SKENARIO V PERSARAFAN
KEJANG DEMAM
Learning objektif :
Kejang demam
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Definisi
Klasifikasi
Etiologi
Patofisiologi
Gejala klinis
Diagnosa
Pemeriksaan
Penatalaksanaan
BAB I
PENDAHULUAN
bisa berdampak pada gangguan kognitif dan mental. Dilain pihak obat-obatan anti
epilepsi juga bisa berefek terhadap gangguan kognitif dan behavior.
Oleh sebab itu pertimbangan untuk pemberian obat yang tepat adalah penting
mengingat efek obat yang bertujuan untuk menginhibisi bangkitan listrik tapi juga
bisa berefek pada gangguan kognitif dan behavior.
Epilepsi terjadi di seluruh dunia, hampir di seluruh daerah tidak kurang dari
tiga kejadian tiap 1000 orang. Setiap tahunnya, diantara setiap 100.000 orang akan
terdapat 40-70 kasus baru. Epilepsi mempengaruhi 50 juta orang diseluruh dunia, dan
80% dari mereka tinggal di negara berkembang.
Epilepsi lebih sering timbul pada usia anak-anak atau orang tua diatas 65
tahun, namum epilepsi dapat muncul kapan saja. Pada systemic review terkini, angka
prevalensi untuk epilepsi aktif bervariasi dari 1,5-14 per 1.000 orang/tahun di Asia,
Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki sedikit lebih besar kemungkinan terkena epilepsi
daripada perempuan.
Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum tersedia
data hasil studi berbasis populasi. Bila dibandingkan dengan negara berkembang lain
dengan tingkat ekonomi sejajar, probabilitas penyandang epilepsi di Indonesia sekitar
0,7-1,0% dan bila jumlah penduduk Indonesia sekitar 220 juta maka sekitar 1,5-2 juta
orang kemungkinan mengidap epilepsi dan kasus baru sekitar 250.000 pertahun.
Epilepsi diterapi dengan obat-obatan anti epilepsi jangka panjang dimana akan
dititrasi hingga berhenti jika minimal selama 2 tahun bebas kejang.
BAB II
PEMBAHASAN
Manifestasi Klinis
tanpa didahului kekakuan, atau hanya hentakan atau kekakuan fokal. Serangan kejang
terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat
bengkitan dapat berbentuk tonik, klonik, tonik-klonik, fokal atau akinetik.
Pada kejang demam sederhana, umumnya kejang berhenti sendiri, setelah
kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah
beberapa detik atau menit anak akan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf.
Sedangkan pada kejang demam kompleks dapat disertai hemiparesis, kemudian dapat
pula berkembang menjadi status epileptikus.
2.1.3. Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan
suatu energi dari metabolisme. Bahan baku metabolisme otak yang penting ialah
glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan
perantaraan fungsi paruparu dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Sel
dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam (lipid) dan permukaan
luar (ion).
Pada keadaan normal membran sel neuron dilalui dengan mudah oleh ion
Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya
kecuali Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi ion Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan
sebaliknya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan luar sel maka
terdapat potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATP-ase yang terdapat pada
permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran dapat dirubah oleh adanya:
-
10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak yang berumur 3
tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan orang dewasa
yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu, dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron, dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion
Kaliun maupun Natrium melalui membran. Perpindahan ini mengakibatkan lepas
muatan listrik yang besar, sehingga meluas ke membran sel lain melalui
neurotransmitter, dan terjadilah kejang.
Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak,
jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Pireksia akan menyebabkan
kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang
lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder
akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan
iskemia neuron karena kegagalan metabolism di otak.
Kejang demam yang berlangsung lama dapat menimbulkan kerusakan
anatomi otak berupa kehilangan neuron dan gliosis terutama di daerah yang peka
seperti hipokampus dan amigdala. Kerusakan di daerah ini merupakan prekursor
timbulnya epilepsi lobus temporalis yang berlatar belakang kejang demam.
