Anda di halaman 1dari 26

1

SKENARIO V PERSARAFAN
KEJANG DEMAM

Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun tiba di IGD RSUP dalam


kondisi kejang. Kejang ini telah berlangsung selama >15 menit, dalam
satu hari ini pasien telah mengalami kejang, riwayat kejang sebelumnya
pernah dialami pasien sewaktu berumur 1 ahun, pada saat itu pasien
kejang dalam kondisi demam. Saat ini pasien mengalami demam tinggi
yang telah dialami selama 2 hari ini keluhan dari si ibu anaknya terlihat
kesakitan setiap kali menelan makanan dan minuman selama 2 hari.

Learning objektif :
Kejang demam
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Definisi
Klasifikasi
Etiologi
Patofisiologi
Gejala klinis
Diagnosa
Pemeriksaan
Penatalaksanaan
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kejang adalah kejadian paroxysmal atau sawan yang disebabkan oleh
pelepasan yang abnormal, berlebihan dan hypersynchronous oleh agregasi neuron
pada sistem syaraf pusat. Kejang atau perkataan Seizure dalam Bahasa Ingris
datangnya dari bahasa latin Sacire yang bermaksud dikuasai atau possessed.
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
(suhu rektal lebih dari 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium
(diluar rongga kepala). Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures (1980)
kejang demam ini biasanya terjadi bayi atau anak-anak antara umur 3 bulan dan 5
tahun yang berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi
intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi
yang berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk. Kejang demam harus dibedakan
dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam.
Amerika Serikat antara 2% sampai 5% anak mengalami kejang demam
sebelum usianya yang ke 5. Sekitar 1/3 dari mereka paling tidak mengalami 1 kali
rekurensi. Internasional Kejadian kejang demam seperti di atas serupa di Eropa.
Kejadian di Negara lain berkisar antara 5 sampai 10% di India, 8.8% di Jepang, 14%
di Guam, 0.35% di Hong Kong, dan 0.5-1.5% di China.
Kejang demam biasanya tidak berbahaya. Anak dengan kejang demam
memiliki resiko epilepsy sedikit lebih tinggi dibandingkan yang tidak (2% : 1%).
Faktor resiko untuk epilepsy di tahun-tahun berikutnya meliputi kejang demam
kompleks, riwayat epilepsy atau kelainan neurologi dalam keluarga, dan hambatan
pertumbuhan. Pasien dengan 2 faktor resiko tersebut mempunyai kemungkinan 10%
mendapatkan kejang demam.
Epilepsi yang merupakan penyakit kronik masih tetap merupakan masalah
medik dan sosial. Masalah medik yang disebabkan oleh gangguan komunikasi neuron

bisa berdampak pada gangguan kognitif dan mental. Dilain pihak obat-obatan anti
epilepsi juga bisa berefek terhadap gangguan kognitif dan behavior.
Oleh sebab itu pertimbangan untuk pemberian obat yang tepat adalah penting
mengingat efek obat yang bertujuan untuk menginhibisi bangkitan listrik tapi juga
bisa berefek pada gangguan kognitif dan behavior.
Epilepsi terjadi di seluruh dunia, hampir di seluruh daerah tidak kurang dari
tiga kejadian tiap 1000 orang. Setiap tahunnya, diantara setiap 100.000 orang akan
terdapat 40-70 kasus baru. Epilepsi mempengaruhi 50 juta orang diseluruh dunia, dan
80% dari mereka tinggal di negara berkembang.
Epilepsi lebih sering timbul pada usia anak-anak atau orang tua diatas 65
tahun, namum epilepsi dapat muncul kapan saja. Pada systemic review terkini, angka
prevalensi untuk epilepsi aktif bervariasi dari 1,5-14 per 1.000 orang/tahun di Asia,
Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki sedikit lebih besar kemungkinan terkena epilepsi
daripada perempuan.
Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum tersedia
data hasil studi berbasis populasi. Bila dibandingkan dengan negara berkembang lain
dengan tingkat ekonomi sejajar, probabilitas penyandang epilepsi di Indonesia sekitar
0,7-1,0% dan bila jumlah penduduk Indonesia sekitar 220 juta maka sekitar 1,5-2 juta
orang kemungkinan mengidap epilepsi dan kasus baru sekitar 250.000 pertahun.
Epilepsi diterapi dengan obat-obatan anti epilepsi jangka panjang dimana akan
dititrasi hingga berhenti jika minimal selama 2 tahun bebas kejang.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kejang Demam


