Anda di halaman 1dari 18

Modul

OSTEOPOROSIS

Susantina
LABORATORIUM GERIATRI
FKUP RS HASAN SADIKIN
BANDUNG
2013

1.

Definisi
1

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai dengan penurunan massa
tulang dan perburukan mikroarsitektur jaringan tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah
patah1,2. Osteporosis dapat didefinisikan dengan adanya kerapuhan tulang atau dengan
pengukuran massa tulang dengan BMD (Bone mass densitometry).
World Health organization (WHO) pada tahun 1992 telah menggolongkan tulang menurut
kepadatannya berupa tulang normal, Osteopenia, osteoporosis dan establish osteoporosis.3
Pembagian kategori ini berdasarkan kepadatan tulang dan timbulnya komplikasi fraktur.
Osteopenia didapat bila T score antara -1 sampai

-2.5 standar deviasi dibandingkan orang

muda normal. Osteoporosis dikatakan bila dibawah angka -2.5 SD, dan establish osteoporosis
bila didapatkan komplikasi fraktur spontan/dengan trauma ringan.1,3

Gambar 1. Tulang normal dibandingkan dengan massa tulang rendah

2.

Epidemiologi
Di Amerika Serikat, lebih dari 250.000 wanita mengalami kejadian patah tulang pinggul

dan 500.000 patah tulang belakang per tahun. Pada laki-laki terjadi 250.000 kasus per tahun
patah tulang dengan 75.000 diantaranya patah tulang pinggul. 1
Wanita yang mengalami osteoporosis yang tidak diterapi, 50% akan mengalami fraktur di
kemudian hari. Perkiraaan pengeluaran akibat patah tulang panggul terkait osteoporosis di
Amerika Serikat sekitar 18 juta dolar pada tahun 2002. Biaya untuk pengobatan rawat jalan pada
penderita osteoporotik meningkat dari 1.3 juta dolar menjadi 6.3 juta dolar dalam kurun waktu
2

10 tahun terakhir. Biaya untuk pengobatan fraktur panggul pada tahun 2050 diperkirakan
mencapai 131,5 milyar dolar pertahunnya.4
Di Indonesia, pada survei kependudukan tahun 1990, jumlah penduduk yang berusia 55
tahun atau lebih mencapai 9,2% meningkat 50% dibandingkan survey tahun 1971. Dengan
demikian kasus osteoporosis dengan berbagai akibatnya juga akan meningkat. Penelitian
Roeshadi di Jawa Timur bahwa puncak massa tulang dicapai pada usia 3-34 tahun dan rata-rata
kehilangan massa tulang pasca menopause adalah 1,4% per tahun. Prevalensi penderita
osteoporosis umur kurang dari 70 tahun wanita sebesar 18-36%, sedangkan pria sebesar 20-27%.
Usia diatas 70 tahun wanita sebesar 53.6 tahun dan pria sebesar 38%. Depkes menyatakan satu
dari tiga wanita Indonesia yang berusia diatas 50 tahun menderita osteoporosis dan 1 dari 5 pria
usia diatas 50 tahun menderita osteoporosis. Sedangkan angka kejadian patah tulang terkait
osteoporosis Indonesia belum diketahui.2,5

3.

Patofisiologi
Kepadatan tulang merupakan hasil dari kombinasi antara faktor genetik dan faktor

lingkungan yang mengenai baik puncak bone mass dan kecepatan dari bone loss. Faktor-faktor
tersebut diantaranya adalah obat-obatan, diet, ras, jenis kelamin, gaya hidup dan aktifitas fisik.
Osteoporosis dibagi dalam 2 kelompok yaitu osteoporosis primer (involusional) dan osteoporosis
sekunder. Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya sedangkan
osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui penyebabnya. 2
Osteoporosis primer dibagi menjadi tipe 1 dan tipe 2, sedangkan osteoporosis sekunder
disebut juga sebagai tipe 3. Osteoporosis tipe I disebut juga osteoporosis pasca menopause,
disebabkan oleh defisiensi estrogen akibat menopause. Osteoporosis tipe II disebut juga
osteoporosis senilis disebabkan oleh gangguan kalsium di usus sehingga menyebabkan
hiperparatroidisme sekunder.2

