Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
Reaksi hipersensitivitas obat merupakan efek samping obat pada dosis yang umum
diterima dan secara klinis bermanifestasi sebagai alergi Jika seseorang sensitive terhadap
suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi
hipersensitivitas yang merupakan suatu reaksi anafilaksis yang dapat berujung pada syok
anafilaktik. Anafilaksis merupakan reaksi hipersensitivitas sistemik yang dapat mengancam
kehidupan.1,2
Ditahun 2004, Bohlke et al memperkirakan insidensi anafilaksis yang didiagnosis
oleh dokter diantara anak-anak dan dewasa adalah 10,5 episode per 100.000 orang per
tahun. Di Indonesia, angka kematian dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaktik pada
tahun 2005.3,4 .
Anafilaksis paling sering disebabkan oleh makanan, obat-obatan, sengatan serangga,
dan lateks. Gambaran klinis anafilaksis sangat heterogen dan tidak spesifik. Reaksi awalnya
cenderung ringan membuat masyarakat tidak mewaspadai bahaya yang akan timbul, seperti
syok, gagal nafas, henti jantung dan kematian mendadak.5,6
Reaksi hipersensitivitas obat tidak dapat diperkirakan sebelumnya dan merupakan
keadaan yang dapat mengancam jiwa. Insidensi dan karakteristik reaksi alergi terhadap suatu
obat bergantung pada faktor genetik dan lingkungan. Diagnosis alergi obat dapat ditegakkan
apabila terdapat bukti imunologis yang menunjukkan terjadinya reaksi. Reaksi alergi
terhadap suatu obat sering menimbulkan kekhawatiran karena dapat menimbulkan ancaman
jiwa dan sering memerlukan perawatan yang lama di rumah sakit. Oleh karena itu
diperlukan penilaian yang cermat dalam diagnosis dan tatalaksana yang tepat untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat reaksi hipersensitivitas terhadap suatu obat.7
Diagnosis dan tatalaksana syok anafilaksis akan dibahas lebih lanjut dalam referat ini.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

DEFINISI
Reaksi hipersensitivitas obat merupakan efek samping obat pada dosis yang umum

diterima dan secara klinis bermanifestasi sebagai alergi. Reaksi alergi merupakan efek
samping yang tidak diinginkan yang berhubungan dengan mekanisme imunologis. Efek
samping ini terjadi akibat reaksi toksik dan interaksi obat yang timbul karena sifat
farmakologis obat. Alergi obat merupakan respons abnormal yang timbul terhadap bahan
obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologis berupa hipersensitivitas yang terjadi
selama atau setelah pemakaian obat. Syok anafilaktik merupakan suatu respon
hipersensitivitas yang diperantarai oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang
ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat.7,8,9,10

2.3

EPIDEMIOLOGI
Insiden anafilaksis sangat bervariasi, si Amerika Serikat disebutkan bahwa angka

kejadian

anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat

penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit


pengguanaan obat. Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas
sebesar 1-3/1 juta penduduk. Sementara, di Indonesia, angka kematian dari kasus anafilaksis
dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005.2,4
Di Indonesia, angka kejadian sesungguhnya reaksi alergi obat sulit diketahui karena
manifestasi klinisnya yang sangat bervariasi. Angka kejadian alergi obat obat yang
dilaporkan di rumah sakit pada umumnya mencapai 20-30%, dengan manifestasi terbanyak
pada kulit berupa urtikaria.

