Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
OLEH
MEYRIA SINTANI
NIM : 2012. C. 04a. 0314
1.
1.1
KONSEP DASAR
Pengertian
Kegagalan ginjal kronis terjadi bila ginjal sudah tidak mampu mempertahankan
lingkungan internal yang konsisten dengan kehidupan dan pemulihan fungsi tidak dimulai.
Pada kebanyakan individu transisi dari sehat ke status kronis atau penyakit yang menetap
sangat lamban dan menunggu beberapa tahun. (Barbara C Long, 1996; 368).
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner & Suddarth, 2001).
Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten
dan irreversible. Sedangkan gangguan fungsi ginjal yaitu penurunan laju filtrasi glomerulus
yang dapat digolongkan dalam kategori ringan, sedang dan berat (Mansjoer, 2007).
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001; 1448).
Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan
metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang
progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolik (toksik uremik) di dalam darah
(Muttaqin Arif, 2012 ; 166).
1.2
Klasifikasi
Sesuai dengan topik yang saya tulis didepan Cronic Kidney Disease (CKD). Pada
dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan cronic renal failure (CRF), namun pada
terminologi akhir CKD lebih baik dalam rangka untuk membatasi kelainan klien pada kasus
secara dini, kerena dengan CKD dibagi 5 grade, dengan harapan klien datang/ merasa masih
dalam stage stage awal yaitu 1 dan 2. secara konsep CKD, untuk menentukan derajat
(stage) menggunakan terminology CCT (clearance creatinin test) dengan rumus stage 1
sampai stage 5. sedangkan CRF (cronic renal failure) hanya 3 stage. Secara umum ditentukan
klien datang dengan derajat 2 dan 3 atau datang dengan terminal stage bila menggunakan
istilah CRF.
KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality Initiative) merekomendasikan pembagian
CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG (Laju Filtrasi Glomerolus) :
1) Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan LFG
yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2)
2) Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60 -89
mL/menit/1,73 m2)
3) Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2)
4) Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2)
5) Stadium 5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/menit/1,73m2 atau gagal ginjal
terminal.
1.3
Etiologi
Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak nefron
ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim ginjal difus dan bilateral.
1) Infeksi, misalnya Pielonefritis kronik.
2) Penyakit peradangan, misalnya Glomerulonefritis.
3) Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya Nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteri renalis.
4) Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus sistemik (SLE), poli
arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
5) Gangguan kongenital dan herediter, misalnya Penyakit ginjal polikistik, asidosis
tubuler ginjal.
6) Penyakit metabolik, seperti DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.
7) Nefropati toksik, misalnya Penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale.
8) Nefropati obstruktif
a. Sal. Kemih bagian atas: Kalkuli neoplasma, fibrosis, netroperitoneal.
b. Sal. Kemih bagian bawah: Hipertrofi prostate, striktur uretra, anomali
congenital pada leher kandung kemih dan uretra.
9) Penyakit umum diluar ginjal
a. Penyakit sistemik: diabetes melitus, hipertensi, kolesterol tinggi
b. Dyslipidemia
c. SLE
d. Infeksi di badan: TBC paru, sifilis, malaria, hepatitis.
e. Preeklamsi
f. Obat-obatan
g. Kehilangan banyak cairan yang mendadak (luka bakar).
1.4
Patofisiologi
Menurut Smeltzer (2001:1448) patofisiologi gagal ginjal kronik dimulai dari fungsi
renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam
urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin
banyak timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia
membaik setelah dialisis.
Gangguan Klirens renal, banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat
dari penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens
substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan mendapatkan urin
24 jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin. Menurunnya filtrasi glomerulus (Akibat tidak
berfungsinya glomeruli) klirens kreatinin akan menurun dan kadar kreatinin serum akan
meningkat.Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum
merupakan indikator yang paling sensitif dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi
secara konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh
masukan protein dalam diet, katabolisme (Jaringan dan luka RBC), dan medikasi seperti
steroid.
