BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia terutama di negaranegara miskin dan negara berkembang. Penelitian yang dilakukan World Health
Organization (WHO) menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit di 14
negara yang berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Asia Pasifik
menunjukkan adanya kejadian infeksi nosokomial dengan Asia Tenggara
sebanyak 10%.(1) Pneumonia nosokomial atau hospital acquired pneumonia (HAP)
adalah pneumonia yang didapat di rumah sakit. Pneumonia nosokomial terjadi 510 kasus per 1000 pasien yang masuk ke rumah sakit dan menjadi lebih tinggi 620 kali pada pasien yang memakai alat bantu napas mekanis. Angka kematian
pada pneumonia nosokomial 20-50%. (2)
Salah satu bakteri utama yang menyebabkan infeksi nosokomial adalah
Staphylococcus aureus, bakteri Gram positif yang tersusun dalam kelompok
seperti anggur, yang saat ini sudah mulai resisten terhadap antibiotik methicillin
sehingga dikenal adanya Methicilllin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA).
MRSA mengalami resistensi karena perubahan genetik yang disebabkan paparan
terapi antibiotik yang tidak rasional.(2)
Bakteri MRSA pada awalnya hanya resisten terhadap antibiotik yang
mengandung cincin -laktam, namun dalam perkembangannya muncul resistensi
juga terhadap antibiotik golongan quinolon, aminoglycoside, tetracyclin bahkan
vancomycin.(3)
Berdasarkan
fenomena
tersebut,
maka
perlu
dilakukan
mengadakan interaksi dengan dinding sel dan DNA bakteri, sedangkan flavonoid
mampu membentuk komplek dengan protein pada dinding dan protoplasma sel
bakteri sehingga dapat melisiskan sel bakteri dan menyebabkan terjadinya
denaturasi protein serta menghambat pembentukan membran sel. Saponin
berperan dalam menurunkan tegangan permukaan sel, sehingga dinding sel rusak
dan mengakibatkan kebocoran membran sel. Terpenoid mampu merusak membran
sel bakteri. Senyawa-senyawa tersebut bersifat polar. Etanol merupakan pelarut
yang memiliki polaritas tinggi sehingga dapat mengekstraksikan komponen yang
bersifat polar. Etanol juga bersifat aman apabila masih tertinggal di dalam bahan.
(4)
Penelitian
sebelumnya
yang
menggunakan
metode
difusi
cakram
Untuk mengetahui KHM ekstrak etanol daun pare varietas Aceh yang
dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan MRSA isolat pneumonia
nosokomial
Untuk mengetahui KBM ekstrak etanol daun pare varietas Aceh yang
dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan MRSA isolat pneumonia
nosokomial
negatif
Konsentrasi Bunuh Minimal ekstrak etanol daun pare varietas Aceh
terhadap pertumbuhan MRSA isolat pneumonia nosokomial ditentukan dari
konsentrasi ekstrak terkecil yang menunjukkan tidak adanya pertumbuhan
koloni
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pneumonia Nosokomial
2.1.1 Definisi
Pneumonia nosokomial atau hospital acquired pneumonia (HAP) adalah
pneumonia yang didapat di rumah sakit yang menduduki peringkat ke- 2 sebagai
infeksi nosokomial di Amerika Serikat, hal ini berhubungan dengan peningkatan
angka kesakitan, kematian dan biaya perawatan di rumah sakit. Angka kematian
pasien pada pneumonia yang dirawat di instalansi perawatan intensif (IPI)
meningkat 3-10 kali dibandingkan dengan pasien tanpa pneumonia. Beberapa
penelitian menyebutkan bahwa lama perawatan meningkat 2-3 kali dibandingkan
pasien tanpa pneumonia, hal ini tentu akan meningkatkan biaya perawatan di
rumah sakit. Lebih kurang 10% pasien yang dirawat di IPI akan berkembang
menjadi pneumonia dan angka kejadian pneumonia nosokomial pada pasien yang
menggunakan alat bantu napas meningkat sebesar 20 30%. Angka kejadian dan
angka kematian pada umumnya lebih tinggi di rumah sakit yang besar
dibandingkan dengan rumah sakit yang kecil. (1)
Pneumonia nosokomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah
pasien 48 jam dirawat di rumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang terjadi
sebelum masuk rumah sakit. Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah
pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam setelah pemasangan intubasi
endotrakeal. (2)
2.1.2 Etiologi
Patogen penyebab pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia
komunitas. Pneumonia nosokomial dapat disebabkan oleh kuman bukan multi
drug resistance (MDR) misalnya S. pneumoniae, H. Influenzae, Methicillin
Sensitive
Staphylococcus
Pseudomonas
aeruginosa,
aureus
(MSSA)
Escherichia
dan
coli,
kuman
MDR
Klebsiella
misalnya
pneumoniae,
dapat diambil dari dahak, darah, cara invasif misalnya bilasan bronkus, sikatan
bronkus, biopsi aspirasi transtorakal dan biopsi aspirasi transtrakea. (3)
2.1.3 Patogenesis
Patogenesis pneumonia nosokomial pada prinsipnya sama dengan
pneumonia komunitas. Pneumonia terjadi apabila mikroba masuk ke saluran
napas bagian bawah. Ada empat rute masuknya mikroba tersebut ke dalam saluran
napas bagian bawah yaitu:
1. Aspirasi, merupakan rute terbanyak pada kasus-kasus tertentu seperti kasus
neurologis dan usia lanjut
2. Inhalasi, misalnya kontaminasi pada alat-alat bantu napas yang digunakan
pasien
3. Hematogenik
4. Penyebaran langsung
Pasien yang mempunyai faktor predisposisi terjadi aspirasi mempunyai
risiko mengalami pneumonia nosokomial. Apabila sejumlah bakteri dalam jumlah
besar berhasil masuk ke dalam saluran napas bagian bawah yang steril, maka
pertahanan pejamu yang gagal membersihkan inokulum dapat menimbulkan
proliferasi dan inflamasi sehingga terjadi pneumonia. Interaksi antara faktor
pejamu (endogen) dan faktor risiko dari luar (eksogen) akan menyebabkan
kolonisasi bakteri patogen di saluran napas bagian atas atau pencernaan makanan.
