh sebagian ulama dinilai
bertentangan dengan syara. Para wali, terutama Sunan Kalijaga kemudian
menyiasatinya dengan mengubah lukisan yang menghadap (Jawa: methok) menjadi
miring. Selain itu, atas saran para wali yang lain, Sunan Kalijaga juga membuat tokoh
Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong sebagai tokoh punakawan yang lucu.
Menurut Endraswara seperti yang dikutip oleh Purwadi, bahwa penamaan
punakawan tersebut memiliki makna filosofis. Semar dari kata bahasa Arab Simaar atau
ismarun artinya paku. Paku itu alat untuk menancapkan suatu barang, agar tegak, kuat,
tidak goyah. Semar juga memiliki nama lain, yakni ismaya, yang memiliki makna
kemantapan dan keteguhan. Karena itu ibadah harus didasari keyakinan kuat agar
ajarannya tertancap sampai mengakar. Tokoh punakawan lain, yakni anak Semar, Nala
Gareng dari kata naala qorin yang artinya memperoleh banyak teman. Seuai dengan
tujuan dakwah yaitu memperbanyak teman dan sahabat dalam beribadah kepada Allah
SWT. Sedangkan Petruk berasal dari kata fatruk yang artinya tinggalkan yang jelek.
Dan Bagong berasal dari kata bagho yang berarti pertimbangan makna dan rasa, antara
rasa yang baik dan buruk, benar dan salah.
Lebih lanjut, sebagai sarana dakwah, dalam wayng terdapat lakon Jimat
Kalimasada yang merupakan lambang dari dua kalimah syahadat. Cerita Jimat
Kalimasada tidak ada dalam epos asli Mahabarata. Lakon tersebut yang paling sering
dipentaskan oleh Sunan Kalijaga. Haparannya untuk mengajak orang-orang Jawa di
pedesaan maupun di kota kaprajan daerah mana pun untuk mengucapkan syahadat,
dengan kata lain untuk masuk agama Islam.
Masih banyak lagi nilai-nilai budaya lokal di Jawa yang tidak dicantumkan dalam
makalah ini, namun dari contoh di atas semoga dapat mewakili nilai-nilai budaya lokal yang
lain. Keragaman budaya tersebut merupakan bukti bahwa Jawa memiliki banyak budaya
lokal. Sebagian tetap bertahan keasliannya dan sebagian telah berintegrasi dengan nilai-nilai
keislaman.
D. Pandangan Islam tentang nilai-nilai budaya lokal di Jawa
Setelah dikaji secara singkat mengenai tradisi dan budaya Jawa dengan berbagai
bentuknya maka selanjutnya yang perlu dikaji adalah bagaimana tradisi dan budaya Jawa
tersebut dalam pandangan Islam. Sebelum mengkaji permasalahan ini lebih jauh, perlu
dijelaskan secara singkat karakteristik Islam yang memiliki ajaran yang sempurna,
komprehensif, dan dinamis.
Sebagai agama yang sempurna, Islam memiliki ajaran-ajaran yang memuat
keseluruhan ajaran yang pernah diturunkan kepada para nabi dan umat-umat terdahulu dan
memiliki ajaran yang menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia di mana pun dan
kapan pun. Dengan kata lain, ajaran Islam sesuai dan cocok untuk segala waktu dan tempat.
Secara umum, ajaran-ajaran dasar Islam yang bersumberkan al-Quran dan hadis Nabi
Muhammad Saw. dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu aqidah, syariah, dan
akhlak. Aqidah menyangkut ajaran-ajaran tentang keyakinan atau keimanan; syariah
menyangkut ajaran-ajaran tentang hukum-hukum yang terkait dengan perbuatan orang