2.1.1 Definisi
Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan gejala demam dan usia,
serta tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam
adalah kenaikan suhu tubuh lebih dari 380C rektal atau lebih 37,80C aksila. Kejang
demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh diatas 380C
(suhu rektal) disebabkan suatu proses ekstrakranium yang paling sering dijumpai
pada golongan umur 3 bulan sampai 5 tahun. Mengenai definisi kejang demam ini
masing-masing peneliti membuat batasan sendiri-sendiri, tetapi pada garis besarnya
hamper sama.
Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah
bangkitan kejang pada bayi dan anak yang biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5
tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial
atau penyebab lain. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang
dari 4 minggu tidak termasuk kejang demam. Kejang demam terjadi pada anak
berumur dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak
berumur antara 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam
yang paling sering pada usia 18 bulan.
2.1.2

Manifestasi Klinis

Kejang demam biasanya terjadi pada awal demam. Umumnya serangan


kejang tonik-klonik, awalnya dapat berupa menangis, kemudian tidak sadar dan
timbul kekakuan otot. Selama fase tonik, mungkin disertai henti nafas dan
inkontinensia. Kemudian diikuti fase klonik berulang, ritmik dan akhirnya anak
setelah kejang letargi atau tidur. Bentuk kejang lain dapat juga terjadi seperti mata
terbalik ke atas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan sentakan berulang

tanpa didahului kekakuan, atau hanya hentakan atau kekakuan fokal. Serangan kejang
terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat
bengkitan dapat berbentuk tonik, klonik, tonik-klonik, fokal atau akinetik.
Pada kejang demam sederhana, umumnya kejang berhenti sendiri, setelah
kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah
beberapa detik atau menit anak akan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf.
Sedangkan pada kejang demam kompleks dapat disertai hemiparesis, kemudian dapat
pula berkembang menjadi status epileptikus.
2.1.3. Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan
suatu energi dari metabolisme. Bahan baku metabolisme otak yang penting ialah
glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan
perantaraan fungsi paruparu dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Sel
dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam (lipid) dan permukaan
luar (ion).
Pada keadaan normal membran sel neuron dilalui dengan mudah oleh ion
Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya
kecuali Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi ion Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan
sebaliknya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan luar sel maka
terdapat potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATP-ase yang terdapat pada
permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran dapat dirubah oleh adanya:
-

Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.


Rangsangan mendadak berupa mekanis, kimiawi, atau aliran listrik dari
sekitarnya.

Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.


Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1C akan menaikan metabolisme basal

10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak yang berumur 3
tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan orang dewasa
yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu, dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron, dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion
Kaliun maupun Natrium melalui membran. Perpindahan ini mengakibatkan lepas
muatan listrik yang besar, sehingga meluas ke membran sel lain melalui
neurotransmitter, dan terjadilah kejang.
Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak,
jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Pireksia akan menyebabkan
kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang
lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder
akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan
iskemia neuron karena kegagalan metabolism di otak.
Kejang demam yang berlangsung lama dapat menimbulkan kerusakan
anatomi otak berupa kehilangan neuron dan gliosis terutama di daerah yang peka
seperti hipokampus dan amigdala. Kerusakan di daerah ini merupakan prekursor
timbulnya epilepsi lobus temporalis yang berlatar belakang kejang demam.
2.1.4. Klasifikasi
Kejang demam dibagi atas 2 bentuk :
a.
1)
2)
3)
4)
5)
b.
1)
2)

Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)


Kejang demam yang berlangsung singkat (< 15 menit).
Umumnya kejang akan berhenti sendiri.
Kejang umum tonik-klonik yang terjadi sekali dalam 24 jam.
Tidak ditemukan defisit neurologis.
Sembuh spontan.
Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
Kejang berlangsung lama (> 15 menit).
Bentuk kejang bersifat fokal atau parsial.

3) Berlangsung beberapa kali (multipel) dalam 24 jam.


