Anda di halaman 1dari 9

PENDAHULUAN

Dalam negara demokrasi seperti Amerika Serikat kehendak rakyat merupakan nilai paling
dasar yang menjadi prioritas utama dalam penyelenggaraan pemerintahan. Untuk itulah,
lahirnya pemerintahan dalam sebuah negara demokrasi idealnya adalah berdasarkan
keinginan populer. Adanya doktrin vox populi vox dei merupakan salah satu instrumen
penjelas bahwa kehendak rakyat merupakan hal yang harus diutamakan. Dalam sebuah
pemerintahan, adanya demokrasi salah satunya adalah untuk menghindari kekuasaan otoriter
(authoritarian rule) yang tidak mempunyai akuntabilitas terhadap rakyat yang dipimpinnya 1
Sejarah lahirnya demokrasi di Amerika yang disebut sebagai demokrasi liberal2 memang tak
pernah lepas dari nilai suatu ajaran agama yang dibawa oleh kelompok-kelompok kecil yang
hijrah dari Inggris ke Amerika. Kelompok-kelompok kecil itu adalah: pertama, kaum puritan
yang terdiri dari 16 orang laki-laki kulit putih, yang mendarat di Massachussetts pada 15
November 1620 dan mempunyai tujuan untuk memurnikan agama Kristen (Anglican Church)
yang sudah terpengaruh oleh ajaran Kristen Roma. Kedua, adalah kelompok kecil yang
dikenal dengan sebutan pilgrims dan hijrah dari Inggris ke Amerika dengan menaiki kapal
Mayflower pada akhir tahun 1620 di sebuah daerah yang kemudian dikenal dengan sebutan
New England.
Kapal Mayflower inilah 41 orang laki laki berkumpul dikabin dan membuat suatu
kesepakatan mengenai harus adanya keadilan dan kesetaraan hukum serta kekuasaan politik
yang berdasarkan kehendak bersama di tempat mereka berpijak kelak. Kesepakatan yang
dikenal sebagai Mayflower Compact inilah yang menjadi cikal bakal dari lahirnya demokrasi
di Amerika. Tujuan dari kelompok kedua (pilgrims) ini berbeda dengan kelompok puritan
yang mendarat pada 15 November 1620. Kelompok kedua (pilgrims) adalah untuk memulai
hidup baru di sebuah tanah yang mereka anggap seperti rumah sendiri serta beribadah sesuai
dengan kepercayaannya tanpa ada paksaan dari pemerintah Inggris3
Meskipun kaum puritan dan kaum pilgrims mempunyai tujuan yang berbeda saat mendarat di
Amerika, tetapi mereka membawa nilai dari ajaran agama yang sama. Nilai dari ajaran agama
yang mereka bawa adalah nilai dari ajaran puritan atau puritanisme. Puritanisme bukanlah
semata-mata doktrin keagamaan, tapi dalam banyak hal puritanisme terkait erat dengan teoriteori demokrasi dan republik4

1 Al-Arief, Mohamad. Pemilihan Presiden Amerika Serikat Tahun 2000: Suatu


Kritik terhadap Demokrasi Amerika dalam Jurnal Studi Amerika Vol VII, (Pusat
kajian Wilayah Amerika, Universitas Indonesia, Jakarta 2001), 38
2 Mallarangeng, Andi. 1997, Rasionalitas Pemilih dan Prospek Demokrasi,
www.republika online.com. Diakses pada Rabu, 14 Mei 2008, pukul 22,46
3 Winthrop D. Jordan. Et.all. 1992, The Americans; A History, McDougal, Littell &
Company. Illinois. 1992

