Anda di halaman 1dari 118

1

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
TANGERANG SELATAN

SKRIPSI
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN EFISIENSI ENERGI
DALAM PENGELOLAAN ASET GEDUNG PEMERINTAH
DI KEMENTERIAN KEUANGAN

Diajukan Oleh:
ADITYA RAHMAT
NPM : 144060005748
AJUN AKUNTAN
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
Tahun 2010
Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-Syarat
Guna Mencapai Gelar Sarjana Sains Terapan
Pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
2015
1

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
TANGERANG SELATAN
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

NAMA

: ADITYA RAHMAT

NOMOR POKOK MAHASISWA : 144060005748


BIDANG SKRIPSI

: MANAJEMEN KEKAYAAN NEGARA

JUDUL SKRIPSI

: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN EFISIENSI


ENERGI DALAM PENGELOLAAN ASET
GEDUNG PEMERINTAH DI
KEMENTERIAN KEUANGAN

Dengan ini menyatakan bahwa sesungguhnya skripsi ini adalah hasil tulisan
saya sendiri dan atau tidak terdapat bagian atau keseluruhan tulisan yang saya salin
atau tiru tanpa memberikan pengakuan pada penulis aslinya. Bila terbukti saya
melakukan tindakan plagiarisme saya siap dinyatakan tidak lulus dan dicabut gelar
yang telah diberikan.
Tangerang Selatan, September 2015
Yang memberikan pernyataan,

Aditya Rahmat

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
TANGERANG SELATAN
TANDA PERSETUJUAN SKRIPSI

NAMA

: ADITYA RAHMAT

NOMOR POKOK MAHASISWA : 144060005748


BIDANG SKRIPSI

: MANAJEMEN KEKAYAAN NEGARA

JUDUL SKRIPSI

: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN EFISIENSI


ENERGI DALAM PENGELOLAAN ASET
GEDUNG PEMERINTAH DI
KEMENTERIAN KEUANGAN

Mengetahui,
Direktur STAN

Menyetujui,
Dosen Pembimbing,

Kusmanadji, Ak., M.B.A.


NIP 196009151981121001

Darmawan Dwi Atmoko S.E., M.P.S.


NIP 197903292000121002

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
TANGERANG SELATAN
PERNYATAAN LULUS UJIAN KOMPREHENSIF

NAMA

: ADITYA RAHMAT

NOMOR POKOK MAHASISWA : 144060005748


BIDANG SKRIPSI

: MANAJEMEN KEKAYAAN NEGARA

JUDUL SKRIPSI

: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN EFISIENSI


ENERGI DALAM PENGELOLAAN ASET
GEDUNG PEMERINTAH DI
KEMENTERIAN KEUANGAN

Tangerang Selatan, 29 September 2015


1.

Yuniarto Hadiwibowo, S.E., S.S.T., Ak., M.A. Ph.D.


NIP 197406091995021001

Ketua Penguji

Darmawan Dwi Atmoko, S.E., M.P.S.


NIP 197903292000121002

Anggota Penguji/
Pembimbing

Raynal Yasni, S.S.T., Ak., M.A., M.Ec.Dev.


NIP 198005202001121002

Anggota Penguji

2.

3.

KATA PENGANTAR

Puji syukur Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Implementasi Kebijakan
Efisiensi Energi dalam Pengelolaan Aset Gedung Pemerintah di Kementerian
Keuangan ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat, serta orang-orang yang
senantiasa berpegang teguh di jalan-Nya.
Penulis menyadari bahwa dalam terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.

Bapak dan Ibu tercinta atas doa, kasih sayang, motivasi, dan
nasihat yang senantiasa diberikan. Semoga suatu hari penulis dapat membalas
semua yang Bapak dan Ibu telah berikan.

2.

Adikku Yaya yang selalu memberikan dukungan dan


perhatiannya kepada penulis.

3.

Bapak Darmawan Dwi Atmoko, S.E., M.P.S. selaku dosen


pembimbing yang telah meluangkan waktunya dengan sabar untuk membimbing,
mengarahkan, dan memotivasi penulis selama proses penyelesaian skripsi ini.

4.

Bapak Kusmanadji, Ak., MBA selaku Direktur STAN dan


Bapak Akhmad Priharjanto, S.E., M.Si. selaku Kepala Bidang Akademis
Pendidikan Ajun Akuntan, serta seluruh dosen yang telah memberikan ilmu dan
motivasi selama penulis menjalani proses pendidikan di kampus ini.
5

5.

Mas Arif, Mas Irwan, Mas Indra, dan Reni dari Setjen serta
Mas Dwi dan Mas Deni dari DJKN atas kebaikan hatinya membantu penulis
dalam proses pengumpulan data.

6.

Teman-teman satu di kontrakan DJKN Dahlia yang


menemani hari-hari penulis selama menjalani pendidikan Diploma IV.

7.

Rekan-rekan RBC: Akbar, Zuman, Muji, Wuyung, Zikri,


Mas Usep, Rifai, dan Umam serta teman-teman grup bulutangkis D4 yang selalu
menemani penulis untuk menghilangkan suntuk dengan mengayunkan raket di
lapangan.

8.

Teman-teman nonton dan nongkrong: Dika, Cepi, Bowo,


Yayas, dan Ikhsan yang selalu siap diajak refreshing ketika pikiran sudah mulai
stres dengan perkuliahan.

9.

Teman-teman Diploma IV Akuntansi Reguler, khususnya


kelas 7A, 8F, dan 9E atas kebersamaan dan keceriaan selama satu setengah tahun
ini.

10.

Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,


atas segala dukungan, bantuan, dan saran yang diberikan.
Penulis menyadari bahwa karya tulis tugas akhir ini masih jauh dari sempurna.

Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan. Semoga
karya tulis tugas akhir ini dapat bermanfaat. Amin.
Tangerang Selatan, September 2015

Aditya Rahmat
6

DAFTAR ISI

HALAMAN
JUDUL...........................................................................................
...
PERNYATAAN KEASLIAN
SKRIPSI................................................................
TANDA PERSETUJUAN
SKRIPSI....................................................................
PERNYATAAN LULUS UJIAN KOMPREHENSIF .........................................
iv
KATA PENGANTAR ..........................................................................................
DAFTAR ISI .................................................................................................
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
DAFTAR GRAFIK.......................................................................................
DAFTAR TABEL.........................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................

ii
iii
iv
v
vii
xi
xi
xii
xiii
1

A. Latar Belakang Penelitian ......................................................................

B. Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................

C. Rumusuan Masalah Penelitian ................................................................

D. Tujuan Penelitian ..................................................................................

E. Manfaat Penelitian ................................................................................

F. Metodologi Penelitian ...........................................................................

G. Sistematika Pembahasan .......................................................................

BAB II LANDASAN TEORI .....................................................................

A. Konsep Implementasi Kebijakan.............................................................

B. Kebijakan Energi Nasional.....................................................................

C. Konsep Efisiensi Energi ........................................................................

11

1. Tantangan perubahan iklim ....................................................................

11

2. Konsep keberlanjutan ............................................................................

12

3. Konsep bangunan hijau ..........................................................................

13

4. Konsep efisiensi energi pada gedung ......................................................

17

5. Pengukuran tingkat efisiensi energi pada gedung.......................................

19

D. Konsep Pengelolaan Aset.......................................................................

20

1. Definisi pengelolaan aset........................................................................

20

2. Konsep pengelolaan aset yang berkelanjutan ...........................................

22

E. Penelitian Terdahulu Mengenai Efisiensi Energi pada Gedung...................

23

BAB III GAMBARAN OBJEK PENELITIAN............................................

24

A. Gambaran Umum Objek Penelitian..........................................................

24

1. Tugas dan fungsi unit organisasi terkait ...................................................

24

2. Data gedung objek penelitian .................................................................

30

B. Pedoman Efisiensi Energi untuk Gedung Kementerian Keuangan................

35

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...................................

43

A. Implementasi Kebijakan Efisiensi Energi pada Gedung Kantor Pusat


Kementerian Keuangan .................................................................................
1. Perbandingan dengan pedoman efisiensi energi dalam GREENSHIP...........
2. Strategi dalam penyebarluasan kebijakan .....................................................
3. Implementasi pada sistem tata udara ............................................................
4. Implementasi pada sistem tata cahaya ..........................................................
5. Implementasi pada peralatan pendukung ............................................. ........
6. Implementasi pengawasan dan pelaporan.......................................................
B. Hasil Implementasi Kebijakan ................................................................
8

43
43
50
52
54
56
57

1. Konsumsi listrik masing-masing gedung ..................................................

57

2. Pengukuran Intensitas Konsumsi Energi (IKE) .............................................

58

C. Urgensi Optimalisasi Implementasi Kebijakan Efisiensi Energi ..................

62

D. Permasalahan dan Tantangan dalam Implementasi ...................................

68

BAB V PENUTUP .....................................................................................

71

A. Simpulan .............................................................................................

82

B. Saran ..................................................................................................

82

C. Keterbatasan.........................................................................................

84

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................

86

LAMPIRAN-LAMPIRAN

87

RIWAYAT HIDUP PENULIS

10

DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1

Konsumsi Energi Sebuah Gedung .............................................

18

Gambar III.1 Unit Organisasi yang Terkait Pengelolaan BMN di BKF ...........

28

Gambar III.2 Unit Organisasi yang Terkait Pengelolaan BMN di DJKN ..........

29

Gambar IV.1 Tolak Ukur Efisiensi Energi dan Refrigeran dalam GREENSHIP

44

untuk Bangunan Terbangun..........................................................


Gambar IV.2 Permasalahan dan Tantangan dalam Implementasi Kebijakan
Efisiensi Energi.............................................................................

10

72

11

DAFTAR GRAFIK
Grafik II.1

Alasan untuk Menerapkan Bangunan Hijau..................................

Grafik IV.1 Konsumsi Listrik Gedung Juanda I dan II .......... .......................