Umur (tahun)
Perempuan : laki-laki
Tipe kerusakan tulang
Bone turnover
Lokasi fraktur terbanyak
Fungsi paratiroid

Tipe I
50-75
6:1
Terutama trabekuler
Tinggi
Vertebra, radius distal
Menurun

Tipe II
> 70
2:1
Trabekular dan kortikal
Rendah
Vertebra, kolum femoris
Meningkat

Efek estrogen
Etiologi utama

Terutama skeletal
Defisiensi estrogen

Terutama ekstraskeletal
Penuaan, defisiensi estrogen

Tabel 1. Karakteristik Osteoporosis tipe I dan II 2

3.1

Patogenesis Osteoporosis Tipe 1


Osteoporosis tipe 1, atau postmenopausal osteoporosis diduga timbul sebagai akibat dari

defisiensi gonadal (misalnya estrogen, testosteron). Defisiensi estrogen dan testosterone tanpa
melihat umur pada saat timbulnya, menyebabkan akselerasi dari bone loss. Mekanisme pasti dari
timbulnya bone loss tersebut banyak, namun pada akhirnya adalah peningkatan dari rekrutmen
dan responsivitas dari prekursor osteoklas dan peningkatan dari resorpsi tulang dimana
kecepatan dari formasi tulang timbul.
Setelah menopause, maka resorpsi tulang akan meningkat, terutama pada dekade awal
setelah menopause. Penurunan densitas tulang terutama pada tulang trabekuler , karena memiliki
permukaan yang luas dan hal ini dapat dicegah dengan terapi sulih estrogen. Petanda resorpsi
dan formasi tulang meningkat, hal ini menunjukkan adanya peningkatan bone turnover. Estrogen
juga berperan menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marrow stromal cells dan sel-sel
monomuklear seperti IL-1, IL-6 dan TNF- yang berperan meningkatkan kerja osteoklas.
Dengan demikian penurunan kadar estrogen akibat menopause akan meningkatkan produksi
berbagai sitokin tersebut sehingga aktivitas osteoklas meningkat.2
Menopause juga menurunkan absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi
kalsium di ginjal. Selain itu juga menurunkan sintesis berbagai protein yang membawa 1,25
(OH)2D sehingga pembentukan estrogen akan meningkatkan konsentrasi 1,25(OH)2D di dalam
plasma. Tetapi pemberian estrogen transdermal tidak akan meningkatkan sintesa protein tersebut,
karena estrogen transdermal tidak diangkut melewati hati. Walaupun demikian estrogen
transdermal tetap dapat meningkatkan absorpsi kalsium di usus secara langsung tanpa
dipengaruhi vitamin D.2

Gambar 2. Patogenesis osteoporosis pasca menopause2

3.2

Patogenesa Osteoporosis Tipe II


Pada wanita akan kehilangan tulang spinal sebesar 42% dan tulang femur sebesar 58%.

Pada dekade delapan dan sembilan terjadi ketidakseimbangan remodeling tulang dimana resorpsi
tulang meningkat sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menurun. Hal ini akan
menyebabkan kehilangan massa tulang, perubahan mikroarsitektur tulang dan meningkatkan
risiko fraktur. Peningkatan osteokalsin seringkali didapatkan pada orang tua, tetapi hal ini lebih
menunjukkan peningkatan turnover tulang dan bukan peningkatan formasi tulang. Sampai saat
ini belum diketahui secara pasti penyebab penurunan fungsi osteoblas pada orang tua, diduga
karena penurunan kadar estrogen dan IGF-1.
Defisiensi kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan pada orang tua. Hal ini
disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorpsi dan paparan
sianr matahari yang rendah. Akibat defisiensi kalsium, akan timbul hiperparatiroidisme sekunder
yang persisten sehingga akan semakin meningkatkan resorpsi tulang dan kehilangan massa
tulang, terutama pada orang-orang yang tinggal di 4 musim.2

Gambar 4. Patogenesis Osteoporosis Tipe II dan fraktur2

4.

Faktor risiko
Osteporosis mempunyai faktor risiko yang bisa dimodifikasi dan yang tidak bisa

dimodifikasi. Beberapa faktor risikonya yaitu:1,6


A.