10

Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan
bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda
dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai resiko kira-kira 20 kalki lipat lebih
tinggi dibandingkan laki-laki.4,6
2.4

FAKTOR PREDISPOSISI DAN ETIOLOGI


Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan resiko anafilaksis adalah sifat

alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi dan kesinambungan paparan alergen. Golongan
alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan

serangga an lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan, kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri,
putih telur dan susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis.
Obat-obatan yang dapat menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin,
obat anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat dan
lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik dan cuaca juga dapat
menyebabkan anafilaksis.5,6,13
2.5

PATOFISIOLOGI
Substansi obat biasanya memiliki berat molekul yang rendah sehingga tidak

langsung merangsang sistem imun bila tidak berikatan dengan karier yang memiliki berat
molekul yang besar. Antigen yang terdiri dari kompleks obat dan protein karier ini disebut
sebagai hapten. Hapten akan membentuk ikatan dengan protein jaringan yang bersifat
lebih stabil dan akan tetap utuh selama diproses di makrofag dan akan dipresentasikan
kepada sel limfosit hingga sifat imunogeniknya stabil.1,2
Sebagian kecil substansi obat memiliki berat molekul yang besar dan bersifat
imunogenik sehingga dapat langsung merangsang sistem imun tubuh, tetapi terdapat
beberapa jenis obat dengan berat molekul relatif rendah yang memiliki sifat imunogenik
tanpa perlu berikatan dengan protein karier dengan mekanisme yang masih belum jelas.13
Setelah pajanan awal maka kompleks obat-karier akan merangsang pembentukan
antibodi dan aktivasi sel imun dalam masa laten yang dapat berlangsung selama 10-20
hari. Pada pajanan berikutnya periode laten menjadi lebih singkat karena antigen tersebut
sudah dikenal oleh sistem imun tubuh melalui mekanisme pembentukan sel memori.13
Alergi obat merupakan reaksi hipersensitivitas yang dapat digolongkan menjadi 4
tipe menurut Gell dan Coombs. Alergi obat dapat terjadi melalui keempat mekanisme
reaksi hipersensitivitas. Bila antibodi spesifik yang terbentuk adalah IgE pada penderita
atopi (IgE-mediated) maka yang terjadi adalah reaksi tipe I (anafilaksis). Bila antibodi
yang terbentuk adalah IgG dan IgM, kemudian diikuti oleh aktivasi komplemen maka yang
terjadi adalah reaksi hipersensitivitas tipe II atau tipe III. Bila yang tersensitisasi adalah
respons imun selular maka akan terjadi reaksi tipe IV. Reaksi tipe II sampai IV merupakan
reaksi imun yang tidak dapat diprediksi dan tidak melalui pembentukan IgE (non IgEmediated). Alergi obat juga dapat terjadi melalui keempat mekanisme tersebut secara
bersamaan. Alergi obat paling sering terjadi melalui mekanisme tipe I dan IV.1,2
Reaksi tipe I merupakan reaksi hipersensitivitas cepat yang diperantarai oleh IgE dan
menyebabkan reaksi seperti anafilaksis. Gejala yang ditimbulkan dapat berupa urtikaria,
edema laring, dan wheezing. Reaksi tipe II merupakan reaksi sitotoksik yang diinduksi oleh

kompleks komplemen dengan antibodi sitotoksik IgM atau IgG. Reaksi ini terjadi sebagai
respons terhadap obat yang mengubah membran permukaan sel. Pada reaksi tipe III terdapat
periode laten beberapa hari sebelum gejala timbul yaitu periode yang dibutuhkan untuk
membentuk kompleks imun yang dapat mengaktivasi komplemen. Reaksi biasanya baru
timbul setelah obat dihentikan.Pada reaksi hipersensitivitas tipe lambat, limfosit bereaksi
langsung dengan antigen.6,13

Tabel 2. Mekanisme hipersensitivitas/alergi obat berdasarkan mekanisme


imunologis.11
Reaksi

Mekanisme

Manifestasi
klinis
Urtikaria,
angioedema,
bronkospasme,
anafilaksis

Waktu
Reaksi
Beberapa
menit sampai
beberapa jam
setelah
paparan.