Retensi cairan dan natrium, ginjal juga tidak mampu mengkonsentrasikan atau
mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai
terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Pasien sering
menahan natrium dan cairan, meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif,
dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin angiotensin dan
kerjasama
keduanya
meningkatkan
sekresi
aldosteron.
Pasien
lain
mempunyai
kecenderungan untuk kehilangan garam, mencetus risiko hipotensi dan hipovolemia. Episode
muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk status
uremik.
Asidosis, dengan semakin berkembangnya penyakit renal terjadi asidosis metabolik
sering
denga
ketidakmampuan
ginjal
mengekskresikan
muatan
asam
yang
lain akan turun. Menurunnya filtrasi melelui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar
fosfat serum dan sebaliknya penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum
menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun demikian, pada gagal
ginjal tubuh berespons secara normal terhadap peningkatan sekresi parathormon dan
akibatnya, kalsium ditulang menurun, menyebabkan perubahan pada tulang dan penyakit
tulang. Selain itu, metabolit aktif vitamin D yang secara normal dibuat di ginjal menurun
seiring dengan berkembang gagal ginjal. Penyakit tulang uremik, sering disebut osteodistrofi
renal, terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat, dan keseimbangan parathormon. Laju
penurunan fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan
yang mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan adanya hipertensi. Pasien yang
mengekskresikan secara signifikan sejumlah protein atau mengalami peningkatan tekanan
darah cenderung akan cepat memburuk dari pada mereka yang tidak mengalami kondisi ini.
Menurut Muhammad (2012:34) tahap-tahap gagal ginjal kronik, pada tahap awal
gagal ginjal kronik ditandai dengan adanya penurunan cadangan ginjal, kemudian terjadi
indufisiensi ginjal, gagal ginjal dan tahap akhir penyakit ini diakhiri dengan uremia. Berikut
tahap-tahap perkembangan penyakit gagal ginjal kronis selengkapnya:
1) Stadium I (Penurunan Cadangan Ginjal/Faal Ginjal antara 40-75%)
Pada tahap ini, ada beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita, diantaranya:
(1) Sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi.
(2) Laju flitrasi glomerulus 40-50% normal.
(3) BUN dan Kreatinin serum masih normal.
(4) Pasien asimtomatik.
Tahap ini merupakan tahap perkembangan penyakit ginjal yang paling ringan,
karena faal ginjal masih dalam kondisi baik. Oleh karena itu, penderita juga belum
merasakan gejala apapun. Bahkan, hasil pemeriksaan laboraturium menunjukan bahwa
faal ginjal masih berada dalam batas normal.
Selain itu, kreatinin serum dan kadar BUN (Blood urea nitrogen) masih berada
dalam batas normal dan penderita asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal baru diketahui
setelah pasien diberi beban kerja yang berat, seperti tes pemekatan kemih dalam waktu
lama atau melalui tes GFR dengan teliti.
2) Stadium II (Indufisiensi Ginjal/Faal Ginjal antara 20-50%)
Pada tahap ini, beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita, diantaranya:
(1) Sekitar 75-80% nefron tidak berfungsi.
(2) Laju filtrasi glomerulus 20-40% normal.
(3) BUN dan kreatinin serum mulai meningkat.
(4) Anemia dan azotemia ringan
(5) Nokturia dan poliuria
Pada tahap ini, penderita masih dapat melakukan tugas-tugas seperti biasa,
walaupun daya dan konsentrasi ginjal menurun. Pengobatan harus dilakukan dengan cepat
untuk mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam, dan gangguan jantung. Selain itu,
penderita juga harus diberi obat untuk mencegah gangguan faal ginjal. Apabila langkahlangkah ini dilakukan dengan cepat dan tepat, perkembangan penyakit ginjal yang lebih
berat pun dapat dicegah.
