Anda di halaman 1dari 32

CASE REPORT

SEORANG LAKI-LAKI USIA 42 TAHUN DENGAN


EPISTAKSIS ET CAUSA HIPERTENSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Ilmu
Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing:
KRH. dr. H. Djoko Sindhusakti Widyodiningrat, Sp. THT-KL (K), MBA., MARS., M.Si,
Audiologist
DR.dr. H. Iwan Setiawan Adji, Sp.THT-KL

Diajukan Oleh:
Rahma Lionita L, S.Ked
J 510 155 092

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015

CASE REPORT

EPISTAKSIS
Diajukan Oleh:
Rahma Lionita L

J510155092

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari

,tanggal

Pembimbing
KRH. dr. H. Djoko Sindhusakti Widyodiningrat,

(.................................)

Sp. THT-KL (K), MBA., MARS., M.Si, Audiologist

Pembimbing
DR.dr. H. Iwan Setiawan Adji, Sp.THT-KL

(.................................)

Disahkan Ketua Program Profesi :


dr.Dona Dewi Nirlawati

(.................................)

BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien

: Bp. S

Umur

: 42 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Kebak Kramat

Status Perkawinan

: Sudah Menikah

Agama

: Islam

Tanggal Pemeriksaan

: 2 Oktober 2015

No.RM

: 348977

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan di bangsal Kanthil 2 RSUD Karanganyar pada tanggal 2 Oktober
2015.

Keluhan Utama : Keluar darah dari hidung sebelah kanan

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUD Karanganyar dengan keluhan keluar darah dari
lubang hidung sebelah kanan sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Darah yang
keluar berwarna merah segar, perdarahan yang terjadi secara spontan, sulit berhenti,
kira-kira perdarahannya terjadi sekitar 10 menitan, darah juga dirasa mengalir ke
tenggorokan, dan berulang lebih dari 3 kali. Total darah yang keluar gelas
belimbing. Darah tidak berhenti keluar walaupun pasien sudah memencet hidungnya.
Pasien mengaku tidak pernah mengalami trauma benturan maupun mengorekngorek hidung. Pasien merasakan badan pasien lemas, pusing cekot-cekot setelah
mimisan. Selain itu, pasien juga mengeluh leher terasa cengeng, mual(-), dan muntah
(-). Keluhan pilek, hidung tersumbat, rasa gatal atau panas pada hidung serta
perdarahan pada bagian tubuh lain tidak dikeluhkan oleh pasien.

Pasien tidak mengekuhkan nyeri telinga, telinga berdenging disangkal,


penurunan pendengaran disangkal, telinga gatal disangkal, telinga terasa penuh
disangkal, keluar cairan dari telinga disangkal.
Keluhan lain seperti batuk, nyeri tenggorok, nyeri telan, sulit menelan, rasa gatal
ditenggorokan, rasa mengganjal ditenggorokan dan sakit gigi juga disangkal oleh
pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat keluhan serupa sebelumnya

: diakui (sekitar 3 bulan yang lalu)

Riwayat batuk pilek sebelumnya

: disangkal

Riwayat Hipertensi

: disangkal (pasien tidak pernah


memeriksakan diri)

Riwayat DM

: disangkal

Riwayat Alergi

: disangkal

Riwayat Asma

: disangkal

Riwayat Kejang waktu kecil

: disangkal

Riwayat trauma

: disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa sebelumnya

: disangkal

Riwayat Hipertensi

: disangkal

Riwayat DM

: disangkal

Riwayat Alergi

: disangkal

Riwayat Asma

: disangkal

Riwayat Kejang waktu kecil

: disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Generalis :
1. Keadaan Umum : Tampak Lemas
2. Kesadaran

: Compos Mentis

3. Tinggi Badan

: 165 cm

4. Berat Badan

: - kg.