Patogen penyebab pneumonia nosokomial ialah bakteri gram negatif dan
Staphylococcus aureus sebanyak < 5%. Kolonisasi di saluran napas bagian atas
karena bakteri-bakteri tersebut merupakan titik awal yang penting untuk terjadi
pneumonia. (1)
Faktor risiko
endogen
Pasien:
Umur > 60 tahun
Penyakit yang
mendasari
Faktor kebiasaan
hidup
Kondisi akut
Kolonisasi
orofaring
Aspirasi
Bakteremia
Kolonisasi
lambung
Inhalasi
Intervensi:
Pembedahan
Prosedur invasif
Obat-obatan
Translokasi
Mekanisme
pertahanan paru
(seluler, humoral)
Trakeobronkitis
Faktor risiko
eksogen
Kontrol infeksi
Kolonisasi silang
Desinfeksi alat
tidak adekuat
Kontaminasi air &
cairan
Pneumonia
b. Penggunaan antibiotik
Antibiotik dapat memfasilitasi kejadian kolonisasi, terutama antibiotik yang
aktif terhadap Streptococcus di orofaring dan bakteri anaerob di saluran
pencernaan. Sebagai contoh, pemberian antibiotik golongan penisilin
mempengaruhi flora normal di orofaring dan saluran pencernaan.
Sebagaimana diketahui Streptococcus merupakan flora normal di orofaring
melepaskan bacterocins yang menghambat pertumbuhan bakteri gram
negatif. Pemberian penisilin dosis tinggi akan menurunkan sejumlah bakteri
gram positif dan meningkatkan kolonisasi bakteri gram negatif di orofaring.
c. Peralatan terapi pernapasan
Kontaminasi pada peralatan ini, terutama oleh bakteri Pseudomonas
aeruginosa dan bakteri gram negatif lainnya sering terjadi.
d. Pemasangan selang nasogastrik, pemberian antasid dan alimentasi enteral
Pada individu sehat jarang dijumpai bakteri gram negatif di lambung karena
asam lambung dengan pH < 3 mampu dengan cepat membunuh bakteri yang
tertelan. Pemberian antasid / penyekat H2 yang mempertahankan pH > 4
menyebabkan peningkatan kolonisasi bakteri gram negatif aerobik di
lambung, sedangkan larutan enteral mempunyai pH netral 6,4 - 7,0.
e. Lingkungan rumah sakit
Petugas rumah sakit yang mencuci tangan tidak sesuai dengan prosedur
Penatalaksanaan dan pemakaiaan alat-alat yang tidak sesuai prosedur,
seperti alat bantu napas, selang makanan, selang infus, kateter dll
Pasien dengan kuman MDR tidak dirawat di ruang isolasi
Faktor risiko kuman MDR penyebab HAP dan VAP (ATS/IDSA 2004)
2.1.5 Diagnosis
Menurut kriteria dari The Centers for Disease Control Atlanta (CDCAtlanta), diagnosis pneumonia nosokomial adalah sebagai berikut:
1. Onset pneumonia yang terjadi 48 jam setelah dirawat di rumah sakit dan
menyingkirkan semua infeksi yang inkubasinya terjadi pada waktu masuk
rumah sakit
2. Diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan atas dasar :
a. Foto toraks : terdapat infiltrat baru atau progresif
b. Ditambah 2 diantara kriteria berikut:
suhu tubuh > 38oC
sekret purulen
leukositosis (5)
Kultur darah dapat mengisolasi bakteri patogen pada > 20% pasien. Jika
hasil kultur darah (+) maka sangat penting untuk menyingkirkan infeksi di
tempat lain. Pada semua pasien pneumonia nosokomial harus dilakukan
pemeriksaan kultur darah. Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk
pemeriksaan apusan langsung dan biakan yaitu bila ditemukan sel PMN >
25 / lapangan pandang kecil (lpk) dan sel epitel < 10/ lpk.
