PEMBAHASAN
A. Persalinan Prematur dan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
Persalinan ibu hamil secara normal pada usia kehamilan antara 37 sampai 42
minggu (259-293 hari) disebut usia kehamilan aterm. Usia kehamilan lebih dari 42
minggu (294 hari) disebut postterm. Persalinan prematur adalah persalinan pada
usia kehamilan kurang dari 37 minggu (259 hari) atau usia kehamilan preterm. Bayi
prematur adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu
(preterm). Bayi yang lahir prematur berat badan lahir rendah (BBLR), tumbuh
kembang organ vital terhambat, belum mampu untuk hidup di luar kandungan, dan
mortalitas perinatal rate tinggi (65-75%). Sepertiga persalinan prematur disebabkan
ketuban pecah dini (KPD), komplikasi kehamilan yang meliputi kehamilan multi
janin, hidramnion, inkompetensi serviks, plasenta lepas secara prematur dan infeksi
seperti polinefritis dan korioamnionitis. Namun 50% etiologi kelahiran prematur tidak
diketahui. Faktor risiko prematur adalah faktor iatrogenik atas indikasi medis pada
ibu dan janin, faktor maternal (umur ibu, paritas ibu, trauma, riwayat premature
sebelumnya, plasenta previa dan inkompetensi serviks), infeksi intra amnion,
hidramnion, faktor janin (gemelli, IUFD, kelaianan congenital) dan faktor perilaku
(merokok dan minum alkohol, NAPZA).
BBLR adalah bayi yang baru lahir dengan berat badan saat lahir lebih kecil
2500 gr, yang terbagi menjadi dua golongan yaitu prematuritas murni (bayi dengan
kehamilan kurang dari 37 minggu dan berat badan sesuai kehamilan, sering disebut
neonatus kurang bulan sesuai masa kehamilan/NKB-SMK) dan dismaturitas
(neonatus dengan kehamilan kurang bulan dan berat badan kurang dari berat
badan seharusnya untuk kehamilan: NKB-KMK, neonatus cukup bulan dengan
berat badan kurang dari berat badan seharusnya untuk kehamilan: NCB-KMK,
neonatus lebih bulan dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya
untuk kehamilan sesuai masa kehamilan: NLB-KMK).
Prevalensi BBLR diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia dengan
batasan 3,3% - 38% dan lebih sering terjadi di negara berkembang dan angka
kematiannya 35% kali lebih tinggi dibanding pada bayi dengan berat badan lahir
normal. Dari 17 juta BBLR setiap tahunnya, 16% diantaranya lahir di negara
berkembang, dimana sekitar 80% di Asia. Di Indonesia, BBLR masih merupakan
penyebab utama tingginya AKB, khususnya pada masa perinatal dengan angka
kejadian sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain. Berdasarkan
SDKI 2007, Angka Kematian Bayi 34/1000 kelahiran hidup dengan penyebab
kematian BBLR 12,8%. Target MDGs sampai tahun 2015 mengurangi angka
kematian bayi dan balita sebesar dua pertiga dari tahun 1990 yaitu sebesar 20 per
1000 kelahiran hidup. Saat ini angka kematian bayi masih tinggi yaitu sebesar 67
per 1000 kelahiran hidup.
besi
pada
ibu
hamil.
Penilaian
biofasik
dengan
melakukan
pemeriksaan fisik berdasar gejala dan tanda-tanda kurang gizi yang ditemukan.
Penilaian antropomerti dengan pengukuran berat badan, tinggi badan dan
Lingkar Lengan Atas (LLA) pada ibu hamil.
Status gizi ibu hamil yang buruk akibat kurang energi protein kronis dan
defisiensi nutrisi menyebabkan persalinan prematur dan Bayi Berat Lahir Rendah
(BBLR). Status gizi ibu hamil buruk disebabkan:
a. Mitos pantangan makanan dan minuman tertentu karena terdapat ancaman
bahaya terhadap yang melanggarnya. Ada kekuatan mistik yang akan
menghukum orang-orang yang melanggar pantangan atau tabu tersebut.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa pantangan ibu hamil merupakan
faktor risiko terhadap BBLR. Untuk mencegahnya, dibedakan pantangan yang
berdasar agama dan tidak berdasar agama. Pantangan yang belum menjadi
keyakinan agama atau kepercayaan yang merugikan, agar diusahakan untuk
dikurangi, bahkan dihapuskan. Pantangan yang menguntungkan kondisi
kesehatan ibu hamil, sebaiknya diperkuat dan dilestarikan. Sedangkan
pantangan yang tidak ada pengaruhnya agar dibiarkan saja.
