Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

Mata merah merupakan keluhan penderita yang sering kita dengar.


Keluhan ini timbul akibat terjadinya perubahan warna bola mata yang
sebelumnya berwarna putih menjadi berwarna merah.
Pada mata normal sklera terlihat berwarna putih karena sklera dapat
terlihat melalui bagian konjungtiva dan kapsul tenon yang tipis dan tembus sinar.
Mata terlihat merah akibat melebarnya pembuluh darah konjungtiva yang terjadi
pada peradangan mata akut, misalnya pada keratitis, iritis, glaukoma akut, dan
konjungtivitis.
Untuk memudahkan penentuan diagnosis penyakit penyebab mata
merah, maka keluhanmata merah dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu
mata

merah

dengan

visus normal dan matamerah dengan visus menurun.

Kemudian, mata merah dengan visus menurun terbagi lagi menjadidua yaitu
merah tidak merata dan merah merata.
Mata merah tidak merata dengan visus normal dapat disebabkan oleh
episkleritis, skleritis, perdarahan subkonjungtiva, pterigium, pseudopterigium,
konjungtivitis flikten, dan pinguekulitis iritans. Mata merah merata dengan
visus normal dapat disebabkan oleh konjungtivitis bakterial, viral, maupun
alergi. Ketiga konjungtivitis tersebut dapat dibedakan dari hasil anamnesis.
Sedangkan penyebab mata merah dengan visus menurun antara lain,
keratitis, iridosiklitis akut, glaukoma akut, ulkus kornea danendoftalmitis.
Dalam menentukan diagnosis diperlukan data mengenai adanya faktor resiko
pada pasien, gejala lain yang menyertai dan tanda objektif pada pemeriksaan
seperti ditemukannya jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga dengan puncak
di kornea yang mengarah pada penyakit pterigium.

BAB II
LAPORAN KASUS

II.1.

Identifikasi
Nama

: Bp. A

Umur

: 55 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

II.2.

Agama

: Islam

Bangsa

: Indonesia

Pekerjaan

: Petani

Alamat

: Ngadi Luwih, Matesih

No. RM

: 2286XX

Anamnesis (Autoanamnesis, 31 Oktober 2015 di Poli Mata)


Keluhan Utama:
Mata kiri merah dan nerocos
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Pasien datang ke poli Mata RSUD Karanganyar dengan keluhan
mata sebelah kiri merah dan nerocos. Keluhan dirasakan sejak satu hari
sebelum pasien datang ke Rumah Sakit. Selain itu, pasien juga
mengeluhkan mata terasa gatal, perih, bengkak dan berair. Cairan yang
keluar tidak berwarna, tidak berbau, dan encer. Pasien juga merasakan
mata sebelah kiri terasa mengganjal saat membuka dan menutup mata,
akibat bengkaknya daerah mata yang merah.
Pasien mengaku kemarin sore matanya kelilipan oleh debu ketika
naik sepeda hendak perjalanan pulang kerumah dari sawah. Lalu, pasien
berhenti dan mengucek-ngucek matanya, pasien sempat susah membuka
2

matanya beberapa detik karena matanya terasa perih. Sudah diberikan obat
tetes mata oleh pasien yang dibelinya di apotik namun pasien tidak ingat
namanya apa. Dirasa keluhannya belum juga membaik lalu pasien berobat
ke poli Mata RSUD Karanganyar.
Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat penyakit mata

: disangkal

Riwayat memakai kacamata

: disangkal

Riwayat trauma

: diakui (mengucek mata)

Riwayat hipertensi

: disangkal

Riwayat diabetes melitus

: disangkal

Riwayat alergi

: disangkal

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga:

Riwayat sakit serupa

: disangkal

Riwayat hipertensi

: disangkal

Riwayat diabetes melitus

: disangkal

Riwayat alergi

: disangkal

Riwayat Penyakit Pada Lingkungan

II.3.

Riwayat sakit serupa

: disangkal

Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum

: tampak sakit ringan

Kesadaran

: compos mentis

Gizi

: cukup

Status Oftalmologikus
NO
1

PEMERIKSAAN
MATA
VISUS

6/15

6/15

PALPEBRA

Edema (-)

Edema (+)

Hiperemis (-)

Hiperemis (+)

Nyeri Tekan (-)

Nyeri Tekan (+)

Blefarospasme (-)

Blefarospasme (-)

Lagoftalmus (-)

Lagoftalmus (-)

Ektropion (-)

Ektropion (-)

Entropion (-)

Entropion (-)

Lesi Kulit (-)

Lesi Kulit (-)

Hiperemis (-)

Hiperemis (+)

Anemis (-)

Anemis (-)

Infiltrat (-)

Infiltrat (-)

Injeksi siliar (-)

Injeksi siliar (-)

Injeksi Konjungtiva (-)

Injeksi Konjungtiva
(+)

KONJUNGTIVA

OD

Terdapat jaringan

NO

KORNEA

PEMERIKSAAN
MATA

OS

fibrovaskular

Terdapat jaringan

pertengahan antara

fibrovaskular

tepi pupil dan limbus

pertengahan antara

Jernih (+)

tepi pupil dan limbus


Jernih (+)

Edema (-)

Edema (-)

Infiltrat (-)

Infiltrat (-)

OD

OS

5
6

COA

Jernih (+)

Jernih (+)

IRIS

Kedalaman cukup
Edema (-)

Kedalaman cukup
Edema (-)

Warna hitam

Warna hitam

Bulat

Bulat

Central

Central

RC D/I (+/+)

RC D/I (+/+)

Diameter 3mm

Diameter 3mm

PUPIL

LENSA

Jernih

Jernih

FUNDUS MEDIA

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

10

PAPIL
N.OPTICUS

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

11

MACULA LUTEA

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

12

RETINA

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

13

TIO

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

14

SISTEM
LAKRIMASI

Epifora (-)

Epifora (+)

Lakrimasi (-)

Lakrimasi (+)

OD

II.4

OS

Diagnosis Kerja
ODS Conjungtivitis e.c. Bakterial
ODS Pterigium grade II

II.5

Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
- C. tobroson ED MD / 2 jam dd gtt 1 ODS
- Opimox 500mg / 3x1 tab
2. Non medikamentosa (Edukasi)
- Jangan menggosok-ngosok mata (mengucek-ngucek mata)
- Menghindari faktor pencetus seperti angin, debu ataupun benda
asing dengan menggunakan kacamata untuk melindungi mata