Grafik IV.2 Konsumsi Listrik Gedung R.M. Notohamiprodjo dan Gedung

14
59

Jusuf Wibisono................................................................................
Grafik VI.3 Konsumsi Listrik Gedung Syafruddin Prawiranegara.....................

60
61

11

12

DAFTAR TABEL
Tabel II.1 Standar Acuan IKE Menurut GBCI....................................................

14

Tabel II.2 Kriteria Konsumsi Energi Spesifik untuk Gedung Perkantoran.........

59

Tabel III.1 Data Gedung Juanda I dan II .............................................................

32

Tabel III.2 Data Gedung R.M. Notohamiprodjo dan Jusuf Wibisono.................

33

Tabel III.3 Data Gedung Syafrudin Prawiranegara ............................................

34

Tabel IV.1 Kriteria Konsumsi Energi Spesifik untuk Gedung Perkantoran .......

63

Tabel IV.2 Kinerja Efisiensi Energi Gedung Juanda I dan II ..............................

64

Tabel IV.3 Kinerja Efisiensi Energi Gedung R.M. Notohamiprodjo dan


Jusuf Wibisono ................................................................................

66

Tabel IV.4 Kinerja Efisiensi Energi Gedung Syafrudin Prawiranegara .............

67

Tabel IV.5 Perhitungan Potensi Efisiensi Energi Level 1....................................

69

Tabel IV.6 Perhitungan Potensi Efisiensi Energi Level 2...............................

70

12

13

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I

Format Laporan Pemakaian Daya dan Jasa Listrik dan Air

Lampiran II

Surat Setjen kepada Pengguna Gedung tentang Penghematan


Energi

Lampiran III

Konsumsi Energi Listrik Gedung Kantor Pusat

Lampiran IV

Hasil Wawancara

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Isu perubahan iklim (climate change) kini menjadi salah satu tantangan utama
bagi dunia karena menghantui masyarakat dengan beragam ancaman, mulai dari
pergeseran pola cuaca yang mengancam produksi pangan, sampai naiknya permukaan
air laut yang meningkatkan risiko bencana banjir. Perhatian terhadap upaya untuk
mengurangi laju perubahan iklim pun terus ditingkatkan. Salah satunya adalah
melalui efisiensi energi pada sektor properti.
Kontribusi buruk dari sektor properti terhadap lingkungan berasal dari
besarnya energi yang dikonsumsi dalam mengoperasikan gedung. Australian National
Audit Office (ANAO) menyebutkan bahwa: Energy consumption is typically the
13

14

largest source of an entitys office-based greenhouse gas emissions. (2012, 27).


Memperkuat alasan tersebut, Organisation of Economic Co-operation Development
(OECD) juga menyebutkan bahwa sektor bangunan/gedung menghabiskan sekitar 2440% dari konsumsi energi di negara-negara OECD (2003, 7).
Tingginya konsumsi energi di sektor bangunan/gedung sebagian besar berasal
dari tingginya penggunaan energi listrik untuk aktivitas gedung. Pemenuhan
kebutuhan energi listrik tersebut saat ini masih mengandalkan pada pemakaian energi
fosil yang sangat berdampak buruk terhadap lingkungan. Huat dan Akasah (2011, 1)
menyebutkan bahwa menurut United States Environmental Protection Agency
pemakaian energi fosil yang berlebihan dinilai sebagai kontributor utama terhadap
perubahan iklim global karena dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca dalam
jumlah yang sangat besar.
Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2012, 83), sektor
pembangkit tenaga listrik yang sebagian besar masih memanfaatkan bahan bakar
berkarbon tinggi (batu bara dan BBM) tercatat sebagai penyumbang emisi CO 2
terbesar di Indonesia, yaitu pada tahun 2011 mencapai 32,96% dari total emisi CO 2
secara nasional yang berjumlah 391,69 juta ton. Angka ini pun diprediksi akan terus
mengalami tren yang meningkat sehingga dapat semakin memperburuk lingkungan.
Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut, penting bagi para pemilik,
penyedia, atau operator gedung untuk memahami urgensi dari prinsip keberlanjutan
(sustainability) dan implementasinya dalam segala aspek pada proses manajemen
aset. Australian Asset Management Collaborative Group (2012, 3) menjelaskan
bahwa fokus manajemen aset bukan semata-mata untuk memperpanjang jangka hidup
aset dan memastikan bahwa aset tersebut beroperasi secara efisien dan ekonomis,
tetapi lebih mempertimbangkan bagaimana pengelolaan suatu aset akan berdampak
14

15

pada lingkungan dan masyarakat. Salah satu bagian dari hal tersebut penerapan
kebijakan efisiensi energi pada gedung yang dimiliki/digunakan.
Isu perubahan iklim dan keberlanjutan yang kemudian dihadapkan pada
betapa signifikannya dampak lingkungan dari aktivitas gedung juga telah memberikan
momentum pada perkembangan konsep bangunan hijau (green building). Fisher
(2010, 3) menyatakan bahwa konsep bangunan hijau ini diyakini sebagai sebuah
praktik bangunan terpadu yang secara signifikan mampu mengurangi jejak
lingkungan atau jejak ekologis bangunan jika dibandingkan dengan praktik bangunan
standar. Dalam konsep ini, efisiensi energi juga menjadi salah satu aspek penting yang
harus diwujudkan agar suatu gedung bisa dikategorikan sebagai bangunan hijau.
Saat ini pemerintah Indonesia mempunyai jumlah gedung yang sangat besar
dan merupakan portofolio yang sangat berarti dalam mendukung kebijakan energi
nasional. Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2013, nilai aset tetap
berupa gedung dan bangunan mencapai Rp191,3 triliun atau sekitar 11% dari total
aset tetap Pemerintah Pusat secara keseluruhan. Oleh karena itu, pemerintah sudah
seharusnya mengoptimalkan implementasi kebijakan efisiensi energi dalam
pengelolaan gedung pemerintah untuk mengakomodasi isu perubahan iklim,
keberlanjutan, dan konsep bangunan hijau, sekaligus sebagai salah satu solusi untuk
mengatasi permasalahan energi dan lingkungan di Indonesia.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul Implementasi Kebijakan Efisiensi Energi dalam
Pengelolaan Aset Gedung Pemerintah di Kementerian Keuangan.
B. Ruang Lingkup Penelitian

15

16

Efisiensi energi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah yang terkait
dengan penggunaan energi listrik. Bahasan yang termasuk dalam cakupan penelitian
ini adalah mengenai perangkat kebijakan itu sendiri dan penerapannya di beberapa
gedung di lingkungan Kantor Pusat Kementerian Keuangan, yaitu Gedung Juanda I
dan II, Gedung R.M. Notohamiprodjo dan Jusuf Wibisono, serta Gedung Syafrudin
Prawiranegara.
C. Rumusan Masalah Penelitian
Rumusan masalah yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah:
1. bagaimanakah impelementasi kebijakan efisiensi energi dalam pengelolaan aset
gedung pemerintah di Kementerian Keuangan?
2. apa sajakah permasalahan dan tantangan dalam proses implementasi kebijakan
tersebut?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. untuk mendeskripsikan implementasi kebijakan efisiensi

energi

dalam

pengelolaan aset gedung pemerintah di Kementerian Keuangan;


2. untuk mengidentifikasi permasalahan dan tantangan dalam proses implementasi
kebijakan efisiensi energi pada gedung-gedung Kementerian Keuangan.
E. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan studi dan
sumbangsih pemikiran ilmiah dalam melengkapi kajian-kajian yang terkait
manajemen kekayaan negara, khususnya pengelolaan aset gedung pemerintah;
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi
semua pihak terkait, khususnya Kementerian Keuangan, sebagai dasar untuk

16

17

melakukan perbaikan atau penyempurnaan implementasi kebijakan efisiensi


energi dalam pengelolaan aset gedung.
F. Metodologi Penelitian
1. Objek penelitian.
Objek penelitian ini adalah beberapa gedung di lingkungan Kementerian
Keuangan, yaitu Gedung Juanda I, Gedung Juanda II, Gedung R.M. Notohamiprodjo,
Gedung Jusuf Wibisono, serta Gedung Syafrudin Prawiranegara. Pemilihan objek ini
didasarkan atas pertimbangan bahwa gedung-gedung tersebut sudah mewakili
gedung-gedung di Kantor Pusat Kementerian Keuangan dari segi usia gedung, jumlah
lantai, lokasi gedung, dan karakteristik unit yang menempati gedung tersebut.
2. Jenis dan sumber data.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. data primer dan sekunder mengenai pelaksanaan pengelolaan gedung pemerintah
di Kementerian Keuangan yang diperoleh dari wawancara, peraturan, database,
dan publikasi yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan dan pihak laint;
b. data sekunder mengenai penerapan kebijakan efisiensi energi dalam pengelolaan
aset dan gedung yang diperoleh dari jurnal, dokumen, dan publikasi lainnya.
Data-data tersebut dikumpulkan dengan metode studi kepustakaan, analisis dokumen,
dan wawancara.
3. Metode pengolahan data.
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
penelitian kualitatif. Menurut Sugiyono (2014, 9), penelitian kualitatif adalah metode
penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah (sebagai
lawannya adalah eksperimen), dimana peneliti sebagai instrumen kunci. Pengambilan

17

18

sumber data dilakukan secara purposive, analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan
hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.
G. Sistematika Pembahasan
BAB I

Penelitian ini direncanakan akan terdiri dari lima bab sebagai berikut:
PENDAHULUAN
Bab ini akan menguraikan mengenai latar belakang penelitian, ruang
lingkup penelitian, permasalahan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian,

BAB II

metodologi penelitian, serta sistematika pembahasan.


LANDASAN TEORI
Bab ini akan menguraikan kerangka teori yang berkaitan dengan materi dan

permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.


BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
Bab ini menjelaskan mengenai data dan fakta dalam penelitian yang terdiri
dari gambaran umum objek penelitian.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan analisis tentang topik yang diteliti dengan analisis
BAB V

deskriptif kualitatif dengan tujuan menjawab permasalahan penelitian.


SIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menguraikan simpulan yang ditarik dari hasil penelitian, saran
terkait masalah penelitian, dan keterbatasan dari penelitian ini.

18

19

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Konsep Implementasi Kebijakan
Secara umum istilah implementasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
berarti pelaksanaan atau penerapan. Istilah implementasi biasanya dikaitkan dengan
suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Lane (1983, 17)
menyebutkan bahwa di dalam Kamus Webster kata implement diartikan sebagai ...to
carry out; accomplish, fulfill; to give practical effect to and ensure of actual
fulfillment by concrete measures; to provide instruments or means of practical
expression

for....

Pengertian

tersebut

mempunyai

arti

bahwa

untuk

mengimplementasikan sesuatu harus disertakan sarana yang mendukung yang


nantinya akan menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu itu.
Pengertian implementasi di atas apabila dikaitkan dengan kebijakan adalah
bahwa sebenarnya kebijakan itu tidak hanya dirumuskan lalu dibuat dalam suatu
bentuk positif seperti undang-undang dan kemudian didiamkan dan tidak
dilaksanakan, tetapi sebuah kebijakan harus dilaksanakan agar mempunyai dampak
atau tujuan yang diinginkan.Anggara (2014, 232) berpendapat bahwa implementasi
merupakan suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan

19

20

dengan harapan akan memperoleh suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran
dari suatu kebijakan.
Nurdin (2013, 24) mengutip pendapat Budi Winarno yang mengemukakan
bahwa implementasi kebijakan dibatasi sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh individu-individu pemerintah dan individu-individu swasta (kelompokkelompok) yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam
keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Implementasi kebijakan dapat dikatakan
suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas
atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai
dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri.
Namun pada praktiknya suatu kebijakan

tidak

selalu

berhasil

diimplementasikan sehingga sasaran awal yang diinginkan belum tentu bisa tercapai.
Banyak hal yang dapat mempengaruhi sukses atau tidaknya implementasi suatu
kebijakan. Sebagaimana yang dikutip Anggara (2014, 249), George Charles Edwards
III mengemukakan bahwa terdapat empat faktor kritis yang mempengaruhi
keberhasilan atau kegagalan implementasi, yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi
atau sikap pelaksana, dan struktur birokrasi.
1. Komunikasi. Faktor ini memiliki peran/fungsi yang cukup penting untuk
menentukan keberhasilan suatu kebijakan dalam implementasinya. Komunikasi
kebijakan dalam tataran implementasi diperlukan agar dapat membentuk
dukungan dan komitmen dari pihak-pihak yang terkait. Edwads III juga
berpendapat bahwa terdapat tiga indikator keberhasilan komunikasi kebijakan,
yaitu: (a) transmisi, sebuah kebijakan yang telah ditetapkan dan akan
diimplementasikan harus disalurkan kepada pejabat yang akan melaksanakannya;
20

21

(b) kejelasan, tujuan dan cara yang akan digunakan dalam sebuah kebijakan harus
dirumuskan secara jelas; dan (c) konsistensi, suatu implementasi kebijakan akan
efektif dan berdayaguna apabila perintah pelaksanaannya konsisten, yakni
petunjuk pelaksanaan kebijakan tidak saling bertentangan.
2. Sumber daya. Sumber daya yang diperlukan dalam implementasi menurut
Edwards III terdiri dari staf, informasi, kewenangan, dan fasilitas.
3. Disposisi. Disposisi merupakan sikap dan komitmen dari pelaksana terhadap
kebijakan yang harus dilaksanakan. Jika para pelaksana bersikap baik terhadap
suatu kebijakan, berarti ada dukungan sehingga mereka akan melaksanakan
kebijakan sesuai dengan yang diinginkan.
4. Struktur birokrasi. Yang dimaksud oleh Edwards III adalah mekanisme kerja yang
dibentuk untuk mengelola pelaksanaan sebuah kebijakan.
B. Kebijakan Energi Nasional
Atas dasar perhatian dan komitmen pemerintah terhadap pelestarian
lingkungan, pada 11 Agustus 2011 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan
Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penghematan Energi dan Air yang
meminta kepada segenap pimpinan di jajaran pemerintahan untuk melakukan
langkah-langkah dan inovasi penghematan energi dan air di lingkungan instansi
masing-masing. Presiden juga meminta agar para pimpinan daerah dapat melakukan
sosialisasi dan mendorong semua lapisan masyarakat, termasuk perusahaan swasta
yang berada di wilayah masing-masing, untuk melaksanakan upaya penghematan
energi dan air.
Selain itu pemerintah juga menyusun Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan

21

22

Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah
Kaca. RAN-GRK adalah pedoman untuk langkah-langkah dalam memfasilitasi
perubahan iklim, seperti telah disampaikan Komitmen Presiden pada Tahun 2007
dalam G-20 Pittsburgh dan Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen pada
Desember 2009 untuk menurunkan emisi gas rumah kaca pada tahun 2020. (Dewan
Energi Nasional 2014, 58).
Berdasarkan RAN-GRK tersebut diketahui bahwa pemerintah mengharapkan
agar sektor energi dan pengelolaan limbah diharapkan dapat menurunkan emisi
masing-masing kurang lebih 6%. Pengurangan emisi GRK sesuai dengan target
tersebut untuk sektor energi dimaksud dapat dilakukan dengan memanfaatkan energi
baru dan terbarukan serta meningkatkan efisiensi penggunaan energi. (Kementerian
ESDM 2012, 79).
Selanjutnya pemerintah juga telah menyusun suatu Kebijakan Energi Nasional
(KEN) sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun
2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. KEN tersebut disusun sebagai pedoman
untuk memberi arah pengelolaan energi nasional guna mewujudkan kemandirian
energi dan ketahanan energi nasional untuk mendukung pembangunan nasional
berkelanjutan. Dalam Pasal 6 PP No. 79 Tahun 2014 tersebut disebutkan bahwa
kemandirian energi dan ketahanan energi nasional yang menjadi tujuan KEN di
antaranya akan dicapai melalui pemanfaatan energi secara efisien di semua sektor
dan terjaganya kelestarian fungsi lingkungan hidup.
C. Konsep Efisiensi Energi
1. Tantangan perubahan iklim.
Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (2007, 30), istilah
perubahan iklim ini mengacu pada perubahan keadaan iklim yang dapat diidentifikasi
22

23

(misalnya menggunakan uji statistik) oleh perubahan dalam rata-rata dan/atau


variabilitas sifat-sifatnya, dan yang berlangsung selama jangka waktu yang panjang,
biasanya dekade atau lebih. Dalam definisi lain, istilah perubahan iklim juga merujuk
pada perubahan besar pada suhu, curah hujan, salju, dan pola angin yang berlangsung
dalam kurun waktu dekade atau lebih lama lagi. (EPA, 2015).
Perubahan iklim ini bisa terjadi karena berbagai faktor. Secara garis besar, The
US Environmental Protection Agency (2014) mengklasifikasikan penyebab terjadinya
perubahan iklim ke dalam dua kelompok, yaitu manusia (human causes) dan alam
(natiral causes). Aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil, penebangan
hutan, dan pengembangan lahan untuk pertanian, perkotaan, dan jalan akan
melepaskan gas rumah kaca ke atmosfir. Sedangkan penyebab secara alamiah
(natural causes) meliputi perubahan orbit bumi, intensitas sinar matahari, sirkulasi air
laut dan atmosfer, serta aktivitas gunung berapi. Meskipun demikian, indikasi-indikasi
perubahan iklim yang dirasakan saat ini tidak bisa dijelaskan melalui proses alam
semata. Sebaliknya justru kegiatan manusia yang lebih banyak meningkatkan jumlah
gas rumah kaca di atmosfer.
Keberadaan sejumlah gas rumah kaca memang diperlukan untuk kehidupan di
bumi karena gas-gas tersebut berfungsi untuk menjaga kondisi bumi agar tetap hangat
dan mempertahankan kondisi keseimbangannya. Akan tetapi, dampak dari aktivitas
manusia yang kemudian meningkatkan jumlah gas rumah kaca secara signifikan
berakibat pada terganggunya keseimbangan bumi.
2. Konsep keberlanjutan.
Bahasan mengenai tantangan perubahan iklim yang sedang dihadapi
masyarakat global saat ini akan relevan dengan prinsip keberlanjutan (sustainability)
23

24

yang harus diperhatikan manusia dalam segala aktivitasnya. Konsep keberlanjutan


mulai terkenal dan menjadi perhatian sejak istilah pembangunan berkelanjutan
(sustainability development) muncul dalam laporan World Commission on
Environment and Development tahun 1987 atau yang kemudian dikenal sebagai
Brundtland Report. Dalam laporan tersebut, konsep keberlanjutan didefinisikan
sebagai: meets the needs of the present without compromising the ability of future
generations to meet their own needs. (WCED, 1987).
Office of Sustainabilty of University of Alberta menyebutkan bahwa konsep
keberlanjutan merupakan sebuah pendekatan yang holistik yang mempertimbangkan
dimensi ekologis, sosial, dan ekonomi, serta mengakui bahwa semua dimensi tersebut
harus

dipertimbangkan

bersama-sama

untuk

mencapai

kesejahteraan

yang

sesungguhnya. Ketiga dimensi ini (the triple bottom line) dapat dilihat juga secara
terpisah tetapi akan tetap saling terhubung satu sama lainnya.
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep keberlanjutan
menghendaki agar setiap aktivitas manusia saat ini yang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhannya pada waktu bersangkutan tidak boleh mengabaikan kepentingan
generasi mendatang. Konsep ini bermaksud mengingatkan bahwa setiap tindakan saat
ini akan mendatangkan konsekuensi di masa mendatang dan untuk menjamin
keberlangsungan hidup di masa depan diperlukan pertimbangan secara seksama untuk
meminimalkan efek negatif dari aktivitas yang dilakukan manusia sekarang ini.
3. Konsep bangunan hijau.
Meningkatnya

