PENDAHULUAN
Reaksi hipersensitivitas obat merupakan efek samping obat pada dosis yang umum
diterima dan secara klinis bermanifestasi sebagai alergi Jika seseorang sensitive terhadap
suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi
hipersensitivitas yang merupakan suatu reaksi anafilaksis yang dapat berujung pada syok
anafilaktik. Anafilaksis merupakan reaksi hipersensitivitas sistemik yang dapat mengancam
kehidupan.1,2
Ditahun 2004, Bohlke et al memperkirakan insidensi anafilaksis yang didiagnosis
oleh dokter diantara anak-anak dan dewasa adalah 10,5 episode per 100.000 orang per
tahun. Di Indonesia, angka kematian dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaktik pada
tahun 2005.3,4 .
Anafilaksis paling sering disebabkan oleh makanan, obat-obatan, sengatan serangga,
dan lateks. Gambaran klinis anafilaksis sangat heterogen dan tidak spesifik. Reaksi awalnya
cenderung ringan membuat masyarakat tidak mewaspadai bahaya yang akan timbul, seperti
syok, gagal nafas, henti jantung dan kematian mendadak.5,6
Reaksi hipersensitivitas obat tidak dapat diperkirakan sebelumnya dan merupakan
keadaan yang dapat mengancam jiwa. Insidensi dan karakteristik reaksi alergi terhadap suatu
obat bergantung pada faktor genetik dan lingkungan. Diagnosis alergi obat dapat ditegakkan
apabila terdapat bukti imunologis yang menunjukkan terjadinya reaksi. Reaksi alergi
terhadap suatu obat sering menimbulkan kekhawatiran karena dapat menimbulkan ancaman
jiwa dan sering memerlukan perawatan yang lama di rumah sakit. Oleh karena itu
diperlukan penilaian yang cermat dalam diagnosis dan tatalaksana yang tepat untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat reaksi hipersensitivitas terhadap suatu obat.7
Diagnosis dan tatalaksana syok anafilaksis akan dibahas lebih lanjut dalam referat ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
DEFINISI
Reaksi hipersensitivitas obat merupakan efek samping obat pada dosis yang umum
diterima dan secara klinis bermanifestasi sebagai alergi. Reaksi alergi merupakan efek
samping yang tidak diinginkan yang berhubungan dengan mekanisme imunologis. Efek
samping ini terjadi akibat reaksi toksik dan interaksi obat yang timbul karena sifat
farmakologis obat. Alergi obat merupakan respons abnormal yang timbul terhadap bahan
obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologis berupa hipersensitivitas yang terjadi
selama atau setelah pemakaian obat. Syok anafilaktik merupakan suatu respon
hipersensitivitas yang diperantarai oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang
ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat.7,8,9,10
2.3
EPIDEMIOLOGI
Insiden anafilaksis sangat bervariasi, si Amerika Serikat disebutkan bahwa angka
kejadian
10
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan
bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda
dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai resiko kira-kira 20 kalki lipat lebih
tinggi dibandingkan laki-laki.4,6
2.4
alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi dan kesinambungan paparan alergen. Golongan
alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan
serangga an lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan, kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri,
putih telur dan susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis.