Pemeriksaan

Tipe I

Reaksi imunologis yang


diperantarai IgE.
Kompleks IgE-obat
berikatan dengan sel
mast, melepaskan
histamin dan mediator
lain

Skin prick testing


Intradermal testing
Specific IgE testing
Tes provokasi obat

Tipe II

Reaksi sitotoksik
diperantarai IgG atau
IgM. Antibodi IgM atau
IgG spesifik terhadap sel
hapten-obat

Anemia
hemolitik,
neutropeni,
trombositopeni

Bervariasi

Coombs test

Tipe III

Reaksi kompleks imun.


Deposit jaringan dari
kompleks antibodi-obat
dengan aktivasi
komplemen

1-3 minggu
setelah
paparan

C3, C4, ANA,


ANCA

Tipe IV

Reaksi tipe lambat,


diperantarai oleh selular.
Presentasi molekul obat
oleh MHC kepada sel T
dengan pelepasan sitokin

Vaskulitis,
limfadenopati,
demam,
artropati,
ruam, serum
sickess.
Dermatitis
kontak alergi.

Patch test
2-7 hari
setelah
paparan

Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase
sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya
oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase aktivasi
merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai
timbulnya gejala.4,5,6
Alergen yang masuk melalui kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan
ditangkap oleh makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada
limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi limfosit
B berproliferasi menjadi sel plasma (plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik
untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel mast (mastosit) dan
basofil.4,5,6
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan
reaksi pada paparan ulang. Pada kessempatan lain masuk alergen ynag sama ke dalam
tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi
segera, yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan
beberapa bahan vasoaktif dari granula yang disebut dengan istilah perfomed mediator.4,5,6

Ikatan antigen-antibodi merangsang dengradasi asam arakidonat dari membran sel


yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa
waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase efektor adalah
waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas
mastosit atau basofil dengan aktifitas farmakologik pada organ-organ tertentu. Histamin
memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapilaer yang nantinya
menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme
dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Berberapa
faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang
dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.6,13
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya
fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan
aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan
darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun
anorexia jaringan yang berimplikasi pada keaadanan syok yang membahayakan
penderita.13
2.6

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari

reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah
terpapar dengan alergen, reaksi dorman terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar
dengan alergen, serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dedngan
alergen.6
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjai berat tetapi kadangkadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat
ringan, sedang dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi
hangat, rasa sesak di mulut dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung,
pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin dan mata berair. Awitan gejala-gejala
dimulai dalam 2 jam pertama setelah pajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua
gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan
dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan, hangat anxietas dan gatal-gatla juga sering
terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan
yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah
disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospasme, edema laring,
dispnea berat dan sianosis. Dapat diiringi gejal disfagia, kram pada abdomen, muntah,

diare dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat
disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang irreversible.4,6,12
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada
satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit,
mata, susunan saraf pusat, dan sistem saluran kencing dan sistem yang lain. Keluhan yang
sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata
dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, serak, sesak, mual pusing, lemas dan sakit
perut.4,6,12
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan.
Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergig shiner. Yaitu daerah dibawah palpebra inferior
yang menjadi gelap da bengkak. Pemeriksaan hidung bagian liuar dibidang alergi ada
beberapa tanda, misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengna menggunakan telapak
tangan menggosok ujung hidungnya kearah atas untuk menghilang kan rasa gatal dan
melonggarkan sumbatan. Allergiccrease,