Yang bisa dimodifikasi :


merokok
usia lanjut , setiap peningkatan 1 dekade, resiko meningkat 1,4-1,8 kali
berat badan <127 lb (<58kg)
defisiensi estrogen
menopause dini (usia <45 tahun)
adanya periode premenopause yang berkepanjangan (amenorhoe >1 tahun)
minum alkohol
adanya penglihatan yang terganggu
riwayat jatuh berulang kali
imobilisasi
menggunakan obat sedatif
defisiensi vitamin D dan kalsium
kurang terpapar sinar matahari
kesehatan yang kurang baik/frailty

B.

Yang tidak dapat dimodifikasi :


Riwayat terjatuh sebelumnya
Adanya riwayat fraktur patologis pada keluarga (ayah, ibu)
6

Usia lanjut
Jenis kelamin wanita
Ras kulit putih atau asia
Dementia
kesehatan yang kurang baik/frailty
riwayat penggunaan obat kortikosteroid dan obat antikejang, heparin, l-tyroxin.

5.

Diagnosa
Untuk menegakkan diagnosis, kita perlu melakukan penilaian klinis. Penilaian klinis

berguna untuk mengetahui adanya faktor resiko dari seseorang mengalami osteoporosis. Tidak
ada anamnesis dan pemeriksaan fisik yang patognomonis untuk osteoprosis, seringkali pasien
ditemukan tanpa gejala dan osteoprosis ditemukan setelah penderita mengalami patah tulang. 1,2,6
5.1 Anamnesis
Keluhan utama dapat langsung mengarah ke diagnosis, misalnya fraktur kolum femoris
pada osteoporosis, bowing leg pada riket, atau kesemutan dan rasa kebal di sekitar mulut dan
ujung jari pada hipokalsemia. Fraktur pada lengan dan panggul lebih mudah dideteksi sedangkan
fraktur pada vertebra lebih sulit didiagnosis. Hanya sekitar 30% kasus pada fraktur vertebra yang
berobat dikarenakan nyeri pada punggung, nyeri biasanya menjalar ke anterior jarang menyebar
ke kaki atau paha. dari anamnesis kita perlu tanyakan hal-hal yang menjadi faktor risiko dari
osteoporosis seperti riwayat trauma, imobilisasi lama, penurunan tinggi pada orang tua,
kurangnya paparan sinar matahari, asupan kalsium, phospor dan vit D, latihan teratur dan bersifat
weight-bearing.
Kita perlu juga menanyakan riwayat minum obat-obatan : kortikosteroid, hormon tiroid,
anti konvulsan, heparin, antasida yang mengandung alumunium, sodium-florida dan bifosfonat
etidronat, alkohol, merokok. Penyakit yang berhubungan dengan osteoporosis : penyakit ginjal,
saluran cerna, hati, endokrin dan insuffisiensi pankreas, riwayat haid, menarche, menopause,
dan penggunaan kontrasepsi. Riwayat keluarga dengan osteoporosis juga harus diperhatikan
karena ada beberapa penyakit tulang metabolik yang bersifat herediter.2,6
5.2 Pemeriksaan fisik

Tinggi badan dan berat badan harus diukur pada setiap pasen osteoporosis. Demikian juga
gaya berjalan penderita, deformitas tulang, leg-length inequality, nyeri spinal dan jaringan parut
pada leher (bekas operasi tiroid). 1,2,7.
Hipokalsemia ditandai dengan iritasi muskulo skeletal yang berupa tetani. Biasanya akan
didapatkan aduksi jempol tangan, fleksi sendi MCP dan ekstensi sendi-sendi IP. Pada keadaan
laten akan didapatkan tanda Chovstek dan Trosseau2.
Penderita dengan osteoporosis sering menunjukkan kifosis dorsal atau gibus (Dowagers
hump) dan penurunan tinggi badan. Selain itu juga didapatkan protuberantia abdomen, spasme
otot paravertebral dan kulit yang tipis (tanda McConkey).

6.