mukallaf (orang Islam yang sudah dewasa); dan akhlak menyangkut ajaran-ajaran tentang
budi pekerti yang luhur (akhlak mulia).
Kedinamisan dan fleksibilitas Islam terlihat dalam ajaran-ajaran yang terkait dengan
hukum Islam (syariah). Hukum Islam mengatur dua bentuk hubungan, yaitu hubungan
antara manusia dengan Allah (ibadah) dan hubungan antara manusia dengan sesamanya
(muamalah). Dalam bidang ibadah Allah dan Rasulullah sudah memberikan petunjuk yang
rinci, sehingga dalam bidang ini tidak bisa ditambah-tambah atau dikurangi, sementara
dalam bidang muamalah Allah dan Rasulullah hanya memberikan aturan yang global dan
umum yang memungkinkan untuk dikembangkan lebih jauh dan lebih rinci. Pada bidang
yang terakhir inilah dimungkinkan adanya pembaruan dan dinamika yang tinggi.
Dengan paparan singkat mengenai Islam di atas, maka dapat dijelaskan di sini bahwa
masalah tradisi dan budaya Jawa sangat terkait dengan ajaran-ajaran Islam, terutama dalam
bidang aqidah dan syariah.. Untuk melihat apakah tradisi dan budaya yang sudah mengakar
di tengah-tengah masyarakat Jawa itu sesuai dengan ajaran Islam atau tidak, maka hal itu
dapat dikaji dengan mendasarkan diri pada ajaran-ajaran Islam yang terkait dengan bidang
aqidah dan syariah. Sebab tradisi dan budaya Jawa seperti yang dijelaskan di atas
menyangkut masalah keyakinan, seperti keyakinan akan adanya sesuatu yang dianggap
ghaib dan memiliki kekuatan seperti Tuhan, dan juga menyangkut masalah perilaku ritual,
seperti melakukan persembahan dan berdoa kepada Tuhan dengan berbagai cara tertentu,
misalnya dengan sesaji atau dengan berdoa melalui perantara.
Pada prinsipnya masyarakat Jawa adalah masyarakat yang religius, yakni masyarakat
yang memiliki kesadaran untuk memeluk suatu agama. Hampir semua masyarakat Jawa
meyakini adanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang menciptakan manusia dan alam semesta
serta yang dapat menentukan celaka atau tidaknya manusia di dunia ini atau kelak di akhirat.
Yang perlu dicermati dalam hal ini adalah bagaimana mereka meyakini adanya Tuhan
tersebut. Bagi kalangan masyarakat Jawa yang santri, hampir tidak diragukan lagi bahwa
yang mereka yakini sesuai dengan ajaran-ajaran aqidah Islam. Mereka meyakini bahwa tidak
ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan mereka menyembah Allah dengan cara
yang benar. Sementara bagi kalangan masyarakat Jawa yang abangan, Tuhan yang diyakini
bisa bermacam-macam. Ada yang meyakini-Nya sebagai dewa dewi seperti dewa kesuburan
(Dewi Sri) dan dewa penguasa pantai selatan (Ratu Pantai Selatan). Ada juga yang meyakini
benda-benda tertentu dianggap memiliki ruh yang berpengaruh dalam kehidupan mereka
seperti benda-benda pusaka (animisme), bahkan mereka meyakini benda-benda tertentu
memiliki kekuatan ghaib yang dapat menentukan nasib manusia seperti makam orangorang
tertentu (dinamisme). Mereka juga meyakini ruh-ruh leluhur mereka memiliki kekuatan
ghaib, sehingga tidak jarang ruh-ruh mereka itu dimintai restu atau izin ketika mereka
melakukan sesuatu. Jelas sekali apa yang diyakini oleh masyarakat Jawa yang abangan ini
bertentangan dengan ajaran aqidah Islam yang mengharuskan meyakini Allah Yang
Mahaesa. Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah Swt. Orang yang meyakini
ada tuhan (yang seperti tuhan) selain Allah maka termasuk golongan orang-orang musyrik
yang sangat dibenci oleh Allah dan di akhirat kelak mereka diharamkan masuk ke surga dan
tempatnya yang paling layak adalah di neraka (QS. al-Maidah (5): 72). Perbuatan seperti itu
dinamakan perbuatan syirik yang dosanya tidak akan diampuni oleh Allah (QS. al-Nisa (4):
166).
Tradisi dan budaya masyarakat Jawa yang lain yang perlu dikaji di sini adalah yang
terkait dengan perilaku-perilaku ritual mereka seperti yang telah diuraikan di atas.