gasris melintang akibat lipatan kuliut ujung

hidung, kemudian allergic facies terdiri dari pernapasa mulut,


kelaqinan

allergic shiner, dan

gigi geligi. Bagian dalam hidung diperiksa untuk menilai warna mukosa,

jumlah dan bentuk sekret, edema, polip hidung dan deviasi septum. Pada kulit trerdapat
eritem, edema, gatal, urtikaria, kuluit terasa hangat dan duingin, lembab/basah dan
diaphoresis.4,6,12
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan
saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafasa dan penurunan volume tidal.
Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlihat sehoingga
terjadi stridor. Suara dapat serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika edema terus
memburuk. Obstruksi saluran napas komplit adalah penyebab kematian paling sering pada
anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena
bronkospsme atau edema mukosa. Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat
serta bersin-bersin.4,6,12
Keadaan binggung dan gelisah dan diikuti oleh penurunan kesadaran sampai terjadi
koma merupakan gangguan pada susunan sistem saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular
terjadi hipotenasi, takikardi, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemik otot jantung
(angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya edema disertai pula dengan
aritmia. Sementara pada ginjal, terjadui hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan
pengeluaran urin akibat penuruna GFR yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya
gagal gibnjal akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengqn
perubahan elektrolit pada urin.4,6,12

Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral,


peningkatan kadar enxim hati, dan koagulopati. Gejalka yang timbul pada suistenm
gastrointestinal. Merupakan akibat dari edema intestisial akut dan spaasme otot polos,
berupa nyeri abdomen, mulual-muntah atau diare. Terkadang dijumpai perdarahna rectal
yang terjadi akibat iskemik atau infark usus.4,6,12
Depresi sumsum tuilang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi
trombosist, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan fungsi
neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi
tiroid dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolism dari
aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat.4,6,12
2.7 PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis alergi obat seringkali sulit dibuktikan walaupun dugaannya sudah kuat.
Kesulitan terbesar adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara manifestasi
klinis dengan pemberian obat tertentu, dan apakah gejala klinis tersebut bukan merupakan
bagian dari perjalanan penyakitnya sendiri.7,10
2.7.1

Anamnesis
Evaluasi kecurigaan terhadap alergi obat dimulai dengan riwayat penyakit

dan terapi yang diberikan secara terperinci, meliputi nama atau jenis obat, dosis,
indikasi, tanggal pemberian dan lama pemberian. Interval antara waktu pertama
kali minum obat dengan onset reaksi dapat menjadi lebih pendek apabila
sebelumnya penderita pernah tersensitisasi oleh obat yang sama. Dari anamnesis
dapat dibedakan antara alergi obat dengan reaksi toksik dan idiosinkrasi. Misalnya
gejala gastrointestinal setelah minum antibiotik atau nyeri pada tempat suntikan
obat dapat diperkirakan bukan berdasarkan reaksi imunologis.10
2.7.2

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu dicari tanda bahaya yang dapat mengancam

jiwa seperti kolaps kardiovaskular, edema laring atau saluran nafas atas, wheezing
dan hipotensi. Adanya demam, lesi membran mukosa, limfadenopati, nyeri sendi
dan bengkak menandakan reaksi alergi yang berat. Lesi pada kulit harus
diseskripsikan secara akurat mulai dari bentuk, ukuran dan distribusinya.7,10

2.7.3

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk konfirmasi diagnosis alergi obat meliputi uji

tusuk kulit (skin prick test) dan uji provokasi. Uji tusuk kulit dapat digunakan
untuk mengkonfirmasi adanya reaksi tipe I yaitu dengan ditemukannya kompleks
antigen-IgE spesifik. Uji kulit dapat dilakukan dengan menggunakan bahan yang
bersifat imunogenik, yaitu determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Uji
provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat tetapi merupakan prosedur
diagnostik yang berbahaya. Uji provokasi tidak dilakukan pada kondisi alergi obat
yang berat seperti anafilaksis atau kelainan hematologis.7
2.9

PENATALAKSANAAN
Dasar utama penanganan alergi obat adalah penghentian obat yang dicurigai dan

mengatasi gejala klinis yang timbul. Selanjutnya harus dipikirkan juga upaya pencegahan
terjadinya alergi obat kembali. Penentuan obat yang harus dihentikan seringkali sulit
karena biasanya penderita mendapat berbagai jenis obat dalam waktu yang sama. Semua
obat yang diberikan diupayakan dihentikan terlebih dahulu, kecuali obat yang memang
perlu dan tidak dicurigai sebagai penyebab reaksi alergi atau menggantikannya dengan
obat lain.