kepedulian

masyarakat

dunia

terhadap

keberlanjutan

lingkungan telah mendorong konsep baru di bidang properti yang dikenal dengan

24

25

istilah bangunan hijau (green building). Konsep ini dikembangkan dengan maksud
untuk mengurangi jejak ekologis yang dihasilkan dari aktivitas sebuah bangunan.
Maksud ini tercermin dari definisi bangunan hijau itu sendiri sebagaimana yang
dinyatakan oleh OECD, yaitu: as those that have minimum impacts on the built
and natural environment in terms of the buildings themselves, their immediate
surroundings and the broader regional and global setting. (Hong 2007, 20). Dari
definisi tersebut dapat dipahami bahwa keberadaan bangunan hijau diharapkan dapat
meminimalkan dampak negatif terhadap bangunan itu sendiri, lingkungan sekitar, dan
lingkungan regional serta global.
Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, bangunan harus didesain sedemikian
rupa sehingga beberapa faktor penting yang menjadi karakteristik sebuah bangunan
hijau dapat terpenuhi. Samer (2013, 26) mengutip pernyataan Chatrajee bahwa:
Green buildings exhibit a high level of environmental, economic, and engineering
performance. These include energy efficiency and conservation, improved indoor air
quality, resource and material efficiency, and occupant's health and productivity.
Banyak manfaat yang dapat dirasakan dengan menerapkan konsep bangunan
hijau, terutama manfaat bagi lingkungan. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh
McGraw-Hill Construction (2013, 18), setidaknya terdapat lima manfaat terkait
lingkungan yang mendorong para responden untuk menerapkan konsep bangunan
hijau. Kelima alasan tersebut terlihat dalam gambar berikut ini.
Grafik II.1 Alasan untuk Menerapkan Bangunan Hijau

25

26

46%

Reduce Energy Consumption

72%

24%

Lower Greenhouse Gas Emissions

27%

Reduce Water Consumption

2012

14%

Protect Natural Resources

27%

2008

4%
25%

6%

Improve Indoor Air Quality

17%

Sumber: McGraw-Hill Constructions. 2013. World Green Building Trends. Hal. 18


Sementara itu, Green Building Council Indonesia (GBCI), yaitu lembaga
mandiri (non-government) dan nirlaba (non-profit) yang berkomitmen penuh terhadap
pendidikan masyarakat dalam mengaplikasikan praktik-praktik terbaik lingkungan
dan memfasilitasi transformasi industri bangunan global yang berkelanjutan, telah
menyelenggarakan program sertifikasi bangunan hijau di Indonesia melalui sistem
rating GREENSHIP. Dalam rangka pemberian rating tersebut, GBCI menetapkan
enam kriteria penilaian yang harus dipenuhi suatu bangunan, yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.

Tepat Guna Lahan (Appropriate Site Development)


Efisiensi Energi dan Refrigeran (Energy Efficiency & Refrigerant)
Konservasi Air (Water Conservation)
Sumber dan Siklus Material (Material Resources & Cycle)
Kualitas Udara dan Kenyamanan (Indoor Air Health & Comfor)

f. Manajemen Lingkungan dan Bangunan (Building & Enviroment Management)


Keenam aspek dimaksud akan dijadikan sebagai kriteria penilaian bangunan gedung
untuk menentukan peringkat rating yang akan diberikan terhadap gedung tersebut.
Dari aspek-aspek penilaian tersebut dapat terlihat bahwa efisiensi energi dari suatu

26

27

gedung dianggap sebagai salah satu hal yang penting dalam pengelolaan gedung yang
berbasis lingkungan sesuai dengan konsep bangunan hijau.
GREENSHIP yang diselenggarakan oleh GBCI tidak hanya ditujukan untuk
menilai bangunan baru saja (New Building), tetapi juga untuk gedung lama atau
gedung terbangun yang sudah ada (Existing Building). Dalam Ringkasan Tolak Ukur
Greenship Existing Building (GBCI 2011), terkait aspek efisiensi energi pada
bangunan yang dinilai, GBCI menetapkan sembilan tolak ukur yang menjadi bagian
dari penilaian rating terhadap gedung tersebut, yaitu:
a. Policy and Energy Management Plan.
Dalam aspek ini, GBCI akan melihat ada atau tidaknya surat pernyataan yang
memuat komitmen dari manajemen puncak yang mencakup: adanya audit energi,
target penghematan dan action plan berjangka waktu tertentu oleh tim energi. Selain
itu, diperlukan pula adanya kampanye dalam rangka mendorong penghematan energi
dengan minimal pemasangan kampanye tertulis secara permanen di setiap lantai,
antara lain berupa: stiker, poster, email.
b. Minimum Building Energy Performance.
Berkenaan dengan aspek ini, GBCI akan menilai kinerja penghematan energi
suatu gedung yang tercermin dari nilai Intensitas Konsumsi Energi (IKE) gedung
tersebut dan membandingkannya dengan standar acuan yang telah ditetapkan GBCI.
c. Optimized Efficiency Building Energy Performance.
Terkait aspek ini, GBCI akan menilai capaian penurunan IKE dari suatu
gedung. Setiap sejumlah penurunan yang berhasil dicapai, gedung tersebut akan

27

28

mendapat nilai tambahan sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam standar
penilaian.
d. Testing, Recommissioning or Retrocommissioning.
Agar dapat memperoleh tambahan nilai dari aspek ini, penting bagi
manajemen

gedung

untuk

melakukan

pengujian

(komisioning

ulang

atau

retrokomisioning) dengan sasaran peningkatan kinerja pada peralatan utama MVAC


(Mechanical Ventilation and Air Conditioning), misalnya: chiller.
e. System Energy Performance.
Dari sudut pandang aspek ini, manajemen gedung perlu melakukan upaya
penghematan, baik yang berkaitan dengan lighting control

maupun

MVAC

(Mechanical Ventilation and Air Conditioning).


f. Energy Monitoring and Control.
Manajemen gedung perlu melakukan kegiatan kontrol dan monitor atas
penggunaan energi di gedung tersebut. Kegiatan ini dapat dilakukan misalnya dengan
cara penyediaan kWh meter, pencatatan rutin bulanan hasil pantau dan koleksi data
pada kWh meter, dan mengapresiasi penggunaan energi dalam bentuk Display Energy
yang ditempatkan di area publik dengan menampilkan informasi dalam bentuk grafik
bar mengenai perbandingan penggunaan energi total pada gedung tersebut per periode
tertentu.
g. Operation and Maintenance.
Aspek penilaian ini terkait dengan ada atau tidaknya panduan pengoperasian
dan pemeliharaan seluruh sistem AC dan peralatan lainnya serta laporan bulanan
untuk kegiatan pengoperasian dan pemeliharaan sistem gedung itu sendiri.
28

29

h. On Site Renewable Energy.


Untuk mendapatkan nilai dari aspek ini, suatu gedung harus mampu
menyediakan sejumlah energi yang berasal dari energi terbarukan.
i. Less Energy Emission.
Sehubungan dengan aspek ini, manajemen gedung harus melakukan
pengukuran terhadap emisi gas karbon yang berhasil dicapai (CO2 emission reduction
measures).
4. Konsep efisiensi energi pada gedung.
Berdasarkan data dari Building and Construction Authority of Singapore,
sepanjang siklus hidup dari suatu gedung, konsumsi energi yang dihabiskannya
sebagian besar terjadi pada tahapan operasional gedung tersebut, yaitu sekitar 80
persen (angka tersebut sebagaimana yang disajikan dalam gambar II.1). Tingginya
konsumsi energi selama masa operasional suatu gedung memberikan peluang bagi
pengelola dan pengguna untuk menerapkan efisiensi energi sehingga dapat menekan
dampak buruknya terhadap lingkungan.
Selain itu, menurut Hong et al. (2007, 4) efisiensi energi merupakan salah satu
cara tercepat, termurah, dan terbersih untuk menjawab tantangan energi dan
lingkungan. Kebijakan efisiensi energi pada suatu gedung dapat dilaksanakan dengan
segera setelah perangkat standar efisiensinya telah ditetapkan. Efisiensi energi juga
lebih murah jika dibandingkan dengan harus membangun gedung baru yang lebih
ramah terhadap lingkungan. Hong et al. (2007, 2) juga menyebutkan tentang hasil
penelitian McKinsey Global Institute yang berbasis di seluruh dunia yang menyatakan
bahwa empat dari lima ukuran yang paling cost-effective untuk menurunkan emisi gas

29

30

rumah kaca melibatkan efisiensi gedung. Keempat ukuran tersebut adalah insulasi
bangunan, sistem pencahayaan, pengaturan udara, dan pemanas air.
Gambar II.1 Konsumsi Energi Sebuah Gedung

Sumber: Building and Construction Authority. 2010. Building Planning and Massing.
Hal. 7
Perlu diperhatikan pula bahwa dengan diberlakukannya efisiensi energi pada
suatu gedung bukan berarti akan memberikan ketidaknyamanan pada pengguna
gedung. Efisiensi energi pada suatu bangunan secara umum berarti menggunakan
lebih

sedikit

energi

untuk

pemanas,

pendingin,

dan

pencahayaan,

tanpa

mempengaruhi kenyamanan para pengguna gedung dimaksud. Di samping itu,


efisiensi energi pada gedung bukan hanya akan menghemat biaya energi dan
melindungi lingkungan dengan mengurangi konsumsi dan emisi bahan bakar fosil,
tetapi secara umum juga akan menyediakan sebuah kondisi dalam ruangan yang lebih
bagus (high-quality indoor environment). (Hong et al. 2007, 275).
5. Pengukuran tingkat efisiensi energi pada gedung.
Sebagaimana yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, dalam rangka
melakukan pemeringkatan (rating) bangunan hijau terhadap gedung-gedung di
Indonesia, GBCI menggunakan nilai Intensitas Konsumsi Energi (IKE) sebagai salah
satu tolak ukur penilaian dalam kriteria efisiensi energi. Penggunaan IKE atau Energy