Obat-obatan yang dapat menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin,
obat anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat dan
lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik dan cuaca juga dapat
menyebabkan anafilaksis.5,6,13
2.5
PATOFISIOLOGI
Substansi obat biasanya memiliki berat molekul yang rendah sehingga tidak
langsung merangsang sistem imun bila tidak berikatan dengan karier yang memiliki berat
molekul yang besar. Antigen yang terdiri dari kompleks obat dan protein karier ini disebut
sebagai hapten. Hapten akan membentuk ikatan dengan protein jaringan yang bersifat
lebih stabil dan akan tetap utuh selama diproses di makrofag dan akan dipresentasikan
kepada sel limfosit hingga sifat imunogeniknya stabil.1,2
Sebagian kecil substansi obat memiliki berat molekul yang besar dan bersifat
imunogenik sehingga dapat langsung merangsang sistem imun tubuh, tetapi terdapat
beberapa jenis obat dengan berat molekul relatif rendah yang memiliki sifat imunogenik
tanpa perlu berikatan dengan protein karier dengan mekanisme yang masih belum jelas.13
Setelah pajanan awal maka kompleks obat-karier akan merangsang pembentukan
antibodi dan aktivasi sel imun dalam masa laten yang dapat berlangsung selama 10-20
hari. Pada pajanan berikutnya periode laten menjadi lebih singkat karena antigen tersebut
sudah dikenal oleh sistem imun tubuh melalui mekanisme pembentukan sel memori.13
Alergi obat merupakan reaksi hipersensitivitas yang dapat digolongkan menjadi 4
tipe menurut Gell dan Coombs. Alergi obat dapat terjadi melalui keempat mekanisme
reaksi hipersensitivitas. Bila antibodi spesifik yang terbentuk adalah IgE pada penderita
atopi (IgE-mediated) maka yang terjadi adalah reaksi tipe I (anafilaksis). Bila antibodi
yang terbentuk adalah IgG dan IgM, kemudian diikuti oleh aktivasi komplemen maka yang
terjadi adalah reaksi hipersensitivitas tipe II atau tipe III. Bila yang tersensitisasi adalah
respons imun selular maka akan terjadi reaksi tipe IV. Reaksi tipe II sampai IV merupakan
reaksi imun yang tidak dapat diprediksi dan tidak melalui pembentukan IgE (non IgEmediated). Alergi obat juga dapat terjadi melalui keempat mekanisme tersebut secara
bersamaan. Alergi obat paling sering terjadi melalui mekanisme tipe I dan IV.1,2
Reaksi tipe I merupakan reaksi hipersensitivitas cepat yang diperantarai oleh IgE dan
menyebabkan reaksi seperti anafilaksis. Gejala yang ditimbulkan dapat berupa urtikaria,
edema laring, dan wheezing. Reaksi tipe II merupakan reaksi sitotoksik yang diinduksi oleh
kompleks komplemen dengan antibodi sitotoksik IgM atau IgG. Reaksi ini terjadi sebagai
respons terhadap obat yang mengubah membran permukaan sel. Pada reaksi tipe III terdapat
periode laten beberapa hari sebelum gejala timbul yaitu periode yang dibutuhkan untuk
membentuk kompleks imun yang dapat mengaktivasi komplemen. Reaksi biasanya baru
timbul setelah obat dihentikan.Pada reaksi hipersensitivitas tipe lambat, limfosit bereaksi
langsung dengan antigen.6,13
Mekanisme
Manifestasi
klinis
Urtikaria,
angioedema,
bronkospasme,
anafilaksis
Waktu
Reaksi
Beberapa
menit sampai
beberapa jam
setelah
paparan.
Pemeriksaan
Tipe I
Tipe II
Reaksi sitotoksik
diperantarai IgG atau
IgM. Antibodi IgM atau
IgG spesifik terhadap sel
hapten-obat
Anemia
hemolitik,
neutropeni,
trombositopeni
Bervariasi
Coombs test
Tipe III
1-3 minggu
setelah
paparan
Tipe IV
Vaskulitis,
limfadenopati,
demam,
artropati,
ruam, serum
sickess.
Dermatitis
kontak alergi.
Patch test
2-7 hari
setelah
paparan
Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase
sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya
oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase aktivasi
merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai
timbulnya gejala.4,5,6
Alergen yang masuk melalui kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan
ditangkap oleh makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada
limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi limfosit
B berproliferasi menjadi sel plasma (plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik
untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel mast (mastosit) dan
basofil.4,5,6
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan
reaksi pada paparan ulang. Pada kessempatan lain masuk alergen ynag sama ke dalam
tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi
segera, yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan
beberapa bahan vasoaktif dari granula yang disebut dengan istilah perfomed mediator.4,5,6
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari
reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah
terpapar dengan alergen, reaksi dorman terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar
dengan alergen, serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dedngan
alergen.6
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjai berat tetapi kadangkadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat
ringan, sedang dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi
hangat, rasa sesak di mulut dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung,
pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin dan mata berair. Awitan gejala-gejala
dimulai dalam 2 jam pertama setelah pajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua
gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan
dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan, hangat anxietas dan gatal-gatla juga sering
terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan
yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah
disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospasme, edema laring,
dispnea berat dan sianosis. Dapat diiringi gejal disfagia, kram pada abdomen, muntah,
diare dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat
disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang irreversible.4,6,12
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada
satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit,
mata, susunan saraf pusat, dan sistem saluran kencing dan sistem yang lain. Keluhan yang
sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata
dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, serak, sesak, mual pusing, lemas dan sakit
perut.4,6,12
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan.
Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergig shiner. Yaitu daerah dibawah palpebra inferior
yang menjadi gelap da bengkak. Pemeriksaan hidung bagian liuar dibidang alergi ada
beberapa tanda, misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengna menggunakan telapak
tangan menggosok ujung hidungnya kearah atas untuk menghilang kan rasa gatal dan
melonggarkan sumbatan. Allergiccrease,
gigi geligi. Bagian dalam hidung diperiksa untuk menilai warna mukosa,
jumlah dan bentuk sekret, edema, polip hidung dan deviasi septum. Pada kulit trerdapat
eritem, edema, gatal, urtikaria, kuluit terasa hangat dan duingin, lembab/basah dan
diaphoresis.4,6,12
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan
saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafasa dan penurunan volume tidal.
Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlihat sehoingga
terjadi stridor. Suara dapat serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika edema terus
memburuk. Obstruksi saluran napas komplit adalah penyebab kematian paling sering pada
anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena
bronkospsme atau edema mukosa. Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat
serta bersin-bersin.4,6,12
Keadaan binggung dan gelisah dan diikuti oleh penurunan kesadaran sampai terjadi
koma merupakan gangguan pada susunan sistem saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular
terjadi hipotenasi, takikardi, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemik otot jantung
(angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya edema disertai pula dengan
aritmia. Sementara pada ginjal, terjadui hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan
pengeluaran urin akibat penuruna GFR yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya
gagal gibnjal akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengqn
perubahan elektrolit pada urin.4,6,12
Anamnesis
Evaluasi kecurigaan terhadap alergi obat dimulai dengan riwayat penyakit
dan terapi yang diberikan secara terperinci, meliputi nama atau jenis obat, dosis,
indikasi, tanggal pemberian dan lama pemberian. Interval antara waktu pertama
kali minum obat dengan onset reaksi dapat menjadi lebih pendek apabila
sebelumnya penderita pernah tersensitisasi oleh obat yang sama. Dari anamnesis
dapat dibedakan antara alergi obat dengan reaksi toksik dan idiosinkrasi. Misalnya
gejala gastrointestinal setelah minum antibiotik atau nyeri pada tempat suntikan
obat dapat diperkirakan bukan berdasarkan reaksi imunologis.10
2.7.2
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu dicari tanda bahaya yang dapat mengancam
jiwa seperti kolaps kardiovaskular, edema laring atau saluran nafas atas, wheezing
dan hipotensi. Adanya demam, lesi membran mukosa, limfadenopati, nyeri sendi
dan bengkak menandakan reaksi alergi yang berat. Lesi pada kulit harus
diseskripsikan secara akurat mulai dari bentuk, ukuran dan distribusinya.7,10
2.7.3
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk konfirmasi diagnosis alergi obat meliputi uji
tusuk kulit (skin prick test) dan uji provokasi. Uji tusuk kulit dapat digunakan
untuk mengkonfirmasi adanya reaksi tipe I yaitu dengan ditemukannya kompleks
antigen-IgE spesifik. Uji kulit dapat dilakukan dengan menggunakan bahan yang
bersifat imunogenik, yaitu determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Uji
provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat tetapi merupakan prosedur
diagnostik yang berbahaya. Uji provokasi tidak dilakukan pada kondisi alergi obat
yang berat seperti anafilaksis atau kelainan hematologis.7
2.9
PENATALAKSANAAN
Dasar utama penanganan alergi obat adalah penghentian obat yang dicurigai dan
mengatasi gejala klinis yang timbul. Selanjutnya harus dipikirkan juga upaya pencegahan
terjadinya alergi obat kembali. Penentuan obat yang harus dihentikan seringkali sulit
karena biasanya penderita mendapat berbagai jenis obat dalam waktu yang sama. Semua
obat yang diberikan diupayakan dihentikan terlebih dahulu, kecuali obat yang memang
perlu dan tidak dicurigai sebagai penyebab reaksi alergi atau menggantikannya dengan
obat lain.
