Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator makro yang menggambarkan pertumbuhan
barang dan jasa di suatu wilayah dalam suatu waktu tertentu. Sedangkan stabilitas perekonomian
dalam suatu negara sangat penting sehingga merupakan tujuan utama pembuat kebijakan dalam
mengarahkan berbagai instrumen fiskal dan moneter.
Stabilitas perekonomian adalah prasyarat bagi tercapainya peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan kepastian dalam memberikan jaminan investasi di suatu negara. Dengan
demikian stabilitas pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan kegiatan perekonomian dalam
bentuk perdagangan barang/jasa dan transaksi keuangan. Keadaan ini harus diimbangi dengan
tersedianya mata uang sebagai alat tukar pembayaran atas barang dan jasa dalam jumlah yang
memadai. Keberadaan uang juga menunjukkan kekayaan seseorang dan kedaulatan suatu negara.
Perkembangan ekonomi Indonesia yang berjalan baik tersebut akan meningkatkan
perputaran uang dengan nilai yang makin meningkat. Peningkatan ini tentu berdampak pada
pencatatan digit yang makin banyak di setiap transaksi yang terjadi. Banyaknya digit ini telah
menyulitkan sejumlah pihak dalam pencatatan keuangan mereka. Oleh karena itu mereka
menginginkan penyederhanaan digit. Sebagai ilustrasi daftar harga makanan yang dicantumkan
di dalam menu restoran maupun hotel dalam kenyataannya dituliskan dengan menghilangkan
angka 3 (tiga) digit terakhir. Hal yang sama juga dilakukan dalam financial statement perusahan
dimana sering ditemukan eliminasi 3 (tiga) sampai 6 (enam) digit terakhir.
Keadaan ini yang menggulirkan wacana redenominasi mata uang rupiah. Wacana
redenominasi telah digulirkan oleh Bank Indonesia sejak tahun 2010. Redenominasi rupiah
diharapkan dapat meminimalisir inefisiensi dalam perekonomian, membuat penggunaan rupiah
menjadi lebih nyaman dengan pencatatan digit yang tidak terlalu banyak, dan mengurangi
kendala teknis dalam transaksi pembayaran non tunai.
Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa
mengubahnilai tukarnya. Pada waktu terjadi inflasi, jumlah satuan moneter yang sama perlahanlahan memilikidaya beli yang semakin melemah. Dengan kata lain, harga produk dan jasa harus
dituliskan dengan jumlah yang lebih besar. Ketika angka-angka ini semakin membesar, mereka
dapat memengaruhi transaksi harian karena risiko dan ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh
jumlah lembaran uang yang harus dibawa, atau karena psikologi manusia yang tidak efektif
menangani perhitungan angka dalam jumlah besar. Pihak yang berwenang dapat memperkecil
masalah ini dengan redenominasi: satuan yang baru menggantikan satuan yang lama dengan
sejumlah angka tertentu dari satuan yang lama dikonversi menjadi 1 satuan yang baru. Jika
alasan redenominasi adalah inflasi, rasio konversi dapat lebih besar dari 1, biasanya

merupakan bilangan positif kelipatan sepuluh, seperti 10, 100, 1.000, dan seterusnya. Prosedur
ini dapat disebut sebagai "penghilangan nol".
Tujuannya redenominasi adalah sebagai efisiensi penghitungan dalam sistem pembayaran.
Sukses redenominasi hanya bisa dilakukan pada saat inflasi dan ekspektasi inflasi stabil dan
rendah. Intinya adalah penyederhanaan akunting dan sistem pembayaran tanpa menimbulkan
dampak bagi ekonomi. Syarat keberhasilan redominisasi lainnya adalah persepsi dan pemahaman
masyarakat yang mendukung yang didasarkan akan kebutuhan riil masyarakat, Penerapan
redenominasi itu butuh waktu transisi sedikitnya lima tahun dan selama itu pedagang wajib
mencantumkan label dalam dua jenis mata uang yakni uang lama yang belum dipotong dan uang
baru (yang nolnya udah dipotong) sehingga tercipta kontrol publik. Selain itu, untuk melakukan
redenominasi nilai tukar juga dibutuhkan penarikan uang yang beredar di masyarakat secara
bertahap. Hal yang paling sulit dilakukan dengan cepat dan mudah adalah sosialisai kepada
seluruh masyarakat Indonesia yang mencapai ratusan juta jiwa.
Yang harus dipahami juga adalah bahwa redenominasi berbeda dengan sanering.
Redenominasi mata uang secara teori tidak akan menyebabkan kenaikan harga karena harganya
juga ikut terpotong. Lain lagi dengan sanering. Mata uang yang mengalami sanering akan
berkurang nilainya namun harga-harga barang tidak dijamin untuk ikut turun. Dengan demikian,
sanering akan mengurangi daya beli uang sedangkan redenominasi tidak. Indonesia sendiri
pernah melakukan sanering pada tahun 1965. Pada saat itu, rupiah dipotong nilainya dari 1.000
menjadi 1 rupiah di mana harga barang tidak ikut turun. Akibatnya adalah inflasi yang sangat
tinggi. Berbicara mengenai redenominasi, Zimbabwe adalah salah satu negara yang cukup
agresif melakukan redenominasi mata uangnya. Tercatat dalam 4 tahun terakhir, akibat hiper
inflasi, Zimbabwe telah 3 kali melakukan redenominasi mata uangnya. Kesalahan utama
Zimbabwe adalah melakukan redenominasi ketika inflasi sangat tinggi sehingga redenominasi
semakin memperkuat efek inflasi tersebut. Redenominasi tidak hanya dilakukan oleh negara
yang nominal mata uangnya cukup besar. Salah satu contohnya adalah redenominasi mata uang
anggota Uni Eropa ketika meredenominasi mata uangnya menjadi Euro. Dalam hal ini, rasio
konversinya bisa kurang dari satu. Satu Euro setara dengan 40,3 francs Belgia saat itu.
Ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi jika ingin melakukan penyederhanaan satuan
nilai tukar.Tiga persyaratan itu adalah :
1. Kondisi ekonomi yang stabil,
2. Inflasi yang terjaga rendah
3. Adanya jaminan stabilitas harga.
Bank Indonesia merasa rupiah sudah terlalu gendut. Sebab, jumlah nolnya terlalu banyak.
Jumlah nol yang banyak mengakibatkan ongkos bertransaksi terlalu mahal atau tidak efisien.
Jadi, timbulah ide kreatif merampingkan rupiah, yang dalam bahasa kerennya disebut
redenominasi mata uang (currency redenomination).Para bankir menilai, bank sentral harus
berhati-hati melakukan redenominasi mata uang rupiah. Pasalnya, kebijakan ini bakal memiliki
efek yang sangat besar bagi industri perbankan. Rencana redenominasi rupiah bakal memakan
biaya tinggi. Perbankan harus melakukan investasi lagi di bidang teknologi dan informasi (TI).
TI tentu perlu penyesuaian terhadap berapa banyak angka nol uang tersebut. BI juga harus
mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk mengganti dan mencetak uang baru.Pencetakan
uang selalu menguras anggaran Bank Indonesia.
2