30

31

Usage Intesity (EUI) ini bukan hanya dilakukan di Indonesia saja, tetapi negaranegara lain pun juga menggunakan nilai IKE untuk menyatakan atau mengukur
tingkat efisiensi penggunaan energi dari suatu gedung.
Intensitas Konsumsi Energi (IKE) adalah istilah yang digunakan untuk
menyatakan besarnya jumlah penggunaan energi tiap meter persegi luas kotor (gross)
bangunan dalam suatu kurun waktu tertentu. Penentuan nilai IKE dinyatakan dalam
satuan kWh/m2 per tahun. IKE merupakan istilah yang digunakan untuk mengetahui
tingkat pemakaian energi pada suatu bangunan. Dalam hal ini, istilah energi yang
digunakan adalah mengacu pada energi listrik. Sehubungan dengan penggunaan IKE
tersebut, GBCI menetapkan standar acuan besaran nilai IKE yang digunakan sebagai
tolak ukur pemeringkatan (rating) bangunan hijau. Standar acuan tersebut
sebagaimana yang ditunjukkan dalam tabel II.1.
Tabel II.1 Standar Acuan IKE Menurut GBCI
No
.
1
2
3

Klasifikasi Jenis Gedung


Perkantoran
Mall
Hotel atau Apartemen

IKE (kWh/m2/tahun)
250
450
350

Sumber: Green Building Council Indonesia. 2011. Ringkasan Tolak Ukur Greenship
Existing Building. Hal. 3
Sementara itu, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13
Tahun 2012 tentang Penghematan Pemakaian Tenaga Listrik menggunakan konsep
pengukuran IKE dengan memakai istilah lain yaitu Konsumsi Energi Spesifik.
Berdasarkan peraturan tersebut, penggolongan penggunaan energi di gedung
perkantoran pemerintah yang didasarkan pada perhitungan Konsumsi Energi Spesifik
dilakukan dengan kriteria sebagai berikut:
Tabel II.2 Kriteria Konsumsi Energi Spesifik untuk Gedung Perkantoran
31

32

Predikat

Gedung Ber-AC

Gedung Tanpa AC

Sangat Efisien

KES/IKE < 8,5

KES/IKE < 3,4

Efisien

8,5 < KES/IKE < 14

3,4 < KES/IKE < 5,6

Cukup Efisien

14 < KES/IKE < 18,5

5,6 < KES/IKE < 7,4

Boros

KES/IKE > 18,5

KES/IKE > 7,4

Sumber: Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2012
tentang Penghematan Pemakaian Tenaga Listrik
D. Konsep Pengelolaan Aset
1. Definisi pengelolaan aset.
Dalam berbagai literatur, terdapat banyak pendapat yang menguraikan
pengertian dari pengelolaan aset atau manajemen aset. Pemerintah Australia Selatan
(1999, 1) mendefinisikan manajemen aset sebagai a process to manage demand
and guide acquisition, use and disposal of assets to make the most of their service
delivery potential, and manage risks and costs over their entire life. Sementara itu,
Best Value Task Force Skotlandia (2003, 5) mendefinisikan manajemen aset ke dalam
pengertian berikut:
Asset management is commonly defined as the full life cycle management of
such assets in order to maximise their advantage. It covers site acquisition and
disposal, the replacement and remodelling of buildings, roads and bridges to
include extensions and improvements, plus the management and maintenance of
such capital infrastructure assets.
Dari kedua definisi tersebut dapat diperoleh dua inti pengertian yang samasama diungkapkan, yaitu bahwa pengelolaan atau manajemen aset itu:
a. mencakup jangka waktu yang panjang, bukan hanya pada satu titik waktu
tertentu. Pemerintah Australia Selatan mendefinisikannya dengan over their
entire life, sedangkan Best Value Task Force Skotlandia mendefinisikan jangka
waktu tersebut dengan full life cycle management. Panjangnya jangka waktu

32

33

yang menjadi cakupan pengelolaan atau manajemen aset ini karena meliputi daur
hidup dari aset itu sendiri, yang dimulai dari perencanaan sampai dengan
penghapusan (disposal);
b. dimaksudkan agar suatu aset dapat memberikan layanan terbaik sesuai dengan
potensinya. Dalam pengertian pertama, Pemerintah Australia Selatan menjelaskan
poin ini melalui kalimat to make the most of their service delivery potential,
sedangkan dalam pengertian kedua Best Value Task Force Skotlandia
menjelaskannya dalam kalimat to maximise their advantage.
Adapun dalam perangkat kebijakan yang berlaku di lingkup pemerintah
Indonesia,

yaitu

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2014 tentang

Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (BMN/D), tidak terdapat definisi


pengelolaan atau manajemen aset secara eksplisit. Akan tetapi, PP tersebut
menyebutkan bahwa pengelolaan BMN/D meliputi sebelas tahapan kegiatan, yaitu
perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan,
pengamanan

dan

pemeliharaan,

penilaian,

pemindahtanganan,

pemusnahan,

penghapusan, penatausahaan, dan pembinaan, pengawasan dan pengendalian. Seluruh


tahapan ini kemudian dikenal dengan daur siklus hidup BMN/D.
2. Konsep pengelolaan aset yang berkelanjutan.
Berkanaan dengan konsep ini, Marlow et al. (2010, 58) mengutip Marlow dan
Burn

yang

mendefinisikan

pengelolaan

aset

yang

berbasis

keberlanjutan

(sustainability-based asset management) sebagai:


a combination of management, financial, economic, engineering, and other
practices applied to (physical) assets with the objective of maximizing the value
derived from an asset stock over the whole life cycle, within the context of

33

34

delivering appropriate levels of service to customers, communities, and the


environment, and at an acceptable level of risk.
Definisi tersebut menggabungkan antara karakteristik manajemen aset dan konsep
keberlanjutan. Dengan kata lain, pengelolaan aset yang berkelanjutan dapat
disimpulkan sebagai upaya untuk memaksimalkan potensi manfaat suatu aset selama
siklus hidupnya, yang meliputi manfaat secara lingkungan, sosial, dan juga ekonomi.
Hal ini sesuai dengan pendekatan holistik pada konsep keberlanjutan yang mencakup
aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan (the triple bottom line).
Dengan demikian, manajemen aset harus menjadi kendaraan utama untuk
mewujudkan tujuan keberlanjutan dari suatu aset organisasi. Pengelola aset perlu
memahami pentingnya prinsip keberlanjutan (sustainability), terutama terkait
implementasinya dalam segala aspek dari proses manajemen aset yang dimilikinya.
Australian Asset Management Collaborative Group (2012, 3) menjelaskan bahwa
pengelolaan aset yang berkelanjutan menghendaki agar setiap tahapan siklus hidup
aset selalu mempertimbangkan dampak yang bisa ditimbulkan terhadap lingkungan
aset tersebut. Konsep keberlanjutan di sini bukan lagi semata-mata berfokus pada
upaya-upaya memperpanjang jangka hidup aset dan memastikan bahwa aset tersebut
beroperasi secara efisien dan ekonomis. Adanya desain, pemeliharaan, dan
operasional aset yang baik dapat berkontribusi positif terhadap perkembangan alam,
sosial, dan sekaligus memberikan keuntungan finansial bagi pemilik aset.
E. Penelitian Terdahulu Mengenai Efisiensi Energi pada Gedung
Penelitian yang dilakukan oleh Adam Hinge, Paolo Bertoldi, dan Paul Waide
pada tahun 2004 ini berjudul Comparing Commercial Building Energy Use Around
The World. Penilitian ini menggunakan Intensitas Konsumsi Energi (IKE) atau

34

35

Energy Usage Intensity (EUI) untuk membandingkan tingkat efisiensi energi antar
gedung atau antar sektor. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa perbandingan
level IKE untuk tipe gedung sejenis, meskipun gedung itu berasal dari lintas
wilayah/regional, akan cukup bermanfaat dalam memahami best practice pada sektor
gedung komersial.
Penelitian yang dilakukan Baso Mukhlis pada tahun 2011 ini mengangkat
judul: Evaluasi Penggunaan Listrik pada Bangunan Gedung di Lingkungan
Universitas Tadulako. Dari peneilitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa dari 708
ruangan yang telah dievaluasi terdapat 136 ruangan yang nilai IKE-nya melebihi
standar IKE kategori efisien, yaitu dengan rincian 29 ruangan kategori agak boros, 42
ruangan kategori boros, dan 65 ruangan kategori sangat boros. Penelitian ini juga
menyimpulkan bahwa potensi penghematan yang dapat dilakukan Universitas
Tadulako adalah sebesar Rp17.686.222,- per bulan.

35

36

BAB III
GAMBARAN OBJEK PENELITIAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
1. Tugas dan fungsi unit organisasi terkait.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK.01/2014 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan, Kementerian Keuangan
mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang keuangan dan kekayaan negara
dalam

pemerintahan

untuk

membantu

Presiden

dalam

menyelenggarakan

pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Kementerian Keuangan


menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:
a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang keuangan dan
kekayaan negara;
b. pengelolaan Barang Milik/Kekayaan Negara yang menjadi tanggung jawab
Kementerian Keuangan;
c. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Keuangan;
d. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan
Kementerian Keuangan di daerah;
e. pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional; dan

36

37

f. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah.


g.
Dalam rangka menjalankan tugas dan fungsi serta untuk mewujudkan
visi dan misinya, Kementerian Keuangan terbagi menjadi sebelas unit eselon I yang
terdiri dari Sekretariat Jenderal (Setjen), Inspektorat Jenderal (Itjen), Direktorat
Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Direktorat Jenderal
Anggaran (DJA), Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB), Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara (DJKN), Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK),
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), Badan Kebijakan
Fiskal (BKF), dan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK). Kesebelas unit
eselon I tersebut memiliki beragam tugas dan fungsi sesuai dengan bidangnya
masing-masing.
h.