II.6

Prognosis
Quo ad vitam

: ad bonam

Quo ad functionam

: ad bonam

Quo ad visam

: ad bonam
6

Quo ad comesticam

: dubia ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. Struktur Anatomi dari Konjungtiva


Konjungtiva merupakan membran mukosa tipis yang membatasi
permukaan dalam dari kelopak mata dan melipat ke belakang membungkus
permukaan depan dari bola mata, kecuali bagian jernih di tengah-tengah mata
(kornea). Membran ini berisi banyak pembuluh darah dan berubah merah saat
terjadi inflamasi. Konjungtiva terdiri dari tiga bagian:
1. Konjungtiva palpebralis : menutupi permukaan posterior dari palpebra
dan dapat dibagi menjadi marginal, tarsal, dan orbital konjungtiva.
a. Marginal konjungtiva memanjang dari tepi kelopak mata sampai sekitar
2mm

di

belakang

kelopak

mata

menuju

lengkung

dangkal,

sulkus subtarsalis. Sesungguhnya merupakan zona transisi antara


kulit dan konjungtiva sesungguhnya.
b. Tarsal

konjungtiva

bersifat

tipis,

transparan,

dan

sangat

vaskuler. Menempel ketat pada seluruh tarsal plate pada kelopak mata
atas. Pada kelopak mata bawah, hanya menempel setengah lebar tarsus.
Kelenjar tarsal terlihat lewat struktur ini sebagai garis kuning.
c. Orbital konjungtiva berada diantara tarsal plate dan forniks.
2. Konjungtiva
bola

bulbaris

: menutupi

sebagian

permukaan

anterior

mata. Terpisah dari sklera anterior oleh jaringan episklera dan

kapsula Tenon. Tepian sepanjang

3mm

dari

konjungtiva

bulbar

disekitar kornea disebut dengan konjungtiva limbal. Pada area limbus,


konjungtiva, kapsula Tenon, dan jaringan episklera bergabung menjadi
jaringan

padat

yang

terikat

secara

kuat

pada pertemuan

korneosklera di bawahnya. Pada limbus, epitel konjungtiva menjadi


berlanjut seperti yang ada pada kornea. Konjungtiva bulbar sangat
tipis. Konjungtiva bulbar juga bersifat dapat digerakkan, mudah melipat ke
belakang dan ke depan. Pembuluh darah dengan mudah dapat dilihat di
bawahnya. Di dalam konjungtiva bulbar terdapat sel goblet yang

mensekresi musin, suatu komponen penting lapisan air mata pre-kornea


yang memproteksi dan memberi nutrisi bagi kornea.
3. Forniks :

bagian transisi yang membentuk hubungan

posterior palpebra dan bola mata.

Forniks

antara bagian

konjungtiva berganbung

dengan konjungtiva bulbar dan konjungtiva palpebra. Dapat dibagi


menjasi forniks superior, inferior, lateral, dan medial forniks.
Konjungtiva memiliki tiga fungsi utama :

Mempermudah pergerakan bola mata dikarenakan terdapat hubungan lepas


antara konjungtiva bulbi dengan sklera, dan terdapat celah di antara
jaringan konjungtiva forniks yang menyebabkan bola mata dapat bergerak
bebas kesegala arah.

Lapisan konjungtiva yang lembut dan lembab memperlancar dan


mempermudah aliran selaput lendir mukus tanpa menimbulkan rasa sakit.
Tear film berfungsi sebagai pelumas.

Konjungtiva berfungsi sebagai proteksi terhadap zat-zat pathogen karena


dibawah konjungtiva palpebra dan didalam forniks terdapat limfosit dan
sel plasma.

Juga terdapat substansi antibakterial, immunoglobulin,

interferon dan prostaglandin yang membantu melindungi mata.

2. Konjungtivitis
a. Definisi
Konjungtivitis merupakan radang konjungtiva atau radang selaput lendir
yang menutupi belakang kelopak dan bola mata. Reaksi inflamasi ini ditandai
dengan dilatasi vaskular, infiltrasi seluler dan eksudasi. Konjungtivitis dapat
dibedakan menjadi dua bentuk :

Konjungtivitis akut yaitu reaksi peradangan yang muncul tiba-tiba dan


diawali dengan satu mata (unilateral) serta dengan durasi kurang dari 4
minggu.

Konjungtivitis kronis yaitu reaksi peradangan yang durasinya lebih dari 3


4 minggu.

b. Etiologi

dapat
disebabkan
oleh
macam
berbagai
:hal,
seperti
Konjungtivitis
a. infeksi oleh virus atau bakteri.

b. reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang.

c. iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi udara lainnya; sinar ultraviolet.
d. pemakaian lensa kontak, terutama dalam jangka panjang.

c.

Manifestasi Klinis
Gambaran klinis yang terlihat pada konjungtivitis dapat berupa mata

merah dengan kelopak mata lengket akibat produksi sekret yang meningkat
terutama pada pagi hari. Selain itu juga ditemukan photofobia, lakrimasi,
pseudoptosis akibat kelopak mata membengkak, kemosis, hipertropi papil,
folikel, membrane, pseudomembran, granulasi, flikten, mata merasa seperti
adanya benda asing, sensasi seperti ada tekanan dan rasa panas serta kadang
10

didapatkan adanya adenopati preaurikular. Pada konjungtivitis alergi


ditemukan rasa gatal pada mata yang lebih dominan.
Mata merah terjadi akibat adanya vasodilatasi dari pleksus subepitelial
pembuluh darah konjungtiva. Folikel adalah nodul limfoid dengan
vaskularisasi yang merupakan tanda dari infeksi virus ataupun reaksi
autoimun di konjungtiva. Papil adalah dilatasi, telengiektasi pembuluh darah
dengan sel-sel inflamasi di sekelilingnya, jika papil ditemukan unilateral, ini
adalah tanda dari infeksi virus, sedangkan jika papil ditemukan bilateral
merupakan tanda dari infeksi bakteri. Pseudomembran ditemukan pada
infeksi staphylococcus, membrane ditemukan pada infeksi difteri, sedangkan
plikten yang merupakan nodul dari sel-sel inflamasi kronis ditemukan pada
infeksi TBC ataupun karena reaksi alergi.
Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel
virus

bakteri
purulen
nonpurulen

Jamur dan

alergi

Sekret
Air mata
Gatal
Mata merah
Nodul

Sedikit
mengucur
Sedikit
Umum
Lazim

mengucur
sedang
sedikit
Umum
Jarang

sedikit
sedang
lokal
lazim

parasit
sedikit
sedikit
lokal
lazim

preaurikuler
Pewarnaan usapan

Monosit,

Bakteri,

Bakteri, PMN

negatif

eosinofil

PMN
jarang

Sakit

limfosit
tenggorok Sewaktu-

dan panas yang waktu


menyertai
d. Klasifikasi
a. Konjungtivitis Karena agen infeksi
b. Konjungtivitis Imunologik (Alergik)
c. Konjungtivitis Akibat Penyakit Autoimun
d. Konjungtivitis Kimia atau Iritatif