Untuk penerapan TI dan mematangkannya butuh waktu yang tidak sebentar. Redenominasi
rupiah harus dibarengi pembangunan persepsi masyarakat terhadap kebijakan tersebut. Jangan
sampai persepsi yang timbul adalah pemotongan nilai mata uang, yang membuat masyarakat
menarik dana mereka dari bank dan melakukan investasi ke luar negeri, Redenominasi dilakukan
ketika Indonesia menerapkan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Saat itu, Indonesia bisa
menyamakan nilai rupiah dengan mata uang negara-negara ASEAN. Saat ini belum tepat karena
krisis ekonomi di Eropa belum benar-benar berlalu dan sektor riil di Indonesia belum bergerak.
Redenominasi jangan sampai menimbulkan gejolak stabilitas ekonomi. Kesiapan masyarakat
menjadi poin penting bagi bank sentral. Redenominasi sebetulnya sangat baik, tetapi harus
dipahami jika kesiapan masyarakat menjadi hal penting yang harus diperhatikan. Bank Indonesia
harus melakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat. BI dapat melakukan kajian
intensif dampak redenominasi pada stabilitas ekonomi. Misalnya melalui seminar, road show ke
kampus-kampus, sosialisasi dan pemberitahuan terlebih dahulu kepada masyarakat. Hal ini
dikarenakan apapun yang berhubungan dengan uang termasuk nilai serta fungsinya sangat
sensitif. Masyarakat harus dimintai pendapatnya terlebih dahulu. Kesiapan masyarakat juga
diperlukan karena tanpa kesiapan masyarakat maka bisa-bisa terjadi gejolak ekonomi dimana
terjadi kepanikan di masyarakat. Hal tersebut berbahaya, karena masyarakat tidak mengerti dan
jangan sampai disalahartikan seperti sanering.

2. Rumusan Masalah
Untuk permasalahan rencana redenominasi kedepan, dirumus beberapa masalah yang akan
dihadapi jika rencana redenominasi diberlakukan, yaitu :
1. Apakah pengaruh kebijakan redenominasi terhadap masyarakat di Indonesia ?
2. Apakah pengaruh kebijakan redenominasi terhadap inflasi di Indonesia ?
3. Apakah kebijakan redenominasi tepat dilakukan di situasi perekonomian saat ini?
3. Tujuan Permasalahan
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari pembuatan paper ini adalah :
1. Untuk mengetahui efek dari kebijakan redenominasi terhadap masyarakat di
Indonesia.
2. Untuk mengetahui efek dari kebijakan redenominasi terhadap Inflasi di Indonesia.
3. Untuk mengkaji apakah kebijakan redenominasi cocok atau tidak diterapkan pada saat
perekonomian sekarang ini.
4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penulisan paper ini adalah :
1. Bagi kami berkelompok sebagia penulis, penggunaan metode percobaan ekonomi ini
dapat memberikan pembelajaran terkait dampak dari redenominasi terhadap
perekonomian Indonesia.
2. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan
terkait dampak kebijakan redenominasi serta dapat menjadikan penelitian ini
3

sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya terkait redenominasi.


