Anda di halaman 1dari 56

WACANA & KONSEP

PENGADERAN
--------- Massal --------

Oleh :

Akhmad Guntar

Hidup untuk ibadah dan bangun fondasi peradaban


Jernihkan nada dan luapan berpikir
tuk menjadi pilar peradaban

PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon maghfirah dan pertolongan
kepada-Nya. Kami berlindung dari keburukan diri dan kejelekan perbuatan kita.
Pengaderan massal khususnya Student Day dan Camp- yang berjalan
selama ini kerap kali tidak dilandasi oleh pemahaman yang cukup dari semua
elemen terkait atas konsepsi, aturan main serta metodologi. Belum lagi bila kita
berbicara tentang prosesi dan hasil akhir yang dicapai. Secara umum, pengaderan
massal yang dilangsungkan di ITS masihlah jauh dari sempurna.
Pertanyaan besar yang saya kira cukup bersarang di pikiran kita adalah:
Bagaimana kita bisa membawa keagungan Islam di sana? Bagaimana kita bisa
membangun kultur pengaderan yang santun dan menjauhi kedzaliman di jurusan?
Kita barangkaili- sudah memiliki senjatanya, tapi belum sepenuhnya tahu
bagaimana menggunakannya.
Dengan greget semacam itu, maka metodologi pressing dan makian
sebenarnya menjadi konsepsi yang tertolak. Untuk tujuan yang sama, metodologi
perberdayaan melalui penyadaran dan pengakuan potensi diri (Teori Y) telah
berkali-kali dibuktikan lebih baik dari teori X yang identik dengan militerisme.
Berbagai metode belajar seperti Quantum Learning, Accelerated Learning, Super
pCamp atau apapun namanya, telah terbukti secara efektif membentuk pribadipribadi yang memenuhi harapan belajar. Terlebih lagi apabila kita menggunakan
metodologi yang berpijak pada keagungan Islam.
Namun kemudian, perubahan konsepsi dan metodologi bukanlah merupakan
upaya sehari semalam. Kita butuh pengkajian yang berkesinambungan, sehingga
tiap generasi tidak harus memulainya kembali dari awal.
Tulisan ini dimaksudkan dapat menjadi referensi pembelajaran dan kajian
demi konsepsi dan metodologi yang lebih cantik dan Islami. Konsepsi yang saya
sajikan di sini merupakan peralihan dari metode lama ke metode baru. Saya
berusaha menyajikan dasar pemikiran dan prosesi yang Islami dalam konsepsi
global dan turunannya. Metode pressing yang masih sulit dihilangkan seratus
persen coba saya paparkan kembali dengan menggunakan pijakan pemikiran yang
bisa dipertanggungjawabkan.
Saya sadar bahwa saya bukanlah orang yang cukup mulia. Saya pun
menyadari bahwa saya bukanlah seorang teladan yang cukup baik, terutama bila
melihat integritas yang saya miliki berkaitan dengan keseluruhan apa yang saya
sampaikan dalam tulisan ini. Namun, tulisan ini sendiri sebenarnya merupakan
taujih bagi saya pribadi, yang saya harapkan juga bisa mendatangkan manfaat
bagi pembacanya.
Sesungguhnya, saya belum bisa mengatakan tulisan ini telah rampung. Masih
terdapat beberapa bab yang belum bisa saya selesaikan. Masih banyak terdapat
lubang-lubang yang belum terisi. Namun mengingat tingkat kemendesakan
kebutuhan atas wacana, dan juga atas keterbatasan waktu yang dapat saya
alokasikan, maka dengan izin Allah, inilah yang bisa saya persembahkan.
Semoga tulisan ini dapat menjadi jembatan pemikiran baru dan kunci
pembuka ide-ide baru yang lebih cemerlang. Dan hanya kepada Allah kita patut
memohon petunjuk dan pertolongan.
Semoga saya tidak hanya sekedar bisa berbicara.
Surabaya, Agustus 2002

Akhmad Guntar S.A.

DAFTAR ISI
BAB 1 DASAR PEMIKIRAN............................................ 1
1.1. MANUSIA MODERN YANG ANGKUH ............................................1
1.2. URGENSI DAKWAH KAMPUS......................................................3

BAB 2 KAIDAH PENGADERAN ...................................... 5


2.1.
2.2.
2.3.
2.4.
2.5.
2.6.
2.7.
2.8.

PEMBENTUKAN KEBIASAAN EFEKTIF ..........................................5


PROAKTIF, ANTISIPATIF DAN RESPONSIF ...................................6
KETELADANAN ........................................................................7
THESIS, BUKAN ANTI-THESIS ...................................................8
PUNISHMENT AND REWARD .................................................... 10
ATURAN MAIN YANG JELAS ..................................................... 11
BERTAHAP DAN BERKESINAMBUNGAN ..................................... 11
ACHIEVEMENT MOTIVATION ................................................... 12

BAB 3 KONSEP PENCAPAIAN ..................................... 14


3.1. POLA dan ARAH DASAR .......................................................... 14
3.2. TUJUAN AKHIR SEBAGAI AWALAN ........................................... 15
3.3. TUJUAN-ANTARA.................................................................... 15
3.3.1. Student Day................................................................... 15
3.3.2. Camp ............................................................................ 16
3.3.3. LKMM Tingkat Dasar........................................................ 16
3.4. NILAI YANG DITANAMKAN ...................................................... 16
3.4.1. Pemahaman Kedudukan Terhadap Entitas Luar................... 17
3.4.2. Berpikiran Luas............................................................... 17
3.4.3. LA HAWLA WALA QUWWATA ILLA BI ALLAH ....................... 19
3.4.4. Kedewasaan................................................................... 20

BAB 4 SAY NO TO PISUHAN ....................................... 22


BAB 5 KONSEP PENGKONDISIAN ................................ 26
5.1. METODE ............................................................................... 26
5.1.1. Ceramah........................................................................ 26
5.1.2. Diskusi .......................................................................... 26
5.1.3. Role Playing ................................................................... 27
5.1.4. Permainan ..................................................................... 27
5.1.5. Pressing......................................................................... 28
5.1.5.1. Tujuan.................................................................... 28
5.1.5.2. Batasan .................................................................. 29
5.1.5.3. Metode Pressing ...................................................... 30
5.2. LEVEL PENGKONDISIAN ......................................................... 32
5.2.1. Level 0 : Santai .............................................................. 32
5.2.2. Level 1 : Gelisah............................................................. 32
5.2.3. Level 2 : Tegang............................................................. 32
5.2.4. Level 3 : Mencekam ........................................................ 33
5.2.5. Level 4 : Brutal............................................................... 33

BAB 6 PENGGARIS PENCAPAIAN ................................ 34


6.1. KECERDASAN SPIRITUAL ........................................................ 34
6.2. KERJASAMA .......................................................................... 36
6.3. KETRAMPILAN INTERPERSONAL............................................... 37
6.4. BERTANGGUNG JAWAB........................................................... 37
6.5. KEMATANGAN EMOSIONAL ..................................................... 38
6.6. KOMUNIKASI......................................................................... 38
6.7. KEPERCAYAAN DIRI ............................................................... 39
6.8. BERPIKIR KRITIS DAN ANALITIS ............................................. 39
6.9. KETRAMPILAN MEMECAHKAN MASALAH DAN MENGAMBIL
KEPUTUSAN................................................................................. 40
6.10. KETRAMPILAN MEMIMPIN...................................................... 40
6.11. KREATIF DAN PENUH INISIATIF ............................................. 41
6.12. KOMPETENSI PENGADER ...................................................... 41

BAB 7 RENUNGAN DAN TUGAS BESAR ....................... 43


LAMPIRAN................................................................. 47
Proyeksi ke Depan Pengaderan Jurusan ...................................... 47

TENTANG PENULIS ..................................................... 51


DAFTAR PUSTAKA..................................................... 51

BAB 1 DASAR PEMIKIRAN

DASAR
PEMIKIRAN
D

alam beberapa kali saya menjadi screener Steering Committee Pengaderan,


salah satu motivasi yang sering diajukan oleh calon adalah, Saya ingin
membagikan pengalaman saya. Begitu sederhananya namun kaya tafsiran.
Sehingga ijinkan saya untuk menyempurnakannya sedikit saja menjadi Saya
ingin membagi pengalaman pembelajaran saya.
Namun pertanyaan selanjutnya adalah: Pembelajaran apakah yang
dimaksud? Tetap saja kaya tafsiran, bukan? Tapi justru di sinilah menariknya.
Pembelajaran inilah yang akhirnya menentukan apakah seseorang akan menjadi
pejuang dakwah di barisan Allah dan Rasulnya, ataukah menjadi pasukan
pembangkang perintah Allah. Sehingga pembelajaran dengan arah, cara dan
sarana yang benar inilah yang selanjutnya diharapkan dialami oleh para maba.
Dengan pandangan sekilas, isi bab ini barangkali tidak menunjukkan korelasi
yang erat dengan tema pengaderan massal yang saya angkat. Namun maksud
mendasar dari penulisan bab ini adalah untuk menunjukkan urgensi dakwah
kampus sebagai salah satu bentuk pembinaan terencana yang memiliki awalan.
Dasar pemahaman yang digunakan adalah bahwa pengaderan massal
hanyalah sebagian kecil dari proses yang terjadi dalam pembinaan kader Islami.
Bahkan, pengaderan sesungguhnya berjalan di luar waktu resmi pengaderan
massal maupun massal terbatas. Pengaderan terbatas hanyalah menunjukkan
sentuhan awal untuk ditindaklanjuti secara konsisten. Pemaparan pada bab ini
akan menunjukkan tingkat signifikansi dari pembinaan di kampus.
Saya memulai dengan menunjukkan fenomena keangkuhan manusia
modern yang menjadikannya semakin jauh dari agama. Fenomena ini menggiring
pada upaya dan tindak lanjut yang tegas dan terarah dari dakwah kampus, untuk
membentuk mahasiswa menjadi batu bata yang baik dalam bangunan masyarakat
Islam.

1.1. MANUSIA MODERN YANG ANGKUH


Islam memandang kondisi manusia sebagai satu totalitas dalam konsepnya yang
padu; sebagai hamba Allah swt dan khalifah-Nya di dunia. Manusia sebagai
makhluk yang keberadaannya di alam semesta ini, secara fithrah, tidak terpisah
dari sistem universal. Namun berbeda dengan ciptaan Tuhan yang lain, manusia
diberikan kekuatan yang luar biasa dalam menjalankan amanah kekhalifahannya.
Kekuatan luar biasa yang dibungkus erat dengan ketaqwaan dan diikat erat
dengan tali Allah inilah yang terangkai dalam kualitas fundamental seorang
manusia.
Seandainya seseorang tidak diberikan kesadaran akan kualitas fundamental
tersebut, tentu akan membawa konsekuensi yang buruk dalam kehidupan
keilmuannya. Hal ini mengakibatkan seseorang dengan terpaksa atau rela
dibendakan atau diperalat oleh alam, ilmu atau teknologi yang dimilikinya.
Sementara itu, kita di ITS hidup dalam lingkungan akademis teknik, yang akrab
bersentuhan dengan akal, metodologi, perangkat serta teknologi yang beragam.

Julukan kampus teknologi yang kita sandang amat rawan dalam mendorong
seseorang untuk merumuskan pemahaman yang tidak bijak akan arti manusia
modern.
Pemahaman tentang arti manusia modern secara tergesa-gesa hanya
menggunakan kekuatan akal dan teknologi sebagai cakupan definisi. Terlebih lagi,
ketika saat ini manusia telah menemukan berbagai metode dan perangkat berpikir
dan mendefinisikan serta melejitkan kekuatan dirinya dengan cara baru.
Manusia telah menemukan kekuatan otak kiri dan otak kanan, termasuk
bagaimana mereka bekerja, Random-Sekuensial-Abstrak-Konkrit, dan bagaimana
mengoptimalkannya dengan peta pikiran, topi berpikir, decision tree, visual
brainstorming, problem reversal atau dengan berbagai cara yang lain. Manusia
telah menemukan kekuatan modalitas belajar visual-auditory-kinestetik, serta
bagaimana mempergunakannya dalam belajar dan berkomunikasi dengan orang
lain. Manusia juga telah menemukan Neuro Linguistic Programming (NLP) untuk
melejitkan potensi diri dengan penguasan dan rekayasa cara berpikir. Akhirnya,
penggunaan kekuatan analogi, metafora, persepsi nalar dan intuisi, pemikiran
induktif-deduktif serta penguasaan beberapa perangkat berpikir yang lain juga
turut menjadikan manusia sebagai homo sapiens (makhluk berpikir) yang luar
biasa. Namun, terkadang (seringkali?) kesemua penemuan itu membuat
seseorang berani menjuluki dirinya sebagai manusia modern. Manusia modern
yang angkuh.
Keangkuhan manusia modern terlihat pada sikapnya yang seolah-olah
memiliki semua kekuatan untuk terbebas dari kekuatan yang ada di luar dirinya,
termasuk dari kekuasaan Tuhan Yang Maha kuat. Dengan keangkuhan akal, ilmu
pengetahuan dan teknologi yang terus-menerus diagungkannya- manusia
modern tersebut merasa mampu menyelesaikan persoalan hidupnya. Seperti
dikatakan oleh Max Horkheimer, Untuk bertahan hidup, manusia mengubah
dirinya menjadi seperangkat alat yang setiap saat bereaksi dengan tepat terhadap
berbagai situasi sulit dan membingungkan yang membentuk hidupnya.
Kesemuanya itu dikatakannya terjadi secara alamiah tanpa kesadaran.
Sistem dan mesin yang diciptakan manusia malah mengakibatkan seseorang
kehilangan visi dan tujuan hidupnya; ia begitu bangga dan menyombongkan diri
dengan segenap kekuatan akal yang dimilikinya. Sementara kesombongan dan
kebanggaannya itu justru menghalangi dirinya dalam memperoleh kebenaran.
Kesemua hal itulah yang terjadi apabila manusia tidak memahami hakikat
penciptaan dirinya dan merenungi keberadaan dirinya secara mendalam.
Perenungan itulah, menurut Imam Ghazali, yang akan menghasilkan ilmu yang
bersemayam di dalam batin seseorang. Sedangkan ilmu, menimbulkan keindahan
yang menakjubkan dan melahirkan perbuatan yang menyelamatkan seseorang,
alih-alih menjerumuskannya dalam kehinaan di mata Allah. Hal ini dilakukan
dengan tidak mengasingkan segala jenis ilmu dengan moral dan estetika.
Sesungguhnya potensi pemikiran dianugerahkan kepada manusia untuk
dianugerahkan kepada manusia agar ia bisa melaksanakan misi khalifah di muka
bumi. Ia diserahi tugas mengurusi kehidupan nyata di dunia ini, dengan
melakukan pengamatan, pengkajian dan penelitian terhadapnya; dengan bekerja,
berproduksi, mengembangkan dan memperindah kehidupan ini. Tetapi dengan
syarat mendapatkan dukungan dari potensi spiritual (ruhiyah) yang mampu
berhubungan langsung dengan segenap wujud dan Pencipta wujud.
Begitulah. Harapan tinggi untuk menegakkan panji-panji Allah di bumi
Indonesia ternyata masih terhalang oleh kesombongan orang-orang yang
mengagungkan akal dan segala macam ilmu yang dikuasainya. Sementara itu,
pembentukan cara berpikir ini dibentuk dan dipatri secara dominan ketika

seseorang berada dalam dunia kampus. Pembahasan tentang kerusakan cara


berpikir manusia ini merupakan pengantar untuk memahami urgensi dari dakwah
kampus.

1.2. URGENSI DAKWAH KAMPUS


Masa kuliah merupakan salah satu saat yang paling menentukan dalam
pembentukan kepribadian seseorang. Seringkali pada tahap awal seseorang
menginjakkan kakinya di kampus, dia akan mulai mencari model ideal untuk dia
tiru, disadari ataupun tidak. Dia akan mencoba untuk merumuskan definisi dan
hakekat yang lebih luas tentang dirinya ketimbang yang pernah dia lakukan
semasa SMA, jika sudah pernah melakukan.
Bila manusia dibiarkan berpikir sendiri tentang hakekat dirinya, maka kita akan
menjumpai pendefinisian yang beragam tentang manusia; manusia sebagai Homo
volens (makhluk yang berkeinginan), manusia sebagai Homo sapiens (makhluk
yang berpikir), manusia sebagai Homo mechanicus (makhluk mekanik/mesin),
manusia sebagai Homo luden (makhluk yang bermain) dan manusia sebagai
Homo significans (pemberi makna).
Upaya pendefinisian yang mengedepankan akal ini semakin lama bisa
menjerumuskan manusia dalam hakekat yang rendah. Sehingga tantangan dari
dakwah kampus adalah untuk membantu para maba untuk menemukan
pendefinisian yang benar tentang dirinya sendiri. Urgensi dakwah kampus dalam
mendukung pencapaian dakwah secara luas dan berjangka panjang adalah:
1. Penyebaran dan pemantapan opini Islam
Penyebaran dan pemantapan opini Islam merupakan langkah
berkesinambungan demi melanggengkan kelangsungan dakwah secara
luas dan menyeluruh. Ide dasarnya adalah pemahaman yang tak
terpecah dan mantap sehingga tidak ada fitnah yang ditujukan kepada
Islam.
2. Pengembangan kepribadian Islam
Kita terjebak di dunia di mana parameter kemantapan kepribadian
ditentukan oleh tingkat kematangan pertimbangan dan keberanian
bersikap, atau bahkan sekedar kemampuan akal yang disesuaikan
dengan perkembangan jaman. Bagi umat Islam, klaim keidealannya
(khairu ummah) terletak pada konsistensi nilai-nilai non-material (iman)
sebagai keyakinan bersama dan realisasi tuntutan-tuntutan logisnya
(amar maruf nahi munkar) dalam seluruh pola aktual kehidupannya (QS.
Ali Imran,3:110).
Pengembangan kepribadian Islam memiliki tujuan belajar terciptanya
pribadi-pribadi yang mantap aqidahnya, ikhlas, benar, jujur, amanah,
tawadhu, penyantun, sabar dan teguh pendirian. Islam melahirkan
pribadi yang lemah lembut, pemaaf, namun tetap terisi kuat dengan
izzah dan keberanian mempertahankan kehormatan.
3. Melahirkan tokoh-tokoh dan mercu suar masyarakat
Dakwah
kampus
menjadi
ajang
pembentukan
kader-kader
berkepribadian mantap yang menjadi para tokoh dan mercu suar
komunitasnya, baik selama di kampus dan terlebih lagi ketika sudah
terjun di masyarakat.
4. Sebagai pijakan bagi perubahan sosial
Keshalihan individu menjadi asas bagi terciptanya sebuah kondisi realitas
aktual yang baik dan harmonis dalam sebuah masyarakat. Bahkan, nilainilai moral dan pemupukannya dapat dianggap sia-sia apabila individu

yang bersangkutan tidak secara aktif meningkatkan keshalihan dan


manfaatnya
individualnya
bagi
orang
lain.
Rasulullah
saw
menyatakan,Orang yang baik ialah yang paling bermanfaat bagi orang
lain. Dakwah kampus menyediakan kader-kader yang militan dan
memiliki kemanfaatan yang besar bagi sesamanya. Tingkat kemanfaatan
seorang muslim inilah yang menjadi pijakan yang mantap bagi
perubahan sosial.
Bukan merupakan tantangan yang mudah mengingat medan dakwah kampus
memiliki karakteristik:
1. Berkembangnya pola berpikir ilmiah yang sekuler
2. Kebebasan berpendapat (bahkan tanpa perlu bertanggung jawab) dan
menafikkan nilai wahyu
3. Masih berkembangnya kegiatan ekstra kurikuler yang laghwi (sia-sia)
4. Kuatnya pengaruh propaganda yang buta tentang modernisasi,
globalisasi dan segala macamnya
Dalam dakwah kampus, pengaderan massal menunjukkan perannya secara
signifikan sebagai sebuah gerbang yang mampu menjaring maba untuk memulai
kebiasaan baru. Gerbang ini dinilai cukup signifikan mengingat masa awal ini
amat menentukan pembentukan pemikiran dan pemantapan kepribadian sebagai
manusia.
Masa di perguruan tinggi ini merupakan masa di mana seseorang membentuk
sistem berpikir yang mantap tentang hakekat diri dan tujuan hidupnya. Terkait
dengan hal ini adalah pemantapan nilai-nilai dasar yang menjadi barometer dan
kompas kehidupan. Masa ini adalah masa di mana seseorang memilih arah dan
bentuk pengabdian serta mencari figur teladan untuk digugu dan ditiru.
Kesemua itu diawali dari pengkondisian awal, dimulai dari pengaderan di
masa awal. Di sinilah pengaderan massal menunjukkan signifikansinya secara
dominan, yang menuntut keberadaan upaya lanjutan yang berkesinambungan
secara konsisten.