11

sedikit
sedang
mencolok
umum
-

a. Konjungtivitis Karena agen infeksi


1) Konjungtivitis Bakterial
Terdapat dua bentuk konjungtivitis bacterial: akut (dan subakut)
dan menahun. Penyebab konjungtivitis bakteri paling sering adalah
Staphylococcus,

Pneumococcus,

dan

Haemophilus.

Konjungtivitis

bacterial akut dapat sembuh sendiri bila disebabkan mikroorganisme


seperti Haemophilus influenza. Lamanya penyakit dapat mencapai 2
minggu jika tidak diobati dengan memadai.
Konjungtivitis akut dapat menjadi menahun. Pengobatan dengan
salah satu dari sekian antibacterial yang tersedia biasanya mengenai
keadaan ini dalam beberapa hari. Konjungtivitis purulen yang disebabkan
Neisseria gonorroeae atau Neisseria meningitides dapat menimbulkan
komplikasi berat bila tidak diobati secara dini
a) Tanda dan Gejala
- Iritasi mata,
- Mata merah,
- Sekret mata,
- Palpebra terasa lengket saat bangun tidur
- Kadang-kadang edema palpebra
Infeksi biasanya mulai pada satu mata dan menular ke sebelah
oleh tangan. Infeksi dapat menyebar ke orang lain melalui bahan
yang dapat menyebarkan kuman seperti seprei, kain, dll.
b) Pemeriksaan Laboratorium
Pada kebanyakan kasus konjungtivitis bacterial, organism dapat
diketahui dengan pemeriksaan mikroskopik terhadap kerokan
konjungtiva yang dipulas dengan pulasan Gram atau Giemsa;
pemeriksaan ini mengungkapkan banyak neutrofil polimorfonuklear.
Kerokan konjungtiva untuk pemeriksaan mikroskopik dan biakan
disarankan untuk semua kasus dan diharuskan jika penyakit itu
purulen, bermembran atau berpseudomembran. Studi sensitivitas
12

antibiotika juga baik, namun sebaiknya harus dimulai terapi


antibiotika empiric. Bila hasil sensitifitas antibiotika telah ada, tetapi
antibiotika spesifik dapat diteruskan.
c) Komplikasi dan Sekuel
Blefaritis marginal menahun sering menyertai konjungtiva
stafilokokus kecuali pada pasien sangat muda yang bukan sasaran
blefaritis. Parut konjungtiva dapat terjadi pada konjungtivitis
pseudomembranosa dan pada kasus tertentu yang diikuti ulserasi
kornea dan perforasi.
Ulserasi kornea marginal dapat terjadi pada infeksi N
gonorroeae, N konchii, N meningitides, H aegyptus, S gonorrhoeae
berdifusi melalui kornea masuk camera anterior, dapat timbul iritis
toksik.
d) Terapi
Terapi spesifik terhadap konjungtivitis bacterial tergantung
temuan

agen

mikrobiologiknya.

Sambil

menunggu

hasil

laboratorium, dokter dapat mulai dengan terapi topical antimikroba.


Pada setiap konjungtivitis purulen, harus dipilih antibiotika yang
cocok untuk mengobati infeksi N gonorroeae, dan N meningitides.
Terapi topical dan sistemik harus segera dilkasanakan setelah materi
untuk pemeriksaan laboratorium telah diperoleh.
Pada konjungtivitis purulen dan mukopurulen akut, saccus
konjungtiva harus dibilas dengan larutan garam agar dapat
menghilangkan secret konjungtiva. Untuk mencegah penyebaran
penyakit ini, pasien dan keluarga diminta memperhatikan secara
khusus hygiene perorangan.
e) Perjalanan dan Prognosis

13

Konjungtivitis bakteri akut hampir selalu sembuh sendiri,


infeksi dapat berlangsung selama 10-14 hari; jika diobati dengan
memadai, 1-3 hari, kecuali konjungtivitis stafilokokus (yang dapat
berlanjut menjadi blefarokonjungtivitis dan memasuki tahap
mnehun) dan konjungtivitis gonokokus (yang bila tidak diobati dapat
berakibat perforasi kornea dan endoftalmitis). Karena konjungtiva
dapat menjadi gerbang masuk bagi meningokokus ke dalam darah
dan meninges, hasil akhir konjungtivitis meningokokus adalah
septicemia dan meningitis.
Konjungtivitis bacterial menahun mungkin tidak dapat sembuh
sendiri dan menjadi masalah pengobatan yang menyulitkan.
2) Konjungtivitis Virus
a) Konjungtivitis Folikuler Virus Akut
Demam Faringokonjungtival
Tanda dan gejala
Demam Faringokonjungtival ditandai oleh demam 38,3-40 C,
sakit tenggorokan, dan konjungtivitis folikuler pada satu atau dua
mata. Folikuler sering sangat mencolok pada kedua konjungtiva dan
pada mukosa faring. Mata merah dan berair mata sering terjadi, dan
kadang-kadang sedikit kekeruhan daerah subepitel. Yang khas adalah
limfadenopati preaurikuler (tidak nyeri tekan).
Laboratorium
Demam faringokonjungtival umumnya disebabkan oleh adenovirus
tipe 3 dan kadang kadang oleh tipe 4 dan 7. Virus itu dapat dibiakkan
dalam sel HeLa dan ditetapkan oleh tes netralisasi. Dengan
berkembangnya penyakit, virus ini dapat juga didiagnosis secara
serologic dengan meningkatnya titer antibody penetral virus. Diagnosis
klinis adalah hal mudah dan jelas lebih praktis.
Kerokan konjungtiva terutama mengandung sel mononuclear, dan
tak ada bakteri yang tumbuh pada biakan. Keadaan ini lebih sering
14