2. Analisis gas darah untuk membantu menentukan berat penyakit.
3. Jika keadaan memburuk atau tidak ada respons terhadap pengobatan maka
dilakukan pemeriksaan secara invasif. Bahan kultur dapat diambil melalui
tindakan bronkoskopi, sikatan bronkus, aspirasi transtorakal. (6)
Suspek HAP, VAP
Kultur: diambil dari saluran napas bawah
(kuantitatif) dan pemeriksaan mikroskopis)
Mulai terapi antibiotik secara empiris sesuai algoritma dan data
mikrobiologi lokal kecuali hasil pemeriksaan mikroskopis
negatif dan klinis pneumonia yang tidak terlalu mendukung
Ya
Kultur (+)
Kultur (-)
Pertimbangkan penghentian
antibiotik
Penurunan antibiotik jika mungkin
Obati selama 7 8 hari dan dievaluasi
ulang
10
2.1.7
Terapi Antibiotik
Beberapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosokomial ialah:
1. Semua terapi awal antibiotik adalah empiris dengan pilihan antibiotik yang
harus mampu mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang
mungkin sebagai penyebab, perhitungkan pola resistensi setempat.
2. Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan
dosis dan cara pemberian yang adekuat untuk menjamin efektivitas yang
maksimal. Pemberian terapi empiris harus intravena dengan sulih terapi
pada pasien yang terseleksi, dengan respons klinis dan fungsi saluran cerna
yang baik.
3. Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada
hasil kultur yang berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan
respons klinis.
4. Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi
kuman MDR.
5. Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis
memburuk.
Data mikroba dan sensitivitas dapat digunakan untuk mengubah pilihan
empiris apabila respons klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi pemberian
antibiotik berdasarkan data mikrobial dan uji kepekaan tidak akan mengubah
mortaliti apabila terapi empiris telah memberikan hasil yang memuaskan. (6)
2.1.8 Lama Terapi
Pasien yang mendapat antibiotik empiris yang tepat, optimal dan adekuat,
penyebabnya bukan Pseudomonas aeruginosa dan respons klinis pasien baik serta
terjadi resolusi gambaran klinis dari infeksinya maka lama pengobatan adalah 7
hari atau 3 hari bebas panas. Bila penyebabnya adalah Pseudomonas aeruginosa
dan Enterobacteriaceae maka lama terapi 14 21 hari. (7)
Respons terhadap terapi dapat didefinisikan secara klinis maupun
mikrobiologi. Respons klinis terlihat setelah 48 72 jam pertama pengobatan
sehingga dianjurkan tidak merubah jenis antibiotik dalam kurun waktu tersebut
kecuali terjadi perburukan yang nyata. Setelah ada hasil kultur darah atau bahan
saluran napas bawah maka pemberian antibiotik empiris mungkin memerlukan
modifikasi. Apabila hasil pengobatan telah memuaskan maka penggantian
11
antibiotik tidak akan mengubah mortalitas tetapi bermanfaat bagi strategi deeskalasi. Bila hasil pengobatan tidak memuaskan maka modifikasi mutlak
diperlukan sesuai hasil kultur dan kepekaan kuman. Respons klinis berhubungan
dengan faktor pasien (seperti usia dan komorbid), faktor kuman (seperti pola
resisten, virulensi dan keadaan lain).(1)
Hasil kultur kuantitatif yang didapat dari bahan saluran napas bawah
sebelum dan sesudah terapi dapat dipakai untuk menilai resolusi secara
mikrobiologis. Hasil mikrobiologis dapat berupa eradikasi bakterial, superinfeksi,
infeksi berulang atau infeksi persisten. Parameter klinis adalah jumlah leukosit,
oksigenasi dan suhu tubuh. Perbaikan klinis yang diukur dengan parameter ini
biasanya terlihat dalam 1 minggu pengobatan antibiotik. Pada pasien yang
memberikan perbaikan klinis, foto toraks tidak selalu menunjukkan perbaikan,
akan tetapi apabila foto toraks memburuk maka kondisi klinis pasien perlu
diwaspadai. Ada beberapa penyebab perburukan atau gagal terapi, termasuk
diantaranya
kasus-kasus
yang
diobati
bukan
pneumonia,
atau
tidak
kuman
sebelum
dan
selama
terapi
terutama
Pseudomonas
a.
12
: Firmicutes
Kelas
:Cocci
Ordo
: Bacillales
Famili
: Staphylococcaceae
Genus
: Staphylococcus
Spesies
:Staphylococcus aureus(12)
Nama Staphylococcus aureus (S. aureus) berasal dari kata Staphele yang
berarti kumpulan dari anggur dan kata aureus yang dalam bahasa latinberarti
emas. Nama tersebut berdasarkan bentuk dari sel-sel bakteri yang berwarna
keemasan.Ciri bakteri ini adalah bakteri Gram positif yang berbentuk bulat
(coccus) dengan ukuran diameter sekitar 1 m dan tersusun dalam kelompok yang
tidak beraturan, tidak membentuk spora dan tidak bergerak.Sel-selnya membentuk
kelompok seperti kelompok buah anggur.Pada biakan cair dapat dijumpai secara
terpisah (tunggal), berpasangan berbentuk tetrad (empat sel) dan berbentuk rantai
yang berwarna abu-abu sampai kuning emas tua. (13) Berikut morfologi S. aureus
dalam gambar di bawah ini:
13
14
berbagai
sistem
tubuh.