2.1.4. Klasifikasi
Kejang demam dibagi atas 2 bentuk :
a.
1)
2)
3)
4)
5)
b.
1)
2)
2.1.6. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah : Mencegah kejang
demam berulang, mencegah status epilepsi, mencegah epilepsi dan/ atau retardasi
mental, normalisasi kehidupan anak dan keluarga. Pada penatalaksanaan kejang
demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu :
a. Pengobatan Fase Akut
Prioritas utama pada anak yang sedang mengalami kejang adalah menjaga
agar jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk
mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga
berlangsung terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus
dilakukan teratur, kalau perlu dilakukan intubasi.
Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu
tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat (diseka) dan pemberian antipiretik
(asetaminofen oral 10 mg/kg BB, 4 kali sehari atau ibuprofen oral 20 mg/kg BB, 4
kali sehari). Diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase akut,
karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Efek terapeutiknya sangat
cepat, yaitu antara 30 detik sampai 5 menit dan efek toksik yang serius hampir tidak
dijumpai apabila diberikan secara perlahan dan dosis tidak melebihi 50 mg per
suntikan.
Diazepam dapat diberikan secara intravena atau rektal, jika pemberian secara
intramuskular absorbsinya lambat. Dosis diazepam pada anak adalah 0,3 mg/kg BB,
diberikan secara intravena pada kejang demam fase akut, tetapi pemberian tersebut
sering gagal pada anak yang lebih kecil. Jika jalur intravena belum terpasang,
diazepam dapat diberikan per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan kurang dari
10 kg dan 10 mg pada berat badan lebih dari 10 kg. Bila diazepam tidak tersedia,
dapat diberikan luminal suntikan intramuskular dengan dosis awal 30 mg untuk
neonatus, 50 mg untuk usia 1 bulan 1 tahun, dan 75 mg untuk usia lebih dari 1
tahun.
intermittent
pada
waktu
demam.
Pengobatan
profilaksis
10
Diazepam diberikan melalui oral atau rektal. Dosis per rektal tiap 8
jam adalah 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10
mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg. Dosis oral diberikan 0,5
mg/kgBB perhari dibagi dalam 3 dosis, diberikan bila pasien menunjukkan
suhu 38,50C atau lebih. Menggunakan klonazepam sebagai obat anti
konvulsan intermittent (0,03 mg/kg BB per dosis tiap 8 jam) selama suhu
diatas 380C dan dilanjutkan jika masih demam. Efek samping klonazepam
yaitu mengantuk, mudah tersinggung, gangguan tingkah laku, depresi, dan
salivasi berlebihan.
Kloralhidrat supositoria berkhasiat untuk mencegah kejang demam
berulang. Dosis yang diberikan adalah 250 mg untuk berat badan kurang dari
15 kg, dan 500 mg untuk berat badan lebih dari 15 kg, diberikan bila suhu
diatas 380C. Kloralhidrat dikontraindikasikan pada pasien dengan kerusakan
ginjal, hepar, penyakit jantung, dan gastritis.
2) Profilaksis Terus Menerus dengan Antikonvulsan Tiap Hari. Indikasi
pemberian profilaksis terus menerus adalah:
- Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau gangguan
-
perkembangan neurologis.
Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang
11
12
mendapatkan dari kejang demam sederhana hanya 2,9% menjadi epilepsi dan epilepsi
yang di provokasi oleh demam ternyata 97% menjadi epilepsi. Epilepsi yang terjadi
setelah kejang demam bermacam-macam, yang paling sering adalah epilepsi motorik
umum yaitu kira-kira 50%.
2.2 Epilepsi
2.2.1
Definisi
Etiologi
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak.
Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai
epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi
13
simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan
peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai
simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome dan
Lennox Gastaut syndrome.
Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4%
anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan
anaknya epilepsi menjadi 20%-30%.
Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon
estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan
terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid
dan testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi. Kita
ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan
hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan
menopause. Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi frekwensi serangan
epilepsi.