Pada stadium ini, lebih dari 75% jaringan ginjal yang berfungsi telah rusak. Selain
itu, kadar BUN dan kreatinin serum juga mulai meningkat melampaui batas normal.
3) Stadium III (Gagal Ginjal/Faal Ginjal Kurang dari 10%)
Pada tahap ini, beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita, diantaranya:
(1) Laju filtrasi glomerulus 10-20% normal.
(2) BUN dan kreatinin serum meningkat.
(3) Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik.
(4) Poliuria dan nokturia.
(5) Gejala gagal ginjal.
Pada tahap ini, penderita merasakan beberapa gejalan, antara lain mual, muntah,
nafsu makan berkurang, sesak napas, pusing, sakit kepala, air kemih berkurang, kurang
tidur, kejang-kejang, dan mengalami penurunan kesadaran hingga koma. Oleh karena itu,
penderita tidak dapat melakukan tugas sehari-hari.
4) Stadium IV (End-stage Meal Disease/ESRD)
Pada tahap ini, beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita, diantaranya:
(1) Lebih dari 85% nefron tidak berfungsi.
(2) Laju filtrasi glomerulus kurang dari 10% normal.
(3) BUN dan kreatinin tinggi.
(4) Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik.
(5) Berat jenis urine tetap 1,010.
(6) Oliguria.
(7) Gejala gagal ginjal.
Pada stadium akhir, kurang lebih 90% massa nefron telah hancur. Nilai GFR 10%
dibawah batas normal dan kadar kreatinin hanya 5-10 ml/menit, bahkan kurang dari
jumlah tersebut. Selain itu, peningkatan kreatinin serum dan kadar BUN juga meningkat
secara mencolok.
Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita tidak sanggup mempertahankan
homeostatis cairan dan elektrolit didalam tubuh. Biasanya, penderita menjadi oliguria
(Pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari karena kegagalan glomerulus). Pada stadium
akhir gagal ginjal, penderita harus mendapatkan pengobatan dalam bentuk transplantasi
ginjal atau dialisis.
5) Stadium V
Pada stadium akhir,kurang lebih 90% masa nefron telah hancur. Nilai GFR 10%
dibawah batasnormal dan kadar kreatinin hanya 5-10 ml/menit, bahkan kurang dari jumlah
tersebut. Selain itu, peningkatan kreatinin serum dan kadar BUN juga meningkat secara
mencolok.
Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita tidak sanggup mempertahankan
homeostatis cairan dan elektrolit didalam tubuh. Biasanya penderita menjadi oliguria
(pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari karena kegagalan glumerulus). Pada stadium
akhir gagal ginjal penderita harus mendapatkan pengobatan dalam bentuk transplantasi
ginjal atau dialisis.
Vaskuler
Zat toksik
Reaksi antigen
iritasi/cidera
arterosklerosis
antibodi
jaringan
Menekan saraf
GFR turun
hematuria
perifer
anemia
Gagal Ginjal Kronik
urokrom
retensi Na
Resiko
total gangguan
CES naik
nutrisi
tertimbun di kulit
Gangguan
integritas
produksi asam naik
kulit
bendungan atrium kiri naik
kulit
nyeri pinggang
Sekresi
suplai nutrisi dalam
tekanan
kapiler naik
darah turun
Intoleran
si
aktivitas
Gangguan
perfusi
jaringan
COP turun
infeksi
perdarahan
mual, muntah
naik
anemia
preload naik
beban jantung naik
hipertrofi ventrikel kiri
Kelebihan
volume
cairan
suplai O2
suplai
otak
Gangguan
pertukaran
gas sinkop
metab. Anaerob
jaringan turun
Intolera
nsi
timbunan as. laktat
1.5
Manifestasi Klinis
1) Kelainan hemopoesis, dimanifestasikan dengan anemia
a. Retensi toksik uremia hemolisis sel eritrosit, ulserasi mukosa sal.cerna,
gangguan pembekuan, masa hidup eritrosit memendek, bilirubuin serum
meningkat/normal, uji combs negative dan jumlah retikulosit normal.
b. Defisiensi hormone eritropoetin
Ginjal sumber ESF (Eritropoetic Stimulating Factor) def. H eritropoetin
Depresi sumsum tulang sumsum tulang tidak mampu bereaksi terhadap
proses hemolisis/perdarahan anemia normokrom normositer.