Selain
itu
juga
terdapat
berbagai
enterotoksinseperti A-E, G-I dan K-M. Sekitar 50% strain S. aureus dapat
menghasilkan satu enterotoksin atau lebih.(16)
Staphylococcus aureus erat kaitannya dengan tubuh manusia karena sering
ditemukan pada lingkungan, seperti air, debu dan udara. (18) Sebagai penyebab
penting keracunan makanan, enterotoksin khususnya dihasilkan bila bakteri ini
tumbuh pada makanan karbohidrat dan protein. Enterotoksin mengakibatkan
muntah-muntah dan diare pada manusia. Keracunan makanan yang disebabkan
oleh enterotoksin Staphylococcus ditandai oleh masa inkubasi yang pendek (1-8)
jam, nausea hebat, muntah-muntah, diare dan konvalesen yang cepat. (15) Infeksi
S. aureus pada kulit menyebabkan impetigo dan sellulitis. Pada beberapa kasus
bisa muncul komplikasi serius yang disebut scalded skin syndrome, sering terjadi
pada bayi dan anak-anak usia 5-6 tahun.(19)
Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen penyebab infeksi.
S. aureus dapat menyebabkan penyakit mulai dari yang ringan sampai yang berat
bahkan sampai sepsis.(20) S. aureus sering menyebabkan akne dan frunkulosis pada
kulit, infeksi S. aureus pada tulang juga sering menyebabkan osteomielitis, infeksi
S. aureus pada organ dalam dapat menyebabkan endokarditis, pneumonia dan
infeksi berat lainnya. Pada luka terbuka S. aureus juga sering menyebabkan
infeksi.(21) Hal ini dikarenakan S. aureus mempunyai bagian-bagian dan produk
yang mendukungnya sebagai salah satu bakteri patogen diantaranya adalah
dinding sel Staphylococcus sp. sebagian besar terdiri dari peptidoglikan.
Peptidoglikan mempunyai aktifitas seperti endotoksin, menstimulasi keluarnya
sitokin dari makrofag yaitu interleukin-1 dan aktifasi komplemen, kapsul akan
mencegah fagositosis oleh sel polymorfonuclear (PMN), adanya toksin dan enzim
yang dihasilkan untuk merusak sel inang. (15,21) Selain itu, faktor dari bakteri
S. aureus yang menyebabkan sukarnya penanganan infeksi adalah adanya
resistensi bakteri terhadap antibiotik.(15)
Pengobatan terhadap infeksi S. aureus biasanya menggunakan berbagai jenis
antibiotik seperti tetracycline, vancomycin atau penicillin resisten - laktamase.
15
Perbedaan jenis obat yang diberikan dipertimbangkan dari angka resistensi bakteri
terhadap suatu antibiotik, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Endang Sri
Lestari dkk tahun 2009 menyatakan bahwa dari 361 kultur positif S.aureus 67.9%
masih sensitif terhadap seluruh antibiotik yang diujikan, 32,1% resisten terhadap
satu atau dua agen antibiotik, 21,1% resisten terhadap satu jenis antibiotik dan
10,5% resisten terhadap dua atau lebih antibiotik, angka tersebut diperoleh dari
sampel yang dirawat di rumah sakit dan tidak dirawat di rumah sakit. Adapun
antibiotik yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah tetracycline,
oxacilline, gentamycin, erythromycin, chloramphenicol dan trimethoprim
sulfamethoxazole.(22)
2.1.2
bakteri Gram positif yang resisten terhadap antibiotik penisilin semisintetis. (23,24)
Pada awalnya, S. aureus telah dikenal sebagai suatu penyebab penyakit yang
penting di seluruh dunia dan menjadi suatu patogen utama yang terkait dengan
infeksi, baik itu yang didapat di rumah sakit (Hospital-Acquired MRSA=HAMRSA) maupun di komunitas (Community-Acquired MRSA=CA-MRSA).(24,25)
Sebelum ada antibiotik, kasus infeksi invasif yang disebabkan oleh
S. aureus sering berakibat fatal.Dengan dikenalnya penisilin secara luas maka
dapat memperbaiki prognosis pasien dengan infeksi staphylococcus berat, namun
setelah penggunaan klinis selama beberapa tahun, resistensi tampaknya
diakibatkan oleh dihasilkannya -laktamase.Sampai saat ini, MRSA secara umum
merupakan suatu patogen nosokomial yang menyebabkan infeksi dapatan di
rumah sakit, tetapi galur MRSA saat ini secara luas diisolasi dari infeksi dapatan
di komunitas juga, misalnya berasal dari pelayanan kesehatan umum.(3)
Methicillin Resistant Staphylococcus aureus pertama kali dilaporkan pada
tahun 1960 dari infeksi yang didapat di rumah sakit (HA-MRSA). Beberapa tahun
terakhir terjadi peningkatan yang signifikan dengan munculnya MRSA pada
komunitas (CA-MRSA). Mekanisme resistensi ini disebabkan karena enzim laktamase yang merupakan faktor virulensi yang dimediasi via kromosomal dan