5. Vital Sign
Tekanan Darah

: 180/100

Nadi

: 90x/menit

Respirasi

: 24x/menit

Suhu

: 36,8

Kepala

: Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)

Leher

: Deviasi trachea (-), peningkatan JVP (-), pembesaran kelenjar


limfe (-), palpasi nyeri tekan

Abdomen

: Simetris, distended (-), bekas operasi (-)

Ekstremitas

: Edema (-)

Thorax
Paru
Inspeksi

Hasil pemeriksaan
Dada kanan dan kiri simetris, tidak ada ketinggalan
gerak, pelebaran costa (-), retraksi (-), bentuk dada

Palpasi

normal
Tidak ada nafas yang tertinggal, Fremitus dada

Perkusi
Auskultasi

kanan dan kiri sama


Sonor (+/+)
Terdengar suara dasar vesikuler (+/+), Wheezing
(-/-), Ronkhi (-/-)

Jantung
Inspeksi

Hasil pemeriksaan
Dinding dada pada daerah pericordium tidak
cembung / cekung, tidak ada memar maupun

Palpasi
Perkusi

sianosis, ictus cordis tidak tampak


Ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V linea
mid clavicula sinistra
Bunyi : redup
Batas Jantung :
Batas Kiri Jantung
^ Atas : SIC II di sisi lateral linea parasternalis
sinistra.

^ Bawah : SIC V linea midclavicularis sinistra


Batas Kanan Jantung
^ Atas : SIC II linea parasternalis dextra
Auskultasi

^ Bawah : SIC IV linea parasternalis dextra


HR= 90 x/menit BJ I/II murni reguler, bising systole
(-), gallop (-)

B. Status Lokalis:
1. Pemeriksaan Rongga Mulut dan Faring
a. Inspeksi : Mukosa faring hiperemis (-), granulasi (-), palatum mole dalam
batas normal, tonsil T1-T1, tonsil hiperemi (-), kripte melebar (-), detritus (-),
perlengkatan (-), uvula letak ditengah, gigi caries(-).
b. Palpasi : limfadenopati (-), nyeri tekan (-)
2. Pemeriksaan Hipofaring dan Laring
Laringoskopi Indirect:
-

Epiglotis

: dalam batas normal

Aritenoid

: dalam batas normal

Gerak plika vokalis

: dalam batas normal

Tumor

: tidak ada

3. Pemeriksaan Telinga
Inspeksi
-

Telinga Kanan : Bentuk telinga normal, deformitas (-), bekas luka (-),
bengkak (-), hiperemis (-), sekret (-)

Telinga Kiri : Bentuk telinga normal, deformitas (-), bekas luka (-), bengkak
(-), hiperemis (-), sekret (-)

Palpasi
-

AD : Tragus pain (-), manipulasi auricula tidak sakit

AS : Tragus pain (-), manipulasi auricula tidak saki

Otoskopi:
Teliga Kanan : CAE udem (-), hiperemis (-), serumen minimal, membran timpani
utuh, disc (-)

Telinga Kiri : CAE udem (-), hiperemis (-), serumen minimal, membran timpani
utuh, disc (-)
Telinga Kanan
Tes Rinne : AD/AS (+/+)
Tes Weber : tidak ada lateralisasi

Telinga Kiri
Tes Rinne : AD/AS (+/+)
Tes Weber : tidak ada

Tes Swabach : sama dengan

lateralisasi
Tes Swabach : sama dengan

pemeriksa
pemeriksa
Kesimpulan : Tidak ada kelainan pendengaran
4. Pemeriksaan Hidung
a. Inspeksi : deformitas (-), bekas luka (-), sekret (-), edema(-)
b. Palpasi : Krepitasi (-), nyeri tekan (-)
c. Rinoskopi Anterior :
-

ND: Kavum nasi lapang (+), sekret darah mengalir (+), sumber
perdarahan sulit dievaluasi, mukosa hiperemis (+), concha media dan
inferior hipertrofi (-), septum deviasi (-), discharge (-), udem (-), masa di
rongga hidung (-).

NS: Kavum nasi lapang (+), mukosa hiperemis (-), concha media dan
inferior hipertrofi (-), concha inferior hiperemis (-), septum deviasi (-),
udem (-), massa dirongga hidung (-)

d. Rinoskopi Posterior
-

Dinding belakang

: tidak ada kelainan

Muara tuba eustachii

: tidak ada kelainan

Adenoid

: tidak ada kelainan

Tumor

: tidak ada

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
2 Oktober 2015

Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
MPV
PDW
INDEX
MCV
MCH
MCHC
HITUNG JENIS
Limfosit%
Monosit%
Eosinofil%
Basofil%
Gran%
GULA DARAH
Glukosa Darah