3. Bagi pemerintah, diharapkan pemerintah dapat membuat keputusan yang tepat
terkait pelaksanaan redenominasi

BAB II
PEMBAHASAN
1. Efek Kebijakan Redenominasi terhadap Masyarakat Indonesia
Wacana redenominasi rupiah oleh Bank Indonesia menjadi bahasan yang menarik di
kalangan pemasar. Penting bagi para pemasar untuk memprediksi dampak redenominasi Rupiah
terhadap perilaku konsumen. Akankah redenominasi membuat persepsi konsumen terhadap yang
mahal dan yang murah berubah? Akankah redenominasi membuat masyarakat lebih
konsumtif, atau malah sebaliknya? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini membantu pemasar
untuk menyiapkan strategi yang tepat dalam menyongsong rencana pemerintah melakukan
redenominasi Rupiah beberapa tahun mendatang.
Pejabat Bank Indonesia beberapa waktu yang lalu mengindikasikan bahwa redenominasi
rupiah akan dilakukan dengan menghilangkan beberapa nol. Namun, belum ada keterangan
resmi dari Bank Indonesia mengenai jumlah nol yang akan dihilangkan. Opsi yang paling banyak
dibahas di masyarakat adalah penghilangan tiga angka nol. Opsi ini dianggap ideal karena
memudahkan adaptasi dari Rupiah lama ke Rupiah baru pasca redenominasi. Sebagai ilustrasi,
harga bensin pertamax yang berkisar Rp 9.600,- per-liter akan menjadi Rp 9,6,- per-liter setelah
redenominasi.
Namun, benarkah menghilangkan tiga nol adalah opsi yang paling ideal? Mengapa Bank
Indonesia tidak mempertimbangkan opsi menghilangkan satu nol atau dua nol? Dalam riset yang
dipublikasikan di Journal of Consumer Research tahun 2002, Raghubir dan Srivastava
menemukan bahwa konsumen dari negara yang mata uangnya memiliki denominasi kecil (misal:
Australia) cenderung akan mengurangi pengeluarannya ketika berkunjung ke negara yang mata
uangnya memiliki denominasi besar (misal: Indonesia). Wisatawan Australia yang terbiasa
menggunakan denominasi Australian Dollar yang kecil, mendadak merasa bimbang dengan
besarnya nominal yang harus mereka bayarkan untuk membeli barang di Indonesia
menggunakan Rupiah. Kebimbangan ini mengurangi keinginan mereka untuk membeli barang di
4

Indonesia. Hal sebaliknya berlaku pada konsumen dari negara dengan denominasi mata uang
besar yang berkunjung ke negara dengan denominasi mata uang kecil. Wisatawan Indonesia
yang berkunjung ke Australia, karena terbiasa dengan denominasi Rupiah yang besar, mendadak
mempersepsikan harga-harga barang di Australia relatif murah karena denominasinya lebih kecil.
Hal ini meningkatkan keinginan wisatawan Indonesia untuk membelanjakan uang dollarnya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keinginan untuk membeli barang cenderung naik
apabila konsumen beralih dari mata uang dengan denominasi besar (misal: IDR) ke mata uang
dengan denominasi kecil (misal: AUD).
Berdasarkan temuan tersebut, dapat diduga bahwa semakin banyak nol yang dihilangkan
dalam redenominasi rupiah, semakin besar dampaknya terhadap naiknya keinginan konsumen
untuk membeli barang dan jasa. Dengan kata lain, opsi menghilangkan tiga nol akan
menghasilkan peningkatan konsumsi masyarakat yang paling maksimal dibanding dua opsi
lainnya (satu nol atau dua nol).
Setelah dilakukan redenominasi, persepsi konsumen terhadap nilai uang dan nilai barang bisa
jadi akan berubah. Dalam periode transisi antara rupiah lama dan rupiah baru hasil redenominasi,
konsumen masih akan menggunakan denominasi Rupiah lama sebagai nilai acuan dalam
memperkirakan nilai suatu barang. Sebagai ilustrasi, harga sebuah smartphone setelah
redenominasi penghilangan tiga nol akan berkisar Rp5.000,- per-unit. Harga ini akan
dipersepsikan murah oleh konsumen yang secara tidak sadar masih menggunakan denominasi
Rupiah lama sebagai nilai acuan untuk menghitung pendapatan mereka. Pengalaman penerapan
mata uang tunggal Euro memberikan pelajaran kepada kita mengenai fenomena ini. Pada masa
transisi penerapan Euro di beberapa Negara Eropa yang tergabung di dalam Uni Eropa, para
peneliti menemukan suatu fenomena yang dinamakan Euro Illusion. Di Negara seperti Italia, di
mana mata uang Lira mereka memiliki denominasi yang lebih besar dibanding Euro (1 Euro =
2.000 Lira), konsumen memiliki keinginan untuk membeli barang lebih besar ketika diminta
menggunakan Euro dibanding ketika menggunakan Lira. Dengan kata lain, konsumen Italia
melebihkirakan (overestimate) nilai Euro dan mengurangkirakan (underestimate) nilai Lira
ketika berhadapan dengan situasi pembelian yang sama. Hal sebaliknya ditemukan di Irlandia, di
mana mata uang Punt memiliki denominasi yang lebih kecil dibanding Euro (1 Euro = 0.79
Punt). Konsumen Irlandia memiliki keinginan membeli yang lebih rendah ketika diminta
menggunakan Euro dibanding ketika menggunakan mata uang mereka sendiri.
Efek Euro illusion juga terasa dalam aspek lainnya. Segera setelah Euro digunakan sebagai
mata uang tunggal, terjadi kenaikan donasi kepada gereja-gereja di Italia sebesar 11 persen.
Padahal pada periode yang sama kenaikan pendapatan masyarakat Italia hanya sekitar tiga
persen. Penjelasannya tidak lain adalah bergesernya persepsi masyarakat Italia terhadap besar
kecilnya nilai sumbangan kepada gereja. Jika sebelumnya sumbangan sebesar 20.000 Lira
sudah dianggap besar, tidak begitu halnya dengan sumbangan sebesar 10 Euro yang dianggap
terlalu kecil meskipun nilainya sama dengan 20.000 Lira. Hal yang sama juga bisa terjadi pasca
redenominasi Rupiah, di mana nilai acuan konsumen terhadap murah dan mahal menjadi
bergeser.
5

