Anda di halaman 1dari 12

PENGARUH KOMBINASI ZAT PENGATUR TUMBUH IAA DAN BAP PADA

KULTUR JARINGAN TEMBAKAU Nicotiana tabacum L. VAR. Prancak 95


*

Titin Aisyah Fatmawati , Tutik Nurhidayati , Nurul Jadid

Program Studi Biologi, Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam


Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
ABSTRAK
Penelitian tentang kultur jaringan Tembakau Nicotiana tabacum L. bertujuan untuk mengetahui
pengaruh kombinasi zat pengatur tumbuh IAA dan BAP dan mengetahui kombinasi konsentrasi yang optimum
dalam menginduksi tunas dan akar tembakau melalui teknik kultur jaringan. Penelitian ini dilaksanakan di
Laboratorium Kultur Jaringan jurusan Biologi ITS Surabaya. Sedangkan tanaman induk diperoleh dari Green
House PT Sadhana Pasuruan propinsi Jawa Timur. Penelitian ini disusun dalam Rancangan Faktorial. Perlakuan
terdiri atas 2 faktor. Faktor pertama dengan konsentrasi 4 level konsentrasi BAP yaitu 0 ppm ; 1 ppm; 2 ppm,
dan 3 ppm. Sedangkan faktor kedua adalah lima level konsentrasi IAA yaitu 0 ppm; 0.5 ppm, 1 ppm, 1.5 ppm,
and 2 ppm. Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa kombinasi BAP 1 ppm dan IAA 0,5 ppm menghasilkan
jumlah tunas terbanyak yaitu dengan rata-rata jumlah tunas sebanyak 34 tunas/eksplan sedangkan jumlah akar
terbanyak didapatkan dari kombinasi IAA 1 ppm and BAP 0 ppm dengan rata-rata jumlah akar sebanyak 4
akar/eksplan.
Kata kunci :, Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95, IAA, BAP, Kultur Jaringan.

ABSTRACT
The study on Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95 tissue culture aimed to study the effect of
combination between BAP and IAA plant growth regulator substance and determine the appropriate
concentration of BAP and IAA for shoot and root multiplication of tobacco Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95
tissue culture. This study was carried out in the tissue culture laboratory, department of Biology ITS, Surabaya.
The intact plant was got from PT. Sadanas Green House, Pasuruan,in East Java Province. This study used
factorial experiment arranged in Factorial Design.. The treatment consisted of 2 factors. The first factor was the
BAP concentration, consisted of four levels i.e. 0 ppm ; 1 ppm; 2 ppm, and 3 ppm. The second factor was IAA
concentration, consisted of five levels i.e. 0 ppm; 0.5 ppm, 1 ppm, 1.5 ppm, and 2 ppm. The result showed that
the combination of BAP 1 ppm and IAA 0,5 ppm gave the biggest amount of shoot multiplication is 34,25
shoot/explants while the combination of IAA 1 ppm and BAP 0 ppm gave the biggest amount of root
multiplication is 4 root/explant.
Key words: Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95, IAA, BAP, Tissue Culture.
*Corresponding author Phone : +6285731495576
e-mail : titin.fatmawati@gmail.com
1
Alamat sekarang : Prodi Biologi, Fak MIPA,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

I PENDAHULUAN
Tembakau termasuk dalam famili
Solanaceae yang banyak dibudidayakan di
Indonesia. Sektor tembakau memiliki
peranan penting dalam roda perekonomian
Indonesia. Prajoko Hadi dan Supena
Priyanto (2008) melaporkan bahwa cukai
hasil tembakau merupakan salah satu
sumber penerimaan negara dari dalam
negeri dimana
tembakau menghasilkan
cukai sebesar 95%. Kontribusi cukai
terhadap penerimaan Negara pada tahun
2000 mengalami peningkatan hingga 2004.

Fatmawati (2006) dalam Prajoko Hadi dan


Supena Priyanto (2008) menyatakan bahwa
pada tahun-tahun selanjutnya pemerintah
akan mentargetkan penerimaan cukai rokok
sekitar 98% dari total penerimaan cukai.
Selain sebagai bahan baku rokok,
tembakau juga dapat dimanfaatkan sebagai
biopestida, Borlongan et
al (1998)
menyatakan bahwa penggunaan debu
tembakau yang merupakan hasil samping
dari industri rokok dengan dosis yang tepat
dapat memberantas hama siput (Cerithidea
cingulat Gmelin) pada budidaya perikanan

milkfish yang berada di Filipina, dimana


siput Cerithidea cingulat Gmelin merupakan
kompetitor utama bagi milkfish sehingga
dapat menurunkan hasil perikanan. Nikotin
dalam daun tembakau memiliki potensi
sebagai insektisida yang direkomendasikan
penggunaannya pada tahun 1763 untuk
membasmi hama aphid pada tanaman
sayuran dan tanaman hias (Othmer, 1966
dalam Sutjipto, 2002 dalam Setyawati 2009).
Ekstrak tembakau merupakan salah satu
bahan pengawet yang digunakan untuk
pemeliharaan
bangunan
kayu
oleh
masyarakat yang tinggal di daerah Kudus
(Parwoto, dkk., 2003 dalam Setyawati
2009). Dalam penelitian Setyowati (2009)
disimpulkan bahwa ekstrak tembakau dapat
digunakan sebagai pengawet bambu petung
sekaligus meningkatkan kelenturan bambu
karena adanya pengaruh dari konsentrasi
tertentu dari larutan ekstrak tembakau yang
mengandung alkaloid yang merupakan
senyawa organik aktif yang mengandung
unsur nitrogen (bersifat sedikit basa) yang
dapat memperkuat struktur anatomi bambu.
Tembakau banyak dibudidayakan di
Indonesia, terutama di pulau Jawa dan
Madura. Tembakau Madura
merupakan
salah satu tembakau lokal aromatis yang
dikembangkan di pulau Madura. Tembakau
Madura dapat ditanam dalam tipe tanah
grumosol dan regosol pada ketinggian 50250 m dpl (Abdullah, 1982). Tembakau
Madura terdiri atas berbagai varietas lokal.
Dinyatakan oleh Suwarso et al (1999)
bahwa pada tahun 1993 terdapat 20 macam
varietas lokal tembakau Madura. Hal ini
merupakan salah satu kekayaan plasma
nutfah yang perlu dilestarikan. Salah satu
varietas unggulan tembakau Madura adalah
Prancak 95. Rachman et al (1999)
melaporkan bahwa tembakau Madura
varietas Prancak mempunyai sifat hasil
sedang, mutu tinggi, tahan terhadap
penyakit lanas dan sesuai ditanam di lahan
tegal dan gunung yang pada umumnya
ditanam di lahan dengan ketinggian 200300m.
Budidaya
tembakau
konvensional
dilakukan dengan cara menyemaikan biji
dimana untuk mendapatkan perkecambahan
yang seragam biji harus direndam dalam air
jernih selama dua hari dan diletakkan di
tempat yang memiliki penyinaran dan aliran
udaranya bagus. Selanjutnya air rendaman