BAB 2 KAIDAH PENGADERAN

KAIDAH
PENGADERAN
2.1. PEMBENTUKAN KEBIASAAN EFEKTIF
Pengaderan tidak hanya memperkenalkan maba tentang sesuatu, namun lebih
dari itu, yakni mempraktikkan sesuatu. Tidak cukup bila pengader sekedar
memahamkan maba tentang pentingnya mengetahui kekuatan dan kelemahan
diri, namun tidak menunjukkan kepada maba bagaimana melakukannya. Sama
seperti meminta seseorang untuk belajar bersepeda dengan hanya mendengarkan
orang lain menjelaskan bagaimana cara mengendarai sepeda dengan benar, tapi
dia tidak benar-benar pernah menaiki sepeda.
Pengaderan tidak sekedar menjadikan maba mengetahui-tentang (learning
about), namun juga mengajarkan mereka tentang bagaimana caranya (learning
how to do), termasuk mempraktikkannya (do the things been learn). Sehingga,
pengader tidak hanya menyuruh maba untuk melakukan pembagian kerja yang
efektif dan efisien semisal, tapi pengader juga perlu mengatakan kepada maba
tentang bagaimana caranya, secara eksplisit ataupun implisit.
Untuk bisa membuat maba belajar tentang keutuhan angkatan, tidak cukup
pengader sekedar mengatakan, meneriakkan atau sampai memarahi dan
memaki- mereka dalam setiap pertemuan (baca: sesi evaluasi). Saya tidak
mengatakan bahwa cara itu tidak berhasil. Cara semacam itu memang
dimungkinkan berhasil, tapi hanya sebatas pada waktu pengaderan. Maba akan
menebak sikap yang bisa membuat pengader merasa senang, dan mereka akan
melakukannya. Namun manakala mereka masih belum menjadikan keutuhan
angkatan sebagai suatu kebiasaan yang melekat, maka hal itu hanya akan
menjadi cat basah yang dengan mudah luntur seiring dengan waktu dan
rendahnya kekuatan pengawasan terhadap mereka.
Untuk menjadikan apa yang pengader inginkan menjadi suatu yang tetap,
atau paling tidak bertahan lama, maka suatu tujuan belajar harus dijadikan suatu
kebiasaan. Kita perhatikan urutannya; dari apa yang kita pikirkan, lahirkan
perkataan dan tingkah laku. Dari perulangan keduanya, terbentuklah kebiasaan.
Dan selanjutnya, kebiasaan yang dipelihara akan menjadi karakter.
Dalam jangka waktu pengaderan yang hanya beberapa bulan, maka upaya
melatih kebiasaan ini harus diupayakan semenjak awal, untuk kemudian
dipatrikan menjadi benar-benar sebuah kebiasaan setelah masa pengaderan
massal berakhir. Artinya, kebiasaan dibentuk dari melakukan tindakan efektif
secara berulang, dan pengader memulainya dengan pengenalan dan pemahaman
di tahap awal.
Dalam kenyataan, tindakan efektif maba ternyata ditemukan justru pada
akhir masa pengaderan, yang barangkali hanya muncul beberapa kali saja.
Akhirnya itulah yang dijadikan sebagai faktor pertimbangan utama untuk
meluluskan mereka, bahkan sebelum tindakan efektif itu menjadi sebuah
rangkaian kebiasaan melekat. Bagaimana bisa berharap maba untuk terus punya
kebiasaan berpikir prestatif dan sinergis dengan teman-temannya bila mereka
baru menerapkannya sekali atau dua kali, di sesi akhir pengaderan?

Tindakan efektif tersebut harus teridentifikasi dan ditemukan maba


semenjak awal, untuk kemudian diterapkan secara berulang dalam setiap
pertemuan atau kesehariannya. Pemahaman tentang bagaimana proses berpikir
prestatif dan sinergis semisal, harus ditemukan dan teridentifikasi secara sadar
semenjak awal oleh maba, itulah yang terus dilatih. Sekedar mengandalkan
kemampuan maba secara mandiri tidaklah cukup. Upaya penyadaran ini
memerlukan upaya proaktif dari segenap elemen pengader. Pengader harus
memastikan agar maba memiliki jawaban yang dimiliki oleh pengader.
Untuk melatih kebiasaan utuh dan sinergi angkatan semisal, pengader tak
boleh segan-segan memberikan materi yang berkaitan dengan itu. Jika perlu,
materi harus sedemikian konkritnya sesuai dengan konteks kondisi mabahingga maba tidak perlu membuat penafsiran yang tidak relevan tentangnya.
Semisal, materi team building yang diberikan bukannya dalam konteks
pembentukan tim dalam organisasi, namun lebih dikhususkan lagi pada tim
secara angkatan.

2.2. PROAKTIF, ANTISIPATIF DAN RESPONSIF


Dari banyak ragam pengaderan massal yang ada di ITS, saya menemukan hal
menarik untuk dicermati. Yakni, dalam pelatihan semacam Latihan Ketrampilan
Manajemen Mahasiswa (LKMM) kita mengenal adanya tujuan belajar yang
disampaikan kepada peserta pada setiap awal sesi, untuk kemudian dievaluasi
kembali pada akhir setiap sesi. Namun dalam pengaderan massal, pengader
seringkali menganggap maba begitu pintarnya, sehingga dibiarkan menebak
sendiri tujuan belajar setiap sesi, atau malah kadang tujuan besar pengaderan
secara keseluruhan.
Baiklah, barangkali lucu juga apabila pada awal sesi evaluasi (pressing)
pengader mengatakan terlebih dahulu semisal,Adik-adik maba sekalian, sesi saat
ini adalah pressing, dan tujuan belajar kita adalah agar kalian semua bisa
membentuk angkatan yang solid dan tangguh!!. Pengaderan massal memang
bukan pelatihan. Tapi hal ini sama sekali tidak menjadikan penghalang bagi
pengader untuk membantu maba dalam menemukan sasaran belajar yang telah
ditentukan (biasanya sudah kan?). Pengader tak boleh segan untuk bertanya
kepada maba di akhir sesi atau acara, Baik adik-adik sekalian, sudah belajar
apakah kalian semua hari ini? Ada yang bisa maju ke depan dan menceritakan
kepada kita semua di sini?, dan kemudian mengevaluasinya bersama di mana
pengader juga turut memberikan jawaban dan pemikiran.
Lebih jauh lagi, pengader harus membuat rancangan pembelajaran terhadap
sasaran belajar tertentu. Untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran, pengader
sedapat mungkin (dan harus dapat) menghindari tindakan impromptu; langsung
maju dengan hanya berbekal tujuan, tanpa berpikir bagaimana membangun alur
yang bagus. Dalam realita, sebenarnya tidaklah menjadi masalah besar ketika SC
sudah cukup ahli dan berpengalaman. Tapi dalam realita juga, ternyata tidak
seluruh SC telah cukup ahli. Terlalu banyak keburukan yang ada dari tindakan
tampil apa adanya.
Sehingga, bersikap reaktif bukanlah sebuah upaya bijaksana. Menunggu
segalanya terjadi baru kemudian menyikapi. Ya lihat hasilnya dulu kan?, Lihat
raw materialnya dulu, Lihat reaksi mabanya dulu lah! Baru mikir. Logika
pengkondisian tidak dibangun sesaat setelah suatu kondisi terdeteksi atau terjadi.
Ada beda yang cukup besar antara responsif dan reaktif. Pemastian alur bisa jadi
memang dilakukan hanya beberapa jam sebelum pengkondisian lapangan
semisal, dengan mempertimbangkan kondisi terbaru yang terdeteksi dari maba.

Tapi bukan lantas pengader mengabaikan gambaran besar dan lebih berfokus
pada pengkondisian sesaat ataupun tujuan yang instant dan parsial.
Dalam pengaderan, tidaklah cukup bijak bila pengader bermain-main pada
level-pengkondisian dua sampai empat mungkin, tanpa mempertimbangkan
kesinambungan alur pembelajaran. Penggunaan metode pengusiran atau
pemisahan semisal, tidak bisa diputuskan secara serampangan tanpa
mempertimbangkan kesinambungan dengan sesi sebelum sesudah dan tujuan
global perhari.
Konsep pengaderan merupakan upaya proaktif dan antisipatif, dengan
gambaran besar yang dibangun semenjak awal. Hal ini dibebankan terutama
kepada para Steering Committee (dan himpunan tentunya). Salah satu tugas
mendasar dari Steering Committee adalah melihat pengaderan dalam sebuah
gambaran besar, sebagai sebuah proses utuh yang berkesinambungan. Dalam
cara berpikir semacam ini, maka tindakan yang akan muncul adalah upaya
responsif, alih-alih reaktif.
Terkadang seseorang mengatakan, Tapi saya kan masih belajar. Jadi wajar
kalo masih belum ideal. Asalkan hal tersebut melahirkan konsekuensi secara
konsisten dan tanpa sungkan untuk kembali belajar, maka saya pikir apologi
tersebut tidaklah menjadi masalah. Konsep pengaderan dibangun dari upaya
terbaik; hasil dari pengerahan segenap instrumen kepribadian seseorang, hasil
kerja sinergis antara akal, hati dan fisik seseorang.

2.3. KETELADANAN
Di atas telah disebutkan bahwa pengaderan membutuhkan upaya keras dan bijak
dari sang pengader dalam memanfaatkan segenap instrumen kepribadian yang
dimilikinya. Berbicara tentang suatu hal ideal, Anis Matta Lc. mengatakan bahwa
apa yang terjadi pada keseluruhan instrumen kepribadian sang pengader itu
adalah sebuah sinergi kecerdasan. Para pengader mukmin sejati mempunyai
kecerdasan akal yang sama kuatnya dengan kecerdasan emosi atau spiritualnya,
dan bahwa sumber-sumber kecerdasan itu akal, jiwa dan ruh yang
memberinya energi untuk bekerja, mengalami suatu sinergi di antara mereka.
Berbicara hal ideal memang terkesan melangit, dan selalu lebih mudah
untuk dikatakan daripada diterapkan. Namun sama sekali bukan suatu hal yang
salah, mengingat dengan cara inilah salah satunya- kita bisa mendekati akhlak
Rasulullah.
Kondisi puncak dari pengader inilah yang menjadikan pengader mukmin
menjadi teladan bagi orang lain, terutama maba. Paradigma berpikir yang
dibangun adalah; kita semua berusaha menjadi teladan bagi orang lain.
Tidak bisa dipungkiri bahwa maba memiliki kecenderungan untuk memilih
sosok untuk dikagumi dan ditiru. Mereka menginginkan senior yang -in a way or
another- memiliki kelebihan yang pantas dikagumi dan ditiru. Bisa jadi teladan
yang dipilih adalah senior yang pintar dalam hal akademis, yang pintar berbicara
dengan penuh kharisma, yang mampu mengendalikan massa dan maba seorang
diri, yang pandai beretorika dan berlogika, yang santun dalam berbicara dan
berbuat dsb. Orang hebat. Maba mencari senior yang hebat, dalam cara pandang
dan standart parameter mereka.
Orang hebat sih sudah banyak dan biasa. Tapi orang yang hebat karena
keIslamannya itu yang luar biasa. Orang yang dengan Syahadatnya dapat tampil
dengan penuh percaya diri, wibawa serta tidak mendewakan akal, orang yang
dengan la hawla wala quwwata illa bi Allah memiliki keberanian dalam
mengendalikan amukan massa, orang yang dengan Al Matsurat-nya dapat

menjaga diri dari kemarahan serta argumen yang sia-sia dan menyesatkan, orang
yang dengan istighfarnya tidak merasa dirinya lebih mulia daripada maba, orang
yang dengan Al Quran yang menaunginya dapat mencermati dan memahami
konsep dirnya secara jelas dan bertanggung jawab. Dan seterusnya.
Al Quran telah mengajarkan kepada kita bagaimana para nabi kita mencari
teladan terbaik bagi dirinya. Dalam surat Al Kahfi dijelaskan bagaimana dengan
semangat yang menggebu-gebu, pengorbanan yang besar dan adab sopan santun
yang tinggi, nabi Musa as mengajari kita cara mencari teladan atau idola yang
tepat (qudwah). Nabi Muhammad saw pun ditunjuki Allah dalam Al Quran untuk
mengikuti qudwah atau teladan yang baik setelah Allah mengungkapkan sejumlah
kisah perjalanan nabi-nabi dalam surat Al AnAm. Yaitu Firman Allah swt,Mereka
itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk
mereka.(QS. Al Anam, 6:90).
Bagaimanakah maba menemukan figur idealnya? Paling tidak terdapat tiga
cara yang perlu kita perhatikan bersama;
1. Persahabatan, kedekatan dan kekerabatan
2. Pribadi atau figur yang menyenangkan
3. Pengalaman yang banyak
Pengalaman ini utamanya adalah pengalaman pembelajaran dari sang
figur; pengalaman mengikuti pelatihan, melakukan proyek bisnis
dengan IP tetap di atas tiga, menjadi asisten dosen, menjadi pengajar,
terlibat aksi pergerakan moral politik, terlibat aktif dalam kegiatan
kemahasiswaan dsb.
4. Keahlian khusus
Maba butuh seorang guru. Ketika dia ingin mampu berpikir kritis, maka
dia akan mencari senior yang pandai berbicara dan berpikir kritis. Ketika
dia ingin belajar untuk menjadi bijaksana, dia akan mencari senior yang
santun dan berpikiran luas. Demikian seterusnya.
Lebih dari itu, kita juga harus mencermati hal-hal yang patut diperhatikan
dalam memilih figur atau teladan. Terlebih lagi bila teladan yang kita maksudkan
di sini bukanlah sekedar berdasarkan kepandaian atau bakat seseorang,
melainkan juga karena arah berpikirnya. Sehingga, faktor-faktor berikut menjadi
pertimbangan penting bagi maba seharusnya- dalam memilih figur;
1. Perikehidupannya
2. Kepribadiannya
3. Prinsip hidup dan ideologi (aqidah)-nya
4. Rentang masa yang dilaluinya
5. Lingkungan tempat hidup dan adat istiadatnya
6. Persamaan (persesuaian) antara masa hidup dan lingkungannya dengan
masa hidup maba dan lingkungan tempat dia hidup
7. Mengetahui jalan hidup yang dilaluinya sehingga mencapai sukses

2.4. THESIS, BUKAN ANTI-THESIS


Sifat dasar dari Thesis adalah menjaga, mempertahankan atau membangun hal
yang sudah ada. Berlawanan dengan itu, anti-thesis bersifat merusak,
menghancurkan pemahaman yang sudah ada dalam rangka menata ulang atau
mengubah pemahaman yang sudah ada. Motode Thesis atau Anti-Thesis biasa
ditemui dalam pengaderan.
Anti-Thesis digunakan semisal ketika beberapa- pengader mencoba
merekonstruksi ulang pemahaman ketuhanan, tentang adanya Tuhan, dengan
terlebih dahulu mendeskonstruksi pemahaman bahwa Tuhan itu ada. Saya pernah

menemui penerapan metode ini di salah satu pelatihan di Surabaya yang


diselenggarakan oleh salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia. Upaya
rekonstruksi, penataan ulang serta pemantapan tentang keyakinan atas Tuhan itu
kemudian dibentuk sesudah Anti-Thesis diterapkan.
Namun benar-benar berbeda lagi apabila beberapa- pengader memang
berusaha menghancurkan keyakinan tentang ketuhanan semisal. Langkah
pertama adalah membantah konsep ketuhanan dengan logika yang cacat, analogi
yang salah serta retorika palsu yang disampaikan dalam alur tinggi pengaderan,
dalam kondisi di mana maba sudah merasa tak berdaya dengan argumentasi yang
selalu tertolak. Hingga akhirnya mereka merasa putus asa dan mengalami
kelelahan mental. Pasrah dan berserah diri. Suatu kondisi yang baik untuk
melakukan doktrinasi. Dalam kondisi semacam itu, maka yang pendoktrin lakukan
selanjutnya adalah mengajukan argumentasi yang mengedepankan akal tentang
konsep ketuhanan yang lain (menuhankan benda, akal, paham, manusia atau
yang lain).
Dalam taraf yang ringan, maka beberapa- pengader dapat melakukan
Anti-Thesis tentang pentingnya keutuhan angkatan semisal. Salah kalo kalian
berpikir angkatan utuh itu penting, pada akhirnya anda toh akan keluar dari TC
sendiri-sendiri!,Anda munafik bila memaksakan diri untuk utuh angkatan, saya
tahu anda hanya mau cari untung dari temen-temen anda yang pintar dan kaya.
Anda sebenarnya nggak tulus ingin berteman.,Keutuhan angkatan itu cuman
retorika dan idealisme impian, dalam kehidupan nyata jika anda masih bisa
berpikir obyektif dan rasional- nggak ada yang namanya keutuhan, karena kita
semua harus bisa mandiri dan yakin dengan kekuatan sendiri., Anda masih
baru, jika anda terlalu menggantungkan pada angkatan, anda akan sulit
berkembang secara pribadi nantinya.
Demikian kira-kira argumen yang diajukan. Ide dasarnya, paradigma yang
dimunculkan adalah paradigma perlawanan. Maba merasa mereka sedang diuji
dan merasa harus membantah, tapi ternyata senior lebih hebat (mau menang
sendiri, nggak pernah mau ngalah meskipun salah, dan mereka terlihat lebih
berkuasa dan lebih tua). Akhirnya tidak ada argumen maba yang diterima.
Jikapun ada, itu pun hanya beberapa. Ide yang belum matang tidak pernah diberi
kesempatan untuk dimatangkan. Atau kadang malah ada disorientasi tujuan dari
pengader, bukannya mencari argumen yang bagus, tapi malah sekedar maba mau
dan bisa (terus) berbicara. Ending dari sesi adalah maba diminta untuk
merenungkan kembali seluruh omongan pengader dan pendapat mereka.
Kesimpulan ada di tangan maba -secara angkatan atau pribadi- tanpa ada
konfirmasi tentang kebenaran kesimpulan itu. Jikapun memang pengader
memang meminta konfirmasi atas kesimpulan yang telah diambil maba, yang
perlu diingat adalah, itu adalah jawaban dari maba. Pengader mestinya
mempunyai jawaban yang lebih bagus daripada maba. Ya kan? Tapi toh dalam
realita, seringkali pengader tidak berusaha membantu atau mamandu maba
dalam menemukan sebisanya- seluruh jawaban yang dipegang pengader.
Semoga dakwaan saya salah.
Metode Anti-Thesis memang metode yang menarik, dan memang sudah
pernah terbukti menghasilkan output yang bagus. Namun hal ini tidak cocok dan
amat riskan bila diterapkan dalam pengaderan masal, kecuali bila sang pengader
adalah orang-orang hebat (dengan segenap arti yang dimilikinya).
Sementara itu, metode Thesis bersifat membangun yang sudah ada. Dalam
hal ini, pengader memposisikan diri dalam kubu yang sama dengan maba untuk
melakukan sebuah pembelajaran. Jikapun pengader melakukan bantahan, itu
telah dirancang dalam kerangka diskusi yang terencana, dan bukan untuk

melakukan deskontruksi. Hal ini memang tidak bisa dipukul rata untuk semua hal
dan kasus. Deskontruksi atas kebiasaan buruk semisal, memang dimungkinkan
untuk dilakukan, asal ditindaklanjuti dengan pembangunan kebiasaan efektif.
Dalam metode Thesis, pengader tidak segan-segan membantu
memberikan jawaban ringan untuk dimatangkan oleh maba. Bila paradigma AntiThesis adalah perlawanan, maka paradigma yang dibangun Thesis adalah
penyadaran.
Hal ini sesuai dengan pola pengaderan global yang diterapkan di ITS; Pertama
adalah pengenalan, kedua adalah pemahaman, ketiga adalah pembentukan dan
keempat adalah pemberdayaan. Kita akan membahasnya pada bab tiga.

2.5. PUNISHMENT AND REWARD


Seringkali pengader hanya mengingat dan menerapkan kata pertama saja,
punishment. Begitu mudah dan terkadang malah dianggap menyenangkan bagi
beberapa senior. Perasaan berkuasa seperti bisa teraih ketika memarahi dan
menghukum maba. Mentang-mentang.
Punishment bukanlah suatu hal yang salah. Punishment menjadikan
seseorang sadar akan kesalahannya. Punishment menjadikan seseorang belajar.
Namun punishment harus diberikan dalam proporsi, cara serta alasan yang tepat.
Dikatakan tidak dalam proporsi yang tepat apabila tingkat hukuman tidak
sepadan dengan kesalahan yang dilakukan. Hanya karena lupa tidak membawa
botol minuman, maba lantas disuruh push up 30 kali dan membuat makalah
sebanyak 10 halaman. Hal ini menimbulkan bias antara hal yang penting dan
remeh. Hal ini akan membuat maba salah dalam menangkap pembelajaran
esensial. Mereka menaruh perhatian tertinggi pada perihal atau perilaku yang
paling berat hukumannya menurut mereka. Untuk itu, pengader harus membuat
klasifikasi hukuman yang jelas.
Dikatakan tidak dengan cara yang tepat bila punishment tidak disampaikan
dengan cara yang santun, dengan pisuhan semisal. Penggunaan cara yang tidak
tepat akan mengukirkan kesan yang kurang tepat dalam diri maba, hingga yang
lebih teringat dalam pikiran maba bukanlah apa yang bisa dipelajari dari
kesalahan, melainkan lebih pada cara tak santun yang diterapkan oleh pengader.
Dikatakan tidak dengan alasan yang tepat bila punishment dilakukan dengan
mencari-cari kesalahan ataupun kurang pertimbangan. Seharusnya anda tahu
kalo pada sesi ini anda harus membawa buku!, Kenapa model gundulnya rambut
kok nggak sama! Mestinya kan sama! Atas suatu hal yang belum ada aturannya,
terkadang pengader lebih suka berspekulasi bahwa maba telah mengetahuinya.
Kesalahan yang dilakukan hanyalah memberikan alasan bagi maba untuk
terus memperbaiki diri. Dalam sebuah pembelajaran, kesalahan diperkenankan,
dengan catatan adanya upaya perbaikan sesudahnya. Kesalahan dan kegagalan
bukanlah ujung jalan. Kesalahan dan kegagalan adalah batu loncatan. Kesalahan
dan kegagalan memungkinkan lahirnya perbaikan yang lebih signifikan.
Ya.. kita sudah tahu, dan sudah sepakat dengan itu. Oleh karena itu,
pengader harus benar-benar memastikan agar maba menjadikan kesalahannya
sebagai batu loncatan. Pengader harus membantu maba dalam menemukan
pembelajaran dalam kesalahan yang dilakukannya. Pengader harus memandu
maba dalam menemukan apa yang salah dan kurang efektif serta bagaimana cara
menyingkirkan hambatan tersebut.
Tak cukup hanya itu, Pengader juga harus menerima perbaikan dan
keberhasilan kecil, tidak hanya mengharapkan perbaikan yang besar. Prestasi
seorang maba atas keberaniannya dalam mengungkapkan pendapat untuk

10

pertama kalinya -walaupun dengan argumen yang lemah- patut mendapatkan


penghargaan. Prestasi kecil akan menyiapkan maba untuk berusaha mencapai
prestasi yang lebih besar. Namun upaya itu butuh suatu pengakuan.
Apa toh susahnya memberikan sebuah pujian? Bukankah pujian tidak
menurunkan derajat pengader? Bukankah kita tidak bermaksud untuk menjilat?
Pujian dapat mengangkat motivasi maba atas keberhasilan sekecil apapun- yang
telah mereka raih. Sementara dalam realita, pengader lebih sering memberi
punishment kepada maba atas kesalahan sekecil apapun- yang telah mereka
perbuat.
Pujian harus disampaikan secara langsung, tidak melalui perantara dan
tertunda. Bila pemberian pujian ditunda, maka ketulusannya akan dipertanyakan.
Pujian harus diberikan secara spesifik dan jelas, dengan menyebutkan prestasi
yang telah diraih. Selain itu, sebisa mungkin pujian disampaikan di depan umum.
Reward tidak hanya sekedar berbentuk pujian. Reward dapat mengambil
bentuk yang lain. Atas keberhasilan seseorang memenangkan lomba penulisan
resume, pengader dapat memberikan sebuah buku Quantum Learning semisal.
Atas keberhasilan angkatan menghadirkan seluruh anggotanya, pengader
seluruh elemen panitia- dapat menghadiahkan tepuk tangan panjang dan meriah
kepada maba. Atas prestasi beberapa maba yang telah bersikap kritis, pengader
dapat menyematkan sebuah pita di lengan baju maba bersangkutan. Atas sikap
baik dan tertib selama melakukan tour dan bakti sosial semisal, pengader dapat
memberikan waktu istirahat ekstra, dan memberikan menu tambahan kepada
maba. Pengader dapat berkreatifitas merancang bentuk reward.