Sesuai dengan contoh kasus diatas, dampak yang paling sering muncul terjadi dalam
penerapan redenominasi adalah munculnya bias psikologis yang disebut money illusion
(Wibowo, 2013). Ilusi ini dapat muncul karena perubahan nominal harga barang akibat
redenominasi. Sebagian besar masyarakat akan mempersepsikan bahwa harga barang menjadi
lebih murah karena dihilangkannya nilai nol dari mata uang terdahulu.
Sementara itu Money/Euro Illution memperlihatkan persepsi harga dalam denominasi baru
yang lebih kecil dan mata uang yang lebih rendah daripada ketika dinyatakan dalam bentuk mata
uang yang lama jika memiliki nilai nominal yang lebih tinggi (Gamble, Garling, Charlton &
Ranyard, 2002) hal ini menunjukkan bahwa individu menyesuaikan diri dengan mata uang baru
dengan nilai nominal yang lebih kecil, setidaknya mereka mengalami kesulitan memahami nilai
sebenarnya dari barang dan jasa. Efek money illusion pun dapat terjadi pada barang-barang yang
harganya murah atau kenaikan harganya hanya beberapa koin sen saja. Apabila ketersediaan koin
sen tidak dicukupi oleh pemerintah, konsumen akan cenderung membiarkan kenaikan harga
tersebut tanpa menuntut adanya uang kembalian dari penjual, hal tersebut disebut trivialization.
Kasus trivalization dapat dilihat pada Ghana dimana tingkat inflasinya meningkat sebesar
lima persen satu tahun setelah redenominasi. Salah satu faktor penyebab kegagalan redenominasi
di Ghana adalah 70 persen uang beredar yang ada di Ghana berada di luar sistem perbankan.
Kondisi ini diperparah oleh pemerintah yang belum juga dapat mengganti mata uang yang baru
dengan mata uang yang lama setelah dua tahun redenominasi.
Alasan sebagian besar negara-negara yang melakukan redenominasi adalah alasan psikologis.
Mata uang dengan nominal yang terlalu besar mempengaruhi citra negara yang
menggunakannya, termasuk di mata para pelaku ekonomi antarbangsa. Secara psikologis, negara
yang memiliki mata uang bernominal besar dianggap sebagai negara yang perekonomiannya
tidak stabil dan berisiko tinggi. Karena itu, pengambil kebijakan di negara seperti misalnya Turki
yang mengalami hiperinflasi di era tahun 1990-an, memutuskan untuk melakukan redenominasi
untuk memulihkan kepercayaan pelaku ekonomi antarbangsa terhadap perekonomiannya.
Setelah redenominasi dilakukan, ternyata dampak yang ditimbulkan tidak hanya berkisar pada
citra negara yang menjadi lebih baik saja. Pengalaman di Rumania dan Turki menunjukkan
bahwa redenominasi juga berperan mendorong naiknya tingkat konsumsi masyarakat. Jika kita
merefleksikan hal ini pada situasi Indonesia, maka redenominasi menjadi suatu kebijakan yang
sangat relevan. Seperti kita ketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama satu dasawarsa
terakhir ditopang sebagian besar oleh konsumsi masyarakat. Pakar ekonomi, seperti Sri Mulyani
Indrawaty, juga menyarankan agar Indonesia memilih strategi pertumbuhan yang lebih tahan
terhadap krisis global, yaitu dengan memperbesar proporsi konsumsi domestik sebagai motor
penggerak pertumbuhan. Berdasarkan saran ini, maka redenominasi rupiah merupakan kebijakan
yang bisa memastikan tumbuhnya tingkat konsumsi masyarakat sesuai dengan besaran yang
diharapkan.
Bagi pemasar sendiri, redenominasi Rupiah menghadirkan peluang dan tantangan. Peluang
yang ditawarkan sudah jelas, bahwa redenominasi akan meningkatkan keinginan konsumen
untuk membeli barang dan jasa. Pemasar tinggal mencari cara untuk memastikan keinginan
6

membeli tersebut menjadi pembelian yang sebenarnya. Sementara, tantangan yang dihadapi
adalah memutakhirkan strategi pricing yang digunakan. Strategi pricing yang sebelumnya
digunakan mungkin menjadi tidak relevan lagi.