Salah satu kelebihan dari mental pemilih Amerika Serikat adalah karekteristiknya yang
berisifat rasional, kompetensi dan kapabilitas dari calon maupun bakal calon peserta
pemilihan umum lebih diperhatikan ketimbang asal partainya. Indikasinya adalah adanya
kader suatu partai menyeberang untuk memilih calon dari partai lain karena calon tersebut
dianggap dapat merepresentasikan kepentingannya. Misalnya, Oprah Winfrey seorang
selebritis Holywood yang mendukung bakal calon presiden Amerika Serikat dari Partai
Demokrat padahal ia sendiri seorang Republikan5
Melejitnya Obama maupun Hillary tidak lepas dari krisis yang melanda Amerika Serikat
akhir-akhir ini. Salah satu penyebab krisis tersebut adalah kebijakan Presiden George W.
Bush (Presiden Amerika Serikat Periode 2000- 2008) yang kontroversial dan mendapat
kecaman dari masyarakat Amerika, misalnya kebijakan untuk menginvasi Irak. Krisis yang
diakibatkan oleh kebijakan Presiden Bush semakin parah pada periode kedua pemerintahan
Presiden Bush, yaitu mulai tahun 2004. Tak hanya itu saja, krisis yang melanda kehidupan
dalam negeri Amerika Serikat, seperti krisis ekonomi dan kepercayaan terhadap
pemerintahan saat ini, juga menjadi salah satu faktor penyebab ketidakpuasan atas
kepemimpinan Presiden Bush. Di tengah krisis yang sedang melanda itulah, rakyat Amerika
Serikat membutuhkan sosok yang bisa membawa angin perubahan. Dalam hal ini, munculnya
Obama dan Hillary dianggap dapat membawa angin perubahan itu. Selain itu, keduanya
berasal dari Partai Demokrat yang merupakan saingan terbesar Partai Republik yang pada
masa pemerintahan Presiden George W. Bush berperan sebagai oposisi di pemerintahan.

TINJAUAN PUSTAKA
Suparlan mengatakan bahwa multikulturalisme adalah sebuah ideologi tentang perbedaan
dalam kesederajatan. Multikulturalisme mempunyai fondasi kebudayaan dalam masyarakat
yang bersangkutan, yang terwujud sebagai sebuah mozaik dari kebudayaan-kebudayaan yang
dipunyai oleh masyarakat multikultural. Sebagai sebuah ideologi yang menekankan
perbedaan dalam kesederajatan, multikulturalisme didukung oleh ideologi demokrasi yang di
dalamnya menganut prinsip persamaan dan kebebasan. Multikulturalisme dikembangkan dari
konsep pluralisme budaya (cultural pluralism) dengan menekankan kesederajatankebudayaan yang ada pada sebuah masyarakat. Untuk itulah, ulasan mengenai
multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung
6

4 Assyaukanie, Luthf. Demokrasi dan Puritanisme. www.assyaukanie.com.


Diakses pada tanggal 10 Mei 2008, pukul 22.06.
5 www.tempointeraktif.com. Diakses pada tanggal 10 Mei 2008 pukul 23.03 wib.
6 Suparlan Parsudi.Yang Sakral dalam Nilai-nilai budaya Amerika, dalam Jurnal
Studi Amerika Vol 1 No. 2. Juli 1991.

ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja
dan berusaha, HAM, hak budaya komunitas dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan
moral, dan tingkat serta mutu produktivitas. Dalam konteks sebuah masyarakat permasalahan
tersebut tentunya tidak akan lepas dari sebuah perbedaan. Iris Marion Young (1993:296)
mengatakan bahwa: We seek a society in which differences of race, sex, religion, and
ethnicity no longer make difference to peoples rights and opportunities. (Kita memerlukan
suatu masyarakat, dimana perbedaan ras, jenis kelamin, dan etnis tidak lagi membuat
pembedaan terhadap hak dan kesempatan tiap orang.) Dari kutipan tersebut, jelas terlihat
bahwa multikulturalisme berkaitan erat dengan keberadaan kelompok minoritas, perbedaan
ras, agama, etnis dan jenis kelamin, serta hak dan kesempatan individu-individu ataupun
kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Sampai dengan Perang Dunia ke-2, masyarakat Amerika hanya mengenal adanya satu
kebudayaan, yaitu kebudayaan Kulit Putih yang Kristen (Suparlan, 2002). Hal ini terjadi
karena kentalnya keberadaan kelompok WASP di Amerika sehingga menempatkan
masyarakat dengan latar belakang White Anglo-Saxon Protestan menjadi masyarakat nomor
satu. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat Amerika digolongkan sebagai
kelompok minoritas dengan segala hak-hak mereka yang dibatasi atau dikebiri.
Di Amerika berbagai gejolak untuk persamaan hak bagi golongan minoritas dan kulit hitam
serta kulit berwarna mulai muncul di akhir tahun 1950an. Puncaknya adalah pada tahun
1960an, dengan dilarangnya perlakuan diskriminasi oleh orang kulit putih terhadap orang
kulit hitam dan berwarna di tempat-tempat umum. Perjuangan hak-hak sipil ini dilanjutkan
secara lebih efektif dengan cara memanfaatkan kegiatan affirmative action yang diadakan
oleh pemerintah untuk membantu kelompok minoritas agar dapat mengejar ketinggalan
mereka dari golongan kulit putih yang dominan di berbagai posisi dan jabatan dalam berbagai
bidang pekerjaan dan usaha.
Mengacu pada karya-karya Malinowski (dalam Suparlan, 2004:4) mengenai kebutuhankebutuhan manusia dan pemenuhannya melalui fungsi dan pola-pola kebudayaan, dan
mengacu pada karya Kluckhohn (dalam Suparlan, 2004:4) yang melihat kebudayaan sebagai
blueprint, bagi kehidupan manusia, serta Geerts (dalam Suparlan, 2004:4) yang melihat
kebudayaan sebagai sistemsistem makna, maka kebudayaan merupakan pedoman bagi
kehidupan masyarakat yang secara bersama dimiliki oleh raga sebuah masyarakat. Dengan
kata lain, kebudayaan adalah sebuah pedoman menyeluruh bagi sebuah masyarakat dan
warganya. Sedangkan masyarakat adalah sekelompok individu yang secara langsung maupun
tidak langsung saling berhubungan sehingga merupakan sebuah satuan kehidupan yang
mempunyai kebudayaan sendiri yang berbeda dengan kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat lain. (Suparlan, 2004:4)
Ada beberapa pendekatan dalam memahami sebuah kebudayaan. Salah satunya adalah
pendekatan struktural-fungsional. Melalui pendekatan strukturalfungsional, Parsudi Suparlan
(1991:4) melihat kebudayaan sebagai sebuah sistem yang terdiri atas unsur-unsur, dimana
unsur-unsur tersebut saling berkaitan dan menghidupi satu sama lainnya secara keseluruhan.

Apa yang diungkapkan oleh Luedke sebenarnya menunjukkan bahwa dalam masyarakat
Amerika terdapat suatu keseragaman komitmen secara politik dan ideologi. Namun dalam
keseragaman tersebut, terdapat kebebasan-kebebasan secara individual berkenaan dengan
cara-cara hidup dan kebiasaan sehari-hari yang dijalani dengan kebudayaan yang dijadikan
pedoman hidup warga Amerika. Dari situ, kita dapat melihat bahwa ada tiga hal yang perlu
diperhatikan dalam melihat pluralisme Amerika. Tiga hal tersebut adalah: individu,
masyarakat dan negara. Suparlan (2004:10) mengatakan bahwa tiga hal tersebut merupakan
simbol-simbol yang sakral dalam kebudayaan Amerika. Bahkan ketiga simbol sakral tersebut
merupakan simbol-simbol yang terakhir dan mutlak. Simbolsimbol tersebut akan berkaitan
dengan nilai-nilai sakral yang ada di Amerika, seperti persamaan hak, kebebasan, dan
kompetisi. Selain itu, terdapat juga konformiti atau penyesuaian diri secara lahiriah untuk
kesamaan kedudukan, gerak, dan pertentangan, keteraturan, dan ketertiban, serta hirarki
sebagai lawan dari keadaan setaraf.