1,13
2.9.1
2,5
Tatalaksana Anafilaksis
Tatalaksana pada manifestasi klinis yang berat seperti anafilaksis meliputi
stabilisasi dan patensi jalan nafas, pemberian oksigen, pemberian adrenalin, terapi
cairan,pemberian antihistamin dan kortikosteroid. Obat-obatan yang dicurigai
sebagai pemicu terjadinya alergi harus segera dihentikan. Pasien harus diobservasi
dalam ruang resusitasi di Unit Gawat Darurat. Peralatan seperti pulse oxymeter,
monitor tekanan darah non invasif dan EKG digunakan untuk penilaian dan
pemantauan tanda vital pasien. Tanda-tanda edema saluran nafas, bronkospasme
dan syok harus segera dinilai.
2.9.3
6,13
pasien diatas 92%. Perlu diwaspadai tanda-tanda ancaman obstruksi jalan nafas
seperti stridor yang memburuk, suara serak, takipnea dan wheezing yang progresif.
Pada keadaan ini tindakan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanis sering sulit
dilakukan, dan tindakan intervensi bedah untuk membuka saluran nafas melalui
krikotiroidotomi dapat dipertimbangkan.
2.9.4
6,13
Pemberian Cairan
Pada keadaan anafilaksis terjadi peningkatan permeabilitas vaskular dan
dapat terjadi kehilangan lebih dari 35% volume darah dalam 10 menit pertama.
Pemasangan jalur intravena harus segera dilakukan dan apabila tidak
memungkinkan maka harus dibuat akses intraosseus. Pada pasien yang mengalami
syok (takikardi, hipotensi atau waktu pengisian kapiler yang melambat) harus
segera mendapatkan resusitasi cairan dengan kristaloid sebanyak 20 ml/kgBB.
Bolus cairan dapat diulang sampai 60 ml/kgBB. Apabila keadaan syok belum
teratasi maka pemberian obat-obat inotropik dapat dipertimbangkan.
2.9.5
8,14
Pemberian Adrenalin
Adrenalin merupakan obat pilihan pada tatalaksana akut anafilaksis.
berat.
Dosis
inisial
0,75-1,5
g/kgBB
dalam
menit.
Epinefrinkemudian
diberikan
dalam
infus
kontinyudengan
dosis
0,1
6,13,14
Antihistamin H1 dan H2
Antihistamin diberikan terutama untuk meredakan gejala pada kulit seperti
urtikaria, angioedema ringan dan pruritus dan bukan untuk terapi anafilaksis.
Antihistamin golongan H1 seperti setirizin atau difenhidramin dapat diberikan
untuk meredakan gejala pada kulit seperti urtikaria, pruritus dan angioedema.
Antihistamin golongan H1 tidak memiliki efek dalam meredakan gejala
respiratorik, gastrointestinal atau kardiovaskular pada anafilaksis. Setirizin
memiliki onset kerja yang lebih cepat dibandingkan difenhidramin, tetapi pada
kasus yang disertai dengan muntah, difenhidramin lebih aman untuk digunakan.
Antihistamin golongan H2 seperti ranitidin dapat diberikan dalam kombinasi
dengan antihistamin golongan H1 karene efektifitas dalam meredakan gejala pada
kulit lebih baik jika dibandingkan dengan penggunaan antihistamin golongan H1
saja.
6,13,14
2.9.7
Kortikosteroid
Belum ada penelitian yang menunjukkan efektivitas pemberian steroid pada
Obat-obat Inhalasi
Penggunaan obat-obat inhalasi seperti salbutamol dapat diberikan pada
anak yang datang dengan keluhan wheezing dan bronkospasme, atau anak yang
memiliki riwayat penyakit asma. Salbutamol dapat diberikan dengan dosis 5
sampai 10 puffs menggunakan metered dose inhaler(MDI) dan diberikan setiap 20
menit sampai sesak nafas dan wheezing berkurang. Pada bayi yang belum bisa
menggunakan MDI dapat diberikan nebulisasi salbutamol 2,5 mg sampai 5 mg per
dosis.
