Diajukan Oleh:
Rahma Lionita L, S.Ked
J 510 155 092
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
CASE REPORT
EPISTAKSIS
Diajukan Oleh:
Rahma Lionita L
J510155092
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari
,tanggal
Pembimbing
KRH. dr. H. Djoko Sindhusakti Widyodiningrat,
(.................................)
Pembimbing
DR.dr. H. Iwan Setiawan Adji, Sp.THT-KL
(.................................)
(.................................)
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien
: Bp. S
Umur
: 42 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Kebak Kramat
Status Perkawinan
: Sudah Menikah
Agama
: Islam
Tanggal Pemeriksaan
: 2 Oktober 2015
No.RM
: 348977
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan di bangsal Kanthil 2 RSUD Karanganyar pada tanggal 2 Oktober
2015.
: disangkal
Riwayat Hipertensi
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat Alergi
: disangkal
Riwayat Asma
: disangkal
: disangkal
Riwayat trauma
: disangkal
: disangkal
Riwayat Hipertensi
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat Alergi
: disangkal
Riwayat Asma
: disangkal
: disangkal
: Compos Mentis
3. Tinggi Badan
: 165 cm
4. Berat Badan
: - kg.
5. Vital Sign
Tekanan Darah
: 180/100
Nadi
: 90x/menit
Respirasi
: 24x/menit
Suhu
: 36,8
Kepala
Leher
Abdomen
Ekstremitas
: Edema (-)
Thorax
Paru
Inspeksi
Hasil pemeriksaan
Dada kanan dan kiri simetris, tidak ada ketinggalan
gerak, pelebaran costa (-), retraksi (-), bentuk dada
Palpasi
normal
Tidak ada nafas yang tertinggal, Fremitus dada
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Hasil pemeriksaan
Dinding dada pada daerah pericordium tidak
cembung / cekung, tidak ada memar maupun
Palpasi
Perkusi
B. Status Lokalis:
1. Pemeriksaan Rongga Mulut dan Faring
a. Inspeksi : Mukosa faring hiperemis (-), granulasi (-), palatum mole dalam
batas normal, tonsil T1-T1, tonsil hiperemi (-), kripte melebar (-), detritus (-),
perlengkatan (-), uvula letak ditengah, gigi caries(-).
b. Palpasi : limfadenopati (-), nyeri tekan (-)
2. Pemeriksaan Hipofaring dan Laring
Laringoskopi Indirect:
-
Epiglotis
Aritenoid
Tumor
: tidak ada
3. Pemeriksaan Telinga
Inspeksi
-
Telinga Kanan : Bentuk telinga normal, deformitas (-), bekas luka (-),
bengkak (-), hiperemis (-), sekret (-)
Telinga Kiri : Bentuk telinga normal, deformitas (-), bekas luka (-), bengkak
(-), hiperemis (-), sekret (-)
Palpasi
-
Otoskopi:
Teliga Kanan : CAE udem (-), hiperemis (-), serumen minimal, membran timpani
utuh, disc (-)
Telinga Kiri : CAE udem (-), hiperemis (-), serumen minimal, membran timpani
utuh, disc (-)
Telinga Kanan
Tes Rinne : AD/AS (+/+)
Tes Weber : tidak ada lateralisasi
Telinga Kiri
Tes Rinne : AD/AS (+/+)
Tes Weber : tidak ada
lateralisasi
Tes Swabach : sama dengan
pemeriksa
pemeriksa
Kesimpulan : Tidak ada kelainan pendengaran
4. Pemeriksaan Hidung
a. Inspeksi : deformitas (-), bekas luka (-), sekret (-), edema(-)
b. Palpasi : Krepitasi (-), nyeri tekan (-)
c. Rinoskopi Anterior :
-
ND: Kavum nasi lapang (+), sekret darah mengalir (+), sumber
perdarahan sulit dievaluasi, mukosa hiperemis (+), concha media dan
inferior hipertrofi (-), septum deviasi (-), discharge (-), udem (-), masa di
rongga hidung (-).