Hasil

Nilai Rujukan

Satuan

9,2 (L)
28,5 (L)
9,58
269
3,89
7,7
15,3

14,00 18,00
42,00 52,00
5-10
150-300
4,50 5,50
6,5 12,00
9,0 17,0

g/dl
%
103/ ul
103/ ul
103/ ul
fL

71,6 (L)
23,1 (L)
32,3

82,0 92,0
27,0 31,0
32,0 37,0

fL
Pg
g/dl

26,8
2,5 (L)
1,1
0,6
57,7

25,0 40,0
3,0 9,0
0,5 5,0
0,0 1,0
50,0 70,0

%
%
%
%
%

84

70-150

mg/dl

Sewaktu

Endoskopi

Dari hasil endoskopi di dapatkan sumber perdarahan berasal dari a.spenopalatina


D. DIAGNOSIS KLINIS

10

Epistaksis Posterior et causa Hipertensi stage II


E. TATALAKSANA
1. Tindakan penghentian perdarahan: tampon perdarahan
2. Medikamentosa
-

Inf. RL 20 tpm

Inj. Ranitidin 1 amp

Inj. Asam traneksamat 500mg/ 12 jam

Inj. Norages 1amp

Amlodipin 1x10mg

Captopril 2x25mg

/ 12 jam
/ 8 jam

Observasi KU dan Vital sign serta epistaksis berulang


F. PROGNOSIS
Ad vitam

: Ad bonam

Ad sanationam

: Dubia ad bonam

Ad fungtionam

: Ad bonam

BAB II

11

TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi dan Perdarahan Hidung
a. Hidung luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan puncak di bagian atas dan dasar di bawah.
Bagian-bagiannya yaitu (Soetjipto dkk, 2007):

Pangkal hidung (nasal bridge)

Batang hidung (dorsum nasi)

Puncak hidung (tip)

Ala nasi

Kolumela

Lubang hidung (nares anterior)

Gambar 1. Anatomi hidung luar

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan kartilago yang dilapisi kulit,
jaringan ikat, dan otot-otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Bagian 1/3 atas hidung luar merupakan kerangka
tulang yang terdiri dari dua tulang hidung (os. nasal) yang bertemu di bagian tengah

12

dan bertumpu pada prosesus nasalis dari tulang frontalis yang juga bertumpu pada
prosesus frontalis dari tulang maksila (Soetjipto dkk, 2007).
Bagian 2/3 bawah merupakan kerangka kartilago yang terdiri dari kartilago
lateralis atas dan bawah.(kartilago alar), kartilago lesser alar (sesamoid), dan kartilago
septum. Kartilago lateralis atas membentang dari batas bawah kerangka tulang hingga
kartilago alar di bagian bawah. Keduanya berfusi dengan batas atas kartilago septum
di bagian tengah. Masing-masing kartilago alar berbentuk U, dengan krus lateral yang
membentuk ala nasi, dan krus medial yang berjalan sepanjang kolumela. Terdapat 2-4
kartilago lesser alar yang masing-masing dihubungkan oleh perichondrium dan
periosteum, dan terletak di lateral dari kartilago alar. Kartilago septum terbentang dari
batas bawah kerangka tulang hingga ke puncak hidung (tip). Ia berfungsi sebagai
penyangga kerangka kartilago dari dorsum nasi (Soetjipto dkk, 2007).

Gambar 2. Kerangka tulang dan kartilago hidung

b. Hidung dalam
Hidung dalam dibagi menjadi 2 kavum oleh septum nasal. Masing-masing
kavum berhubungan dengan lingkungan melalui nares di bagian anterior dan
berhubungan dengan nasofaring melalui koana di bagian posterior. Tepat di belakang
nares, terdapat area berlapiskan kulit yang dinamai vestibulum yang mengandung
banyak kelenjar sebaseus dan bulu hidung atau vibrise. Bersambung ke belakang, area
berlapiskan mukosa yaitu kavum nasi.

13

Tiap kavum nasi memiliki 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior, dan superior. Pada dinding lateral terdapat 3 buah konkha atau turbinatum
yaitu proyeksi tulang berbentuk gulungan ke arah medial dilapisi oleh membran
mukosa. Ruang dibawah setiap konkha dinamakan meatus.
i.

Konkha Inferior
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os. Maksila
dan labirin etmoid. Di bagian bawahnya terdapat meatus inferior yang merupakan
muara dari saluran nasolakrimalis yang dijaga pada ujungnya oleh katup mukosa,
katup Hasner.

ii.

Konkha Media
Konka media merupakan bagian dari tulang etmoid, dan menempel ke dinding

lateral hidung oleh lamella tulang dinamakan lamella basal. Di bagian bawah terdapat
meatus media, yang merupakan muara dari sinus frontal, sinus maksila, dan sinus
etmoid anterior (Soetjipto dkk, 2007).
iii.