2) Kelainan Saluran cerna
a. Mual, muntah, hicthcup
b. Stomatitis uremia
c. Pankreatitis
3) Kelainan mata
4) Kardiovaskuler
a. Hipertensi
b. Pitting edema
c. Edema periorbital
d. Pembesaran vena leher
e. Friction Rub Pericardial
5) Kelaninan kulit
a. Gatal, terutama pada pasien dengan dialisis rutin. Hal ini dikarenakan toksik
uremia yang kurang terdialisis, peningkatan kadar kalium phosphor, alergi
bahan-bahan dalam proses HD.
b. Kering bersisik karena ureum meningkat menimbulkan penimbunan kristal
urea di bawah kulit.
c. Kulit mudah memar
d. Rambut tipis dan kasar
1.6
Komplikasi
1) Hiperkalemia akibat penurunana ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme dan
masukan diet berlebih.
2) Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialysis yang tidak adekuat
3) Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system renninangiotensin-aldosteron
4) Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi toksin dna kehilangan drah selama
hemodialisa
5) Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah dan metabolisme vitamin D abnormal.
6) Asidosis metabolic
7) Osteodistropi ginjal
8) Sepsis
9) Neuropati perifer
10) Hiperuremia
1.7
Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
a. Pemeriksaan penurunan fungsi ginjal
i. Ureum kreatinin
ii. Asam urat serum
b. Identifikasi etiologi gagal ginjal
i.
ii.
Mikrobiologi urin
iii.
Kimia darah
iv.
Elektrolit
v. Imunodiagnosis
c. Identifikasi perjalanan penyakit
i. Progresifitas penurunan fungsi ginjal
ii. Ureum kreatinin, Clearens Creatinin Test (CCT)
GFR / LFG dapat dihitung dengan formula Cockcroft-Gault:
Nilai normal :
Laki-laki : 97 - 137 mL/menit/1,73 m3 atau
0,93 - 1,32 mL/detik/m2
Wanita : 88-128 mL/menit/1,73 m3 atau
0,85 - 1,23 mL/detik/m2
-
Elektrolit
Endokrin
Pemeriksaan
lain:
berdasarkan
indikasi
terutama
faktor
1.8
Penatalaksanaan Medis
1) Terapi Konservatif
Perubahan fungsi ginjal bersifat individu untuk setiap klien Cronic renal Desease
(CKD) dan lama terapi konservatif bervariasi dari bulan sampai tahun.
Tujuan terapi konservatif :
a. Mencegah memburuknya fungsi ginjal secara profresi.
b. Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksi asotemia.
c. Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal.
d. Memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.
Prinsip terapi konservatif :
a. Mencegah memburuknya fungsi ginjal.
Hati-hati dalam pemberian obat yang bersifat nefrotoksik.
Hindari keadaan yang menyebabkan diplesi volume cairan ekstraseluler dan
hipotensi.
Hindari gangguan keseimbangan elektrolit.
Hindari pembatasan ketat konsumsi protein hewani.
Hindari proses kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi.
Hindari instrumentasi dan sistoskopi tanpa indikasi medis yang kuat.
Hindari pemeriksaan radiologis dengan kontras yang kuat tanpa indikasi medis
yang kuat.
b. Pendekatan terhadap penurunan fungsi ginjal progresif lambat.
Kendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular.
Kendalikan terapi ISK.
Diet protein yang proporsional.
Kendalikan hiperfosfatemia.
Terapi hiperurekemia bila asam urat serum > 10mg%.
Terapi hIperfosfatemia.
Terapi keadaan asidosis metabolik.
