Anda di halaman 1dari 20

Bahasa Melayu Riau: Sebuah Tinjauan 

Sosiolinguistik
1. Pendahuluan

Bahasa memainkan peran yang sangat penting dan menentukan dalam kehidupan
manusia. Oleh karena kaitannya yang erat, manusia hampir-hampir tidak menyadari
peran dan kedudukan hakiki dari bahasa karena bahasa dirasakan hadir dan berfungsi
seperti kaki, tangan, atau napas dalam tubuh manusia. Kenyataannya, untuk menarik
garis umum tentang bentuk, unsur, maupun ciri yang terdapat pada satu atau beberapa
bahasa bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Bloomfield (1961: 20) menyatakan
bahwa satu-satunya generalisasi bermanfaat yang dapat ditarik ialah generalisasi induktif.
Ciri-ciri yang dikategorikan universal kemungkinan tidak terdapat pada suatu bahasa
tertentu. Ciri-ciri seperti distingsi antara bentuk kata “mirip sebagai kata kerja” dengan
“mirip sebagai kata benda” merupakan bagian yang terpisahkan dalam susunan jenis kata
pada sebagian bahasa dan karenanya bersifat universal. Akan tetapi, ciri umum ini tidak
selamanya terdapat pada sebagian bahasa lainnya. Ciri kebahasaan sangat bermanfaat
untuk membuat catatan maupun deskripsi. Apabila telah terkumpul sebagian besar data
mengenai seperangkat bahasa, sebaiknya dilaksanakan orientasi kembali pada pokok
permasalahan kebahasaan yang tercakup, misalnya problem gramatikal dalam arti luas,
sehingga analisisnya akan mampu memperlihatkan dan menjelaskan korespondensi
maupun divergensi. Dengan begitu analisis kebahasaan dapat mempunyai sifat induktif,
bukan spekulatif.

Kajian mengenai suatu bahasa yang sering terasa agak sukar adalah pada langkah
linguistik awal. Suatu pendekatan ilmiah terhadap bahasa maupun masalah-masalah
kebahasaan kini telah terbukti merupakan alat yang ampuh dan sangat berguna.
Linguistik sebagai ilmu bukan hanya merupakan pengetahuan semata, tetapi telah
menempuh sejarah perkembangan yang cukup panjang. Linguistik dalam sejarah awalnya
telah tumbuh dengan tujuan kemanfaatan praktis. Dalam perkembangan selanjutnya,
peran linguistik dewasa ini sudah semakin meningkat karena telah membantu, dibantu,
dan mempunyai ikatan yang erat dengan hampir semua disiplin atau ilmu pengetahuan.
Hal ini tercermin dengan adanya cabang linguistik, seperti antropolinguistik,
etnolinguistik, sosiolinguistik, linguistik komputer, linguistikmatematik, dan lain
sebagainya.

Kesusastraan juga telah membutuhkan linguistik sebagai alat analisis. Dengan


konsep-konsep yang terdapat dalam linguistik, analisis kesusastraan tidak lagi terbatas
pada pembicaraan mengenai bentuk, latar belakang, apresiasi atau karakter dalam hasil
maupun bentuk kesusastraan, tetapi sudah semakin luas dan mendalam. Variasi bahasa
yang demikian luas ada yang bersifat sistematik, berupa variasi internal (yang merupakan
variasi dalam sistem bahasa itu sendiri) dan variasi eksternal (sesuatu yang berhubungan
dengan luar), serta variasi lain yang terdapat dalam bahasa itu sendiri. Variasi ini dapat
berdasar geografis, dengan hasilnya sebuah dialek, sosiologis dengan hasilnya sosiolek,
fungsional dengan hasilnya fungsiolek, kronologis dengan hasilnya kronolek, dan
berdasarkan diakronis / temporal dengan hasilnya tempolek.
Batasan mengenai kebudayaan yang sudah banyak dibicarakan, dituliskan, dan dibaca,
menyatakan bahwa bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Bahasa juga sering
disebut sebagai faktor dominan dari kebudayaan, sehingga harus benar-benar dipahami.
Pembicaraan mengenai hidup-mati atau maju-mundurnya suatu bahasa banyak berkaitan
langsung dengan masalah-masalah kebudayaan. Manusia dalam kehidupannya
memerlukan komunikasi. Kejadian-kejadian dalam komunikasi perlu dianalisis secara
tepat. Dalam hubungan ini, bahasa sebagai alat terpenting dalam komunikasi sesama
manusia mencakup berbagai masalah, seperti fonetik, ortografik, telepon, dan gelombang
di layar televisi. Kita harus ingat bahwa, apabila seseorang berbicara, maka ia
menggunakan simbol vokal yang arbitrer untuk mengungkapkan sesuatu yang mungkin
akan terjadi atau yang telahterjadi.

Dalam konteks komunikasi, kehidupan manusia dapat dilihat sebagai suatu


spektrum yang luas dari kejadian-kejadian komunikasi. Pemahaman suatu pesan (kode)
yang dikirimkan banyak bergantung pada perbedaan waktu. Tinjauan psikologis dari
individu dalam kedudukan sosial atau kultural memperlihatkan kegunaan perhitungan
efisiensi waktu. Misalnya, seorang suami pulang ke rumah dari kantor. Oleh karena
terlalu penat bekerja di kantor dan penuh dengan masalah berat, ia hanya mampu
mengatakan pada sang istri tercinta tidak lebih dari sepotong kata, “Hai”. Perkataan
tunggal dan pendek itu seharusnya tidak boleh hanya diinterpretasikan oleh sang istri
sebagai tanda bahwa sang suami telah kembali lagi di rumah. Perkataan itu harus
ditafsirkan lebih jauh lagi, seperti permintaan untuk menyediakan makanan, permintaan
untuk menyediakan secangkir kopi manis, dan sebagainya.
Fakta komunikasi dapat mempunyai efek dalam jangka waktu tertentu yang berhubungan
erat dengan keragu-raguan, kejelasan, maupun ketepatan yang sering terdapat dalam
hubungan cross-culture. Pembicaraan mengenai cross-culture dalam konteks kebahasaan
juga harus turut memperhitungkan struktur dialektalisasi (divergent structure) maupun
struktur dedialektalisasi (convergent structure).