Konkha Superior
Konka superior juga masi merupakan bagian dari tulang etmoid, dan terletak

di posterosuperior dari konka media. Di bagian bawah terdapat meatus superior yang
merupakan muara dari sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

14

Gambar 3. Dinding lateral kavum nasi

c. Perdarahan hidung
Kedua sistem arteri karotis eksterna dan interna mendarahi hidung, baik
septum dan dinding lateral. Arteri karotis interna bercabang menjadi arteri oftalmika
yang kemudian bercabang lagi menjadi arteri etmoidalis anterior dan posterior.
Cabang etmoidalis anterior dan posterior menyuplai sinus palatina mayor menyuplai
sinus frontalis dan etmoidalis serta atap hidung. Sedangkan arteri sfenopalatina dan
arteri palatina mayor merupakan cabang terminal dari arteri karotis eksterna yang
menyuplai darah pada konka, meatus dan septum nasalis (Soetjipto dkk, 2007).
Pada bagian depan septum, terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina,
a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor yang disebut pleksus
Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach terletak superfisial sehingga mudah
cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis pada anak.

15

Tabel 1. Perdarahan pada septum dan dinding lateral kavum nasi


Sistem arteri karotis
Septum
Dinding lateral
Interna
Cabang dari a. ophtalmika: Cabang dari a. ophtalmika:
- A. etmoid anterior
Eksterna

- A. etmoid anterior

- A. etmoid posterior
- A. etmoid posterior
- A. sfenopalatina, cabang cabang
nasal
dari a. maksilaris

posterolateral

dari

a.

- Cabang septal dari a. sfenopalatina


palatina mayor (cabang a. - A. palatina mayor dari a.
maksilaris)

maksilaris

- Cabang septal dari a. - Cabang nasal dari dental


labial superior (cabang a. anterosuperior dari cabang
fasial)

infraorbital

dari

a.

maksilaris
- Cabang dari a. fascialis
ke vestibulum nasal

16

Gambar 4. Perdarahan pada septum2

17

Gambar 5. Perdarahan pada dinding lateral kavum nasi

d. Persarafan hidung
i.

Nervus Olfaktorius (CN I)


Saraf ini membawa sensasi bau dan menyuplai daerah olfaktorius dari
hidung. Ia merupakan filamen-filamen sentral dari sel-sel olfaktorius dan tersusun
sebanyak 12-20 buah yang turun melalui lamina kribriformis dan berakhir pada
bulbus olfaktorius. Saraf ini dapat membawa lapisan duramater, arachnoid dan

18

piamater ke rongga hidung sehingga cedera pada saraf ini dapat menimbulkan
kebocoran pada ruang cairan serebrospinal sehinga menyebabkan rinorrea cairan
serebrospinal dan meningitis.
ii.

Persarafan sensoris
-

N. Etmoidalis anterior

Cabang-cabang dari ganglion sfenopalatina

Cabang-cabang dari nervus infraorbita


Sebagian besar yaitu 2/3 bagian posterior hidung baik dinding lateral dan

septum dipersarafi oleh cabang-cabang dari ganglion sfenopalatina. Saraf ini dapat
diblok dengan meletakkan kapas yang direndam larutan anestesi di dekat foramen
sfenopalatina, di belakang konka media. Saraf etmoidalis anterior mempersarafi
bagian superior dan anterior rongga hidung baik dinding lateral dan septum yang
dapat diblok dengan meletakkan kasa tinggi ke dalam tulang hidung tempat
masuknya saraf tersebut.
iii.

Persarafan otonom
Serat-serat saraf parasimpatis mempersarafi kelenjar-kelenjar di hidung
dan mengontrol sekresi hidung. Mereka berasal dari n. petrosal superfisial mayor,
berjalan dalam saraf dari kanal pterygoid (n. vidian) dan mencapai ganglion
sfenopalatina hingga kavum nasi. Mereka juga menyuplai pembuluh darah dari
hidung dan menyebabkan vasodilatasi.
Serat-serat saraf simpatis berasal dari korda spinalis dari 2 segmen thoraks
atas, berjalan melalui ganglion servikal superior, ke dalam n. petrosal dan
bergabung dengan serat saraf parasimpatis dan kemudian membentuk saraf dari
kanal pterygoid (n. vidian). Meraka mencapai kavum nasi tanpa masuk ke dalam