Faktor resiko untuk terjadinya epilepsi pada penderita kejang demam adalah:
a. Jika ada kelainan neurologis atau perkembangan sebelum kejang demam
pertama
b. Kejang demam kompleks
c. Adanya riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.
Masing-masing faktor resiko meningkatkan resiko epilepsy 4-6%; kombinasi
faktor resiko tersebut meningkatkan resiko epilepsy menjadi 10-49%. Epilepsi
diartikan sebagai kejang berulang dan multipel. Anak dengan riwayat kejang demam
mempunyai risiko sedikit lebih tinggi menderita epilepsi pada usia 7 tahun
dibandingkan dengan anak yang tidak pernah mengalami kejang demam.
2.2.3
Klasifikasi
14
Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada
tahun 1981 dan tahun 1989. International League Against Epilepsy (ILAE) pada
tahun 1981 menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe
serangan epilepsi):
1. Serangan parsial
a. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)
Dengan gejala motorik
Dengan gejala sensorik
Dengan gejala otonom
Dengan gejala psikis
b. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)
Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
Gangguan kesadaran saat awal serangan
c. Serangan umum sederhana
Parsial sederhana menjadi tonik-klonik
Parsial kompleks menjadi tonik-klonik
Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik
2. Serangan umum
a. Absans (Lena)
b. Mioklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Atonik (Astatik)
f. Tonik-klonik
3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang
lengkap).
Klasifikasi ILAE tahun 1981 di atas ini lebih mudah digunakan untuk para
klinisi karena hanya ada dua kategori utama, yaitu
Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang
terlokalisir di otak.
Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih
luas pada kedua belahan otak.
Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989
adalah:
15
16
Patofisiologi
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling
berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan
bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam keadaan
normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila
mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan
breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi secara
abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah:
-
17
sinaptik.
Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi
pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat
normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan
ini ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada
penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai
tempat di otak.
Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk
mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik.
Perlu adanya pacemaker cells yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk
menimbulkan bangkitan.
Hilangnya postsynaptic inhibitory controle sel neuron.
18
Diagnosis
19
pada EEG. Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah
sebagai berikut :
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Penjelasan
perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi
gejala dan merupakan kunci diagnosis.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
1) Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan
a. Keadaan penyandang saat bangkitan:
duduk/berdiri/berbaring
/tidur/berkemih.
b. Gejala awitan (aura, gerakan/sensasi awal/speecharrest).
c. Apa yang tampak selama bangkitan (Pola/bentuk bangkitan) : gerakan
tonik / klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit,
pucat, berkeringat, maupun deviasi mata.
d. Keadaan setelah kejang : bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh
e.
pola bangkitan.
2) Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, maupun riwayat penyakit
neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit sistemik yang
mungkin menjadi penyebab.
3) Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, dan interval terpanjang antar
bangkitan.
4) Riwayat bangkitan neonatal / kejang demam.
Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien anak,
pemeriksa
harus
memperhatikan
adanya
keterlambatan
perkembangan,
20
Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium, bilirubin, dan ureum
dalam darah. Keadaan seperti Hiponatremia, hipoglikemia, hipomagnesia, uremia,
dan hepatik ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang.
Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium,
Blood Urea Nitrogen, kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan
petunjuk yang sangat berguna.
2) Elektro ensefalografi (EEG)
Elektroensefalograf ialah alat yang dapat merekam aktifitas listrik di otak melalui
elektroda yang ditempatkan dikulit kepala. Kelainan EEG yang sering dijumpai
pada penderita epilepsi disebut epileptiform discharge atau epileptiform activity.
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan
diagnosis epilepsi.
Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan
abnormal ditentukan atas dasar adanya :
a) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di
kedua hemisfer otak.
b) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya misal gelombang delta.
c) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk,
dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.
3) Rekaman video EEG
21
terapi
pembedahan.