Dari sekian ragam kajian bahasa dan linguistik, kajian sosiolinguistik merupakan
bidang yang cukup rumit dan mempunyai banyak kaitan. Kajian sosiolinguistik mencakup
berbagai masalah, seperti bahasa dalam konteks sosial dan kebudayaan, hubungan faktor-
faktor bahasa dengan situasi dan faktor-faktor sosial budaya, serta fungsi-fungsi sosial
penggunaan bahasa dalam masyarakat. Apabila kajian ini diperluas, maka juga akan
mencakup ragam, gaya, dan variasi bahasa (Nababan, 1984: 3–4, 15–23).
Membahas bahasa Melayu Riau bukanlah suatu hal yang sederhana dan sepele, karena
bahasa sendiri tidaklah sesederhana seperti dugaan sementara kalangan. Bahasa
mempunyai seperangkat perbedaan yang disebabkan oleh adanya sejumlah dialek dan
subdialek. Bahasa yang terdapat di pesisir Sumatera Utara (dahulu dikenal sebagai
Sumatera Timur) berbeda dengan bahasa yang terdapat di daerah Melayu Riau. Kendati
mempunyai banyak persamaan dasar historis, namun pergeseran waktu, perbedaan
tempat, pengaruh lingkungan masing-masing, maupun faktor-faktor lainnya
menyebabkan bahasa Melayu Riau dan bahasa Melayu Sumatera Timur memiliki
perbedaan-perbedaan yang tak terelakkan. Atas dasar pertimbangan tersebut dan
keterbatasan waktu, tulisan ini baru menyajikan pada taraf dini tatanan awal bahasa
Melayu Riau, sebagai bagian dari budaya bangsa Indonesia dan khazanahnya.
2. Bahasa Dan Kebudayaan
Gumperz dan Hymes (1972) menyatakan:

Hubungan-hubungan antara berbagai kategori secara kebudayaan dan bahasa


merupakan suatu masalah. Suatu bahasa tertentu berfungsi sebagai metabahasa, yakni
suatu cara berkomunikasi secara kebudayaan yang mencakup banyak hal, tetapi bukan
tentang kebudayaan itu sendiri. Dengan demikian, pertanyaannya adalah sejauh mana dan
dengan cara bagaimana suatu bahasa merupakan indeks dari suatu kebudayaan. Sejauh
mana serta dengan cara bagaimana bahasa tersebut seharusnya diperhatikan dan dibina.
Alat yang paling penting dan sering dipergunakan oleh manusia dalam berkomunikasi
adalah bahasa. Hal ini bukan berarti bahwa alat-alat lain tidak dapat dimanfaatkan oleh
manusia untuk berkomunikasi. Manusia dapat menggunakan siulan, tepukan, lambaian,
isyarat, dan lain sebagainya untuk berkomunikasi. Namun, komunikasi jenis terakhir
tidaklah begitu lengkap dan sempurna untuk memenuhi segala keperluan dan tujuan
komunikasi yang dilakukan manusia. Alat komunikasi yang terpenting ini bukan
merupakan suatu fenomena yang asal jadi saja. Sebaliknya, fenomena itu harus dipelajari
dan dikuasai untuk memenuhi dan mengisi keperluan sehari-hari. Mempelajari dan atau
menguasai suatu bahasa tidaklah identik dengan menguasai tata bahasanya saja, tetapi
lebih kompleks dari itu. Proses menguasai keterampilan berbahasa tersebut turut
melibatkan soal-soal “luar bahasa”.

Kebudayaan suatu masyarakat berkait erat dengan bahasa yang digunakan oleh
para penutur. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa di dalam suatu bahasa akan
terjalin dan terpapar suatu organisasi fenomena perilaku (patterns of behavior),
kebendaan, ide (kepercayaan dan pengetahuan), serta sentimen (sikap dan norma)
masyarakat. Kenyataan ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa bahasa lebih
merupakan satu communion, perhubungan di antara pribadi dan nilai-nilai sosiobudaya.
Setiap kelompok manusia mempunyai kebudayaan berupa cara hidup yang diamalkan dan
diwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Suatu konsep atau cara hidup dalam
suatu masyarakat dapat didukung oleh kata atau bahasa.
Hubungan yang terjalin erat antara bahasa dengan kebudayaan tercermin antara
lain pada kata-kata yang digunakan oleh suatu masyarakat dalam sistem kekerabatan.
Hubungan kekerabatan yang penting ditandai oleh suatu susunan perbendaharaan kata
untuk menyatakannya. Sebagai contoh, dalam masyarakat Inggris terdapat kata-kata
kekerabatan seperti son, daughter, brother, sister, mother, dan father. Dalam susunan
bahasa Melayu, sistem kekerabatan juga membedakan derajat dalam susunan
kekeluargaan yang ditandai dengan kata sulung (tertua), ngah (tengah), bungsu atau cik
(termuda). Kata-kata semacam ini dapat atau sering ditambahkan pada kata lain, seperti
nenek, sehingga terdapat susunan nek lung, nek ngah, nek cik, dan sebagainya.
Bahasa juga dapat menggambarkan pandangan atau sikap masyarakat. Misalnya,
masyarakat penutur bahasa Inggris memulai pidato dengan ladies and gentlemen dan
masyarakat penutur bahasa Indonesia memulai pidato dengan kata-kata, bapak-bapak
dan atau ibu-ibu. Menurut pandangan sekilas, hal ini mungkin menggambarkan bahwa
masyarakat Indonesia mempunyai perbedaan nilai terhadap wanita jika dibandingkan
dengan masyarakat berbahasa Inggris. Dalam bahasa Indonesia, susunan kata-kata ini
tidak selalu atau selamanya paralel dengan aturan atau kebijaksanaan yang sama,
misalnya hak dan kewajiban dalam negara. Susunan kata jenis jantan ditambah betina
seperti bapak-bapak dan ibu-ibu mempunyai susunan terbalik, seperti dalam kata ibu
bapa. Namun, kembali lagi tampil dalam bentuk yang sama dalam kata suami istri, dan
tidak pernah menjadi istri suami.