19

ganglion sfenopalatina. Mereka mengkonstriksikan pembuluh darah. Rinorrea


eksesif pada kasus rhinitis vasomotor dan alergi dapat dikontrol oleh n. vidian.2

Gambar 6. Persafaran hidung

20

2. Epistaksis
A. Definisi
Istilah epistaksis adalah bahasa latin yang berasal dari bahasa Yunani,
epistazen (epi-diatas, stazein-menetes) (Sarhan dan Algamal, 2015). Epistaksis adalah
keluarnya darah dari hidung yang merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain,
penyebabnya bisa lokal maupun sistemik. Perdarahan bisa ringan sampai serius dan
bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber perdarahan biasanya berasal
dari bagian depan atau bagian belakang hidung (Mangunkusumo, 2007).
B. Epidemiologi
Epistaksis diperkirakan terjadi pada 7 14% populasi umum tiap tahun.
Prevalensi sebenarnya tidak diketahui disebabkan kebanyakan kasus dapat sembuh
sendiri dan tidak dilaporkan. Angka kejadian epistaksis meningkat pada anak-anak
umur dibawah 10 tahun, dan dewasa di atas 50 tahun. Laki-laki lebih sering
mengalami epistaksis dibanding wanita. Epistaksis anterior lebih sering terjadi pada
anak-anak dan dewasa muda, sedangkan epistaksis posterior lebih sering terjadi pada
usia yang lebih tua, terutama pada laki-laki dekade 50 dengan penyakit hipertensi dan
arteriosklerosis. Epistaksis lebih sering terjadi pada musim dingin. Hal ini mungkin
disebabkan peningkatan kejadian infeksi pernafasan atas dan udara yang lebih kering
akibat pemakaian pemanas. Epistaksis juga sering terjadi pada iklim yang panas
dengan kelembaban yang rendah. Pasien yang menderita alergi, inflamasi hidung, dan
penyakit sinus lebih rentan terjadi epistaksis karena mukosanya lebih mudah kering
dan hiperemis disebabkan reaksi inflamasi (Nguyen, 2015).
C. Klasifikasi
Epistaksis dibedakan menjadi 2 atas dasar sumber pendarahan, yaitu :

Epistaksis Anterior
Kebanyakan berasal dari Pleksus Kiesselbach di septum bagian anterior dan

merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai pada anak-anak. Bisa juga
berasal dari a. etmoidalis anterior. Perdarahan ini disebabkan karena keadaan mukosa
yang hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung. Perdarahan ini biasanya ringan tapi

21

sering berulang dan dapat berhenti sendiri (spontan) atau dikendalikan dengan
tindakan sederhana seperti memencet hidung (Mangunkusumo dan Wardani, 2007).

Epistaksis Posterior
Dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior.

Perdarahan cenderung lebih hebat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat
menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan
kelainan kardiovaskuler seperti hipertensi, atau arteriosklerosis (Mangunkusumo dan
Wardani, 2007).
D. Etiologi
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat ditelusuri penyebabnya.
Namun kadang-kadang jelas disebabkan oleh trauma. Perdarahan hidung diawali
dengan pecahnya pembuluh darah di selaput mukosa hidung. Sebanyak 80% kasus
perdarahan berasal dari pembuluh darah pleksus Kiesselbach (Mangunkusumo dan
Wardani, 2007).
Secara umum epistaksis dapat disebabkan oleh sebab-sebab lokal seperti
trauma, infeksi, neoplasma, kelainan kongenital dan bisa juga disebabkan oleh
keadaan umum atau kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah,
infeksi, perubahan tekanan atmosfir dan gangguan endokrin (Mangunkusumo dan
Wardani, 2007).
1. Lokal
a. Trauma
Biasanya karena usaha mengeluarkan sekret dengan menghembus kuat,
bersin terlalu sering, mengorek hidung, atau trauma seperti terpukul, operasi
intranasal, fraktur pada 1/3 wajah dan dasar tengkorak. Selain itu iritasi oleh gas
yang merangsang dan trauma pada pembedahan bisa juga menyebabkan
epistaksis.
b. Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, seperti rhinitis, sinusitis, serta
granuloma spesifik seperti tuberkulosis, sifilis, lepra, dan lupus dapat
menyebabkan epistaksis.