Pemeriksaan penunjang
6.1 Pemeriksaan Biokimia Tulang
Pemeriksaan ini untuk menentukan kecepatan bone turn over. Penilaian dilakukan denghan
membandingkan aktivitas formasi tulang dengan aktivitas resorpsi tulang. Apabila aktivitas
pembentukan/formasi tulang lebih kecil dari aktivitas resorpsi tulang maka pasien ini memiliki
resiko tinggi terhadap osteoporosis. Pemeriksaan biokimia tulang terdiri dari kalsium total dalam
serum, ion kalsium, kadar fosfor dalam serum, kalsium urin, fosfat urin, osteokalsin serum,
piridinolin urin dan bila perlu hormon paratiroid dan vitamin D.
Pada orang dewasa dengan asupan kalsium 600-800 mg/hari, akan mengekskresikan
kalsium 100-250

mg/24 jam. Bila ekskresi kurang dari 100 mg/24 jam harus dipikirkan

kemungkinan adanya malabsorpsi atau hiperparatiroidisme akibat retensi kalsium oleh ginjal.
Evaluasi biokimia ini dilakukan melalui pemeriksaan darah dan urine pagi hari.
Penanda untuk menentukan aktivitas pembentukan tulang
o Osteocalcin yaitu protein yang dihasilkan oleh Osteoblas yang berfungsi membantu proses
mineralisasi tulang
o Alkali fosfatase tulang yaitu enzim yang dihasilkan Osteoblas yang berfungsi sebagai
katalisator proses mineralisasi tulang
Petanda untuk menilai aktivitas resorpsi tulang
o Deoxtpiridolin/b-crosslink yaitu protein penguat mekanik tulang yang dilepaskan kedalam
peredaran darah dan dikeluarkan melalui urine jika terjadi proses resorpsi atau penyerapan
tulang
8

o CTx (C-Telopeptide) yaitu hasil pemecahan protein kolagen 1 yang spesifik untuk tulang.
Selain itu peeriksaaan kadar ctx dan deoxypiridin dapat digunakan untuk menilai atau
memantau keberhasilan terapi (sebelum pemeriksaan densitas tulang berikutnya)
6.2

Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan radiologi konvensional, pemeriksaan ini tidak akurat untuk mendiagnosa suatu low
BMD. Kehilangan massa tulang harus sudah mencapai 30-40% baru terlihat suatu kelainan dari
X-ray. Penilaian dari bentuk trabekular dari femoral neck (kriteria singh) menunjukkan hubungan
dengan oseteoporosis Seringkali penurunan densitas massa tulang spinal lebih dari 50% belum
memberikan gambaran radiologic yang spesifik. Gambaran radiologis yang khas pada
osteoporosis adalah penipisan korteks dan daerah trabekuler yang lebih lusen. Hal ini
memberikan gambaran picture frame vertebrae.
Terdapat 6 kriteria dalam menentukan osteoporosis vertebra :
1. Peningkatan daya tembus sinar pada korpus vertebra atau penurunan densitas tulang
2. Hilangnya trabekula horizontal disertai semakin jelasnya trabekula vertical.
Kriteria Bone Atrophy Class (1990) membagi tingkat perubahan trabekula menjadi 4
tingkatan yaitu :
- Klas 0
Normal
- Klas I
Trabekula longitudinal lebih jelas
- Klas II
Trabekula longitudinal menjadi kasar
- Klas III
Trabekula longitudinal menjadi tidak jelas
3. Pengurangan ketebalan korteks bagian anterior korpus vertebra
4. Perubahan end plate baik secara relatrif ataupun absolut
5. Abnormalitas bentuk korpus vertebrae bentuk baji, bikonkaf, fraktur kompresi.
6. Fraktur spontan atau setelah trauma ringan pada foto vertebrae.
6.3

Pemeriksaan Densitas Massa Tulang (Densitometri)


Pemeriksaan densitometry merupakan pemeriksaan gold standard untuk dignostik

osteoporosis. DEXA (dual-energy X-ray absorptiometry) mengukur densitas tulang dengan


mendeteksi luas tulang yang mengabsorbsi photon yang dibangkitkan oleh level X-ray yang
sangat rendah. Pengukuran dari densitas mineral tulang umumnya diberikan sebagai jumlah

konsentrasi dari kalsium dalam area yang discanning. Densitas tulang biasanya diukur pada
daerah pinggul dibandingkan dengan daerah ditulang belakang atau tulang pergelangan tangan.
Standar WHO untuk mengetahui densitas tulang dengan pemeriksaan densitometry adalah
sebagai berikut :
Kategori diagnostik
- Normal

T-Score
> -1

- Osteopenia

< -1

- Osteoporosis

< -2,5 (tanpa fraktur)

- Osteoporosis berat

< - 2,5 (dengan fraktur)

Tabel 4. Standar WHO dengan BMD

Indikasi densitometri tulang:


1.