Sehubungan dengan objek penelitian ini yang merupakan gedung-

gedung di lingkungan Kantor Pusat Kementerian Keuangan, setidaknya terdapat


empat unit organisasi yang terkait, yaitu Setjen, Itjen, BKF, DJKN, dan Pusat Sistem
Informasi dan Teknologi Keuangan.
a. Sekretariat Jenderal (Setjen).
i.

Sesuai PMK No. 206/PMK.01/2014, Setjen mempunyai tugas

melaksanakan koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan


administrasi kepada seluruh unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan.
Dalam rangka melaksanakan tugasnya tersebut, Setjen menyelenggarakan beberapa
fungsi

yang

salah

satunya

adalah

penyelenggaraan

pengelolaan

barang

milik/kekayaan negara. Berdasarkan pembagian tugas dan fungsi di internal

37

38

organisasi Setjen, pelaksanaan fungsi pengelolaan barang milik/kekayaan negara


dimaksud selanjutnya dilakukan oleh Biro Perlengkapan dan Biro Umum Setjen.
j.

Dalam PMK Nomor 206/PMK.01/2014 disebutkan bahwa Biro

Perlengkapan Setjen mempunyai tugas melaksanakan pembinaan administrasi dan


pengelolaan perlengkapan/ kekayaan kementerian berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Salah satu fungsi yang diselenggarakan oleh Biro
Perlengkapan adalah analisis, penyusunan, dan penyiapan pembinaan administrasi,
serta penyusunan petunjuk teknis pengelolaan BMN kementerian bagi seluruh satuan
organisasi di lingkungan kementerian serta analisis dan evaluasi pengelolaan BMN
Unit Eselon I Sekretariat Jenderal berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
k.

Sementara itu, Biro Umum Setjen memilki tugas untuk membina

pelaksanaan ketatausahaan kementerian dan melaksanakan urusan tata usaha, rumah


tangga, serta pemberian pelayanan pelaksanaan tugas kantor pusat kementerian.
Berkenaan dengan kegiatan pengelolaan barang milik/kekayaan negara, salah satu
fungsi yang diselenggarakan Biro Umum adalah pelaksanaan urusan pengadaan,
penyimpanan dan distribusi perlengkapan, dan pentausahaan barang milik negara di
lingkungan Sekretariat Jenderal, serta urusan pencetakan dan penggandaan. Selain itu
Biro umum juga melaksanakan urusan dalam, pemeliharaan peralatan, dan keamanan
dalam, serta pengelolaan telekomunikasi dan kendaraan dinas.
b. Inspektorat Jenderal (Itjen).
l.

Itjen merupakan unit eselon I di Kementerian Keuangan yang

melaksanakan pengawasan intern atas pelaksanaan tugas di lingkungan


Kementerian Keuangan. Sehubungan dengan pengelolaan Barang Milik
38

39

Negara di lingkungan Itjen, wewenang dan tanggung jawab hal tersebut ada
pada Sekretariat Itjen c.q. Bagian Umum dan Komunikasi Pengawasan. Tugas
dari unit tesebut adalah melaksanakan kegiatan komunikasi dan pelayanan
ketatausahaan pengawasan, protokoler dan kerumahtanggaan, pengadaan dan
pengelolaan barang milik negara, serta penugasan pengawasan dan
pengelolaan perjalanan dinas. Di internal Bagian Umum dan Komunikasi
Pengawasan sendiri terdapat Subbagian Kerumahtanggaan dan Protokoler
(Subbag. RTP) dan Subbagian Pengadaan dan Pengelolaan BMN (Subbag.
PPBMN) yang bertugas:
1) Subbag. RTP: melakukan pelaksanaan urusan protokoler, kerumahtanggaan,
akomodasi, pengangkutan, pemeliharaan inventaris kantor, pemeliharaan rumah
dan kendaraan dinas, dan penyiapan dokumen perjalanan dinas luar negeri.
2) Subbag. PPBMN: melakukan analisis dan penyusunan rencana kebutuhan,
pelaksanaan pengadaan, pencatatan, penyimpanan, penyaluran, pelaporan, dan
penghapusan barang milik negara dan barang persediaan, serta penyiapan
dokumen, pelaksanaan, dan pelaporan layanan pemilihan penyedia barang/jasa.
c. Badan Kebijakan Fiskal (BKF).
m.

BKF adalah unit eselon I di Kementerian Keuangan yang

mempunyai tugas melaksanakan analisis dan perumusan rekomendasi di


bidang kebijakan fiskal dan sektor keuangan. Sehubungan dengan pengelolaan
BMN di lingkungan BKF, wewenang dan tanggung jawab tersebut ada pada
Sekretariat Badan c.q. Bagian Umum. Pada Bagian Umum sendiri terdapat
dua unit yang bersinggungan dengan hal dimaksud, yaitu Subbagian Rumah

39

40

Tangga dan Subbagian Manajemen Aset dan Layanan Pengaduan. Adapun


tugas dari kedua unit tersebut sebagaimana yang terlihat dalam Gambar III.1.
n. Gambar III.1 Unit Organisasi yang Terkait Pengelolaan BMN di BKF
o.

STm ueg bla sk :au mgk aieanln k Mru ksa n a ujienr umv s ea nt a dAr ais lea smt i d, ap e n yg u sau n d an rn e nd oc ak nu ma pe n , gd a dn a n , d is t r ib u s i , p e m e l ih a r a n , d a n p e n g h a p u s a n B M N ,
RpLs aeu rymt aeanlpihe nlTarakP nsae gn gkaae n d la ryna n a dn inp ae sn .g a d a n .

p. Sumber: Diolah dari Peraturan Menteri Keuangan No. 261/PMK.01/2014


d. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).
q.

DJKN merupakan unit eselon I di Kementerian Keuangan yang

menjalankan peran Menteri Keuangan sebagai Pengelola Barang. Dalam PMK


No.

206/PMK.01/2014

disebutkan

bahwa

DJKN

mempunyai

tugas

merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang


kekayaan negara, piutang negara, dan lelang. Susunan organisasi DJKN terdiri
atas Sekretariat Ditjen, Direktorat Barang Milik Negara, Direktorat Kekayaan
Negara Dipisahkan, Direktorat Piutang Negara dan Kekayaan Negara Lainlain, Direktorat Pengelolaan Kekayaan Negara dan Sistem Informasi,
Direktorat Penilaian, Direktorat Lelang, dan Direktorat Hukum dan Hubungan
Masyarakat.
r.

Adapun wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan

BMN yang ada di lingkungan DJKN berada pada Sekretariat Ditjen c.q.
Bagian Perlengkapan dan Bagian Umum. Kedua unit tersebut secara bersama-

40

41

sama mengelola BMN di lingkungan DJKN dengan menjalankan fungsi


sebagaimana yang ditampilkan dalam Gambar III.2.
s. Gambar III.2 Unit Organisasi yang Terkait Pengelolaan BMN di DJKN
t.

pBealagksi nna ur san pe yim pan dan istrbusiperl ngkap n; B a g i n P e rl n g k a p n


pBealagksi nna U umrusan rucm.aqh t Sngu ba,paenggiadn n da istrbusial t ulis kantor,angkutan,pem lihar n sar n dan pras na,serta penat usah n,pengam na ,pengaw san b rang m ilk negar dilngku an k torpusatdirektora jend ral
p e la k s n a u r s a n i v e n t a r is , p e m lih a r n , d a p e n g h a p u s n p e r l n g k a p n .
PReurmlanhgTkanpg na
p e n y u s n a r e n c a k e b u t h a n d p e la k s n a u r s a n p e g a d n p e r l n g k a p n , s e r t a p e l k s a n , p e n y ia p n d o k u m e n , d a p e la o r n la y n p e m il h a n p e y d ia b r a n g / j s a ;

B a g i n U m u c .q S u b a g i n R u m a h T n g a

u. Sumber: Diolah dari Peraturan Menteri Keuangan No. 261/PMK.01/2014


e. Pusat Sistem Informasi dan Teknologi Keuangan (Pusintek).
v.

Pusintek merupakan unit di Kementerian Keuangan yang

mempunyai tugas melaksanakan pengkoordinasian penyusunan rencana


strategis, kebijakan, dan standarisasi teknologi informasi dan komunikasi,
pengembangan sistem informasi dan teknologi keuangan, pengelolaan
operasional layanan teknologi informasi dan komunikasi, dan pengelolaan
Jabatan

Fungsional

Pranata

Komputer.

Berdasarkan

PMK

No.

261/PMK.01/2014, dalam melaksanakan tugasnya Pusintek berada di bawah


dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan melalui Sekretaris Jenderal.

41

42

w.

Sehubungan dengan pengelolaan BMN di lingkungan Pusintek,

Bagian Tata Usaha c.q. Subbagian Umum merupakan unit yang memegang
wewenang dan tanggung jawab atas hal tersebut. Di dalam PMK No.
261/PMK.01/2014 disebutkan bahwa tugas dari Bagian Tata Usaha adalah
untuk memberikan pelayanan administratif kepada semua unsur di lingkungan
pusat. Subbagian Umum yang merupakan salah satu unit di bawah Bagian
Tata Usaha mempunyai tugas untuk melakukan penyusunan rencana
kebutuhan, pelaksanaan dan dokumentasi pengadaan, perjanjian/kontrak
dengan mitra kerja, penatausahaan dan akuntansi barang milik negara, urusan
penyimpanan dan pendistribusian, urusan inventarisasi dan penghapusan,
urusan rumah tangga, perjalanan dinas, pengajuan permintaan pembayaran,
pengelolaan keamanan ruangan dan barang inventaris, keprotokolan,
dokumentasi dan kearsipan, serta menindaklanjuti hasil pemeriksaan aparat
pengawasan fungsional dan pengawasan masyarakat.
2. Data gedung objek penelitian.
x.