Masyarakat Jawa yang abangan atau kejawen juga memiliki tradisi ziarah ke makam orangorang tertentu dengan tujuan untuk mencari berkah atau memohon kepada para ruh leluhur
atau orang yang dihormati agar memberikan dan mengabulkan apa yang mereka minta.
Mereka juga memiliki tradisi melakukan upacara-upacara keagamaan (ritus) sebagai
ungkapan persembahan mereka kepada Tuhan. Di antara tradisi yang terkait dengan ritus ini
adalah upacara labuhan di pantai Parang Kusuma, upacara ruwatan, upacara kelahiran
hingga kematian seseorang, upacara menyambut tahun baru Jawa yang sama dengan tahun
baru Islam, dan bentuk-bentuk upacara ritual lainnya. Acara-acara ritual yang mereka
lakukan seperti itu meskipun bertujuan minta kepada Tuhan (Allah), tetapi menempuh cara
yang bertentangan dengan ajaran syariah Islam. Mereka meminta berkah atau rizki kepada
Tuhan tidak secara langsung, tetapi melalui perantara dan memakai sesaji. Meminta berkah
atau rizki kepada selain Allah jelas dilarang dan bertentangan dengan al-Quran, karena tidak
ada yang dapat memberikan berkah atau rizki kepada siapa pun selain Allah (QS. al-Zumar
(39): 52). Syariah Islam mengatur masalah ibadah (ibadah mahdlah) dengan tegas dan tidak
dapat ditambah-tambah atau dikurangi. Tatacara ibadah kepada Allah ditetapkan dalam
bentuk shalat, zakat, puasa, dan haji yang didasari dengan iman (kesaksian akan adanya
Allah yang satu dan Muhammad sebagai Rasulullah). Semua bentuk ibadah ini sudah diatur
tatacaranya dalam al-Quran dan hadis Nabi Saw. Segala bentuk amalan yang bertentangan
dengan cara-cara ibadah yang ditetapkan oleh al-Quran atau hadis disebut bidah yang
dilarang. Dengan demikian, apa yang selama ini dilakuan oleh masyarakat Jawa, khususnya
dalam masalah-masalah ritual seperti itu, jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam. Karena itu,
hal ini sebenarnya harus diupayakan untuk ditinggalkan atau diluruskan tata caranya
sehingga tidak lagi bertentangan dengan ajaran Islam.
Menurut Nurcholis Madjid, untuk kembali kepada ajaran yang benar, harus
diusahakan penataan kembali, sedikit demi sedikit, susunan dan hirarki nilai dalam agama
sejingga yang primer tetap primer, dan yang sekunder tetap sekunder, begitu seterusnya. Ini
bukan berarti kita harus merombak, mengubah, dan menukar ajaran dan nilai agama (dan
budaya), karena, sepanjang mengenai agama, manusia tidak berhak melakukan suatu
perubahan apa pun yang datang dari Tuhan. Tetapi, karena persepsi dan pemahaman
terhadap agama ada dalam lingkungan budaya ciptaan manusia, maka adalah suatu hal yang
mustahil bahwa persepsi dan pemahaman itu tidak terpengaruhi oleh kerangka dan sistem
budaya ciptaan manusia itu. Maka, yang diperlukan di sini adalah sekedar penyusunan
kembali urutan hirarki nilai-nilai itu secara proporsional.
Hal ini sesuai dengan firman Allah: "Katakanlah, 'Apakah kita akan menyeru selain
daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan kepada kita dan
tidak(pula) mendatangkan kemudharatan kepada kita dan (apakah) kita akan dikembalikan
ke belakang sesudah Allah memberi petunjuk kepada kita." (QS. Al-An'am : 71).
E. Kesimpulan
Sikap Islam yang akomodatif dalam menerima unsur budaya lokal di Jawa telah
mengantarkan umat Islam sebagai komunitas terbesar di Jawa. Tanpa sikap akomodatif
seperti ini gesekan dan benturan dalam interaksi sosial di Jawa akan terasakan begitu kuat.
Sikap kontradiktif terhadap budaya lokal akan bertentangan dengan watak geografis, iklim,
dan kesejukan udara Jawa yang lebih memberikan peluang dan potensi besar terhadap
terbentuknya sikap yang akomodatif. Islam di Jawa akan tetap berkembang selama masih
membawakan kesejukan bagi kehidupan masyarakatnya. Masyarakat Jawa akan menjauh

jika terjadi kekerasan dan disharmoni. Dengan demikian sikap akomodatif dalam artinya
yang positif menjadi pra-syarat untuk memajukan Islam di Jawa.
Namun meskipun akomodatif, bukan berarti semua nilai budaya lokal Jawa dapat
diterima oleh Islam. Nilai-nilai budaya lokal di Jawa yang jelas-jelas mengarah ke perbuatan
syirik haruslah disikapi dengan tegas dan dicarikan solusi yang tepat untuk menyadarkan
keyakinan masyarakat yang keliru tersebut. Sebab jika kita gegabah dalam menyikapi ritual
yang telah berlangsung sekian lama di Jawa ini, bukan tidak mungkin suatu saat nanti Islam
akan dijauhi oleh masyarakat Jawa.
Sedangkan nilai-nilai budaya lokal yang telah berintegrasi dengan ajaran Islam dan
sesuai dengan ajaran Islam, seyogyanya tetap dijaga dan dilestarikan sebagai sarana dakwah
dalam masyarakat dan sebagai sarana untuk mengenalkan Islam yang rahmatan lil alamin.

Daftar Pustaka
Anonim, Hakikat bukan Khurafat dalam http://www.scribd.com/doc/58791414/ EnsiklopediSyirik#archive , diakses 4 November 2011.
Baedhowi, Kearifan Lokal Kosmologi Kejawen dalam Agama dan Kearifan Lokal dalam
Tantangan Global, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Fredy Heryanto, Nengenal Keraton Yogayakarta Hadiningrat, Yogyakarta: Warna Grafika, 2009.
Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa, dan Perpaduannya dengan Islam,
Yogyakarta: IKAPI Cabang Yogyakarta, 1995.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Mark R. Woordwark, Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, Yogyakarta: LKis,
2006.
Marwan Salahudin, Mengenal Kearifan Lokal di Klepu-Ponorogo dalam Agama dan Kearifan
Lokal dalam Tantangan Global, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Muhammad Damami, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa, Yogyakarta: LESFI, 2002.
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Jakarta: Dian Rakyat dan Paramadina, 1997.
Nurcholish Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia,
Jakarta: Dian Rakyat dan Paramadina, 2008.
Purwadi, Adat Istiadat Budaya Jawa, Yogyakarta: BudayaJawa.com, 2006.
Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga,Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Ridwan, Mistisisme Simbolik dalam Tradisi Islam Jawa, P3M STAIN Purwokerto Ibda, Vol.6
No. 1 (Jan-Jun, 2008).
Simuh, Sufisme Jawa, Yogyakarta: Bentang Budaya, 1996.

Suyanto, Pandangan Hidup Jawa, Semarang: Dahana Prize, 1990.

Anda mungkin juga menyukai