` Perbedaan letak susunan kata, seperti jenis kata jantan selalu ditempatkan di
depan jenis kata betina hampir selalu paralel dengan situasi kebudayaan. Ketika duduk di
pelaminan misalnya laki-laki selamanya berada di sebelah kanan, sedangkan wanita
berada di sebelah kirinya. Dalam suasana nasi hadapan (acara makan bersama pada hari
bersanding), pengantin wanita menyulangkan (menyuapi) pengantin lelaki. Berarti lelaki
lebih dahulu merasakan yang lezat bestari, baru diikuti wanita. Dalam berjalan beriringan
dirasakan “kurang beradat” jika wanita berjalan di sebelah kanan lelaki.
Kata-kata ataupun konsep yang didukung oleh suatu kata tidak selamanya kekal dan
abadi. Ada kata yang hilang atau lenyap dari perbendaharaan suatu bahasa. Keadaan ini
berlaku apabila kebudayaan masyarakat itu berubah ataupun berkembang, sehingga
beberapa kata yang terdapat di dalam bahasa itu tidak lagi dapat berfungsi untuk
memenuhi tuntutan perkembangan masyarakat. Dalam masyarakat penutur bahasa
Melayu, terutama dalam menyambut tamu yang dihormati, tadinya makanan atau
minuman yang sering dihidangkan berupa kekaras, lempeng torak, lenggenang, tumpur
janda, dadih (susu lembu yang dimasamkan, sejenis yogurt), dan lainnya. Mungkin karena
hampir tidak ada lagi orang yang terampil membuat makanan lezat bestari seperti di atas,
maka kata-kata tersebut mulai hilang dari daftar perbendaharaan kata. Kasus yang sama
juga berlaku pada kata untuk minuman lezat, dadih, yang mungkin dalam alam yang
serba modern sekarang ini tidak ada lagi lembu atau sapi yang rela susunya diasamkan
atau dijadikan asam, yang berakibat penurunan kualitas dan kuantitas. Sejalan dengan
hal itu, kata-kata seperti abam (asbak), celina (cabai), dan isit (garam) mulai hilang dari
penggunaan sehari-hari.

Kasus semacam ini tidak berarti bahwa setiap perubahan atau perkembangan
kebudayaan suatu bangsa menyebabkan sirnanya semua daftar kata yang mendukung
konsep yang sudah tidak ada lagi. Dalam keadaan tertentu, kata-kata itu dikekalkan,
hanya konsep yang didukungnya disesuaikan dengan kebutuhan kebudayaan. Dalam
masyarakat Melayu misalnya, terdapat kata-kata lama yang telah mengalami perubahan
konsep sesuai dengan perkembangan kebudayaan Melayu. Pemakaian kata-kata yang dulu
dipakai dalam pemerintahan seperti patik, ayapan (makan), santap (makan), gering (sakit
untuk raja atau keluarga raja), beradut (tidur untuk raja atau keluarga raja), dan
sebagainya sangat tinggi. Pemakaiannya harus sejalan dengan hak, kewajiban, adat-
istiadat, dan hukum yang berlaku pada waktu itu. Dalam situasi dan kondisi sekarang,
frekuensi pemakaiannya menurun, dan hanya ada atau terdengar pada kelompok-
kelompok tertentu. Dengan tidak bermaksud membangkitkan feodalisme dalam
kehidupan bernegara Republik Indonesia, kata-kata tersebut perlu dicatat dan diteliti.
Penggunaannya mungkin harus diubah dan disesuaikan dengan keadaan zaman. Misalnya,
dalam situasi hubungan antara yang muda terhadap yang lebih tua, dengan yang
dituakan, atau dengan yang dihormati.
Sebagai perbandingan, tampaknya perlu dibicarakan penutur bahasa Jawa. Jenis
kelamin kadangkala menyebabkan lahirnya perbedaan istilah, seperti kata nenek untuk
jenis betina dan kata kakek untuk jenis jantan. Dalam bahasa Melayu istana, kata atok
dipergunakan untuk nenek maupun kakek. Dalam uraian sebelumnya juga telah
dikatakan bahwa dalam susunan bahasa dapat dilakukan penambahan untuk kata
kekerabatan penanda usia, sehingga kemudian terdapat kata tok lung (atok sulung), tok
ngah (atok tengah), dan tok cu (atok bungsu). Penyebutan nama seseorang sering dianggap
tabu dan kurang sopan, namun dapat ditambahkan sesudah kata kekerabatan seperti Tok
Mat (Atok Amat), Tok Min (Atok Amin atau Aminah). Bentuk lain juga terlihat jika
berkait dengan tempat tinggal atau asal yang dapat menjelaskan identitas, sehingga
terdapat Tok Baru (atok dari Pekanbaru), Tok Pinang (atok dari Tanjungpinang), dan
sebagainya.

