Baru Za
Baru Za
Sosiolinguistik
1. Pendahuluan
Bahasa memainkan peran yang sangat penting dan menentukan dalam kehidupan
manusia. Oleh karena kaitannya yang erat, manusia hampir-hampir tidak menyadari
peran dan kedudukan hakiki dari bahasa karena bahasa dirasakan hadir dan berfungsi
seperti kaki, tangan, atau napas dalam tubuh manusia. Kenyataannya, untuk menarik
garis umum tentang bentuk, unsur, maupun ciri yang terdapat pada satu atau beberapa
bahasa bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Bloomfield (1961: 20) menyatakan
bahwa satu-satunya generalisasi bermanfaat yang dapat ditarik ialah generalisasi induktif.
Ciri-ciri yang dikategorikan universal kemungkinan tidak terdapat pada suatu bahasa
tertentu. Ciri-ciri seperti distingsi antara bentuk kata “mirip sebagai kata kerja” dengan
“mirip sebagai kata benda” merupakan bagian yang terpisahkan dalam susunan jenis kata
pada sebagian bahasa dan karenanya bersifat universal. Akan tetapi, ciri umum ini tidak
selamanya terdapat pada sebagian bahasa lainnya. Ciri kebahasaan sangat bermanfaat
untuk membuat catatan maupun deskripsi. Apabila telah terkumpul sebagian besar data
mengenai seperangkat bahasa, sebaiknya dilaksanakan orientasi kembali pada pokok
permasalahan kebahasaan yang tercakup, misalnya problem gramatikal dalam arti luas,
sehingga analisisnya akan mampu memperlihatkan dan menjelaskan korespondensi
maupun divergensi. Dengan begitu analisis kebahasaan dapat mempunyai sifat induktif,
bukan spekulatif.
Kajian mengenai suatu bahasa yang sering terasa agak sukar adalah pada langkah
linguistik awal. Suatu pendekatan ilmiah terhadap bahasa maupun masalah-masalah
kebahasaan kini telah terbukti merupakan alat yang ampuh dan sangat berguna.
Linguistik sebagai ilmu bukan hanya merupakan pengetahuan semata, tetapi telah
menempuh sejarah perkembangan yang cukup panjang. Linguistik dalam sejarah awalnya
telah tumbuh dengan tujuan kemanfaatan praktis. Dalam perkembangan selanjutnya,
peran linguistik dewasa ini sudah semakin meningkat karena telah membantu, dibantu,
dan mempunyai ikatan yang erat dengan hampir semua disiplin atau ilmu pengetahuan.
Hal ini tercermin dengan adanya cabang linguistik, seperti antropolinguistik,
etnolinguistik, sosiolinguistik, linguistik komputer, linguistikmatematik, dan lain
sebagainya.
Dari sekian ragam kajian bahasa dan linguistik, kajian sosiolinguistik merupakan
bidang yang cukup rumit dan mempunyai banyak kaitan. Kajian sosiolinguistik mencakup
berbagai masalah, seperti bahasa dalam konteks sosial dan kebudayaan, hubungan faktor-
faktor bahasa dengan situasi dan faktor-faktor sosial budaya, serta fungsi-fungsi sosial
penggunaan bahasa dalam masyarakat. Apabila kajian ini diperluas, maka juga akan
mencakup ragam, gaya, dan variasi bahasa (Nababan, 1984: 3–4, 15–23).
Membahas bahasa Melayu Riau bukanlah suatu hal yang sederhana dan sepele, karena
bahasa sendiri tidaklah sesederhana seperti dugaan sementara kalangan. Bahasa
mempunyai seperangkat perbedaan yang disebabkan oleh adanya sejumlah dialek dan
subdialek. Bahasa yang terdapat di pesisir Sumatera Utara (dahulu dikenal sebagai
Sumatera Timur) berbeda dengan bahasa yang terdapat di daerah Melayu Riau. Kendati
mempunyai banyak persamaan dasar historis, namun pergeseran waktu, perbedaan
tempat, pengaruh lingkungan masing-masing, maupun faktor-faktor lainnya
menyebabkan bahasa Melayu Riau dan bahasa Melayu Sumatera Timur memiliki
perbedaan-perbedaan yang tak terelakkan. Atas dasar pertimbangan tersebut dan
keterbatasan waktu, tulisan ini baru menyajikan pada taraf dini tatanan awal bahasa
Melayu Riau, sebagai bagian dari budaya bangsa Indonesia dan khazanahnya.