NS: Kavum nasi lapang (+), mukosa hiperemis (-), concha media dan
inferior hipertrofi (-), concha inferior hiperemis (-), septum deviasi (-),
udem (-), massa dirongga hidung (-)
d. Rinoskopi Posterior
-
Dinding belakang
Adenoid
Tumor
: tidak ada
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
2 Oktober 2015
Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
MPV
PDW
INDEX
MCV
MCH
MCHC
HITUNG JENIS
Limfosit%
Monosit%
Eosinofil%
Basofil%
Gran%
GULA DARAH
Glukosa Darah
Hasil
Nilai Rujukan
Satuan
9,2 (L)
28,5 (L)
9,58
269
3,89
7,7
15,3
14,00 18,00
42,00 52,00
5-10
150-300
4,50 5,50
6,5 12,00
9,0 17,0
g/dl
%
103/ ul
103/ ul
103/ ul
fL
71,6 (L)
23,1 (L)
32,3
82,0 92,0
27,0 31,0
32,0 37,0
fL
Pg
g/dl
26,8
2,5 (L)
1,1
0,6
57,7
25,0 40,0
3,0 9,0
0,5 5,0
0,0 1,0
50,0 70,0
%
%
%
%
%
84
70-150
mg/dl
Sewaktu
Endoskopi
10
Inf. RL 20 tpm
Amlodipin 1x10mg
Captopril 2x25mg
/ 12 jam
/ 8 jam
: Ad bonam
Ad sanationam
: Dubia ad bonam
Ad fungtionam
: Ad bonam
BAB II
11
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi dan Perdarahan Hidung
a. Hidung luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan puncak di bagian atas dan dasar di bawah.
Bagian-bagiannya yaitu (Soetjipto dkk, 2007):
Ala nasi
Kolumela
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan kartilago yang dilapisi kulit,
jaringan ikat, dan otot-otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Bagian 1/3 atas hidung luar merupakan kerangka
tulang yang terdiri dari dua tulang hidung (os. nasal) yang bertemu di bagian tengah
12
dan bertumpu pada prosesus nasalis dari tulang frontalis yang juga bertumpu pada
prosesus frontalis dari tulang maksila (Soetjipto dkk, 2007).
Bagian 2/3 bawah merupakan kerangka kartilago yang terdiri dari kartilago
lateralis atas dan bawah.(kartilago alar), kartilago lesser alar (sesamoid), dan kartilago
septum. Kartilago lateralis atas membentang dari batas bawah kerangka tulang hingga
kartilago alar di bagian bawah. Keduanya berfusi dengan batas atas kartilago septum
di bagian tengah. Masing-masing kartilago alar berbentuk U, dengan krus lateral yang
membentuk ala nasi, dan krus medial yang berjalan sepanjang kolumela. Terdapat 2-4
kartilago lesser alar yang masing-masing dihubungkan oleh perichondrium dan
periosteum, dan terletak di lateral dari kartilago alar. Kartilago septum terbentang dari
batas bawah kerangka tulang hingga ke puncak hidung (tip). Ia berfungsi sebagai
penyangga kerangka kartilago dari dorsum nasi (Soetjipto dkk, 2007).
b. Hidung dalam
Hidung dalam dibagi menjadi 2 kavum oleh septum nasal. Masing-masing
kavum berhubungan dengan lingkungan melalui nares di bagian anterior dan
berhubungan dengan nasofaring melalui koana di bagian posterior. Tepat di belakang
nares, terdapat area berlapiskan kulit yang dinamai vestibulum yang mengandung
banyak kelenjar sebaseus dan bulu hidung atau vibrise. Bersambung ke belakang, area
berlapiskan mukosa yaitu kavum nasi.
13
Tiap kavum nasi memiliki 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior, dan superior. Pada dinding lateral terdapat 3 buah konkha atau turbinatum
yaitu proyeksi tulang berbentuk gulungan ke arah medial dilapisi oleh membran
mukosa. Ruang dibawah setiap konkha dinamakan meatus.
i.