b. Kebiasaan yang menjadi kepercayaan dan budaya setempat, menjadi faktor
determinan kesehatan ibu hamil dan bayi dalam kandungannya. Suku Asmat,
Papua mempunyai adat bahwa isteri melayani suami, mencari makan dan
memelihara anak, meskipun dalam keadaan hamil. Hal ini merugikan kondisi
gizi dan kesehatan ibu hamil, akhirnya berdampak dampak BBLR. Kebiasaan
minum jamu juga merupakan salah satu kebiasaan yang berisiko bagi ibu
hamil dan janin, terutama pada trimester pertama kehamilan. Jamu dari herbal
maupun bahan lain yang tidak teregistrasi BPOM tidak aman bagi ibu hamil
dapat menyebabkan terjadinya toksemia gravidarum, gagal organ jantung dan
ginjal, syok dan abortus. Sedangkan bagi janin, dapat membahayakan tumbuh
kembang, menimbulkan kecacatan, BBLR, prematur, kelainan organ, asfiksia
neonatorum dan sampai keamtian janin dalam kandungan. Kebiasaan minum
jamu pada ibu hamil mempunyai risiko 1,28 kali melahirkan dengan BBLR.
Jamu yang diperbolehkan dan dibenarkan dengan persyaratan bahwa zat-zat
atau bahan yang dipergunakan sudah terbukti efektif dan bermanfaat serta
tidak membahayakan kehamilan. Dan juga sudah teregistrasi oleh BPOM.
Pantangan ibu hamil tidak boleh melakukan hubungan sex selama kehamilan.
Hubungan seksual suami isteri bergantung kepada kondisi ibu hamil, karena
tidak mengganggu pertumbuhan bayi.
c. Kehamilan tidak diinginkan (KTD) dengan berbagai sebab
Kehamilan tidak diinginkan (KTD) adalah suatu kondisi pasangan yang tidak
menghendaki adanya kehamilan yang merupakan suatu akibat dari perilaku
seksual baik secara sengaja maupun tidak sengaja (Nurjanah, 2011).
Pregnancy Risk Assesment Monitoring System (PRAM) di Maryland,
mendefinisikan KTD adalah kehamilan yang tidak tepat pada waktunya atau
tidak diinginkan kehadirannya oleh pasangan. KTD biasanya dialami oleh
remaja yang belum menikah, pasangan suami isteri dikarenakan kegagalan
alat kontrasepsi atau belum siap, penolakan jenis kelamin bayi, atau akibat
pemerkosaan. KTD mempunyai risiko 3,8 kali melahirkan anak BBLR.
rokok dan
narkotika
adalah
zat teratogenik
yang
bisa
kemoterapi
umumnya
bersifat
teratogenik.
Obat-obatan
yang
TB
Paru.
Penyakit
saluran
pencernaan,
seperti
hernia
Selama
beberapa
tahun
terakhir
Cytochrome
P4502A6
seperti delesi gen telah dijelaskan. Frekuensi inaktivasi alela yang rendah
pada populasi Eropa dan metabolisme yang sangat rendah terhadap obat
coumarin telah digambarkan pada populasi tersebut. Sebaliknya frekuensi
alela yang relatif tinggi (15-20%) dari delesi gen CYP2A6 telah ditemukan
pada orang Asia, hasilnya secara umum mereduksi aktivitas pada populasi
tersebut. Sebab CYP2A6 sangat penting dalam metabolisme nikotin.
6. Determinan epidemiologi prematur
Secara umum faktor risiko penyebab kejadian kelahiran prematur antara
lain faktor idiopatik, iatrogenik, sosial, demografik, faktor maternal dan janin,
infeksi dan genetik. Faktor psikososial adalah kecemasan, depresi, stress,
respon
emosional,
support
sosial,
pekerjaan,
perilaku
minum
kopi,
sehingga
berakibat
terjadinya
BBLR.
Bayi
berat
lahir
rendah
pertumbuhannya terganggu, IQ rendah (turun 10-13 poin), dan kematian bayi. Jika
hidup bisa terjadi stroke, hipertensi, DM type 2, respiratory distress syndrome
(RDS), gangguan fungsi pendengaran, retardasi mental dan cerebral palsy.
D. Pencegahan dan Penanganan Persalinan Prematur dan BBLR
Pencegahan kelahiran bayi prematur dilakukan secara primer, sekunder dan
tersier. Pencegahan primer, yaitu meningkatkan ANC (pemeriksaan kehamilan) dan
gizi ibu hamil serta melakukan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) dan KB.
Pencegahan sekunder dengan pembatasan aktivitas (kerja, perjalanan dan coitus)
dan stress pada ibu hamil dengan riwayat persalinan prematur dan hamil kembar.
Melakukan pemeriksaan USG dan amniosintesis. Pencegahan tersier adalah upaya
untuk menghentikan kelahiran bati prematur, dengan mempertahankan kehamilan
sampai cukup bulan dan mengurangi lama waktu perawatan intensif pada bayi.