plasmid.Enzim ini merusak cincin -laktam yang merupakan bagian penting
penyusun struktur obat golongan penicillin. Resistensi ini diduga dimediasi oleh
16
17
subjek pasien di ruang perawatan intensif Bandung dan Semarang tahun 2001
menggambarkan bahwa sebanyak 35,9% pada nostril hidung dan 21,85 pada
tangan petugas kesehatan.(26)
Adanya kuman Staphylococcus sp. yang resisten terhadap antimikroba di
rumah sakit ataupun komunitas masyarakat merupakan permasalahan serius,
sebab kira-kira 90% kuman tersebut adalah kausa penyakit infeksi secara umum,
meskipun dari hasil kultur sering bukan penyebab tunggal infeksi.(24,25)
Pengelolaan pasien tentu saja akan mendapat implikasi negatif apabila
permasalahan infeksi tidak dicermati dengan baik. Munculnya galur MRSA yang
berkembang telah dilaporkan secara periodik. Perkembangan dari segi jumlah dan
sifat resistensi terhadap antibiotik dapat menjadi ancaman baru untuk pelayanan di
rumah sakit.(27)
Hospital-Acquired MRSA (HA-MRSA) disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu pemakaian antibiotik yang tidak rasional (dari segi ketidaksesuaian indikasi,
dosis tinggi maupun durasinya yang lama), transmisi penyakit dan tindakan
invasif (seperti pemasangan infus, selang nasogastrik, central venous pressuredan
sebagainya). Tindakan invasif akan lebih memberikan efek ke arah bakteremia,
bukan infeksi luka pasca operasi.(26,28)
Community-Acquired MRSA terjadi pada penderita dengan riwayat rawat
inap rumah sakit maupun tidak. Tempat pelayanan umum, sekolah, penjara dan
tempat yang penduduknya padat mudah ditemukan bakteri tersebut. Abses, luka
bakar ataupun luka gigitan serangga dapat dijadikan CA-MRSA tempat
berkembang. Sekitar 75% infeksinya terjadi pada kulit dan jaringan lunak.(27,28)
2.2 Tanaman Pare
Menurut Cronquist (1981) klasifikasi dari tanaman pare adalahsebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
: Dycotiledonae
Famili
: Cucurbitaceae
18
Genus
: Momordica
Spesies
: Momordica charantia(29)
beberapa
manfaat
diantaranya
merangsang
nafsu
makan,
19
Saponin
Saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang kuat menimbulkan busa
jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi rendah sering menyebabkan
hemolisis. Beberapa saponin tertentu bekerja sebagai antimikroba dan saponin
tertentu menjadi penting karena dapat diperoleh dari beberapa tumbuhan dengan
hasil yang baik dan digunakan sebagai bahan baku untuk sintesis hormon steroid
yang digunakan dalam bidang kesehatan. Saponin merupakan glikosida yang
mempunyai metabolit sekunder yang banyak terdapat di alam terdiri dari gugus
gula yang berikatan dengan aglikon atau sapogenin.(32)
Pencarian saponin dalam tumbuhan telah dirangsang oleh kebutuhan akan
sumber sapogenin yang mudah diperoleh. Saponin dan glikosida sapogenin adalah
salah satu tipe glikosida yang tersebar luas dalam tumbuhan. Dikenal dua macam
saponin, yaitu glikosida triterpenoid alkohol dan glikosida dengan struktur steroid.
Kedua saponin ini larut dalam air dan etanol tetapi tidak larut dalam eter.(32,33)
Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat yang menimbulkan busa jika
20
dikocok dalam air dan dalam konsentrasi rendah sering menyebabkan hemolisis
sel darah merah.(34)
2.
Triterpen
Sejak diketahui bahwa tanaman pare berkhasiat terhadap kesehatan maka
beberapa peneliti berusaha mengetahui dan mengisolasikan bahan yang
terkandung dalam tanaman pare. Sebagai tumbuhan bangsa Cucurbitaceae,
tanaman ini juga mengandung bahan yang tergolong dalam glikosida triterpen
atau kukurbitasin. Hasil isolasi dan ekstrak biji pare didapatkan beberapa jenis
momordikosida yaitu, momordikosida A (C42H72O15), momordikosida B
(C42H80C19), momordikosida C (C42H72O14), momordikosida D (C42H70C13) dan
momordikosida E (C51H74O19). Isolasi dari ekstrak buah pare diperoleh empat jenis
momordikosida yang tidak pahit rasanya yaitu, momordikosida F1 (C 45H68O12),
momordikosida F2 (C36H58O8), momordikosida G (C45H68O12) dan momordikosida
I (C36H58O8). Bersamaan dengan itu, telah pula diperoleh jenis momordikosida
utama yang pahit yaitu, momordikosida K (C 37H58O9), dan momordikosida L
(C36H58O9). Diduga jenis momordikosida K dan L inilah yang bersifat sitotoksik.