1,13

2.9.1

Tatalaksana Urtikaria dan Angioedema


Manifestasi klinis yang ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan

khusus. Untuk pruritus, urtikaria atau angioedema dapat diberikan antihistamin


seperti setirizin, CTM atau difenhidramin, serta anti inflamasi non steroid.
Perawatan lokal untuk manifestasi yang timbul pada kulit segera dilakukan melalui
konsultasi dan kerjasama interdisiplin dengan bagian lain (mata, kulit, bedah).
2.9.2

2,5

Tatalaksana Anafilaksis
Tatalaksana pada manifestasi klinis yang berat seperti anafilaksis meliputi

stabilisasi dan patensi jalan nafas, pemberian oksigen, pemberian adrenalin, terapi
cairan,pemberian antihistamin dan kortikosteroid. Obat-obatan yang dicurigai
sebagai pemicu terjadinya alergi harus segera dihentikan. Pasien harus diobservasi
dalam ruang resusitasi di Unit Gawat Darurat. Peralatan seperti pulse oxymeter,
monitor tekanan darah non invasif dan EKG digunakan untuk penilaian dan
pemantauan tanda vital pasien. Tanda-tanda edema saluran nafas, bronkospasme
dan syok harus segera dinilai.
2.9.3

6,13

Penilaian patensi jalan nafas dan pemberian oksigen


Oksigen dapat diberikan dengan sungkup untuk menjaga saturasi oksigen

pasien diatas 92%. Perlu diwaspadai tanda-tanda ancaman obstruksi jalan nafas

seperti stridor yang memburuk, suara serak, takipnea dan wheezing yang progresif.
Pada keadaan ini tindakan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanis sering sulit
dilakukan, dan tindakan intervensi bedah untuk membuka saluran nafas melalui
krikotiroidotomi dapat dipertimbangkan.
2.9.4

6,13

Pemberian Cairan
Pada keadaan anafilaksis terjadi peningkatan permeabilitas vaskular dan

dapat terjadi kehilangan lebih dari 35% volume darah dalam 10 menit pertama.
Pemasangan jalur intravena harus segera dilakukan dan apabila tidak
memungkinkan maka harus dibuat akses intraosseus. Pada pasien yang mengalami
syok (takikardi, hipotensi atau waktu pengisian kapiler yang melambat) harus
segera mendapatkan resusitasi cairan dengan kristaloid sebanyak 20 ml/kgBB.
Bolus cairan dapat diulang sampai 60 ml/kgBB. Apabila keadaan syok belum
teratasi maka pemberian obat-obat inotropik dapat dipertimbangkan.
2.9.5

8,14

Pemberian Adrenalin
Adrenalin merupakan obat pilihan pada tatalaksana akut anafilaksis.

Adrenalin diberikan apabila terdapat tanda-tanda edema saluran afas yang


progresif, bronkospasme, atau hipotensi.Adrenalin bekerja pada reseptor ,1,dan
2 adrenergik yang dapat memperbaiki vasodilatsi, edema mukosa dan
bronkospasme yang telah terjadi. Adrenalin melaluireseptor 2 adrenergik dapat
meningkatkan cAMP interselular yang menghambat pelepasan lebih lanjut sel mast
dan basofil, sehingga apabila diberikan dini dapat mengurangi derajat beratnya
reaksi.6
Adrenalin diberikan secara intramuskular dengan dosis 0,01 mg/kgBB,
dengan dosis maksimal 0,5 mg intramuskular. Pemberian intramuskular lebih
disukai karena dapat segera dilakukan sebelum akses intravena diperoleh.
Pemberian adrenalin IM tidak boleh ditunda selama menunggu tersedianya akses
vaskular. Kadar puncak epinefrin dalam plasma lebih cepat tercapai dengan
pemberian intramuskular dibandingkan dengan pemberian intravena. Pemberian
adrenalin intramuskular dapat diulang tiap 5 sampai 15 menit selama diperlukan.
Secara praktis, dosis adrenalin intramuskular pada anak adalah 0,3 mg (0,3 ml
larutan adrenalin 1:1000) untuk anak usia 6-12 tahun, 0,15 mg (0,15 ml larutan
adrenalin 1:1000) untuk usia 6 bulan-6 tahun, dan 0,1 mg (0,1 ml larutan adrenalin
1:1000) untuk bayi usia kurang dari 6 bulan. Pemberian adrenalin intravena
diindikasikan pada kasus syok, obstruksi saluran nafas yang berat, dan
bronkospasme