Di lingkungan Kantor Pusat Kementerian Keuangan yang

berlokasi di kawasan Jakarta Pusat, yaitu di Jalan Dr. Wahidin dan Jalan
Lapangan Banteng Timur, Kel. Pasar Baru, Kec. Sawah Besar, terdapat
delapan unit eselon I yaitu Sekretariat Jenderal, Inspektorat Jenderal,
Direktorat Jenderal Anggaran, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan,
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Badan Kebijakan

42

43

Fiskal. Dua dari delapan unit eselon I tersebut, yaitu DJPB dan DJKN,
memiliki unit vertikal di daerah sehingga yang berada di lingkungan Kantor
Pusat Kementerian Keuangan tersebut adalah gedung dari kantor pusat unit
eselon I yang bersangkutan.
y.
Sebagaimana yang telah disebutkan, yang menjadi objek dari
penelitian ini adalah beberapa gedung yang ada di lingkungan Kantor Pusat
Kementerian Keuangan, yaitu Gedung Juanda I dan II, Gedung R.M.
Notohamiprodjo dan Jusuf Wibisono, serta Gedung Syafrudin Prawiranegara.
Berdasarkan Kartu Inventaris Barang (KIB) yang merupakan salah satu output
dari Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi BMN (SIMAK-BMN)
diketahui bahwa semua gedung yang menjadi objek penelitian ini berada
dalam penguasaan Sekretariat Jenderal. Dalam SIMAK-BMN, gedung-gedung
tersebut diklasifikasikan ke dalam bidang Bangunan Gedung, kelompok
Bangunan Gedung Tempat Kerja, sub kelompok Bangunan Gedung
Kantor, dan sub-sub kelompok Bangunan Gedung Kantor Permanen.
Berikut ini adalah penjelasan mengenai identitas dari gedung-gedung yang
menjadi objek penelitian ini.
a. Gedung Juanda I dan II.
z.

Gedung Juanda I dan II merupakan salah satu gedung sentral di

lingkungan Kantor Pusat Kementerian Keuangan. Dua gedung yang berlokasi


di Jalan Dr. Wahidin No. 1 Jakarta Pusat ini dibangun dengan tampilan luar
yang mirip satu sama lain. Baik Gedung Juanda I maupun Juanda II samasama berada di bawah penguasaan Sekretariat Jenderal.

43

44

aa.

Gedung Juanda I digunakan sebagai kantor untuk Menteri

Keuangan, Wakil Menteri Keuangan, Sekretariat Jenderal, dan para Staf Ahli
Menteri Keuangan. Oleh karena itu, di dalam KIB tertulis bahwa status
penggunaan Gedung Juanda I adalah digunakan sendiri untuk operasional.
Sedangkan Gedung Juanda II digunakan sebagai kantor untuk Inspektorat
Jenderal dan Sekretariat Jenderal. Oleh karena itu, di dalam KIB tertulis
bahwa status penggunaannya adalah digunakan oleh satker lain dalam satu
Kementerian/Lembaga (K/L).
ab.
Dikarenakan Gedung Juanda I dan II berada dalam penguasaan
Setjen, maka untuk pencatatan dan pembayaran tagihan layanan jasa listriknya
dikelola oleh Bagian Rumah Tangga, Biro Umum, Setjen. Berdasarkan data
dari Biro Umum, kedua gedung tersebut menggunakan satu kWh meter secara
bersama-sama. Data lainnya tentang Gedung Juanda I dan II dapat dilihat
dalam tabel III.1.
ac. Tabel III.1 Data Gedung Juanda I dan II
ad.
N

ae. Identifikasi

ah.
1

ai. Unit Akuntansi


Kuasa
Pengguna
Barang
(UAKPB)

al.
2

am.Jumlah Lantai

ap.
3

aq. Luas Gedung

at.

au. Tahun

af. Juanda I

ag. Juanda II

aj. Setjen
Kemenkeu

ak. Setjen
Kemenkeu

an. 20

ar.

26.565 m2

av. 2007

44

ao. 20

as.

27.765 m2

aw. 2009

45

Perolehan

ax.
5

ay. Nilai Gedung


az. (per 30 Juni
2015)

bc.
6

bd. Nama
Unit
Pengguna

ba. Rp266.739.45
0.948,be. Setjen
Kemenkeu

bb. Rp222.322.44
8.620,bf. Itjen dan
Setjen
Kemenkeu

bg. Sumber: Diolah dari Kartu Inventaris Barang dan database Biro Perlengkapan
Setjen.
b. Gedung R.M. Notohamiprodjo dan Jusuf Wibisono.
bh.

Baik Gedung R.M. Notohamiprodjo maupun Gedung Jusuf

Wibisono, keduanya sama-sama berlokasi di Jalan Dr. Wahidin No. 1 Jakarta


Pusat. Jika memperhatikan data KIB, maka dapat diketahui bahwa kedua
gedung ini tergolong sebagai gedung yang lebih tua dibandingkan dengan
gedung-gedung lain di lingkungan Kantor Pusat Kementerian Keuangan. Di
dalam KIB tercatat bahwa Gedung R.M. Notohamiprodjo diperoleh pada
tahun 1986 dan Gedung Jusuf Wibisono pada tahun 1992, jauh lebih tua jika
dibandingkan dengan Gedung Juanda I dan II yang diperoleh pada tahun 2007
dan 2009. Data lebih lengkap dari kedua gedung tersebut disajikan dalam
Tabel III.2 berikut ini.
bi. Tabel III.2 Data Gedung R.M. Notohamiprodjo dan Jusuf Wibisono
bj.
N

bk. Identifikasi

bl. R.M.
Notohamipro
djo

bn.
1

bo. Unit Akuntansi


Kuasa
Pengguna
Barang

bp. Setjen
Kemenkeu

45

bm.

Jusuf
Wibisono

bq. Setjen
Kemenkeu

46

(UAKPB)
br.
2

bs. Jumlah Lantai

bv.
3

bw.Luas Gedung

bz.
4

ca. Tahun
Perolehan

cd.
5
ci.
6

bt. 8

bx.

bu. 3

8.668 m2

by.

2.086 m2

cb. 1986

cc. 1990

ce. Nilai Gedung


cf. (per 30 Juni
2015)

cg. 42.110.229.85
3,-

ch. Rp10.878.787.
189,-

cj. Nama
Unit
Pengguna

ck. BKF

cl. Setjen
Kemenkeu

cm.Sumber: Diolah dari Kartu Inventaris Barang dan database Biro Perlengkapan
cn.

Dari

Tabel

Setjen.
III.2 diketahui

bahwa

Gedung

R.M.

Notohamiprodjo digunakan sebagai gedung kantor BKF, sehingga status


penggunaan di dalam KIB tercatat dengan keterangan digunakan oleh satker
lain dalam satu Kementerian/Lembaga (K/L). Sedangkan Gedung Jusuf
Wibisono digunakan oleh Setjen yaitu sebagai Balai Kesehatan Kementerian
Keuangan, sehingga pencatatan status penggunaan di dalam KIB diisi dengan
keterangan digunakan sendiri untuk operasional.
co.
Sama halnya dengan Gedung Juanda I dan II, baik Gedung
R.M. Notohamiprdojo maupun Gedung Jusuf Wibisono, keduanya juga berada
dalam penguasaan Setjen, sehingga untuk pencatatan dan pembayaran tagihan
layanan jasa listrik sepenuhnya dikelola oleh Bagian Rumah Tangga, Biro
Umum, Setjen. Selain itu, kedua gedung tersebut juga menggunakan satu kWh

46

47

meter yang sama sehingga pencatatan besaran konsumsi listrik yang


digunakan keduanya digabung menjadi satu.
c. Gedung Syafrudin Prawiranegara.
cp.

Gedung Syafrudin Prawiranegara merupakan salah satu

gedung di lingkungan Kantor Pusat Kementerian Keuangan yang berlokasi di


Jalan Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta Pusat. Meskipun berada di
lokasi yang sedikit berbeda dengan Setjen, di dalam SIMAK-BMN gedung ini
masih tercatat dalam penguasaan Setjen. Data mengenai Gedung Syafrudin
Prawiranegara disajikan dalam tabel berikut ini.
cq. Tabel III.3 Data Gedung Syafrudin Prawiranegara
cr.
N

cs. Identifikasi

ct. Syafrudin
Prawiranegara

cu.
1

cv. Unit Akuntansi


Kuasa Pengguna
Barang (UAKPB)

cw. Setjen Kemenkeu

cx.
2

cy. Jumlah Lantai

da.
3

db. Luas Gedung

dd.
4

de. Tahun Perolehan

dg.
5

dh. Nilai Gedung


di. (per 30 Juni 2015)

dk.
6

dl. Nama Unit Pengguna

cz. 12

dc.

21.344 m2

df. 1995

dj. Rp109.307.915.805,-

47

dm.

DJKN dan
Pusintek

48

dn. Sumber: Diolah dari Kartu Inventaris Barang dan database Bagian
do.

Perlengkapan Setjen.
Dalam operasionalnya, Gedung Syafrudin Prawiranegara

digunakan oleh dua unit yang berbeda, yaitu DJKN dan Pusintek. Oleh karena
itu, status penggunaannya yang tercatat di dalam KIB diisi dengan keterangan
digunakan oleh satker lain dalam satu Kementerian/ Lembaga (K/L).
Berkenaan dengan pencatatan dan pembayaran tagihan layanan jasa listrik
yang digunakan, layaknya gedung lain yang berada di bawah penguasaan
Setjen, untuk Gedung Syafrudin Prawiranegara juga dilakukan oleh Bagian
Rumah Tangga, Biro Umum, Setjen.
B. Pedoman Efisiensi Energi untuk Gedung Kementerian Keuangan
dp.