2. Efek Kebijakan Redenominasi Terhadap Inflasi di Indonesia

Sebelumnya akan dijelaskan tahapan yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam penerapan
kebijakan Redenominasi selama 10 tahun, berikut adalah tahapannya :
A. Tahapan dalam redenominasi di Indonesia
Dalam melaksanakan redenominasi, maka diperlukan beberapa tahapan. Bank Indonesia
(BI) mengakui jika penerapan redenominasi tidaklah mudah sehingga harus melalui proses.
BI telah menyiapkan tahapan-tahapan penyederhanaan nilai mata uang rupiah atau
redenominasi ini mulai 2011-2020 :
1. Tahun 2010
Pada tahun ini pertama kali wacana redenominasi muncul. Gubernur Bank Indonesia,
Darmin Nasution menyatakan akan menghilangkan tiga angka nol di belakang rupiah.
Langkah ini untuk menyederhanakan penyebutan satuan harga atau nilai rupiah
2. Tahun 2011-2012
Bank Indonesia mulai melakukan pembahasan dengan pemerintah perihal rencana
redenominasi. Hasilnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk Wakil
Presiden Boediono sebagai Ketua Tim Koordinasi Redenominasi. Periode ini juga
sebagai masa sosialisasi.BI juga menyiapkan berbagai macam hal seperti menyangkut
akuntansi, pencatatan, sistem informasi. Tahapan penyusunan rancangan undangundang (RUU), rencana percetakan uang dan distribusinya juga sudah mulai
berlangsung
3. Tahun 2013-2015
Periode ini merupakan masa transisi. Kementerian Keuangan bersama Bank Indonesia
pada 23 Januari 2013, resmi menggelar serangkaian sosialisasi rencana redenominasi.
Tujuannya untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa redominasi
bukanlah pemangkasan nilai mata uang (sanering) tapi penyederhanaan dengan
menghilangkan beberapa nol. Pada masa ini akan ada dua jenis mata uang, yakni
pecahan lama dan pecahan baru pascaredenominasi. Hal ini bertujuan membiasakan
masyarakat dalam penggunaan mata uang baru nantinya baik dalam pembayaran
maupun pengembalian transaksi.Sebagai contoh, harga produk senilai Rp 10.000
akan ditulis dalam dua
4. Tahun 2016-2018
Pada periode ini, pemerintah menargetkan uang saat ini (rupiah lama) akan benar-benar
tak beredar lagi. BI akan melakukan penarikan uang lama secara perlahan pada masa
transisi.
7

5. Tahun 2019-2020
Pelaksanaan redenominasi mulai terjadi. Tahapan ini disebut phasing out, yakni saat
dilakukan pengembalian mata uang rupiah dengan kata baru menjadirupiah. BI
akanmenyebarkan pengunaan mata uang baru sebagai pengganti uang lama.
Secara lebih jelas, untuk tahapan pelaksaan redenominasi nilai rupiah di Indonesia dapat
digambarkan sebagai berikut :
Tahapan Kegiatan Redenominasi Nilai Rupiah di Indonesia

Sumber : Bank Indonesia, Materi Konsultasi Publik Perubahan Harga Rupiah (2013)

B. Inflasi dan Redenominasi


Inflasi adalah kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan terus menerus. Laju
inflasi merupakan gambaran harga-harga. Kenaikan harga ini diukur dengan menggunakan
indeks harga. Harga yang mebumbung tinggi tergambar dalam inflasi yang tinggi dan harga yang
relatif stabil tergambar dalam angka inflasi yang rendah. Beberapa indeks harga yang sering
digunakan untuk mengukur inflasi antara lain :
1. Indeks biaya hidup (Consumer price index)
2. Indeks harga perdagangan besar (Wholesale price index)
3. GNP deflator
Laju inflasi dapat berbeda antara satu negara dengan negara lain atau dalam satu negara
untuk waktu yang berbeda. Atas dasar besarnya laju inflasi, maka inflasi dapat dibagi ke dalam
tiga kategori, yaitu merayap (creeping inflation), inflasi menengah (galloping inflation), dan
inflasi tinggi (hyper inflation).
8

Creeping inflation biasanya ditandai dengan laju inflasi yang rendah (kurang dari 10% per
tahun). Inflasi menengah (galloping inflation) ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar
(biasanya double digit atau bahkan triple digit) dan kadang-kala berjalan dalam waktu yang
relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi, artinya harga-harga pada minggu/bulan ini lebih
tinggi dari minggu/bulan lalu dan seterusnya. Efek inflasi menengah lebih berat daripada inflasi
merayap.
Inflasi tinggi (Hyper inflation) merupakan inflasi yang paling parah, akibatnya harga-harga
naik sampai 5 atua 6 kali lipat. Nilai uang merosot dengan tajam sehingga ingin ditukarkan
dengan barang. Perputaran uang makin cepat, harga naik secara akselerasi. Biasanya keadaan ini
timbul apabila pemerintah mengalami defisit anggaran belanja.
berdasarkan faktor-faktor yang menimbulkannya, inflasi dapat dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu inflasi tarikan permintaan dan ifnlasi desakan biaya. Inflasi tarikan permintaan terjadi
apabila sektor perusahaan tidak mampu dengan cepat melayani permintaan masyarakat yang
wujud dalam pasaran. Masalah kekurangan barang akan berlaku dan ini akan mendorong kepada
kenaikan harga-harga. Inflasi tarikan permintaan biasnya berlaku pada ketika perekonomian
mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja penuh dan pertumbuhan ekonomi berjalan dengan
pesat. Dalam periode seperti ini permintaan masyarakat bertambah dengan pesat dan perusahaanperusahaan pada umumnya akan beroperasi pada kapasitasnya yang maksimal. Kelebihankelebihan permintaan yang masih wujud akan menimbulkan kenaikan harga-harga.
Inflasi desakan biaya adalah masalah kenaikan harga-harga dalam perekonomian yang
diakibatkan oleh kenaikan biaya produksi. Pertambahan biaya produksi akan mendorong
perusahaan menaikkan harga, walalupunmereka harus mengambil resiko akan menghadapi
pengurangan dalam permintaan barang-barang yang diproduksinya.
Sampai pada tingakt tertentu, inflasi dibutuhkan untuk memciu pertumbuhan penawaran
agregat sebab kenaikan harga akan memacu produsen untuk meningkatkan outputnya.
Kendatipun belum dapat dibuktikan secara matematis, umumnya ekonom sepakat bahwa inflasi
yang aman adalah sekitar 5% per tahun. Jika terpaksa, maksimal 10%, umumnya sudah mulai
sangat menggangu stabilitas ekonomi. Apalagi bila yang terjadi adalah hiperinflasi, yaitu inflasi
yang >100% perhaun.
Ada beberapa masalah sosial (biaya sosial) yang muncul dari inflasi yang tinggi, yaitu
menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat, memburuknya distribusi pendapatan dan terganggunya
stabilitas ekonomi
Di bidang moneter, laju inflasi yang tinggidan tidak terkendali dapat menganggu upaya
perbankan dalam pengerahan dana masyarakat. Hal ini dikarenakan tingkat inflasi yang tinggi
menyebabkan tingkat suku bunga riil menjadi menurun. Fakta demikian akan mengurangi hasrat
masyarakat untuk menabung sehingga pertumbuhan dana perbankan yang bersumber dari
masyarakat akan menurun. Disamping itu, suku bunga riil yang relatif rendah dibandingkan
dengan suku bunga riil di luar negeri dapat menimbulkan pengaliran mdoal ke luar negeri.
Masyarakat akan menyimpan uangnya di luar negeri. Laju inflasi yang sangat tinggi akan
menimbulkan ketidakpastian dalam berusaha sehingga akan menganggu kegiatan operasional
perbankan seperti pembuatan anggaran belanja dan perencanaan kredit yang akan mempengaruhi
keadaan keuangan bank-bank.