Wanita premenopause dengan risiko tinggi, misalnya hipomenore atau amenore,

2.

menopause akibat pembedahan atau anoreksia nervosa.


Laki-laki dengan 1 atau lebih faktor risiko, misalnya hipogonadisme, pengguna alcohol,

3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

osteoporosis pada radiografi atau fraktur karena trauma ringan.


Imobilisasi lama (lebih dari 1 bulan)
Masukan kalsium yang rendah lebih dari 10 tahun.
Artritis rheumatoid atau ankylosing spondilitis selama lebih dari 5 tahun
Awal pengobatan kortikosteroid atau metotrexate dan setiap 1-2 tahun pengobatan
Menggunakan terapi antikonvulsan dengan dilantin atau fenobarbital selama 5 tahun
Kreatinin klirens < 50 ml/mnt atau penyakit tubular ginjal
Osteomalacia dengan kalsium serum
Hiperparatiroidisme dengan kalsium serum tinggi, fosfor serum rendah dan atau hormone

11.
12.

paratiroid meningkat
Penggunaan terapi pengganti tiroid lebih dari 10 tahun
Evaluasi terapi osteoporosis yaitu estrogen atau progesteron, pengganti testosteron,

13.

kalsitonin, vitamin D dan kalsium, disfosfonat, fluoride serta anabolik steroid


Wanita postmenopause dengan 2 atau lebih faktor risiko. Misalnya dengan riwayat
keluarga osteoporosis, masukan kalsium rendah, fraktur pada orang dewasa dengan trauma
minimal, osteopeni pada radiografi konvensional, kontraindikasi atau intoleran terhadap

14.

terapi estrogen, umur lebih dari 65 tahun, pengguna alkohol.


Insulin dependent diabetes mellitus

6.4 Ultrasonografi
10

Metode lain yang digunakan adalah Ultrasonografi yang karena lebih murah digunakan
terutama untuk skrining massa tulang. Pengukuran dengan Ultrasound biasanya dilakukan pada
tulang jari dan tungkai dan tidak bisa dilakukan untuk pengukuran pada tempat fraktur
osteoporotik seperti pada pinggul atau tulang belakang. Tehnik baru dari ultrasonografi seperti
quantitative ultrasound (QUS) menjanjikan untuk meningkatkan akurasi dalam memprediksi
fraktur jika digunakan bersama dengan DEXA. Namun beberapa yang lain mengatakan bahwa
Penambahan Ultrasound pada pengukuran dengan menggunakan DEXA tidak menambah
prediksi terhadap fraktur.

6.5 Quantitative computed tomography (QCT) scans


Suatu bentuk dari CT scan yang dapat memberikan informasi yang sangat mendetil tentang
densitas tulang belakang. Dosis radiasi dari pemeriksaan ini lebih tinggi dibandingkan dengan
pemeriksaan lain.
6.6

Neutron Activation Analysis

Dapat memperkirakan kandungan total kadar kalsium tubuh dan juga dipakai untuk mangukur
massa tulang lokal. Metoda ini sekarang telah jarang digunakan karena menggunakan biaya yang
tinggi dan bahaya radiasi.

7.

Penatalaksanaan
Tujuan dari terapi kerapuhan tulang adalah mencegah fraktur dan meningkatkan kepadatan

tulang. Kerapuhan tulang dapat diobati dengan menghambat kerja dari osteoklas (anti resoptif)
dan atau meningkatkan kerja osteoblas (stimulator tulang). Dalam penatalaksanaan osteoporosis
kita perlu menentukan faktor risiko, untuk menentukan terapi lebih lanjut atau tidak.