2. Bahasa Dan Kebudayaan
Gumperz dan Hymes (1972) menyatakan:
Kebudayaan suatu masyarakat berkait erat dengan bahasa yang digunakan oleh
para penutur. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa di dalam suatu bahasa akan
terjalin dan terpapar suatu organisasi fenomena perilaku (patterns of behavior),
kebendaan, ide (kepercayaan dan pengetahuan), serta sentimen (sikap dan norma)
masyarakat. Kenyataan ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa bahasa lebih
merupakan satu communion, perhubungan di antara pribadi dan nilai-nilai sosiobudaya.
Setiap kelompok manusia mempunyai kebudayaan berupa cara hidup yang diamalkan dan
diwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Suatu konsep atau cara hidup dalam
suatu masyarakat dapat didukung oleh kata atau bahasa.
Hubungan yang terjalin erat antara bahasa dengan kebudayaan tercermin antara
lain pada kata-kata yang digunakan oleh suatu masyarakat dalam sistem kekerabatan.
Hubungan kekerabatan yang penting ditandai oleh suatu susunan perbendaharaan kata
untuk menyatakannya. Sebagai contoh, dalam masyarakat Inggris terdapat kata-kata
kekerabatan seperti son, daughter, brother, sister, mother, dan father. Dalam susunan
bahasa Melayu, sistem kekerabatan juga membedakan derajat dalam susunan
kekeluargaan yang ditandai dengan kata sulung (tertua), ngah (tengah), bungsu atau cik
(termuda). Kata-kata semacam ini dapat atau sering ditambahkan pada kata lain, seperti
nenek, sehingga terdapat susunan nek lung, nek ngah, nek cik, dan sebagainya.
Bahasa juga dapat menggambarkan pandangan atau sikap masyarakat. Misalnya,
masyarakat penutur bahasa Inggris memulai pidato dengan ladies and gentlemen dan
masyarakat penutur bahasa Indonesia memulai pidato dengan kata-kata, bapak-bapak
dan atau ibu-ibu. Menurut pandangan sekilas, hal ini mungkin menggambarkan bahwa
masyarakat Indonesia mempunyai perbedaan nilai terhadap wanita jika dibandingkan
dengan masyarakat berbahasa Inggris. Dalam bahasa Indonesia, susunan kata-kata ini
tidak selalu atau selamanya paralel dengan aturan atau kebijaksanaan yang sama,
misalnya hak dan kewajiban dalam negara. Susunan kata jenis jantan ditambah betina
seperti bapak-bapak dan ibu-ibu mempunyai susunan terbalik, seperti dalam kata ibu
bapa. Namun, kembali lagi tampil dalam bentuk yang sama dalam kata suami istri, dan
tidak pernah menjadi istri suami.
` Perbedaan letak susunan kata, seperti jenis kata jantan selalu ditempatkan di
depan jenis kata betina hampir selalu paralel dengan situasi kebudayaan. Ketika duduk di
pelaminan misalnya laki-laki selamanya berada di sebelah kanan, sedangkan wanita
berada di sebelah kirinya. Dalam suasana nasi hadapan (acara makan bersama pada hari
bersanding), pengantin wanita menyulangkan (menyuapi) pengantin lelaki. Berarti lelaki
lebih dahulu merasakan yang lezat bestari, baru diikuti wanita. Dalam berjalan beriringan
dirasakan “kurang beradat” jika wanita berjalan di sebelah kanan lelaki.
Kata-kata ataupun konsep yang didukung oleh suatu kata tidak selamanya kekal dan
abadi. Ada kata yang hilang atau lenyap dari perbendaharaan suatu bahasa. Keadaan ini
berlaku apabila kebudayaan masyarakat itu berubah ataupun berkembang, sehingga
beberapa kata yang terdapat di dalam bahasa itu tidak lagi dapat berfungsi untuk
memenuhi tuntutan perkembangan masyarakat. Dalam masyarakat penutur bahasa
Melayu, terutama dalam menyambut tamu yang dihormati, tadinya makanan atau
minuman yang sering dihidangkan berupa kekaras, lempeng torak, lenggenang, tumpur
janda, dadih (susu lembu yang dimasamkan, sejenis yogurt), dan lainnya. Mungkin karena
hampir tidak ada lagi orang yang terampil membuat makanan lezat bestari seperti di atas,
maka kata-kata tersebut mulai hilang dari daftar perbendaharaan kata. Kasus yang sama
juga berlaku pada kata untuk minuman lezat, dadih, yang mungkin dalam alam yang
serba modern sekarang ini tidak ada lagi lembu atau sapi yang rela susunya diasamkan
atau dijadikan asam, yang berakibat penurunan kualitas dan kuantitas. Sejalan dengan
hal itu, kata-kata seperti abam (asbak), celina (cabai), dan isit (garam) mulai hilang dari
penggunaan sehari-hari.