Kendalikan keadaan hiperglikemia.
c. Terapi alleviative gejala asotemia
Pembatasan konsumsi protein hewani.
Terapi keluhan gatal-gatal.
Terapi keluhan gastrointestinal.
Terapi keluhan neuromuskuler.
Terapi keluhan tulang dan sendi.
Terapi anemia.
Terapi setiap infeksi.
2) Terapi Simtomatik
a. Asidosis metabolik
Jika terjadi harus segera dikoreksi, sebab dapat meningkatkan serum
K+ (hiperkalemia ) :
Suplemen alkali dengan pemberian kalsium karbonat 5 mg/hari.
Terapi alkali dengan sodium bikarbonat IV, bila PH < atau sama dengan 7,35
atau serum bikarbonat < atau sama dengan 20 mEq/L.
b. Anemia
Anemia Normokrom normositer : Berhubungan dengan retensi toksin
polyamine dan defisiensi hormon eritropoetin (ESF: Eritroportic Stimulating
Faktor). Anemia ini diterapi dengan pemberian Recombinant Human
peritoneal dialisis.
Anemia Defisiensi Besi : Defisiensi Fe pada CKD berhubungan dengan
perdarahan saluran cerna dan kehilangan besi pada dialiser ( terapi pengganti
hemodialisis ). Klien yang mengalami anemia, tranfusi darah merupakan salah
satu pilihan terapi alternatif ,murah dan efektif, namun harus diberikan secara
hati-hati.
Indikasi tranfusi PRC pada klien gagal ginjal :
HCT < atau sama dengan 20 %
Hb < atau sama dengan 7 mg5
Klien dengan keluhan : angina pektoris, gejala umum anemia
high output heart failure.
Komplikasi transfusi darah :
Hemosiderosis
Supresi sumsum tulang
Bahaya overhidrasi, asidosis dan hiperkalemia
Bahaya infeksi hepatitis virus dan CMV
dan
100 mg %
Kelebihan cairan
Mual dan muntah hebat
BUN > 100 mg/ dl (BUN = 2,14 x nilai ureum )
Preparat (gagal ginjal dengan kasus bedah )
Sindrom kelebihan air
Intoksidasi obat jenis barbiturat
Dialisis Peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory
Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik
CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun),
pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasienpasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien
GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik,
yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan
sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
b. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%)
faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal
ginjal alamiah
Kualitas hidup normal kembali
Masa hidup (survival rate) lebih lama
Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan
obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
2.
2.1
27. i. Seksualitas
28.
Gejala: Penurunan libido, amenorea, infertilitas
29. j. Interaksi sosial
30.
Gejala: Kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi peran biasanya dalam keluarga
31. k. Penyuluhan/pembelajaran
32. Gejala: Riwayat DM keluarga (resiko tinggi untuk gagal ginjal), penyakit
polikistik, nefritis herediter, kalkulus urinaria, malignansi. Riwayat terpajan pada
toksin, contoh obat, racun lingkungan. Penggunaan antibiotik nefrotoksik saat
ini/berulang.
33.
2.2
Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan renal sehubungan dengan kerusakan nepron sehingga tidak
mampu mengeluarkan sisa metabolisme
34.Data Subyektif : None
35.Data Obyektif : Oliguria, Anuria, acidosis dengan peningkatan serum
hydrogen dan kalium, penurunan pH dan bicarbonat, Anemia , Peningkatan :
BUN, serum kreatinin, Penurunan Calcium dan peningkatan phosfat serta
magnesium.
2. Kelebihan volume cairan sehubungan dengan ketidakmampuan ginjal mengeskkresi
air dan natrium
36.Data Subyektif : None
37.Data Obyektif : Hypertensi , Ascites, oedema presacral dan pretibial,
gangguan bunyi napas (Cracles), tachicardi, penambahan BB, orthopneu,
Peningkatan tekanan vena sentral dan PAWP, Distensi vena jugular, Positif refleks
hepatojugular
3. Gangguan Nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan dengan pembatasan
intake (Diit) dan effect uremia yang mengakibatkan malnutrisi protein kalori.