Disamping itu dan ekstrak daun telah pula diisolasi glikosida kukurbitasin yaitu
jenis momordisin. Terdapat tiga jenis momordisin, yaitu momordisin I (C 30H48O4),
momordisin II (C36H58O9) dan momordisin III (C48H68O16).(31)
3.
Flavonoid
Senyawa ini merupakan salah satu senyawa fenol alami yang tersebar luas
pada tumbuhan. Senyawa ini memiliki aktivitas antibakteri karena mempunyai
kemampuan kompleks terhadap protein ekstraseluler dan berinteraksi dengan
DNA bakteri yang pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan permeabilitas
dinding sel bakteri, mikrosom dan lisosom.(33,35)
Flavonoid mengandung cincin aromatik yang terkonjugasi dan karena itu
menunjukkan pita serapan yang kuat pada daerah spektrum UV (ultra violet) dan
spektrum tampak. Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada
gula seperti glikosida. Aglikon flavonoid terdapat dalam satu tumbuhan dalam
beberapa bentuk kombinasi glikosida.(36) Aglikon flavonoid mempunyai kerangka
dasar struktur C6-C3-C6. Berdasarkan tingkat oksidasi serta subsituennya,
21
refluks, sokletasi,
Cara Dingin
Ekstraksi cara dingin meliputi maserasi atau perkolasi. Maserasi adalah
dilakukan
pada
suhu
ruangan.
Proses
terdiri
dari
tahapan
Cara Panas
Ekstraksi cara panas meliputi refluks, soklet, digesti, infus dan dekok.
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada titik didihnya, selama waktu tertentu
dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali
sehingga proses ektraksi menjadi sempurna.(39)
Soklet adalah ektraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ektraksi kontinu dengan
jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Digesti adalah
maserasi kinetik dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi
dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50o.
22
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana
infus tercelup dalam penangas air mendidih temperatur terukur 96-98o) selama
waku tertentu (15-20 menit). Dekok adalah infus dalam waktu yang lebih lama
dan temperatur sampai titik didih air. Pelarut yang digunakan untuk ektraksi
dipilih berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan hampir semua senyawa
metabolit sekunder yang terkandung. Faktor- faktor yang harus dipertimbangkan
dalam pemilihan pelarut di antaranya adalah selektivitas, kemudahan bekerja,
ekonomis, ramah lingkungan serta keamanan.(39)
Etanol adalah pelarut yang paling sering digunakan dalam proses ekstraksi.
Etanol disebut juga etil alkohol yang di pasaran lebih dikenal sebagai alkohol
merupakan senyawa organik dengan rumus kimia C 2H5OH. Dalam kondisi kamar,
etanol berwujud cairan yang mudah menguap, mudah terbakar dan tak berwarna.
(40)
23
bakteri
dapat
diketahui
dengan
mengukur
selisih
antaraabsorbansi sebelum dan sesudah inkubasi. Jumlah sel bakteri dapat diukur
dengancara mengetahui kekeruhan (turbiditas) kultur. Semakin keruh suatu
kultur,semakin banyak jumlah selnya. Cahaya yang dipancarkan pada
spektrofotometer akan mengenai sel sehingga sebagian cahaya akan diserap dan
24
25
peka terhadap bahan antimikroba, semakin peka maka semakin luas daerah jernih
yang terbentuk. Bakteri yang sensitif terhadap bahan antimikroba akan ditandai
dengan adanya daerah hambatan di sekitar cakram, sedangkan bakteri yang
resisten terlihat tetap tumbuh pada tepi kertas cakram tersebut. (15,47)
26
Kerangka Konsep
27
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan
menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL). Rancangan penelitian ini
menggunakan 6 kelompok perlakuan terdiri atas kelompok ekstrak etanol daun
pare masing-masing dengan konsentrasi 50 mg/ml, 100 mg/ml, 200 mg/ml, 400
mg/ml dan 800 mg/ml serta kontrol bakteri. Menurut Hanafiah (2011), penelitian
laboratorium dapat meminimalkan galat yang diperoleh karena menggunakan alat,
bahan, media dan lingkungan yang homogen. Sebagai patokan, untuk menentukan
jumlah pengulangan menggunakan persamaan di bawah ini:
(r-1)(t-1)
15
Keterangan:
r : jumlah perlakuan
t : jumlah pengulangan
Pada penelitian ini r = 6, maka jumlah pengulangan yang akan dilakukan
yaitu:
(r-1)(t- 1)
15
(6-1)(t- 1)
15
5(t-1)
15
t - 1 15/5
t 4
Jadi, pengulangan yang dilakukan pada penelitian ini minimal 4 kali. Pada
penelitian ini peneliti melakukan pengulangan sebanyak 4 kali.