Demokrasi di Amerika Demokrasi berasal dari bahasa Yunani demokratia, yaitu demos
yang berarti rakyat (people) dan kratos yang berarti aturan (rule). (Williams, 1993:19)
Demokrasi Amerika adalah demokrasi pertama dalam pengertian kontemporer, yaitu suatu
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Di zaman Yunani memang sudah ada
demokrasi, namun itu adalah demokrasi kaum elite kekuasaan hanya dipegang oleh raja dan
bangsawan. Plato sangat membenci demokrasi pada saat itu karena sifatnya yang anarkis atau
bersifat medioker (Mallarangeng, 2006). Dalam sejarah Amerika Serikat, tidak ada dokumen
resmi yang menyatakan atau menandai lahirnya demokrasi, yang ada hanya dokumen
mengenai bentuk Republik sebagai lawan dari Monarki. (handout mata kuliah Politik dan
Pemerintahan Amerika, 2007)
Marc F. Plattner (2008:195) mengatakan bahwa kekuasaan pemerintah, terutama dibatasi oleh
hak-hak setiap individu. Konsep hak alamiah atau hak yang tidak dapat dicabut, yang
sekarang lebih umum disebut sebagai hak azasi manusia, berasal dari liberalisme.
Demokrasi Amerika juga dipengaruhi oleh banyak budaya yang dibawa oleh pendatang dari
berbagai negara seperti Perancis, Irlandia, dan Jerman. Dari sekian banyak nilai budaya yang
mempengaruhi lahirnya demokrasi Amerika, terdapat dua nilai yang secara signifikan
mempengaruhi demokrasi di Amerika. Pertama adalah kesetaraan (equality). Kesetaraan
menjadi salah satu hal yang utama dalam pembentukan demokrasi di Amerika. Hal ini terjadi
karena Amerika bukan lagi terdiri dari suku bangsa yang plural, melainkan terdiri dari
bangsabangsa yang datang dari beberapa negara Eropa, Asia, maupun Afrika. Pluralitas ini
kemudian menuntut sebuah kesetaraan yang dapat menjamin kehidupan seluruh rakyat
Amerika. Alexis de Tocqueville (dalam Green, 1993:39) dalam Democracy in America
mengatakan: America, then, exhibits in her social state an extraordinary phenomenon. Men
are there seen on a greater equality in point of fortune and intellect, or, in other words, more
equal in their strength, than in any country of the world, or in any age which history has
preserved the remembrance . (Amerika, kemudian memamerkan fenomena yang luar biasa
dalam kehidupan sosial bernegaranya. Kaum laki-laki terlihat dalam kesetaraan yang lebih