11

Gambar 6. Pendekatan pada pasien osteoporosis1

Pengobatan kerapuhan tulang dapat dibagi menjadi dua hal besar, yaitu pengobatan non
farmakologis dan pengobatan farmakologis.
Kondisi tertentu yang memerlukan intervensi dini.
1. Usia
Salah satu faktor penting dalam resiko fraktur adalah umur pasien karena ternyata umur diatas
60 tahun merupakan resiko fraktur tersendiri yang tidak tergantung BMD. Pada penderita
dengan usia >80 tahun dengan BMD -1.9 memiliki resiko resiko fraktur yang lebih tinggi
dibanding penderita usia 50 tahun dengan T score yang sama.
Langkah-langkah intervensi dini pada usia tua:
A. Suplementasi kalsium and vitamin D
B. Aktivitas fisik
C. Pencegahan jatuh
D. Pelindung panggul
E. Paparan sinar matahari

2.

Wanita menopause

Wanita menopause menunjukkan angka osteoporotik yang bermakna dan resiko fraktur yang
meningkat. ACP guidelines menyarankan untuk pemberian terapi estrogen pada wanita
menopause. Intervensi dini yang dapat dilakukan pada penderita ini dapat berupa :
A. Terapi pengganti hormon
B. suplemen kalsium
12

C.
D.
E.
F.

Berhenti merokok
Pembatasan intake garam
paparan matahari yang cukup
Aktivitas fisik
G. Pembatasan alkohol

3.

Massa tulang rendah

Pada orang dengan massa tulang yang rendah (osteopeni) dengan satu atau dua faktor resiko
patah tulang maka dapat diberikan intervensi dini berupa :
A. Aktivitas fisik
B. Suplemen kalsium
C. Berhenti merokok
D. Paparan sinar matahari yang cukup

4.

Pengguna steroid lama

Pada penderita dengan penggunaan kortikosteroid jangka panjang (>6 minggu) atau dosis tinggi
(prednisone >7,5 mg/hari) maka terapi dapat dimulai meskipun T score -1,0 atau lebih rendah.
5.

Inaktivitas fisik

Immobilitas merupakan penyebab penting dari kehilangan massa tulang, dan sebaliknya,
aktivitas fisik dan latihan beban yang adekuat menunjukkan peningkatan massa tulang yang
bermakna.
6.

Riwayat fraktur patologis

Riwayat patah tulang sebelumnya akan meningkatkan resiko terjadinya patah tulang di masa
depan. Baik pada pria maupun wanita, yang pernah mengalami patah tulang dari lengan atas,
memiliki resiko dua kali lipat untuk kejadian patah tulang tulang paha dan tempat lainnya.
7.

Gaya hidup (merokok, intake alkohol)

Merokok dapat menurunkan massa tulang sebagai akibat dari kejadian menipause yang lebih
dini, penurunan berat badan tubuh, percepatan metabolisme, dan penurunan jumlah estrogen
pada wanita. Intake alkohol yang tinggi dapat menurunkan massa tulang melalui protein dan
kalsium metabolisme, fungsi gonadal dan efek langsung pada kerusakan osteoblast. Walaupun

13

demikian intake alkohol dalam dosis sedang dan rendah tidak menunjukkan hasil yang
bermakna.
8.

Genetik

Lebih dari 50% variasi dari massa tulang dan arsitektur tulang yang mempengaruhi kekuatan
tulang berhubungan dengan genetik. Riwayat patah tulang panggul, atau keropos tulang dalam
keluarga dapat digunakan sebagai faktor resiko patah tulang.

7.1 Terapi Non Farmakologis


Edukasi dan pencegahan :
1.