28
D
K0D
K1D
K2D
K3D
K4D
K5D
Alat Penelitian
Alat yang digunakan adalah tabung reaksi, rak tabung reaksi, cawan petri,
kawat ose, lampu bunsen, pinset, gelas ukur, gelas beker, labu erlenmeyer, kapas,
kasa, kapas lidi, kertas pembungkus, kertas saring, spuit, jangka sorong,
inkubator,
oven,
autoklaf,
timbangan
analitik,
refrigerator,
mikroskop,
29
3.3.2
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak etanol daun pare
(Momordica charantia D.), isolat MRSA, akuades steril, NaCl 0,9%, cakram
antibiotic methycillin atau oxacillin, kristal violet, lugol, alkohol 70%, alkohol
96%, safranin, minyak emersi, serum koagulase, larutan H202 3%, media Nutrient
Agar (NA), media Nutrient Broth (NB)dan media Mueller Hinton Agar (MHA).
3.4 Persiapan Penelitian
3.4.1
Seulimum, Kabupaten Aceh Besar. Daun yang diambil adalah daun yang
berwarna hijau dan terletak di bagian pucuk. Selanjutnya daun pare dibersihkan
dan dicuci. Kemudian daun pare dikering-anginkan selama tiga hari. Daun pare
yang telah kering dihancurkan untuk mendapatkan serbuk simplisia.
2
maserasi menggunakan pelarut etanol 96% selama 24 jam dan disaring sehingga
menghasilkan filtrat. Filtrat tersebut diuapkan dengan menggunakan vacuum
rotary evaporatorpada suhu 60oC sampai diperoleh ekstrak kental. Kemudian
ekstrak etanol daun pare masing-masing dibagi dalam lima konsentrasi, yaitu 50
mg/ml, 100 mg/ml, 200 mg/ml, 400 mg/ml dan 800 mg/ml. Pengenceran
dilakukan dengan menggunakan rumus:
30
V1 M1 = V2M2
V = V2 V1
Keterangan:
V1
V2
M1
M2
V
3.4.3
Uji alkaloid
Sebanyak 3 ml ekstrak daun pare ditambahkan dengan 5 ml HCl 2M, diaduk
dan didinginkan pada suhu ruangan. Setelah sampel dingin tambahkan 0,5 g NaCl,
diaduk dan disaring. Filtrat yang diperoleh ditambahkan HCl 2M sebanyak 3
tetes, kemudian dipisahkan menjadi 3 bagian, yaitu bagian A, B dan C. Bagian
pertama ditambahkan dengan reagen Meyer, bila terjadi endapan putih maka
positif alkaloid. Bagian kedua ditambahkan dengan reagen Dragendorf, bila
terjadi endapan kemerahan maka positif alkaloid. Bagian yang ketiga
ditambahkan dengan reagen Waegner, bila terjadi endapan berwarna coklat maka
positif terdapat alkaloid.
2.
3.
Uji flavonoid
Sebanyak 3 ml ekstrak daun pare diuapkan dan dicuci dengan n-heksana
sampai jernih. Residu dilarutkan dalam 20 ml etanol kemudian disaring. Filtrat
31
yang diperoleh ditambahkan 0,5 ml HCl dan logam magnesium, kemudian amati
perubahan warna yang terjadi. Hasil uji positif apabila terbentuk warna merah
sampai jingga.
4.
Uji tanin
Sebanyak 3 ml ekstrak daun pare diekstraksi akuades panas kemudian
didinginkan. Setelah itu tambahkan 5 tetes NaCl 10% dan disaring. Filtrat yang
diperoleh ditambahkan dengan 3 tetes pereaksi FeCl3 dan amati perubahan yang
terjadi. Hasil positif apabila terbentuk warna hijau tua.(33)(48)
3.4.4
Sterilisasi Alat
Alat yang terbuat dari kaca terlebih dulu dicuci dan dikeringkan lalu
dibungkus dengan kertas. Sterilisasi alat dilakukan dalam oven pada suhu 160 oC
selama 2-3 jam. Jarum ose dan pinset disterilkan dengan pemijaran di atas bunsen.
Sterilisasi media dilakukan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC
dengan tekanan 1 atm selama 15 menit.
3.4.5
1.
2.
32
3.
Reisolasi Bakteri
Isolat MRSA diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi RSUDZA yang
Reidentifikasi Bakteri
a. Makroskopis
Bakteri yang telah tumbuh pada media NA inokulasi diamati berdasarkan
morfologi koloni. Koloni dapat ditandai berdasarkan bentuknya yang bulat,
permukaan agak menyembung dan berkilau, dengan tepi halus, berwarna kuning
keemasan.
b. Mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Gram dan
pengamatannya dilakukan di bawah mikroskop. Kaca objek disiapkan dan
dibersihkan terlebih dahulu. Sediaan bakteri dipersiapkan dengan mencampurkan
biakan bakteri dengan akuades steril pada kaca preparat yang telah dibersihkan
kemudian difiksasi dengan cara dilewatkan di atas lampu bunsen 2-3 kali. Setelah
kering, apusan diteteskan kristal violet dan dibiarkan selama 1 menit, dibilas
dengan akuades yang mengalir. Kemudian diteteskan lugol lalu dibiarkan selama
1 menit lalu dibilas kembali dengan akuades mengalir. Selanjutnya, apusan
diteteskan dengan alkohol 96% selama 5-10 detik dan dibilas dengan akuades
yang mengalir. Apusan diteteskan dengan safranin dan dibiarkan selama 30-45
detik, dibilas dengan akuades yang mengalir. Preparat dikeringkan dengan
33
34
3.5.3 Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Pare varietas Aceh terhadap
MRSA Isolat Pnemonia Nosokomial
Uji aktivitas antibakteri ini dilakukan dengan metode dilusi tabung. Metode
dilusi tabung meliputi dua tahap untuk menunjukkan efek antimikroba, yaitu
KHM dan KBM.(49) Suspensi bakteri yang diujikan pada metode dilusi tabung
memiliki konsentrasi 106 colony forming units/ ml (CFU/ml).(50) Bakteri MRSA
isolat pnemonia nosokomial yang telah diinkubasi dan diidentifikasi disiapkan
serta diukur kerapatannya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 625 nm hingga didapatkan kerapatan bakteri sebesar 0,08 0,13.