Penanganan bayi prematur dengan mempertahankan suhu, mencegah
terjadinya infeksi sekunder dan pemberian nutrisi dan ASI, serta penimbangan.
Penanganan BBLR sama dengan penanganan bayi prematur.
penyakit kronis dan kelainan kongenital, keadaan sosial ekonomi dan pendidikan,
musim, pengawasan medis, sanitasi, dan faktor psikologis.
Pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal dengan melakukan
deteksi dini tumbuh kembang anak dan memenuhi kebutuhan dasar anak yaitu
kebutuhan fisik biomedis (ASUH) yang meliputi pemberian gizi seimbang dengan
b.
c.
2. Kelemahan
a. Masih tingginya kematian ibu akibat persalinan atau kelahiran
b. Negara sedang berkembang
3. Peluang
a. Manfaat ASI eksklusif
b. Kebijakan umum pembangunan kesehatan nasional, upaya penurunan angka
kematian bayi dan balita merupakan bagian penting dalam Program Nasional
Bagi Anak Indonesia (PNBAI) yang dijabarkan dalam visi anak Indonesia
2015 untuk menuju anak Indonesia yang sehat.
4. Ancaman
a. Masih tingginya Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), komplikasi
perinatal dan diare.
b. Faktor ibu: masa kehamilan yang rentan (ANC, infeksi ibu hamil, gizi ibu
hamil, karakteristik ibu hamil), persalinan (partus macet/lama, pertolongan
nakes)
c. Faktor janin: BBLR, asfiksia, pneumonia, diare, tetanus
d. Ketersediaan dan akses sarana pelayanan kesehatan, seperti RS
e. Asupan gizi yang kurang
f. Pencemaran lingkungan
g. Faktor sosio-ekonomi
h. Tenaga kesehatan yang kurang memadai jumlah dan mutunya
G. Hambatan KIA
1. Belum adanya kesamaan persepsi antara pemerintah pusat dan daerah, dan
stakeholder yang menangani permasalah AKI di Indonesia.
2. Belum adanya komitmen dari pemerintah pusat dan daerah untuk menjalankan
amanat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan untuk
mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar 5% APBN dan 10% APBD di luar
gaji.
3. Dari anggaran kesehatan yang ada, hamper semua daerah tidak memiliki alokasi
khusus untuk penanganan masalah kematian ibu.
4. Belum ada semangat memberikan pelayanan kesehatan reproduksi sebagai
upaya mencegah terjadinya kematian ibu.
5. Implementasi dan monitoring pelaksanaan kebijakan untuk mengurangi AKI
masih sangat kurang maksimal.
6. Kebutuhan alat kontrasepsi masih belum dapat dipenuhi serta angka unmet
need masih cukup tinggi.
7. Kurangnya sosialisasi dan melibatkan masyarakat terhadap upaya penurunan
AKI, khususnya di daerah terpencil.
8. Belum meratanya fasilitas kesehatan di daerah terpencil, sekalipun ada fasilitas
kesehatan tidak selalu memiliki tenaga kesehatan yang memadai.
9. Masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pencegahan
AKI, ditambah sebagian besar daerah terpencil masih mengalami masalah
kelaparan dan kurang gizi.
H. Solusi Menekan Laju Kematian Bayi dan Ibu
Secara konseptual, masalah kesehatan Ibu dan anak di Indonesia sangat
rumit, selain terdiri dari berbagai penyebab masalah yang saling berinteraksi serta
faktor penentu masalah kesehatan yang berbeda-beda pada setiap unit sosial baik
perorangan, pada keluarga, maupun masyarakat. Adanya kesenjangan dalam faktor
penentu sosial pada kesehatan seperti tingkat pendidikan, pendapatan, gender,
kesulitan medan geografis, tersedianya air bersih, kebersihan dan kesehatan
lingkungan.
Sumber daya manusia tenaga kesehatan yang terkait dengan pelayanan ibu,
selain belum merata distribusinya, kompetensi belum seperti yang diharapkan, juga
kerjasama antar SDM yang terkait belum terkoordinir dengan baik.
Dari segi pembiayaaan, proporsi anggaran kesehatan pemerintah maupun
pemerintah daerah masih jauh dari alokasi yang diamanatkan dalam UndangUndang. Belanja kesehatan yang dikeluarkan pemerintah maupun masyarakat atau
subsidi lebih banyak dinikmati oleh orang kota dan mereka yang berpenghasilan
tinggi. RS kelas B dan A tersedia di kota besar, sehingga pembiayaan kesehatan
melalui BPJS, lebih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat yang berpenghasilan
tinggi berada di kota-kota. Sedangkan masyarakat yang tinggal di desa dan miskin