Kejang demam sederhana tidak menyebabkan kelumpuhan, meninggal atau
mengganggu kepandaian. Risiko untuk menjadi epilepsi dikemudian hari juga sangat
kecil, sekitar 2% hingga 3%. Risiko terbanyak adalah berulangnya kejang demam,
yang dapat terjadi pada 30 sampai 50% anak. Risiko-risiko tersebut lebih besar pada
kejang demam kompleks.
2.1.5. Diagnosis
Umumnya kejang demam pada anak berlangsung pada permulaan demam
akut, berupa serangan kejang klonik umum atau tonik klonik, singkat dan tidak ada
tanda-tanda neurologi post iktal, pemeriksaan EEG pada kejang demam dapat
memperlihatkan gelombang lambat di daerah belakang yang bilateral, sering
asimetris, kadang-kadang unilateral. Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang
demam kompleks atau anak yang mempunyai risiko untuk terjadinya epilepsi.
Elektroensefalogram (EEG) yang dikerjakan 1 minggu setelah kejang demam
dapat abnormal, biasanya berupa perlambatan diposterior. 95% kasus kejang demam
EEGnya abnormal bila dikerjakan segera setelah kejang demam. Kira-kira 30%
penderita akan memperlihatkan perlambatan di posterior dan akan menghilang 7
sampai 10 hari kemudian.
Pemeriksaan EEG tidak dianjurkan dilakukan secara rutin. Indikasi
pemeriksaan EEG pada suatu kejang demam kompleks adalah: demam <38,5C, usia
awitan < 1 tahun, ditemukan paralisis Todd atau adanya defisit neurologik.
Pemeriksaan pungsi lumbal diindikasikan pada saat pertama sekali timbul kejang
demam untuk menyingkirkan adanya proses infeksi intra kranial, perdarahan
subaraknoid atau gangguan demielinasi. Pemeriksaan pungsi lumbal dianjurkan pada
anak-anak yang berusia < 18 bulan, dan mutlak perlu pada bayi usia < 12 bulan (pada
usia ini sulit ditemukan suatu gejala perangsangan meningeal sehingga kemungkinan
suatu meningitis atau ensefalitis dapat lolos dari pemeriksaan).

2.1.6. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah : Mencegah kejang
demam berulang, mencegah status epilepsi, mencegah epilepsi dan/ atau retardasi
mental, normalisasi kehidupan anak dan keluarga. Pada penatalaksanaan kejang
demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu :
a. Pengobatan Fase Akut
Prioritas utama pada anak yang sedang mengalami kejang adalah menjaga
agar jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk
mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga
berlangsung terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus
dilakukan teratur, kalau perlu dilakukan intubasi.
Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu
tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat (diseka) dan pemberian antipiretik
(asetaminofen oral 10 mg/kg BB, 4 kali sehari atau ibuprofen oral 20 mg/kg BB, 4
kali sehari). Diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase akut,
karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Efek terapeutiknya sangat
cepat, yaitu antara 30 detik sampai 5 menit dan efek toksik yang serius hampir tidak
dijumpai apabila diberikan secara perlahan dan dosis tidak melebihi 50 mg per
suntikan.
Diazepam dapat diberikan secara intravena atau rektal, jika pemberian secara
intramuskular absorbsinya lambat. Dosis diazepam pada anak adalah 0,3 mg/kg BB,
diberikan secara intravena pada kejang demam fase akut, tetapi pemberian tersebut
sering gagal pada anak yang lebih kecil. Jika jalur intravena belum terpasang,
diazepam dapat diberikan per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan kurang dari
10 kg dan 10 mg pada berat badan lebih dari 10 kg. Bila diazepam tidak tersedia,
dapat diberikan luminal suntikan intramuskular dengan dosis awal 30 mg untuk
neonatus, 50 mg untuk usia 1 bulan 1 tahun, dan 75 mg untuk usia lebih dari 1
tahun.

Efek samping diazepam adalah mengantuk, hipotensi, penekanan pusat


pernafasan, laringospasme dan henti jantung. Penekanan pada pusat pernafasan dan
hipotensi terutama terjadi bila sebelumnya anak telah mendapat fenobarbital.
Midazolam intranasal (0,2 mg/kg BB) telah diteliti aman dan efektif untuk
mengantisipasi kejang demam akut pada anak. Kecepatan absorbsi midazolam ke
aliran darah vena dan efeknya pada sistem syaraf pusat cukup baik; namun efek
terapinya masih kurang bila dibandingkan dengan diazepam intravena.
b. Mencari dan Mengobati Penyebab
Penyebab dari kejang demam baik itu kejang demam sederhana maupun
epilepsi yang diprovokasi oleh demam biasanya infeksi traktus respratorius bagian
atas dan otitis media akut. Pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat perlu untuk
mengobati infeksi tersebut. Pemeriksaan laboratorium dilakukan atas indikasi untuk
mencari penyebab, seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan elektrolit.
Pemeriksaan CT-Scan dilakukan pada anak dengan kejang yang tidak diprovokasi
oleh demam dan pertama kali terjadi, terutama jika kejang atau pemeriksaan post iktal
menunjukkan abnormalitas fokal.
c. Pengobatan Profilaksis Terhadap Kejang Demam Berulang
Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan, karena menakutkan
keluarga dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang
menetap. Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu :
1) Profilaksis

intermittent

pada

waktu

demam.