2.9.9
Glukagon
Pada pasien yang memiliki riwayat pengobatan lama dengan beta blocker
dan mengalami syok anafilaksis dapat terjadi hipotensi yang persisten walaupun
telah mendapatkan epinefrin. Pada keadaan ini glukagon dapat diberikan untuk
mengembalikan fungsi kardiovaskular. Glukagon diberikan dengan dosis 20-30
g/kgBB selama 5 menit (maksimal 1 mg) dilanjutkan dengan infus glukagon
secara kontinyu mulai dari kecepatan 5-15 g/kgBB/menit.
14
Setirizin (PO)
Tiap 4-6 jam
Difenhidramin IM/IV
Tiap 8 jam
Ranitidin PO/IV
Tiap 6 jam
Prednison
PO atau
Metilprednisolon IV
Tiap 20 menit atau selama masih
Salbutamol
ada gejala respiratorik (wheezing
atau sesak nafas)
Tiap 20 menit s/d 1 jam apabila
Nebulisasi epinefrin
masih ada gejala obstruksi saluran
nafas atas (stridor)
Infus kontinyu pada hipotensi
Epinefrin IV
Bolusdiikutidenganinfus
Glukagon IV
kontinyu
10
11
BAB III
KESIMPULAN
Disfagia adalah kesulitan dalam mengalirkan makanan padat atau cair dari
mulut melalui esofagus
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Muraro, A., G.Roberts, A.Clark, A.Eigenmann, S.Halken, G.Lack. et al.
The Management of anaphylaxis in childhood : Position paper of the
European academy of allergology and clinical immunology. Allergy.
2007;62:857-71
2. Mangku, G. Diktat Kuliah: Syok, Bagian Anestesiologi dan ReanimasiFK
UNUD/RSSanglah, Denpasar. 2007.
3. Lane, Roni dan R.G Bolte. Pediatric Anaphylaxis. Pediatric Emergency
Care. 2007;23:49-58
4. Anonim, Severe Allergic Reaction, Anaphylactic Shock. 2008 (Diakses
tanggal 9 oktober 2015) dari URL: www.emedicine.com.
5. Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies. BMJ. Vol 316. 1998.
6. Suryana K. Diktat Kuliah. Clinical Allergy Immunology. Divisi
Alergy Immunology Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS
Sanglah: Denpasar. 2003.
7. Limsuwan T, Demoly P. Acute Symptoms of Drug Hypersensitivity
(Urticaria, Angioedema, Anaphylaxis, Anaphylactic Shock). Med Clin N
Am. 2010;94:691-710.
8. Rubio M, Bousquet P, Gomes E, Romano A, Demoly P. Results of drug
hypersensitivity evaluations in a large group of children and adults.
Clinical & Experimental Allergy. 2011;42:123-30.
9. Demoly P, Viola M, Gomes E, Romano A. Epidemiology and Causes of
Drug Hypersensitivity. Karger. 2007:2-17.
17
of
reaction
anaphylaxis.
and
Emergencias.
Anesthesia
dalan
anatomy.
Diunduh
dari
http://emedicine.medscape.com/article/1899345-overview#showall. Pada
tanggal 24 juli 2011, pukul 20.30 WIB
7. Digestive Disorders Health Center: Human Anatomy. Diunduh dari
http://www.webmd.com/digestive-disorders/picture-of-the-esophagus.
Pada tanggal 27 juli 2011, pukul 14.00 WIB
8. Esophagus
anatomy
and
development.
Diunduh
dari
18
11. Dysphagia.
(internet)
2014.
(diunduh
September
2015)
dari
(diunduh
September
2015)
dari
http://emedicine.medscape.com.
12. Dysphagia.
(internet)
2015.
http://www.umm.edu.
13. Saeian K, Shaker R, editor. Oropharyngeal Dysphagia. USA: Current
Science;
2000.
Diunduh
dari
http://www.sld.cu/galerias/pdf/sitios/rehabilitacionlogo/disfagia_orofaringea.pdf.
14. Lazarus, Cathy L. Management of Dysphagia, Head & Neck Surgery Otolaryngology, 4th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2006:
Philadelphia.
15. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of patients with
stroke: identification and management of dysphagia, a National clinical
guideline. June 2010.
[internet] 2008. [cited 2010 Feb 14] Available from:
Sumber
19
1. Lazarus, Cathy L. Management of Dysphagia, Head & Neck Surgery Otolaryngology, 4th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2006:
Philadelphia.
2. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of patients with
stroke: identification and management of dysphagia, a National clinical
guideline. June 2010.
20