biji diganti dan biji didinginkan selama 2 hari,


baru dilakukan penaburan benih di lahan
(Chane, 1989). Sementara itu Basuki et al
(1999)
melaporkan
bahwa
tingkat
pemasakan buah per individu tanaman tidak
serempak. sehingga panen buah untuk
dijadikan benih tidak dapat dilakukan secara
serempak. Hal ini memerlukan proses yang
tidak sederhana dan waktu yang relatif lama,
selain itu sifat-sifat genetis yang diturunkan
ke keturunannya melalui biji mungkin tidak
sama persis seperti induknya. Oleh karena
itu diperlukan metode kultur jaringan untuk
budidaya tembakau. Melalui metode kultur
jaringan tembakau dapat dibudidayakan
dalam jumlah besar dengan waktu yang
relatif singkat, selain itu sifat keturunan yang
diperoleh akan sama
persis seperti
induknya.
Kultur jaringan menurut Suryowinoto
(1991) dalam Hendaryono (1994) berarti
membudidayakan suatu jaringan tanaman
menjadi tanaman kecil yang mempunyai
sifat seperti induknya. Keberhasilan kultur
jaringan
tanaman
dipengaruhi
oleh
beberapa faktor, diantaranya sterilisasi,
pemilihan bahan eksplan, faktor lingkungan
seperti pH, cahaya dan temperatur, serta
kandungan ZPT (Zat Pengatur Tumbuh )
dalam medium kultur (Hendaryono, 1994).
Zulkarnain (2009) mengungkapkan bahwa
dalam teknik kultur jaringan, kehadiran zat
pengatur
tumbuh
sangat
nyata
pengaruhnya.
Sangat
sulit
untuk
menerapkan teknik kultur jaringan pada
upaya
perbanyakan
tanaman
tanpa
melibatkan
zat
pengatur
tumbuhnya.
Hendaryono (1994) menyatakan bahwa
pada hasil percobaan pada tanaman
tembakau ternyata kalus tidak tumbuh pada
media dengan auksin saja, tetapi untuk
pertumbuhan
kalus
memerlukan
penambahan sitokinin. Hal ini diperkuat oleh
Pierik (1997) dalam Hidayat (2007) yang
menyatakan bahwa auksin dan sitokinin
merupakan zat pengatur tumbuh yang
dibutuhkan dalam media budidaya jaringan
dan diberikan dalam konsentrasi yang
sesuai
dengan
pertumbuhan
yang
diinginkan.
Ali et al. (2007) menyatakan bahwa
konsentrasi hormon pertumbuhan pada
medium kultur jaringan sangat berperan
dalam morfogenesis. Skoog and Miller
(1957) dalam Ali (2007) menyatakan

keseimbangan antara sitokinin dan auksin


mengatur pertumbuhan bentukan akar tunas
dan kalus pada kultur invitro. Hal ini
dilengkapi oleh Cline (1994), dan Tamas
(1995) dalam Ali et al
(2007) yang
menyatakan auksin dan sitokinin berperan
dalam pertumbuhan tunas aksilar dan akar
lateral. Oleh karena itu untuk mendapatkan
hasil kultur jaringan tembakau yang optimal
diperlukan kombinasi komposisi ZPT berupa
hormon auksin dan sitokinin yang tepat.
Perbandingan konsentrasi ZPT auksin dan
sitokinin yang digunakan Ali et al (2007) dan
Hendaryono (1994) pada kultur jaringan
tembakau adalah 2:3.
Permasalahan yang dihadapi adalah
berapakah kombinasi konsentrasi IAA dan
BAP yang efektif dalam morfogenesis
eksplan pada medium kultur jaringan dan
bagaimana pengaruh kombinasi IAA dan
BAP
terhadap morfogenesis
eksplan
Tembakau Nicotiana tabacum L. var.
Prancak 95.
Penelitian ini dibatasi pada efek
kombinasi konsentrasi hormon IAA dan BAP
terhadap morfogenesis eksplan yang
meliputi pembentukan kalus, tunas dan akar
serta ukuran tunas dan akar pada medium
kultur jaringan tembakau Nicotiana tabacum
L. var. Prancak 95.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui
pengaruh
kombinasi
konsentrasi IAA dan BAP yang efektif dalam
morfogenesis eksplan pada kultur jaringan
Tembakau Nicotiana tabacum L. variatas
prancak 95.
Manfaat yang dapat diambil dari
penelitian ini adalah dengan mendapatkan
konsentrasi IAA dan BAP yang efektif untuk
morfogenesis eksplan Tembakau Nicotiana
tabacum L. sehingga teknik kultur jaringan
dapat digunakan sebagai acuan untuk
teknik budidaya Tembakau Nicotiana
tabacum L. Var. Prancak 95.
II METODOLOGI
Tahap 1 Persiapan
a. Sterilisasi Alat
Semua
peralatan
baik
alat
pembuatan media (botol kultur) dan alat
inokulasi eksplan (cawan petri, scalpel
blade, gunting eksplan, pinset, kertas saring
dan tissue) dilakukan sterilisasi. Sterilisasi
dilakukan dengan autoklaf dengan suhu