pada anak-anak daripada orang dewasa dan sukar menular di kolam


renang berchlor.
Terapi
Tidak ada pengobatan spesifik. Konjungtivitisnya sembuh sendiri,
umumnya dalam sekitar 10 hari.
b) Keratokonjungtivitis Epidemika
Tanda dan gejala
Keratokonjungtivitis epidemika umumnya bilateral. Awalnya
sering pada satu mata saja, dan biasanya mata pertama lebih parah.
Pada awalnya pasien merasa ada infeksi dengan nyeri sedang dan
berair mata, kemudian diikuti dalam 5-14 hari oleh fotofobia, keratitis
epitel, dan kekeruhan subepitel bulat. Sensai kornea normal. Nodus
preaurikuler yang nyeri tekan adalah khas. Edema palpebra, kemosis,
dan hyperemia konjungtiva menandai fase akut. Folikel dan
perdarahan konjungtiva sering muncul dalam 48 jam. Dapat
membentuk pseudomembran dan mungkin diikuti parut datar atau
pembentukan symblepharon.
Konjungtivitis berlangsung paling lama 3-4 minggu. Kekeruhan
subepitel terutama terdapat di pusat kornea, bukan di tepian, dan
menetap berbulan-bulan namun menyembuh tanpa meninggalkan
parut.
Keratokonjungtiva epidemika pada orang dewasa terbatas pada
bagian luar mata. Namun, pada anak-anak mungkin terdapat gejala
sistemik infeksi virus seperti demam, sakit tenggorokan, otitis media,
dan diare.
Laboratorium
Keratokonjungtiva epidemika disebabkan oleh adenovirus tipe 8,
19, 29, dan 37 (subgroub D dari adenovirus manusia). Virus-virus ini
dapat diisolasi dalam biakan sel dan diidentifikasi dengan tes
netralisasi.

Kerokan

konjungtiva

menampakkan

reaksi

radang
15

mononuclear primer; bila terbentuk pseudomembran, juga terdapat


banyak neutrofil.
Penyebaran
Transmisi nosokomial selama pemeriksaan mata sangat sering
terjadi melalui jari-jari tangan dokter, alat-alat pemeriksaan mata yang
kurang steril, atau pemakaian larutan yang terkontaminasi. Larutan
mata, terutama anestetika topical, mungkin terkontaminasi saat ujung
penetes obat menyedot materi terinfeksi dari konjungtiva atau silia.
Virus itu dapat bertahan dalam larutan itu, yang menjadi sumber
penyebaran.
Pencegahan
Bahaya kontaminasi botol larutan dapat dihindari dengan dengan
memakai penetes steril pribadi atau memakai tetes mata dengan
kemasan unit-dose. Cuci tangan secara teratur di antara pemeriksaan
dan pembersihan serta sterilisasi alat-alat yang menyentuh mata
khususnya tonometer juga suatu keharusan. Tonometer aplanasi harus
dibersihkan dengan alcohol atau hipoklorit, kemudian dibilas dengan
air steril dan dikeringkan dengan hati-hati.
Terapi
Sekarang ini belum ada terapi spesifik, namun kompres dingin
akan

mengurangi

konjungtivitis

akut

beberapa
dapat

gejala.

kortikosteroid

memperpanjang

keterlibatan

selama
kornea

sehingga harus dihindari. Agen antibakteri harus diberikan jika terjadi


superinfeksi bacterial.
c) Konjungtivitis Virus Herpes Simpleks
Tanda dan gejala
Konjungtivitis virus herpes simplex biasanya merupakan penyakit
anak kecil, adalah keadaan yang luar biasa yang ditandai pelebaran
pembuluh darah unilateral, iritasi, bertahi mata mukoid, sakit, dan
fotofobia ringan. Pada kornea tampak lesi-lesi epithelial tersendiri
16

yang umumnya menyatu membentuk satu ulkus atau ulkus-ulkus


epithelial yang bercabang banyak (dendritik). Konjungtivitisnya
folikuler. Vesikel herpes kadang-kadang muncul di palpebra dan
tepian palpebra, disertai edema hebat pada palpebra. Khas terdapat
sebuah nodus preaurikuler yang terasa nyeri jika ditekan.
Laboratorium
Tidak ditemukan bakteri di dalam kerokan atau dalam biakan. Jika
konjungtivitisnya folikuler, reaksi radangnya terutama mononuclear,
namun jika pseudomembran, reaksinya terutama polimorfonuklear
akibat kemotaksis dari tempat nekrosis. Inklusi intranuklear tampak
dalam sel konjungtiva dan kornea, jika dipakai fiksasi Bouin dan
pulasan Papanicolaou, tetapi tidak terlihat dengan pulasan Giemsa.
Ditemukannya sel sel epithelial raksasa multinuclear mempunyai
nilai diagnostic.
Virus mudah diisolasi dengan mengusapkan sebuah aplikator
berujung kain kering di atas konjungtiva dan memindahkan sel-sel
terinfeksi ke jaringan biakan.
Terapi
Jika konjungtivitis terdapat pada anak di atas 1 tahun atau pada
orang dewasa, umunya sembuh sendiri dan mungkin tidak perlu
terapi. Namun, antivirus local maupun sistemik harus diberikan untuk
mencegah terkenanya

kornea. Untuk ulkus

kornea mungkin

diperlukan debridemen kornea dengan hati-hati yakni dengan


mengusap ulkus dengan kain kering, meneteskan obat antivirus, dan
menutupkan mata selama 24 jam. Antivirus topical sendiri harus
diberikan 7 10 hari: trifluridine setiap 2 jam sewaktu bangun atau
salep vida rabine lima kali sehari, atau idoxuridine 0,1 %, 1 tetes
setiap jam sewaktu bangun dan 1 tetes setiap 2 jam di waktu malam.
Keratitis herpes dapat pula diobati dengan salep acyclovir 3% lima
kali sehari selama 10 hari atau dengan acyclovir oral, 400 mg lima
kali sehari selama 7 hari.
17

Untuk ulkus kornea, debridmen kornea dapat dilakukan. Lebih


jarang adalah pemakaian vidarabine atau idoxuridine. Antivirus
topical

harus

dipakai

7-10

hari.