38.Data Subyektif
: Pasien melaporkan : Anorexsia, Nausea, lemah, lelah,
metalck taste.
39.Data Obyektif : Muntah, Diare, hematemesis, Napas bau ureum, stomatitis,
gingivitis, kehilangan BB.
4. Resiko tinggi terjadinya kerusakan integritas kulit sehubungan dengan efek uremia.
40.Data Subyektif
: Pasien mengeluh gatal gatal
41.Data Obyektif
: Excrosiasi pada kulit, petechie, purpura, kulit kering .
5. Resiko Tinggi terjadinya gangguan persepsi / sensori, gangguan proses pikir
sehubungan dengan abnormalitasnya zat zat kimia dalam tubuh yang dihubungakan
dengan uremia.
42.Data Subyektif
43.Data Obyektif
Rencana Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan renal sehubungan dengan kerusakan nepron sehingga tidak
mampu mengeluarkan sisa metabolism
47.
Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, diharapkan
Perfusi ginjal akan diperbaiki atau dipertahankan dalam batas yang dapat
48.
ditoleransi
Intervensi :
1) Kaji Perubahan EKG, Respirasi (Kecepatan dan kedalamannya) serta tanda
tanda chvosteks dan Trousseaus.
49.
Rasional : Tingginya gelombang T, Panjangnya interval PR dan
Lebarnya kompleks QRS dihubungkan dengan serum Kalium ; Pernapasan
kusmaul dihubungkan dengan acidosis, kejang yang mungkin terjadi
dihubungkan dengan rendahnya calsium.
2) Monitor data-data laboratorium : Serum pH, Hidrogen, Potasium, bicarbonat,
calsium magnesium, Hb, HT, BUN dan serum kreatinin.
50.
Rasional : Nilai laboratorium merupakan indikasi kegagalan ginjal
untuk mengeluarkan sisa metabolit dan kemunduran fungsi sekretori ginjal.
3) Jangan berikan obat obat Nephrothoxic.
51.
Rasional : Obat obat nephrotoxic akan memperburuk keadaan ginjal
4) Berikan pengobatan sesuai pesanan / permintaan dokter dan kaji respon
terhadap pengobatan.
52.
Rasional : Dosis obat mungkin berkurang dan intervalnya menjadi
lebih lama. Monitor respon terhadap pengobatan untuk menentukan efektivitas
obat yang diberikan dan kemungkinan timbulnya efek samping obat.
55.
elektrolit.
2) Monitor data laboratorium : Serum Natrium, Kalium, Clorida dan bicarbonat.
56.
Rasional : Untuk mengidentifikasikan acumulasinya elektrolit.
3) Monitor ECG
57.
Rasional : Peningkatan atau penurunan Kalium dihubungkan dengan
disthrithmia. Hipokalemia bisa terjadi akibat pemberian diuretic.
4) Berikan cairan sesuai indikasi
58.
Rasional : Untuk mencegah kemungkinan terjadinya dehidrasi sel.
5) Berikan Diuretic sesuai pesanan dan monitor terhadap responnya.
59.
4. Resiko tinggi terjadinya kerusakan integritas kulit sehubungan dengan efek uremia.
68. Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, diharapkan
Keutuhan kulit (Integritas kulit) pasien akan dipertahankan
69. Intervensi :
1) Kaji terhadap kekeringan kulit, Pruritis, Excoriations dan infeksi.
70.
Rasional : Perubahan mungkin disebabkan oleh penurunan aktivitas
kelenjar keringat atau pengumpulan kalsius dan phospat pada lapiran cutaneus.
85. Tujuan
97.
Muttaqin, Arif dan Siti Kumala. (2012). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
98.
99.
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC
100.
101.
Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.:
BalaiPenerbit FKUI