121oC tekanan 1,5 atm selama 20 menit


(Nugroho, 2004).
Tahap 2 Pembuatan Media
a. Sterilisasi Media
Media yang digunakan adalah media
Murashige and Skoog (MS) dengan pH
media 5,8 6,0 (lampiran I) di masukkan
ke dalam botol kultur dan disterilisasi
dengan autoklav dengan suhu 1210C
tekanan 1,5 atm selama 15 menit.
b. Pembuatan Stok zat pengatur tumbuh
(ZPT) IAA dan BAP
Pembuatan larutan stok IAA dan BAP
10 ppm, dilakukan dengan menimbang
bahan sebanyak 10 mg lalu ditambahkan 50
ml aquades ke dalam erlenmeyer berukuran
100 ml. Sambil diaduk, diteteskan sedikit
larutan KOH 1 N dengan hati-hati sampai
larut benar (jernih) (Hendaryono, 1994).
Larutan ditambahkan aquades steril sampai
volume menjadi 1000 ml. Kemudian larutan
dipindahkan ke dalam wadah stok, ditutup
rapat dan diberi label IAA dan BAP 10 ppm.
Selanjutnya disimpan dalam lemari es.
Penggunaan larutan stok pada medium
dihitung
berdasarkan
perhitungan
Hendaryono (1994) yaiitu sebagai berikut :
V1.M1
= V2.M2
dimana :
V1
= volume larutan stok yang dicari
M1
= dosis larutan stok yang tersedia
V2
= volume medium yang akan dibuat
M2
= dosis medium yang akan dibuat
Tahap 3 Tahap Inokulasi Eksplan
a. Sterilisasi Eksplan
Eksplan
berupa
daun
muda
tembakau Nicotiana tabacum L. var prancak
95 diterilisasi dengan cara dicelupkan pada
etanol 70% selama 25 detik kemudian dicuci
dengan aquades steril, selanjtnya direndam
dalam larutan sodium hipoklorit 1% selama
10 menit, lalu dicuci dengan aquades steril
secara bertingkat sebanyak 3 sampai 4 kali (
Fowke et al., 1983). Selanjutnya dicuci
dengan aquades steril. Sodium hipoklorit
yang
digunakan
adalah
Bayclin
(konsentrasi 5,25 %) (Anonim, 2009).
Sterilisasi eksplan dilakukan di dalam
laminar air flow dengan kondisi aseptik.
Selanjutnya eksplan diambil dengan pinset
dan ditiriskan pada kertas saring steril
(Hendaryono, 1994).

b. Inokulasi Eksplan
Proses inokulasi dilakukan di laminar air
flow dengan kondisi aseptik. Alat-alat
inokulasi ditata didalam laminar air flow.
Setiap alat tersebut dicelupkan ke dalam
alkohol 95% dan dilewatkan di atas nyala
api bunsen selama 1-2 menit.
Daun tembakau dipotong 1x1 cm dan
diinokulasikan ke dalam botol kultur yang
telah berisi 20 ml media MS dengan posisi
bagian
abaksial
menyentuh
medium
(Dhaliwal et al., 2004). Penelitian ini
menggunakan 20 kombinasi dengan empat
kali ulangan. Tujuan dari pengulangan
adalah memperoleh komposisi yang efektif
untuk morfogenesis eksplan. Kombinasi
tersebut dapat dilihat pada Tabel 1
Tabel
1
Susunan
kombinasi
konsentrasi IAA dan BAP terhadap eksplan
daun Tembakau Nicotiana tabacum L. var
Prancak 95
IAA
BAP
0 ppm
1 ppm
2 ppm
3 ppm

0
ppm
I0B0
I0B1
I0B2
I0B3

0,5
ppm
I0,5B0
I0,5B1
I0,5B2
I0,5B3

1
ppm
I1B0
I1B1
I1B2
I1B3

1,5
ppm
I1,5B0
I1,5B1
I1,5B2
I1,5B3

2
ppm
I2B0
I2B1
I2B2
I2B3

Setelah eksplan diinokulasikan ke


medium di dalam botol kultur, botol ditutup
rapat dan diberi label yaitu tanggal dilakukan
inokulasi eksplan dan konsentrasi hormon
yang digunakan. Kemudian ditata rapi dalam
rak kultur. Ditumbuhkan selama 28 hari.
Setiap kolom rak kultur diberi pencahayaan
dengan lampu neon 40 watt engan lama
penyinaran 16 jam terang fotoperiod
(Dhaliwal et al., 2004 ; Ali et al. 2003). Suhu
ruang penyimpanan ini diatur relatif konstan
25oC1 (Dhaliwal et al., 2004 dan Rampant
et al., 2000).
Tahap 3 Rancangan Penelitian
Pengamatan
dilakukan
secara
destruktif pada hari ke 28 (dihitung sejak
inokulasi eksplan). Morfogenesis yang
terjadi diamati berdasarkan parameter
warna kalus (putih, kehijauan atau
kekuningan) dan tekstur kalus (lunak, keras,
padat) serta jumlah akar dan tunas dari
eksplan sehingga didapatkan data kuantitatif
(Ali, 2007). Data yang diperoleh disusun
dalam tabel pengamatan kalus (tabel 2) dan
tabel pengamatan jumlah tunas dan akar
(tabel 3). Percobaan dianalisis dengan
rancangan acak lengkap (RAL) 2 faktor

(Faktor A= konsentrasi IAA dan Faktor


B=konsentrasi BAP) dengan 2 kali ulangan.
Data yang didapatkan dianalisis
dengan
ANOVA
dengan
selang
kepercayaan 95%, dan dilanjutkan dengan
uji Tukey menggunakan software SPSS
untuk mengetahui pengaruh interaksi zat
pengatur tumbuh pada konsentrasi tersebut.
Bentuk hipotesis percobaan 2 faktor
menurut Walpole and Myers (1995) adalah
sebagai berikut :
H0 : interaksi dari faktor A dan faktor B
tidak berpengaruh terhadap respon objek
yang diamati
H1 : paling sedikit ada 1 interaksi antara
faktor A dan faktor B yang berpengaruh
terhadap respon objek yang diamati.
Sedangkan variabel yang digunakan
adalah :
Variabel bebas : perbandingan konsentrasi
zat pengatur tumbuh NAA dan BAP
Variabel terikat : jumlah dan panjang akar,
jumlah dan panjang tunas
Variabel terkendali
: pH, suhu, dan
pencahayaan.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan
terhadap
eksplan
tembakau N. tabacum L. var. Prancak 95
yang ditumbuhkan selama 28 hari dalam
medium MS padat dengan 20 kombinasi
ZPT
menunjukkan
adanya
respon
pertumbuhan dan organogenesis. Respon
organogenesis eksplan secara in vitro terjadi
dengan dua cara yang berbeda yaitu secara
langsung
dan
tidak
langsung.
Organogenesis eksplan secara langsung
ditunjukkan dengan munculnya organ
secara langsung dari potongan tanaman
utuh tanpa melalui terbentuknya kalus.
Sedangkan organogenesis secara tidak
langsung yaitu terjadi melalui terbentuknya
kalus terlebih dahulu, kemudian kalus
berdiferensiasi membentuk organ yang
spesifik (George, 1993)
Organogenesis eksplan tembakau
Nicotiana tabacum L. var Prancak 95 terjadi
secara
tidak
langsung,
dimana
organogenesis diawali dengan munculnya
kalus. Kalus merupakan jaringan yang
amorphous dan belum terdiferensiasi yang
terbentuk ketika sel tanaman mengalami
pembelahan yang tidak teratur. Kalus dapat
diinisiasi secara invitro dengan meletakkan
irisan jaringan tanaman (eksplan) pada