Penggunaan

kortikosteroid

dikontraindikasikan, karena makin memperburuk infeksi herpes


simplex dan mengkonversi penyakit dari proses sembuh sendiri yang
singkat menjadi infeksi yang sangat panjang dan berat.
d) Konjungtivitis Hemoragika Akut
Epidemiologi
Semua benua dan kebanyakan pulau di dunia pernah mengalami
epidemic besar konjungtivitis konjungtivitis hemoregika akut ini.
Pertama kali diketahui di Ghana dalam tahun 1969. Konjungtivitis ini
disebabkan oleh coxackie virus A24. Masa inkubasi virus ini pendek
(8-48 jam) dan berlangsung singkat (5-7 hari).
Tanda dan Gejala
Mata terasa sakit, fotofobia, sensasi benda asing, banyak
mengeluarkan air mata, merah, edema palpebra, dan hemoragi
subkonjungtival.

Kadang-kadang

terjadi

kemosis.

Hemoragi

subkonjungtiva umumnya difus, namun dapat berupa bintik-bintik


pada awalnya, dimulai di konjungtiva bulbi superior dan menyebar ke
bawah. Kebanyaka pasien mengalami limfadenopati preaurikuler,
folikel konjungtiva, dan keratitis epithelial. Uveitis anterior pernah
dilaporkan, demam, malaise, mialgia, umum pada 25% kasus.
Penyebaran
Virus ini ditularkan melalui kontak erat dari orang ke orang dan
oleh fomite seperti sprei, alat-alat optic yang terkontaminasi, dan air.
Penyembuhan terjadi dalam 5-7 hari
Terapi
Tidak ada pengobatan yang pasti.
b. Konjungtivitis Imunologik (Alergik)
18

Reaksi Hipersensitivitas Humoral Langsung


1) Konjungtivitis Demam Jerami (Hay Fever)
Tanda dan gejala
Radang konjungtivitis non-spesifik ringan umumnya menyertai demam
jerami (rhinitis alergika). Bianya ada riwayat alergi terhadap tepung sari,
rumput, bulu hewan, dan lainnya. Pasien mengeluh tentang gatal-gatal,
berair mata, mata merah, dan sering mengatakan bahwa matanya seakanakan tenggelam dalam jaringan sekitarnya. Terdapat sedikit penambahan
pembuluh pada palpebra dan konjungtiva bulbi, dan selama serangan akut
sering terdapat kemosis berat (yang menjadi sebab tenggelamnya tadi).
Mungkin terdapat sedikit tahi mata, khususnya jika pasien telah mengucek
matanya.
Laboratorium
Sulit ditemukan eosinofil dalam kerokan konjungtiva
Terapi
Meneteskan vasokonstriktor local pada tahap akut (epineprin, larutan
1:1000 yang diberikan secara topical, akan menghilangkan kemosis dan
gejalanya dalam 30 menit). Kompres dingin membantu mengatasi gatalgatal dan antihistamin hanya sedikit manfaatnya. Respon langsung terhadap
pengobatan cukup baik, namun sering kambuh kecuali anti-gennya dapat
dihilangkan.
2) Konjungtivitis Vernalis
Definisi
Penyakit ini, juga dikenal sebagai catarrh musim semi dan
konjungtivitis musiman atau konjungtivitis musim kemarau, adalah
penyakit alergi bilateral yang jarang.1,3 Penyakit ini lebih jarang di daerah
beriklim sedang daripada di daerah dingin. Penyakit ini hamper selalu lebih
parah selama musim semi, musim panas dan musim gugur daripada musim
gugur.
Insiden
19

Biasanya mulai dalam tahun-tahun prapubertas dan berlangsung 5 10


tahun. Penyakit ini lebih banyak pada anak laki-laki daripada perempuan.
Tanda dan gejala
Pasien mengeluh gatal-gatal yang sangat dan bertahi mata berseratserat. Biasanya terdapat riwayat keluarga alergi (demam jerami, eczema,
dan lainnya). Konjungtiva tampak putih seperti susu, dan terdapat banyak
papilla halus di konjungtiva tarsalis inferior. Konjungtiva palpebra superior
sering memiliki papilla raksasa mirip batu kali. Setiap papilla raksasa
berbentuk polygonal, dengan atap rata, dan mengandung berkas kapiler.
Laboratorium
Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa terdapat banyak
eosinofil dan granula eosinofilik bebas.
Terapi
Penyakit ini sembuh sendiri tetapi medikasi yang dipakai terhadap
gejala hanya member hasil jangka pendek, berbahaya jika dipakai untuk
jangka panjang. steroid sisremik, yang mengurangi rasa gatal, hanya sedikit
mempengharuhi penyakit kornea ini, dan efek sampingnya (glaucoma,
katarak, dan komplikasi lain) dapat sangat merugikan. Crmolyn topical
adalah agen profilaktik yang baik untuk kasus sedang sampai berat.
Vasokonstriktor, kompres dingin dan kompres es ada manfaatnya, dan tidur
di tempat ber AC sangat menyamankan pasien. Agaknya yang paling baik
adalah pindah ke tempat beriklim sejuk dan lembab. Pasien yang melakukan
ini sangat tertolong bahkan dapat sembuh total.
3) Konjungtivitis Atopik
Tanda dan gejala
Sensasi terbakar, bertahi mata berlendir, merah, dan fotofobia. Tepian
palpebra eritemosa, dan konjungtiva tampak putih seperti susu. Terdapat
papilla halus, namun papilla raksasa tidak berkembang seperti pada
keratokonjungtivitis vernal, dan lebih sering terdapat di tarsus inferior.
Berbeda dengan papilla raksasa pada keratokonjungtivitis vernal, yang
terdapat di tarsus superior. Tanda-tanda kornea yang berat muncul pada
20