berat.

Dosis

inisial

0,75-1,5

g/kgBB

dalam

menit.

Epinefrinkemudian

diberikan

dalam

infus

kontinyudengan

dosis

0,1

g/kgBB/menit sampai 1 g/kgBB/menit (maksimal 10 g/menit) hingga tekanan


darah stabil.
2.9.6

6,13,14

Antihistamin H1 dan H2
Antihistamin diberikan terutama untuk meredakan gejala pada kulit seperti

urtikaria, angioedema ringan dan pruritus dan bukan untuk terapi anafilaksis.
Antihistamin golongan H1 seperti setirizin atau difenhidramin dapat diberikan
untuk meredakan gejala pada kulit seperti urtikaria, pruritus dan angioedema.
Antihistamin golongan H1 tidak memiliki efek dalam meredakan gejala
respiratorik, gastrointestinal atau kardiovaskular pada anafilaksis. Setirizin
memiliki onset kerja yang lebih cepat dibandingkan difenhidramin, tetapi pada
kasus yang disertai dengan muntah, difenhidramin lebih aman untuk digunakan.
Antihistamin golongan H2 seperti ranitidin dapat diberikan dalam kombinasi
dengan antihistamin golongan H1 karene efektifitas dalam meredakan gejala pada
kulit lebih baik jika dibandingkan dengan penggunaan antihistamin golongan H1
saja.

6,13,14

2.9.7

Kortikosteroid
Belum ada penelitian yang menunjukkan efektivitas pemberian steroid pada

kasus anafilaksis. Kortikosteroid ini biasanya diberikan pada kasus keterlibatan


saluran nafas dan bronkospasme yang berat. Kortikosteroid seperti prednison dapat
diberikan dengan dosis 1 mg/kgBB per oral (maksimal 75 mg) atau hidrokortison
1,5-3 mg/kgBB intra vena. Pada kasus yang lebih berat dapat diberikan
metilprednisolon 1 mg/kgBB (maksimal 125 mg).6,14
2.9.8

Obat-obat Inhalasi
Penggunaan obat-obat inhalasi seperti salbutamol dapat diberikan pada

anak yang datang dengan keluhan wheezing dan bronkospasme, atau anak yang
memiliki riwayat penyakit asma. Salbutamol dapat diberikan dengan dosis 5
sampai 10 puffs menggunakan metered dose inhaler(MDI) dan diberikan setiap 20
menit sampai sesak nafas dan wheezing berkurang. Pada bayi yang belum bisa
menggunakan MDI dapat diberikan nebulisasi salbutamol 2,5 mg sampai 5 mg per
dosis.
2.9.9

Glukagon
Pada pasien yang memiliki riwayat pengobatan lama dengan beta blocker

dan mengalami syok anafilaksis dapat terjadi hipotensi yang persisten walaupun

telah mendapatkan epinefrin. Pada keadaan ini glukagon dapat diberikan untuk
mengembalikan fungsi kardiovaskular. Glukagon diberikan dengan dosis 20-30
g/kgBB selama 5 menit (maksimal 1 mg) dilanjutkan dengan infus glukagon
secara kontinyu mulai dari kecepatan 5-15 g/kgBB/menit.

