Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
A. Pendahuluan
2
Kalimantan Tengah sebagai salah satu daerah di Indonesia yang memiliki areal
hutan yang cukup luas tentunya sudah cukup lama menjadi daerah eksploatasi
pemanfaatan kayu sebagai salah satu pemasok kebutuhan industri yang memerlukan
kayu sebagai bahan bakunya, baik untuk industri dalam negeri maupun luar negeri.
Sebelum era otonomi yang dimulai pada awal tahun 1990-an, pengelolaan hutan
sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat, hal ini mengakibatkan daerah-
daerah yang memiliki areal hutan seperti tidak memperoleh manfaat yang sepadan
dengan jumlah kekayaan alam yang diambil dari wilayah mereka.
Meski kalo dicermati tidak hanya oknum-oknum pusat yang menikmati
keuntungan dari penjualan kayu di daerah seperti Kalimantan Tengah, namun oknum-
oknum di daerah juga ikut bermain dalam menikmati hasil dari eksploatasi hasil hutan
tersebut, khususnya dari berbagai pungutan-pungutan liar yang wajib disetor oleh para
pengusaha kayu. Belum lagi jika para pihak di daerah tersebut ikut bermain dalam
“illegal logging” maka bisa dibayangkan berapa jumlah kekayaan yang diperoleh.
Perebutan kepentingan dalam hal pemanfaatan kekayaan hutan sebenarnya
sudah mulai terlihat ketika pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 5 tahun
1967 tentang Kehutan Dasar yang tidak mengacu kepada Undang-Undang No. 5 tahun
1960 tentang Pokok-pokok Agraria, sehingga memisahkan antara area Agraria dengan
kawasan hutan.
Dimana dengan adanya undang-undang kehutanan maka pejabat-pejabat yang
mempunyai akses ke pusat kekuasaan dapat dengan mudah mempereloh ijin-ijin
konsesi hutan yang berupa Hak Pengelolaan Hutan (HPH), sehingga mulailah muncul
pengusaha-pengusaha yang terkenal sebagai “raja kayu”
Kalimantan Tengah waktu itu dikenal sebagai “dapur” dari sistem HPH tersebut
dimana di daerah tersebut Departemen Kehutanan telah mengeluarkan 108 HPH
dengan jangka waktu masing-masing 20 tahun untuk mengeksploatasi daerah-daerah
hutan di Kalimantan Tengah yang menurun data yang ada hasil produksi hutan di
daerah ini memasok sekitar 40 % dari suplai kayu glondongan nasional setiap tahun
(Kompas 18-6-2001).
Sistem eksploatasi besar-besaran itu berjalan dibawah mata buta para pejabat
lokal yang setia pada rezim penguasa. Ketika sistem itu berjalan, mereka berkembang
3
menjadi jaringan pertukaran dan akomodasi yang mencakup staf kehutanan, personil
tentara dan pejabat-pejabat lokal kunci lainnya. Dalam banyak hal bos-bos lokal yang
mempunyai akses ke modal dan kontak-kontak serta hubungan-hubungan kekerabatan
dalam lembaga-lembaga negara, dengan agen-agen dari para operator konsensi yang
tersentralisir, dan para pejabat polisi serta militer lokal memaikan peranan kunci dalam
pengaturan-pengaturan ini. Sementara sanksi-sanksi negara legal tidak akan diterapkan
terhadap mereka yang mematuhi sistem pengaturan timbal balik ini.
4
ikut menikmati keuntungan dari pengurasan sumber-sumber kekayaan alam tersebut
tidak menjadi lebih baik. Akhirnya para elit lokal menggunakan isu ”sentimen putra
daerah” untuk melegitimasi keputusan-keputusan yang dipandang menguntungkan
kepentingan-kepentingan lokal. Elit-elit kabupaten yang merasa mereka belum pernah
menikmati bagian yang adil dari pengurasan sumber alam selama Orde Baru, kini
melihat telah tiba giliran mereka untuk menangguk keuntungan.
Dengan cara-cara ini maupun lainnya, bupati-bupati bisa memberikan tekanan
pada para konglomerat untuk merundingkan akses via pemerintah kabupaten . Di
Kalimantan Tengah dengan bekerjasama dengan pengusaha-pengusaha lokal, banyak
konsesioner mulai berinvestasi dengan strategi pengurasan lain. Dengan memperluas
sistem yang telah berjalan, para konglomerat bekerjasama dengan para pengusaha dan
pialang lokal dengan dukungan informal dari bupati-bupati dan gubernur
Sistem ini memiliki keuntungan secara besar-besaran meningkatkan pajak-pajak
kabupaten (Pendapatan Asli Daerah) yang menguntungkan pemerintahan daerah.