2.6. ATURAN MAIN YANG JELAS


Sebuah pengkondisian massal dan berkesinambungan membutuhkan sebuah
aturan untuk menjaga kredibilitas dan keberlangsungannya secara terkendali.
Ketiadaan aturan yang jelas dapat menyebabkan retaknya hubungan antar
sesama panitia, ketika semisal lingkup kerja dan kewenangan instruktur dan OC
acara yang tidak jelas. Aturan main yang dimaksud di sini termasuk aturan main
internal panitia dan mekanisme keterlibatan dan pertanggungjawaban massa.

2.7. BERTAHAP DAN BERKESINAMBUNGAN


Proses perbaikan, pengembangan dan perubahan haruslah dilakukan secara
bertahap dan memiliki kesinambungan secara konsisten. Maba tidak bisa menjadi
kompak hanya dalam waktu satu hari, dan bahkan sebenarnya juga tidak mudah
untuk mencapainya dalam tiga minggu. Pendewasaan diri tiap maba terlebih lagi,
membutuhkan waktu yang lebih lama dari sekedar satu atau dua semester. Hal
inilah yang harus dipahamkan kepada maba, bahwa pembelajaran harus
dilakukan tanpa henti, tanpa terikat oleh waktu resmi pengaderan massal yang
ditetapkan oleh himpunan.
Dalam Manusia Pembelajar, Andrias Harefa menyatakan bahwa sebagian
besar manusia tidak mendisiplin dirinya untuk tetap belajar tanpa henti. Sebagian
besar manusia berhenti belajar setelah merasa dewasa. Sikap gede rasa ini
umumnya disebabkan oleh kebodohan yang bersifat sosial dan mental/psikospiritual. Sebagian orang merasa telah dewasa karena telah berusia di atas 17
atau 21 tahun, telah selesai sekolah atau kuliah, telah memiliki gelar akademis,
telah memiliki pasangan hidup, telah memiliki pekerjaan dan jabatan yang
memberinya nafkah lahiriah, telah memiliki rumah dan kendaraan sendiri, telah

11

beranak pinak, telah kaya, dan seterusnya. Hal-hal itu membuat mereka berhenti
belajar, sehingga tidak lagi mengalami keajaiban-keajaiban dalam kehidupannya.
Sekolah dan universitas ternyata sukses dalam satu hal: mencetak
manusia-manusia yang menjadi tua (growing older). Akan tetapi tidak pernah
sungguh-sungguh menjadi dewasa (growing up). Dan ini bisa terjadi pada kita
semua; saya dan juga anda para pengader. Kita tidak akan beranjak dewasa jika
kita menganggap sudah berada pada tahapan dewasa serta tidak berusaha
menyinambungkan diri dengan proses pembelajaran selanjutnya. Dalam konteks
pengaderan masal, hal ini haruslah dipahami bersama baik oleh maba maupun
sang pengader.
Penahapan pencapaian tujuan dalam pengaderan massal pada akhirnya akan
membentuk alur pengaderan. Untuk mencapai keutuhan angkatan semisal,
pengader harus menguraikan tujuan besar itu ke dalam tujuan-tujuan antaranya.
Pada pertemuan pertama, bisa jadi pengader hanya menetapkan target kepada
maba untuk saling kenal nama dan asal daerah. Pada minggu selanjutnya adalah
berdasarkan frekuensi interaksi angkatan secara utuh. Pada minggu selanjutnya
adalah pada bagaimana tiap maba dapat memahami perannya dalam angkatan
serta memiliki gambaran tentang bagaimana dia bisa menjalankan perannya
tersebut. Demikian seterusnya.
Berkesinambungan mengartikan konsistensi proses pembelajaran. Di sinilah
himpunan dan pengader harus senantiasa merujuk pada tujuan akhir untuk
melihat kesinambungan antar tiap tujuan antara. Student day harus memiliki
kesinambungan yang produktif dengan Camp. Camp memiliki kesinambungan
dengan LKMM Tingkat Dasar. Demikian seterusnya.

2.8. ACHIEVEMENT MOTIVATION


Pengaderan dimaksudkan untuk memunculkan pribadi-pribadi yang haus akan
prestasi, termasuk di dalamnya pengembangan diri dan lingkungan sekitarnya. Di
sinilah kita bertemu dengan kaidah pemotivasian.
1. Pengader harus termotivasi untuk dapat memotivasi
Hukum alam mengatakan, bahwa perpindahan ektron itu dari yang banyak ke
yang sedikit. Jangan terbalik. Jika pengader ingin memotivasi maba, maka
pengader harus termotivasi terlebih dahulu.
Hal ini terkait erat dengan konsep keteladanan. Jiwa dan kepribadian
pengader harus dikuatkan. Iman harus dimapankan, sifat ikhlas senantiasa
dijadikan prinsip dan jiwa sabar harus tetap menjadi bekal.
2. Motivasi memerlukan Sasaran
Maba tidak akan termotivasi jika tidak memiliki sasaran, atau tidak mengetahui
sasaran yang dikehendaki pengader. Bila maba tidak memiliki sasaran, maka
mereka tidak akan sampai di manapun, mereka hanya akan menghamburkan
energi. Mereka sekedar mengerjakan tugas pribadi dan angkatan hingga larut
malam, datang pagi harinya dengan tergesa-gesa, mengikuti setiap sesi dengan
rasa enggan, dan mereka tidak mendapatkan apa-apa selain rasa capek dan
malas.
Jika maba diberikan sasaran terlalu banyak, maka mereka juga
menghamburkan energi dan tidak sampai dengan baik (tidak mendapatkan
apapun). Mereka begitu sibuknya melakukan banyak hal dan penugasan tanpa
sempat memikirkan hal baik atau manfaat yang bisa dipetik.
Jika maba diberikan sasaran yang jauh dari jangkauan, semisal untuk
mengenal seluruh angkatan dan panitia dalam waktu satu minggu, mereka akan

12

frustasi dan bisa jadi tidak mendapatkan apapun. Bila maba diberikan sasaran di
bawah kemampuan, mereka menjadi bosan.
Pengader harus memiliki sasaran yang jelas, yang tidak diintrepetasikan beda
baik oleh sesama pengader maupun oleh maba. Sasaran tersebut dapat
disampaikan secara eksplisit ataupun implisit, disesuaikan dengan alur dan
kondisi.
3. Motivasi adalah sesuatu yang tidaklah abadi, dia harus diciptakan dan
diperbaharui secara terus menerus.
Motivasi maba memiliki dinamika yang alamiah, silih berganti bagaikan musim
dan cuaca. Motivasi mereka terkadang naik dan turun. Pengader harus
menemukan cara agar maba dapat terus berupaya mengembangkan diri dan tidak
berhenti belajar.
Motivasi yang dimiliki maba tidak boleh didasarkan atas rasa takut kepada
senior atau keinginan mencari selamat. Motivasi yang dimiliki maba tidak boleh
hanya sekedar menghindari konsekuensi negatif, melainkan juga dengan
mengejar hasil positif. Jika maba hanya sekedar punya motivasi menghindar,
tujuan agar maba pandai berargumentasi akan sulit tercapai. Yang dapat
dilahirkan hanyalah pribadi-pribadi yang pandai berkelit.
Motivasi yang dimiliki maba harus benar-benar berarti bagi diri maba, yang
terkait dengan kepentingan diri. Pengader tidak bisa seedar menggembargemborkan loyalitas dan kecintaan kepada himpunan atau ITS, sekedar menuntut
maba untuk memberi. Maba adalah pribadi-pribadi yang kebanyakan masih haus
akan menerima. Pengader harus menemukan sesuatu yang berarti bagi maba.
Pengader harus mengidentifikasikan konsekuensi negatif untuk dihindari oleh
maba, semisal terasing dari angkatan, dan bersama dengan itu juga
mengidentifikasikan hasil positif untuk dikejar, semisal bentuk prestasi akademis
dari peningkatan cara belajar. Pengader, bersama-sama dengan maba, harus
menemukan cara agar maba dapat terus memperbarui motivasi mereka.
4. Motivasi memerlukan Penghargaan
Maba membutuhkan penghargaan yang layak atas pembelajaran yang dilakukan.
Dalam mendorong maba untuk bertindak kreatif semisal, pengader harus
memberikan imbalan atas usaha dan proses, bukan hanya pada hasil. Hal itu
dapat diwujudkan dengan mengirimkan pesan yang jelas bahwa dalam
pembelajaran mereka, tindakan juga memiliki derajat yang tak kalah penting
dengan hasil.
5. Berpartisipasi dalam angkatan dapat menggugah motivasi
Keutuhan angkatan dapat menjadi pemicu motivasi maba. Dalam kesendirian,
maba dapat menemukan kebosanan, rasa enggan dan berat hati. Bekerja dalam
tim dan angkatan dapat meningkatkan semangat kerja dan menumbuhkan
kekuatan baru. Dalam kelompok terdapat motivasi.
6. Kemajuan diri dan prestasi diri dapat memotivasi
Pengader harus membantu maba dalam mendefinisikan kemajuan diri,
menemukan serta mengejar prestasi diri. Hal inilah yang akan secara signifikan
mendorong maba untuk terus mencapai prestasi yang lebih besar.

13

BAB 3 KONSEP PENCAPAIAN

KONSEP
PENCAPAIAN
3.1. POLA dan ARAH DASAR
Pola dasar yang kita maksudkan di sini merupakan penahapan pengembangan
potensi mahasiswa. Presiden BEM ITS, Nugroho Fredivianus menyebutkan pola
dasar pengembangan mahasiswa ITS sebagai berikut;
1. Pengenalan
2. Pemahaman
3. Pembentukan
4. Pemberdayaan
Tahapan pengenalan diimplementasikan secara dominan pada pengaderan
massal Student Day dan Camp. Tahapan pemahaman bisa dimulai semenjak
pengaderan massal dalam konsentrasi pemahaman tentang diri pribadi dan
potensi angkatan. Tahapan pemahaman dan pembentukan sesungguhnya
diimplementasikan dalam pengaderan massal terbatas (pelatihan semacam LKMM
TD). Tahapan pemberdayaan merupakan tahap selanjutnya di mana mahasiswa
menunjukkan dedikasinya sesuai dengan arah pengembangan potensi diri dan
organisasi yang ada.
Mahasiswa produktif tidak hanya berkisar pada definisi mahasiswa sebagai
aktifis sosial politik. Lebih jauh lagi, Nugroho menyebutkan arah pengembangan
kemahasiswaan di ITS. Empat arahan pengembangan inilah yang diperkenalkan
kepada mahasiswa semenjak awal dalam pengaderan masal.
1. Akademis keprofesian
Secara dominan peran ini dipegang oleh lembaga mahasiswa jurusan dan
fakultas. Berkaitan erat dengan bidang keilmuan masing-masing jurusan.
2. Softskill manajerial
Berupa pengembangan kemampuan teknis dan konseptual organisasi,
yang
membentuk
keahlian
dan
ketrampilan.
Ketrampilan
ini
diperkenalkan pada pengaderan massal terbatas dan dimatangkan pada
berbagai jenis kegiatan kemahasiswaan.
3. Kewirausahaan
Terkait di dalamnya adalah pengembangan kreatifitas. Model
pengembangan ini dapat diimplementasikan oleh himpunan, fakultas
ataupun BEM. Bentuk kewirausahaan yang terkait dengan keprofesian
dikembangkan oleh himpunan dan fakultas. Sementara bentuk yang lebih
bersifat umum dikembangkan oleh BEM ITS dan Workshop of
Entrepreneurship & Technology (WE&T) ITS.
4. Kepekaan sosial
Dalam lingkup lembaga mahasiswa jurusan, kepekaan sosial mengambil
bentuk aksi kepedulian atau bakti sosial. Sementara bentuk aksi yang
mengarah kepada pergerakan dilakukan oleh BEM ITS.

14

3.2. TUJUAN AKHIR SEBAGAI AWALAN


Untuk bisa membuat sebuah awalan dan proses yang bagus, pengader harus
memulai dari tujuan akhir sebagai pijakan. Pemahaman terhadap tujuan akhir
akan menggiring pengader terhadap tujuan-tujuan antara yang dicapai pada
Student Day, Camp dan LKMM TD.
Tujuan akhir dari kader yang diharapkan biasanya telah dirumuskan oleh
Himpunan dalam pernyataan misinya. Bentuk pernyataan misi dapat berupa
sebagai berikut:
Meningkatkan ketakwaan kepada Allah Yang Maha Esa (dengan segenap arti
yang dikandungnya)
Membina kebersamaan dan kekeluargaan di antara seluruh mahasiswa [nama
jurusan], dengan dilandasi semangat keterbukaan dan kemitraan
Membentuk Mahasiswa [nama jurusan] yang memiliki sikap kecendekiawanan
dan integritas pribadi yang dilandasi kejujuran, kebenaran dan keadilan.
Membangun sikap kepemimpinan, keorganisasian dan kemampuan manajerial
bagi seluruh Mahasiswa [nama jurusan].
Menumbuhkembangkan rasa peka dan peduli terhadap masalah-masalah
sosial kemasyarakatan.
Meningkatkan penalaran, minat dan bakat dan kegemaran mahasiswa [nama
jurusan].
Mengadakan hubungan dan kerjasama di bidang ilmiah dan keprofesian
dengan organisasi sejenis, lembaga dan instansi pemerintah maupun
pemerintah swasta.
Pernyataan misi di atas bukanlah suatu paten yang harus anda gunakan. Ide
dasar yang harus anda tangkap adalah bahwa penentuan tujuan-antara dari
pengaderan massal haruslah didasarkan atas pijakan yang benar. Pernyataan misi
lembaga menyediakan pijakan berupa arahan atas hasil akhir ideal yang
diharapkan, sesuai dengan kebutuhan jurusan.

3.3. TUJUAN-ANTARA
Setelah kita mengawalinya dengan tujuan akhir, selanjutnya dapat dirancang
tujuan-antara pada ketiga tahapan pengakaderan yang ada:
3.3.1. Student Day
Tujuan dari student day adalah:
1) Mengenalkan maba kepada:
Dirinya sendiri
Dalam tahapan student day, maba diharapkan telah dapat
mendefinisikan dirinya secara benar. Pengader harus membantu
maba dalam memahami dirinya tanpa terjebak dalam
pengkotak-kotakan karakter. Maba diharap dapat segera
mengenali kekuatan dan kelemahan dirinya semenjak awal,
serta
mengetahui
bagaimana
cara
memperkuat
dan
menumbuhkan potensi dirinya.
Rekan satu angkatan, senior, dosen dan karyawan jurusan
Kampus
Mengenalkan lingkungan kampus secara fisik. Memahamkan
sejarah, perkembangan dan harapan masa depan terhadap
kampus.
Budaya/kultur jurusan

15

2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)

Mengenalkan
maba
kepada
kebiasaan-kebiasaan
efektif
masyarakat jurusan dan menanamkannya kepada maba.
Bersamaan dengan itu, mengenalkan kebiasaan-kebiasaan tidak
efektif
dari
masyarakat
TC
dan
mencegah
maba
mengadopsinya.
Himpunan Mahasiswa Jurusan
Menanamkan pola pikir prestatif
Menanamkan keinginan belajar yang besar
Menanamkan ketegasan sikap
Menanamkan kepedulian terhadap sesama
Membina keutuhan seluruh angkatan
Memahamkan konsep dasar kepemimpinan
Meningkatkan wawasan keilmuan, spesifik berdasarkan jurusan

3.3.2. Camp
Tujuan dari Camp adalah:
1) Pemantapan konsep diri
2) Pemahaman tentang ilmu komunikasi dasar
3) Pengenalan terhadap lembaga formal institut beserta kiprahnya
4) Memantapkan pola pikir dan sikap kecendekiawanan
5) Memantapkan integritas pribadi yang dilandasi kejujuran, kebenaran dan
keadilan
6) Membangun sikap kepemimpinan
7) Menumbuhkembangkan rasa peka dan peduli terhadap masalah-masalah
sosial kemasyarakatan
8) Pengenalan ilmu dasar organisasi
9) Pengenalan team building
10) Pemantapan komitmen untuk memajukan organisasi
3.3.3. LKMM Tingkat Dasar
Tujuan dari LKMM Tingkat Dasar adalah:
1) Peserta mampu mengadakan Analisa Kondisi Lingkungan dalam
perancangan program kegiatan
2) Peserta memahami konsep dan gaya kepemimpinan, serta mampu
menerapkannya
3) Peserta memahami peran-peran dalam tim dan mampu menempatkan
diri dalam peran yang sesuai dengan kondisi
4) Peserta mampu mengelola sebuah tim dalam kegiatan dan organisasi
5) Peserta memahami perilaku dasar organisasi dan arah pengembangannya
6) Peserta memahami cara pengambilan keputusan yang baik serta mampu
menerapkannya dalam kehidupan organisasi
7) Peserta memahami dasar dan esensi pergerakan mahasiswa
8) Peserta mampu membuat suatu usulan kegiatan
9) Peserta mampu melaksanakan perencanaan, pengaturan, pendelegasian
tugas, membuat time schedule, sampai mengevaluasi suatu kegiatan

3.4. NILAI YANG DITANAMKAN


Jika kita sudah memiliki arahan serta identifikasi tujuan-antara, maka kita telah
memiliki gambaran yang tegas tentang model nilai yang harus ditanamkan.
Namun berikut ini, saya coba untuk mendeskripsikan beberapa nilai yang tidak

16

teridentifikasikan secara eksplisit (dan bahkan implisit) dalam tujuan belajar yang
tercantum di atas.
Pemaparan yang panjang lebar lebih dimaksudkan untuk memperkuat wacana
dan dasar pemikiran. Dan tantangan sesungguhnya adalah pada bagaimana kita
menanamkan nilai-nilai berikut. Namun, strategi konkrit penanaman nilai-nilai
yang tersebut di bawah ini tidak saya paparkan pada tulisan ini, melainkan pada
tulisan lain yang terpisah. Yang jelas, dalam kerangka pengaderan berkelanjutan,
penanaman nilai berikut tidak terikat oleh waktu resmi pengaderan massal.
3.4.1. Pemahaman Kedudukan Terhadap Entitas Luar
Islam menghendaki seseorang untuk memahami eksistensi dirinya sebagai
makhluk moral yang bertanggung jawab terhadap segala tindakannya. Ia
memahami bahwa dirinya harus tetap mencintai keberadaan dan keselamatannya,
yang kemudian diperluas dengan keberadaan dan keselamatan orang lain dan
lingkungannya.
Manusia harus menerima kenyataan bahwa pada dasarnya dirinya tidak
sendirian dan kesepian di alam ini. Ia tidak terasing. Ia dapat melakukan interaksi
secara timbal balik, bukan hanya dengan sesama manusia tetapi juga dengan
alam sekitar. Kemandirian yang buta akibat ketergantungannya kepada akal dan
teknologi- mengakibatkan seseorang dengan rela mengasingkan diri dari orang
lain. Interaksi yang berlebih dengan komputer, televisi dan internet menyisihkan
banyak waktu berharga untuk membangun ukhuwah dengan orang lain.
Interaksi dengan orang lain merupakan hubungan saling memberi dan
menerima, atau dalam konteks tertentu, cukup hanya memberi. Yang jelas,
interaksi tersebut dilakukan untuk saling mengisi. Dalam segenap keluarbiasaannya, manusia juga memiliki banyak kelemahan. Dalam konteks
pengaderan, pemahaman ini dapat tampak dalam perilaku semisal:
Maba saling mengenal satu sama lain
Adanya kepedulian antar sesama maba
Dapat bekerja sama secara sinergis dengan orang lain
Sementara itu, manusia adalah subyek sekaligus obyek bagi dirinya sendiri.
Ia dapat mengambil jarak dari dirinya sendiri, mengamatinya, dan mencoba
mendefinisikannya dalam hubungannya dengan hal-hal dan dunia di luar dirinya,
yakni dengan ciptaan-ciptaan Tuhan yang lebih rendah dari dirinya (alam
semesta, tumbuhan dan binatang), juga dengan sesamanya manusia. Akan tetapi,
mungkin yang membuatnya unik dan tidak dapat dibandingkan dengan binatang
adalah
kemampuan
manusia
untuk
menyadari
keberadaannya
serta
menempatkan dirinya dalam suatu hubungan dengan Sang Pencipta. Hal
mendasar inilah yang dengan tegas harus selalu dimantapkan.
3.4.2. Berpikiran Luas
Secara tidak sadar, manusia sering terperangkap dalam penyederhanaan
masalah. Pada kenyataannya, banyak di antara kita yang mudah tergesa-gesa,
tidak sabar, bahkan cenderung untuk bersikap tidak wajar. Sifat-sifat tidak terpuji
itu jelas menunjukkan kegagalan manusia dalam merspon dan menyikapi
kerumitan tata alam semesta.
Seorang maba dikatakan tidak berpikiran luas manakala dia berpikir
pembelajaran dirinya berhenti manakala CAMP berakhir. Tidak berpikiran luas
manakala dia hanya mengumpulkan berbagai argumen dan kosakata negatif
tentang pengaderan dan segenap makna yang dikandungnya. Tidak berpikiran
luas manakala dia enggan mengubah persepsi dirinya tentang sesuatu secara
buta, enggan keluar dari zona nyamannya untuk belajar sesuatu. Tidak berpikiran