22

c. Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan
intermiten, kadang-kadang disertai mukus yang bernoda darah. Hemangioma,
karsinoma,dan angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.
d. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah
teleangiektasis hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic teleangiectasis
Oslers Disease). Pasien ini juga menderita teleangiektasis di tangan, wajah, atau
bahkan di traktus gastrointestinal atau di pembuluh darah paru.
e. Benda asing dan perforasi septum
Perforasi septum dan benda asing hidung dapat menjadi predisposisi
perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau
perforasi akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan
aliran sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha pelepasan krusta
dengan

jari

dapat

menimbulkan

trauma.

Pengeluaran

krusta

berulang

menyebabkan erosi membran mukosa septum yang menyebabkan perdarahan.


f. Faktor lingkungan
Misalnya tinggal di daerah tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan
udaranya sangat kering.
2. Sistemik
a. Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis, misalnya trombositopenia, hemofilia
dan leukemia. Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon
dapat pula mempredisposisi epistaksis berulang.
b. Penyakit kardiovaskular
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada arteriosklerosis,
nefritis kronis, sirosis hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan
epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan
prognosinya kurang baik.

23

c. Infeksi sistemik
Paling sering menyebabkan epistaksis adalah demam berdarah dengue,
selain itu juga morbili, demam tifoid dan influensa dapat juga disertai adanya
epistaksis.
d. Gangguan endokrin
Wanita hamil, menarche dan menopause sering juga dapat menimbulkan
epistaksis.
e. Perubahan udara dan tekanan atmosfir
Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang
cuacanya sangat dingi atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan adanya zat-zat
kimia di tempat industri yang menyebabkan keringnya mukosa, juga karena
perubahan tekanan atmosfir seperti pada Caisson Disease pada penyelam.
(Mangunkusumo dan Wardani, 2007).
E. Penegakan diagnosis
Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab-sebab
perdarahan. Keadaan umum, tensi, pernafasan dan nadi perlu diperiksa. Alat-alat yang
diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, speculum hidung dan alat
penghisap. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan penunjang laboratorium yaitu
pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hemostatis (Mangunkusumo dan Wardani,
2007).
a. Anamnesis
Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang
cermat. Hal-hal penting adalah sebagai berikut (Adams dkk, 1997):
1. Riwayat perdarahan sebelumnya
2. Lokasi perdarahan
3. Apakah darah terutama mengalir kedalam tenggorokan (posterior) ataukah
keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak
4. Lama perdarahan dan frekuensinya
5. Kecenderungan perdarahan
6. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
7. Hipertensi

24

8. Diabetes mellitus
9. Penyakit hati
10. Penggunaan antikoagulan
11. Trauma hidung yang belum lama
12. Obat-obatan, misal: aspirin, fenilbutazon (butazolidin)
Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh
mengorek hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat
pengeringan mukosa hidung berlebihan. Penting mendapatkan riwayat trauma
terperinci.
Riwayat pengobatan atau penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari.
Banyak pasien minum aspirin secara teratur untuk banyak alasan. Aspirin merupakan
penghambat fungsi trombosit dan dapat menyebabkan pemanjangan atau perdarahan.
Penting mengenal bahwa efek ini berlangsung beberapa waktu dan bahwa aspirin
ditemukan sebagai komponen dalam sangat banyak produk. Alkohol merupakan
senyawa lain yang banyak digunakan yang mengubah fungsi pembekuan secara
bermakna.
b. Pemeriksaan Fisik
Pertama hidung harus dibersihkan dari bekuan darah atau debris secara
memuaskan dengan alat penghisap. Kedua harus dioleskan senyawa vasokonstriktif
seperti efedrin atau kokain 5% yang akan mengerutkan mukosa hidung sehingga
memberikan evaluasi yang lebih baik dan bahkan menghentikan perdarahan
sementara waktu.
Pemeriksaan harus dilakukan dalam cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan concha
inferior harus diperiksa cermat. Pemeriksaan hidung tidak lengkap jika tidak
dilakukan nasofaringoskop tak langsung. Pemeriksaan rhinoskopi posterior kadangkadang akan memperlihatkan sumber epistaksis posterior.
Bila tempat perdarahan dikenali, ia harus didokumentasi dalam rekam medis
dengan gambaran sederhana. Bila mungkin, kemudian dokter seharusnya mencoba
mengendalikan perdarahan dengan tindakan lokal: yaitu kauterisasi atau penempatan
senyawa hemostatik atau tampon hidung anterior.

25

Tes laboratorium tertentu bermanfaat dalam mengevaluasi pasien epistaksis.