perjalanan lanjut penyakit setelah eksaserbasi konjungtivitis terjadi


berulangkali. Timbul keratitis perifer superficial yang diikuti dengan
vaskularisasi. Pada kasus berat, seluruh kornea tampak kabur dan
bervaskularisasi, dan ketajaman penglihatan.
Biasanya ada riwayat alergi (demam jerami, asma, atau eczema) pada
pasien atau keluarganya. Kebanyakan pasien pernah menderita dermatitis
atopic sejak bayi. Parut pada lipatan-lipatan fleksura lipat siku dan
pergelangan tangan dan lutut sering ditemukan. Seperti dermatitisnya,
keratokonjungtivitis atopic berlangsung berlarut-larut dan sering mengalami
eksaserbasi dan remisi. Seperti keratokonjungtivitis vernal, penyakit ini
cenderung kurang aktif bila pasien telah berusia 50 tahun.
Laboratorium
Kerokan konjungtiva menampakkan eosinofil, meski tidak sebanyak
yang terlihat sebanyak pada keratokonjungtivitis vernal.
Terapi
Atihistamin oral termasuk terfenadine (60-120 mg 2x sehari),
astemizole (10 mg empat kali sehari), atau hydroxyzine (50 mg waktu tidur,
dinaikkan sampai 200 mg) ternyata bermanfaat. Obat-obat antiradang nonsteroid yang lebih baru, seperti ketorolac dan iodoxamid, ternyata dapat
mengatasi gejala pada pasien-pasien ini. Pada kasus berat, plasmaferesis
merupakan terapi tambahan. Pada kasus lanjut dengan komplikasi kornea
berat, mungkin diperlukan transplantasi kornea untuk mengembalikan
ketajaman penglihatannya.
Reaksi Hipersensitivitas Tipe Lambat
4) Phlyctenulosis
Definisi
Keratokonjungtivitis phlcytenularis adalah respon hipersensitivitas
lambat terhadap protein mikroba, termasuk protein dari basil tuberkel,
Staphylococcus spp, Candida albicans, Coccidioides immitis, Haemophilus
aegyptus, dan Chlamydia trachomatis serotype L1, L2, dan L3.
21

Tanda dan Gejala


Phlyctenule konjungtiva mulai berupa lesi kecil yang keras, merah,
menimbul, dan dikelilingi zona hyperemia. Di limbus sering berbentuk
segitiga, dengan apeks mengarah ke kornea. Di sini terbentuk pusat putih
kelabu, yang segera menjadi ulkus dan mereda dalam 10-12 hari.
Phlyctenule pertama pada pasien dan pada kebanyakan kasus kambuh
terjadi di limbus, namun ada juga yang di kornea, bulbus, dan sangat jarang
di tarsus.
Phlyctenule konjungtiva biasanya hanya menimbulkan iritasi dan air
mata, namun phlyctenule kornea dan limbus umumnya disertai fotofobia
hebat. Phlyctenulosis sering dipicu oleh blefaritis aktif, konjungtivitis
bacterial akut, dan defisiensi diet.
Terapi
Phlyctenulosis yang diinduksi oleh tuberkuloprotein dan protein dari
infeksi sistemik lain berespon secara dramatis terhadap kortikosteroid
topical. Terjadi reduksi sebagian besar gejala dalam 24 jam dan lesi hilang
dalam 24 jam berikutnya. Antibiotika topical hendaknya ditambahkan untuk
blefarikonjungtivitis stafilokokus aktif. Pengobatan hendaknya ditujukan
terhadap penyakit penyebab, dan steroid bila efektif, hendaknya hanya
dipakai untuk mengatasi gejala akut dan parut kornea yang menetap. Parut
kornea berat mungkin memerlukan tranplantasi.
5) Konjungtivitis Ringan Sekunder terhadap Blefaritis kontak
Blefaritis

kontak

yang

disebabkan

oleh

atropine,

neomycin,

antibiotika spectrum luas, dan medikasi topical lain sering diikuti oleh
konjungtivitis infiltrate ringan yang menimbukan hyperemia, hipertropi
papiler ringan, bertahi mata mukoid ringan, dan sedikit iritasi. Pemeriksaan
kerokan berpulas giemsa sering hanya menampakkan sedikit sel epitel
matim, sedikit sel polimorfonuklear dan mononuclear tanpa eosinofil.
Pengobatan

diarahkan

pada

penemuan

agen

penyebab

dan

menghilangkannya. Blefaritis kontak dengan cepat membaik dengan


kortikosteroid topical, namun pemakaiannya harus dibatasi. Penggunaan
22

steroid jangka panjang pada palpebra dapat menimbulkan glaucoma steroid


dan atropi kulit dengan telangiektasis yang menjelekkan.
c. Konjungtivitis Akibat Penyakit Autoim
1) Keratokonjungtivitis Sicca
Berkaitan dgn. Sindrom Sjorgen (trias: keratokonj. sika, xerostomia,
artritis).
Gejala:
- khas: hiperemia konjungtivitis bulbi dan gejala iritasi yang tidak
sebanding dengan tanda-tanda radang.
- Dimulai dengan konjungtivitis kataralis
- Pada pagi hari tidak ada atau hampir tidak ada rasa sakit, tetapi
menjelang siang atau malam hari rasa sakit semakin hebat.
- Lapisan air mata berkurang (uji Schirmer: abnormal)
- Pewarnaan Rose bengal uji diagnostik.
Pengobatan:
- air mata buatan vitamin A topikal
- obliterasi pungta lakrimal.
d. Konjungtivitis Kimia atau Iritatif
1) Konjungtivitis Iatrogenik Pemberian Obat Topikal
Konjungtivitis folikular toksik atau konjungtivitis non-spesifik
infiltrate, yang diikuti pembentukan parut, sering kali terjadi akibat
pemberian lama dipivefrin, miotika, idoxuridine, neomycin, dan obat-obat
lain yang disiapkan dalam bahanpengawet atau vehikel toksik atau yang
menimbulakan iritasi. Perak nitrat yang diteteskan ke dalam saccus
conjingtiva saat lahir sering menjadi penyebab konjungtivitis kimia ringan.
Jika produksi air mata berkurang akibat iritasi yang kontinyu, konjungtiva
kemudian akan cedera karena tidak ada pengenceran terhadap agen yang
merusak saat diteteskan kedalam saccus conjungtivae.