14

Tabel 2. Obat-obatan yang digunakan dalam anfilaksis


Obat dan Rute
Pemberian
Epinefrin
IM

Waktu dan Frekuensi Pemberian

(1:1000) Segera, kemudian tiap 5-15 menit


selama diperlukan
1 kali perhari

Setirizin (PO)
Tiap 4-6 jam
Difenhidramin IM/IV
Tiap 8 jam
Ranitidin PO/IV
Tiap 6 jam
Prednison
PO atau
Metilprednisolon IV
Tiap 20 menit atau selama masih
Salbutamol
ada gejala respiratorik (wheezing
atau sesak nafas)
Tiap 20 menit s/d 1 jam apabila
Nebulisasi epinefrin
masih ada gejala obstruksi saluran
nafas atas (stridor)
Infus kontinyu pada hipotensi
Epinefrin IV
Bolusdiikutidenganinfus
Glukagon IV
kontinyu

Dosis (dosis maksimal)


0,01 mg/kgBB (0,5 mg)
6 bulan-2 tahun: 2,5 mg
2-5 tahun: 2,5-5 mg
>5 tahun: 5-10 mg
1 mg/kgBB/dosis (50 mg)
1 mg/kgBB/dosis (50 mg)
1mg/kgBB PO (75 mg) atau
1 mg/kgBB IV (125 mg)
5-10 puffs dengan MDI atau
2,5-5 mg dengan nebulisasi
2,5-5 ml
0,1-1 g/kgBB/menit
(10g/menit)
20-30 g/kgBB bolus (1
mg), lalu infus 5-15
g/kgBB/menit

10

11

BAB III
KESIMPULAN

Keluhan kesulitan menelan (disfagia) merupakan salah satu gejala


kelainan atau penyakit di orofaring dan esophagus. Keluhan ini timbul bila
erdapat gangguan gerakan otot-otot menelan dan gangguan transportasi
/makanan dari rongga mulut ke lambung.

Disfagia adalah kesulitan dalam mengalirkan makanan padat atau cair dari
mulut melalui esofagus

Berdasarkan penyebabnya, disfagia dibagi atas: disfagia mekanik, disfagia


motorik dan disfagia oleh gangguan emosi. Disfagia mekanik timbul bila
terjadi penyempitan lumen esophagus. Disfagia motorik disebabkan oleh
kelainan neuromuscular yang berperan dalam proses menelan. Keluhan
disfagia dapat juga timbul bila terdapat gangguan emosi atau tekanan jiwa
yang berat yang dikenal sebagai globus histerikus.

Berdasarkan lokasinya, disfagia dibagi atas: disfagia orofaringeal dan


disfagia esophageal. Disfagia orofaringeal adalah kesulitan mengosongkan
bahan dari orofaring ke dalam kerongkongan, hal ini diakibatkan oleh
fungsi abnormal dari proksimal ke kerongkongan. Disfagia esophagus
adalah kesulitan transportasi makanan ke kerongkongan. Hal ini

diakibatkan oleh gangguan motilitas baik atau obstruksi mekanis.


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis kelainan disfagia fase oral
dan fase faring, yaitu Videofluoroskopi Swallow Assesment (VFSS) dan
Flexible Endoscopy Evaluation of Swallowing ( FEES).