Pendapat yang mengatakan adanya pengaruh bahasa terhadap kebudayaan atau


sebaliknya antara lain terungkap dalam pantangan terhadap sesuatu yang dianggap
terlarang, berbahaya, atau tabu. Contohnya adalah pantangan untuk menyebut harimau,
terutama jika berada di pinggir atau di dalam rimba. Penyebutannya kemudian ditukar
dengan kata nenek atau datu. Pada sebagian penutur bahasa Melayu, ada pantangan atau
rasa kurang terhormat apabila seorang istri menyebut nama suami dengan kata dia. Hal
ini sangat terkait dengan posisi manusia yang dipengaruhi oleh masyarakat dan
lingkungan sekitarnya dalam proses komunikasi untuk menyampaikan sesuatu.
Sesuatu yang ingin disampaikan harus berbentuk benda atau sebagai suatu unit yang
berbentuk kata atau beberapa kata. Berdasarkan pendapat ini, kata memainkan peran
penting, yang dapat diklasifikasikan secara umum, morfologis, dan tipologis. Sehubungan
dengan itu dalam bahasa Melayu baik di Riau maupun Sumatera Timur terdapat
seperangkat kata yang dapat ditambahkan untuk menunjukkan urutan kekerabatan, yaitu
ulung (sulung) yang menunjukkan urutan tertua, ngah (tengah) yang menunjukkan urutan
kedua, alang yang menunjukkan urutan ketiga, uda (muda) yang menunjukkan urutan
keempat, uteh yang menunjukkan urutan kelima, andak yang menunjukkan urutan
keenam, anjang (panjang) yang menunjukkan urutan ketujuh, itam yang menunjukkan
urutan kedelapan, dan ucu (bungsu) yang menunjukkan urutan kesembilan. Dari contoh
ini, berdasarkan kata-kata yang tersedia, jumlah anak yang ideal dalam masyarakat
Melayu (barangkali di Sumatera Timur) adalah sembilan orang, (bukan dua orang seperti
menurut program Keluarga Berencana).

Sebagai tambahan, penulis ambilkan contoh dari Kotamadya Medan. Bagi yang
sempat mengenal seseorang bernama Tengku Putih, setelah mengenal Tengku Putih
barangkali merasa heran karena yang menyandang nama tersebut tidak berkulit putih.
Keheranan tersebut akan terjawab jika kita mengetahui bahwa pemakaian nama tersebut
bukan disebabkan oleh warna kulitnya, tetapi menurut urutan dalam susunan keluarga.
Uteh atau putih adalah untuk menunjukkan urutan ke lima dalam keluarga. Mereka yang
telah agak lama berdomisili di Medan dan bergaul dengan masyarakat Melayu mungkin
sempat mengenal seseorang yang bernama Datuk Hitam (Itam). Barangkali yang
menyandang nama tersebut merupakan anak kedelapan (itam) dalam susunan keluarga,
dan dikukuhkan pula penamaannya dengan warna kulit yang digemarinya, gelap pekat.
Selain itu, kemungkinan pula pada anak kedelapan, sang ibu sudah kurang perhatiannya,
sehingga anak tersebut dibiarkan bermain di bawah terik matahari hingga kulitnya
terbakar hangus.

Kekayaan suatu bahasa juga dapat tercermin dari simbolisasinya. Penggunaan


simbol-simbol untuk memperkaya perbendaharaan kata bisa berakibat positif, bisa pula
negatif atau menyinggung perasaan. Satu hal yang nyata adalah bahwa kebiasaan ini
memperlihatkan hidupnya suatu bahasa, seperti beberapa contoh yang dapat diingat pada
masyarakat penutur bahasa Melayu, khususnya masyarakat Melayu di Medan dan
kemungkinan pula di Riau. Beberapa contoh dapat dikemukakan sebagai berikut.
Kemungkinan adanya anak-anak yang sebelumnya berwajah cantik menyebabkan adanya
kesepakatan untuk menamakan anak yang lahir secara prematur dengan Tengku Cantik.
Setelah dewasa anak tersebut ternyata menjadi malu karena mempunyai wajah yang tidak
cantik. Sebaliknya penamaan seseorang sebagai Kak Buruk agak relevan dan beralasan,
karena yang bersangkutan walau tidak terlalu cantik, namun juga tidak dapat
digolongkan ke dalam kelompok berwajah menakutkan.
Sejarah hubungan internasional yang pernah terjadi antara Kerajaan Melayu Raya
berpengaruh pada kata atau istilah yang terdapat dalam bahasa Melayu. Hubungan
dengan Cina antara lain menghasilkan kata-kata dua karam (keadaan yang sangat ribut)
dan dua buta (sepasang suami istri yang telah bercerai talak tiga, jandanya harus kawin
dulu dengan orang lain, bercerai, kemudian dapat rujuk kembali, namun pasangan baru
itu akhirnya tidak mau bercerai dan menjadi kekal), buluh cina (nama sejenis bambu yang
kecil ramping berwarna kekuning-kuningan), gunting cina (sejenis model pakaian), dan
sebagainya.
Hubungan dengan India (Keling) juga meninggalkan pengaruh, seperti Kampung Keling
(dalam sejarahnya diperuntukkan bagi pendatang yang kulitnya berwarna khas), janji
keling (suatu janji yang tidak pernah ditepati, baik waktu maupun isinya), kerak keling
(sejenis kue, atau sejenis rantai yang biasa dipergunakan sebagai alat dalam berkelahi),
keling bangking (warna kulit yang hitam pekat), gerantang keling (gertak sambal), dan
sebagainya.