23

Kerokan konjungtiva sering mengandung sel-sel epitel berkeratin,


beberapa neutrofil polimorfonuklear, dan sesekali ada sel berbentuk aneh.
Pengobatan terdiri atas menghentikan agen penyebab dan memakai tetesan
yang lembut atau lunak, atau sama sekali tanpa tetesan. Sering reaksi
konjungtiva menetap sampai berminggu-minggu atau berbulan-bulan
lamanya setelah penyebabnya dihilangkan.
2) Konjungtivitis Pekerjaan oleh Bahan Kimia dan Iritans
Asam, alkali, asap, angin, dan hamper setiap substansi iritan yang
masuk ke saccus conjungtiva dapat menimbulkan konjungtivitis. Beberapa
iritan umum adalah pupuk, sabun, deodorant, spray rambut, tembakau,
bahan-bahan make-up, dan berbagai asam dan alkali. Di daerah
tertentu,asbut (campuran asap dan kabut) menjadi penyebab utama
konjungtivitis kimia ringan. Iritan spesifik dalam asbut belum dapat
ditetapkan secara positif, dan pengobatannya non-spesifik. Tidak ada efek
pada mata yang permanen, namun mata yang terkena seringkali merah dan
terasa mengganggu secara menahun.
Pada luka karena asam, asam itu mengubah sifat protein jaringan
dan efek langsung. Alkali tidak mengubah sifat protein dan cenderung
cepat menyusup kedalam jaringan dan menetap di dalam jaringan
konjungtiva. Disini mereka terus menerus merusak selama berjam-jam
atau berhari-hari lamanya, tergantung konsentrasi molar alkali tersebut dan
jumlah yang masuk. Perlekatan antara konjungtiva bulbi dan palpebra dan
leokoma kornea lebih besar kemungkinan terjadi jika agen penyebabnya
adalah alkali. Pada kejadian manapun, gejala utama luka bahan kimia
adalah sakit, pelebaran pembuluh darah, fotofobia, dan blefarospasme.
Riwayat kejadian pemicu biasanya dapat diungkapkan.
Pembilasan segera dan menyeluruh saccus conjungtivae dengan air atau
larutan garam sangat penting, dan setiap materi padat harus disingkirkan
secara

mekanik.

Jangan

memakai

antidotum

kimiawi.

Tindakan

simtomatik umum adalah kompres dingin selama 20 menit setiap jam,


24

teteskan atropine 1% dua kali sehari, dan beri analgetika sistemik bila
perlu. Konjungtivitis bacterial dapat diobati dengan agen antibakteri yang
cocok. Parut kornea mungkin memerlukan transplantasi kornea, dan
symblepharon mungkin memerlukan bedah plastic terhadap konjungtiva.
Luka bakar berat pada kojungtiva dan kornea prognosisnya buruk
meskipun dibedah. Namun jika pengobatan memadai dimulai segera, parut
yang terbentuk akan minim dan prognosisnya lebih baik
e. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan klinis dengan menggunakan slit lamp dan
pemeriksaan laboratorium. Anamnesis yang penting pada pasien
konjungtivitis adanya riwayat kontak dengan penderita yang sama, riwayat
alergi, riwayat hiegienitas, dan riwayat kontak dengan bahan iritan.
Disamping itu juga perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik seperti :
-

Ketajaman penglihatan

Pemeriksaan slit lamp

Pewarnaan sekret mata dengan Giemsa dan Metylen Blue untuk


mengetahui penyebabnya bakteri atau virus dan pemberian KOH
untuk yang dicurigai disebabkan jamur

Kultur kerokan konjungtiva

f. Pemeriksaan Penunjang
Pewarnaan sekret dengan Giemsa, prosedur yang dilakukan antara lain
-

Ambil sekret yang menumpuk di konjungtiva foniks, letakkan di object

glass, keringkan slide dengan udara selama 15 menit


Fiksasi dengan methanol 95% selama 5-10 menit
Keringkan
Buat campuran dengan mencampurkan setiap 2 tetes larutan Giemsa
kedalam

setiap

milimeter

air

suling

buffer.

Rendam

slide

kedalamcampuran selama 15 menit


Cuci kedalam air suling buffer
Keringkan
25

Pewarnaan gram dengan Gentian Violet


-

Fiksasi slide dengan pewarnaan ringan (api)


Aliri dengan Gentian Violet (15 detik )
Bilas dengan air mengalir
Aliri dengan grams iodin /lugol (15 detik)
Bilas dengan air mengalir
Aliri dengan alkohol 96% sekilas
Bilas dengan air mengalir
Keringkan
Hasil yang terlihat dibawah mikroskop adalah :
Pada pemeriksaan gram untuk membedakan gram positif atau gram
negatif, sedangkan untuk pemeriksaan giemsa untuk membedakan
infeksi virus atau bakteri.

g. Diagnosis Banding
Diagnosis banding konjungtivitis berdasarkan gambaran klinis :
Tanda
Injeksi

Bakterial
Mencolok

Viral
Sedang

Alergik
Ringan-

Toksik
TRIC
Ringan- Ringan-

konjungtivitis
Hemoragi
Tanda

+
Bakterial

+
Viral

sedang
Alergik

sedang
Toksik

Kemosis
Eksudat

++
+/Purulen atau Jarang,

++
+/Berserabut -

+/Berserabut

mukopurule

air

(lengket),

(lengket)

n
+/-

+/-

putih
-

+/-

+
-

+/+

Pseudomembra
n
Papil
Folikel
Nodus

sedang
TRIC

preaurikuler
Panus
(sumber : Sidarta I. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta. FKUI. Edisi Ketiga. 2010.
hal. 122)

26

3. Pterigium
1. Definisi
Suatu pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat
degenerative dan invasif. Pertumbuhan ini bisanya
2.

Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul
sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea
pada daerah fisura interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian
epitel kornea anterior dari kepala pterigium (stokers line). Kira-kira 90%
pterigium terletak di daerah nasal. Perluasan pterigium dapat sampai medial
dan lateral limbus sehingga menutupi visual axis, menyebabkan penglihatan
kabur. Gangguan penglihatan terjadi ketika pterigium mencapai pupil atau
menyebabkan kornea astigmatisme pada tahap regresif.
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head), dan cap.
Bagian segitiga yang meninggu pada pterigium dengan dasarnya ke arah
limbus disebut body, bagian atasnya disebut apex, dan bagian belakang
disebut cap. Subepitelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan
membentuk batas pinggir pterigium.
Dalam penegakan diagnosis pterigium, sangat penting ditentukan
derajat atau klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium dibagi
menjadi beberapa kelompok yaitu:

a. Berdasarkan perjalanan penyakit


1). Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
2). Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi
bentuk membran tetapi tidak pernah hilang.
b. Berdasarkan luas pterigium
1). Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea
2). Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm
melewati kornea

27

3). Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir
pupil mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal
sekitar 3-4 mm)
4). Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan

Gambar 3. Pterigium grade III, di mana pterigium telah melewati kornea


lebih dari 2mm, namun belum melewati pupil. (sumber: www.icoph.org)
c. Berdasarkan pemeriksaan pembuluh darah dengan slitlamp
1). T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat
2). T2 (intermediate): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
3). T3 (fleshy, opaque): pembuluh darah tidak jelas
Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan pinguekula dan
pseudopterigium.