besar pada sisi keuntungan dan intelektualitas, atau, dengan kata lain, lebih setara dalam
kekuatan mereka, daripada dalam negara manapun di dunia, atau, dalam segala zaman di
mana sejarah telah mengenangnya.) Dalam deklarasi kemerdekaan yang menyatakan all
men are created equal pun, terbersit semacam spirit dan inspirasi bagi seluruh bangsa
Amerika untuk membawa kesetaraan dalam kehidupan mereka. (Ahdiati, 2007:2)
Selain equality, salah satu hal yang menjadi esensi dari pembentukan demokrasi di Amerika
adalah kebebasan individu atau dalam konteks sosial politik disebut civil rights (hak sipil),
yaitu: kebebasan beribadah, berbicara, berkumpul, bertanya pada pemerintah, dan
perlindungan hukum. Dijunjung tingginya civil rights ini merupakan manifestasi dari
masyarakat Amerika yang sangat plural. Dalam hal ini, supremasi sipil meminimalkan peran
militer. Hal ini terjadi karena kekuatan militer, sesuai dengan karakteristiknya, dianggap
sebagai kekuatan yang berlawanan dengan demokrasi. (handout mata kuliah Politik dan
Pemerintahan Amerika, 2007)
Sejarah pemilihan Presiden Amerika dimulai ketika pada tahun 1789 George Washington
terpilih menjadi presiden pertama Amerika Serikat tanpa melalui mekanisme demokrasi yang
menjadi standar demokrasi modern. Terpilihnya Washington karena jasa-jasanya dalam
perang kemerdekaan dalam membebaskan koloni-koloni dari jajahan Inggris. Legitimasi
yang diperoleh Washington tidak langsung berasal dari rakyat Amerika akan tetapi berasal
dari elite politik yang belum tentu merupakan representasi dari rakyat. Namun seiring dengan
perjalanan waktu, akhirnya sistem pemilihan umum untuk pemilihan presiden Amerika
Serikat diterapkan. (Al Arief, 2001:38)
Sistem pemilihan umum yang diterapkan di Amerika Serikat disebut dengan sistem electoral
college yang merupakan sistem pemilihan dua tahap (two-step election). Digunakannya
sistem ini adalah untuk menghindari ketimpangan proporsi antara negara bagian yang padat
penduduk dengan yang kurang penduduknya. Hal ini untuk menghindari seorang calon
presiden dari tindakan yang hanya mementingkan yang terkonsentrasi pada negara bagian
yang padat penduduknya. Namun demikian, sistem electoral college juga berusaha
mengurangi insignifikansi dari negara bagian yang kurang penduduknya. (Al Arief, 2001:39)
Seperti halnya proses menuju pemilihan presiden di negara manapun, seorang kandidat calon
presiden harus melalui proses pemilihan di dalam internal partainya. Hal ini seperti yang
dikatakan oleh Steffen (1999:323) bahwa Some state parties use the Primary Election, some
caucus, and some state-level convention to nominate candidates for the ticket. (Beberapa
partai menggunakan pemilihan pendahuluan, beberapa menggunakan kaukus, dan beberapa
menggunakan konvensi tingkat-nasional untuk menominasikan para kandidatnya guna
mendapatkan tiket pencalonannya.) Di Amerika Serikat, seorang bakal calon Presiden
Amerika yang ingin menjadi calon presiden harus melewati seleksi partai. Seleksi tersebut di
Amerika disebut dengan Primary Election. Primary Election ini dilaksanakan di seluruh
negara bagian di Amerika Serikat.
Proses pemilihan presiden yang secara resmi memakai sistem Primary Election pertama kali
diadakan di negara bagian Florida pada tahun 1901, yang selanjutnya berkembang ke semua
negara bagian dengan bermacam-macam cara (Schmidt.et.all., 1999:313) Pertama, Open

Primary Election, yaitu mengizinkan semua pemilih yang terdaftar tanpa memandang afiliasi
partainya untuk ikut serta pada pemilihan (Primary Election). Dengan demikian, setiap
pemilih terdaftar dapat ikut serta dalam Primary Election yang diadakan oleh Partai
Demokrat, Republik atau partai-partai lainnya. Sistem ini terdapat di 8 (delapan) negara
bagian, antara lain: Idaho, Michigan, Minnesota dan Utah. Kedua, Closed Primary Election.
Dalam sistem ini, para pemilih terdaftar hanya dibolehkan memilih pada Primary Election
yang diadakan oleh partainya. Dengan kata lain, setiap pemilih harus mendaftarkan diri pada
pengurus partainya untuk dapat ikut pemilihan. Sebagian besar negara bagian di AS
melaksanakan sistem ini, antara lain: California, Texas, dan Wisconsin. Di sejumlah negaranegara bagian di selatan, jika tidak terdapat calon yang memperoleh suara mayoritas, maka
diadakanlah pemilihan ulang antara dua calon yang memperoleh suara terbanyak. Ketiga,
Blanket Primary Election. Sistem ini memberikan kesempatan kepada semua calon dari
partai-partai yang ada untuk dimuat dalam daftar calon presiden dan calon-calon delegasi
yang akan dipilih. Dengan demikian, para pemilih dapat menyeleksi calon-calon untuk
kemudian memilih satu orang calon dari setiap partai, disertai calon delegasi yang akan ikut
konvensi dari partai yang bersangkutan. Sistem ini dianut oleh negara bagian Alaska
dan Washington.
Budaya politik
Albert Widjaja (1982) menyatakan bahwa budaya politik merupakan aspek politik dari sistem
nilai-nilai yang terdiri dari ide, pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos. Kesemuanya itu
dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik memberikan rasionalitas
untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma-norma lain. Walter A Rosenbaum (1975)
menyebutkan bahwa budaya politik dapat didefinisikan dalam dua cara. Pertama, jika
terkonsentrasi pada individu, budaya politik merupakan fokus psikologis. Artinya, bagaimana
cara-cara seseorang melihat sistem politik. Apa yang orang tersebut rasakan dan pikirkan
tentang simbol, lembaga dan aturan yang ada dalam tatanan politik dan bagaimana pula ia
meresponnya. Kedua, budaya politik merujuk pada orientasi kolektif rakyat terhadap elemenelemen dasar dalam sistem politiknya.
Menurut Gabriel Almond (1966), budaya politik adalah pola sikap dan orientasi individu
terhadap politik anggota sistem politik. Almond dan Verba (dalam Suryadinata, 1992)
mengatakan bahwa kebudayaan suatu bangsa sebagai distribusi, pola-pola orientasi khusus
menuju tujuan politik diantara masyarakat tersebut, yaitu tidak lain adalah pola tingkah laku
individu yang berkaitan dengan kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu
sistem politik. Kemudian Almond dan Verba (dalam Suryadinata, 1992) mengklasifikasikan
budaya politik sebagai politik : Budaya politik parochial (parochial political culture), Budaya
politik subyek (subject political culture), Budaya politik partisipan (partisipan political
culture)
Perilaku Politik
Pada dasarnya, perilaku politik tidak serta merta sebagai suatu hal yang berdiri sendiri, akan
tetapi mengandung keterkaitan dengan hal-hal lain. Perilaku politik yang ditunjukkan oleh
individu merupakan hasil pengaruh beberapa faktor, baik internal maupun eksternal, yang