medium pendukung pertumbuhan dalam


kondisi steril (George, 1993). Kalus yang
terbentuk dalam penelitian ini berwarna hijau
dan putih dengan tekstur yang kompak.
Penampakan kalus
alus yang berwarna hijau dan
bertekstur kompak terlihat pada bagian
yang diberi tanda lingkaran pada Gambar
4.1 sedangkan kalus dengan warna putih
dan tekstur kompak ditunjukkan pada bagian
yang diberi tanda lingkaran pada Gambar
4.2.
Kirkham dan Holder (1981) dalam
George (1993) menyebutkan bahwa kalus
yang
diinduksi
dari
tunas
dengan
penambahan sitokinin memiliki tekstur yang
lebih kompak daripada kalus yang dihasilkan
tanpa induksi sitokinin. Tekstur kalus yang
kompak merupakan efek dari sitokinin dan
auksin yang mempengaruhi potensial air
dalam sel. Hal ini menyebabkan penyerapan
air dari medium ke dalam sel meningkat
sehingga sel menjadi lebih kaku. Sel-sel
penyusun kalus berupa sel parenkim yang
mempunyai ikatan yang renggang dengan
sel-sel lain. Dalam kultur jaringan, kalus
dapat dihasilkan dari potongan organ yang
telah steril, di dalam media yang
mengandung auksin dan kadang-kadang
kadang
juga sitokinin. Organ tersebut dapat berupa
kambium vaskular, parenkim cadangan
makanan, perisikle, kotiledon, mesofil
mesofi daun
dan jaringan provaskular. Kalus mempunyai
pertumbuhan yang abnormal dan berpotensi
untuk berkembang menjadi akar, tunas dan
embrioid yang nantinya akan dapat
membentuk plantlet.

Gambar. 4.1 Kalus


pada eksplan dengan
medium 1,5 ppm
IAA dan 3 ppm BAP

Gambar. 4.2 Kalus


pada eksplan dengan
medium 2 ppm IAA
dan 1 ppm BAP

Warna dan tekstur kalus merupakan


indikasi dimulainya respon organogenesis.
proliferasi masa sel yang muncul dari efek
pelukaan, kalus yang terus menerus
berproliferasi membentuk jaringan parenkim
yaitu jaringan dasar yang dapat bersifat
meristematik dan berdiferensiasi
erdiferensiasi ke bentuk

yang lebih spesifik. Kalus yang berwarna


putih merupakan jaringan embrionik yang
belum
mengandung
kloroplas,
tetapi
memiliki kandungan butir pati yang tinggi.
Dengan penambahan zat pengatur tumbuh
terutama sitokinin dan stimulus ca
cahaya,
proplastid yang terdapat dalam jaringan
parenkim tersebut berdiferensiasi menjadi
plastid yang mengandung kloorofil, sehingga
kalus berubah menjadi berwarna hijau.
Kalus yang berwarna hijau dan mengandung
klorofil
biasanya
merupakan
tempat
munculnya tunas (Tsuro, 1998). Parameter
warna dan tekstur kalus yang terbentuk
dalam penelitian kultur jaringan tembakau
Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95
ditunjukkan dalam Tabel 4.1

Tabel 4.1.. Morfologi kalus pada eksplan


N. tabacum L. var. Prancak 95 setelah 28
hari
IAA
BAP
0 ppm
1 ppm
2 ppm
3 ppm

0
ppm
2
2&1
2
2

0,5
ppm
2
2
2
2

1
ppm
2
2
1
2

1,5
ppm
2
2
2
1

2
ppm
1
2
1& 2
1& 2

Keterangan Scoring warna dan tekstur


kalus:
1 = Hijau kompak
2 = Putih kompak
Berdasarkan
hasil
pengamatan
(Tabel 4.1) keseluruhan kalus yang
terbentuk bertekstur kompak, dengan warna
putih atau hijau. Kalus yang berwarna hijau
kebanyakan muncul dari kombinasi IAA dan
BAP dengan konsentrasi tinggi. Dalam
penelitian ini kalus yang muncul
ncul dari daerah
bekas pelukaan berwarna putih, lama
lamakelamaan akan berubah menjadi kalus yang
berwarna
hijau
dan
kemudian
berdiferensiasi
menjadi
organ
organ-organ
vegetatif yakni tunas dan akar. Hal ini
sesuai dengan yang dinyatakan oleh (Tsuro,
1998) bahwa tahapan
hapan pembentukan kalus
pada eksplan yaitu, kalus yang muncul pada
bekas potongan pada eksplan awalnya
bersifat remah, selanjutnya ketika sel terus
berproliferasi maka lama-kelamaan
kelamaan kalus
menjadi kompak dan berwarna putih. Kalus
yang berwarna putih selanjutnya
tnya berubah
menjadi hijau setelah penambahan sitokinin.
Kalus yang telah berwarna hijau tersebut
berdiferensiasi membentuk tunas.