17

luas manakala enggan memikirkan apa yang tersirat, hanya mempertimbangkan


aspek-aspek yang disukainya saja. Tidak berpikiran luas manakala dia berpikir
urusan di kampus cuma kuliah, tak lebih dan tak kurang dari itu.
Lebih jauh dari itu, manusia dikatakan tidak berpikiran luas bila dia hanya
meyakini segala alam semesta ini hanya dari apa yang bisa dia lihat. Dia menolak
keberadaan hal-hal yang ghaib. Dia menolak logika kausalitas yang melibatkan
hal-hal yang ghaib dan tak bisa diindera. Seseorang dikatakan tidak berpikiran
luas apabila dia tidak mempercayai kekuatan doa.
Seseorang yang tidak berpikiran luas cenderung menyederhanakan masalah.
Segala sesuatu dianggap terjadi dengan sendirinya, tanpa keterkaitan dan
ketergantungannya dengan faktor atau penyebab lain. Padahal, alam diciptakan
oleh Allah dengan segala keteraturan dan kerumitan hubungan sistemnya yang
padu; adanya jaringan yang kompleks yang saling berhubungan dan sekaligus
bertentangan. Sikap penyederhanaan tersebut jelas bertentangan dengan watak
kerumitan dan sekaligus keteraturan sistem alam.
Kesuksesan seseorang dalam memperoleh ridho Allah, tidaklah didapatkan
benar-benar karena sebuah kebetulan. Seseorang yang mendapatkan ilmu yang
manfaat dan barokah tidak bisa dikatakan sedang kejatuhan rizki dari langit.
Kesuksesan mahasiswa dalam mendapatkan IP 4 tidak bisa lantas dikatakan
karena kehebatan akalnya. Terbentuknya pribadi yang mantap, tangguh, kreatif
dan bertanggung jawab tidak lantas bisa dikatakan sebagai hasil pengaderan
massal semata.
Salah satu penyebab terperangkapnya manusia di dalam penyederhanaan
itu bisa jadi karena ketidakmampuannya dalam mengoptimalkan fungsi akal yang
telah dianugerahkan oleh Allah SWT kepadanya. Pemikiran sempit dapat
disebabkan oleh pemanfaatan akal yang menyalahi fitrah dan tujuan
pembuatannya.
Akal, yang dalam arti bahasa bermakna tali pengikat atau penghalang itu,
dalam Al Quran, digunakan untuk menunjuk sesuatu yang mengikat atau
menghalangi seseorang supaya tidak terjerumus ke dalam kesalahan atau dosa.
Al Quran juga menjelaskan bahwa fungsi akal antara lain sebagai daya untuk
memahami dan menggambarkan sesuatu (QS. Al Ankabut, 29, 43), sebagai daya
dorong moral (QS. Al Anaam, 6:15), dan sebagai daya tangkap pelajaran,
kesimpulan dan hikmah.
Pemikiran yang sempit juga dapat disebabkan oleh karena tumpulnya qalbu,
sebagai salah satu dimensi unsur manusia yang paling menentukan. Ketumpulan
dan ketidakpekaan kalbu menyebabkan seseorang menolak sinyal-sinyal
peringatan yang akan membahayakan diri dan kehidupannya (QS. Al Qaaf,
50:37). Ketumpulan kalbu menyebabkan rasa cinta kepada keimanan dan akhlak
yang indah tidak mau bersemi di hatinya. Sedangkan ketajaman kalbu
menjadikan iman begitu indah dan nikmat bersemayam di dalamnya.
Akibat tidak optimalnya fungsi daya akal dan qalbu, seseorang tidak mampu
menghubung-hubungkan berbagai elemen yang menyebabkan sesuatu, yang
menyebabkannya tidak berpikiran luas. Dia hanya mampu menyimpulkan sesuatu
yang ada di hadapannya secara kasat mata, tidak sanggup mengingat dan belajar
dari masa lalu, memvisualisasikan masa depan, apalagi menunjuk dan
menghubungkan berbagai sebab yang saling berkaitan erat ini.
Kedangkalan seseorang dalam memahami peristiwa yang terjadi, dapat
ditemukan dalam kehidupan nyata. Misalnya ketika sembuh dari penyakit setelah
meminum obat tertentu, ia lantas menganggap obat itulah satu-satunya penyebab
kesembuhan, bahkan tidak sedikit yang menganggap obat itulah yang
menyembuhkannya. Apabila anggapan seperti itu menguat, maka dapat

18

melahirkan kondisi psikologis dan situasi kemanusiaan yang terlalu mengandalkan


dan bergantung pada satu sebab. Padahal tata alamiah membuktikan bahwa
segala sesuatu di alam wujud itu terjadi bukan hanya dikarenakan oleh sebab
yang berdiri sendiri secara bebas dan terasing. Satu sebab saja, tanpa keterkaitan
dengan bermacam sebab yang lain, tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap
terjadinya sesuatu.
Baik sebab-sebab yang dapat ataupun tidak dapat diterima oleh akal,
semuanya tergantung satu sama lain (interdependen). Ketergantungan ini
merupakan ciri alamiah dari makhluk ciptaan Tuhan dan sekaligus merupakan
hukum yang mengaturnya. Selain itu, efektifitas pengaruh berbagai sebab itu
baru akan terjadi apabila penghalangnya tidak ada. Belum lagi kalau kita
menghitung bermacam sebab yang tidak kasat mata, bersifat maknawi, dan
kondisi-kondisi eksternal yang menghasilkan perubahan terhadap sesuatu.
Oleh karena itu, sesuatu yang dikhawatirkan atau diharapkan terjadi oleh
dan pada kita tidak lepas dari pengaruh makhluk lainnya. Tanpa dukungan dari
yang lain dan berbagai sebab serta reaksi yang harmonis pada masing-masing
sebab, maka bila sesuatu berdiri sendiri dan terasing, ia tidak dapat memberikan
pengaruh. Sedangkan, yang menggerakkan semua sebab, melahirkan berbagai
pengaruh, mengatur dan menjalankan tata hubungannya dalam kepaduan sistem
yang utuh adalah Dzat Yang Maha Esa dan Maha Memaksa. Maka Dia-lah sumber
segala sebab yang mempengaruhi terjadinya sesuatu dan menimbulkan segala
efeknya.
Sehingga, berpikiran luas tidak hanya mengedepankan akal sebagai
perangkat utama. Seorang mukmin juga menggunakan kekuatan qalbu yang
tunduk kepada aturan Allah untuk dapat melihat fakta secara luase dan menarik
hubungan yang benar. Hal inilah yang menjadikan pengaderan tidak boleh
sekedar mengejar prestasi akal dalam bentuk kekritisan dan kemampuan
berargumentasi.
Berpikir luas memerlukan keyakinan seseorang kepada hal-hal yang ghaib.
Iman kepada hal yang ghaib adalah merupakan persimpangan jalan dalam
peningkatan manusia dari alam binatang. Demikian yang ditulis oleh Sayyid Quthb
dalam tafsir Fi-Zhilalil Quran. Iman kepada yang ghaib merupakan ambang pintu
yang harus dilalui manusia agar bisa melampaui taraf kebinatangan yang tidak
bisa mengetahui kecuali apa yang bisa dijangkau oleh inderanya, menuju
martabat manusia yang bisa mengetahui bahwa wujud ini jauh lebih besar dan
jauh lebih luas ketimbang wilayah kecil dan terbatas yang bisa dijangkau oleh
indera-atau peralatan yang merupakan perpanjangan indera manusia.
Pengaderan harus menjelaskan kekuatan dzikir dan sholat dalam
pembentukan mentalitas militan seseorang. Pengaderan harus menjelaskan
kekuatan dan kebenaran Al Quran sebagai argumentasi tak terbantahkan.
Pengaderan harus mengajak maba berpikiran luas dengan menata kembali
parameter kesuksesan dunia, parameter kehormatan hidup, parameter pribadi
sukses, parameter manajemen waktu efektif dan sebagainya.
3.4.3. LA HAWLA WALA QUWWATA ILLA BI ALLAH
Dalam ledakan potensi yang diletupkan oleh maba, kemandirian sikap yang
dimantapkan dalam penentuan sikap dan perilaku secara merdeka, bebas dari
tekanan orang, serta terpenuhinya kebutuhan pribadi atas hasil sinergisitas
dengan orang lain, maba harus tetap harus menyadari segenap keterbatasan
yang dimilikinya. Perasaan aman dan serba berkecukupan merupakan jebakan
yang harus dihindari.

19

Allah swt telah mengisyaratkan dalam firman-Nya tentang manusia yang


kelewat PeDe dengan kekuatan dirinya. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia
benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup. (QS. Al
Alaq, 96:6-7)
Sesungguhnya, Allah telah mengemukakan beberapa kelemahan yang harus
dihindari. Misalnya dilukiskan manusia sebagai makhluk yang amat aniaya dan
mengingkari nikmat, sangat banyak membantah, dan bersifat keluh kesah lagi
kikir.
Oleh karena itu, kesadaran manusia bahwa dirinya serba lemah dan
kekurangan justru dapat membangkitkan kesadaran bahwa ia memerlukan
kekuatan yang ada di luar dirinya; kekuatan yang tidak ada tandingannya. Itulah
Dzat Yang Maha Esa, Maha Tinggi, Maha Memerintah, dan Maha Memberi segala
yang diminta. Hanya kepadanya-lah semestinya kita meminta dan kepada-Nya
pula kita harus menggantungkan diri.
Dalam pengaderan, amat dimungkinkan maba termakan oleh kegarangan
para seniornya. Dari sini perasaan takut dan berharap terhadap makhluk (sang
senior) dimungkinkan muncul. Perasaan takut kepada makhluk ini malah dapat
mengalahkan rasa takut maba kepada Allah. Sungguh saya tidak berkata bohong.
Di ITS pernah terjadi peristiwa di pengaderan massal di mana maba lebih memilih
untuk tidak sholat wajib (bahasa yang digunakan panitia provokator adalah
menunda) karena takut kepada senior. Kita berlindung kepada Allah swt atas hal
semacam itu.
Dalam suasana pengaderan yang tidak kondusif (tidak Islami), maba dapat
diarahkan untuk mengikuti keinginan (sebagian) panitia. Tindak lanjutnya adalah
maba lebih berpikir tentang bagaimana mencari ridhonya panitia katimbang
ridhonya Allah. Maba dapat diarahkan untuk berpikir singkat dan pragmatis,
dengan melihat apa yang ada di depan mereka, serta mencari kenyamanan dan
kondisi selamat (menyenangkan panitia) dalam segenap proses pengaderan
masal. Maba merasa tidak berdaya untuk melawan ataupun berkehendak lain.
Oleh karena itu, fenomena ketidakberdayaan ini harus diikuti oleh kesadaran
penuh akan adanya kekuasaan yang mampu mengatasi dan memecahkan
masalah yang dihadapi manusia. Setiap manusia harus membenamkan diri ke
dalam kekuasaan yang ada di luar dirinya; kekuasaan yang tak terhingga
jangkauan dan spektrumnya; kekuasaan yang berbuat dan berkehendak dengan
kemauan dan perencanaan-Nya, tanpa bantuan siapapun.
Oleh karena itulah, kita harus membantu maba untuk dapat menyatakan
secara tulus la hawla wala quwwata illa bi Allah (dan tidak lupa juga untuk
diri kita sendiri). Pernyataan itu adalah sebuah pengakuan tulus seorang hamba
atas ketidakberdayaan dirinya dan makhluk-makuluk yang lain. Hal itu merupakan
cermin kesadaran manusia bahwa totalitas dirinya adalah milik-Nya yang mutlak.
Semua yang ada pada dirinya dan makhluk-makhluk lain, sepenuhnya berada
dalam genggaman-Nya.
Selain itu, pengakuan tersebut dapat menjadi energi besar yang dapat
membangkitkan optimisme dan keberanian, membangkitkan kesadaran untuk
melepaskan diri dari perangkap kesombongan dan ketidaberdayaan seseorang.
Energi ini jugalah yang dapat mencegah maba dalam mengkultuskan seniornya.
3.4.4. Kedewasaan
Bertumbuh menjadi dewasa dan mandiri berarti semakin mampu bertanggung
jawab atas diri sendiri dan menolak pendiktean atau pemaksaan kehendak dari
apa pun yang berada di luar diri. Bertumbuh menjadi dewasa dan mandiri berarti
menjadi semakin mampu menyatakan, mengaktualisasikan, mengeluarkan

20

potensi-potensi yang dipercayakan (dititipkan) Sang Pencipta. Bertumbuh menjadi


dewasa dan mandiri berarti menjadi semakin berdaya, semakin merdeka dan
berdaulat, semakin (lebih) manusiawi. Bertumbuh menjadi dewasa berarti
semakin menjadi diri sendiri dan menjauhkan kecenderungan suka meniru dan
sekedar ikut-ikutan (seperti balita yang sedang belajar meniru segala hal yang
dilihatnya dari orang lain). Bertumbuh menjadi dewasa dan mandiri berarti
semakin mengenal diri, semakin jujur dengan diri sendiri, semakin otentik, dan
menjadi semakin unik tak terbandingkan.
Stephen Covey mendefinisikan kedewasaan sebagai keseimbangan antara
courage (keberanian) dan consideration (pertimbangan). Manusia yang bertindak
secara berani tanpa disertai dengan pertimbangan yang seksama adalah ceroboh
atau nekad, dan itu pertanda bahwa ia belum cukup dewasa karena cenderung
membahayakan orang lain. Sebaliknya, manusia yang terlalu banyak
pertimbangan dan kurang menunjukkan keberanian adalah jenis manusia no
action, talk only, ini pun pertanda dia belum dewasa.
Orang-orang yang merasa dewasa pada umumnya mampu berbicara. Akan
tetapi mereka sering kali tidak mampu (baca: tidak belajar lagi untuk)
menyampaikan isi kepalanya (baca:ide-ide dan gagasan-gagasan brilian) untuk
dapat dipahami atau dimengerti oleh orang lain. Mereka sering kali talking, tetapi
tidak sampai speaking.
Pandangan Covey di atas lebih banyak mengungkapkan dimensi psikologis
dan sosiologis dari kedewasaan. Dan, untuk itu masih dapat ditambahkan dimensi
spiritualnya. Orang yang dapat disebut dewasa secara rohani adalah mereka yang
memiliki kepekaan atau sensitivitas yang semakin tinggi atau besar terhadap dosa
atau kesalahan yang sangat kecil. Sementara mereka yang tidak atau kurang
peka terhadap dosa atau kesalahan belumlah pantas disebut dewasa, apalagi
orang-orang yang sudah jelas-jelas melakukan kesalahan.
Sejatinya, menyadari keterbatasan dan ketidakberdayaan diri itu sendiri
merupakan salah satu wujud dari kesadaran manusia terhadap eksistensi dirinya.
Dalam konteks inilah mengapa para ilmuwan dituntut untuk selalu bersikap wara
(hati-hati), tawadhu (rendah hati), tetapi sekaligus pemberani.
Wara, dikarenakan ia harus menyadari bahwa dirinya menjadi model,
sehingga harus sangat berhati-hati agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan
yang mengakibatkan orang lain tersesat. Tawadhu, karena ilmu yang dimiliki pada
hakikatnya sangat kecil dan sedikit. Pemberani, karena alam semesta dengan
segala misteri yang ada di dalamnya, masih terbentang luas untuk diteliti,
dipahami dan digali kemanfaatannya.

21

BAB 4 SAY NO TO PISUHAN

SAY NO
to PISUHAN
P

ada awalnya pokok bahasan ini saya masukkan pada bab 2; Kaidah
Pengaderan. Namun melihat pembahasannya yang cukup menyita banyak
porsi, saya kemudian memisahkannya ke dalam bab tersendiri. Sengaja pula saya
letakkan setelah kita membahas tentang nilai yang ditanamkan pada bab 3 untuk
memudahkan saya dalam menegaskan betapa tidak singkronnya pisuhan ini
dalam memperkuat konsep dan penanaman nilai sebenarnya.
Pisuhan di ITS memang terkesan sudah menjadi sebuah budaya, bagi
sebagian kalangan tentunya. Budaya buruk yang entah kenapa masih terus
dipertahankan. Dengan mengangkat istilah tradisi dan trade-mark arek ITS
sebagai pembenaran, pisuhan ini menjadi tindakan yang secara subyektif terkesan
dianggap wajar oleh sebagian (besar?) orang. Dalam mailing list alumni ITS
(http://groups.yahoo.com/group/al-its/), kita dapat menjumpai rangkaian kalimat
berikut dalam prakata yang tertulis di sana; Mailing list ini diperuntukkan khusus
untuk alumni, civitas academica dan simpatisan ITS Surabaya. Jika anda bukan
tergolong definisi gerombolan diatas. mohon urungkan niat anda untuk bergabung
kecuali anda mempunyai mental baja mendengarkan pisuhan-nya arek ITS.
Pisuhan seakan sudah menjadi reaksi biologis yang sudah teridentifikasi dan
diakui bersama sebagai rangkaian tingkah laku responsif, sama seperti
kebiasaan menutup hidung ketika bersin.
Namun kita sekarang coba untuk mempersempit pembahasan tentang hal ini
dalam kaitannya dengan pengaderan. Argumen yang diajukan oleh beberapasenior tukang misuh adalah bahwa pisuhan dapat melahirkan pribadi yang
bermental tangguh, berani dan tahan tekanan. Maba coba untuk dikenalkan
semenjak awal tentang kehidupan keras sesungguhnya di kampus. Dengan
pisuhan, maba dilatih untuk tetap mampu berpikir sehat dan kritis dalam kondisi
yang tidak kondusif. Dalam kondisi yang tidak kondusif inilah dikatakan dapat
dimunculkan figur/tokoh baru dari angkatan maba. Sebagai tambahan, si tukang
misuh mengajukan usulan pisuhan dalam pengaderan karena mereka merasa
sudah terbiasa dengan pengucapan kata pisuhan dalam keseharian. Sulit untuk
menghilangkannya dan kurang plong rasanya kalau nggak mengucapkannya,
demikian aku mereka.
Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu, dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (An Nahl:125)
Berkaitan dengan pisuhan, sedikit saya ingin bercerita tentang pengalaman
pribadi ketika masih menjadi maba di Asrama Mahasiswa ITS (AMITS). Saat itu,
kultur pisuhan dan bentakan masih benar-benar kuat dan berakar. Pengaderan
(dinamakan bhakti blok) dilakukan pada malam hari -selama beberapa jamdalam rentang waktu antara jam 9 malam hingga shubuh. Dalam satu minggunya
diadakan dua sampai empat kali pertemuan. Kami menggunakan hall di masingmasing blok sebagai arena pembantaian. Ruangan besar yang mengundang
gema itu senantiasa menjadi pengeras suara bagi pisuhan dan lengkingan pita
suara para senior. Apalagi bila yang datang adalah para alumni, yang terlihat

22

lebih sangar dengan suara menggelegar dan rambut panjangnya yang hampir
mencapai pinggang.
Pisuhan membuat saya dan teman-teman terdiam dan merasa tak nyaman.
Bentakan senior yang diteriakkan di zona pribadi dan bahkan kurang dari itu,
hanya sekitar empat senti di depan hidung, sudah cukup membuat saya dan
teman-teman tidak bisa berpikir jernih. Memang benar pada akhirnya saya mulai
dapat berbicara dan melawan. Namun itu setelah senior saya yang lain -di luar
sesi bhakti blok- telah meyakinkan saya untuk senantiasa hanya takut kepada
Allah. Dan beruntung jugalah saya punya karakter dasar koleris yang membuat
saya bernaluri alamiah untuk berontak.
Yang jelas, pada waktu itu saya harus mengeraskan hati saya sadar atau
tidak sadar- untuk bisa menghadapi kata-kata pisuhan. Artinya, untuk bisa
melawan, saya pikir saya harus bisa lebih berkonsentrasi pada argumen yang
diajukan senior, bukan pada pisuhan yang diteriakkan. Sehingga untuk itu, saya
harus menetralisir kedahsyatan makna dari kata-kata pisuhan. Saya harus
menganggap kata-kata pisuhan itu hanya sebagai kata Ya Ampun, Aduh atau
sekedar penyebutan nama hewan. Dengan cara itulah saya berusaha
menanggulangi kekalutan emosional sebagai dampak dari kata pisuhan.
Cukup berhasil. Namun toh nantinya saya harus mengembalikan pemaknaan
kata pisuhan itu pada bobot aslinya. Alhamdulillah Allah telah menolong saya.
Pisuhan memang membuat saya berontak, berpikir dan berbicara dalam kondisi
yang tidak kondusif, meskipun tak jarang hanya melahirkan argumentasi yang
reaktif. Pada waktu itu memang saya merasa diri saya cukup tangguh dan tahan
tekanan. Tapi pisuhan tetap merupakan cara yang salah.
Banyak teman-teman saya yang akhirnya bersikap tolerir terhadap kata
pisuhan. Ketika hati sudah mengeras dan kita sudah tidak merasakan
kedahsyatan makna dari pisuhan, maka seseorang akan merasa terbiasa dalam
mendengar atau bahkan mengucapkannya. Terlebih lagi kami melihat para senior
(tentu tidak semua) telah menerima pisuhan sebagai suatu budaya yang
menunjukkan identitas seorang warga asrama, arek ITS dan juga arek Suroboyo.
Benar-benar logika dan propaganda yang menyesatkan. Akhirnya kata pisuhan
dapat dengan mudahnya terucap sebagai imbuhan kalimat. Pisuhan terkesan
sebagai perlambang bahasa gaul dan keakraban, meniru sukses rokok dalam
pergaulan.
Kita tidak membutuhkan pisuhan untuk membentuk jiwa yang tangguh dan
mental yang kuat dalam situasi yang tidak kondusif. Bila pisuhan dianggap telah
berhasil membentuk pribadi semacam itu, maka sesungguhnya bersamaan
dengan itu, pisuhan juga telah mengeraskan hati, yang menjadikan seseorang
mengalami kesulitan dalam menerima kebenaran. Kita berlindung kepada Allah
dari hal semacam demikian. Jiwa yang tangguh dibentuk dari seberapa jauh
interaksi kita dengan Allah, bukan malah menjauh dari-Nya.
Berikut adalah beberapa hal tentang pisuhan yang perlu kita perhatikan
bersama, dipahami dan dikritisi;
1. Ide dasar dari penggunaan pisuhan (makian, cacian) adalah untuk
mengekspresikan rasa benci, dongkol (mangkel), tak suka, kecewa atau yang
lain. Pisuhan digunakan untuk mengungkapkan emosi negatif, untuk
memberinya nama. Sementara itu, orang dewasa mestinya memiliki cara
yang dewasa pula dalam mengekspresikan perasaan negatif. Orang dewasa
harusnya dapat mengelola emosinya secara cerdas.
2. Common sense. Hal yang sudah dipahami secara umum oleh masyarakat
sebagai sebuah kebenaran. Bisa dipastikan seluruh ajaran agama (termasuk
aliran kepercayaan) menggolongkan pisuhan dalam kategori tindakan tercela.