menyangkut lingkungan alam maupun lingkungan sosial budaya. Perilaku politik dapat
dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan
keputusan politik. (Subakti, 1992:131) Sastroatmodjo (1995:2) mengatakan bahwa interaksi
politik antara pemerintah dan masyarakat, antarlembaga pemerintahan dan antara kelompok
dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan
keputusan politik merupakan perilaku politik.
Perilaku politik secara langsung maupun tidak langsung dapat dipengaruhi oleh beberapa hal,
diantaranya adalah: lingkungan politik secara tidak langsung, yang terjadi dari sistem politik,
sistem ekonomi, sistem budaya dan media massa.(dalam Sastroatmodjo,1995:2)
Menurut Milbraith (dalam Sudijono. S, 1995), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
perubahan partisipasi politik seseorang adalah: 1) kepekaan menerima rangsangan politik
yang dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, dan nilainilai, pengalaman-pengalaman, dan
kepribadian; dan 2) karakteristik sosial seperti usia, status ekonomi, karakter suku, jenis
kelamin dan agama atau keyakinan ketiga sifat dan sistem partai keempat perbedaan regional
atau perbedaan watak dan tingkah laku individu. Miriam Budiarjo (1981) mengatakan bahwa
ada empat faktor yang berpengaruh terhadap pemilih: 1) kekuasaan, yaitu cara mencapai
yang diinginkan melalui sumber-sumber di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat; 2)
kepentingan, yaitu tujuan yang dikejar-kejar oleh pelaku atau kelompok-kelompok politik; 3)
kebijakan, yaitu hasil dari interaksi antara kekuasaan dan kepentingan yang biasanya dalam
perundang-undangan; dan 4) budaya politik, yaitu orientasi subyektif individu terhadap
sistem politik.
Perilaku memilih retrospektif tidak ubahnya seperti memberikan ganjaran atau hukuman
kepada kontestan yang sedang berkuasa. Pemilih memberikan ganjaran jika ia merasakan
adanya perbaikan terhadap nasibnya dan kepentingannya selama masa berkuasa sang
kontestan. Sebaliknya, pemilih akan memberikan hukuman berupa memilih kontestan lain
jika dirasakannya nasib dan kepentingannya tidak berubah atau bertambah buruk. Seperti
yang dikatakan oleh Andi Sukmono Kumba (2008) bahwa peristiwa-peristiwa politik tertentu
dapat mengubah preferensi pilihan seseorang. Kemampuan rakyat Amerika Serikat untuk
memberi ganjaran inilah yang menurut Rational Choice School menunjukkan letak
rasionalitas dari pemilih Amerika Serikat. Cipto (2007:44) mengatakan bahwa para pemilih
Amerika Serikat kurang berminat dengan label partai sebagaimana masih menjadi pusat
perhatian utama di negara-negara demokrasi baru.
Kampanye politik adalah kegiatan individual atau kelompok untuk mempengaruhi orang lain
agar mau memberikan dukungan dalam bentuk suara kepada mereka dalam suatu pemilihan
umum. Kampanye politik identik dengan keahlian memainkan emosi massa melalui
serangkaian kalimat seorang orator. Sedangkan political marketing adalah serangkaian
aktivitas terencana, strategis tapi juga taktis, berdimensi jangka panjang dan jangka pendek
untuk menyebarkan makna politik pada pemilih. Tujuannya untuk membentuk dan
menanamkan harapan, sikap, keyakinan, dan orientasi perilaku memilih. Perilaku memilih
yang diharapkan adalah ekspresi mendukung dengan berbagai dimensinya, khususnya
menjatuhkan pilihan pada partai atau kandidat tertentu (Nursal, 2004:23).