Dalam kaitannya dengan redenominasi, salah satu syarat diberlakukannya redenominasi


adalah inflasi yang terjaga rendah. Tabel berikut memperlihatkan tingkat inflasi di Indonesia
selama sepuluh tahun terakhir.
Tingkat Inflasi Indonesia selama sepuluh tahun terakhir

Tahun Tingkat
Inflasi
2005
17,
11
2006
6,60
2007
2008
6,5
2009
9
11,
2010
06
2011
2,78
2012
6,9
2013
6
2014
Sumber : Website Bank Indonesia3,7
(BI) 2015 : Data diolah

Jika diperhatikan perkembangan tingkat inflasi di Indonesia selama 10 tahun terakhir, maka
dapat dikatakan stabil, dimana inflasi rata-rata berada pada tingkat yang rendah ( <10% per
tahun) walaupun paada tahun 2005 dan tahun 2008 inflasi di Indonesia berada pada tingkat
menengah. Hal ini dikarekana pada tahun 2005 dan tahun 2008 terjadi kenaikan harga minyak
dunia, hal ini mengharuskan pemerintah Indonesia menaikkan harga bahan bakar minyak
(BBM).
Kenaikan harga BBM menyebabkan kenaikan harga barang-barang secara umum, sehingga
inflasi di Indonesia pada tahun 2005 dan 2008 berada pada tingkat keparahan yang
sedang/menengah. Akantetapi jika dilihat dari lima tahun terakhir, maka dapat dikatakan inflasi
relatif rendah. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong bagi pemerintah untuk
melakukan redenominasi nilai rupiah, karena inflasi yang rendah dan terjaga merupakan salah
satu syarat untuk diberlakukannya redenominasi.

C. Redenominasi dan Stabilitas Ekonomi


Kondisi ekonomi yang stabil juga merupakan persyaratan dalam pelaksanaan redenominasi.
Hal inidapat dilihat pada Produk Domestik Bruto (PDB) dan pertumbuhan Ekonomi dalam
beberapa tahun terakhir. Produk Domestik Bruto sering dianggap sebagai ukuran terbaikdari
kinerja perekonomian. PDB dapat diartikan sebagai nilai barang-barang dan jasa-jasa yang
diproduksikan di dalam negara tersebut dalam satu tahun tertentu. PDB dianggap sebagai
indikator luas untuk output dan pertumbuhan ekonomi. Berikut adalah nilai Produk Domestik
Bruto (PDB Indonesia selama sepuluh tahun terakhir (tahun 2004-2013).

Nilai Produk Domestik Bruto Berdasarkan Harga Berlaku dan Harga Konstan Tahun 2004 2013
(dalam miliar rupiah)

10

Tahu
n

PDB
PDB Atas
Atas
dasar
Dasar
Harga
Harga
Konsta
2004 2.295.826 1.656.516
2005 ,20
2.774.281 ,80
1.750.815
,10
,20
2006 3.339.216
1.847.126
,80
,70
2007 3.950.893
1.964.327
,20
2008 4.948.688 ,30
2.082.456
,40
,10
2009 5.606.203
2.178.850
,40
,40
2010 6.446.851
2.314.458
,90
,80
2011 7.419.187
2.464.566
,10
,10
2012 8.229.439
2.618.938
,40
2013 9.083.972 ,40
2.770.345
Sumber : Website Badan Pusat Statistik (2014) : Data diolah

Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa selama sepuluh tahun terakhir nilai PDB Indonesia
mengalami kenaikan, yang berarti nilai barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam
perekonomian Indonesia selalu mengalami kenaikan.
Hal ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang secara lebih jelas dapat dilihat
pada tabel dibawah ini.
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2006-2013

Tahun

Pertumbuhan

200
6
200
7
200
8
200
9
201
0
201
1
201
2
201
3

(%)
5,
5
6,
3
6,
0
4,
6
6,
1
6,
5
6,
3
5,
8

Ekonomi

Sumber : Website Badan Pusat Statistik (2014) : Data diolah


Jika dilihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia selama beberapa tahun terakhir, khususnya
tahun 2006-2013, maka dapat dikatakan pertumbuhan ekonomi relatif stabil. Jadi stabilitas
ekonomi Indonesia yang stabil ini juga merupakan salah satu pertimbangan pemerintah untuk
dapat melaksanakan redenominasi nilai rupiah.