Menganjurkan penderita untuk melakukan aktivitas fisik yang teratur untuk memelihara

kekuatan, kelenturan dan koordinasi system neuromuscular serta kebugaran, sehingga dapat
mencegah risiko terjatuh. Latihan seperti berjalan 30-60 menit/hari, bersepeda maupun berenang.
2.
Menjaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui makanan maupun suplemen
3.
Menghindari merokok dan minum alcohol
4.
Diagnosa dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testosterone pada laki-laki dan
menopause awal pada wanita
5.
Mengenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat menimbulkan osteoporosis
6.
Menghindari mengangkat barang-barang berat pada penderita yang sudah diketahui
osteoporosis
7.
Menghindari berbagai hal yang menyebabkan penderita jatuh, misalnya lantai licin, oabatobat sedative atau obat hipertensif yang dapat menyebabkan hipotensi ortostatik
8.
Menghindari defisiensi vitamin D
9.
Menghindari peningkatan ekskresi kalsium melalui ginjal dengan membatasi asupan
Natrium sampai 3 gr/hari
10. Pemberian glukokortikoid pada dosis serendah mungkin dan sesingkat mungkin
11. Mengatasi aktivitas penyakit pada penderita Arthritis rheumatoid dan arthritis inflamasi
12. Latihan fisik dan program rehabilitasi
13. Paparan sinar matahari pagi (jam 9-11) minimal 1 jam per hari
7.2 Terapi Farmakologis
Obat yang digunakan dibagi menjadi 2 macam yaitu obat yang menurunkan resorpsi tulang
(antiresorpsi) dan obat yang berperan dalam formasi tulang.
14

7.2.1 Obat antiresorpsi


Obat antiresorpsi meliputi bifosfonat, SERM, ERT, dan HRT
a.
Bifosfonat
Mekanisme : Bifosfonat merupakan senyawa sintetik yang memiliki afinitas tinggi terhadap
kristal yang mengandung kalsium di tulang dan dapat menghambat resorpsi tulang dengan
menghambat penempelan osteoklas pada permukaan tulang, menurunkan massa hidup osteoklas
dan menyebabkan apoptosis osteoklas.
Indikasi : merupakan lini pertama dari terapi osteoporosis bersamaan dengan modifikasi gaya
hidup, pemberian kalsium dan vitamin D.
Sediaan :
1.
Alendronate (Fosamax), ditemukan pada tahun 1995, mempunyai efikasi menurunkan 48%
resiko fraktur pada wanita (liberman,1995). Pemberian bisa harian dengan 5 mg/hari atau 35 mg
untuk seminggu.
2.
Riserdronate (Actonel), melalui VERT trial, dikemukakan dapat menurunkan resiko fraktur
sebanyak 65% dan 61 % pada tahun pertama pemberian. Diberikan dengan dosis seminggu
sekali 35 mg.
3.
Ibandronate (Boniva), dapat diberikan dengan dosis harian 2,5 mg/hari atau diberikan
sebulan sekali dengan dosis 150 mg.
4.
Zoledronic acid (Zometa), merupakan biphosponat yang digunakan pada hiperkalsemia
pada keganasan atau penyakit paget, namun menunjukkan hasil yang signifikan dengan dosis 5
mg i.v dapat menurunkan patah tulang sampai 70%.
Cara pemberian : Waktu pemberian BP adalah pagi hari saat bangun tidur dalam keadaan perut
kosong dan diminum dengan 2 gelas air putih saja. Setelah itu penderita tidak boleh makan
apapun sampai minimal 30 menit dan penderita harus dalam posisi tegak.
b.
o

Terapi hormonal dengan estrogen


Dosis : Untuk pencegahan dan pengobatan osteoporosis, estrogen dapt diberikan dengan

berbagai cara. Pemberian estrogen secara oral memerlukan dosis terendah 0.625 mg/hari
estrogen terkonyugasi atau 0.5 mg/hari estradiol. Dalam bentuk estradiol valerat diperlukan dosis
2 mg/hari yang dapat ditambahkan dengan 75 mcg levonorgestrel untuk pelindung endometrium.
o
Durasi : Lama pengobatan dengan preparat estrogen belum jelas, mungkin lima tahun atau
lebih. Untuk pasien yang telah mengalami fraktur, pengobatan sangat mungkin memerlukan
waktu sepanjang hidup, oleh karena peningkatan kepadatan yang telah dicapai dengan terapi
estrogen ternyata dapat merosot kembali bila terapi dihentikan
c.