Beberapa uraian di atas membawa kita pada pendapat, antara lain bahwa:

a) Bahasa juga mengalami proses evolusi yang di dalamnya terdapat tantangan kemajuan
teknologi sebagai ukuran kemajuan bahasa. Bangsa yang maju akan terlihat pada
bahasanya yang maju. Sebaliknya, bangsa yang terbelakang memperlihatkan gejala
bahasa yang tidak maju.
b) Penentuan suatu struktur bahasa sering menyebabkan terjadinya penggabungan antara
aktivitas ekstrinsik dan intrinsik. Dalam usaha peningkatan dan penyempurnaan bahasa,
keadaan struktur di luar bahasa sering berperan dalam membantu penyempurnaan
bahasa itu sendiri.
c) Pencatatan keadaan suatu bahasa dalam penentuan klasifikasinya dapat diteliti dari
kekayaan kosakata yang dimiliki, jumlah dan tingkat frekuensi kognisi, terdapatnya
sistematika kata, dan terdapatnya sejumlah kata yang berhubungan dengan konsep
abstrak.
d) Bahasa yang maju adalah bahasa yang mempunyai seperangkat konsep, kosakata, dan
lambang untuk bagianbagian atau hal-hal yang abstrak.
e) Dalam pengembangan bahasa diperlukan beberapa catatan yang turut menentukan,
yang dapat dikategorikan dan diklasifikasikan sebagai unsur historis-komparatif,
kodabilitas frasa (phrase-codability), peminjaman unsur bahasa baru atau penciptaan
kata-kata baru melalui prinsip onomatope, dan lain sebagainya.

3. Sikap Bahasa

Penulis berasumsi bahwa terdapat kecenderungan kemiripan maupun kebiasaan


sikap berbahasa antara penutur bahasa Melayu Riau dan penutur bahasa Melayu di
pesisir Sumatera Utara (dalam sejarah dikenal sebagai Melayu Sumatera Timur, de
oostkusten). Kalau terdapat perbedaan dalam masing-masing kelompok, kasus ini hampir
dapat dikatakan karena adanya kesamaan, yaitu disebabkan perbedaan variasi bahasa
daerah, individu, sosial, kurun waktu, faktor eksternal, faktor internal, dan lain
sebagainya.
Kecenderungan persamaan tersebut terlihat antara lain pada

a) Kecenderungan mempergunakan ungkapan, pantun, seloka, dan “kata-kata bersayap”.

b) Kesantunan dalam penggunaan dan pemilihan kata atau suatu sikap bahasa yang
mencerminkan sifat dan tingkahlaku.
c) Dasar adat-istiadat yang sama, yang berpolakan adat sebenar adat, adat yang
diadatkan, dan adat yang teradat.
d) Islam dan ajarannya yang merupakan tiang utama dan mercu suar penyuluh arah,
sikap, serta pola hidup yang banyak berpengaruh dalam penyediaan kata dan istilah.

Kerangka teori yang diungkapkan mengenai variasi bahasa dan ragam bahasa
didasarkan pada hal yang dikemukakan oleh Nababan (1984: 13–15, 22–23). Secara
teoretis, rasanya tidak sukar untuk memberikan klasifikasi dan contoh secara terpisah dan
tersendiri antara aspek-aspek maupun bagian-bagian yang terdapat dalam fungsi dan
variasi bahasa, serta kelompok ragam bahasa. Namun dalam kenyataannya, contoh-contoh
yang sempat terkumpul memperlihatkan kaitan atau berada dalam subkelompok lebih
dari satu. Hal ini mungkin disebabkan oleh kasus filogenetik (hubungan antara bahasa dan
kebudayaan yang saling berkaitan erat atau tidak dapat dilepas dan berdiri sendiri)
dengan masalah ontogenetik (proses pemahaman dan penghayatan kebudayaan melalui
bahasa).