Pembeda
Definisi

Pterigium
Jaringan

Pinguekula
Pseudopterigium
Benjolan pada Perlengketan

fibrovaskular

konjungtiva

konjungtiba

konjungtiva

bulbi

dengan kornea yang

bulbi berbentuk
Warna

segitiga
Putih

bulbi

cacat
Putih-kuning

Putih kekuningan

28

kekuningan
keabu-abuan
Celah kelopak Celah kelopak Pada

Letak

bagian
atau

6:
Progresif
Reaksi

nasal mata terutama konjungtiva


temporal bagian nasal

daerah
yang

terdekat

dengan

yang meluas ke

proses

kornea

arah kornea
>
Sedang
Tidak ada

=
Tidak
Tidak ada

sebelumnya
=
Tidak
Ada

Lebih menonjol

Menonjol

Normal

kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya
Pembuluh
darah
konjungtiva
Sonde

Tidak

dapat Tidak

diselipkan

dapat Dapat diselipkan di

diselipkan

bawah lesi karena


tidak melekat pada

Puncak

Ada
pulau

Histopatologi

pulau- Tidak ada


Funchs

limbus
Tidak ada (tidak ada
head, cap, body)

(bercak kelabu)
Epitel ireguler Degenerasi

Perlengketan

dan degenerasi hialin jaringan


hialin

dalam submukosa

stromanya
konjungtiva
Tabel 1. Diagnosis banding pterigium (dikutip dari Vaughan, Daniel G.,
Asbury

Taylor,

Riordan

Eva-Paul.

Oftalmologi

Umum.

Edisi

14.Jakarta:Widya Medika,2000,hal 5-6.111, Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu


Penyakit Mata edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto)
3. Penatalaksanaan Pterigium

29

Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian


obat-obatan jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah
dilakukan pada pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga
dipertimbangkan pada pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami
gangguan penglihatan. Pengobatan tidak diperlukan karena bersifat rekuren,
terutama pada pasien yang masih muda. Bila pterigium meradang dapat
diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan. Lindungi mata yang
terkena pterigium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan
kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan bila
perlu dapat diberikan steroid . Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air
mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi vasokonstriktor maka perlu
control dalam 2 minggu dan bila telah terdapat perbaikan pengobatan
dihentikan.
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap
termasuk gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan
yang progresif menuju tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan
pergerakan bola mata. Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan
normal yaitu gambaran permukaan bola mata yang licin. Teknik bedah yang
sering digunakan untuk mengangkat pterigium adalah dengan menggunakan
pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium ke arah limbus. Walaupun
memisahkan pterigium dengan bare sclera ke arah bawah pada limbus lebih
disukai, namun tidak perlu memisahkan jaringan tenon secara berlebihan di
daerah medial, karena kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena
trauma tidak disengaja di daerah jaringan otot. Setelah dieksisi, kauter sering
digunakan untuk mengontrol perdarahan.
Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik
simple surgical removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat
menurunkan tingkat rekurensi hingga 5% adalah conjunctival autograft
(Gambar 4). Dimana pterigium yang dibuang digantikan dengan konjungtiva
normal yang belum terpapar sinar UV (misalnya konjungtiva yang secara
normal berada di belakang kelopak mata atas). Konjungtiva normal ini
30

biasaya akan sembuh normal dan tidak memiliki kecenderungan unuk


menyebabkan pterigium rekuren.
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian
konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva
yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka
kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil
yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin,
angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC)
sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi
dari pemakaian MMC juga cukup berat.

Indikasi Operasi pterigium


1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan
silau karena astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.
Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea.
Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima
secara universal karena tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari
teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk
perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung
pterigium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk
epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari
permukaan kornea.

31

1.

Teknik Bare Sclera


Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan
sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan
89 persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.

2.

Teknik Autograft Konjungtiva


Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi
40 persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan
pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal,
dan dijahit di atas sclera yang telah di eksisi pterygium tersebut.
Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal ditekankan
pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft
konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi
akurat dari grafttersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS, dari Australia
merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium
dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.

3.

Cangkok Membran Amnion


Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium.

Meskipun

keuntungkan

dari

penggunaan

membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah


menyatakan bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk
menghambat peradangan dan fibrosis dan epithelialisai. Sayangnya,
tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada,diantara 2,6
persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen
untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama
autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran
Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal
menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi
terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu
cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya.
Lemfibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.1
32

Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus
menjadi masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah
dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan
bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini,
namun ada komplikasi dari terapi tersebut.
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena
kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan
iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum
ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative
MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat
tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang
menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi
toksisitas.
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan,
karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium,
meskipun tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia.
Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis
dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk
tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan
dengan pemberian:
1.

Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,


bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari
kemudian tappering off sampai 6minggu.

2.

Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan


bersamaan dengan salep mata dexamethasone.

3.

Sinar Beta.

33

4.

Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam


selama

6minggu,

diberikan

bersamaan

dengan

salep

antibiotik

Chloramphenicol, dan steroidselama 1 minggu.

Gambar 4. Prosedur Conjunctiva Autograft; (a).Pterygium,


(b).Pterygium removed, (c).Leaving bare area, (d).Graft outlined,
(e).Graft sutured into place (diambil dari www.baysideeyes.com.au
diakses 21 Mei 2010)

4. Komplikasi
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut)
pada konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar
pada rektus medial dapat menyebabkan diplopia.
Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:

Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar,


dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous
hemorrhage atau retinal detachment

34

Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting


pada sklera dan kornea

Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren


pterigium post operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang
tinggi kira-kira 50-80 %. Dapat dikurangi dengan teknik conjungtiva
autograft atau amnion graft.

Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringan


epitel di atas pterigium.

5.

Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa
tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan
pasien setelah 24 jam postop dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan
rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan autograft
atau transplantasi membran amnion.

35

Anda mungkin juga menyukai