Pengobatan

profilaksis

intermittent dengan antikonvulsan segera diberikan pada waktu pasien demam


(suhu rektal lebih dari 38C). Pilihan obat harus dapat cepat masuk dan
bekerja ke otak. Antipiretik saja dan fenobarbital tidak mencegah timbulnya
kejang berulang. Diazepam oral efektif untuk mencegah kejang demam
berulang dan bila diberikan intermittent hasilnya lebih baik karena
penyerapannya lebih cepat.

10

Diazepam diberikan melalui oral atau rektal. Dosis per rektal tiap 8
jam adalah 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10
mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg. Dosis oral diberikan 0,5
mg/kgBB perhari dibagi dalam 3 dosis, diberikan bila pasien menunjukkan
suhu 38,50C atau lebih. Menggunakan klonazepam sebagai obat anti
konvulsan intermittent (0,03 mg/kg BB per dosis tiap 8 jam) selama suhu
diatas 380C dan dilanjutkan jika masih demam. Efek samping klonazepam
yaitu mengantuk, mudah tersinggung, gangguan tingkah laku, depresi, dan
salivasi berlebihan.
Kloralhidrat supositoria berkhasiat untuk mencegah kejang demam
berulang. Dosis yang diberikan adalah 250 mg untuk berat badan kurang dari
15 kg, dan 500 mg untuk berat badan lebih dari 15 kg, diberikan bila suhu
diatas 380C. Kloralhidrat dikontraindikasikan pada pasien dengan kerusakan
ginjal, hepar, penyakit jantung, dan gastritis.
2) Profilaksis Terus Menerus dengan Antikonvulsan Tiap Hari. Indikasi
pemberian profilaksis terus menerus adalah:
- Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau gangguan
-

perkembangan neurologis.
Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang

tua atau saudara kandung.


Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan

neurologis sementara atau menetap.


Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi
kejang multipel dalam satu episode demam.
Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 12 tahun

setelah kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 12


bulan. Pemberian profilaksis terus menerus hanya berguna untuk mencegah
berulangnya kejang demam berat, tetapi tidak dapat mencegah timbulnya
epilepsi dikemudian hari. Pemberian fenobarbital 4-5 mg/kg BB perhari

11

dengan kadar sebesar 16 mg/mL dalam darah menunjukkan hasil yang


bermakna untuk mencegah berulangnya kejang demam.
Efek samping fenobarbital ialah iritabel, hiperaktif, pemarah dan
agresif ditemukan pada 30-50% kasus. Efek samping fenobarbital dapat
dikurangi dengan menurunkan dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah
asam valproat, obat ini lebih baik dibandingkan dengan fenobarbital. Dosis
asam valproat adalah 15-40 mg/kgBB perhari dibagi 2-3 dosis. Efek samping
yang ditemukan adalah hepatotoksik, pankreatitis, tremor dan alopesia.
Fenitoin dan karbamazepin tidak memiliki efek profilaksis terus menerus.
2.1.7. Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik. Dari
penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25% - 50%, yang
umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Apabila melihat umur, jenis kelamin dan
riwayat keluarga, lennoxbuchthal mendapatkan:
a. Pada anak berumur kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada
wanita 50% dan pria 33%.
b. Pada anak berumur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat
keluarga adanya kejang, terulangnya kejang adalah 50%, sedang pada
tanpa riwayat kejang 25%.

Apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang


menjadi :
a.
b.
c.
d.

Kejang demam berulang.