Kasus semacam ini tidak berarti bahwa setiap perubahan atau perkembangan
kebudayaan suatu bangsa menyebabkan sirnanya semua daftar kata yang mendukung
konsep yang sudah tidak ada lagi. Dalam keadaan tertentu, kata-kata itu dikekalkan,
hanya konsep yang didukungnya disesuaikan dengan kebutuhan kebudayaan. Dalam
masyarakat Melayu misalnya, terdapat kata-kata lama yang telah mengalami perubahan
konsep sesuai dengan perkembangan kebudayaan Melayu. Pemakaian kata-kata yang dulu
dipakai dalam pemerintahan seperti patik, ayapan (makan), santap (makan), gering (sakit
untuk raja atau keluarga raja), beradut (tidur untuk raja atau keluarga raja), dan
sebagainya sangat tinggi. Pemakaiannya harus sejalan dengan hak, kewajiban, adat-
istiadat, dan hukum yang berlaku pada waktu itu. Dalam situasi dan kondisi sekarang,
frekuensi pemakaiannya menurun, dan hanya ada atau terdengar pada kelompok-
kelompok tertentu. Dengan tidak bermaksud membangkitkan feodalisme dalam
kehidupan bernegara Republik Indonesia, kata-kata tersebut perlu dicatat dan diteliti.
Penggunaannya mungkin harus diubah dan disesuaikan dengan keadaan zaman. Misalnya,
dalam situasi hubungan antara yang muda terhadap yang lebih tua, dengan yang
dituakan, atau dengan yang dihormati.
Sebagai perbandingan, tampaknya perlu dibicarakan penutur bahasa Jawa. Jenis
kelamin kadangkala menyebabkan lahirnya perbedaan istilah, seperti kata nenek untuk
jenis betina dan kata kakek untuk jenis jantan. Dalam bahasa Melayu istana, kata atok
dipergunakan untuk nenek maupun kakek. Dalam uraian sebelumnya juga telah
dikatakan bahwa dalam susunan bahasa dapat dilakukan penambahan untuk kata
kekerabatan penanda usia, sehingga kemudian terdapat kata tok lung (atok sulung), tok
ngah (atok tengah), dan tok cu (atok bungsu). Penyebutan nama seseorang sering dianggap
tabu dan kurang sopan, namun dapat ditambahkan sesudah kata kekerabatan seperti Tok
Mat (Atok Amat), Tok Min (Atok Amin atau Aminah). Bentuk lain juga terlihat jika
berkait dengan tempat tinggal atau asal yang dapat menjelaskan identitas, sehingga
terdapat Tok Baru (atok dari Pekanbaru), Tok Pinang (atok dari Tanjungpinang), dan
sebagainya.
Sebagai tambahan, penulis ambilkan contoh dari Kotamadya Medan. Bagi yang
sempat mengenal seseorang bernama Tengku Putih, setelah mengenal Tengku Putih
barangkali merasa heran karena yang menyandang nama tersebut tidak berkulit putih.
Keheranan tersebut akan terjawab jika kita mengetahui bahwa pemakaian nama tersebut
bukan disebabkan oleh warna kulitnya, tetapi menurut urutan dalam susunan keluarga.
Uteh atau putih adalah untuk menunjukkan urutan ke lima dalam keluarga. Mereka yang
telah agak lama berdomisili di Medan dan bergaul dengan masyarakat Melayu mungkin
sempat mengenal seseorang yang bernama Datuk Hitam (Itam). Barangkali yang
menyandang nama tersebut merupakan anak kedelapan (itam) dalam susunan keluarga,
dan dikukuhkan pula penamaannya dengan warna kulit yang digemarinya, gelap pekat.
Selain itu, kemungkinan pula pada anak kedelapan, sang ibu sudah kurang perhatiannya,
sehingga anak tersebut dibiarkan bermain di bawah terik matahari hingga kulitnya
terbakar hangus.