23

3.

4.

5.

6.

7.

Akal sehat yang berlaku di masyarakat juga masih mengatakan pisuhan


sebagai tindakan tak patut. Salah seorang dalang saja akhirnya batal didemo
masyarakat ketika dia akhirnya bisa mengerem kebiasaan buruknya yang
suka misuh waktu ndalang. Akhirnya dia pun bisa tampil lancar tanpa boikot
di Sidoarjo.
Pengakraban diri dengan pisuhan menjadikan seseorang terbiasa dengan
pisuhan. Apabila seseorang sudah tidak merasakan kedahsyatan atau
keburukan makna pisuhan dalam hatinya, bagaimana dia kemudian bisa
merasakan indahnya tahmid dan istighfar dalam hati? Bagaimana bila dia jadi
lebih mudah mengucapkan pisuhan ketimbang dzikir?
Bila yang dimaksud adalah pengenalan terhadap realita kehidupan yang
keras, begitu katanya, bukan berarti kita harus menjerumuskan diri
dalamnya. Semisal kita ingin memahamkan tamu di rumah tentang kebiasaan
misuh yang dilakukan oleh sebagian saja tetangga di sekitar rumah. Bukan
berarti kita harus misuh tamu kita habis-habisan untuk memahamkan dia.
Jangan terjebak oleh propaganda yang mengatakan pisuhan sudah menjadi
tradisi di ITS atau Surabaya, untuk kemudian dilestarikan. Sungguh aneh bila
pisuhan ini lantas dijadikan simbol identitas arek ITS, atau arek Suroboyo.
Propaganda semacam ini dinamakan Bandwagon. They tell you that
"everybody is doing it" and you should join in. Suatu tindakan/kebiasaan
dikatakan harus diikuti karena banyak orang telah melakukannya.
Propaganda ini membuat target merasa dirinya menang, aman dan tidak
merasa aneh dan berbeda ketika dia sudah mengikuti arus kebiasaan dari
yang diklaim- kaum kebanyakan. Propaganda ini sendiri sebenarnya tidak
mengandung unsur kekejian. Tergantung siapa yang melakukan serta cara
dan tujuan yang hendak dicapai. Ketika pisuhan sudah disuarakan dan
disugestikan berulang kali, maka ide dasar dari penggunaan perangkat
sugesti dalam hal ini adalah untuk mempengaruhi seseorang untuk menerima
sebuah dalil, biarpun tidak memiliki pijakan logika yang jelas.
Sehingga perlu dipertegas kembali, apakah esensi dasar dari identitas
diri? Bagaimana sebuah tindakan buruk dapat diikrarkan sebagai pembentuk
identitas diri? Benarkah pisuhan ini menjadi kebiasaan mayoritas orang?
Penyesatan sugesti atas pisuhan ini dapat menyebabkan seseorang
terjebak dalam kebutaan public value. Dalam kebutaan itu, tradisi dan
gembar-gembor identitas lebih dikedepankan secara komunal (publik)
ketimbang moralitas. Moralitas dari Tuhan, atau bahkan moralitas common
sense pun akhirnya terkalahkan oleh jargon gaul, generasi modern,
kebebasan berpendapat atau yang lainnya.
Bila tujuan yang diinginkan adalah untuk melatih maba agar dapat kritis dan
pandai berargumentasi, maka satu hal yang patut diingat adalah, bahwa
pisuhan bukanlah sebuah argumentasi. Pengucapan pisuhan oleh seseorang
malah menjadikannya terjebak pada kesalahan berlogika, yakni dengan tidak
menyerang argumen lawan, melainkan pada pribadi orang yang
menyampaikan (Fallacy of Distraction - Argumentum ad Hominem). Sudah
kehabisan argumenkah seseorang hingga dia harus mengeluarkan pisuhan?
Kalau cuma ingin belajar kosakata atau teknik misuh, tidak perlu belajar dari
mahasiswa bukan?
Kelemahan ini tentu saja tidak bersifat mendidik. Pisuhan bukanlah hasil
olah pikir yang kritis, tidak butuh menjadi pintar untuk bisa mengeluarkan
pisuhan. Pisuhan adalah argumentasi para pecundang.
Bila dikatakan tujuan yang diinginkan adalah untuk membentuk mental yang
tetap kritis dan tangguh dalam kondisi tidak kondusif, maka kita di sini bisa

24

terjerumus pada ketidakjelasan prioritas pembelajaran. Pisuhan membuat


maba merasakan bias akan tujuan pembelajaran sesungguhnya. Maba
kehilangan fokus pada argumen yang dilancarkan pengader dan lebih
terkesan pada pisuhan yang diteriakkan, karena dia terasa lebih membekas
di hati. Bila maksud tambahannya adalah supaya maba dapat mengontrol
emosinya dengan pisuhan itu, maka kita pun patut bertanya, Apakah senior
yang misuh juga bisa sabar jika dipisuhi balik oleh maba?Kalo nggak,
kenapa? Soalnya yang misuh maba? Nggak ilok? Lancang? Soalnya senior
lebih mulia dan selalu benar?
8. Pisuhan mendatangkan perasaan berkuasa bagi pengucapnya. Seolah-olah
dia lebih mulia, lebih benar dan lebih kuat ketimbang orang yang dipisuhinya,
utamanya bila yang bermain adalah senior dan maba. Namun ini hanya
dilakukan karena maba dianggap sebagai makhluk yang lemah, lebih muda
dan lebih bodoh. Coba saja, apakah sang pemisuh berani misuh sampai
berbusa-busa di depan kajur, gubernur atau Megawati bahkan? Tidak, atau
barangkali tidak. Kenapa? Karena tidak pantas? Tidak sopan? Takut? Apakah
karena seseorang lebih muda, tak punya jabatan, tak punya bodyguard atau
bahkan karena keluguannya menjadikan dia pantas dihinakan?
9. Barangkali hanya orang koleris yang mampu berontak secara alami dan tetap
bisa berpikir kritis dalam kondisi tak kondusif (terhinakan). Sementara orangorang sanguinis, phleghmatis dan apalagi melankolis akan merasa tertekan
dengan pisuhan.
Bukan berarti metode keras tidak perlu diterapkan. Saya secara pribadi
masih menganggap metode keras dengan bentakan perlu diterapkan. Dengan
metode inilah keberanian seseorang untuk mengungkapkan kebenaran
dengan angkat bicara dan berargumentasi dilatih. Namun tidak dengan
pisuhan. Untuk bisa mengubah seseorang kita memang perlu mengikutkan
emosi dan perasaannya. Namun emosi yang hendak dimunculkan bukanlah
emosi negatif, kebencian atau kemarahan akibat keterhinaan.
10. Dalam bab sebelumnya tentang nilai-nilai yang ditanamkan, tampaklah
dengan amat jelas bahwa pisuhan tidak melakukan sedikit pun penguatan
dari nilai-nilai itu. Pisuhan malah merusak kekuatan penanaman nilai dan
konsep yang lain. Pisuhan tidak menggambarkan intelektualitas mahasiswa,
tidak menguatkan peran mahasiswa sebagai moral force, tidak membuat
mahasiswa semakin dekat dengan dengan penciptanya, tidak mempermudah
mahasiswa untuk membina hubungan terhormat dengan orang lain, tidak
membuat mahasiswa lebih diterima di masyarakat, anda dapat dengan
leluasa menambahkannya. Akhirnya, pisuhan tidak menguatkan peran kita
sebagai teladan atau kakak yang baik.

25

BAB 5 KONSEP PENGKONDISIAN

KONSEP
PENGKONDISIAN
5.1. METODE
Pengkondisian membutuhkan metodologi penyampaian. Bentuknya bisa beragam.
Di sini saya hanya akan menyampaikan beberapa di antaranya.
5.1.1. Ceramah
Metode yang sudah banyak diketahui. Pemateri -bisa sendiri atau dipanelkanberbicara di depan forum. Setelah itu terdapat sesi tanya jawab.
Pada metode ini, pengader dapat mencatat perilaku maba dalam berpendapat
dalam suasana kondusif. Orang yang pandai berbicara dan berargumen dapat
dimatangkan di luar forum.
5.1.2. Diskusi
Pengader dapat menggunakan pola brainstorming untuk memancing dan sekaligus
mematangkan pendapat peserta. Brainstorming ini bisa dilakukan baik secara
sendirian ataupun kelompok.
Dalam diskusi kelas atau angkatan, seringkali kita menjumpai beberapa maba
yang cepat panas dan kaya akan ide ketika rekan-rekannya yang lain masih
perlu pemanasan pikiran. Dalam diskusi pleno, seringkali terdapat dominansi
dari beberapa orang. Wajar, namun potensi maba yang lain menjadi kurang
terbedayakan.
Brainstorming pribadi dapat dilakukan untuk mengawali diskusi kelompok.
Bentuk konkritnya bisa berupa curah pendapat pribadi di atas kertas.
Pengader bisa membantu dengan mengajarkan peta pikiran (mind mapping)
atau cara lain yang lebih sederhana.
Dalam
Brainstorming
pribadi,
seseorang
dapat
dengan
bebas
mengeluarkan idenya tanpa takut dikritisi dan didominasi oleh orang lain,
namun bisa menjadi tidak efektif bila yang bersangkutan terkurung dalam
masalahnya.
Group brainstorming (diskusi pleno atau angkatan) menghasilkan ide yang
lebih dalam dan efektif, tapi ide yang didapat bisa jadi lebih sedikit dan
menghabiskan lebih banyak waktu. Maba yang kreatif tapi pendiam juga bisa
terkalahkan oleh yang tak kreatif namun banyak bicara. Terkadang seorang
maba juga harus menghabiskan waktu untuk mengulang pendapatnya untuk
memahamkan temannya yang lain.
Beberapa aturan yang perlu diperhatikan dalam melakukan brainstorming
kelompok adalah:
Ada permasalahan yang telah terdefinisikan dengan jelas
Membuat batasan waktu
Menunjuk seorang pemimpin brainstorming (dari pengader atau maba
sendiri) yang bertugas:
Mengarahkan diskusi
Menangguhkan pendakwaan

26

Mendorong antusiasme dan munculnya pendapat


Mendorong munculnya pendapat gila
Ada maba yang bertugas mencatat ide-ide yang dihasilkan
Ide tidak dikritisi semenjak awal, namun maba dapat mengembangkan
ide temannya yang lain. Ide dari seseorang dapat mengundang
datangnya ide dari orang lain, sehingga bisa menghasilkan sebuah reaksi
ide berantai
Sebagai sebuah awalan, kuantitas lebih diutamakan ketimbang kualitas
5.1.3. Role Playing
Permainan peran yang kerap ditemui adalah peran The good, and the bad guy.
Dalam paradigma ini, pengader serasa harus mengorbankan beberapa orang yang
kebetulan terpilih menjadi pihak jahat. Ide ini dilakukan mengingat maba tidak
jarang tidak menunjukkan disiplin ketika menghadapi pengader yang penuh
kemarahan. Maba terkesan lebih patuh dan tunduk ketika dikondisikan oleh
pengader yang diposisikan sebagai kaum jahat. The bad guy ini pun terpaksa
harus menyembunyikan diri dalam kondisi santai. Setelah pengaderan, tak jarang
bila bad guys ini tetap dibenci dan dihindari oleh maba.
Ide ini menarik dan cukup efektif, tapi tentu saja bukan yang terbaik. Bila tujuan
dasar yang ingin dicapai adalah mendisplinkan, maka pengader tidak perlu
dikorbankan dan dipaksa untuk menjadi seseorang yang bukan dirinya. Yang perlu
diupayakan dalam hal ini adalah konsistensi sikap pengader, dibentuk dari
integritas antara apa yang dikatakan dan apa yang dikerjakan serta kemantapan
dalam memegang aturan. Artinya, selalu ada alasan yang jelas dan predictable
bagi pengader untuk merasa kecewa atau marah.
Semisal pengader secara pribadi amat membenci kebohongan publik yang
dilakukan oleh maba. Maka reaksi kecewa atau marah mungkin juga bisa terjadi
bahkan ketika rencana seharusnya adalah sesi santai, bila memang telah terdapat
cukup alasan untuk itu. Dengan cara ini, kemarahan pengader tidak terkesan
dibuat-buat, melainkan merupakan cerminan sebuah kemantapan dalam
memegang nilai dan aturan.
5.1.4. Permainan
Metode ini masih relatif jarang diterapkan di ITS. Secara singkat, permainan
dapat dikatakan sebagai pelajaran pembangun otot-otot tubuh, peregang pikiran,
pembuat teman yang seharusnya menyenangkan. Konsepnya; Keep it simple
make it fun and make it safe. Melalui permainan, maba dapat:
Belajar keahlian baru
Mengembangkan hobi baru
Berlatih untuk taat pada aturan
Berlatih bermain jujur
Berlatih untuk menghormati rekan main
Metode permainan ini dapat dilakukan untuk memenuhi tujuan belajar seperti:
Melatih kreatifitas
Melatih kerja tim
Melatih kekuatan menghubungkan ide
Melatih keberanian
Melatih optimisme

27

5.1.5. Pressing
Saya tidak bermaksud untuk menjadikan anda pembaca untuk membenarkan atau
menyalahkan metode ini. Pembahasan tentang pressing ini lebih saya maksudkan
sebagai wacana. Ketimbang metode pressing ini, sebenarnya saya pribadi lebih
menyukai metode yang memberdayakan lewat penyadaran, semisal dengan AMT.
Tapi kendalanya, metode penyadaran ini membutuhkan tenaga pengader yang
memiliki kapasitas pemandu beserta segenap ilmu pemotivasian terkait.
Pressing bukanlah metode yang buruk, bila dilakukan oleh orang yang tepat,
untuk tujuan yang tepat. Model militerisme ini memiliki efek yang cukup buruk
apabila dilakukan oleh orang-orang yang merasa dirinya sudah cukup tua dan
pintar.
Memiliki motivasi belajar yang tinggi
Berpikir jauh ke depan
Bekerja secara terencana, terstruktur dan sistematis
Bersedia untuk bersusah payah
Memiliki rasa percaya diri yang tinggi
Memiliki keberanian untuk mengambil risiko
Pemenuhan tujuan-tujuan pembelajaran di atas ternyata seringkali kurang
berhasil bila dilakukan dengan metode tanpa pressin. Dalam banyak kasus, maba
cenderung bermalas diri dan menolak keluar dari zona nyaman mereka.
Namun amat disayangkan bila masih banyak orang mempertahankan
metode ini hanya karena alasan tradisi atau lebih buruk lagi, untuk bersenangsenang. Pressing dijadikan ajang pelampiasan syahwat perasaan dihormati
(ditakuti) dan dominansi atas orang lain. Pressing memang dapat memberikan
perasaan berkuasa bagi pengader yang menerapkannya. Megalomania, perasaan
gila hormat dari beberapa senior juga mencemarkan tujuan mulia pengakaderan.
Sebuah hal menarik tentang pressing pernah disampaikan oleh Zainal
Abidin -lebih dikenal dengan nama Zendin- salah seorang mantan aktivis ITS
yang kini berkecimpung secara profesional dalam Pengembangan SDM. Dia
mengatakan bahwa metode pressing merupakan Proses Belajar Model Trauma
Sosial. Ketika selama pengaderan, pengader meneriakkan segala macam idealitas
dan menetapkan standar yang tinggi kepada maba. Maba dianggap sebagai
pribadi yang bodoh dan harus menurut. Namun pasca pengaderan, ternyata maba
tidak melihat adanya konsistensi antara apa yang didengungkan pengader dengan
realita perilaku yang nampak dalam keseharian. Trauma ini bisa menjadikan maba
berhenti mengejar idealitasnya dan melarutkan diri dengan ketidakidealitasan.
Dalam kondisi tertekan, seseorang cenderung untuk menggunakan batang
otaknya, yang terletak di bagian belakang kepala. Otak primitif ini berperan dalam
fungsi motor sensorik, dengan cara kerja lari atau hadapi. Otak inilah yang
menyebabkan maba bersikap cari selamat dalam kondisi tertekan. Sementara itu,
seseorang dapat berpikir cerdas dan kritis ketika dia menggunakan otak
berpikirnya; Neokorteks. Otak ini jugalah yang menjadikan seseorang dapat mahir
berbahasa dan mengenal nilai baik-buruk dan benar-salah.
Dalam mengupayakan agar dalam kondisi tertekan seseorang tetap dapat
berpikir cemerlang, maka paling tidak ada satu hal yang sering digunakan, yakni
dibiasakan dalam kondisi tak kondusif. Hal ini menjadi sebuah tantangan berat
mengingat upaya pembiasaan pressing ini berpotensi besar dalam penanaman
kebiasaan-kebiasaan tidak efektif, misuh semisal.
5.1.5.1. Tujuan
Tujuan umum penggunaan metode pressing adalah:

28

Mendisplinkan maba
Melatih keberanian berpendapat dan mempertahankan kebenaran
Melatih kekuatan berargumen dalam kondisi tak menguntungkan
Membentuk mental yang kuat
Memunculkan tokoh baru dalam angkatan
5.1.5.2. Batasan
Beberapa batasan yang perlu diperhatikan antara lain:
Tidak berusaha menanamkan dan menerapkan perilaku tak efektif, semisal
pisuhan
Sesuai dengan penjelasan pada Bab 3
Putra mengakses putra, putri mengakses putri
Pressing identik dengan teriakan. Seringkali dilakukan pada zona pribadi
atau bahkan intim dari maba (kurang dari satu meter). Tentu bukan
menjadi suatu hal yang etis apabila putra meneriaki putri dalam jarak
sedemikian dekat. Sang putri akan merasa terintimidasi secara negatif dan
mematikan potensi berpendapatnya.
Mempertimbangkan kondisi psikologis peserta dalam bernisiatif
Pengkondisian lapangan tidak disesuaikan dengan kondisi psikologis massa
ataupun panitia, melainkan benar-benar ditentukan oleh bagaimana
kondisi psikologis maba. Sehingga pengader tidak boleh mengumbar nafsu
marahnya dalam kondisi maba yang tidak mendukung untuk itu.
Pengader juga perlu memperhatikan kondisi emosional dan persepsi
peserta, karena mereka berperan besar dalam menentukan cara berpikir
mereka. Keraguan, depresi, menahan kemarahan dan pesimis merupakan
bentuk-bentuk emosi yang mungkin dinampakkan maba. Selain itu,
motode pressing dapat menjadikan maba memiliki perasaan sakit hati dan
stress yang menghalangi maba untuk berpikir jernih. Emosi tersebut
menghalangi maba untuk menerima fakta yang sebenarnya. Maba dapat
terdorong untuk hanya melihat dan mendengar apa yang diinginkan.
Emosi-emosi negatif dapat mendorong maba untuk mencari solusi apa
adanya.
Kemarahan yang dinampakkan sifatnya rasional dan bijaksana
Sebenarnya saya lebih menyukai istilah ketegasan ketimbang kemarahan.
Ketegasan yang dimunculkan dalam pengkondisian lapangan adalah
sebagai bentuk konsistensi pengader terhadap aturan atau kesepakatan
yang telah dibuat bersama. Jikapun itu harus dinampakkan dalam suatu
bentuk kemarahan akibat kekecewaan, maka pengungkapan itu tidak
boleh diumbar habis-habisan. Kemarahan ditujukan untuk mendidik,
bukannya memuaskan nafsu dan menghinakan; baik menghinakan maba
ataupun orang yang marah itu sendiri.
Dikatakan rasional apabila kemarahan itu diungkapkan atas alasan yang
tepat, yang menunjukkan integritas diri pengader atas nilai benar-salah.
Selain itu, pengader harus memastikan bahwa kemarahan itu diungkapkan
demi alasan yang tepat. Sehingga, pengader harus senantiasa menemukan
jawaban yang bagus atas pertanyaan, Maba bisa mendapatkan
pembelajaran apa dari kemarahan saya ini?
Namun tentu saja, bila tujuan bisa dicapai dengan sekedar ucapan keras
yang mengandung ketegasan, mengapa harus marah?
Kontak fisik yang dilakukan tidak bersifat melecehkan
Tidak meludahi, tidak bersifat menciderai, tidak membicarakan hal-hal
yang bersifat sensitif (semisal SARA?), apa lagi? Anda punya pendapat?