4. Bahasa Melayu Riau Ungkapan Situasi Dan Fungsi

Kajian suatu bahasa dari sudut sosiolinguistik mencakup masalah-masalah utama,


seperti bahasa dan kebudayaan, hubungan bahasa dengan konteks sosial, hubungan
bahasa dengan situasi dan faktor-faktor sosial budaya, serta kajian fungsi sosial dan
penggunaan bahasa dalam masyarakat. Secara teoretis, masalah-masalah utama tersebut
menghendaki secara lengkap adanya faktor-faktor atau topik-topik seperti repertoar
bahasa, masyarakat bahasa, fungsi dan profil masyarakat bahasa, etnografi berbahasa,
perencanaan bahasa, interaksi sosial, dan lain sebagainya.
Kata atau ungkapan bahasa Melayu Riau dalam hubungannya dengan konteks sosial
budaya lahir dan ada disebabkan oleh keperluan yang berhubungan dengan nilai budaya,
nilai agama dan keyakinan, nilai hukum dan kekuasaan, nilai teori dan ilmu pengetahuan,
nilai ekonomi dan perdagangan, sikap manusia atau kelompok manusia, orientasi ke
depan, serta kemajuan dan perubahan. Keadaan ini menghasilkan ungkapan dan untaian
pantun yang mengungkapkan beberapa hal, seperti contoh berikut.
a) Sikap dan budi dalam masyarakat. Hal ini terungkap dalam:
Pisang emas bawa berlayar
Pisang lidi di atas peti
Hutang emas boleh dibayar
Hutang budi dibawa mati
b) Fatwa adat dan kebijaksanaan. Hal ini terungkap dalam:
Ibarat menghela rambut dalam tepung
Rambut tidak putus tepung tidak berserak
c) Sifat kesatria dalam membela kebenaran, hak, dan kewajiban. Hal ini terungkap dalam:
Jangan takut tanah akan merah
Esa hilang, dua terbilang
Sebelum ajal berpantang mati
Asal di atas kebenaran
Biar putus kepala dipancung
Setapak pun berpantang mundur
dan lain sebagainya.
Faktor-faktor situasi menyebabkan hadirnya ungkapan yang antara lain berhubungan
dengan.
a) Daerah kesatuan adat (lokatif), seperti Tiga Kabung Air, yang dalam sejarahnya
mencakup Sungai Kampar, Sungai Rokan, dan Sungai Tapung (Siak Hulu).
b) Aspek sosial, yang mengarahkan agar kegiatan masyarakat jangan sampai merusak
adat dan kebijaksanaan dasar. Dengan kata lain, mencegah timbulnya akibat negatif,
seperti terungkap dalam:
Hati tungau sama dicacah
Besar kayu besar bahannya
Kecil kayu kecil bahannya
Besar jangan melanda
Cerdik jangan menipu
c) Proteksi, seperti terungkap dalam:
Jalan jangan dialih orang lain
Cupak jangan dialih orang penggaleh
d) Ekonomi pemanfaatan bersama, seperti terungkap dalam:
Kalau hilang rugi bersama
Kalau untung laba bersama
Ringan sama dijinjing
Berat sama dipikul
dan lain sebagainya.
Fungsi-fungsi sosial dan penggunaan bahasa dalam masyarakat penutur bahasa Melayu
Riau mencakup beberapa aspek kebahasaan, seperti:
a) Instruksional, untuk pembinaan sikap hidup kemanusiaan, persatuan dan kesatuan,
mufakat, keadilan sosial, dan lain-lain.
Kasus kebahasaan ini misalnya terlihat dalam bidang “kemanusiaan”, seperti berikut:
Hidup jelang menjelang
Sakit jenguk menjenguk
Dalam bidang “persatuan dan kesatuan”, seperti berikut:
Yang salah tegur menegur,
Yang rendah angkat mengangkat,
Yang tinggi junjung menjunjung
Dalam bidang “mufakat”, seperti berikut:
Bulat air oleh pembuluh,
Bulat kata oleh mufakat,
Lah beriya bertimbal balik
Dalam bidang “keadilan sosial”, seperti berikut:
Tiba di mata tidak dipicingkan
Tiba di perut tidak dikempiskan
b) Sebab-akibat, dalam arti akibat sebagai hasil usaha dan sikap, seperti terungkap dalam
“Kaya iman dibawa mati”.
c) Gabungan deklaratif dan imperatif, seperti terungkap dalam:
Raja adil, raja disembah
Raja zalim, raja disanggah
dan lain sebagainya.
Kajian berdasarkan fungsinya atau tingkat formalitas menemukan empat jenis gaya
bahasa (style), yaitu ragam beku (frozen style), ragam resmi (formal style), ragam usaha
(consultative style), dan ragam akrab (intimate style) seperti yang dijabarkan oleh
Nababan (1984: 22–23). Ragam beku dan ragam resmi dalam bahasa Melayu Riau adalah
sebagai berikut.

a. Ragam Beku

Ragam beku ialah jenis ragam bahasa yang paling resmi digunakan dalam situasi
khidmat dan upacara-upacara resmi. Ragam jenis ini juga mempunyai bentuk-bentuk
tertentu seperti undang-undang, peraturan, dan lain sebagainya. Tata-laksana adat-
istiadat dalam perkawinan masyarakat penutur bahasa Melayu Riau mempunyai berbagai
bentuk. Bentuk-bentuk tata-laksana perkawinan ditandai dengan seperangkat istilah,
seperti kawin pinangan, kawin ganti tiko, kawin balam duo sarenggek, kawin jando
berhias, dan kawin berambik. Kebiasaan dan tradisi adat perkawinan mempunyai
seperangkat upacara, baik pada masa sebelum, menjelang, sedang, dan setelah upacara
resmi berlangsung. Upacara-upacara tersebut ditandai dengan sederetan kata maupun
istilah, seperti marisik meminang, mengantar belanja, menggantung, mengucap, tepung
tawo, berinai, berendam, berkatam, bersanding, dan malam menyembah.
Dalam pelaksanaan adat-istiadat, hukum, dan perkawinan lahirlah sejumlah pedoman
dalam bentuk susunan untaian kata, seperti “sekali air bah, sekali tepian beralih”. Selain
itu, untaian kata juga terdapat dalam petuah-petuah seperti dalam Gurindam Dua Belas
yang dapat dikutip sebagai berikut.
Jika hendak mengenal orang yang berbangsa lihat kepada budi dan bahasa
Jika hendak mengenal orang yang mulia lihatlah pada kelakuan dia
(Pasal Kelima)
Betul hati kepada raja tanda jadi sembarang kerja
Hukum adil kepada rakyat tanda raja beroleh inayat
(Pasal Kedua belas)
Contoh lain dari ragam beku ialah ketentuan hukum seperti yang terdapat dalam Andiko
4. Pemerintahan Kerajaan Melayu menggariskan ketentuan mengenai ulau-ulau, “ularan-
ularan”, yang mengandung fatwa politis seperti tercermin dalam
Palu-palu ular Ular dipalu tidak mati
Ibarat menghela rambut dalam tepung Rambut tidak putus Tepung tidak berserak
Penentuan dan pembagian waktu mempunyai istilah tersendiri dalam bahasa Melayu
Riau, seperti yang umum diketahui dalam contoh senja dan malam. lstilah-istilah yang
dimaksud antara lain ialah sebelum terbang lalat (subuh), matahari naik (sebelum jam
09.00 pagi), matahari sepenggalahan (09.00–12.00), matahari tergelincir (sesudah jam
12.00).