Beberapa uraian di atas membawa kita pada pendapat, antara lain bahwa:
a) Bahasa juga mengalami proses evolusi yang di dalamnya terdapat tantangan kemajuan
teknologi sebagai ukuran kemajuan bahasa. Bangsa yang maju akan terlihat pada
bahasanya yang maju. Sebaliknya, bangsa yang terbelakang memperlihatkan gejala
bahasa yang tidak maju.
b) Penentuan suatu struktur bahasa sering menyebabkan terjadinya penggabungan antara
aktivitas ekstrinsik dan intrinsik. Dalam usaha peningkatan dan penyempurnaan bahasa,
keadaan struktur di luar bahasa sering berperan dalam membantu penyempurnaan
bahasa itu sendiri.
c) Pencatatan keadaan suatu bahasa dalam penentuan klasifikasinya dapat diteliti dari
kekayaan kosakata yang dimiliki, jumlah dan tingkat frekuensi kognisi, terdapatnya
sistematika kata, dan terdapatnya sejumlah kata yang berhubungan dengan konsep
abstrak.
d) Bahasa yang maju adalah bahasa yang mempunyai seperangkat konsep, kosakata, dan
lambang untuk bagianbagian atau hal-hal yang abstrak.
e) Dalam pengembangan bahasa diperlukan beberapa catatan yang turut menentukan,
yang dapat dikategorikan dan diklasifikasikan sebagai unsur historis-komparatif,
kodabilitas frasa (phrase-codability), peminjaman unsur bahasa baru atau penciptaan
kata-kata baru melalui prinsip onomatope, dan lain sebagainya.
3. Sikap Bahasa
b) Kesantunan dalam penggunaan dan pemilihan kata atau suatu sikap bahasa yang
mencerminkan sifat dan tingkahlaku.
c) Dasar adat-istiadat yang sama, yang berpolakan adat sebenar adat, adat yang
diadatkan, dan adat yang teradat.
d) Islam dan ajarannya yang merupakan tiang utama dan mercu suar penyuluh arah,
sikap, serta pola hidup yang banyak berpengaruh dalam penyediaan kata dan istilah.
Kerangka teori yang diungkapkan mengenai variasi bahasa dan ragam bahasa
didasarkan pada hal yang dikemukakan oleh Nababan (1984: 13–15, 22–23). Secara
teoretis, rasanya tidak sukar untuk memberikan klasifikasi dan contoh secara terpisah dan
tersendiri antara aspek-aspek maupun bagian-bagian yang terdapat dalam fungsi dan
variasi bahasa, serta kelompok ragam bahasa. Namun dalam kenyataannya, contoh-contoh
yang sempat terkumpul memperlihatkan kaitan atau berada dalam subkelompok lebih
dari satu. Hal ini mungkin disebabkan oleh kasus filogenetik (hubungan antara bahasa dan
kebudayaan yang saling berkaitan erat atau tidak dapat dilepas dan berdiri sendiri)
dengan masalah ontogenetik (proses pemahaman dan penghayatan kebudayaan melalui
bahasa).
a. Ragam Beku
Ragam beku ialah jenis ragam bahasa yang paling resmi digunakan dalam situasi
khidmat dan upacara-upacara resmi. Ragam jenis ini juga mempunyai bentuk-bentuk
tertentu seperti undang-undang, peraturan, dan lain sebagainya. Tata-laksana adat-
istiadat dalam perkawinan masyarakat penutur bahasa Melayu Riau mempunyai berbagai
bentuk. Bentuk-bentuk tata-laksana perkawinan ditandai dengan seperangkat istilah,
seperti kawin pinangan, kawin ganti tiko, kawin balam duo sarenggek, kawin jando
berhias, dan kawin berambik. Kebiasaan dan tradisi adat perkawinan mempunyai
seperangkat upacara, baik pada masa sebelum, menjelang, sedang, dan setelah upacara
resmi berlangsung. Upacara-upacara tersebut ditandai dengan sederetan kata maupun
istilah, seperti marisik meminang, mengantar belanja, menggantung, mengucap, tepung
tawo, berinai, berendam, berkatam, bersanding, dan malam menyembah.
Dalam pelaksanaan adat-istiadat, hukum, dan perkawinan lahirlah sejumlah pedoman
dalam bentuk susunan untaian kata, seperti “sekali air bah, sekali tepian beralih”. Selain
itu, untaian kata juga terdapat dalam petuah-petuah seperti dalam Gurindam Dua Belas
yang dapat dikutip sebagai berikut.
Jika hendak mengenal orang yang berbangsa lihat kepada budi dan bahasa
Jika hendak mengenal orang yang mulia lihatlah pada kelakuan dia
(Pasal Kelima)
Betul hati kepada raja tanda jadi sembarang kerja
Hukum adil kepada rakyat tanda raja beroleh inayat
(Pasal Kedua belas)
Contoh lain dari ragam beku ialah ketentuan hukum seperti yang terdapat dalam Andiko
4. Pemerintahan Kerajaan Melayu menggariskan ketentuan mengenai ulau-ulau, “ularan-
ularan”, yang mengandung fatwa politis seperti tercermin dalam
Palu-palu ular Ular dipalu tidak mati
Ibarat menghela rambut dalam tepung Rambut tidak putus Tepung tidak berserak
Penentuan dan pembagian waktu mempunyai istilah tersendiri dalam bahasa Melayu
Riau, seperti yang umum diketahui dalam contoh senja dan malam. lstilah-istilah yang
dimaksud antara lain ialah sebelum terbang lalat (subuh), matahari naik (sebelum jam
09.00 pagi), matahari sepenggalahan (09.00–12.00), matahari tergelincir (sesudah jam
12.00).