Selanjutnya membuat sediaan 10 ml bakteri MRSA isolat pnemonia nosokomial
dengan konsentrasi 108 CFU/ ml dengan mengambil bakteri dan dimasukkan ke
dalam tabung berisi NaCl berdasarkan rumus:
N1VI=N2V2
Keterangan:
N1 = kepadatan bakteri hasil spektrofotometri
N2 = kepadatan bakteri dalam suspensi akhir
V1 = volume bakteri yang dibutuhkan
V2 = volume akhir suspensi bakteri dan NaCl
Sediaan bakteri tersebut divorteks hingga homogen. Kemudian membuat
sediaan 10 ml bakteri MRSA konsentrasi 107 CFU/ml dengan mengambil 1 ml
larutan dari konsentrasi bakteri 108 CFU/ml dan dimasukkan ke dalam tabung
yang telah diisi 9 ml NaCl serta divortex hingga homogen. Konsentrasi bakteri
sekarang menjadi 107 CFU/ ml. Setelah itu membuat sediaan 10 ml bakteri MRSA
konsentrasi 106 CFU/ml dengan mengambil lagi 1 ml larutan dari konsentrasi
bakteri 107CFU/ml dan dimasukkan dalam tabung yang telah diisi 9 ml NB serta
divortex hingga homogen. Konsentrasi bakteri sekarang menjadi 106 CFU/ ml.
Bakteri dengan konsentrasi tersebut digunakan untuk penelitian.
Pengamatan nilai KHM dilakukan secara kuantitatif dengan pengukuran
selisih absorbansi sesudah dan sebelum inkubasi dengan ketentuan selisih
absorbansi 0, sedangkan nilai KBM dilihat dari NAP yang tidak ditumbuhi
koloni.(45,51)
35
Disediakan tabung reaksi steril sebanyak 6 buah, akuades steril dan MRSA 10 6
CFU/ml. Dilakukan pengenceran terhadap ekstrak dengan akuades steril
sehingga diperoleh konsentrasi masing-masing 50 mg/ml, 100 mg/ml, 200
mg/ml, 400 mg/ml dan 800 mg/ml sebanyak 1 ml.
2.
3.
4.
5.
6.
Kultur masing-masing isi tabung 1 hingga 6 menggunakan satu ose dengan cara
streaking pada NAP.
7.
Semua NAP hasil streaking diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.
8.
Diamati ada atau tidaknya pertumbuhan koloni pada masing-masing NAP untuk
menentukan nilai KBM lalu dilanjutkan dengan analisis data.
Catatan: prosedur tersebut diulang sebanyak 4 kali.
3.6 Parameter
Aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun pare dapat dilihat dari konsentrasi
larutan terkecil dimana selisih absorbansi sesudah dan sebeluminkubasi mulai
bernilai 0 yang dinyatakan sebagai KHM. Aktivitas antibakteri ini juga dilihat
dari konsentrasi larutan terkecil dimana tidak dijumpai pertumbuhan koloni
bakteri pada media NAP yang dinyatakan sebagai KBM.
36
37
DAFTAR PUSTAKA
38
http://www.who.int/emc.
11. Chris B. Ensiklopedi Keperawatan. 2nd ed. Jakarta: EGC Penerbit Buku
from:
15. Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan.
2007. pp 225-231.
17. Warsa UK. Kokus Positif Gram. Dalam: Bagian Mikrobiologi FKUI.
20.
Available
from:
DF.
Staphylococcus
aureus
Infection.
URL:
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM19. The New England Journal of
Medicine. 1998; 339(8:520-532).
39
2008. p. 137.
31. Adimunca L. Cermin Dunia Kedokteran Jakarta: Pusat Penelitian Penyakit
1987. p. 1-32.
34. Hutapea J. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. 5th ed. Jakarta: Departemen
40
p. 1-7.
42. Bonang , Gerard , Koeswardono , Enggar S. Mikrobiologi Kedokteran untuk
81-93.
47. Pelczar MJ, Chan EC. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jakarta: UI Press; 2005. p.
169.
48. Kurniaps. Skrining Fitokimia. [Online].; 2010 [cited 2013 April 01. Available
from:
http://id.shvoong.com/exact-sciences/chemistry/2094441-skriningfitokimia/#ixzzlaNKfm992.
49. Dzen SM, Roekistiningsih , Santoso , Winarsih d. Bakteriologi Medik