Faktor yang dapat digunakan untuk melihat keberhasilan kinerja pemasaran politik (dalam
Nursal, 2004:24), yaitu: Pangsa suara (share of vote), Perolehan kursi (seats on), Tingkat
kepuasan pemilih voters satisfaction), Tingkat kepercayaan pemilih voters confidence),
Pengaruh timbal balik sengan pemilih voters interaction)

METODE PENELITIAN
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Denzin dan
Lincoln (dalam Moloeng, 2004:5) menyebutkan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian
yang menggunakan latar belakang alamiah. Hal ini dimaksudkan untuk menafsirkan
fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada.
Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2001:4) mendefinisikan metodologi penelitian kualitatif
sebagai kata-kata, baik tertulis maupun lisan, dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
Oleh karena itu, pendekatannya diarahkan pada latar belakang dan individu tersebut secara
holistik. Sedangkan Jane Richie (dalam Moloeng, 2004:6) menyebutkan bahwa penelitian
kualitatif merupakan upaya menyajikan dunia sosial dan perspektifnya di dalam dunia, dari
konsep, perilaku, persepsi dan persoalan tentang manusia yang diteliti.
Metode analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode analisis hermeneutika
Gadamerian. Dalam proses penafsiran, menurut Gadamer (dalam Raharjo, 2008:93), terjadi
interaksi antara penafsir dan teks, penafsir mempertimbangkan konteks historisnya bersama
dengan prasangka-prasangka sang penafsir, seperti tradisi, kepentingan praksis, bahasa, dan
budaya. Dengan kata lain, sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan
tiga hal sebagai komponen pokok dalam kegiatan penafsiran, yakni teks, konteks, dan
kontekstualisasi. (Raharjo, 2008:31)
Gadamer (dalam Sumaryono, 1996:63-78) selanjutnya menjelaskan suatu model pamahaman,
yaitu dialog yang akan terjadi adalah antara pembaca dengan teks, terjemahan atau
pengalaman hermeneutik yang terjadi ketika seseorang melakukan penerjemahan teks asing
dalam bahasanya sendiri. Dialektika pertanyaan dan jawaban yang tak terelakan muncul pada
saat dialog dan meleburnya cakrawala atau proses pertemuan cakrawala pembaca dengan
teks.
Dalam setiap penelitian, diperlukan sebuah standar untuk melihat derajat kepercayaan atau
kebenaran terhadap hasil penelitian tersebut. Dalam penelitian kualitatif, derajat penelitian itu
disebut dengan keabsahan data. Keabsahan data dalam penelitian ini ditempuh melalui teknik
koroborasi. Koroborasi adalah bagian utama yang kompleks dari metode penelitian
kesejarahan dan studi pustaka. Teknik ini dilakukan dengan membandingkan antara dua atau
lebih sumber untuk menentukan masalah atau bukti-bukti yang kontradiktif . (Mestika,
2004:75)

Anda mungkin juga menyukai