REAKSI ANAFILAKSIS
Oleh
BAIQ HULHIZATIL AMNI
H1A212011
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
ISI
DEFINISI
Reaksi anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan
curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan
oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah
suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Reaksi anafilaktik
merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan
anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi
tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama
obstruksi
saluran
napas.
Syok
anafilaktik merupakan
salah
satu
2,3,4
anxiety
Grade II
Grade III
Grade IV
ETIOLOGI
2.3.3 Sengatan serangga ( Hymenoptera )
Lebah dan tawon adalah contoh serangga yang sering menyebabkan
anafilaksis. Reaksi dan urticaria yang bersifat lokal tanpa manifestasi klinis
lainnya lebih sering
yang
menyeluruh
faktor
resiko
anafilaksis
selanjutnya,
2.3.4 Makanan
Gejalanya biasanya ringan dan terbatas pada saluran pencernaan, tapi
anafilaksis menyeluruh juga bisa terjadi. Anafilaksis karena makanan
sering menjadi penyebab kematian secara tiba-tiba. Makanan yang sering
menyebabkan anafilaksis antara lain kacang-kacangan khususnya kacang
tanah, polong-polongan, ikan, kerang, susu, dan telur. (1)
2.3.2 Intravenous radiocontrast media
Reaksi anafilaktoid yang terjadi biasanya ringan ( paling sering berupa
urticaria ) dan tidak berhubungan dengan ada atau tidaknya paparan
sebelumnya. Alergi kerang atau iodine bukan kontraindikasi penggunaan
kontras secara intravena dan tidak memerlukan pretreatment regimen
seperti antihistamin atau kortikosteroid.
2.3.1 Obat-obatan
Anafilaksis terhadap suatu obat tetap bisa terjadi pada pasien yang
sebelumnya tidak pernah mengkonsumsi obat tersebut. (1)
golongan
antibiotika
yang
pernah
dilaporkan
Obat-obatan
menimbulkan
reaksi
nitrofurantoin,
penisilin,
streptomycin,
tetracyclin,
dan
mempunyai
kemiripan
secara
molekuler
dan
imunologi
sehingga
lateks
dan
idiopatik.
Atopi
tidak
berpengaruh
pada
dosis, kecepatan,
juga
penyebabnya diketahui.(8)
EPIDEMIOLOGI
Sumber data anafilaksis berasal dari survey populasi/registrasi nasional,
pasien yang masuk rumah sakit dan diklasifikasi menurut sistem
anafilaksis
lebih
sering
terjadi
pada
mereka
yang
PATOGENESIS
2.4 Patofisiologi
Saat sel mast dan basofil mengalami degranulasi baik melalui mekanisme
yang diperantarai maupun yang tidak diperantarai oleh Ig E, histamine
yang telah terbentuk sebelumnya dan leukotriene serta prostaglandin
yang baru terbentuk, dikeluarkan oleh sel-sel tersebut. Respon fisiologis
terhadap mediator-mediator ini meliputi spasme otot polos pada saluran
pencernaan dan pernafasan, vasodilatasi, peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, dan perangsangan ujung saraf sensori. Proses fisiologis
ini menyebabkan munculnya gejala klasik anafilaksis seperti : kemerahan,
urticaria, pruritus, bronkospasme, dan kram perut disertai mual, muntah
dan diare. Hipotensi dan syok dapat terjadi karena penurunan volume
intravaskuler, vasodilatasi, dan disfungsi myocardium. (3)
Peningkatan
akan
mengaktifkan
sistem
renin-angiotensin-aldosteron,
terjadi
peningkatan
resistensi
pembuluh
darah
perifer
atau
Efek fisiologis
activating Meningkatkan
factor
permeabilitas
Manifestasi klinis
Angioedema, urticaria
pembuluh
darah
Prostaglandin
Vasodilatasi perifer
Vasokonstriksi koroner
Leukotriene
Tryptase
Kinin
Aktifasi
Heparin
jalur
inflamasi
lainnya
Chymase
factor
Interleukin-1
Hipotensi
Kemerahan
Iskemia myokardium
Wheezing
Mual,
muntah,
nyeri perut
Merekrut sel inflamasi
Tumor
Edema laring
necrosis
Pruritus
diare,
Nitric oxide
Histamin
lainnya
seperti
eosinofil
dan
limfosit
sehingga
terjadi
cyclic
guanosine
monophosphate.