29

5.1.5.3. Metode Pressing


A. Pengelompokan (clustering)
Disebut juga metode pecah belah. Cara ini paling sering dilakukan dalam
pengkondisian lapangan. Paling tidak terdapat 5 metode clustering yang biasa
ditemui:
1. Solid Clustering
Maba dikumpulkan dalam satu barisan pejal.
Penyerangan dilakukan dari segala arah.
Barisan putra dan putri dipisah, namun
tetap
dalam
satu
barisan
besar.
Pengendali terletak di depan.
Model ini biasanya digunakan sebagai
awalan atau untuk mengakhiri sesi
pengkondisian
lapangan.
Salah
satu tujuannya semisal untuk
memunculkan tokoh-tokoh baru. Dalam
model barisan ini, seseorang di dalam
barisan dapat mengungkapkan pendapat
tanpa takut terintimidasi oleh pengader.
2. Wide apart Clustering
Maba dikumpulkan dalam satu barisan,
namun dengan memberikan jarak
ekstra antar masing-masingnya. Jarak
ini dapat digunakan pengader untuk
keluyuran dan melakukan akses
secara personal kepada maba. Kontrol
utama tetap dipegang oleh satu orang.
Cara ini digunakan bila pengader ingin
melakukan eksplorasi dari tiap maba.
Pendapat yang menarik atau sesuai
harapan dapat dibawa ke forum besar.
3.

Distant Clustering
Maba dipisah-pisah dalam kelompok minimal 4
orang. Penggolongan kelompok bisa berdasar
atas
semisal
bentuk
kesalahan,
kesamaan pendapat, atau karakter
dasar maba. Dalam model ini, kontrol
terletak pada pemandu kelompok. Tema
masalah yang dibawa tetap tidak
menyimpang dari tujuan belajar sesi
bersangkutan.
Cara ini digunakan bila pengader ingin
menguji konsistensi pendapat dalam
angkatan,
memberikan
perlakukan
berbeda berdasarkan karakter khusus
dari orang-orang yang dikelompokkan,
melatih
keberanian
mempertahankan
kebenaran
pendapat, atau barangkali menguatkan maba dan menolongnya
menyelesaikan masalah dengan kekuatan pertanyaan.

30

4.

Personal Treatmen
Maba dipisah ke dalam entitas terkecilnya,
personal. Kekuatan kontrol ada di masingmasing pengakses. Seorang maba dapat
berhadapan
dengan
lebih
dari
satu
pengader.
Cara ini dapat dilakukan semisal ketika
pengader berusaha untuk mematangkan
seorang tokoh, mendisiplinkan maba dengan perlakuan
berbeda dari kebanyakan, atau meminta kejelasan dari
maba yang nyeleneh dari kebanyakan.

5.

Kombinasi dari keempat metode di atas

B. Pengusiran atau pemulangan


Sasarannya bisa personal, sebagian orang atau bahkan satu angkatan. Metode ini
dilakukan untuk memenuhi salah satu atau beberapa tujuan berikut:
Apabila satu angkatan tidak menunjukkan peningkatan produktifitas berpikir,
maka salah satu cara untuk menurunkan level ketegangan adalah dengan
memulangkan mereka. Hal ini dilakukan sekedar untuk mendinginkan kepala
maba. Dalam ketidakmampuan maba dalam berpikir jernih ini, pengader tidak
memulangkan dengan bentakan.
C. Mendiamkan
Dalam situasi di mana maba telah melakukan kesalahan dan mencoba untuk
memberikan penjelasan (atau pembenaran) atasnya, pengader tidak memberikan
respon positif ataupun negatif. Diam netral meskipun dengan wajah menyimpan
kekecewaan. Dilakukan apabila pengader ingin agar peserta menemukan sendiri
kesalahannya.
D. Declining
Istilah kerennya adalah mutung atau berlepas diri. Dilakukan untuk menunjukkan
kekecewaan yang amat dalam atas performansi maba dalam hal tertentu.
Pengader yang mutung biasanya dari elemen panitia pelaksana atau instruktur.
Dengan tindakan mutung ini, maba dipaksa untuk berpikir lebih keras dan
bertindak lebih cerdas. Untuk memastikan maba mendapatkan pembelajaran,
Steering Committee dapat melakukan pendampingan pasif.
E. Kambing hitam
Mendakwa seseorang atau beberapa maba sebagai biang permasalahan angkatan,
atau mengkambing-hitamkan seseorang atau beberapa maba atas kesalahan
tertentu dalam penugasan angkatan.
Terdakwa mendapat perlakuan yang lebih istimewa ketimbang rekan-rekannya
yang lain. Dilakukan untuk menyadarkan akan tanggung jawab bersama dan
kepedulian terhadap orang lain.

31

5.2. LEVEL PENGKONDISIAN


Penentuan level pengkondisian ini diterapkan untuk menunjang sesi
pengkondisian lapangan, atau pressing. Di awal, saya sudah menyatakan
kecenderungan saya pada metode yang lebih baik daripada pressing, yakni
pemberdayaan lewat penyadaran; dengan model semacam AMT. Namun kita di
ITS masih hidup di era militerisme. Jika memang metode pressing masih belum
bisa dihapuskan, maka kita perlu memahami konsepsi level pengkondisian.
Salah satu contoh pemodelan level dalam pengakaderan adalah sebagai berikut;
Level 0 : Santai. Pengader tampil dengan senyuman dan tawa manis
Level 1 : Tegang. Pengader berbicara dengan nada tinggi
Level 2 : Mencekam Pengader memaki habis-habisan, hukuman fisik diterapkan
Level 3 : Brutal dan menyeramkan. Selain memaki, pengader juga menyerang
secara fisik
Beberapa pertanyaan menarik yang bisa kita ajukan atas pemodelan di atas
adalah: Kenapa penentuan level itu hanya didasarkan atas perilaku pengader?
Kenapa bukannya dilihat dari kondisi psikologis peserta?
Dalam sesi santai, di mana pengader tertawa-tawa, tidak ada jaminan bahwa
maba sedang berada dalam kondisi nyaman. Dalam kondisi level 1, bisa jadi maba
merasakan kecemasan yang lebih dari yang seharusnya. Pemodelan di atas tidak
menjadikan maba sebagai subyek.
Lebih jauh lagi, penentuan level semacam itu seringkali tidak didasarkan atas
kriteria yang jelas pada setiap levelnya. Main perasaan? Begitukah?
Bagaimanakah kita bisa mengatur perpindahan antar level pengkondisian. Sampai
kapankah level tertentu dikatakan melebihi batas? Siapakah pengendali jalannya
level? Banyak pertanyaan yang masih belum terjawab.
Pada tulisan ini saya tidak bermaksud untuk menjawab seluruh pertanyaan yang
mungkin timbul. Namun paling tidak saya mencoba untuk menawarkan model
level pengkondisian yang mengacu pada kondisi maba.
5.2.1. Level 0 : Santai
Peserta berada dalam kondisi relaks, baik pikiran maupun mental. Di sinilah High
Order Thinking Skill (HOTS) dari peserta terfungsikan secara optimal. Jika
pengader ingin menyampaikan materi, ini adalah saat yang paling tepat. Dan
bahkan, barangkali ini adalah satu-satunya level yang tepat untuk menyampaikan
materi dan membuat maba paham atasnya. Metode diskusi, ceramah dan
permainan bekerja baik pada level ini. Di sinilah Achievement Motivation
sebenarnya berjalan. Sesi ishoma termasuk dalam level ini.
5.2.2. Level 1 : Gelisah
Peserta mengalami kecemasan mental, meskipun pikiran masih dapat bekerja
secara normal dan optimal. Kecemasan ini dapat ditimbulkan oleh perasaan
kecewa yang disampaikan oleh pengader terhadap maba. Kegelisahan ini juga
bisa ditimbulkan oleh isu atau fenomena kekecewaan warga kepada maba. Level 1
ini merupakan saat yang memaksa maba untuk melakukan perenungan, secara
pribadi maupun angkatan. Metode yang digunakan adalah metode mendiamkan.
5.2.3. Level 2 : Tegang
Peserta mengalami kegelisahan mental dan pikiran. Namun pada level ini,
adrenalin peserta meningkat, yang menjadikannya semakin berkonsentrasi. Beda

32

level ini dengan level di atasnya adalah pada level ini orang-orang berkarakter
dasar dominan melankolis masih mampu berpikir sehat dan normal. Selain itu,
pada level ini belum terdapat maba yang mengalami stress hingga harus masuk
ruang kesehatan. Stress pada level ini adalah stress ringan. Pada level inilah
metode pressing mulai efektif untuk diterapkan. Metode yang digunakan adalah
kambing hitam, solid clustering dan wide-apart clustering.
5.2.4. Level 3 : Mencekam
Peserta mengalami kegelisahan mental yang amat sangat. Pada level ini, bahkan
tidak semua orang koleris mampu berkonsentrasi secara wajar. Orang melankolis
merasa amat tertekan dan nyaris tak berkutik. Fungsi neokorteks maba tidak bisa
bekerja secara normal. Paradigma berpikir yang berjalan adalah cenderung
mencari selamat. Di sini pengader mengandalkan kekuatan orang-orang koleris
dan kepiawaian pengader sendiri dalam mengarahkan maba menuju suatu
pembelajaran.
Pengkondisian pada level ini diterapkan untuk menemukan tokoh-tokoh baru dan
mendisiplinkan peserta secara permanen. Metode yang digunakan adalah
pengusiran, distant clustering dan personal clustering.
Kecenderungan psikologis yang terjadi pada maba adalah; fikiran yang kacau,
ide tidak dapat keluar dg baik, pembicaraan tidak terkontrol, dan mulai berfikir
negatif.
Pengkondisian pada level ini tidak boleh berjalan terlalu lama. Pengkondisian
pada level ini memiliki kecenderungan yang lemah untuk menjadikan maba
semakin lihai berargumentasi, ketakutan berlebihan menjadikan maba kurang
berani mempertahankan pendapatnya (apalagi bila pengader tidak tahu diri;
enggan mengalah meski salah). Mental yang dibentuk dari pengkondisian level 3
yang berkepanjangan adalah mental frustasi.
5.2.5. Level 4 : Brutal
Pada level ini, maba benar-benar tidak dalam kondisi yang layak untuk berpikir.
Maba mengalami kelelahan luar biasa secara mental maupun pikiran. Akhirnya
pasrah dan berserah diri. Hingga pertanyaannya adalah: pasrah dan berserah diri
kepada siapa? Suatu kondisi yang bagus untuk doktrinasi, bukan?
Kecenderungan psikologis yang terjadi pada maba adalah; berbicara dengan
bergetar, bahu terkulai, berkeringat dingin, tangan bergetar serta tidak mampu
mengendalikan perasaan.
Dalam pikiran maba, pendoktrinan benar salah menjadi kabur bedanya. Yang
ada di pikiran mereka adalah keselamatan dan mengembalikan zona nyaman.
Namanya juga brutal, sehingga cukup sulit untuk dikendalikan. Level ini
didefinisikan bukan untuk diterapkan, melainkan untuk dihindari dan diupayakan
agar tidak sampai terjadi.

33

BAB 6 PENGGARIS PENCAPAIAN

PENGGARIS
PENCAPAIAN
S

alah satu tugas pengader adalah melakukan penilaian. Sementara penilaian itu
sendiri adalah upaya untuk mengidentifikasi dan melakukan perbandingan.
Tugas pengader dalam menilai ini melahirkan sebuah tantangan untuk
merumuskan tolok ukur yang tampak mata, meskipun harus juga diakui bahwa
hasil dari pengaderan tidaklah selalu dapat diukur secara nyata dan pragmatis.
Berikut ini saya coba sajikan beberapa saja tolok ukur dari aspek-aspek
yang dalam cara pandang saya merupakan pilar-pilar keberhasilan sebuah
pengaderan.
Kecerdasan Spiritual
Keterampilan bekerjasama
Keterampilan Interpersonal
Sikap Bertanggung Jawab
Kematangan emosional
Komunikasi
Kepercayaan Diri
Berpikir Kritis dan Analitis
Ketrampilan Memecahkan Masalah dan Mengambil Keputusan
Keterampilan Memimpin
Kreatif dan penuh inisiatif
Dalam penggaris pencapaian ini, saya mendefinisikan kesolidan sebagai hasil
jumlah dari mantapnya kerja sama dan keterampilan interpersonal. Jika anda
memiliki definisi yang berbeda, tentu saja saya tidak berkeberatan.
Bagi saya: Kesolidan = kerjasama + keterampilan interpersonal

6.1. KECERDASAN SPIRITUAL


Saya merasa kurang nyaman dengan adanya pemisahan progam pengaderan
antara himpunan dan lembaga kajian jurusan. Mengapa harus dipisah? Bukankah
peningkatan ketaqwaan terhadap Tuhan juga merupakan program dari HMJ? Bila
saat ini gembar-gembor materi Spiritual Quotient semakin marak, mengapa kita
tidak mencoba mengintegrasikannya dalam pengaderan kita?
Karena HMJ bukanlah lembaga keIslaman, maka saya pikir hal ini juga berlaku
juga untuk penganut agama non Islam; lembaga kerohanian non Islam juga perlu
bekerja sama secara eksplisit dalam program pengaderan HMJ.
Pada akhirnya nanti, implementasi dari hal ini tentunya menjadi tanggung
jawab pribadi dari setiap orang. Namun, adalah tugas dari pengader juga untuk
memfasilitasi pembelajaran ini. Meskipun secara mendasar seluruh pilar
pengamatan dalam bab ini merupakan tujuan pembelajaran dasar selama satu
tahun bagi maba, namun kecerdasan spiritual ini merupakan program
pembelajaran seumur hidup yang tidak boleh terhenti. Cepat atau lambat, bentuk
kecerdasan ini haruslah ditanamkan dan dibina. Dan merupakan tugas HMJ
(bersama dengan lembaga kajian kerohaniannya) untuk memastikan bahwa
pembelajaran ini terlaksana sejak dini.

34

Beda agama beda juga cara pandang terhadap kecerdasan spiritual. Dalam
Islam, kecerdasan spiritual seseorang sangat ditentukan oleh kedalaman
keyakinan atas nilai ketauhidan, kebenaran nilai-nilai ibadah (sunnah Rasulullah)
dan ketulusan dan soliditas diri (niat yang benar karena Allah).
Kedalaman nilai keyakinan terwujud dalam keyakinannya terhadap Allah,
Malaikat, Kitab, yakin hendak bertemu dengan Allah, risalah kenabian, hari
kiamat, serta akan qodar-Nya. Sementara kedalaman nilai-nilai ibadah terwujud
dalam ketaatannya pada Rukun Islam yang dilaksanakan dengan tidak menyalahi
tuntunan Rasulullah saw.
Aqidah adalah perkara-perkara yang hati membenarkannya, jiwa menjadi
tenteram karenanya, dan menjadikan rasa yakin pada diri tanpa tercampuri oleh
keraguan dan kebimbangan. Aqidah memerlukan pembenaran dari akal dan
dikukuhkan dengan analisa yang benar.
Kecerdasan spiritual mendorong seseorang bekerja dengan Ikhlas serta
memiliki orientasi dan tujuan yang bersih. Kecerdasan spiritual juga menjadikan
seseorang memiliki arah atau tujuan pribadi yang jelas di atas prinsip yang
kuat dan benar. Kecerdasan spiritual merupakan dasar bagi maba dalam
memijakkan kakinya menuju tangga-tangga pembelajaran yang lebih tinggi.
Kecerdasan spiritual senantiasa menghiasi pilar-pilar pembelajaran dalam bab ini.
Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya di antara mereka (hr. Tirmidzi dan Abu Hurairah)
Amal shalih adalah kumpulan tindakan dan sikap yang lahir dari kesadaran
pemikiran akan nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan serta kemauan yang
kuat yang berubah menjadi tekad. Dan Islam memandang keseluruhan pilar-pilar
pembelajaran dalam bab ini sebagai amal shalih. Sementara itu:
Akhlak = kecerdasan spiritual + amal shalih
Kekuatan spiritual ibarat akar-akar yang dapat menunjang tumbuhnya rantingranting dan buah amalan yang penuh dengan kenikmatan iman.
Kompetensi keyakinan (Karakter Salimul Aqidah) dan kompetensi kepatuhan
(Karakter Shohihul Ibadah) berikut ini merupakan suatu bentuk kecerdasan
spiritual yang selayaknya menjadi perhatian dalam pengaderan.
No
1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Kompetensi Keyakinan
Meluruskan niat dan mengikhlaskan amal untuk Allah swt
Mengesakan Allah swt dalam Rububiyyah dan Uluhiyyah. Tidak
menyekutukan Allah swt, tidak dalam Asma-Nya, sifat-Nya dan Af'al-Nya
Mengimani rukun iman
Merenungi Asmaul Husna untuk ketajaman hati
Menjauhi bidah
Mensyukuri nikmat Allah swt saat mendapatkan nikmat
Berusaha meraih rasa manisnya iman dan ibadah
Merasakan adanya para malaikat mulia yang mencatat amalnya
Tidak mendahulukan makhluk atas Khaliq
Tidak bersumpah dengan selain Allah swt
Memprediksikan datangnya kematian kapan saja
Beriman kepada nikmat dan siksa kubur

35

13.
14.
15.
16.
17.
18.
No
1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.

Menjadikan syetan sebagai musuh dan tidak mengikuti langkah-langkah


syetan
Tidak meminta tolong kepada orang yang berlindung kepada jin. Tidak
meramal nasib dengan melihat telapak tangan. Tidak menghadiri majlis
dukun dan peramal
Tidak meminta berkah dengan mengusap-usap kuburan dan tidak
meminta tolong kepada orang yang telah dikubur (mati)
Tidak berhubungan dengan jin
Tidak meruqyah kecuali dengan Qur'an Ma'tsur
Tidak tasya-um (merasa sial karena melihat atau mendengar sesuatu)
Kompetensi Kepatuhan
Ihsan dalam Thoharoh. Senantiasa menjaga kondisi Thoharoh, jika
mungkin
Bersemangat untuk sholat berjama'ah
Ihsan dalam sholat
Qiyamul-Lail minimal sekali sepekan
Berpuasa sunnah (minimal tiga kali dalam sebulan)
Komitmen dengan adab tilawah
Khusyu' dalam membaca Al Qur'an
Memiliki hafalan Al Qur'an
Komitmen dengan wirid tilawah harian
Menjauhi dosa besar
Merutinkan dzikir pagi hari dan dzikir sore hari
Menahan anggota tubuh dari segala yang haram
Menyebar luaskan salam
Bersedekah
Banyak berdo'a dengan memperhatikan syarat-syarat dan tatakramanya
Melakukan amar ma'ruf dan mencegah munkar
Merutinkan ibadah-ibadah sunnah Rowatib
Selalu memperbaharui niat dan meluruskannya

6.2. KERJASAMA
Ini adalah kompetensi untuk melakukan kerjasama dengan sesama, menjadi
bagian dari angkatan. Kerjasama menunjukkan kehendak untuk bekerja secara
kooperatif dengan rekan sesama angkatan. Bekerja sama mengacu pada
kesadaran maba untuk terlibat dalam angkatannya dan memiliki fungsi yang
produktif sebagai anggota dalam angkatannya.
No
1.

2.
3.
4.

Deskripsi perilaku
Bekerjasama dengan bersedia ikut ambil bagian, mendukung kesepakatan
tim, dan melakukan tugasnya dalam tim
Berpartisipasi atas kemauan sendiri, sungguh-sungguh mendukung
keputusan kelompok dan angkatan
Melaksanakan tugas yang diamanahkan kepadanya
Sebagai anggota angkatan, membantu komting dalam mengupayakan
agar seluruh anggota angkatan mendapat informasi yang up to date

36

5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

Mengungkapkan dan membagi informasi yang relevan atau bermanfaat


kepada kepentingan angkatan
Menghargai setiap orang dalam angkatan
Memperlihatkan bentuk penghargaan yang positif atas anggota angkatan
Menjaga reputasi dan nama baik angkatan
Meminta partisipasi, ide, dan pendapat seluruh anggota tim untuk
membantu menghasilkan keputusan atau perencanaan
Bersedia belajar dari orang lain
Menghargai masukan dari orang lain
Mendorong anggota angkatan untuk berpartisipasi dalam kerja sama
Menciptakan susana kerja sama yang akrab dan bersahabat dalam
angkatan
Memberikan dukungan kepada orang lain
Menyelesaikan konflik dalam angkatan dengan mendorong/ memfasilitasi
penyelesaian yang bermanfaat (tidak menyembunyikan atau
menghindarinya)

6.3. KETRAMPILAN INTERPERSONAL


Adalah ketrampilan untuk membina hubungan yang baik dengan rekan sesama
angkatan dan senior. Ketrampilan ini dapat menunjang timbulnya hubungan
intern maupun antar angkatan yang penuh rasa saling percaya dan kooperatif
yang dibarengi oleh adanya penghargaan yang timbal balik. Ketrampilan ini juga
memungkinkan maba untuk mampu mengelola perbedaan antara individu dan
kelompok sambil menjaga fokus pada kinerja.
No
1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.

Deskripsi perilaku
Secara umum, menyadari pentingnya membina dan menjaga hubungan
kerja kelompok yang positif
Melibatkan diri untuk memecahkan permasalahan-permasalahan seperti
keluhan dari rekan angkatan
Memperhatikan dengan bijak karakter dan latar belakang orang lain saat
berkomunikasi
Memahami karakter orang-orang yang memiliki latar belakang yang
berbeda
Mengembangkan suasana dan sikap menghargai terhadap perbedaan
pandangan dan karakter
Efektif bekerja dalam tim kerja dengan orang-orang yang berbeda
karakter dan latar belakang
Mengembangkan hubungan internal angkatan secara erat

6.4. BERTANGGUNG JAWAB


Adalah melaksanakan pekerjaan hingga selesai untuk mencapai hasil yang
maksimal serta bersedia menerima risiko apabila terjadi kesalahan dari apa yang
dikerjakannya.

37

No
1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.