Konkha Inferior
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os. Maksila
dan labirin etmoid. Di bagian bawahnya terdapat meatus inferior yang merupakan
muara dari saluran nasolakrimalis yang dijaga pada ujungnya oleh katup mukosa,
katup Hasner.
ii.
Konkha Media
Konka media merupakan bagian dari tulang etmoid, dan menempel ke dinding
lateral hidung oleh lamella tulang dinamakan lamella basal. Di bagian bawah terdapat
meatus media, yang merupakan muara dari sinus frontal, sinus maksila, dan sinus
etmoid anterior (Soetjipto dkk, 2007).
iii.
Konkha Superior
Konka superior juga masi merupakan bagian dari tulang etmoid, dan terletak
di posterosuperior dari konka media. Di bagian bawah terdapat meatus superior yang
merupakan muara dari sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
14
c. Perdarahan hidung
Kedua sistem arteri karotis eksterna dan interna mendarahi hidung, baik
septum dan dinding lateral. Arteri karotis interna bercabang menjadi arteri oftalmika
yang kemudian bercabang lagi menjadi arteri etmoidalis anterior dan posterior.
Cabang etmoidalis anterior dan posterior menyuplai sinus palatina mayor menyuplai
sinus frontalis dan etmoidalis serta atap hidung. Sedangkan arteri sfenopalatina dan
arteri palatina mayor merupakan cabang terminal dari arteri karotis eksterna yang
menyuplai darah pada konka, meatus dan septum nasalis (Soetjipto dkk, 2007).
Pada bagian depan septum, terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina,
a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor yang disebut pleksus
Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach terletak superfisial sehingga mudah
cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis pada anak.
15
- A. etmoid anterior
- A. etmoid posterior
- A. etmoid posterior
- A. sfenopalatina, cabang cabang
nasal
dari a. maksilaris
posterolateral
dari
a.
maksilaris
infraorbital
dari
a.
maksilaris
- Cabang dari a. fascialis
ke vestibulum nasal
16
17
d. Persarafan hidung
i.
18
piamater ke rongga hidung sehingga cedera pada saraf ini dapat menimbulkan
kebocoran pada ruang cairan serebrospinal sehinga menyebabkan rinorrea cairan
serebrospinal dan meningitis.
ii.
Persarafan sensoris
-
N. Etmoidalis anterior
septum dipersarafi oleh cabang-cabang dari ganglion sfenopalatina. Saraf ini dapat
diblok dengan meletakkan kapas yang direndam larutan anestesi di dekat foramen
sfenopalatina, di belakang konka media. Saraf etmoidalis anterior mempersarafi
bagian superior dan anterior rongga hidung baik dinding lateral dan septum yang
dapat diblok dengan meletakkan kasa tinggi ke dalam tulang hidung tempat
masuknya saraf tersebut.
iii.
Persarafan otonom
Serat-serat saraf parasimpatis mempersarafi kelenjar-kelenjar di hidung
dan mengontrol sekresi hidung. Mereka berasal dari n. petrosal superfisial mayor,
berjalan dalam saraf dari kanal pterygoid (n. vidian) dan mencapai ganglion
sfenopalatina hingga kavum nasi. Mereka juga menyuplai pembuluh darah dari
hidung dan menyebabkan vasodilatasi.
Serat-serat saraf simpatis berasal dari korda spinalis dari 2 segmen thoraks
atas, berjalan melalui ganglion servikal superior, ke dalam n. petrosal dan
bergabung dengan serat saraf parasimpatis dan kemudian membentuk saraf dari
kanal pterygoid (n. vidian). Meraka mencapai kavum nasi tanpa masuk ke dalam
19
20
2. Epistaksis
A. Definisi
Istilah epistaksis adalah bahasa latin yang berasal dari bahasa Yunani,
epistazen (epi-diatas, stazein-menetes) (Sarhan dan Algamal, 2015). Epistaksis adalah
keluarnya darah dari hidung yang merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain,
penyebabnya bisa lokal maupun sistemik. Perdarahan bisa ringan sampai serius dan
bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber perdarahan biasanya berasal
dari bagian depan atau bagian belakang hidung (Mangunkusumo, 2007).