3. Urgensi Redenominasi (Perlu-kah atau Tidak)

11

Jika dilihat dari syarat bagi suatu negara untuk melakukan redenominasi, memang pada saat
ini Indonesia dapat melakukan redenominasi nilai rupiah. Hal inidapat dilihat dari tingkat inflasi
Indonesia yang relatif rendah selama sepuluh tahun terakhir terutama tingkat inflasi lima tahun
terakhir. Selain itu perekonomian Indonesia juga relatif stabil.
Namun seberapa pentingkah redenominasi nilai rupiah harus dilakukan? Penelitian dari
M.Rival dengan judul Pendapat Pedagang Besar di Banjarmasin Tentang Redenominasi
menjelaskan bahwa dari total keseluruhan responden, 40% responden menyatakan setuju dengan
pelaksanaan redenominasi dan sisanya sebesar 60% responden menyatakan tidak setuju dan
netral.
Bagi responden yang setuju, mereka menganggap dengan adanya redenominasi akan
mempermudah proses pencatatan dalam akuntansi dan mempermudah penghitungan. Namun,
baig mereka yang tidak setuju menganggap redenominasi hanyalah merupakan upaya pencitraan
bagi pemerintah Indonesia.
Jika dilihat dari efisien atua tidaknya maka dapat dikatakan untuk sekarang ini hal tersebut
perlu dilakukan. Hal ini dapat dilihat dengan transaksi ekonomi yang terus meningkat di
masyarakat. Dengan menggunakan pecahan mata uang yang sekarang, amak jika menggunakan
uang cash untuk pembelian suatu barang, misalnya mobil maka diperlukan uang yang sangat
banyak dari segi nominalnya. Hal ini tentu sangat berbeda dengan negara-negara yang nominal
mata uangnya sedikit.
Begitu pula dengan transaksi di pusat perbelanjaan ataupun perbankan, maka hal ini juga
akan mempengaruhi proses pencatatan. Hal ini dikarenakan, sistem yang digunakan tentunya
mempunyai keterbatasan. Begitu pula dengan wisatawan yang berkunjung ke Indonesia, atua
yang menetap sementara waktu, mereka akan menanggap untuk membeli suatu barang
diperlukan uang yang sangat banyak.
Namun untu ktujuan memperbaiki citra nilai rupiah, redenominasi tidak akan berpengaruh
dalam nilai tukar rupiah. Memagn nilai tukar rupiah khususnya terhadap US $ dianggap lemah,
yaitu Rp. 13.300 /US $ (Data juni 2014). Hal ini juga berlaku pada mata uang asing lainnya.
Akan tetapi redenominasi tidak bisa memperbaiki citra rupiah jika tidak dibarengi dengan inflasi
yang rendah. Jadi, pada intinya penanganan inflasi lah yang menjadi faktor utama dala
mperekonomian suatu negara.
Selain itu, perlu diperhitungkan pula dampak yang akan terjadi jika kebijakan redenominasi
dilaksanakan, jangan sampai nantinya Indonesia menjadi negara yang gagal dalam melaksanakan
redenominasi. Jika terjadi kegagalan dalam pelaksanaan redenominasi maka kemungkinan besar
yang akan dihadapi adalah inflasi yang tidak terkendalikan dan juga akan terjadi ketidakstabilan
perekonomian.
Jadi sebelum kebijakan redenominasi dilaksanakan, maka seharusnya pemerintah
memperhitungkan untung dan ruginya, jangan sampai kebijakan ini akan menyusahkan
masyarakat terutama masyarakat dari sisi keuangannya masih rendah. Disamping itu perlu
adanya kesiapan dari masyarakat terutama jangan sampai masyarakat menganggap redenominasi
sama saja dengan sanering, dan jangan sampai dengan penyederhanaan mata uang tersebutm
emberikan persepsi masyarakat bahwa harga barang menjadi murah. Jika hal itu terjadi maka