b. Ragam Resmi
Ragam resmi ialah ragam bahasa yang sering dipakai dalam pidato-pidato resmi,
rapat dinas, atau sambutan resmi pimpinan suatu lembaga. Dalam konteks republik,
panggilan terhadap kepala pemerintahan, baik pada tingkat pusat maupun daerah
biasanya menggunakan kata ataupun istilah yang seragam untuk seluruh wilayah tanah
air. Panggilan dalam lingkungan terbatas keluarga dan daerah masih banyak
mempergunakan kata maupun istilah lama. Sejarah Kerajaan Melayu sendiri
meninggalkan kata dan istilah mengenai lembaga, pemimpin, dan pejabat pemerintahan
seperti raja/sultan, tumenggung, batin, kesultanan, dewan kerajaan, kerapatan tinggi,
kadhi, kepala imam, datuk, dan sebagainya.
Sesuai dengan kebiasaan dalam masyarakat penutur bahasa Melayu, baik dalam ragam
resmi, santai, maupun akrab, terasa ada kelengkapan dan keindahan pada ungkapan, kata
bersayap, dan bidal. Beberapa contohnya antara lain:
Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing
(Menunjukkan sopan-santun)
Ibarat aur dengan tebing
Ibarat kuku dengan isi
atau
Sembarang dua sisi dan satu mata uang
(Adat pergaulan)
Berkata hendaklah di bawah-bawah,
mandi hendaklah di hilir-hilir
Musuh jangan dicari, bersua jangan dielak
Mulut kamu harimau kamu
Selain membicarakan pekerjaan atau bidang usaha yang akan dikerjakan melalui kata
dan istilah yang berkaitan langsung, masyarakat penutur bahasa Melayu juga sering
memulai atau menghakimi pembicaraan inti dengan pembicaraan santai dan rasa
keakraban. Pesan dan petuah jarang terlupakan, sehingga terjadi penggabungan antara
ragam usaha, santai, dan akrab.
Pesan atau petuah yang selalu terdengar antara lain adalah:
“Selangkah maju tiga langkah mundur; genggam biar jadi arang tak dilepas walau terasa
hangat; yang semak buang ke rimba, yang keruh buang ke laut”, dan lain sebagainya.
Ragam tidak akan lengkap dalam kajian suatu bahasa karena baru sampai taraf kajian
fungsiolek. Perbedaanperbedaan yang mungkin terdapat dalam kelompok-kelompok kecil
perlu dikaji. Hal ini menyangkut masalah seperti dialek, sosiolek, dan lainnya. Langkah ini
perlu dilakukan dalam usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Melayu Riau.
5. Variasi Bahasa
Bahasa mempunyai dua aspek dasar, yaitu bentuk dan makna. Bentuk dianalisis
dan dideskripsikan dari aspek bunyi, tulisan, maupun struktur, sedangkan makna
dianalisis dan dideskripsikan dari sudut pandang leksikal, fungsional, dan struktural.
Penutur bahasa Melayu Riau mendiami daerah Riau, dan bahasa yang digunakan berakar
pada bahasa yang terdapat dan digunakan sejak zaman Kerajaan Melayu (Imperium
Melayu) dengan berbagai variasi dan ragam bahasa yang secara teoretis dikenal sebagai
dialek (variasi berdasarkan batas geografis), sosiolek (variasi berdasarkan latar belakang
sosial dan pendidikan), fungsiolek, kronolek, dan lainnya. Keseluruhan variasi tidak
mungkin dikemukakan dalam tulisan ini, karena luasnya dialek yang terdapat dalam
bahasa Melayu Riau. Contoh-contoh yang dikemukakan di sini adalah sebagai bukti dan
ilustrasi mengenai adanya variasi bahasa Melayu Riau, sebagai suatu dukungan untuk
kajian sosiolinguistik.
Variasi atau perbedaan yang ada berupa perbedaan bunyi beberapa fonem seperti
beberapa contoh berikut ini.
a) Fonem /a/—/a/— /o/
Variasi 1 Variasi 2 Variasi 3
/ lada / / lada / / lado /
/ saya / / saya / / sayo /
/ dunia / / dunia / / dunio /