B. Epidemiologi
Epistaksis diperkirakan terjadi pada 7 14% populasi umum tiap tahun.
Prevalensi sebenarnya tidak diketahui disebabkan kebanyakan kasus dapat sembuh
sendiri dan tidak dilaporkan. Angka kejadian epistaksis meningkat pada anak-anak
umur dibawah 10 tahun, dan dewasa di atas 50 tahun. Laki-laki lebih sering
mengalami epistaksis dibanding wanita. Epistaksis anterior lebih sering terjadi pada
anak-anak dan dewasa muda, sedangkan epistaksis posterior lebih sering terjadi pada
usia yang lebih tua, terutama pada laki-laki dekade 50 dengan penyakit hipertensi dan
arteriosklerosis. Epistaksis lebih sering terjadi pada musim dingin. Hal ini mungkin
disebabkan peningkatan kejadian infeksi pernafasan atas dan udara yang lebih kering
akibat pemakaian pemanas. Epistaksis juga sering terjadi pada iklim yang panas
dengan kelembaban yang rendah. Pasien yang menderita alergi, inflamasi hidung, dan
penyakit sinus lebih rentan terjadi epistaksis karena mukosanya lebih mudah kering
dan hiperemis disebabkan reaksi inflamasi (Nguyen, 2015).
C. Klasifikasi
Epistaksis dibedakan menjadi 2 atas dasar sumber pendarahan, yaitu :
Epistaksis Anterior
Kebanyakan berasal dari Pleksus Kiesselbach di septum bagian anterior dan
merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai pada anak-anak. Bisa juga
berasal dari a. etmoidalis anterior. Perdarahan ini disebabkan karena keadaan mukosa
yang hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung. Perdarahan ini biasanya ringan tapi
21
sering berulang dan dapat berhenti sendiri (spontan) atau dikendalikan dengan
tindakan sederhana seperti memencet hidung (Mangunkusumo dan Wardani, 2007).
Epistaksis Posterior
Dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior.
Perdarahan cenderung lebih hebat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat
menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan
kelainan kardiovaskuler seperti hipertensi, atau arteriosklerosis (Mangunkusumo dan
Wardani, 2007).
D. Etiologi
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat ditelusuri penyebabnya.
Namun kadang-kadang jelas disebabkan oleh trauma. Perdarahan hidung diawali
dengan pecahnya pembuluh darah di selaput mukosa hidung. Sebanyak 80% kasus
perdarahan berasal dari pembuluh darah pleksus Kiesselbach (Mangunkusumo dan
Wardani, 2007).
Secara umum epistaksis dapat disebabkan oleh sebab-sebab lokal seperti
trauma, infeksi, neoplasma, kelainan kongenital dan bisa juga disebabkan oleh
keadaan umum atau kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah,
infeksi, perubahan tekanan atmosfir dan gangguan endokrin (Mangunkusumo dan
Wardani, 2007).
1. Lokal
a. Trauma
Biasanya karena usaha mengeluarkan sekret dengan menghembus kuat,
bersin terlalu sering, mengorek hidung, atau trauma seperti terpukul, operasi
intranasal, fraktur pada 1/3 wajah dan dasar tengkorak. Selain itu iritasi oleh gas
yang merangsang dan trauma pada pembedahan bisa juga menyebabkan
epistaksis.
b. Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, seperti rhinitis, sinusitis, serta
granuloma spesifik seperti tuberkulosis, sifilis, lepra, dan lupus dapat
menyebabkan epistaksis.
22
c. Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan
intermiten, kadang-kadang disertai mukus yang bernoda darah. Hemangioma,
karsinoma,dan angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.
d. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah
teleangiektasis hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic teleangiectasis
Oslers Disease). Pasien ini juga menderita teleangiektasis di tangan, wajah, atau
bahkan di traktus gastrointestinal atau di pembuluh darah paru.
e. Benda asing dan perforasi septum
Perforasi septum dan benda asing hidung dapat menjadi predisposisi
perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau
perforasi akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan
aliran sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha pelepasan krusta
dengan
jari
dapat
menimbulkan
trauma.