Dengan adanya korupsi dan kolusi dalam bagaimana sistem ini dijalankan, secara tidak
resmi sistem ini juga memperkaya orang-orang yang menduduki posisi-posisi kunci
dalam pemerintahan kabupaten.
Di pihak lain para anggota DPRD yang seharusnya menjadi lembaga yang
mengontrol kebijakan pemerintah daerah malah banyak yang terlibat langsung dalam
jaringan perdagangan kayu, dengan memanfaatkan status mereka dalam jaringan-
jaringan imbalan dan akomodasi yang mencakup eksekutif untuk memberikan operasi-
operasi yang bebas dari penegakan hukum. Anggota-anggota DPRD memberikan
rekomendasi agar kayu bisa lewat kabupaten mereka atau mendukung pernyataan-
pernyataan dari kepentingan-kepentingan kayu atas nama DPRD. Secara langsung
diperkirakan lebih dari 60 anggota DPRD di Kalimantan Tengah terlibat secara
langsung dalam usaha-usaha kayu. Ini menunjukkan pada realita bahwa mekanisme –
mekanisme formal partisipasi dan keterwakilan publik sedikit sekali menyerupai
partisipasi dan keterwakilan yang sebenarnya dalam menetapkan siapa saja yang
mendapatkan akses menuju sumber-sumber dan bagaimana mereka melakukan hal itu.
5
3. Era Deregulasi Otonomi Daerah
6
membawa ”bendera Kapolda” tidak ada orang yang berani menyentuhnya. ”Polisi bisa
menahan kami” katanya, ”tapi mereka tidak bisa mengusik kayu-kayu ini”.
Hanya sindikat-sindikat kayu yang memberikan pembayaran pada pialang
dengan restu Kapolda yang masih bisa terus beroperasi. Hal itu mengarah pada jaringan
”seleksi alam” yang lain dan aktor-aktor yang tidak mempunyai hubungan kerja yang
bagus dengan penjaga pintu gerbang, atau tidak mampu melakukan pembayaran yang
cepat dan memadai akan menghadapi sanksi-sanksi hukum.
Dampak dari hal-hal tersebut tentunya membuat daerah-daerah mulai
kehilangan lagi sumber pendapatan yang bisa diandalkan karena akses yang telah
diambil lagi oleh pemerintah pusat, sehingga praktik-praktik administratif untuk
meningkatkan PAD dan mencuci kayu tidak bisa lagi digunakan. Karena itu pendapatan
kabupaten dari sektor kehutanan merosot. Dan lebih jauh lagi otonomi daerah disektor
kehutanan juga mengalami pasang surut.
7
mengeluarkan lisensi penambangan, sementara kontribusi timah untuk Bangka lebih
banyak diberikan ke pusat dan ke Palembang dibanding ke pulau ini. Posisi pemda
yang lemah, sedangkan posisi PT Tambang Timah yang hanya merupakan
perpanjangan tangan pusat menjadi lebih kuat sehingga kedua pulau yaitu Bangka-
Belitung tetap sebagai pulau yang dikuasai oleh perusahaan baik pada masa kolonial
dan pasca kolonial (Sommers Heidhues 1991)
8
para penambang timah rakyat atau yang biasa disebut sebagai penambang Timah
Inkonvensional (TI) yang dimodali oleh para cukong dari Singapura dan Jakarta,
dimana jumlah produksi penambang TI ini jauh lebih besar dari yang dihasilkan oleh
PT Timah yang pada akhirnya ini menjadi cikal bakal runtuhnya kejayaan PT Timah.
Melihat kejadian tersebut pemerintah pusat kemudian merasa bahwa dampak
lingkungan yang ditimbulkan oleh para penambang TI sangat bunruk, dan pada
akhirnya sampai pada keluarnya keputusan larangan ekspor pasir timah hitam ke luar
negeri oleh Menteri Perdagangan dan Industri pada tanggal 17 April 2002, jadi pasir
timah harus dicairkan dulu sebelum dikeluarkan dari pulau tersebut..