Deskripsi perilaku
Memahami arahan yang diberikan oleh pihak lain menyangkut tugas dan
pekerjaan yang harus dilkukannya
Menyelesaikan tugas yang diberikan sesuai dengan target waktu dan
arahan yang diberikan
Menghasilkan pekerjaan yang berkualitas sesuai dengan bidang tanggung
jawabnya meskipun dengan arahan yang terbatas
Menjaga dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap kulitas hasil kerja
tim dan angkatan
Memastikan hasil kerja dapat dipergunakan oleh pihak lain di dalam
angkatan tanpa menimbulkan masalah
Memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas output angkatan
Memberikan bimbingan dan dorongan kepada rekan sesama angkatan
guna menumbuhkan sikap tanggung jawab dan peduli kualitas kerja

6.5. KEMATANGAN EMOSIONAL


Mempunyai tingkat emosional yang stabil, tidak mudah tergantung oleh emosional
negatif pihak lain, serta sanggup mengendalikan berbagai tindakan emosi orang
lain dalam tingkatan tertentu.
No
1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Deskripsi perilaku
Mampu menahan diri terhadap segala kemungkinan negatif yang datang
dari pihak lain
Mampu meredam emosi negatif diri sendiri yang diakibatkan oleh
lingkungan
Bersikap terbuka pada kritik dan saran
Mampu mengendalikan konflik dalam angkatan tanpa terjebak dalam
emosi-emosi yang negatif
Bersikap bijaksana dalam berdialog dengan banyak pihak
Mampu meredam emosi orang lain pada tingkat tertentu
Tidak terpengaruh oleh provokasi negatif pihak lain
Mampu menjaga kondusifitas emosi angkatan agar tetap berada dalam
jalur yang produktif

6.6. KOMUNIKASI
Adalah kemampuan untuk memahami dan mengkomunikasikan gagasan dan
pendapat secara efektif baik lisan maupun tulisan. Komunikasi juga melibatkan
kemampuan maba untuk mempertimbangkan informasi mana yang penting dan
yang tidak penting serta apa yang harus dikomunikasikan, bagaimana, kepada
siapa dan kapan hal tersebut akan dilakukan.
No
1.

2.
3.

Deskripsi perilaku
Mendengarkan pihak lain dengan baik
Memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk berbicara tanpa
dipotong
Menyampaikan gagasan kepada orang lain secara jelas dalam forumforum formal maupun informal (dengan sesama rekan ataupun senior)

38

4.
5.
6.
7.
8.

Berkomunikasi yang jelas dan efektif, baik lisan maupun tulisan


Memahami instruksi lisan maupun tulisan dengan cukup cepat
Menyampaikan gagasan secara jelas dan konsisten di hadapan kelompok
dalam situasi formal maupun informal
Mampu mengorganisasikan diskusi kelompok secara logis
Merespon pertanyaan secara jelas, akurat dan lengkap

6.7. KEPERCAYAAN DIRI


Kepercayaan diri adalah keyakinan pada kemampuan yang dimiliki untuk
menyelesaikan tugas dan memilih pendekatan yang efektif terhadap tugas atau
masalah.
No
1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Deskripsi perilaku
Bertangggung jawab atas tindakan yang dilakukannya
Tampil percaya diri serta dapat mengambil keputusan secara mandiri
Bekerja tanpa perlu pengawasan yang terus menerus dari rekan ataupun
senior
Menjadi seorang penggerak atau seorang nara sumber untuk menjalankan
suatu penugasan/amanah
Menyatakan kesediaan/kesanggupan dalam mengemban penugasan yang
menantang dengan kepercayaan diri yang dimilikinya
Mempunyai ketrampilan dalam mengerjakan penugasan serta berani
menanggung risikonya
Menyatakan keyakinan atas pendapatnya secara terbuka
Mempertahankan pendapat secara jelas dan penuh percaya diri sewaktu
berbeda pendapat dengan orang lain, bila memang benar
Mempertahankan pendapat secara jelas dalam situasi konflik, bila
memang benar
Melakukan tindakan untuk mendukung atau mengukuhkan pernyataan
kepercayaan dirinya
Menyatakan tidak sependapat kepada orang lain secara tegas dan sopan
Mengajukan diri untuk menghadapi tantangan/amanah demi kepentingan
angkatan

6.8. BERPIKIR KRITIS DAN ANALITIS


Kompetensi ini menuntut pemahaman situasi dengan menguraikannya menjadi
bagian-bagian kecil secara logis, atau melacak implikasi sebab akibat dari sebuah
situasi secara bertahap. Termasuk juga mengolah bagian-bagian suatu masalah
secara sistematis, menetapkan prioritas secara rasional serta mengidentifikasi
urutan waktu kejadian atau hubungan sebab akibat.
No
1.

2.
3.

Deskripsi perilaku
Memecahkan penugasan kompleks ke dalam beberapa bagian yang dapat
diatur secara sistematik
Mampu memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang
Mampu bekerjasama secara kelompok/angkatan untuk memecahkan
masalah bersama individu/kelompok/angkatan

39

4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Membuat hubungan sebab-akibat yang sederhana dari rangkaian


permasalahan yang timbul
Menetapkan prioritas tugas berdasarkan derajat kepentingannya dalam
menyelesaikan penugasan yang diberikan
Mengidentifikasi faktor-faktor pemecahan masalah yang memang benarbenar pantas dan penting untuk dipertimbangkan
Mengidentifkasi faktor-faktor yang memang pantas menjadi pusat
perhatian
Mengenali beberapa kemiripan penyebab kejadian
Melakukan analisa hubungan antara beberapa bagian kasus, kejadian atau
permasalahan
Menghindarkan diri dari kesalahan berlogika

6.9. KETRAMPILAN MEMECAHKAN MASALAH DAN MENGAMBIL


KEPUTUSAN
Adalah kemampuan dalam mengatasi permasalahan secara komprehensif, efektif,
dapat mengidentifikasi permasalahan dan fakta yang relevan, menggali serta
melakukan penilaian yang dibutuhkan dalam rangka mempertimbangkan dan
mengambil keputusan.
No
1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Deskripsi perilaku
Mengidentifikasi issue atau masalah sekaligus memperkirakan tingkat
kepentingannya
Memecahkan masalah menjadi bagian-bagian yang bisa dikelola
Mengenali data/informasi yang relevan dan logika untuk pengembangan
solusi alternatif
Mempergunakan pengalaman diri atau orang lain untuk mendapatkan
solusi alternatif
Mengidentifikasi solusi alternatif
Merekomendasikan solusi terbaik dari berbagai alternatif
Mengantisipasi dampak yang tidak diperhitungkan atau tidak terlihat dari
solusi-solusi alternatif
Memilih satu solusi untuk satu masalah dari berbagai alternatif yang ada
Mengambil keputusan dan mengimplementasikan tindakan yang diambil
dan mengambil langkah antisipasinya

6.10. KETRAMPILAN MEMIMPIN


Merupakan kompetensi yang terutama harus dimiliki oleh komting angkatan untuk
mengkomunikasikan suatu visi dan tujuan serta memberikan inspirasi kepada
orang lain untuk mencapainya, sekaligus menjadi panutan positif bagi
angkatannya.
No
1.

2.

Deskripsi perilaku
Memiliki visi dan sasaran pribadi
Menunjukkan komitmen pribadi melalui tindakan

40

3.
4.
5.
6.
7.

Mengelola pertemuan dengan baik


Mengambil sikap yang jelas walaupun mungkin tidak populer
Membangun kepercayaan dan rasa percaya diri di dalam tim kerja
Memastikan seluruh anggota angkatan mengetahui apa yang sedang
terjadi
Memastikan angkatan memperoleh informasi yang dibutuhkan (seperti
hasil keputusan rapat angkatan) sekaligus mampu menjelaskan dasar
objektif dalam pengambilan keputusan

6.11. KREATIF DAN PENUH INISIATIF


Adalah kemampuan untuk bertindak sesuai tanpa harus mendapatkan instruksi
terlebih dahulu, proaktif, bekerja dengan tujuan masa depan yang jelas,
mengembangkan gagasan atau teknik/prosedur baru.
No
1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Deskripsi perilaku
Aktif mengambil inisiatif untuk memaksimalkan kontribusi
Mengidentifikasi dan mencari peluang untuk meningkatkan kontribusi dan
kualitas kerja individu maupun angkatan
Mengembangkan standar pribadi di atas standar yang telah ditetapkan
Memfasilitasi dan mendorong iklim kerja tim/angkatan yang menghargai
inisiatif
Menggunakan gagasan atau cara baru yang diusulkan atau diarahkan oleh
senior/panitia
Memberikan saran, gagasan, atau cara baru yang dapat meningkatkan
kualitas dan produktifitas kinerja individu/angkatan
Mengembangkan cara baru ketika teknik atau cara standard tidak dapat
menyelesaikan masalah
Mengimplementasikan cara atau teknik baru dalam angkatan
Memiliki hasrat untuk mengubah hal-hal disekelilingnya menjadi lebih
baik.

6.12. KOMPETENSI PENGADER


Pembahasan tentang pengaderan harusnya tidak hanya berbicara tentang
penggaris pencapaian bagi maba. Kita pun perlu mengidentifikasikan penggaris
pencapaian bagi pengader.
Menjadi Steering Committee ataupun instruktur -dengan surat keputusan
dari HMJ- tidaklah dengan serta merta menjadikan kita semua layak menjadi
pengader. Ceritanya tidak sesederhana itu. Terlalu banyak pengader yang terlalu
PD dengan ketidaktahuannya, dan akhirnya berakhir dengan mempermalukan
dirinya bahkan di hadapan maba.
Pengader haruslah memiliki kompetensi ketulusan dalam menjalankan tugasnya.
Kompetensi ini merupakan suatu bentuk dukungan yang tulus dalam mendorong
maba untuk melakukan proses pembelajarannya, dengan didasari atas analisa
kebutuhan pengaderan.

41

No
1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

12.
13.
14.
15.

16.
17.

Deskripsi perilaku
Mengidentifikasikan Analisa Kebutuhan Pengaderan
Memberikan harapan positif terhadap maba
Memberi dorongan mengenai kemampuan atau potensi maba
Memberikan kepercayaan bahwa maba mau dan mampu belajar
Memberikan isnstruksi secara detail dan/atau memberi contoh untuk
mengembangkan maba terutama dalam penyelesaian penugasan
Memberikan saran-saran khusus yang dapat membantu maba untuk
berkembang
Memberikan arahan dan dukungan atau contoh dengan suatu alasan dan
penjelasan rasional mengapa cara tersebut digunakan
Mengajukan pertanyaan, menguji atau menggunakan cara-cara lain untuk
memastikan maba telah memahami penjelasan atau pengarahan yang
diberikan
Memberi umpan balik yang positif, spesifik atau gabungannya untuk
pengembangan maba sesuai kebutuhannya
Memberikan gambaran untuk dapat menyelesaikan suatu masalah serta
pengembangan yang menjadi sasaran terhadap maba
Meyakinkan dan memberi dukungan serta umpan balik mengenai hal
negatif dari perilaku maba, alih-alih menyerang maba secara pribadi, dan
kemudian memperlihatkan harapan-harapan yang positif mengenai kinerja
yang akan datang atau memberikan saran-saran pribadi untuk kemajuan
maba
Mendorong maba untuk memecah tugas dalam komponen-komponen yang
lebih kecil, atau untuk menggunakan strategi-strategi lain dalam
memecahkan permasalahan angkatan
Merancang penugasan yang sesuai, memberikan materi secara formal
maupun informal untuk membantu proses pembelajaran dan
pengembangan maba
Membuat maba dapat menjawab sendiri permasalahan yang dihadapinya
sehingga mereka tahu cara mengatasinya dengan tidak hanya
memberikan jawaban sederhana saja
Merancang secara signifikan pendekatan-pendekatan baru untuk
mengajarkan materi yang telah ada, atau menyusun pengalamanpengalaman yang berhasil untuk maba guna mengembangkan ketrampilan
dan rasa percaya diri mereka
Melakukan penilaian kemampuan
Memberikan kesempatan belajar dari kesalahan yang pernah dilakukan

42

BAB 7 RENUNGAN DAN TUGAS BESAR

RENUNGAN
& TUGAS BESAR
S

ejumlah pertentangan ide dan cara pandang membuat saya memilih untuk
menempatkan ide ini dalam bab terakhir sebagai bahan perenungan kita
bersama. Bab ini berisi tentang motivasi yang dimiliki mahasiswa dalam
mengusung dan mempertahankan pengaderan, tentang kekurangsepahaman
mahasiswa dengan pihak rektorat serta tugas besar pematangan konsep
pengaderan bagi mahasiswa.
Tentu saja saya tidak berani mengklaim bahwa tulisan berikut merupakan
cerminan dari pendapat mahasiswa secara keseluruhan. Tulisan berikut hanyalah
merupakan suatu bentuk pengamatan saya terhadap apa yang terjadi.
Dalam lampiran, saya menuliskan bahwa Student Day dan Camp dibutuhkan
untuk jadi sarana pendobrak bagi maba untuk mau merubah/mendewasakan pola
pikirnya. Dobrakan yang dimaksud adalah titik tolak yang konsisten untuk berpola
pikir panjang dan lebih dewasa, lebih peduli pada orang lain, mampu
menyesuaikan diri secara pantas, memiliki pola pikir prestatif...dsb. Singkatnya,
menjadi Manusia Pembelajar.
Namun pengaderan tampak menjadi ajang perebutan rektorat dan
mahasiswa. Mahasiswa, di satu sisi, tidak menginginkan adanya intervensi dari
pihak rektorat. Mereka menganggap pengaderan sebagai suatu bentuk
independensi mereka sebagai mahasiswa. Sementara di sisi yang lain, rektorat
menginginkan adanya kondusifitas dalam pembelajaran maba. Dan kegiatan
pengaderan versi mahasiswa yang dirasa masih diwarnai oleh perploncoan
dianggap mengusik ketenangan pembelajaran akademis tersebut. Lagipula,
ternyata rektorat jugalah yang harus menghadapi keluhan dari para orang tua
maba bila terjadi perploncoan dari pengader. Lebih jauh lagi, rektorat juga harus
membentuk pencitraan ITS yang bagus di mata masyarakat, dan juga dunia kerja
dalam kapasitas ITS sebagai institusi pendidikan yang bonafit di Indonesia timur.
Sayang sekali, semakin bertambahnya tuanya usia HMJ tidak lantas sejalan
dengan bertambahnya kedewasaan lembaga (dan juga warganya). Setiap
tahunnya, HMJ dikelola oleh para mahasiswa dari kepengurusan yang berbeda.
Pengaderan juga relatif digarap oleh para mahasiswa yang berbeda setiap
tahunnya. Masing-masing memulai pembelajarannya sebagai pengader saat
menerima amanah tersebut.
Rektorat selalu menghadapi mahasiswa yang berbeda setiap tahunnya untuk
kasus yang serupa. Apa yang dibincangkan sampai yang dipermasalahkan
biasanya merupakan pembahasan yang rutin setiap tahunnya.
Pertanyaannya adalah; Benarkah mahasiswa memiliki hak untuk mengader
maba? dan mengapa?
Selama ini, senior dalam wadah HMJ mengader maba karena mereka
merasa bahwa itu adalah kewajiban mereka. Dalam event pengaderan ini
biasanya, para senior jurusan, entah mereka pengurus HMJ ataupun yang tak
pernah sekalipun nongol di kegiatan himpunan, beramai-ramai mengusung
bendera pengaderan. Kemarakan event pengaderan hampir selalu mengalahkan
bahkan seminar nasional sekalipun ataupun kegiatan keprofesian yang diadakan

43

oleh HMJ bersangkutan, terutama bila dilihat dari partisipasi warganya. Sampaisampai, terkadang HMJ terkesan ada hanya untuk melakukan pengaderan.
Dari istilahnya, pengaderan berarti aktifitas pembentukan dan pembinaan
kader. Untuk siapa? Tentu saja untuk lembaga yang mengader, dan lebih luas
lagi, untuk ITS. Untuk apa? Hal ini biasanya dilakukan untuk menunaikan tujuan
pendirian HMJ seperti yang tertera pada AD/ART masing-masing HMJ. Pengaderan
dimaksudkan untuk mempersiapkan dan mempercepat maba dalam melakukan
proses pembelajaran dalam memenuhi tujuan pembelajaran yang telah
dirumuskan oleh HMJ (jika sudah).
Namun terkadang (seringkali?) motivasi HMJ tertumpuki dan terkotori oleh
motivasi dan sikap non produktif dari sebagian warganya. Issue yang sering
keluar ke permukaan adalah masalah pemenuhan ego dari mahasiswa senior.
Motivasi pengader dikatakan sebagai perwujudan ego pribadinya apabila dia
mengutamakan kepentingan dan nilai dirinya ketimbang sesuatu nilai di luar
dirinya. Ego adalah suatu perasaan yang berlebih-lebihan atas nilai kepentingan
diri sendiri serta perasaan superior atas orang lain. Ini merupakan suatu bentuk
syahwat yang cukup memalukan bila diperturutkan.
Amat disayangkan, masih banyak ditemui para pengader yang sebenarnya
belum pantas untuk mengader. Mereka datang tidak dengan pemahaman konsep
maupun juklak yang telah ditetapkan oleh Steering Committee. Mereka datang
dengan perasaan seolah-olah lebih berkuasa, lebih tua dan lebih pintar daripada
maba.
Tak jarang, ketimpangan pun akhirnya ditemui ketika maba telah
merampungkan prosesi pengaderannya di jurusan. Terkadang sampai seringkali,
apa yang senior katakan, ajarkan dan tekankan kepada maba ternyata tidak
tercermin pada diri sang senior sendiri. Dalam pengaderan, senior dengan lantang
mengumandangkan pola berpikir kritis, kedewasaan, moralitas, tanggung jawab,
kematangan emosional, dsb. Namun dalam realita, cukup banyak juga dari
mereka yang tidak memiliki integritas dengan nilai-nilai tersebut. Hal lebih buruk
dapat terjadi apabila senior lantas dengan ketidaktahuannya akan konsep dan
arahan pengaderan- mengacaukan suasana pengaderan dengan beragam
perploncoan yang bersifat merendahkan, yang ironisnya, malah menjadikan
senior bersangkutan memiliki perasaan berkuasa.
Lantas? Bagaimanakah kita seharusnya menempatkan keIslaman kita dalam hal
ini?
Pengaderan harusnya dilakukan karena pengader ingin mendapat kemuliaan
di mata Allah dengan mengajak dan mempromosikan kebenaran dan menjauhkan
diri dan orang lain dari keburukan dan kehinaan. Motivasi inilah yang mampu
membebaskan pengader dari pengimplementasian tujuan dan proses pengaderan
yang bersifat mencelakan dan menghinakan. Dalam konteks dakwah kampus,
tujuan dari pengaderan adalah juga seperti yang tertulis pada bab satu;
menyebarkan dan memantapkan opini Islam, mengembangkan kepribadian Islam,
serta melahirkan tokoh-tokoh mahasiswa yang mampu menjadi pemimpin di
masyarakat.
Pengaderan tentunya bukanlah sebuah bentuk upaya Islamisasi. Penyebaran
dan pemantapan opini Islam ini utamanya ditujukan kepada maba yang telah
memeluk Islam. Ide dasarnya, sekali lagi, adalah dengan menjadikan pijakan
berbuat karena Allah sebagai kekuatan untuk menghindarkan diri dari
implementasi pengaderan yang mencelakan dan menghinakan.

44

Jika apa yang saya ungkapkan di atas motivasi mengader karena Allahmasih terkesan sebagai suatu idealitas belaka, maka saya patut menantang baik
Anda maupun diri saya pribadi; Lantas Anda melakukan pengaderan ini untuk
siapa? Kemuliaan semacam apa dan di mata siapakah yang Anda harapkan?
Kebanggaan atas apakah yang Anda dapatkan? Masa depan seperti apakah yang
Anda dapatkan dari amalan Anda dalam mengader maba ini? Penghargaan seperti
apakah yang Anda harapkan? Pengakuan seperti apa dan dari siapakah yang Anda
harapkan?
Selanjutnya, barulah kita bisa menemukan suatu bentuk motivasi lain
seperti karena timbulnya rasa bangga, lega dan senang apabila adik-adik
angkatan dapat berkembang menjadi mahasiswa yang solid, kreatif, bertanggung
jawab, matang secara emosional, percaya diri, dst. Rasa bangga ini akan
berlanjut ketika adik-adik angkatan kemudian berkiprah secara produktif di
himpunan, fakultas maupun institut.
Untuk hal ini, sepertinya pihak rektorat memiliki tujuan yang jauh lebih ke
depan, seperti yang tercantum di visi, misi dan tujuan pendidikan ITS. Salah satu
misi ITS; Menumbuhkan dan menjaga moral akademik, etika dan agama untuk
pembangunan peradaban manusia benar-benar suatu misi yang amat mantap
dan layak dipegang. Sayang sekali visi, misi dan tujuan pendidikan ITS ternyata
lebih diketahui oleh para maba ketimbang para senior yang menjadi pengader.
Lebih jauh lagi, salah satu tujuan ITS adalah mendidik dan mengembangkan
kemampuan mahasiswa dan menghasilkan lulusan yang berbudi luhur, unggul
dalam pengetahuan dan ketrampilan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni,
berkepribadian mantap dan mandiri, mempunyai kemampuan profesional dan
etika profesi, memiliki integritas dan tanggung jawab yang tinggi, mempunyai
kemampuan untuk bersaing di tingkat nasional maupun internasional. Tujuan
yang luar biasa ini pun mestinya juga memerlukan partisipasi aktif dari
mahasiswa dalam penunaiannya. Lantas mengapa mahasiswa dan rektorat
memilih untuk tidak akur dalam hal pengaderan?
Bukankah tujuan belajar kita beririsan? Mengapa kita tidak membuat rumusan
bersama yang koheren dan saling menguatkan? Masing-masing dari kita
barangkali memiliki koreksi untuk pihak rektorat. Namun, sudahkah masingmasing dari kita memiliki koreksi untuk diri kita sendiri para mahasiswa?
Terkadang kita begitu merasa diri kita begitu hebatnya hingga kita ingin
mengendalikan seluruh nasib pembelajaran maba di tangan kita. Terkadang kita
begitu sombongnya hingga kita merasa diri kita selalu lebih dewasa dan lebih
pintar ketimbang maba, mentang-mentang lebih tua. Terkadang kita merasa diri
kita begitu berkuasanya hingga kita membenarkan segala bentuk perlakuan kita
kepada maba, bahkan sampai sang maba keluar dari ITS sekalipun karena
kesalahan perlakuan kita para pengader. Dan lebih parah lagi, terkadang kita
begitu tak tahu dirinya hingga menjadikan maba malah semakin jauh dari Allah,
dari ketakutan dan pengharapan kepada-Nya, serta merampasnya untuk diri kita
sendiri.
Apakah mahasiswa ITS adalah mahasiswa yang cenderung bertindak atas
dasar prosedur teknis (yang merupakan turunan dari konsep) alih-alih
berdasarkan konsep inti itu sendiri? Ketika yang diminta adalah konsep
pengaderan, apakah lantas kita langsung meloncat pada implementasi lapangan?
Jangan-jangan kita melakukan itu hanya karena kita sendiri kurang mampu untuk
berpikir konseptual, membangun jembatan antara konsep dan pelaksanaan, dan
kemudian enggan belajar untuk itu. Seberapa seriuskah kita, mahasiswa,
memandang pengaderan ini?