Pengeluaran
krusta
berulang
23
c. Infeksi sistemik
Paling sering menyebabkan epistaksis adalah demam berdarah dengue,
selain itu juga morbili, demam tifoid dan influensa dapat juga disertai adanya
epistaksis.
d. Gangguan endokrin
Wanita hamil, menarche dan menopause sering juga dapat menimbulkan
epistaksis.
e. Perubahan udara dan tekanan atmosfir
Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang
cuacanya sangat dingi atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan adanya zat-zat
kimia di tempat industri yang menyebabkan keringnya mukosa, juga karena
perubahan tekanan atmosfir seperti pada Caisson Disease pada penyelam.
(Mangunkusumo dan Wardani, 2007).
E. Penegakan diagnosis
Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab-sebab
perdarahan. Keadaan umum, tensi, pernafasan dan nadi perlu diperiksa. Alat-alat yang
diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, speculum hidung dan alat
penghisap. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan penunjang laboratorium yaitu
pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hemostatis (Mangunkusumo dan Wardani,
2007).
a. Anamnesis
Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang
cermat. Hal-hal penting adalah sebagai berikut (Adams dkk, 1997):
1. Riwayat perdarahan sebelumnya
2. Lokasi perdarahan
3. Apakah darah terutama mengalir kedalam tenggorokan (posterior) ataukah
keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak
4. Lama perdarahan dan frekuensinya
5. Kecenderungan perdarahan
6. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
7. Hipertensi
24
8. Diabetes mellitus
9. Penyakit hati
10. Penggunaan antikoagulan
11. Trauma hidung yang belum lama
12. Obat-obatan, misal: aspirin, fenilbutazon (butazolidin)
Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh
mengorek hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat
pengeringan mukosa hidung berlebihan. Penting mendapatkan riwayat trauma
terperinci.
Riwayat pengobatan atau penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari.
Banyak pasien minum aspirin secara teratur untuk banyak alasan. Aspirin merupakan
penghambat fungsi trombosit dan dapat menyebabkan pemanjangan atau perdarahan.
Penting mengenal bahwa efek ini berlangsung beberapa waktu dan bahwa aspirin
ditemukan sebagai komponen dalam sangat banyak produk. Alkohol merupakan
senyawa lain yang banyak digunakan yang mengubah fungsi pembekuan secara
bermakna.
b. Pemeriksaan Fisik
Pertama hidung harus dibersihkan dari bekuan darah atau debris secara
memuaskan dengan alat penghisap. Kedua harus dioleskan senyawa vasokonstriktif
seperti efedrin atau kokain 5% yang akan mengerutkan mukosa hidung sehingga
memberikan evaluasi yang lebih baik dan bahkan menghentikan perdarahan
sementara waktu.
Pemeriksaan harus dilakukan dalam cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan concha
inferior harus diperiksa cermat. Pemeriksaan hidung tidak lengkap jika tidak
dilakukan nasofaringoskop tak langsung. Pemeriksaan rhinoskopi posterior kadangkadang akan memperlihatkan sumber epistaksis posterior.
Bila tempat perdarahan dikenali, ia harus didokumentasi dalam rekam medis
dengan gambaran sederhana. Bila mungkin, kemudian dokter seharusnya mencoba
mengendalikan perdarahan dengan tindakan lokal: yaitu kauterisasi atau penempatan
senyawa hemostatik atau tampon hidung anterior.
25
26
dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri
pada waktu tindakan selanjutnya . Tampon ini dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan
cara ini dapatlah ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior
atau di bagian posterior (Mangungkusumo dan Wardani, 2007).
i.