Interaction
Plot foruntuk
Tunas
Plot interaksi
Fitted Means

tunas

Bentuk lain dari respon perlakuan


penambahan ZPT dapat berupa diferensiasi
dari kalus menjadi tunas (Lampiran 2).
Kombinasi konsentrasi BAP dan IAA
berpengaruh nyata terhadap multiplikasi
tunas tercermin pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Rerata jumlah tunas pada
eksplan N. tabacum L. var. Prancak 95
setelah 28 hari
IAA
BAP
0 ppm
1 ppm
2 ppm
3 ppm

0
ppm
0a
16 b
17 b
20 b

0,5
ppm
0a
8b
34 c
8b

1
ppm
0a
8b
19 b
19 b

1,5
ppm
0a
13 b
23 b
26 b

2
ppm
0a
22 b
19 b
24 b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti


huruf sama pada baris dan kolom yang
sama menunjukkan tidak beda nyata
dengan uji tukey pada selang kepercayaan
95%
Berdasarkan Tabel 4.1 eksplan yang
diinokulasikan
pada
medium
tanpa
penambahan ZPT yaitu perlakuan I0B0
hanya memberikan respon callogenesis.
Kalus yang terbentuk tidak berrediferensiasi
menjadi organ. Eksplan hanya mengalami
perubahan ukuran menjadi lebih lebar dan
terbentuk kalus pada daerah yang dilukai,
namun kalus yang muncul
tidak
berdeferensiasi menjadi akar atau tunas.
Penghitungan tunas yang muncul pada
eksplan dilakukan dengan menghitung
nodus yang tampak. Hasil pengamatan
menunjukkan adanya peningkatan dan
penurunan yang tajam terhadap jumlah
tunas pada konsentrasi IAA 0,5 ppm yang
dikombinasikan
dengan
berbagai
konsentrasi BAP.
Interaksi antara IAA dan BAP
terhadap induksi tunas ditunjukkan dalam
grafik 4.1 berikut ini :

Rata
Rata-rata Mean
jumlah tunas

35

IA A
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0

30
25
20
15
10
5
0
0

BAP

Grafik 4.1 pengaruh interaksi IAA dan BAP


terhadap tunas yang tumbuh
Berdasarkan Grafik diketahui bahwa
interaksi zat pengatur tumbuh yang
menghasilkan tunas paling banyak adalah
kombinasi 0,5 ppm IAA dan 2 ppm BAP
dengan rata-rata jumlah tunas yang
dihasilkan adalah 34 tunas/eksplan. Skoog
dan Miller (1950) dalam Kieber (2002)
mengungkapkan bahwa dengan adanya
auksin dan sitokinin dalam medium dapat
menstimulasi sel-sel jaringan parenkim
tembakau untuk membelah. Sitokinin telah
diketahui memainkan peranan penting
dalam hampir semua aspek pertumbuhan
dan perkembangan tanaman termasuk di
dalamnya pembelahan sel, inisiasi dan
pertumbuhan tunas, serta perkembangan
fotomorfogenesis. Fotomorfogenesis adalah
dimana perubahan morfologi terutama
dalam hal kultur jaringan karena adanya
pengaruh cahaya. Grafik 4.1 secara umum
sesuai dengan (George, 1993) yang
menyatakan bahwa jika rasio auksin lebih
rendah
daripada
sitokinin
maka
organogenesis akan mengarah ke tunas,
jika rasio auksin seimbang dengan sitokinin
maka akan mengarah ke pembentukan
kalus sedangkan jika rasio auksin lebih
tinggi daripada sitokinin organogenesis akan
cenderung mengarah ke pembentukan akar.
Eksplan yang diinokulasikan pada
medium dengan penambahan BAP tanpa
IAA dapat menginduksi tunas. Hal ini
menunjukkan bahwa sitokinin sangat efektif
dalam memicu pertumbuhan tunas baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Akan tetapi pada umunya sitokinin
digunakan bersama dengan auksin (George
1993). Hal ini berkaitan dengan fungsi
sitokinin yang menurut Kusumo (1984)
dalam Maryani (2003) merupakan
zat

pengatur tumbuh yang berperanan dalam


pembelahan sel dan morfogenesis.
Sedangkan pada eksplan yang
diinokulasikan
iinokulasikan pada medium dengan
kombinasi
IAA
dan
BAP
mampu
menginduksi tunas. Keseimbangan antara
auksin dan sitokinin akan menghasilkan
organogenesis yang optimal. Sitokinin
endogen
diproduksi
di
akar
dan
ditransportasikan ke organ tumbuhan yang
lain melalui
elalui xylem melalui suatu cytokinin
transporter yaitu kelompok phosphate
transporter (Werner, 2009). Kombinasi
konsentrasi terbaik untuk induksi tunas yaitu
0,5 ppm IAA dan 2 ppm BAP dengan ratarata
rata tunas sebanyak 34 tunas/eksplan
(Tabel 4.1). Hasil ini sesuai dengan yang
dinyatakan Hendaryono (1994) bahwa
dalam metode Mohr rasio perbandingan
auksin dan sitokinin untuk multiplikasi tunas
adalah 1:4.
Berdasarkan respon yang
terjadi dapat diketahui bahwa sitokinin
sangat penting dalam mengiduksi tunas
eksplan
lan daun tembakau Nicotiana tabacum
L. var. Prancak 95. Keseimbangan antara
BAP dan IAA sangat penting dalam
menginduksi tunas karena masing-masing
masing
zat pengatur tumbuh tersebut berperanan
dalam menginduksi tunas. Menurut (Lee,
2002) Auksin dan sitokinin dapat
pat mengalami
beberapa jenis interaksi yaitu interaksi yang
bersifat antagonis, maupun sinergis. Dalam
hal pembentukan tunas pada eksplan daun
tembakau Nicotiana tabacum L. var.
Prancak 95 ini, auksin (IAA) dan sitokinin
(BAP) bersifat sinergis. Auksin be
berperanan
dalam
mengatur
pertumbuhan
dan
pemanjangan sel, sedangkan sitokinin
berperan dalam pembelahan sel. Hal ini
mudah dimengerti karena secara seluler
auksin berperan dalam pemanjangan sel,
sedangkan sitokinin memicu pembelahan
sel,
morfogenesis
dan
pengaturan
pe
pertumbuhan merupakan proses yang
sangat penting dalam pembetukan kalus
dan selanjutnya diikuti rediferensiasi kalus
menuju pembentukan tunas yang dipicu oleh
adanya cahaya. Hal ini diperkuat oleh
(Kusumo, 1984 dalam Maryani, 2003)yang
menunjukkan bahwa sitokinin (termasuk
BAP) dan auksin (termasuk IAA) berperanan
saling melengkapi dalam menginduksi
tunas.