Namun seperti sudah diduga keputusan itu tidak bisa bertahan lama, karena
dengan berbagai dalih khususnya penyataan yang menyebutkan ribuan masyarakat di
Bangka Belitung yang menggantungkan hidupnya sebagai penambang TI sehingga
akan menimbulkan penggangguran yang sangat besar apabila kebijakan tersebut
dilanjutkan.
Dalam perkembangan selanjutnya silih berganti muncul para penguasa komoditi
timah di daerah Bangka dan Belitung bahkan sampai muncul istilah Raja Timah 1 dan
Raja Timah 2 yang memiliki akses ke kekuasaan sangat besar, sampai-sampai saat
dilakukan penangkapan karena pelanggaran kasus hukum banyak demonstrasi yang
menuntut agar mereka dibebaskan.
Semakin bertambahnya penambang TI sebenarnya juga tiga lebih
mensejahterakan mereka, karena kerusakan lingkungan yang ditimbulkan jauh lebih
parah bahkan sudah mencemari wilayah laut diakibatkan dari sisa-sisa hasil tambang
(tailing) yang mencemari sungai dan laut mengakibatkan berkurangnya jumlah
tangkapan bagi para nelayan.
Selain masalah lingkungan yang parah, pemerintah daerah juga menghadapi
berbagai masalah yang muncul di kalangan masyarakat penambang sendiri sehubungan
dengan maraknya penambangan TI. Masalah minuman keras, judi dan perempuan tidak
bisa dielakkan. Sebagian uang yang diperoleh penambang dibelanjakan untuk hal-hal
semacam itu, sebuah gejala uang sama seperti masa kolonial, sungguh ironi.
9
D. Arah dan Kebijakan Pemanfaatan Kekayaan Alam
Dari kasus yang ditampilkan diatas secara garis besar sudah bisa dilihat bahwa
orientasi atau yang diambil oleh pembuat kebijakan baik pada masa sebelum otonomi
daerah maupun setelah otonomi daerah lebih kepada eksploatasi sebesar-besarnya
kekayaan alam yang ada guna keuntungan sekelompok orang atau golongan.
Dampak-dampak negatif yang mungkin ditimbulkan dari kegiatan seperti kerusakan
alam dan berbagai bencana alam yang mungkin bisa timbul , hanya sebatas disampaikan
dalam lampiran syarat pada saat pengajuan perijinan, yang setelah itu tidak pernah lagi
diperhatikan. Jadi tidak heran jika hutan-hutan kita sekarang menjadi rusak parah dana
berbagai bencana banjir melanda di daerah-daerah yang bertahun-tahun yang lalu tidak
pernah ada yang kebanjiran.
Selain itu juga tidak aneh jika para nelayan di Bangka Belitung harus mengeluarkan
biaya ekstra dengan melaut lebih jauh dari bibir pantai untuk memperoleh hasil yang lebih
baik karena tingkat pencemaran dari residu penambangan timah yang sudah jauh
mencemari aliran sungai sampai di bibir pantai.
Melihat ini semua maka cita-cita Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan
bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat menjadi jauh panggang dari api,
baik itu pake model sentralististik maupun model desentralistik, jadi sebenarnya bukan
polanya yang harus diubah, tapi motivasi dari para pengambil kebijakan itu yang haru
diperbaiki sehingga semua itu hanya untuk satu tujuan yaitu untuk kemakmuran bersama.
10
E. DAFTAR PUSTAKA
Eva Wollenberg dan Hariadi Kartodihardjo, 2003. Devolusi dan Undang-Undang Kehutanan
Baru Indonesia (Ke Mana Harus Melangkah ? Masyarakat, Hutan dan Perumusan
Kebijakan di Indonesia). Yayasan Obor Indonesia
Ida Aju Pradnja Resosudarmo dan Ahmad Dermawan, 2003. Hutan dan Otonomi Daerah :
Tantangan Berbagi Suka dan Duka (Ke Mana Harus Melangkah ? Masyarakat,
Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia). Yayasan Obor Indonesia
John F. McCarthy, 2009. Dijual ke Hilir : Merundingkan Kembali Kekuasaaan Publik Atas
Alam di Kalimantan Tengah (Politik Lokal di Indonesia). Yayasan Obor Indonesia
Erwiza Erman, 2009. Deregulasi Tata Niaga Timah dan Pembuatan Negara Bayangan
Lokal : Studi Kasus Bangka (Politik Lokal di Indonesai). Yayasan Obor
Indonesia
11