Normalnya
NO
DIAGNOSIS
Anafilaksis terdiri dari kombinasi berbagai gejala yang bisa muncul
beberapa detik atau beberapa menit setelah terpapar. Manifestasi di kulit
berupa urticaria dan gatal disekitarnya. Pada reaksi lokal, lesi terjadi dekat
dengan bagian yang terpapar disertai eritema, edema dan gatal. Kadangkadang terjadi lesi yang mirip dengan angioedema yang melibatkan
mukosa dan bagian kulit yang lebih dalam. Angioedema biasanya tidak
gatal dan lesinya nonpitting. Lesi biasanya muncul di bibir, telapak
tangan, telapak kaki, dan genitalia.
Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau
orofaring terlibat sehingga terjadi stridor. Suara bisa serak bahkan tidak
ada produksi suara sama sekali jika edema terus memburuk. Obstruksi
saluran nafas yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada
anafilaksis. Bunyi nafas mengi terjadi apabila saluran nafas bawah
terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa. Pada angioedema
yang disebabkan oleh ACE inhibitor, edema lidah dan bibir bisa
menyumbat saluran nafas.
Sistem kardiovaskuler biasanya normal pada kasus yang ringan.
Pada kasus yang berat, hilangnya tonus pembuluh darah dikompensasi
dengan tachycardia, tapi bradycardia bisa juga terjadi pada kasus yang
sangat berat. Turunnya volume intravaskuler terjadi karena kebocoran
kapiler sehingga tekanan darah menurun.
Henti nafas atau jantung dapat terjadi pada kasus yang parah. Syok
bisa terjadi tanpa manifestasi klinis pada kulit atau riwayat paparan
sehingga anafilaksis menjadi diagnosis banding pada pasien yang syok
namun tidak ada penyebab yang teridentifikasi. Tanda-tanda vital sangat
bervariasi tergantung pada tingkat keparahan dan organ-organ yang
terkena. Pasien biasanya tidak dapat beristirahat karena gatal-gatal pada
urticaria. Anxiety , tremor dan perasaan seperti kedinginan bisa terjadi
karena efek kompensasi katekolamin endogen. Jika terjadi hipoperfusi atau
hipoksia, kesadaran pasien akan menurun atau mengalami agitasi. (1)
2.6 Diagnosis
Diagnosis anafilaksis biasanya dengan melihat gambaran klinisnya,
namun
beberapa
pemeriksaan
penunjang
seperti
pemeriksaan
respirasi
dispnea,
mengi-bronkospasme,
stridor,
Dua atau lebih hal-hal di bawah ini yang terjadi secara cepat setelah
terpapar suatu alergen yang mungkin adalah penyebabnya(beberapa
menit sampai beberapa jam) :
a.
muntah )
3. Penurunan tekanan darah setelah terpapar alergen yang telah dikenal
oleh pasien
antibiotik
penisilin
bisa
dilakukan
jika
penisilin
atau
cephalosporin adalah obat pilihan untuk infeksi serius pada pasien yang
mempunyai
riwayat
reaksi
alergi
yang
parah.
Prosedur
ini
bisa
Diagnosis banding
Syok septik
Reaksi vasovagal
Syok kardiogenik
Syok hipovolemik
Respiratory
distress
dan
eksaserbasi
penyakit
Flush syndrome
Karsinoid
Postmenopausal hot flushes
Red man syndrome ( vancomycin )
Lain-lain
Serangan panik
Systemic mastocytosis
Angioedema herediter
Leukemia dengan produksi histamin
berlebih
DIAGNOSIS KLINIS
Sebuah poster dan kartu berukuran saku yang memuat inti-inti panduan World
Allergy Organisation mengenai diagnosis klinis segera dan penatalaksanaan awal
anafilaksis telah diterjemahkan ke dalam 10 bahasa (Lampiran 1). Kriteria klinik
diagnosis anafilaksis tersebut menekankan pada gejala multisistem dengan onset
mendadak dan telah divalidasikan melalui penelitian kohort retrospektif pasien
instalasi rawat darurat serta terbukti memiliki sensitivitas sangat kuat [96,7%, 95%
confidence interval (CI) 88,8-99,9] dan spesifisitas baik (82,4%, 95% CI 75,5-87,6).
Lebih
lanjut,
penggunaan
kriteria
tersebut
pada
penelitian
epidemiologi
Eritema
Urtikaria
Angioedem
Respiratori
Kardiovaskul
Gastrointestin
er
al
Batuk
Dyspnea
Wheezing
Pusing
Pingsan
Takikardia
Hipotensi
Syok
Pada 80% kasus, tanda dan gejala kulit hampir selalu dijumpai (Gambar 1).