Kelainan motorik.
Gangguan mental dan belajar.
Epilepsi.
Angka kejadian epilepsi berbeda-beda, tergantung dari cara penelitian,

misalnya Lumbantobing pada penelitannya mendapatkan 6%, sedangkan Livingston

12

mendapatkan dari kejang demam sederhana hanya 2,9% menjadi epilepsi dan epilepsi
yang di provokasi oleh demam ternyata 97% menjadi epilepsi. Epilepsi yang terjadi
setelah kejang demam bermacam-macam, yang paling sering adalah epilepsi motorik
umum yaitu kira-kira 50%.
2.2 Epilepsi
2.2.1

Definisi

Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang


muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas
muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal
dengan berbagai macam etiologi. Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang
dikenal dengan nama epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan
berulang secara paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok
sel saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut
(unprovoked).
Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan
sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan cenderung
untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi
dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subyektif),
gangguan motorik atau kejang (obyektif), gangguan otonom (vegetatif) dan
perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung dari letak fokus
epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenal lah
bermacam jenis epilepsi.
2.2.2

Etiologi

Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak.
Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai
epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi

13

simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan
peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai
simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome dan
Lennox Gastaut syndrome.
Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4%
anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan
anaknya epilepsi menjadi 20%-30%.
Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon
estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan
terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid
dan testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi. Kita
ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan
hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan
menopause. Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi frekwensi serangan
epilepsi.
Faktor resiko untuk terjadinya epilepsi pada penderita kejang demam adalah:
a. Jika ada kelainan neurologis atau perkembangan sebelum kejang demam
pertama
b. Kejang demam kompleks
c. Adanya riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.
Masing-masing faktor resiko meningkatkan resiko epilepsy 4-6%; kombinasi
faktor resiko tersebut meningkatkan resiko epilepsy menjadi 10-49%. Epilepsi
diartikan sebagai kejang berulang dan multipel. Anak dengan riwayat kejang demam
mempunyai risiko sedikit lebih tinggi menderita epilepsi pada usia 7 tahun
dibandingkan dengan anak yang tidak pernah mengalami kejang demam.
2.2.3

Klasifikasi

14

Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada
tahun 1981 dan tahun 1989. International League Against Epilepsy (ILAE) pada
tahun 1981 menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe
serangan epilepsi):
1. Serangan parsial
a. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)
Dengan gejala motorik
Dengan gejala sensorik
Dengan gejala otonom
Dengan gejala psikis
b. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)
Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
Gangguan kesadaran saat awal serangan
c. Serangan umum sederhana
Parsial sederhana menjadi tonik-klonik
Parsial kompleks menjadi tonik-klonik
Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik
2. Serangan umum
a. Absans (Lena)
b. Mioklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Atonik (Astatik)
f. Tonik-klonik
3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang
lengkap).
Klasifikasi ILAE tahun 1981 di atas ini lebih mudah digunakan untuk para
klinisi karena hanya ada dua kategori utama, yaitu
Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang
terlokalisir di otak.
Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih
luas pada kedua belahan otak.
Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989
adalah:

15

1. Berkaitan dengan letak fokus


a. Idiopatik
- Epilepsi Rolandik benigna (childhood epilepsy with centro temporal
spike)
- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
b. Simptomatik
- Lobus temporalis
- Lobus frontalis
- Lobus parietalis
- Lobus oksipitalis
2. Umum
a. Idiopatik
- Kejang neonatus familial benigna
- Kejang neonatus benigna
- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
- Epilepsi Absans pada anak
- Epilepsi Absans pada remaja
- Epilepsi mioklonik pada remaja
- Epilepsi dengan serangan tonik-klonik pada saat terjaga
- Epilepsi tonik-klonik dengan serangan acak
a. Simptomatik
- Sindroma West (spasmus infantil)
- Sindroma Lennox Gastaut
3. Berkaitan dengan lokasi dan epilepsi umum (campuran 1 dan 2)
- Serangan neonatal
4. Epilepsi yang berkaitan dengan situasi
- Kejang demam
- Berkaitan dengan alkohol
- Berkaitan dengan obat-obatan
- Eklampsia
- Serangan yang berkaitan dengan pencetus spesifik (refleks epilepsi)
Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung
terjadinya serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh
dokter, sehingga diagnosis epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis.
Namun alloanamnesis yang baik dan akurat sulit didapatkan, karena gejala yang
diceritakan oleh orang sekitar penderita yang menyaksikan sering kali tidak khas,
sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali bahwa ia baru saja mendapat

16

serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan


diagnosis penderita epilepsi adalah rekaman elektroensefalografi (EEG).
2.2.4

Patofisiologi

Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling
berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan
bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam keadaan
normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila
mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan
breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi secara
abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah:
-

Glutamat, yang merupakan brains excitatory neurotransmitter


GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brains
inhibitory neurotransmitter.

Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan


asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin,
dopamine, serotonin (5-HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan
epilepsy belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut.
Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di
area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang
disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok
kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh
neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut
terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi
yang berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi.
Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:
-

Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang


optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,

17

disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata


memang mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus
oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post
-

sinaptik.
Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi
pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat
normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan
ini ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada
penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai

tempat di otak.
Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk
mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada


tiga kejadian yang saling terkait :
-

Perlu adanya pacemaker cells yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk

menimbulkan bangkitan.
Hilangnya postsynaptic inhibitory controle sel neuron.

Perlunya sinkronisasi dari epileptic discharge yang timbul.


Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal,

bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis


(fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron
akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu
sesaat menimbulkan serangan kejang.
Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak,
stroke, kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat
terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan

18

menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia,


hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain.
Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus
epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya,
subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama dan
serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya
eksitasi selesai dimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus dan ganglia
basalis yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya.
Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi
spike and wave yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap
berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron. (karena kehabisan
glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi bisa
terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion.
Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik)
depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan
yang berkepanjangan disebut status epileptikus.
2.2.5

Diagnosis

Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu:


a. Langkah pertama : Memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksisimal
merupakan bangkitan epilepsi.
b. Langkah kedua : Apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka
tentukanlah bangkitan tersebut termasuk tipe bangkitan yang mana.
c. Langkah ketiga : tentukan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh
bangkitan tadi, atau penyakit epilepsi apa yang diderita oleh pasien dan
tentukan etiologinya.
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan epilepsi berulang
(minimum 2 kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa adanya gambaran epileptiform

19

pada EEG. Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah
sebagai berikut :
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Penjelasan
perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi
gejala dan merupakan kunci diagnosis.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
1) Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan
a. Keadaan penyandang saat bangkitan:

duduk/berdiri/berbaring

/tidur/berkemih.
b. Gejala awitan (aura, gerakan/sensasi awal/speecharrest).
c. Apa yang tampak selama bangkitan (Pola/bentuk bangkitan) : gerakan
tonik / klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit,
pucat, berkeringat, maupun deviasi mata.
d. Keadaan setelah kejang : bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh
e.

gelisah, atau Todds paresis.


pakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, atau terdapat perubahan

pola bangkitan.
2) Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, maupun riwayat penyakit
neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit sistemik yang
mungkin menjadi penyebab.
3) Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, dan interval terpanjang antar
bangkitan.
4) Riwayat bangkitan neonatal / kejang demam.
Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien anak,
pemeriksa

harus

memperhatikan

adanya

keterlambatan

perkembangan,

organomegali, dan perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan


awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.

20

Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium, bilirubin, dan ureum
dalam darah. Keadaan seperti Hiponatremia, hipoglikemia, hipomagnesia, uremia,
dan hepatik ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang.
Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium,
Blood Urea Nitrogen, kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan
petunjuk yang sangat berguna.
2) Elektro ensefalografi (EEG)
Elektroensefalograf ialah alat yang dapat merekam aktifitas listrik di otak melalui
elektroda yang ditempatkan dikulit kepala. Kelainan EEG yang sering dijumpai
pada penderita epilepsi disebut epileptiform discharge atau epileptiform activity.
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan
diagnosis epilepsi.
Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan
abnormal ditentukan atas dasar adanya :
a) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di
kedua hemisfer otak.
b) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya misal gelombang delta.
c) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk,
dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.
3) Rekaman video EEG

21

Pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh


karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara
terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat
menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi.
4) Pemeriksaan Radiologis
CT-Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) kepala merupakan Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah
neuroimaging yang bertujuan untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan
struktural di otak dan melengkapi data EEG. CT Scan kepala ini dilakukan bila
pada MRI ada kontraindikasi, namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini
merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsy dengan sensitivitas
tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat
mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan
hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin
dilakukan

terapi

pembedahan.

MRI

bermanfaat

untuk

membandingkan

hipokampus kanan dan kiri.