Gambar. 4.3
Eksplan pada
medium 0 ppm
IAA dan 0ppm
BAP

Gambar 4.4 Eksplan


pada medium 0,5 ppm
IAA dan 2 ppm BAP

Menurut
DAgostino
(1999)
menyatakan
dalam
pembelahan
sel
sitokinin berperan dalam transisi fase G1
G1S
dan fase G2 M
M dengan meningkatkan
aktifitas fosforilasi sel. Dalam George (1993)
disebutkan bahwa (G1 = Gap1) merupakan
fase dimana pertumbuhan terjadi
terjad pada
meningkatnya kuantitas
organela dan
meningkatnya volume sitoplasma. Setelah
fase G1 siap maka sel akan segera
memasuki fase S. Fase S adalah saat
terjadinya sintesa DNA yang menghasilkan
replikasi DNA yang identik dengan DNA
induk. Fase S diikuti oleh
leh fase G2 dimana
sel mempersiapkan diri untuk melakukan
mitosis. Sedangkan fase M adalah fase
mitosis dimana terjadi pembelahan inti
(pemisahan kromosom) dan pemisahan
sitoplasma. Gambaran mekanisme auksin
dalam mepengaruhi pembelahan sel terlihat
pada Gambar 4.5.

Gambar. 4.5 Mekanisme sitokinin terhadap


pembelahan sel
(Sumber : DAgostino 1999)

Brault (1999) menyebutkan sitokinin


merupakan komponen penting yang terlibat
dalam mengontrol perkembangan tunas.
Pada level sel sitokinin berperan sebagai
pengontrol
banyak
ekspresi
gen,
perkembangan kloroplas, dan sintesa
metabolit sekunder. Sitokinin juga berperan
dalam pertumbuhan tunas adventif pada
kultur jaringan. Skoog and Miller, (1957)
dalam Kieber (2002) mengatakan sitokinin
terlibat dalam berbagai aspek pada
pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Dalam
perkembangan seluler auksin
berperan dalam meningkatkan aktivitas
pembelahan
sel.
Sedangkan
auksin
berperan dalam pembesaran sel melalui
hipotesa pertumbuhan asam, dimana auksin
dapat memicu pompa proton untuk
meningkatkan jumlah H+ ke dalam sel
sehingga sitoplasma sel menjadi lebih asam
kemudian menyebabkan melonggarnya
ikatan polisakarida pada dinding sel.
Dengan demikian air dengan mudah
berosmosis ke dalam sel dan menyebabkan
sel mengalami pembesaran. Berikut ini
adalah gambar skematik mekanisme auksin
terhadap pembesaran sel.

IAA yang optimum bagi pertumbuhan akar


adalah 1 ppm IAA dan 0 ppm BAP dengan
rata-rata tunas yang muncul sebanyak 4
akar/eksplan (Lampiran 3 dan Tabel 4.2).
Rerata jumlah akar pada medium dengan
berbagai kombinasi BAP dan IAA disajikan
pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Rerata jumlah akar pada
eksplan Nicotiana tabacum var, Prancak 95
setelah 28 hari
IAA
BAP
0 ppm
1 ppm
2 ppm
3 ppm

0
ppm
0a
0a
0a
0a

0,5
ppm
1a
0a
0a
0a

1
ppm
4b
0a
0a
0a

1,5
ppm
1a
0a
0a
0a

2
ppm
0a
0a
0a
0a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti


huruf sama pada baris dan kolom yang
sama menunjukkan tidak beda nyata
dengan uji tukey pada selang kepercayaan
95 %
Auksin memiliki peranan yang penting
dalam inisiasi akar pada kultur in vitro, hal ini
dijelaskan oleh (Woodward, 2005) bahwa
auksin
berperan
dalam
memicu
pembentukan akar lateral dari kalus yang
belum terdiferensiasi, tetapi pada medium
yang diberi paparan cahaya respon ekplan
terhadap auksin menjadi berkurang. Pada
tanaman utuh auksin diproduksi di ujung
koleoptil dan ditransportasikan ke bagian
akar. George (1999) mengemukakan bahwa
rasio auksin yang lebih tinggi pada medium
akan memicu pertumbuhan kalus dan
menginisiasi terbentuknya akar.
Interaction Plot for Akar
Plot interaksi
untuk akar
Fitted Means
IA A
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0

Rata
Rata-rata
jumlah akar
Mean

Gambar 4.6 Mekanisme seluler auksin


terhadap pembelahan sel
Rasio
sitokinin
dan
auksin
menentukan morfogenesis yang terjadi pada
kultur kalus in vitro. Kalus yang ditempatkan
pada media dengan rasio sitokinin lebih
tinggi
daripada
auksin
biasanya
menghasilkan banyak tunas dan sedikit akar
sedangkan kalus yang ditempatkan pada
media dengan rasio auksin lebih tinggi
daripada sitokinin akan menghasilkan akar
lebih banyak daripada tunas. Eksplan yang
diinokulasikan pada media dengan rasio
sitokinin dan auksin seimbang akan
menghasilkan proliferasi kalus.
Dalam penelitian ini akar hanya
dapat diinisiasi pada media dengan
penambahan IAA tanpa BAP. Konsentrasi

0
0

BAP

Grafik 4.2. Pengaruh interaksi IAA dan BAP


terhadap akar yang tumbuh

Berdasarkan Grafik 4.2 dapat


diketahui bahwa kombinasi konsentrasi
optimum untuk menginduksi akar pada
kultur in vitro daun tembakau Nicotiana
tabacum L. var. Prancak 95 adalah 0 ppm
BAP dan 1 ppm IAA dengan rata-rata jumlah
akar adalah 4 akar/eksplan. Pada media