16

DAFTAR PUSTAKA
1. Muraro, A., G.Roberts, A.Clark, A.Eigenmann, S.Halken, G.Lack. et al.
The Management of anaphylaxis in childhood : Position paper of the
European academy of allergology and clinical immunology. Allergy.
2007;62:857-71
2. Mangku, G. Diktat Kuliah: Syok, Bagian Anestesiologi dan ReanimasiFK
UNUD/RSSanglah, Denpasar. 2007.
3. Lane, Roni dan R.G Bolte. Pediatric Anaphylaxis. Pediatric Emergency
Care. 2007;23:49-58
4. Anonim, Severe Allergic Reaction, Anaphylactic Shock. 2008 (Diakses
tanggal 9 oktober 2015) dari URL: www.emedicine.com.
5. Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies. BMJ. Vol 316. 1998.
6. Suryana K. Diktat Kuliah. Clinical Allergy Immunology. Divisi
Alergy Immunology Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS
Sanglah: Denpasar. 2003.
7. Limsuwan T, Demoly P. Acute Symptoms of Drug Hypersensitivity
(Urticaria, Angioedema, Anaphylaxis, Anaphylactic Shock). Med Clin N
Am. 2010;94:691-710.
8. Rubio M, Bousquet P, Gomes E, Romano A, Demoly P. Results of drug
hypersensitivity evaluations in a large group of children and adults.
Clinical & Experimental Allergy. 2011;42:123-30.
9. Demoly P, Viola M, Gomes E, Romano A. Epidemiology and Causes of
Drug Hypersensitivity. Karger. 2007:2-17.

17

10. Akib A, Takumansang D, Sumadiono, CD S. Alergi obat. Dalam: Akib A,


Munasir Z, Kurniati N, penyunting. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak.
Edisi 2. Jakarta: BP IDAI; 2008. h. 294-306.
11. Mirakian R, Ewan P, Durhamw S, Youltenz L, Dugu P, Friedmannz P, dkk.
BSACI Guidelines For The Management of Drug Allergy. Clinical and
Experimental Allergy. 2008;39:43-61.
12. Brown A. Current management
2009;21:213-23.
13. Longecker, DE.Anaphylactic

of

reaction

anaphylaxis.
and

Emergencias.

Anesthesia

dalan

\anesthesiology. Chapter8. 2008.


1.
2. Julie
3. Sobbota
4.
5. Dysphagia. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/324096overview#showall. Pada tanggal 25 Juli 2011, pukul 17.45 WIB
6. Throat

anatomy.

Diunduh

dari

http://emedicine.medscape.com/article/1899345-overview#showall. Pada
tanggal 24 juli 2011, pukul 20.30 WIB
7. Digestive Disorders Health Center: Human Anatomy. Diunduh dari
http://www.webmd.com/digestive-disorders/picture-of-the-esophagus.
Pada tanggal 27 juli 2011, pukul 14.00 WIB
8. Esophagus

anatomy

and

development.

Diunduh

dari

http://www.nature.com/gimo/contents/pt1/full/gimo6.html. Pada tanggal


27 juli 2011, pukul 14.30 WIB
9. Soepardi EA. Disfagia. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta: FKUI. 2007. h. 276-302.
10. Dysphagia.
http://www.merckmanuals.com/professional/sec02/ch012/ch012b.html#v8
91324. Pada tanggal 25 Juli 2011, pukul 17.45 WIB

18

11. Dysphagia.

(internet)

2014.

(diunduh

September

2015)

dari

(diunduh

September

2015)

dari

http://emedicine.medscape.com.
12. Dysphagia.

(internet)

2015.

http://www.umm.edu.
13. Saeian K, Shaker R, editor. Oropharyngeal Dysphagia. USA: Current
Science;

2000.

Diunduh

dari

http://www.sld.cu/galerias/pdf/sitios/rehabilitacionlogo/disfagia_orofaringea.pdf.
14. Lazarus, Cathy L. Management of Dysphagia, Head & Neck Surgery Otolaryngology, 4th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2006:
Philadelphia.
15. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of patients with
stroke: identification and management of dysphagia, a National clinical
guideline. June 2010.
[internet] 2008. [cited 2010 Feb 14] Available from:

TATA LAKSANA DISFAGIA

Sumber

19

1. Lazarus, Cathy L. Management of Dysphagia, Head & Neck Surgery Otolaryngology, 4th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2006:
Philadelphia.
2. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of patients with
stroke: identification and management of dysphagia, a National clinical
guideline. June 2010.

20

Anda mungkin juga menyukai