5) Pemeriksaan neuropsikologi
Pemeriksaan

ini

mungkin

dilakukan

terhadap

pasien

epilepsi

dengan

pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya


memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga
dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang
yang bukan epilepsy.
2.1.6 Prognosis
Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi,
faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Prognosis
epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat

22

dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat
berhenti minum obat.
Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi serangan baik
dengan pengobatan maupun status psikososial, dan status neurologis penderita.
Batasan remisi epilepsi yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang)
dengan terapi. Pada pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus
dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala.
Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas
serangan (remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah tercapai bebas
serangan selama >6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu dipikirkan untuk
menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian obat dihentikan, perlu
mempertimbangkan risiko terjadinya relaps setelah penghentian obat. Berbagai faktor
prediktor yang meningkatkan risiko terjadinya relaps adalah usia awitan pada
remaja/dewasa, jenis epilepsi sekunder, dan adanya gambaran abnormalitas EEG.
Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa penderita epilepsi memiliki risiko
kematian yang lebih tinggi dibanding populasi normal. Risiko kematian yang paling
tinggi adalah pada penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat penyakit
kongenital. Kematian pada penderita epilepsi anak-anak paling sering disebabkan
oleh penyakit susunan saraf pusat yang mendasari timbulnya bangkitan epilepsi.

23

BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan :
Kejang Demam
Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan gejala demam dan usia,
serta tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam
adalah kenaikan suhu tubuh lebih dari 380C rektal atau lebih 37,80C aksila. Kejang
demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh diatas 380C
(suhu rektal) disebabkan suatu proses ekstrakranium yang paling sering dijumpai
pada golongan umur 3 bulan sampai 5 tahun. Mengenai definisi kejang demam ini
masing-masing peneliti membuat batasan sendiri-sendiri, tetapi pada garis besarnya
hamper sama.
Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah
bangkitan kejang pada bayi dan anak yang biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5
tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial

24

atau penyebab lain. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang
dari 4 minggu tidak termasuk kejang demam. Kejang demam terjadi pada anak
berumur dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak
berumur antara 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam
yang paling sering pada usia 18 bulan.
Epilepsi
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang
muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas
muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal
dengan berbagai macam etiologi. Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang
dikenal dengan nama epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan
berulang secara paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok
sel saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut
(unprovoked).
Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan
sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan cenderung
untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi
dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subyektif),
gangguan motorik atau kejang (obyektif), gangguan otonom (vegetatif) dan
perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung dari letak fokus
epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenal lah
bermacam jenis epilepsi.

25

DAFTAR PUSTAKA

Sidharta, P: Neurologi klinis dalam praktek umum. Ed 7th. Jakarta: Penerbit dian
rakyat; 2009.
Mardjono, M. Sidharta, P: Neurologi klinis dasar. Ed 16 th. Jakarta: Penerbit dian
rakyat; 2013.
Lumbantobing, S.M: Neurologi klinik, pemeriksaan fisik dan mental. Ed 18 th. Badan
penerbit FK UI; 2015.
Schweich PJ, Zempsky WT. Selected topic in emergency medicine. Dalam: McMilan
JA, DeAngelis CD, Feigen RD, Warshaw JB, Ed. Oskis pediatrics.
Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins, 1999, h, 566-89.
Roth HI, Drislane FW. Seizures. Neurol Clin 1998; 16:257-84.
Smith DF, Appleton RE, MacKenzie JM, Chadwick DW. An Atlas of epilepsy. Edisi
ke-1. New York: The Parthenon Publishing Group, 1998. h. 15-23.

26

Westbrook GL. Seizures and epilepsy. Dalam: Kandel ER, Scwartz JH, Jessel TM, ed.
Principal of neural science. New York: MCGraw-Hill, 2000. h. 940-55.
Najm I, Ying Z, Janigro D. Mechanisms of epileptogenesis. Neurol Clin North Am
2001; 19:237-50.
Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epilepticus. Pediatr Clin North Am
2001;48:683-94.
Commission on Classification and Terminology of the International League Against
Epilepsy.

Proposal

for

revised

clinical

and

electroencephalographic

classification of epileptic seizures. Epilepsia 1981; 22:489-501.


Bradford JC, Kyriakedes CG. Evidence based emergency medicine; Evaluatin and
diagnostic testing evaluation of the patient with seizures; An evidence based
approach. Em Med Clin North Am 1999; 20:285-9.
Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R, Whitehouse W. The
treatment of convulsive status epilepticus in children. Arch Dis Child 2000;
83:415-19

Anda mungkin juga menyukai