dengan penambahan BAP, meskipun telah


ditambahkan IAA akar tidak terinduksi. Hal
ini mungkin terjadi karena IAA terdegradasi,
seperti yang dikatakan oleh Hendaryono
(1994) dimana IAA dapat mengalami
degradasi yang disebabkan oleh adanya
cahaya ataupun dapat diuraikan oleh enzim
oksidatif yang dikeluarkan sel. Selain itu,
(Lee, 2002) menyatakan bahwa keberadaan
sitokinin juga menghambat kerja auksin
dalam hal pemanjangan sel pada hipokotil.
Pada medium dengan penambahan IAA
dengan konsentrasi yang lebih tinggi
pembentukan akar semakin menurun,
bahkan tidak muncul sama sekali pada
medium dengan penambahan 2 ppm IAA,
hal ini dapat terjadi karena adanya aktivitas
IAA oksidase yang menurut (Rampant et al,
2000) bersifat menghambat
induksi akar
oleh auksin.
Interaksi antara sitokinin dan auksin
berperan dalam mengontrol banyak aspek
pertumbuhan dan diferensasi sel. Ketika
dikombinasikan dengan auksin, sitokinin
memicu diferensiasi dan perkembangan sel,
organ dan seluruh bagian tanaman. Secara
umum, rasio sitokinin yang tinggi daripada
auksin akan memicu terbentuknya tunas dan
pada medium dengan konsentrasi sitokinin
yang rendah tidak mampu membuat kalus
terdiferensiasi (Lee, 2002). Hal inilah yang
menyebabkan akar tidak tumbuh pada
medium dengan penambahan auksin.
Menurut Minocha cit. Suyadi (2003) dalam
Maryani (2003) apabila kondisi auksin dan
sitokinin endogen berada pada kondisi sub
optimal, maka diperlukan penambahan
auksin dan sitokinin secara eksogen,
sehingga diperoleh perimbangan auksin dan
sitokinin optimal. Berikut ini merupakan
gambar eksplan yang memberikan respon
akar dibandingkan dengan perlakuan I0B0.
Hasil pengamatan terhadap eksplan dengan
akar terbanyak dibandingkan kontrol terlihat
pada Gambar 4.3 dan Gambar 4.4.
IV KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, didapatkan kesimpulan sebagai
berikut:
1. Kombinasi BAP 2 ppm dan IAA 0,5
ppm
memberikan
penggandaan
tunas
terbanyak dalam kultur
jaringan
Tembakau
Nicotiana
tabacum L. var Prancak 95 yaitu

dengan rata-rata jumlah tunas


adalah 34,25 tunas/eksplan.
2. Kombinasi BAP 0 ppm dan IAA 0,5
ppm memberikan hasil jumlah ratarata akar terbanyak dalam kultur
jaringan
Tembakau
Nicotiana
tabacum L. var Prancak 95 yaitu
dengan tara-rata jumlah akar adalah
4 akar/eksplan.
3. Organogenesis pada eksplan terjadi
secara tidak langsung yaitu melalui
pembentukan kalus terlebih dahulu.

UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih
kepada Allah SWT atas Ridho dan Berkah
Nya. Ibu tercinta dan papa, serta saudarasaudariku,
terima kasih atas dorongan
semangat yang senantiasa dilimpahkan
kepada penulis.
Ibu Tutik Nurhidayati S.Si., M.Si., dan Bapak
Nurul Jadid S.Si.,M.Sc. atas kesabaran
dalam membimbing penulis dan motivasi
yang diberikan, Ibu Dr. rer. net. Maya
Shovitri,M.Si., Ibu Ir. Sri Nurhatika M.P., dan
Ibu Kristanti Indah Purwani S.Si. M.Si.,
selaku penguji, terima kasih atas kritik dan
saran dan waktu yang diberikan untuk
penulis. Segenap Bapak dan Ibu Dosen
pengajar di Biologi ITS, Mas Ari WW yang
selalu memberi motivasi dan perhatian untuk
penulis. Obyk dan Neser, yang sangat
mebantu dalam proses pengolahan data.
Mbak Hermi dan Nurma yang rela
meluangkan waktunya untuk berdiskusi
secara privat
dengan penulis, semoga
sukses. Teman-teman seperjuangan di Lab
Kuljar, Lely, Lintang, Niar, Risma dan Nisa,
tetaplah
bersemangat.
Teman-teman
Penyuers 2006 seperjuangan yang telah
memberikan kontribusi sangat besar, bukan
hanya dalam penyelesaian laporan tugas
akhir ini tetapi juga memberikan warna-warni
hidup penulis serta. Semua pihak yang tidak
dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu terselesaikannya Tugas Akhir ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Achmad dan Soedarmanto. 1982.
Budidaya Tembakau. CV Yasaguna :
Jakarta

Ali, Gowher et al. 2007. Callus Induction


Indonesia-Press : Jakarta
and in vitro Complete Plant
Regeneation of Different Cultivars of George, Edwin F. 1993. Plant Propagation
by Tissue Culture, Part 1, 2nd Edition.
Tobacco (Nicotiana Tabaccum L. ) on
Exegetic Limited : England
media
of
Different
Hormonal
Consentration. Biotechnology 6 (4) :
561-566. ISSN Asian Network for Gunawan, L.W. 1988. Teknik Kultur
Jaringan
Tumbuhan.
Bogor:
Scientific Information
Laboratrium Kultur Jaringan PAU
Bioteknologi, IPB
Basuki, soesanti et al. 1999. Biologi dan
Morfologi
Tembakau
Madura.
Monograf Balitas No.4. Balai Penelitian Hendaryono, Daisy et al. 1994. Teknik
Kultur Jaringan : Pengenalan dan
Tembakau dan Tanaman Serat :
Petunjuk Perbanyakan Tanaman
Malang
Secara Vegetatif-Modern. Kanisius :
Yogyakarta
Borlongan, Ilda G et al. 1998. Molluscicidal
activity of tobacco dust against
brackishwater
pond
snails Hidayat. 2007. Induksi Pertumbuhan
Eksplan Endosperm Ulin dengan IAA
(Cerithidea
cingulata
Gmelin).
dan Kinetin. Fakultas Pertanian
Elsevier Science Crop Protection Vol 17
Udayana. Agritop 26(4) : 147-152
No. 5 PP 401-404
Brault, Mathias and Maldiney, Rgis .1999. Judd. 2002. Plant Systematics. Sinauer
Associates, Inc. Publisher : Sunder
Mechanisms of cytokinin action.
Land, Massachusetts U.S.A
Laboratoire
de
physiologie
du
dveloppement des plantes, universit
Pierre-et-Marie-Curie (CNRS, UMR Kieber, Joseph J. 2002. The Arabidopsis
Book: Cytokinins. American Society of
7632). Plant Physiol. Biochem., 1999,
Plant Biologists. University of North
37 (5), 403412
Carolina, Biology Department : Carolina
Chane, Chun .1989. Bertanam Tembakau.
Agricultural Technical Mission of China Kumar et al. 2003. Expression of Hepatitis
B Surface Antigen in Tobacco Cell
Suspension
culture.
Protein
Dhaliwal, S Harbinder. 2004. TIBA Inhibition
Expression and Purification 32 (2003)
of Invitro Organogenesis in Excised
10-17
Tobacco Leaf Explants. In Vitro Cell.
Dev. Biol. Plant 40:235-238
Lee, Dong Ju. 2002. The Regulation of
Korean Radish Cationic Peroxidase
DAgostino, Ingrid B dan Kieber, Joseph J.
Promoter by a Low Ratio of
1993. Molecular mechanisms of
Cytokinin to Auxin. Plant Science 162
cytokinin action. Department of
(2002) 345353
Biological Sciences, Laboratory for
Molecular Biology, University of Illinois
USA; Current Opinion in Plant Biology Maggon, Ruchi and Singh, Brahma. 1995.
Promotion of adventitious bud
1999, 2:359364
regeneration by ABA in combination
with BAP in epicotyl and hypocotyls
Fowke, L Cet al. 1983. Organelles
explants of sweet orange ( Citrus
Associated
with
the
Plasma
sinensis
L.
Osbeck).
Scientia
Membrane
of
Tobacco
Leaf
Horticulturae 63 (1995) 123-128
protoplasts. Plant Cell Reports (1983)
2 : 292-295
Maryani,
Yekti
dan
Zamroni
.2005.
Penggandaan Tunas Krisan Melalui
Gardner,Franklin P, et al. 2008. Fisiologi
Kultur Jaringan. Ilmu Pertanian Vol. 12
Tanaman
Budidaya.
Universitas