12

akan terjadi lonjakan permintaan barang, sedangkan produsen tidak mampu untuk memenuhi
semua kebutuhan konsumen sehingga inflasi semakin sulit untuk dikendalikan.
Kesiapan dalam menghadapi redenominasi tentunya sangat diperlukan pihak-pihak
perbankan, industri dan semua instansi yang sangat vital dalam transaksi
keuangan,karenajikatidak siap dalam menghadapi redenominasi, maka bisa terjadi kekacauan
dalam proses pencatatan transaksi/pembukuan. Perlu adanya panduan dalam mengkonfigurasi
sistem mesin yang dipergunakan untuk menyesuaikan dengan denominasi rupiah yang baru,
misalnya penyesuaian pada mesin ATM, penyesuaian pada mesin kasir ditoko-toko, penyesuaian
pada mesin argometer taksi, penyesuaian pada literan otomatis di SPBU dan lain sebagainya.
Begitu pula dengan kesiapan pemerintah, terutama dalam pengalihan uang lama ke uang
dengan nominal yang baru. Tentunya pencetakan uang yang baru akan membutuhkan biaya yang
sangat banyak. Jadi pada intinya suksesnya kebijakan redenominasi tergantung pada pemilihan
waktu yang tepat dalam pelaksanannya.
Jika dilihat dari berbagai aspek seperti banyaknya biaya yang harus dikeluarkan oleh
pemerintah dalam persiapan redenominasi, inflasi yang dalam beberapa tahun terakhir masih
dalam batas yang relatif rendah, kestabilan ekonomi serta dampak yang tidak terlalu berpengaruh
terhadap nilai tukar rupiah, maka redenominasi masih belumterlalu penting untuk dilaksanakan.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Kebijakan redenominasi meningkatkan harga pada saat pertumbuhan ekonomi rendah dan
sebaliknya pada saat pertumbuhan ekonomi tinggi redenominasi menurunkan harga untuk barang
13

elastis. sedangkan menurut penelitian yang dilakukan pada kondisi inflasi tinggi oleh Arimurti
(2013), barang elastis mengalami penurunan harga pada saat pertumbuhan rendah dan kenaikan
harga pada saat pertumbuhan tinggi.
Kebijakan redenominasi meningkatkan jumlah transaksi untu kbarang elastis dan
menurunkan jumlah transaksi untuk barang inelastis. Sedangkan menurut penelitian oleh
Arimurti sebelumnya, jumlah transaksi tidak mengalami perubahan pada barang elastis dan
mengalami penurunan pada barang inelastis.
Kebijakan redenominasi juga meningkatkan nilai transaksi pada barang elastis dan
menurunkan nilai transaksi pada barang inelastis. Sedangkan menurut penelitian oleh Arimurti
sebelumnya, nilai transaksi juga mengalami peningkatan pada barang elastis dan juga
menurunkan nilai transaksi pada barang inelastis.
Pada dasarnya, dilihat dari beberapa aspek kebijakan redenominasi nilai rupiah di Indonesia
sudah dapat dilaksanakan, akan tetapi dalam prosesnya diperlukan banyak persipaan dari
pemerintah yang tentunya memerlukan biaya yang sangat banyak serta kesiapan masyarakat
untuk menghadapi redenominasi tersebut, jangan sampai kebijakan ini akan membuat
masyarakat tambah mengalami kesusahan khususnya masyarakat yang masih mempunyai
pendapatan rendah.
Kebijakan redenominasi harus didukung oleh sosialisasi kepada publik, pembangunan
stabilitas perekonomian, serta penciptaan trust di masyarakat terhadap pemerintah terkait dengan
mekanisme penciptaan uang. Hal ini harus dilakukan agar kebijakan redenominasi dapat
berhasil.
Dalam hal ini pemerintah harus menghitung kembali untung dan ruginya melaksanakan
redenominasi nilai rupiah. Jika redenominasi akan memberikan lebih banyak kerugian maka
kebijakan redenominasi belum tepat untuk dilaksanakan dalam waktu yang dekat.

2. Saran
Kebijakan redenominasi ini sebaiknya dilakukan dalam kondisi perekonomian yang bagus,
yaitu pada saat pertumbuhan ekonomi tinggi dan cenderung stabil. Kebijakan redenominasi ini
harus lepas dari kepentingan-kepentingan politik tertentu agar kebijakan ini dapat berjalan
optimal.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Ada 5 negara yang Gagal Terapkan Redenominasi, http://bisniskeuangan.kompas.com,
diakses tanggal 15 Juni 2015
14

Anonim, Sanering. www.jakarta.go.id, diakses tanggal 15 Juni 2015


Arimurti RP. 2013, Analisis Pengaruh Kebijakan Redenominasi Terhadap Permintaan
Konsumen Dalam Kondisi Ekonomi Dengan Tingkat Inflasi Tinggi [Skripsi]. Bogor, Institut
Pertanian Bogor (IPB).
Juanda, Bambang. 2013, Kebijakan Redenominasi Rupiah dan Dampaknya Terhadap
Perekonomian Indonesia, Ilmu Ekonomi, Institu Pertanian Bogor (IPB).
Mahardika, Harryadin dkk. 2013, Dampak Redenominasi Rupiah Terhadap Konsumen,
(Research & Policy Insight FE UI No. 1). http://www.fe.ui.ac.id, Diakses tanggal 15 Juni 2015
Mankiw, N. Gregory. 2003, Teori Makroekonomi (Terjemahan oleh Imam Nurmawan,S.E dan
Wisnu C. Kristiaji, S.E), Erlangga, Jakarta
Mishkin, Frederic S. 2009, Ekonomi Uang, Perbankan dan Pasar Keuangan (Terjemahan The
Economic Money, Banking and Financial Markets) oleh Lana Soelistiyaningsih dan Beta
Yulianita G, Salemba empat, Jakarta
Purnomo, Hendaru, Ini Dia Negara-negara Yang Sukses Terapkan Redenominasi Mata Uang,
http://finance.detik.com, diakses tanggal 15 Juni 2015
Siaran Pers Bersama Kementrian Keuangan Bank Indonesia. 2013, Kebijakan Redenominasi
bukan Sanering,

15

Anda mungkin juga menyukai