45

Tulisan saya memang tidak membahas perihal implementasi pengaderan di


lapangan, pedoman teknis panitia pengader, deskripsi aturan main, waktu
pelaksanaan, kisi-kisi materi dsb. Yang saya coba sajikan adalah sekumpulan ide
dasar dari pengaderan, yang darinya kemudian diturunkan prosedur pelaksanaan
sampai implementasi dan evaluasi teknis di lapangan. Tulisan ini lebih merupakan
jabaran dari cara berpikir seperti apa kita para pengader- seharusnya memulai.
Adalah tugas dari Anda para pengader- untuk memahami dan
menerjemahkan konsep seperti ini dalam suatu bentuk implementasi yang lebih
bisa dicerna oleh warga HMJ dan maba. Untuk hal seperti inilah Anda ditugaskan.
Anda dapat mengambil rujukan dari dokumentasi pengaderan tahun-tahun
sebelumnya jika memang ada. Tapi yang jelas, Anda tidak boleh melupakan dari
manakah Anda seharusnya memulainya.
Tugas pengader dimulai dari pemahaman atas urgensi pengaderan, suatu
alasan yang didasarkan atas fakta yang riil ataupun diprediksikan yang mengarah
kepada suatu kemendesakan terhadap adanya suatu bentuk pengaderan terhadap
maba. Di sinilah pengader harus memurnikan motif dan motivasinya dalam
mengemban amanah. Pengader harus mampu memastikan bahwa dirinya dan
warga HMJ yang turut dalam proses pengaderan tidak terjebak dan terhinakan
karena pemenuhan kebutuhan ego, pencarian pengakuan atas eksistensi ataupun
sekedar bersenang-senang. Tugas selanjutnya adalah memahami kaidah-kaidah
dasar yang harus dipenuhi untuk merumuskan pola dan arahan dasar dari
pengaderan. Perumusan tujuan belajar antara, termasuk juga nilai-nilai yang
ditanamkan menjadi urutan tugas selanjutnya. Barulah kemudian pengader
merumuskan konsep pengondisian; metode dan alur yang digunakan.
Saya pikir tulisan ini belumlah benar-benar rampung, tapi dengan keterbatasan
diri saya saat ini, saya tidak berniat untuk meneruskannya lebih jauh. Saya harap
Anda bisa menjadi salah seorang yang mampu dan bersedia mengisi lubanglubang kekurangan dalam tulisan saya. Pengaderan adalah masalah penting yang
bisa menjadi bumerang bagi kita maupun generasi sesudah kita. Sehingga upaya
pematangan menjadi sebuah tuntutan yang harus kita penuhi.
Barangkali ada yang akan mengusulkan perbaikan pengaderan ini harus dimulai
benar-benar dari akarnya. Melakukan restart ulang dan melepaskan diri dari polapola berkarat yang sudah ada hingga saat ini, sehingga tidak mengesankan
bahwa kita melakukan pengaderan lebih karena penyelamatan tradisi nenek
moyang. Atau barangkali ada juga yang tidak terlalu memusingkan ide dasar
seperti yang saya sampaikan sebagai awalan dan hanya mengusulkan beberapa
format aturan-aturan yang tegas dan menyeluruh serta standard operasi
pelaksanaan yang jelas bagi SC, OC dan instruktur. Sebuah bentuk pengaderan
massal indoor juga bisa merupakan salah satu ide alternatif yang patut
dimatangkan, alih-alih dibuang hanya karena ide tersebut bukan merupakan usul
dari mahasiswa.
Jika bukan kita sendiri yang mematangkan, lantas siapa?
Jika bukan sekarang, lantas kapan?
Wallaahu alam bish showab
Semoga tulisan saya dapat membawa kebaikan yang besar bagi kita semua.
Selamat berjuang, teman!

46

LAMPIRAN
Tulisan berikut merupakan ide yang pernah saya kirimkan ke Forum Informasi &
Diskusi di jurusan saya. Berbeda dengan sebelumnya, gaya bahasa dalam tulisan
ini cenderung lebih bebas, oleh karena itu saya sengaja meletakkannya ke dalam
lampiran. Tampaknya saya terlalu malas untuk menulis ulang dan mengubah gaya
penulisannya .

Proyeksi ke Depan Pengaderan Jurusan


(Enaknya Boikoter2 itu Diapain Ya?)

Selama ini barangkali kita cenderung memandang pengaderan dalam lingkup


yang ngglibetnya ya tetep aja di lingkup kampus. Padahal, yang namanya
pembelajaran ya seumur hidup. Kalo kita mencoba berpikir jauh, kita akan
temukan
kenyataan
bahwa
tujuan
pengaderan
sesungguhnya
adalah
mempersiapkan lulusan mahasiswa jurusan kita untuk jadi sarjana yang lebih siap
pakai dan layak jual. Ide dasar dari penggunaan istilah 'kader' pada Pengaderan
lebih mengarah pada mahasiswa kita.
Waktu kita nglamar kerja nanti, katakanlah Anda ndaftar di Toyota Astra
Motor. Apakah si HRD akan nanya gini ke Anda; "Apakah Anda dulu
anggota/pengurus HMJ?" Nggak! Jikapun iya, bukan itu maksudnya. Karena
pertanyaan sesungguhnya adalah "Anda punya skill apa?". They won't give a
damn apakah kita dulu anggota HMJ apa enggak. Mereka ngga peduli apakah kita
dulu ikut Student Day ato Camp. Mereka cuman pengen tahu skill apa yang udah
kita punya. "Apakah anda bisa memimpin orang?", "Apakah anda bisa mengelola
kegiatan?", "Anda bisa ngga mengelola konflik?", "Bagaimana anda mengelola
dinamika tim?" dsb. Insya Allah pertanyaannya bakal kayak gitu.
Ini tentunya akan jadi kabar buruk bagi Anda yang merasa ikut-ikut
kegiatan ato pelatihan sekedar buat ngumpulin sertifikat. Meskipun terus terang,
saya nggak tau tuduhan ini diasarkan atas realitas apa. Karena saya sendiri ngga
pernah ketemu ama orang-orang yang secara eksplisit keliatan punya niatan
semacam ini. Sama seperti rekan kita di jurusan; Andias & Heri S 98, Vita Auliana
97, Bowo & Arik 96; kami semua ngga dapet sertikat dari pelatihan TD fakultas
dan TM institut, seingat saya demikian juga dengan rekan-rekan yang lain. Saya
juga tidak pernah melihat bukti absah yang menyatakan seseorang pernah jadi
ketua UKM, Kahima, Sekjen BEM atau Presiden BEM ITS. Ngapain juga dipikirin?
Asumsi saya, tuduhan ini muncul berdasarkan realita banyaknya mahasiswa
yang aktif, tapi cuman pasang nama doang, atau pasang badan doang. Anda
boleh jadi punya analisa atas hal ini. Dan saya juga punya analisa alternatif dalam
hal ini. Yakni bahwa mereka bersikap demikian bisa jadi bukan karena cari
sertifikat ato memperkaya CV, melainkan karena mereka kehilangan/tidak punya
orientasi belajar. Ini didasarkan atas pengalaman saya di UKM, BEM dan
Himpunan. Banyak temen-temen yang ketika berorganisasi ngga/blum punya
gambaran yang bagus tentang apa yang sebenernya bisa didapet. Mereka cuman
sekedar punya pernyataan motivasi sederhana "Saya ingin dapat pengalaman
berorganisasi." tidak lebih tidak kurang. Pengalaman apa? "Ya pokoknya
pengalaman", jawabnya gitu. Mereka paham signifikansinya, tapi ngga paham
detail pencapaiannya.
Inilah yang akhirnya mbikin banyak pengurus/anggota mutung (atau
terkesan mutung), mereka ngerasa ngga ndapetin sesuatu, karena mereka

47

sebenernya belum punya definisi konkrit tentang apa yang seharusnya mereka
dapatkan. Mereka menunggu dapet, bukannya ngejar apa seharusnya mereka
bisa dapet. Dan jangan buru-buru menyalahkan mereka, karena amat bisa jadi
yang paling bertanggung jawab adalah pimpinannya. (duh.. aku sendiri kena deh)
Kesemua sertifkat ataupun nama jabatan tidaklah serta merta
menunjukkan kehebatan seseorang. Bukan mentang-mentang udah ikut LKMM TM
secara otomatis seseorang bisa dianggap jagoan neon. Sering sekali saya
menemui kenyataan yang timpang. Yang paling penting adalah; 'apakah Anda
punya keahliannya?' job description Anda boleh jadi ketua departemen, tapi Anda
punya skill requirementnya ngga? (skill req = keahlian yang dibutuhkan untuk
memenuhi/ menjalankan job desc.)
Student Day dan Camp dibutuhkan untuk jadi sarana pendobrak bagi maba
untuk mau merubah/mendewasakan pola pikirnya. Dobrakan yang dimaksud
adalah titik tolak yang konsisten untuk berpola pikir panjang dan lebih dewasa,
lebih peduli pada orang lain, mampu menyesuaikan diri secara pantas, memiliki
pola pikir prestatif... pokoknya, singkatnya, menjadi Manusia Pembelajar. Student
Day dan Camp adalah sarana pengenalan, pemahaman, dan pembentukan awal.
Sementara LKMM Tingkat Dasar dan Menengah memberikan wawasan manajerial
beserta keahliannya. Dan KPP adalah tempat prakteknya. Aktifitas di Organisasi
Kemahasiswaan adalah bentuk pemberdayaannya.
Nah, sekarang Anda bisa bayangkan ngga jika ternyata ada lulusan jurusan
kita yang ketika diwawancara njawabnya gini: "Maaf, Pak. Terus terang saya ngga
bisa mengelola kegiatan ataupun mengelola tim, soalnya saya dulu kan bukan
anggota himpunan!". Si HRDnya la' bakal njawab gini; "Lha kuwi la' yo urusanmu
to Le!". Duh, gawat deh .
Sudah sewajarnya? emang udah nasibnya? barangkali sempat terlintas di
benak kita pikiran itu. Tapi coba aja deh dipikir, jika fenomena ini terjadi selama
beberapa kali di beberapa perusahaan, si HRD amat bisa jadi akan bilang,
"Eaalah... ngene to tibakno lulusane jurusanmu! Nggluethek !". Generalisasi yang
tidak menguntungkan, bukan? See, reputasi lulusan jurusan kita ditentukan baik
oleh mereka yang anggota HMJ ato bukan. Perusahaan-perusahaan ngga mo
ambil pusing apakah kita dulu anggota HMJ ato bukan. Mereka cuman liat apa
yang keliatan. Para lulusan jurusan kita, siapapun dia, akan menciptakan Trade
Mark atas jurusan kita.
Lantas kenapa? Hal ini emang mengartikan apa?
Dalam persepsi saya, artinya gini;
Kalo kita bener-bener terlalu ekstrim mbikin batesan antara anggota HMJ ato
bukan maka sama aja kita mbikin jurusan baru di dalam jurusan kita. "Jurusan"
yang satu boleh aktif dalam kegiatan-kegiatan dan pemberdayaan diri, "jurusan"
yang satu bener-bener study oriented. Jurusan non anggota (boikoter atau yang
gak lulus pkaderan karena sakit) ngga masuk dalam wilayah tanggung jawab
pencapaian tujuan himpunan. Kok jadi kayak memperlakukan mahasiswa jurusan
laen aja.
Tujuan dasar HMJ disusun dengan asumsi tidak ada mahasiswa yang
menjadi boikoter. dan jika ternyata ada (dan emang ada), apakah lantas orang
yang bukan anggota HMJ ini ngga perlu diberdayakan biar jadi cendekia, nggak
dibina supaya jadi bertakwa dan bermoral, nggak dilibatkan supaya peka sesama
dst. Padahal mereka juga yang nantinya akan mempengaruhi reputasi jurusan
kita di mata dunia (ceileh..! ).
Saya ingin memberikan titik tekan yang cukup dalam pada pemberdayaan

48

mahasiswa dalam hal peningkatan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Point
pentingnya di sini adalah, bahwa tujuan dasar Meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa bagi segenap Mahasiswa Teknik Informatika ITS yang mestinya juga
tercantum di AD/ART setiap himpunan di ITS- memiliki penekanan yang lebih kuat
ketimbang tujuan yang lain. TIDAK ADA PILIH KASIH dalam peningkatan
ketaqwaan dan moralitas (sesuai agama dianut) oleh HMJ. Sehingga, lembaga
keagamaan Islam, Kristiani maupun yang lain tidak perlu mensyaratkan
keanggotaan himpunan sebagai syarat jadi anggota lembaga bersangkutan.
Besarnya tanggung jawab badan kerohanian menjadi alasan yang cukup untuk
mengabaikan syarat keanggotaan formal himpunan. Kinerja Ini pengaruhnya
semisal
nanti
pada
pelaksanaan
kegiatan-kegiatan
internal
lembaga
bersangkutan. Mo ada kajian ato Mabid pengurus, ntar ada yang bilang, "Eh,
kamu ngga boleh ikut ngaji bareng kita, kamu kan bukan anggota himpunan".
Duh... Kacian deh lu! Ato kebetulan ada pembahasan tentang aturan-aturan
yang 'sakral' (istilah yang saya maksud sebenernya adalah "sesuai dengan syar'i",
tapi saya ngga tau gimana nerjemahinnya) dalam lembaga bersangkutan, eh...
ternyata yang kebetulan jadi anggota himpunan tidak cukup pakar/punya ilmunya
dalam hal itu. Bikin masalah tuh.
Secara default, yang seharusnya jadi pengurus inti adalah anggota
himpunan, kecuali bener2 ada alasan yang relevan, masuk akal dan signifikan.
Contohnya adalah bila memang lembaga kerohanian itu kehabisan SDM
berkualitas yang jadi anggota himpunan. Jadi, dalam hal ini, pertimbangan
kualitas tetap lebih diutamakan ketimbang keanggotaan. Kalo ada fenomena yang
tidak sesuai dengan ini (asal comot), maka itu bisa dianggap sebagai kesalahan
(kecolongan). Namun secara mendasar, perlulah diingat bahwa pertimbangan
kepemimpinan dalam lembaga kerohanian tidak ditentukan oleh kenggotaan
formal dalam himpunan (dan akan cukup menggelikan bila dipaksakan), karena
pertimbangan sesungguhnya adalah kematangan akhlak dan pemahaman serta
integritas nilai keagamaan dari yang bersangkutan. Dan ini berlaku untuk
SELURUH badan kerohanian.
Sehingga, untuk memenuhi tujuan peningkatan ketaqwaan & moralitas
mhs(berdasarkan ajaran agamanya masing-masing), HMJ layak untuk
memberikan perkecualian pada masalah keanggotaan. Tidak ada pilih kasih dalam
pemenuhan tujuan ini.
Dalam konteks pembelajaran para boikoter ini, saya tidak memaksudkan
boikoter akan jadi pecundang dalam pembelajaran skill non akademis. Saya tahu
satu mahasiswa yang termasuk paling pinter di angkatannya, yang ngga lulus
pengaderan karena sakit. Bagusnya, dia berinisiatif tuk beraktifitas di tempat lain,
awalnya jadi panitia Kongres ITS trus berkiprah secara produktif di UKM WE&T.
Tapi sayangnya ngga semua mahasiswa kita kayak gitu. Gimana kalo kita
akhirnya punya banyak mahasiswa puuinter yang nggak terberdayakan/terupgrade. Sehingga tidaklah cukup hanya sekedar tidak-memangkas-kesempatanberkembang para non anggota HMJ, namun adalah kewajiban HMJ juga untuk
memberdayakan /menunjukkan jalan untuk itu kepada para non anggota.
Bagi saya, boikoter yang sesungguhnya adalah mereka-mereka yang sudah
menutup cara pandang dan hati mereka dengan mati-matian terhadap berbagai
proses pembelajaran dan pendewasaan, setelah mereka diajak dan ditunjukkan
jalan yang benar. Mereka bukannya belum tahu, mereka tahu namun mereka
bersombong diri dengan kebodohannya (sedikit meniru definisi kafir dalam Islam
). Makhluk-makhluk seperti inilah yang bikin masalah. Dan adalah tugas HMJ
untuk mengeliminir model-model spesies seperti ini.

49

Lantas?
Menurut saya, begini seharusnya;
a) Non anggota HMJ boleh ikut kegiatan HMJ (termasuk Kegiatan Pasca
Pengaderan/Pelatihan), namun tidak sebagai ketua atau posisi pengambil
keputusan.
b) Non anggota HMJ tidak bisa ikut pengaderan formal HMJ seperti LKMM TD,
Pelatihan Pemandu LKMM TD atau AMT. Dan juga pelatihan formal fakultas
dan institut.
c) Non anggota HMJ tentu saja bisa ikut kegiatan umum HMJ seperti tutorial,
bhakti sosial atau olahraga
d) Non anggota HMJ diperkenankan mengadakan kegiatan mandiri atas nama
himpunan, dengan pendampingan dari pihak HMJ
Sementara itu, anggota HMJ mendapatkan kelebihan sebagai berikut;
a) Bisa ikut pengaderan LKMM TD, PP LKMM TD, LKMM Tingkat Menengah, PP
LKMM TM, LKMM Tingkat Lanjut
b) Terkait dengan point no 1, berarti memiliki komunitas pembelajaran formal
c) Bisa menjadi pengurus inti himpunan, fakultas dan institut
d) Mendapatkan prioritas dalam pengusulan kegiatan termasuk pengaturannya
e) Mendapatkan prioritas dalam hal advokasi atau pelayanan kesejahteraan
f) Mendapatkan hak & kewenangan untuk menentukan kerangka dan arah gerak
himpunan
g) Mendapatkan hak & kewenangan untuk menjadi wakil HMJ di luar (sebagai
senator atau humas)
Sehingga secara singkat, bisa disimpulkan sebagai berikut;
a) Ide dasar pengaderan HMJ adalah menumbuhkan & meningkatkan kualitas
keahlian akademis & non akademis mahasiswa jurusan kita. Pengaruhnya
adalah kesiapan lulusan dan reputasi jurusan kita di mata khalayak.
b) Pemisahan yang membabi buta antara anggota dan bukan tidak dimaksudkan
untuk memangkas habis kesempatan mahasiswa non anggota untuk berdaya
dan berkembang.
c) Pembedaan yang diberlakukan adalah dalam hal nilai lebih. Artinya, hal dasar
yang bisa didapat relatif sama.
akhirnya, jika Anda masih ngelihat HMJ tidak berfungsi sebagaimana mestinya,
bukan tujuannya, bukan lembaganya yang harus dipertanyakan, dipersalahkan
atau bahkan dihapuskan, biasanya masalahnya pada orang-orangnya kan?
Apakah Anda bagian dari solusi? Atau bagian dari masalah?
Wallahu alam bish showab
Saya sendiri juga ngaca
Best Wishes
Ex-Centurion HMTC 99-00

[=] Akhmad Guntar Susatyo Ady [=]

50

TENTANG PENULIS

Akhmad Guntar Susatyo Ady


Mahasiswa Teknik Informatika ITS, dilahirkan di
Malang pada 26 November 1978. Nama
panggilannya adalah Guntar. Guntar adalah nama
pemberian ayahnya yang merupakan singkatan
dari: Berguna bagi Tanah Air.
Selama di ITS, pernah mengemban amanah
sebagai ketua departemen PSDM Workshop of
Entrepreneurship & Techonolgy pada tahun 1998,
dan kemudian terpilih menjadi ketua setahun
kemudian. Dia juga aktif di jurusannya dan
terpilih menjadi ketua himpunan pada 1999. Pada
tahun 2000, dia dipercaya untuk mengemban
amanah di BEM ITS sebagai Sekretaris Jenderal.
Namun jabatan belumlah dapat mendefinisikan prestasi seseorang,
begitu katanya. Prestasi terbesar yang saya raih dari memegang amanah itu
adalah dalam menemukan banyak sekali kelemahan dan keterbatasan saya.
Saya pun banyak belajar dari kesalahan dan kebesaran orang lain. Menyadari
kelemahannya, dia kemudian secara konsisten mencoba untuk menjadi
seorang
manusia
pembelajar,
dengan
Guntarion
sebagai
nama
pembelajarannya.
Dia suka menyebut dirinya Prajurit Peradaban, berkaitan dengan visi
hidupnya, Hidup untuk ibadah dan bangun fondasi peradaban. Dalam upaya
untuk mewujudkan visi dan melatih integritas dirinya, sampai saat ini dia masih
tergabung di dalam Lembaga Manajemen Terapan TRUSTCO Surabaya sebagai
seorang trainer.

akhmad_guntar@fastmail.fm

DAFTAR PUSTAKA
Abu Ridho, Berhenti Sejenak-Recik-recik Spiritualitas Islam, PT Syamil Cipta
Media, 2002.
Andrias Harefa, Manusia Pembelajar, Kompas, 2000.
B.S. Wibowo dkk, SHOOT Sharpening Our Concept and Tools
LMT TRUSTCO, PT Syamil Cipta Media, 2002.
Dr. Akrim Ridha, Menjadi Pribadi Sukses, PT Syamil Cipta Media, 2002.
Sayyid Quthb, Tafsir Fi-Zhilalil Quran, Robbani Press, 2000.

51

Anda mungkin juga menyukai