Namanya Aisyah Bhutta. Tapi hatinya tidak buta. Setelah mengenal Islam, ia
membawa orangtua dan 30 temannya memeluk Islam
Dari wajahnya saya melihat pancaran kedamaian. Tampaknya dia sangat ikhlas dan
menikmati shalatnya. Kala saya tanya, dia bilang dia orangIslam. Apa itu Islam?
tanya Aisyah kecil heran.
Berselang beberapa lama, dengan bantuan Muhammad, Aisyah cilik mulai
mendalami Islam lebih jauh. Sekitar lima tahunan ia pelajari kitab suci tersebut dan
menariknya dia telah mampu membaca seluruh isi Al-Quran dengan bahasa Arab.
Semua saya baca. Sungguh sangat menarik sekali. Serasa menancap di hati,
kenangnya.
Alhasil, di usianya yang ke-16 Debbie Rogers pun mengucap dua kalimah syahadat.
Ketika saya mengucapkan kalimah itu, serasa seperti baru melepaskan beban berat
yang lepas dari pundak saya. Luar biasa. Saya merasa seperti seorang bayi yang baru
dilahirkan, ujarnya. Ia lantas mengganti namanya, Debbie Rogers menjadi Aisyah.
Meskipun Aisyah sudah memeluk Islam, namun bakal calon mertuanya ayah
kandung Muhammad tidak setuju putranya menikah dengan wanita Barat.
Orangtua Muhammad masih berpikiran tradisional yang menganggap perempuan
Barat sulit menerima Islam. Dan, menurut mereka, malah nanti Muhammad yang
dibawa ke jalan yang tidak benar. Mereka takut nanti nama keluarga menjadi jelek di
mata masyarakat Islam. Namun tekad Muhammad sudah bulat. Iman Aisyah harus
diselamatkan.
Muhammad melaksanakan pernikahan di mesjid setempat. Bahkan pakaian nikah
yang dikenakan Aisyah dijahit sendiri oleh ibu kandung Muhammad dan saudaranya
yang menyelinap secara sembunyi-sembunyi. Sebab bapaknya menolak menghadiri
acara sakral dalam hidup anaknya itu. Halnya Michael dan Marjory Rogers, orangtua
Aisyah, turut hadir di pernikahan anaknya. Mereka mengaku terkesan dengan baju
nikah Aisyah.
Hubungan hambar dengan bapaknya akhirnya mencair. Ceritanya, nenek
Muhammad datang khusus dari Pakistan untuk menjenguk cucunya yang baru
menikah. Bagi neneknya, pernikahan dengan perempuan Barat juga masih tabu.
Namun, semuanya berubah tatkala nenek Muhammad berjumpa dengan Aisyah. Dia
sangat takjub dengan perempuan Skotlandia itu yang sudah mampu membaca AlQuran dan menariknya lagi Aisyah bisa bercakap dalam bahasa Punjab. Perlahan
Aisyah telah jadi bagian dari keluarga besar Muhammad.
Islamkan orangtua
Enam tahun kemudian, Aisyah mulai menjalankan misi sulit, yakni mengislamkan
kedua orangtua dan anggota keluarganya. Aisyah dan suaminya menceritakan apa itu
Islam. Aisyah sendiri kini telah berubah banyak dan hal itu tentu bagian dari dakwah
kepada kedua orangtuanya. Misalnya kini dia jadi anak yang sopan, tidak suka
membantah kata-kata orangtuanya seperti dulu.
Kesan perubahan sikap dan tingkah laku sang anak rupanya merasuk ke hati sang
ibu. Tak lama, ibunya memeluk Islam dan berganti nama menjadi Sumayyah.
Bahkan ibu kini sudah mengenakan jilbab. Ibu shalat tepat waktu. Kini tak ada yang
menarik baginya kecuali senantiasa berhubungan dengan Allah, tuturAisyah
bangga.
Akan halnya dengan ayah Aisyah, ternyata sangat sulit untuk diajak. Ibu Aisyah turut
membantu mengenalkan sang ayah kepada Islam. Ibu dan saya sering berdiskusi
tentang Islam. Nah satu hari kami duduk-duduk di dapur. Lalu ayah berkata; Apa
yang kalimat yang kalian ucapkan ketika masuk Islam? Spontan saya dan ibu
melompat ke atasnya, cerita Aisyah sumringah. Ayah pun memeluk Islam.
Lalu, tiga tahun kemudian, abang kandung Aisyah juga mengucap dua kalimah
syahadah. Uniknya sang abang memeluk Islam melalui telepon, karena ia tinggal
agak jauh. Aisyah makin bersemangat tatkala melihat istri abangnya, diikuti oleh
anak-anaknya juga memeluk Islam. Bahkan keponakan istri si abang juga masuk
Islam. Bukan main bahagianya Aisyah.
Membuka kelas Islam
Saya belum mau berhenti berdakwah. Keluarga sudah, lalu saya beralih kepada para
tetangga di Cowcaddens. Kawasan ini perumahannya sangat padat, bahkan bisa
dikatakan kumuh. Tiap hari Senin selama 13 tahun saya membuka kelas khusus
tentangIslam bagi wanita-wanita Skotlandia yang ada di situ, kisah Aisyah
mengenang. Sejauh ini dia sudah berhasil mengislamkan tetangga sekitar 30 orang.
Latar belakang mereka macam-macam. Trudy misalnya, dia seorang dosen di
Universitas Glasgow. Trudy adalah seorang Katolik yang awalnya mengikuti kelas
saya untuk mengumpulkan data penelitian yang sedang dikerjakannya. Namun
setelah berjalan enam tahun Trudy memutuskan memelukIslam. Menurutnya
Kristen sulit diterima akal dan membingungkan, sebut Aisyah. Trudy sendiri
mengaku masuk Islam karena terkesan dengan kuliah Aisyah yang mudah diterima
dan masuk akal.
Disamping siswa non-Muslim, kelas binaan Aisyah juga dipenuhi oleh gadis-gadis
Islam yang telah terkena polusi pemikiran Barat. Menurut Aisyah, justru mereka
yang patut diselamatkan. Aisyah pun fleksibel dalam kuliahnya. Dia menerima secara
terbuka setiap pertanyaan dan mengajak peserta berdiskusi.
Suami Aisyah, Muhammad Bhutta (43), tampaknya tidak begitu tertarik untuk
berdakwah di kalangan warga asli Skotlandia. Dia konsentrasi pada usaha
restorannya. Fokus suami Aisyah adalah keluarga dan usaha. Suami nya yang
bertugas memberikan ajaran Islam kepada kelima anaknya. Tumbuh dengan akhlak
dan nuansa Islam, itulah obsesi Aisyah dan suaminya akan anak-anak mereka.
Bahkan Safia, anaknya tertua yang berusia 14 tahun menjadi sebab masuk Islamnya
seorang wanita tua.
Ceritanya, suatu hari Safia melihat seorang nenek di jalan, dia tergerak untuk
membantu si nenek dengan membawakan belanjaannya. Sang nenek rupanya
terkesan. Tak berapa lama si nenek pun ikut kelas Aisyah Bhutta, dan beberapa
waktu kemudian akhirnya bersyahadat.
Muhammad orangnya romatis, ujar Aisyah tersipu. Saya seakan telah
mengenalnya selama berabad-abad. Jadi tak mungkin terpisahkan. Dia bukan hanya
kawan dalam hidup di dunia ini, tapi yang lebih penting lagi semoga juga kawan di
surga nanti dan selama-lamanya. Itulah hal terindah, tutup Aisyah. [hidayatullah]