Oleh karena itu, suatu kasus kemungkinan besar bukan merupakan anafilaksis jika
pasien tidak menunjukkan manifestasi kulit. Lebih lanjut, manifestasi khas anafilaksis
bergantung pada rute paparan alergen, di mana paparan alergen berupa makanan
lebih cenderung mengakibatkan efek gastrointestinal serta respiratorik, sementara
paparan alergen secara subkutan atau intravena cenderung mengakibatkan efek
kardiovaskuler. Penyebab reasi ini begitu banyak dan meliputi obat (obat-obatan
anestesi, obat anti inflamasi non-steroid, penisilin, dan opiat), makanan (kacang dan
makanan laut), sengatan serangga (lebah, tawon), media kontras, lateks, serta
vaksin (Jose et al, 2009).
Asma berat
Aspirasi
alienum
Emboli paru
corpus
KARDIOVASKULER
Reaksi vasovagal
Infark myokard
Aritmia
LAIN-LAIN
Sindroma karsinoid
Ingesi ikan scombroid
Phaeochromocytoma
Angioedema herediter
Serangan panik
PENATALAKSANAAN
Anafilaksis umunya terjadi segera setelah paparan terhadap alergen. Mengenali
tanda dan gejala dengan cepat dapat mencegah anafilaksis berlanjut menjadi kolaps
kardiovaskuler. Pasien hendaknya segera dibaringkan dengan kaki leih tinggi dari
kepala sembari penolong mengaktifkan EMS. Penolong tidak boleh meninggalkan
pasien untuk memonitor airway, breathing, dan circulation. Jika pasien bernapas
adekuat tetapi kehilangan kesadaran, posisikan pasien pada recovery position. Jika
mungkin, posisikan pasien sehingga berbaring miring untuk drainase cairan dan kaki
sedikit ditekuk untuk mempertahankan posisi ini. CPR harus dilakukan kapanpun
diindikasikan (Hayney, 2011).
Epinefrin merupakan obat gawat darurat terpenting yang harus diberikan
secara tepat dan segera. Meskipun terdapat keraguan tentang kondisi pasien,
epinefrin tetap harus diberikan dan dapat diulang setiap 10-20 menit dengan hingga
3 dosis atau sesuai kebutuhan berdasarkan perjalanan penyakit untuk meningkatkan
tekanan darah sebelum pasien dirujuk ke instalasi rawat darurat. (Hayney, 2011).
Sayangnya, seringkali epinefrin terlambat diberikan, bahkan pada pasien yang
diopname. Sebagai contoh, anafilaksis cukup sulit untuk didiagnosis selama pasien
dibawah pengaruh anestesi, sehingga pemberian epinefrin dapat tertunda. Pada
sebuah penelitian retrospektif, 45% pasien dengan anafilaksis selama anestesi
terkena syok, gangguan keseimbangan sirkulasi, atau henti jantung, sementara
hanya 83% pasien yang mendapatkan epinefrin. Padahal, jika epinefrin tidak
diberikan samasekali, gejala kardiovaskuler seperti infark myokard dan aritmia dapat
terjadi selama anafilaksis. Menariknya, komplikasi ini juga dapat terjadi setelah
overdosis epinefrin, apapun rute pemberiannya, terutama setelah dosis bolus
intraevna atau infus intravena yang terlalu cepat (Simons et al, 2012).
Dipenhydramine dapat pula diberikan pada pasien anafilaksis. Dosis umum
pada orang dewasa adalah 1-2 mg/kgBB dengan dosis maksimal 100 mg secara oral
atau intramuskular, tergantung kondisi pasien. Pemberian dipenhydramin oral
hendaknya dipertimbangkan hanya jika pasien memiliki reaksi alergi yang
berkembang lambat, seperti urtikaria yang muncul lebih dari 15 menit setelah
paparan dengan alergen tanpa pembengkakan lidah, bibir, atau keterlibatan airway
apapun (Hayney, 2011). Meskipun demikian, pada sebuah penelitian prospective
randomized blinded pada pasien muda dengan reaksi alergi kulit akut saat dilakukan
food
challenge,
perbandingan
antara
pemberian
dipenhidramin
mg/kg
spesialis alergi serta spesialis anestesi dengan skill manajemen airway hendaknya
dilakukan bersamaan (Gambar 2) (Jose et al, 2009).
hanya bagi tenaga ahli dengan fasilitas monitor denyut jantung dan tekanan darah
seperti di instalasi rawat darurat, intensive care unit, dan kamar operasi (Jose et al,
2009).