No.1, 2005: 51-55


Pasqua, Gabriella. Effects of the Culture
Medium pH and Ion Uptake in In Vitro
Vegetative Organogenesis in Thin
Cell Layers of Tobacco. Plant Science
162 (2002) 947_/955

Embrioid Kultur ovary. Melalui


Beberapa Komposisi Media Kultur.
Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Suharto, Murdiati,. Dan Herawati, Anik. 2008.
Prospek Tembakau Rendah Nikotin
(Studi kasus tembakau Madura).
Warta Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Industri, Volume 14 Nomor 1,
6 April 2008

Prajoko Hadi dan Supena Priyanto. 2008.


Peranan Sektor Tembakau dan
Industri Rokok dalam Perekonomian Suwarso. 1999. Pemuliaan Tembakau
Indonesia : Analisis Tabel I-O tahun
Madura. Monograf Balitas No.4. Balai
2000. Jurnal Agroekonomi, Volume 26
Penelitian Tembakau dan Tanaman
No. 1, mei 2008 : 90-121
Serat : Malang
Priadi, Dody et al. 2007. Pertumbuhan in Suwarso.
1997.
SK
Mentan
Vitro Tunas Ubi Kayu (Manihot
No.731/Kpts/TP.240/7/97. Balittas :
esculenta Crants) pada berbagai
Malang
Bahan pemadat Alternatif Pengganti
Agar. Biodiversitas Volume 9, Nomor 1 Szponarski, Wojciech, et al. 1990. Auxin
Halaman 9-12
Effect on Proton Accumulation by
Reconstituted Plasma Membran H+Purnamaningsih, Ragapadmi. 2006. Induksi
ATPase. Phyrochemirtry, Vol. 30. No.
Kalus dan Optimasi Regenerasi
5, pp. 1391- 1395. 1991. INRA, Station
Empat Varietas Padi melalui Kultur In
de Physiopathologie V&&ale, B.V.
Vitro. Jurnal AgroBiogen 2(2):74-80
1540, 21034 Dijon cedex, France
Rampant, Odile Faivre.,Kevers, Claire., Tsuro, M et al. 1998. Comparative Effect of
Gaspar, Thomas. 2000. IAA-Oksidase
Different Types of Cytokinin for
activity and auxin protector in
Shoot
Formation
and
Plant
nonrooting, rac, Mutant Shoot
Regeneration in Leaf-derived Callus
Tobacco in Vitro. Plant Science 153
of lavender. (Lavandula vera DC).
(2000) 73-80
Laboratory of Plant Breeding Science,
Faculty of Agriculture, Kyoto Prefectural
Sellars, R.M. 1990. Adventitious Somatic
University, Shimogamo-Hangi SakyoEmbryogenesis
from
Culture
ku, Kyoto 606-8522 : Japan
Immature Zygotic Embryos of Peanut
and Soybean. Crop Sci. 30:408-413.
Wattimena, G. A. 1987. Diktat zat Pengatur
Tumbuh
Tanaman.
Bogor:
Setyawati; Morisco; dan Prayitno, T . 2009.
Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman
Pengaruh
Ekstrak
Tembakau
PAU
Bioteknologi
IPB-Direktorat
Terhadap Sifat dan Perilaku Mekanik
Jenderal
Pendidikan
Tinggi
Laminasi Bambu Petung. Forum
Departemen
Pendidikan
dan
Teknik Sipil No. XIX/1-Januari 2009
Kebudayaan
Steenis, Van. 2008. Flora Untuk Sekolah Walpole, Ronald E., Myers, Raymond H.
Menengah di Indonesia. PT Pradnya
1995. Ilmu Peluang dan Statistika
Paramita : Jakarta
untuk Insinyur dan Ilmuwan Edisi ke
Empat. Penerbit ITB : Bandung
Sudarmadji. 2003. Penggunaan Benzil
Amino Purine pada Pertumbuhan Werner, Thomas dan Schmulling, Thomas.
Kalus Kapas secara in-vitro. Buletin
2009. Cytokinin Action in Plant
Teknik Pertanian Vol. 8. Nomor 1
Development. Current Opinion in
Plant Biology 2009, 12 : 527-538
Sugiri, Anton. 2005. Pembentukan kalus

Woodward, Andrew W and Bartel, Bonnie.


2005. Auxin: Regulation, Action, and
Interaction.
Department
of
Biochemistry and Cell Biology, Rice
University USA. Annals of Botany 95:
707735, 2005
Zulkarnaen.
2009.
Kultur
Jaringan
Tanaman:
Solusi
Perbanyakan
Tanaman Budidaya. Bumi Aksara
:Jakarta

Anda mungkin juga menyukai