b. Ragam Resmi

Ragam resmi ialah ragam bahasa yang sering dipakai dalam pidato-pidato resmi,
rapat dinas, atau sambutan resmi pimpinan suatu lembaga. Dalam konteks republik,
panggilan terhadap kepala pemerintahan, baik pada tingkat pusat maupun daerah
biasanya menggunakan kata ataupun istilah yang seragam untuk seluruh wilayah tanah
air. Panggilan dalam lingkungan terbatas keluarga dan daerah masih banyak
mempergunakan kata maupun istilah lama. Sejarah Kerajaan Melayu sendiri
meninggalkan kata dan istilah mengenai lembaga, pemimpin, dan pejabat pemerintahan
seperti raja/sultan, tumenggung, batin, kesultanan, dewan kerajaan, kerapatan tinggi,
kadhi, kepala imam, datuk, dan sebagainya.
Sesuai dengan kebiasaan dalam masyarakat penutur bahasa Melayu, baik dalam ragam
resmi, santai, maupun akrab, terasa ada kelengkapan dan keindahan pada ungkapan, kata
bersayap, dan bidal. Beberapa contohnya antara lain:
Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing
(Menunjukkan sopan-santun)
Ibarat aur dengan tebing
Ibarat kuku dengan isi
atau
Sembarang dua sisi dan satu mata uang
(Adat pergaulan)
Berkata hendaklah di bawah-bawah,
mandi hendaklah di hilir-hilir
Musuh jangan dicari, bersua jangan dielak
Mulut kamu harimau kamu
Selain membicarakan pekerjaan atau bidang usaha yang akan dikerjakan melalui kata
dan istilah yang berkaitan langsung, masyarakat penutur bahasa Melayu juga sering
memulai atau menghakimi pembicaraan inti dengan pembicaraan santai dan rasa
keakraban. Pesan dan petuah jarang terlupakan, sehingga terjadi penggabungan antara
ragam usaha, santai, dan akrab.
Pesan atau petuah yang selalu terdengar antara lain adalah:
“Selangkah maju tiga langkah mundur; genggam biar jadi arang tak dilepas walau terasa
hangat; yang semak buang ke rimba, yang keruh buang ke laut”, dan lain sebagainya.
Ragam tidak akan lengkap dalam kajian suatu bahasa karena baru sampai taraf kajian
fungsiolek. Perbedaanperbedaan yang mungkin terdapat dalam kelompok-kelompok kecil
perlu dikaji. Hal ini menyangkut masalah seperti dialek, sosiolek, dan lainnya. Langkah ini
perlu dilakukan dalam usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Melayu Riau.
5. Variasi Bahasa

Bahasa mempunyai dua aspek dasar, yaitu bentuk dan makna. Bentuk dianalisis
dan dideskripsikan dari aspek bunyi, tulisan, maupun struktur, sedangkan makna
dianalisis dan dideskripsikan dari sudut pandang leksikal, fungsional, dan struktural.
Penutur bahasa Melayu Riau mendiami daerah Riau, dan bahasa yang digunakan berakar
pada bahasa yang terdapat dan digunakan sejak zaman Kerajaan Melayu (Imperium
Melayu) dengan berbagai variasi dan ragam bahasa yang secara teoretis dikenal sebagai
dialek (variasi berdasarkan batas geografis), sosiolek (variasi berdasarkan latar belakang
sosial dan pendidikan), fungsiolek, kronolek, dan lainnya. Keseluruhan variasi tidak
mungkin dikemukakan dalam tulisan ini, karena luasnya dialek yang terdapat dalam
bahasa Melayu Riau. Contoh-contoh yang dikemukakan di sini adalah sebagai bukti dan
ilustrasi mengenai adanya variasi bahasa Melayu Riau, sebagai suatu dukungan untuk
kajian sosiolinguistik.
Variasi atau perbedaan yang ada berupa perbedaan bunyi beberapa fonem seperti
beberapa contoh berikut ini.
a) Fonem /a/—/a/— /o/
Variasi 1 Variasi 2 Variasi 3
/ lada / / lada / / lado /
/ saya / / saya / / sayo /
/ dunia / / dunia / / dunio /

