Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
BAB II
PTERIGIUM
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Menurut Hamurwono, pterigium merupakan konjungtiva
bulbi patologik yang menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga
yang tumbuh menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea. Pterigium
berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap.1
Konjungtiva
forniks
yang
merupakan
tempat
peralihan
Konjungtiva
pterigium,
konjungtiva
yang
konjungtiva bulbi.1,4,5
2
mengalami
fibrovaskular
adalah
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel
silinder bertingkat, superficial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi
kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa.4,5
Sel-sel epitel superficial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval
yang mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan
diperlukan untuk dispersi lapisan air mata secara merata diseluruh prekornea.
Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat daripada sel-sel superficial dan di
dekat limbus dapat mengandung pigmen.1,4,5
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial)
dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan
limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel
tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai
setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa
konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan
mengapa kemudian menjadi folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan
penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan
gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun
longgar pada bola mata.1,4,5
Secara garis besar, kelenjar pada konjungtiva dibagi menjadi dua yaitu:
1. Penghasil musin
a. Sel goblet terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada
daerah inferonasal.
b. Crypts of Henle terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva
tarsalis superior dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva
tarsalis inferior.
c. Kelenjar Manz mengelilingi daerah limbus.
2. Kelenjar asesoris lakrimalis.
Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar krause dan kelenjar wolfring.
Kedua kelenjar ini terletak dalam di bawah substansi propria. Kelenjar air
mata asesori (kelenjar krause dan kolfring), yang struktur dan fungsinya
4
Anatomi kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. 2
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
a. Epitel
-
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini
terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke
depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel
basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui
desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat
pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.
c. Stroma
-
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang
di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali
serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai
15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan
fibroblas terletak di antara seratkolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan
embrio atau sesudah trauma.2
d. Membrane descement
-
endotel
melekat pada
membrane
descement
melalui
B. Faktor Resiko
Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni
radiasi UV matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara, dan faktor
herediter. 3,7
a.
Radiasi Ultraviolet
Paparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata
dan topi mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet
diabsorbsi kornea dan konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan
proliferasi sel.3,7
b. Faktor Genetik
Berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan
pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan. 3,7
c. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan
7
terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis
dari pterigium. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan
partikel tertentu, dry eyes, dan virus papiloma juga diduga sebagai penyebab
dari pterigium.3,7
C. Etiologi
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun, karena lebih sering
terjadi pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang
paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor
lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering,
inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan
lokal dari kornea dan konjungtiva pada fisura interpalpebralis disebabkan oleh
karena kelainan tear film bisa menimbulkan pertumbuhan fibroblastik baru
merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim
kering mendukung teori ini.6,7
D. Patofisiologi
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada limbal
basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta overproduksi
dan menimbulkan kolagenase meningkat, sel-sel bermigrasi dan angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibroveskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoic dan proliferasi
jaringan granulasi vaskular di bawah epitelium yang akhirnya menembus kornea
terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular,
sering dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang
terjadi displasia.7,8
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal ada pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi
kronis, kerusakan membran basement, dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda
ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan
histopatologi
dengan
menggunakan
mikroskop
elektron
E. Diagnosis Pterigium
1. Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data
administrasi dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk
mengetahui faktor resiko pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok
usia 20-30 tahun dan jenis kelamin laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat
perlu ditanyakan untuk mengetahui kecenderungan pasien terpapar sinar
matahari.3
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan
berupa mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan
astigmatisma yang memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus
berat dapat menimbulkan diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan adanya
sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau
alasan kosmetik. Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang
mengganjal.1,3
2.
Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul
sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea
pada daerah fisura interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian
epitel kornea anterior dari kepala pterigium (stokers line). Kira-kira 90%
pterigium terletak di daerah nasal. Perluasan pterigium dapat sampai medial
10
11
Pembeda
Definisi
Pterigium
Jaringan
Pinguekula
Pseudopterigium
Benjolan pada Perlengketan
fibrovaskular
konjungtiva
konjungtiba
konjungtiva
bulbi
bulbi berbentuk
cacat
Warna
segitiga
Putih
Letak
kekuningan
keabu-abuan
Celah kelopak Celah kelopak Pada
bagian
atau
bulbi
Putih-kuning
Putih kekuningan
daerah
yang
terdekat
dengan
yang meluas ke
proses
kornea
arah kornea
sebelumnya
12
6:
Progresif
Reaksi
>
Sedang
Tidak ada
=
Tidak
Tidak ada
=
Tidak
Ada
Lebih menonjol
Menonjol
Normal
kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya
Pembuluh
darah
konjungtiva
Sonde
Tidak
dapat Tidak
diselipkan
diselipkan
Puncak
Ada
pulau
Histopatologi
(bercak kelabu)
Epitel ireguler Degenerasi
limbus
Tidak ada (tidak ada
head, cap, body)
Perlengketan
dalam submukosa
stromanya
konjungtiva
Tabel 1. Diagnosis banding pterigium (dikutip dari Vaughan, Daniel G.,
Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum. Edisi 14.Jakarta:
Widya Medika,2000,hal 5-6.111, Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata
edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto)
F. Penatalaksanaan Pterigium
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian
obat-obatan jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah
dilakukan pada pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga
dipertimbangkan pada pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami
gangguan penglihatan. Pengobatan tidak diperlukan karena bersifat rekuren,
terutama pada pasien yang masih muda. Bila pterigium meradang dapat
13
diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan. Lindungi mata yang
terkena pterigium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan
kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan bila
perlu dapat diberikan steroid . Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air
mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi vasokonstriktor maka perlu
control dalam 2 minggu dan bila telah terdapat perbaikan pengobatan
dihentikan.1
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap
termasuk gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan
yang progresif menuju tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan
pergerakan bola mata. Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan
normal yaitu gambaran permukaan bola mata yang licin. Teknik bedah yang
sering digunakan untuk mengangkat pterigium adalah dengan menggunakan
pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium ke arah limbus. Walaupun
memisahkan pterigium dengan bare sclera ke arah bawah pada limbus lebih
disukai, namun tidak perlu memisahkan jaringan tenon secara berlebihan di
daerah medial, karena kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena
trauma tidak disengaja di daerah jaringan otot. Setelah dieksisi, kauter sering
digunakan untuk mengontrol perdarahan.6,8
Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik
simple surgical removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat
menurunkan tingkat rekurensi hingga 5% adalah conjunctival autograft
(Gambar 4). Dimana pterigium yang dibuang digantikan dengan konjungtiva
normal yang belum terpapar sinar UV (misalnya konjungtiva yang secara
normal berada di belakang kelopak mata atas). Konjungtiva normal ini
biasaya akan sembuh normal dan tidak memiliki kecenderungan unuk
menyebabkan pterigium rekuren.12
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian
konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva
yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka
14
1.
2.
Meskipun
keuntungkan
dari
penggunaan
bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini,
namun ada komplikasi dari terapi tersebut.1
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena
kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan
iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum
ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative
MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat
tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang
menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi
toksisitas.1
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan,
karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium,
meskipun tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia.
Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis
dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk
tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.1
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan
dengan pemberian:
1.
2.
3.
Sinar Beta.
4.
6minggu,
diberikan
bersamaan
dengan
17
salep
antibiotik
G. Komplikasi
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut)
pada konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar
pada rektus medial dapat menyebabkan diplopia.11,12
Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:
18
H. Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa
tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan
pasien setelah 24 jam postop dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan
rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan autograft
atau transplantasi membran amnion.11
DAFTAR PUSTAKA
1. Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. Jakarta: FK UI. 2007.
19
20