Perdarahan anterior
Perdarahan anterior seringkali berasal dari septum bagian depan. Apabila tidak
berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior terutama pada anak dapat dicoba
dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit dan seringkali
berhasil. Semprotan dekongestif dan aplikasi topikal gulungan kapas yang dibasahi
kokain biasanya akan cukup menimbulkan efek anestesi dan vasokonstriksi. Sekarang
bekuan darah dapat di aspirasi (Anton, 2007). Bila sumbernya terlihat tempat asal
perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 20-30% atau dengan Asam
Trikolasetat 10% atau dapat juga dengan elektrokauter. Jika pembuluh menonjol pada
kedua sisi septum diusahakan agar tidak mengkauter daerah yang sama pada kedua
sisi. Sekalipun menggunakan zat kauterisasi dengan penetrasi rendah, namun daerah
yang dicakup kauterisasi harus dibatasi. Sebaliknya, maka dengan rusaknya silia dan
pembentukkan epitel gepeng diatas jaringan parut sebagai jaringan pengganti mukosa
saluran nafas normal, akan terbentuk titik-titik akumulasi dalam aliran lapisan mucus.
Dengan melambatnya atau terhentinya aliran mukus pada daerah-daerah yang
sebelumnya mengalami kauterisasi, akan terbentuk krusta pada septum. Pasien
kemudian akan mengorek hidungnya dengan megelupaskan krusta, mencederai
lapisan permukaan dan menyebabkan perdarahan baru. Menentukan lokasi perdarahan
mungkin semakin sulit pada pasien dengan deviasi septum yang nyata dan perforasi
septum.
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan
pemasangan tampon anterior, dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin atau
salap antibiotika.
berukuran 72 x 0,5 inchi disusun dari dasar hingga atap hidung meluas hingga
keseluruh panjang rongga hidung. Pemakaian vaselin atau salep pada tampon berguna
27
agar tampon tidak melekat, untuk menghindari berulangnya perdarahan ketika tampon
dicabut. Suatu tampon hidung anterior harus memenuhi seluruh rongga hidung.
Perdarahan Posterior
Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau
tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan usuran 3x2x2 cm dengan mempunyai 3 buah
benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus
menutup koana(nares posterior).
28
29
mengalirnya darah retrograd melalui tuba Eustachius dan air mata yang berdarah
(bloody tears) sebagai akibat mengalirnya darah secara retrograd melalui duktus
nasolakrimalis. Pada waktu pemasangan tampon Bellocq dapat terjadi laserasi
palatum mole dan sudut bibir karena benang terlalu kencang dilekatkan.
H. Prognosis
Sebanyak 90% kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien
hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh
dan prognosisnya buruk.
30
DAFTAR PUSTAKA
Adams, G.L., Boies, L.R., Higler, P.A. 1997. Epistaksis. Boies: Buku Ajar Penyakit THT
(Boies fundamentals of otolaryngology). Edisi ke- 6. Jakarta: EGC, hal; 224-239.
Anto, 2007. Epistaxis. RCH CPG. Diakses dari : http:// www.rch.org.au/clinicalguide
/cpg.cmf?doc_id=97 49. Tanggal akses : 19 Oktober 2015.
Mangunkusumo, E., Wardani, R.S. 2007. Perdarahan hidung dan gangguan penghidu. Dalam:
Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R.D (editors). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai
Penerbit FK-UI.
Nguyen, Q.A. 2015. Epistaxis. California: Departement of Otolaryngology-Head and Neck
Surgery, University of California. http://emedicine.medscape.com/article/863220overview (diakses tanggal 18 Oktober 2015).
Pope L.E.R., Hobbs C.G.L., 2005. Epistaxis un update on current management. Department
of
Otolaryngology
and
Head
and
Neck
Surgery.
www.epistaxis
management.com/ent/topic 701.html
Sarhan, N.A., Algamal, A.M. 2015. Relationship between epistaxis anda hypertension: A
cause and effect or coincidence. J Saudi Heart Assoc. 2015;27-84.
Soetjipto, D., Mangunkusumo, E., Wardani, R.S. 2007. Hidung. Dalam: Soepardi, E.A.,
Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R.D (editors). Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.
31
32