Anda di halaman 1dari 2

Tugas Mata Kuliah Pemikiran Politik Islam

An Nisa Tri Astuti


1306459423
Referensi : Antony Black, 2006, Sejarah Pemikiran Politik Islam : Dari Masa Nabi Hingga
Masa Kini, Jakarta : Serambi, Bab 7, 9, 10
Agnostisisme Filosofis Al Asyari
Pemerintahan Islam mengalami fase baru setelah dilakukannya penaklukan oleh Bani
Saljuk. Hal ini memunculkan suatu pola baru dalam politik keagamaan, di mana akhirnya
sistemperadilan islam diatur oleh para ulama yang berperan sebagai hakim. Disini terjadi
peralihan penting dari skeptisisme terhadap kekuasaan negara menjadi afiliasi dan keterlibatan
dalam kekuasaan. Dalam fase ini terdapat strategi politik keagamaan yang memiliki cakupan
luas yang terinternalisasi dalam sistem hukum dan peraturan yang dijalankan oleh rezim-rezim
penguasa. Dalam hal ini, Sunni mengembangkan strategi pemisahan yang radikal antara
otoritas agama dan otoritas politik. Otoritas agama mendominasi konstruksi dari struktur sosial,
dan didominasi oleh para ulama. Sedangkan pada otoritas politik didukung oleh kekuatan
militer.
Pemisahan antara institusi agama dan institusi politik dipengaruhi secara signifikan oleh
latar belakang pemikiran Hanbali sebagai titik baru, yang memiliki kecenderungan untuk anti
elitis dan populis. Pemisahan institusi agama dan politik merupakan salah satu titik
perkembangan intelektual yang mewarnai pemikiran Al Asyari, sebagai tampuk utama
agnotisisme filosofis yang termanifestasi dalam penolakan Asyari pada spekulasi rasional.
Pandangan agnotisisme filosofis asyari menyangkal kemampuan akal manusia untuk
menerjemahkan wahyu. Secara literal, hukumlah yang medefinisikan batas-batas intelektual,
bukan sebaliknya. Tidak diperlukan koherensi intelektual, di mana Yang Maha Kuasa adalah
penyebab utama atas segalanya, kecuali kejahatan. Hal tersebut secara signifikan berdampak
pada pendekatan moral dari paham asyari, dimana benar dan salah ditentukan oleh tuhan secara
literal melalui teks-teks suci dan hal tersebut tertutup dari diskursus-diskursus rasional.
Pemikiran Al Ghazali Titik Balik Pembaharuan Sunni
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali berpartisipasi dalam kehidupan politik-keagamaan
pada tahun tahun terakhir pemerintah nizam dan kemudian menjadi sosok sentral. Al Ghazali
banyak dikenal melalui Ihya Ulum Al-Din, di mana dia menolak Ilmu pengetahuan dan hukum,
serta berusaha menghidupkan kembali keduanya melalui karyanya tersebut.
Dalam tulisannya Tahafut al Falasifah, Al Ghazali berpendapat bahwa akal semata tak
dapat membangun premis-premisnya sendiri, sehingga akal berada dalam pengetahuan intuitif
atau gnosis. Filsafat dan segala produk pemikiran rasional manusia berkedudukan lebih rendah
dari wahyu. Berdasarkan gagasannya tersebut, Al Ghazali berpendapat bahwa fikih dan kalam
tidak mampu mengilhami agama yang sebenar-benarnya.
Melalui Ihya Ulum Al-Din, Al Ghazali menngeritik kedekatan para ulama di masa itu
dengan otoritas politik, di mana Al Ghazali lebih memikirkan bagaimana menjalankan syariat
dengan benar, bukannya menggalang kekuatan politik Sunni yang sedang bangkit. Sikap politik
tersebut didasari oleh pemikirannya mengenai jalan sufi dan pengetahuan yaitu marifah atau
pengetahuan ekstatis intuitif. Salah satu mistisisme dalam Islam yang menjadikan kesadaran
jiwa menjadi penerang dan penyatu antara jiwa manusia dan Tuhan yang bagaimanapun
menurut Al Ghazali bukanlah objek pengetahuan.