b) Perubahan bunyi pada dialek Bengkalis, antara lain

- /ar/ / tawar/ / ajar/ / mamar/


— /o/
— / tawo/
— / ajo/
— / mamo/

- / ur/ / malur/ / kundur/ / bujur/


— / uo/
— / maluo/
— / kunduo/
— / bujuo/

- / ir/ — / ei/ / kikir/ — / kikei/ / pasir/ — / pasei/ / mahir/ — / mahei/


Apabila diambil perbedaan antara dialek Serasan dan dialek Kampar, maka terdapat
beberapa aspek kontrastif sebagai berikut. a) Bidang fonologi Contoh: Dialek Serasan
Dialek Kampar / a/ (ada) (ado)
b) Proses Morfo-fonemik Dalam dialek Serasan terdapat bentuk (meN-) dan (peN–),
sedangkan dalam dialek Kampar terdapat (maN-) dan (paN-). Dalam dialek Serasan,
apabila (meN-) dilekatkan pada kata dasar berfonem awal / b/ atau /p/, N berubah menjadi
/m/, sedangkan /p/ luluh, seperti (meN-) + buat = membuat, (meN-) + pikir = memikir.
Dalam dialek Kampar, apabila (maN-) dilekatkan pada kata dasar berfonem awal /b/
atau /p/, maka N menjadi /m/
sedangkan /p/ luluh, seperti (maN-) + bai = mambai ‘memberi‘, (maN-) + pangku =
mamangku ‘memangku‘. Perbedaan antara dialek Serasan dan dialek Kampar terlihat
pula dalam aspek proses kata dasar, perulangan, kata kerja, kata sifat, kata benda, dan
jenis kata lainnya. Perbedaan juga terdapat dalam masalah sintaksis dan komponen-
komponen yang terdapat di dalamnya.

6. Pantun, Ungkapan, Dan Lain-Lain

Seperti disampaikan sebelumnya, penutur bahasa Melayu Riau banyak


menggunakan pantun, seloka, bidal atau “kata-kata bersayap” dalam bentuk bahasa lisan
dan tulisan. Bentuk tersebut digunakan dalam jenis-jenis yang terdapat dalam variasi
maupun ragam bahasa secara bersamaan dan tidak dapat dipisahkan secara jelas. Gaya
bahasa seperti ini digunakan dengan tujuan, arah, sasaran, dan harapan yang secara garis
besar digambarkan sebagai berikut.

a) Melankolik, pasrah, eternal, seperti:


Pulau Pandan jauh di tengah
Gunung Daik bercabang tiga
Hancur badan dikandung tanah
Budi baik terkenang juga
b) Pesimistis, seperti:
Orang teluk pergi menjala
Dapatkan ikan dua tiga
Alangkah buruk untung saya
Tidur bertilam air mata
c) Patuh, beradat, konsultatif, seperti:
Minta wasiat kepada yang tua
Minta petuah kepada yang alim
Minta akal kepada yang adil
Minta adil kepada hulubalang
Minta daulat kepada raja
Minta suara kepada enggang
Minta kuat kepada gajah
d) Persaudaraan, tidak konfrontatif, seperti:
Yang kesat diampelas
Yang berbongkol ditarah
Yang keruh dijernihkan
Yang kusut diuraikan
e) Berketuhanan, seperti:
Adat berwaris kepada Nabi
Adat berkhalifah kepada Adam
Adat berinduk ke ulama
Adat tersurat dalam kertas
Adat tersirat dalam sunnah
Adat dikungkung Kitabullah
ltulah adat tahan banding
Itulah adat yang lasak
f) Instruktif, seperti:
Tidak boleh berbicara cabul
Tidak boleh tekebur
g) Edukatif, seperti:
Pantang membuka aib orang
merobek baju di badan
menepuk air di dulang
yang salah tegur menegur
yang rendah angkat mengangkat
yang tinggi junjung menjunjung
yang lupa diingatkan
yang bengkok diluruskan yang tidur dijagakan
h) Keakraban dan kerukunan, seperti:
Lapang sama bergelar
Sempit sama berhimpit
Lebih beri memberi
Kurang isi mengisi
i) dan lain sebagainya.
Selain itu juga terdapat ungkapan-ungkapan yang menyatakan sindiran yang sekaligus
memberikan peringatan dan bernada edukatif, misalnya “Seperti ilmu padi, makin tua
(berisi) makin merunduk”, “tak emas bungkal di tanah”, “tong kosong nyaring bunyinya”,
dan sebagainya. Pantun dalam senandung Melayu juga dapat bermotifkan sindiran,
misalnya:
Ayam hutan terbang ke hutan
Turun ke tanah mencari makan
Hendak memikat burung di hutan
Burung di sangkar mati tak makan
Bahasa Melayu Riau yang diuraikan secara singkat dan sederhana, baik dalam bentuk dan
contoh yang terdapat dalam bahasa biasa (plain language) maupun dalam bentuk
ungkapan, pantun, bidal, dan sebagainya, menggambarkan sikap dan sifat penuturnya, di
antaranya adalah:
a) Ketaatan pada adat, hukum, dan ketentuan yang berlandaskan kepercayaan pada
Tuhan Yang Maha Esa beserta seluruh ajaran dan perintahNya.
b) Sikap dan sifat yang suka mengalah, menghindari kegaduhan, dan lebih banyak
bertolak angsur. Hal ini ditandai dengan harga diri, sadar, dan tahu diri. Keadaan ini
dapat menumbuhkan sikap positif, yaitu tertib, sopan, dan patuh pada aturan. Namun,
dari segi kebahasaan dapat memunculkan segi negatif, umpamanya dalam menghadapi
tantangan lebih menahan diri dan tidak mengucapkan sesuatu sehingga perasaan menjadi
tertekan, daripada menjawab dengan kata-kata yang dikhawatirkan akan menyinggung
perasaan orang lain.

Anda mungkin juga menyukai