Efek Samping Meskipun jarang terjadi, vasokonstriksi arteri koroner akibat
pemberian adrenalin, terutama secara intravena, dapat mengakibatkan iskemia
serebral dan myokard. Sementara itu, eksitabilitas jaringan jantung dapat memicu
artimia (Jose et al, 2009).
Interaksi Untuk meningkatkan keefektifan adrenalin sembari meminimalisasi risiko
komplikasi, riwayat obat yang sedang dikonsumsi pasien hendaknya diketahui
terlebih
dahulu.
Hal
tersebut
dapat
sulit
untuk
dilakukan
pada
kasus
napas mengi dapat didengar pada pasien anafilaksis karena adanya bronkospasme,
kecuali bronkospasmenya sudah sangat parah hingga tidak terdengar suara napas
tambahan pada dada pasien. Nebulisasi bronkodilator, seperti agonis (salbutamol
5 mg) dan antagonis muskarinik (ipratropium 0,5 mg) dapat diberikan secara
bersamaan. Langkah selanjutnya baru bisa dilaksanakan jika ventilasi dan
oksigenasi pasien sudah dirasa adekuat (Jose et al, 2009).
C (Circulation) Inspeksi pasien untuk menemukan adanya diaforesis dan pucat
sembari memeriksa denyut jantung, tekanan darah, dan perfusi perifer. Capillary
Refill Time juga harus diperiksa. Masukkan kanula intravena pada fossa cubiti untuk
mendukung sirkulasi dengan pemberian cairan intravena. Kanula yang digunakan
hendaknya berukuran besar (16 gauge, abu-abu) meskipun pemasangannya sulit
pada pasien hipotensi. Infus cepat 500-1000 ml hendaknya diberikan sebagai bolus
dan responnya dimonitor. Kristaloid atau koloid dapat digunakan kecuali koloid justru
terbukti menyebabkan reaksi anafilaksis. Jika usaha resusitasi awal ini gagal dan
pasien mengalami henti jantung, manajemen selanjutnya harus sesuai dengan
pan/duan resusitasi jantung-paru atau advanced life support lokal (Jose et al, 2009).
Koloid dapat terserap ke dalam lamina glycocalyx sehingga membatasi
ultrafiltrasi. Oleh karena itu, koloid merupakan volume expander intravaskuler yang
lebih efektif. Meskipun demikian, efek koloid seperti HES atau dextran bersifat
transien, di mana setelah 2 jam pertama di mana efek koloid yang semula 300%
hingga 400% lebih efektif dibanding kristaloid berbalik sehingga ketika digunakan
dalam jangka panjang, perbandingan total kebutuhan cairan pada pasien yang hanya
diberi koloid justru lebih besar, yaitu 1.4 bagian HES 6% : 1 bagian RL dan 1.1
bagian gelatin 4% : 1 bagian RL (Bayer et al., 2012).
Berdasarkan berbagai penelitian dan meta analisis, pemberian koloid
terutama HES meningkatkan prevalensi Acute Kidney Injury serta kebutuhan atas
Renal Replacement Therapy. Belum lagi, pemberian koloid meningkatkan risiko
alergi, gangguan fungsi ginjal, dan peningkatan kebutuhan transfusi. Apabila
dibandingkan, resusitasi berjalan sama cepat dan sama efektifnya pada pasien yang
diresusitasi dengan kristaloid saja versus pasien yang diresusitasi dengan kombinasi
koloid sintetik dan kristaloid. Respon terapi yang diukur dengan waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai hemodinamik optimal juga sama. Meskipun demikian,
nilai CVP optimal dicapai lebih lambat pada pasien yang hanya mendapatkan
kristaloid saja (Bayer et al., 2012).
darurat, unit asesmen medis akut, atau high dependency dan intensive care unit
(Jose et al, 2009).
PROGNOSIS
SISTEM RUJUKAN
BAB III
PENUTUP
kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
1. jose
2. haydey
2.Tintinalli, dkk. Emergency Medicine Fifth Edition. American College of
Emergency Physicians; 2000.30. 242 246
3.Working Group of the Resuscitation Council (UK) Emergency
treatment of anaphylactic reactions Guidelines for healthcare
providers. January 2008.
4. AP Arwin Akib, Zakiudin Munasir, Nia Kurniati. Buku ajar
Alergi-imunologi anak edisi kedua,Jakarta : Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2008. 207-223