Tes diagnostic seharusnya mencakup sel darah lengkap untuk memantau derajat
perdarahan dan apakah pasien anemia. Jika kemungkinan adanya koagulopati
sistemik, maka harus dilakukan pemeriksaan pembekuan darah. Jika pemeriksaan ini
abnormal, maka harus dilakukan konsultasi yang tepat. Terakhir jika masa terlihat
pada pemeriksaan, maka harus dilakukan politomografi dan atau CT-scan untuk
menggambarkan luas lesi ini.
F. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah memperbaiki keadaan umum, cari
sumber perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah
berulangnya perdarahan.
Bila pasien datang dengan epistaksis perhatikan keadaan umumnya, nadi,
pernafasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan atasi terlebih dahulu, misalnya
dengan memasang infus. Jalan nafas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah,
perlu dibersihkan atau dihisap (Mangunkusumo dan Wardani, 2007).
a. Menghentikan Perdarahan
Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti kaustik dan pemasangan
tampon lebih baik daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu epistaksis
berhenti dengan sendirinya.
Pasien sendiri dapat menghentikan perdarahan bagian depan hidungnya
dengan menjepit bagian itu dengan sebuah jari tangan dan ibu jari serta meletakkan
sebuah cawan untuk menampung tetesan darah dari hidungnya. Pasien dilarang
menelan karena dapat menggeser bekuan darah yang terbentuk. Menelan dapat
dicegah dengan menempatkan sebuah gabus diantara kedua barisan gigi depan
(metode Trotter) (Pope dan Hobs, 2005).
Jika seorang pasien datang dengan epistaksis maka pasien harus diperiksa
dalam keadaan duduk, sedangkan jika terlalu lemah dapat dibaringkan dengan
meletakkan bantal di belakang punggungnya kecuali bila sudah dalam keadaan syok.
Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap dan untuk
membersihkan hidung dari bekuan darah. Kemudian tampon kapas yang telah
dibasahi dengan adrenalin 1/10.000 dan lidocain atau pantocain 2% dimasukkan ke

26

dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri
pada waktu tindakan selanjutnya . Tampon ini dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan
cara ini dapatlah ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior
atau di bagian posterior (Mangungkusumo dan Wardani, 2007).
i.

Perdarahan anterior
Perdarahan anterior seringkali berasal dari septum bagian depan. Apabila tidak
berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior terutama pada anak dapat dicoba
dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit dan seringkali
berhasil. Semprotan dekongestif dan aplikasi topikal gulungan kapas yang dibasahi
kokain biasanya akan cukup menimbulkan efek anestesi dan vasokonstriksi. Sekarang
bekuan darah dapat di aspirasi (Anton, 2007). Bila sumbernya terlihat tempat asal
perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 20-30% atau dengan Asam
Trikolasetat 10% atau dapat juga dengan elektrokauter. Jika pembuluh menonjol pada
kedua sisi septum diusahakan agar tidak mengkauter daerah yang sama pada kedua
sisi. Sekalipun menggunakan zat kauterisasi dengan penetrasi rendah, namun daerah
yang dicakup kauterisasi harus dibatasi. Sebaliknya, maka dengan rusaknya silia dan
pembentukkan epitel gepeng diatas jaringan parut sebagai jaringan pengganti mukosa
saluran nafas normal, akan terbentuk titik-titik akumulasi dalam aliran lapisan mucus.
Dengan melambatnya atau terhentinya aliran mukus pada daerah-daerah yang
sebelumnya mengalami kauterisasi, akan terbentuk krusta pada septum. Pasien
kemudian akan mengorek hidungnya dengan megelupaskan krusta, mencederai
lapisan permukaan dan menyebabkan perdarahan baru. Menentukan lokasi perdarahan
mungkin semakin sulit pada pasien dengan deviasi septum yang nyata dan perforasi
septum.
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan
pemasangan tampon anterior, dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin atau
salap antibiotika.

Tampon mudah dibuat dari lembaran kasa steril bervaselin,

berukuran 72 x 0,5 inchi disusun dari dasar hingga atap hidung meluas hingga
keseluruh panjang rongga hidung. Pemakaian vaselin atau salep pada tampon berguna

27

agar tampon tidak melekat, untuk menghindari berulangnya perdarahan ketika tampon
dicabut. Suatu tampon hidung anterior harus memenuhi seluruh rongga hidung.