Modulator reseptor estrogen yang selektif (SERM)


15

Mekanisme : SERM bekerja selektif pada reseptor estrogen hanya di organ non reproduksi.
SERM atau raloxifen ini seperti halnya estrogen mekanisme kerjanya terhadap tulang belum
diketahui dengan pasti, diduga melibatkan TGF b-3 yang dihasilkan oleh osteoblas dab osteoklas
yang berfungsi menghambat diferensiasi osteoklas

dan mencegah tubuh kehilangan massa

tulang. Indikasi : Pencegahan dan pengobatan osteoporosis tipe I.


d. Kalsitonin
Mekanisme : Pemberian kalsitonin secara intranasal dan subkutan menunjukkan keberhasilan
dalam peningkatan kepadatan mineral tulang. Tetapi, beberapa uji klinik untuk pencegahan dan
pengobatan dengan calcitonine tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik
dibandingkan dengan pemberian placebo, kemungkinan karena besar sampel yang kurang
memadai.
Indikasi : keuntungan pemberian kalsitonin adalah untuk mengurangi rasa sakit akibat fraktur
vertebra, di samping peningkatan massa tulang.
7.2.2 Obat formating agent
a.
Parathyroid hormone therapy (PTH)
o Mekanisme : Paratiroid hormon berguna untuk mengatur metabolisme tulang,
memfasilitasi penyerapan kalsium dan pospat di tubulus ginjal, menatur

penyerapan

kalsium di saluran cerna dan meningkatkan produksi 1,25 dihydroksi vitamin D.


o Indikasi : pada penderita dengan resiko tinggi patah tulang vertebra dan tidak menunjukan
perbaikan dengan biphosponat terapi
o Sediaan : terripatide (forteo)
o Dosis : Suntikan 1 kali untuk pemberian selama 24 bulan
o Perhatian : meningkatkan terjadinya osteosarkoma (percobaan pada mencit dengan dosis 4
kali dari dosis normal manusia)
b.

Na Flurida
o Mekanisme : Flurida merupakan mitogenik terhadap osteoblas dan memerlukan hormon
pertumbuhan untuk aktifasinya, dapat meningkatkan kepadatan tulang
o Indikasi : Masih belum direkomendasikan oleh FDA

c.

Kalsium
Mekanisme : Kalsium bisa ditemukan di banyak makanan, dan karena tubuh kita tidak bisa
memproduksi kalsium sendiri, maka asupan kalsium dari makanan dan sumber lainnya sangat
penting. The National Academy of Sciences dan National Osteoporosis Foundation di
Amerika Serikat merekomendasikan baik pria maupun wanita dewasa mengkonsumsi
16

suplemen kalsium setidaknya 1000-1200 mg/hari. Wanita hamil dan menyusui malah
membutuhkan setidaknya 1500 mg/hari.
Usia
Jumlah (mg/hari)
Lahir - usia 6
210
bulan
6 bulan 1 tahun
270
1 3 tahun
500
4 8 tahun
800
9 - 13 tahun
1300
14 - 18 tahun
1300
19 - 50 tahun
1000
51 tahun ke atas
1200
Tabel 5. Kebutuhan kalsium berdasarkan usia

DAFTAR PUSTAKA
1.

Duque G, Troen BR, Osteoporosis. In Hazzards Geriatric Medicine and Gerontology ,

6thed. Mc Graw Hill. Inc. New York: 2009


2.
Setiyohadi B, Osteoporosis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi 4, Interna
Publishing. Jakarta: 2009
3.
WHO scientific group editors Diagnosis and assesment. In : World Health Organization
scientific group editors Prevention and management of osteoporosis. Geneva: World Health
Organization. 2003.
4.
Saag KG. Osteoporosis Epidemiology and clinical assessment. In:Primer on the rheumatic
diseases. 13th ed. New York: Springer: 2008.
5.

Osteoporosis DEPKES

17

6.

Lindsay, Robert and Cosman, Felicia. Osteoporosis. In: Kasper, Braunwald, Fauci, Hauser,

Longo, Jameson, editors. Harrisons Principle of Internal Medicine. 17th ed. Vol II. New York:
McGraw-Hill: 2009.
7.
Francis, Roger M. Metabolic Bone Disease. In Brocklehursts Textbook of Geriatric
Medicine and Gerontology. 7 th ed.Philadelphia: Elsevier: 2010.

18

Anda mungkin juga menyukai