MRI
bermanfaat
untuk
membandingkan
ini
mungkin
dilakukan
terhadap
pasien
epilepsi
dengan
22
dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat
berhenti minum obat.
Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi serangan baik
dengan pengobatan maupun status psikososial, dan status neurologis penderita.
Batasan remisi epilepsi yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang)
dengan terapi. Pada pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus
dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala.
Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas
serangan (remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah tercapai bebas
serangan selama >6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu dipikirkan untuk
menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian obat dihentikan, perlu
mempertimbangkan risiko terjadinya relaps setelah penghentian obat. Berbagai faktor
prediktor yang meningkatkan risiko terjadinya relaps adalah usia awitan pada
remaja/dewasa, jenis epilepsi sekunder, dan adanya gambaran abnormalitas EEG.
Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa penderita epilepsi memiliki risiko
kematian yang lebih tinggi dibanding populasi normal. Risiko kematian yang paling
tinggi adalah pada penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat penyakit
kongenital. Kematian pada penderita epilepsi anak-anak paling sering disebabkan
oleh penyakit susunan saraf pusat yang mendasari timbulnya bangkitan epilepsi.
23
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan :
Kejang Demam
Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan gejala demam dan usia,
serta tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam
adalah kenaikan suhu tubuh lebih dari 380C rektal atau lebih 37,80C aksila. Kejang
demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh diatas 380C
(suhu rektal) disebabkan suatu proses ekstrakranium yang paling sering dijumpai
pada golongan umur 3 bulan sampai 5 tahun. Mengenai definisi kejang demam ini
masing-masing peneliti membuat batasan sendiri-sendiri, tetapi pada garis besarnya
hamper sama.
Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah
bangkitan kejang pada bayi dan anak yang biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5
tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial
24
atau penyebab lain. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang
dari 4 minggu tidak termasuk kejang demam. Kejang demam terjadi pada anak
berumur dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak
berumur antara 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam
yang paling sering pada usia 18 bulan.
Epilepsi
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang
muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas
muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal
dengan berbagai macam etiologi. Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang
dikenal dengan nama epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan
berulang secara paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok
sel saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut
(unprovoked).
Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan
sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan cenderung
untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi
dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subyektif),
gangguan motorik atau kejang (obyektif), gangguan otonom (vegetatif) dan
perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung dari letak fokus
epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenal lah
bermacam jenis epilepsi.
25
DAFTAR PUSTAKA
Sidharta, P: Neurologi klinis dalam praktek umum. Ed 7th. Jakarta: Penerbit dian
rakyat; 2009.
Mardjono, M. Sidharta, P: Neurologi klinis dasar. Ed 16 th. Jakarta: Penerbit dian
rakyat; 2013.
Lumbantobing, S.M: Neurologi klinik, pemeriksaan fisik dan mental. Ed 18 th. Badan
penerbit FK UI; 2015.
Schweich PJ, Zempsky WT. Selected topic in emergency medicine. Dalam: McMilan
JA, DeAngelis CD, Feigen RD, Warshaw JB, Ed. Oskis pediatrics.
Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins, 1999, h, 566-89.
Roth HI, Drislane FW. Seizures. Neurol Clin 1998; 16:257-84.
Smith DF, Appleton RE, MacKenzie JM, Chadwick DW. An Atlas of epilepsy. Edisi
ke-1. New York: The Parthenon Publishing Group, 1998. h. 15-23.
26
Westbrook GL. Seizures and epilepsy. Dalam: Kandel ER, Scwartz JH, Jessel TM, ed.
Principal of neural science. New York: MCGraw-Hill, 2000. h. 940-55.
Najm I, Ying Z, Janigro D. Mechanisms of epileptogenesis. Neurol Clin North Am
2001; 19:237-50.
Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epilepticus. Pediatr Clin North Am
2001;48:683-94.
Commission on Classification and Terminology of the International League Against
Epilepsy.
Proposal
for
revised
clinical
and
electroencephalographic