Gambar 7. Pemasangan tampon anterior


Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus
dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24 jam, harus
dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Jika lokasi perdarahan telah ditemukan,
vasokonstriktor harus diberkan bersamaan dengan obat-obat topikal seperti larutan
kokain 4% atau oxymetazolin atau phenylephrine. Perdarahan yang lebih aktif perlu
diberikan anestesi topikal yang adekuat. Obat-obat intravena bisa diberikan pada
kasus yang sulit atau pada penderita yang cemas.
ii.

Perdarahan Posterior
Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau
tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan usuran 3x2x2 cm dengan mempunyai 3 buah
benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus
menutup koana(nares posterior).

28

Gambar 8. Pemasangan tampon Bellocq


Untuk memasang tampon Bellocq dimasukkan kateter karet melalui nares
anterior sampai tampak di orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut.
Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi
tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung. Benang yang telah keluar
melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang lain membantu
mendorong tampon ini kearah nasofaring. Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu
dengan pemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang
diletakkan didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak
bergerak. Benang yang terdapat pada rongga mulut terikat pada sisi lain dari tampon
Bellocq, diletakkan pada pipi pasien.Gunanya untuk menarik tampon keluar melalui
mulut estela 2-3 hari.
Pada epistaksis yang berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan
pemasangan tampon anterior maupun posterior, dilakukan ligasi arteri. Ligasi arteri
etmoid anterior dan posterior dapat dilakukan dengan membuat sayatan didekat
kantus medialis dan kemudian mencari kedua pembuluh darah tersebut didinding
medial orbita. Ligasi arteri maksila interna yang tetap difosa pterigomaksila dapat
dilakukan melalui operasi Caldwell-Luc dan kemudian mengangkat dinding posterior
sinus maksila.
G. Komplikasi
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha
penanggulangannya. Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia.
Tekanan darah yang turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi
koroner dan infark miokard dan akhirnya kematian. Harus segera dilakukan
pemberian infus atau transfusi darah. Komplikasi lain terjadi aspirasi yaitu darah
tersedak masuk ke dalam paru-paru (Mangunkusumo dan Wardani, 2007).
Pemasangan tampon dapat menimbulkan sinustis, otitis media, bahkan
septikemia. Oleh karena itu pada setiap pemasangan tampon harus selalu diberikan
antibiotik dan setelah 2-3 hari harus dicabut meskipun akan dipasang tampon baru
bila masih berdarah.1,8 Selain itu dapat juga terjadi hemotimpanum sebagai akibat

29

mengalirnya darah retrograd melalui tuba Eustachius dan air mata yang berdarah
(bloody tears) sebagai akibat mengalirnya darah secara retrograd melalui duktus
nasolakrimalis. Pada waktu pemasangan tampon Bellocq dapat terjadi laserasi
palatum mole dan sudut bibir karena benang terlalu kencang dilekatkan.

H. Prognosis
Sebanyak 90% kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien
hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh
dan prognosisnya buruk.

30

DAFTAR PUSTAKA

Adams, G.L., Boies, L.R., Higler, P.A. 1997. Epistaksis. Boies: Buku Ajar Penyakit THT
(Boies fundamentals of otolaryngology). Edisi ke- 6. Jakarta: EGC, hal; 224-239.
Anto, 2007. Epistaxis. RCH CPG. Diakses dari : http:// www.rch.org.au/clinicalguide
/cpg.cmf?doc_id=97 49. Tanggal akses : 19 Oktober 2015.

Mangunkusumo, E., Wardani, R.S. 2007. Perdarahan hidung dan gangguan penghidu. Dalam:
Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R.D (editors). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai
Penerbit FK-UI.
Nguyen, Q.A. 2015. Epistaxis. California: Departement of Otolaryngology-Head and Neck
Surgery, University of California. http://emedicine.medscape.com/article/863220overview (diakses tanggal 18 Oktober 2015).
Pope L.E.R., Hobbs C.G.L., 2005. Epistaxis un update on current management. Department
of

Otolaryngology

and

Head

and

Neck

Surgery.

www.epistaxis

management.com/ent/topic 701.html
Sarhan, N.A., Algamal, A.M. 2015. Relationship between epistaxis anda hypertension: A
cause and effect or coincidence. J Saudi Heart Assoc. 2015;27-84.
Soetjipto, D., Mangunkusumo, E., Wardani, R.S. 2007. Hidung. Dalam: Soepardi, E.A.,
Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R.D (editors). Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.

31

32

Anda mungkin juga menyukai