Hierarki Pengetahuan dalam Pandangan Al Ghazali


Al-Ghazali memandang pengetahuan manusia itu sesuai dengan pengetahuan mereka,
sehingga al Ghazali mengkategorikan pengetahuan dengan tiga hirarki pengetahuan. Pertama,
Pengetahuan batin yang diperoleh melalui pengalaman pribadi, dan hanya dapat diperoleh
melalui pengalaman pribadi, dan hanya dapat diperoleh melalui pengalaman pribadi, dan hanya
dapat diperoleh oleh sedikit orang yang mendapatkannya untuk menembus kecerdasan dan
pemahaman yang kuat. Ilmu ilmu yang diperoleh dengan pengalaman dengan berjalannya
keadaan keadaan. Sesungguhnya orang dididik oleh percobaan percobaan dan dididik oleh
aliran aliran maka biasanya ia disebut sebagai orang yang berakal. Kedua, pengetahuan
diskursif , yaitu pengetahuan yang dikuasai oleh para filsuf, fukaha dan teolog. Ketiga,
pengetahuan rakyat kebanyakan (khalayak umum), yang terserap oleh kesibukan dan pekerjaan
sehari hari, mereka hanya dapat menguasai iman atau dengan taqlid. Pandangan mengenai
hierarki pengetahuan inilah yang menjadi landasan pemikiran Al Ghazali mengenai
kesalingtergantungan antara agama dan pemerintahan, di mana tak ada keteraturan dunia
spiritual jika tak ada keteraturan dunia material.
Al Ghazali mengakhiri pemikirannya dengan adanya pembagian kerja dalam sebuah
komunitas/masyarakat. Diskursusnya mengenai setiap lembar roti dibuat oleh 7000 pekerja
adalah salah satu tesis yangterkenal dari Al Ghazali mengenai pembagian kerja di masyarakat.
Gagasan ini merupakan perkembangan signifikan dari pandangan ekonomi politik Iran, yang
menjadi salah satu gagasan yang menginspirasi pemikiran Ibnu Khaldun.
Klasifikasi peran masyarakat dalam pembagian kerja ini tidak hanya didasarkan pada
peranan alamiah manusia, namun juga berdasarkan sifat bawaan manusia dan kecakapan
relijiusnya, yang menunjukkan pentingnya struktur pemerintahan dan hukum pada masyarakat.
Pembaharuan Al Ghazali
Pada masanya, Al Ghazali tidak hanya dipandang sebagai mujadid atau pembaru, namun
juga sebagai pemulih iman yang agung. Dia mengelaborasikan kemurnian spiritual dan
keterkaitannya dengan keteraturan politik sampai ke tingkatan tertinggi. Dalam sejarah
pemikiran Islam, Al Ghazali memiliki tempat yang sangat penting karena dialah salah satu titik
balik dalam pemikiran intelektual dan spiritual bagi kaum Sunni. Al Ghazali mengembalikan
lagi rasionalitas dan penggunaan kalam melalui filsafat yang pada akhirnya sangat menstimulasi
perkembangan intelektual dengan pandangan-pandangannya yang sangat post-modernis di
kalangan kaum Sunni.
Etika Kekuasaan : Nashihah Al Mulk.
Genre pemikiran ini merupakan salah satu genre pemikiran yang berkembang pesat
dalam periodisasinya, karena genre ini menjadi wahana penyebaran doktrin keagamaan yang
penting untuk mengintervensi suatu sistem kekuasaan. Genre ini cenderung lebih pragmatis
dengan mengajarkan kecakapan sosial, manajemen personalia, komunikasi interpersonal, serta
studi moral dan etika. Genre ini kental dengan filsafat Yunani dan Iran serta materi-materi
keislaman di dalamnya.
Gagasan etika yang ideal sayangnya tidak dikembangkan lebih jauh atau diulas secara
rinci, karena nasihat itu tidak dimasukkan dimasukkan dalam teori0teori mengenai raja sebagai
Hak ilahi. Sama halnya dengan beberapa pemikiran Eropa yang sarat dengan prinsip-prinsip
teokratis; yang seiring dengan berkembangnya waktu semakin dikembangkan menjadi suatu
praksis yang lebih komprehensif.

Anda mungkin juga menyukai