Sebagai tindak lanjut dari dikeluarkannya Instruksi Presiden

Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penghematan Energi dan Air yang meminta
segenap pimpinan di jajaran pemerintahan untuk melakukan langkah-langkah
dan inovasi penghematan energi dan air di lingkungan instansi masing-masing,
Menteri Keuangan

kemudian

menerbitkan beberapa kebijakan

yang

dimaksudkan untuk diimplementasikan di lingkungan Kementerian Keuangan,


yaitu

Instruksi

Menteri

Keuangan

Nomor

12/IMK.01/2012

tentang

Penghematan Energi dan Air di Lingkungan Kementerian Keuangan dan Surat


Edaran Menteri Keuangan Nomor SE-19/MK.1/2012 tentang Penghematan
Amggaran di Lingkungan Kementerian Keuangan. Perangkat kebijakan
tersebut kemudian menjadi pedoman bagi pelaksanaan efisiensi energi pada
gedung-gedung Kementerian Keuangan.

48

49

1. Instruksi Menteri Keuangan Nomor 12/IMK.01/2012.


dq.

Instruksi Menteri Keuangan (IMK) ini dikeluarkan pada

tanggal 17 Januari 2012 yang tujuannya adalah untuk meningkatkan


penghematan energi dan air di lingkungan Kementerian Keuangan. IMK ini
sekaligus untuk menindaklanjuti Instruksi Presiden tentang hal yang sama
yaitu Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penghematan Energi
dan Air yang dikeluarkan pada tanggal 11 Agustus 2011. IMK No.
12/IMK.01/2012 ini menjadi pedoman bagi semua unit di Kementerian
Keuangan untuk melakukan langkah-langkah dan inovasi penghematan energi
dan air di lingkungan unit eselon I masing-masing. Berikut ini adalah beberapa
hal terkait pengehamatan penggunaan listrik yang termasuk dalam isi IMK
tersebut.
a. Prasyarat.
dr.

IMK No. 12/IMK.01/2012 menyebutkan bahwa penghematan

energi, baik itu listrik maupun BBM, di lingkungan Kementerian Keuangan


dilakukan dengan tetap memperhatikan kebutuhan serta prinsip keadilan
dalam pemanfaatan energi dan air.
b. Ruang lingkup.
ds.

Di dalam IMK juga disebutkan cakupan atau ruang lingkup dari

upaya penghematan listrik yang meliputi: pendingin ruangan (air conditioner),


lampu penerangan, komputer, light emitting diode baliho dan running text, lift,
dan alat elektronik lainnya.
c. Petunjuk teknis.
49

50

1) Pendingin ruangan (air conditioner).


dt.
Penggunaan pendingin ruangan (AC) sentral diatur dengan ketentuan:
a) AC dihidupkan paling cepat 1 jam sebelum jam kerja dimulai dengan suhu paling
rendah 25o C dan harus dimatikan pada jam kerja selesai.
b) Pegawai yang melaksanakan kerja lembur hanya mendapatkan pelayanan AC
pada lantai yang digunakan dan harus membuat surat keterangan kerja lembur
yang ditanda tangani oleh paling rendah Pejabat Eselon IV serta tembusan
diberikan kepada Satuan Pengamanan (Satpam) gedung.
du.
Penggunaan pendingin ruangan (AC) split diatur dengan ketentuan:
a) AC Split dihidupkan hanya saat ruangan digunakan, dengan suhu minimal 25o C.
b) AC Split dimatikan saat meninggalkan ruangan atau pulang kerja.
c) Pegawai yang melaksanakan kerja lembur dapat menggunakan AC Split hanya
pada ruangan yang digunakan dan harus membuat surat keterangan kerja lembur
yang ditanda tangani oleh paling rendah Pejabat Eselon IV serta tembusan
diberikan kepada Satpam gedung.
d) Tidak menambah AC Split tanpa seizin pengelola gedung.
e) Gunakan timer switch untuk menghindari kealpaan mematikan AC split.
f) Khusus untuk ruangan yang membutuhkan pendinginan 24 jam seperti ruang
server diizinkan menyalakan AC selama 24 jam terus-menerus.
g) Tidak membiarkn pintu dan jendela yang menghadap ke luar terbuka terusmenerus tanpa menggunakan alat air curtain/air door pada saat AC dalam
keadaan hidup.
h) Tidak menggunakan alat-alat listrik yang menimbulkan efek panas berlebih
seperti setrika, kompor, rice cooker, teko, pemanas air, microwave dan
pemanggang roti di ruangan ber-AC.
i) Menggunakan kapasitas AC yang tepat sesuai dengan kondisi ruangan.
j) Melakukan pengecekan secara berkala untuk menghindari terjadinya kebocoran
instalasi, kerusakan AC, dan memastikan kondisi mesin AC masih layak pakai.
k) Menggunakan kapasitas AC yang tepat sesuai dengan kondisi ruangan.
l) Melakukan pengecekan secara berkala untuk menghindari terjadinya kebocoran
instalasi, kerusakan AC, dan memastikan kondisi mesin AC masih layak pakai.
50

51

2) Lampu penerangan.
dv.

Penggunaan lampu penerangan diatur dengan ketentuan sebagai

berikut:
a) Menggunakan lampu penerangan dengan hitungan 15 watt/1 m2 luas ruangan.
b) Pada ruang kerja dan lorong antar ruang, lampu penerangan hanya dihidupkan
apabila cahaya penerangan tidak mencukupi.
c) Mematikan seluruh lampu penerangan pada ruang kerja, ruang rapat, toilet, dapur
gudang, basement, dan mushola setelah selesai digunakan.
d) Menghidupkan lampu penerangan taman mulai pukul 18.00 dan mematikan pada
pukul 06.00 waktu setempat.
e) Penerangan saat malam hari hanya dihidupkan pada lokasi yang strategis untuk
keamanan gedung.
f) Pegawai yang melaksanakan kerja lembur, hanya menyalakan lampu pada
ruangan yang digunakan.
g) Memaksimalkan penerangan dari luar (cahaya matahari) dengan cara membuka
tirai.
h) Menggunakan lampu hemat energi dan tidak meletakkan barang yang
menghalangi cahaya lampu penerangan
3) Komputer.
dw.

Penggunaan komputer hanya untuk kepentingan dinas dengan

ketentuan:
a) Menghidupkan komputer dan printer dimulai pada saat digunakan dan hanya
untuk keperluan dinas, lalu mematikan komputer dan printer pada saat
rneninggalkan ruang kerja dalam waktu lebih dari 1 jam.
b) Mematikan komputer (Central Processing Unit/CPU dan monitornya) dan printer
serta mencabut stop kontak listrik saat pulang kerja.
c) Disarankan menggunakan komputer dengan teknologi hemat energi.
4) Light emitting diode baliho dan running text.

51

52

dx.

LED Baliho dari running text dihidupkan hanya pada hari kerja,

mulai pukul 07.30 s.d. 20.00 waktu setempat.


5) Lift.
dy.

Penggunaan lift diatur dengan ketentuan sebagai berikut:

a) Dihidupkan mulai pukul 05.30 dan dimatikan pada pukul 19.00 waktu setempat.
b) Pengoperasian lift pada jam kerja di gedung yang memiliki lebih dari 10 lantai,
diatur dengan pembagian berdasarkan jangkauan lift: sebagian untuk area bawah
dan sebagian lagi untuk area atas.
c) Penggunaan lift setelah pukul 19.00 waktu setempat dan pada hari libur hanya
difungsikan 1 (satu) lift mencakup semua lantai.
Apabila gedung memiliki lift lebih dari 1 unit, maka sebagian lift dimatikan,
yaitu:untuk hari Senin-Kamis pada pukul 08.00 s.d. 12.00 dan pukul 13.00 s.d.
17.00 waktu setempat; sedangkan untuk hari Jumat pukul 08.00 s.d. 11.00 dan

pukul 13.30 sd. 17.00 waktu setempat.


Pengoperasian lift barang hanya pada saat ada pengiriman barang dan pada

saat pembuangan sampah oleh petugas kebersihan setelah selesai jam kerja.
6) Alat elektronik lainnya.
dz.

Penggunaan alat elektronik diatur dengan ketentuan sebagai

berikut:
a) Mesin fotokopi dinyalakan mulai jam kerja dan dimatikan setelah jam kerja
selesai dengan cara mencabut kabel listrik dari stop kontak.
b) Tidak menggunakan alat-alat elektronik lainnya yang tidak berhubgngan
langsung dengan pekerjaan dinas, yaitu setrika, kompor, rice cooker teko,
pemanas air, microwave, pemanggang roti, dan televisi.
c) Pejabat Eselon I dan II dimungkinkan untuk menggunakan alat elektronik seperti
kulkas, dispenser, dan televisi di ruang kerja.

52

53

d) Ruang tunggu kantor pelayanan dapat menggunakan pesawat telivisi dan


dispenser.
e) Tidak menambah instalasi listrik tanpa pemberitahuan kepada pengelola gedung.
f) Peralatan kantor yang menggunakan energi listrik yang sudah tidak layak secara
teknis dan ekonomis, segera diusulkan untuk dihapuskan.
g) Kipas angin dapat digunakan jika diperlukan dan dimatikan saat selesai jam kerja.
d. Pengawasan.
ea.

Dalam rangka pengawasan pelaksanaan penghematan energi

dan air, masing-masing pimpinan unit eselon I, eselon II yang bertanggung


jawab atas pengelolaan gedung/kantor, dan eselon III yang bertanggung jawab
atas pengelolaan gedung/kantor membentuk satuan tugas di lingkungan unit
masing-masing eselon.
e. Pelaporan.
1) Penanggungjawab satuan tugas di lingkungan unit eselon III melaporkan
pelaksanaan penghematan energi dan air setiap semester kepada penanggung
jawab satuan tugas di lingkungan unit eselon II untuk kemudian disampaikan
kepada penanggung jawab satuan tugas di lingkungan unit eselon I.
2) Selanjutnya penanggung jawab satuan tugas di lingkungan unit eselon I
melaporkan pelaksanaan penghematan energi dan air setiap semester kepada
Sekretaris Jenderal c.q. Kepala Biro Umum selaku penanggung jawab satuan
tugas tingkat pusat penghematan energi dan air di lingkungan Kementerian
Keuangan.
3) Sekretaris Jenderal c.q. Kepala Biro Umum selaku penanggung jawab satuan
tugas tingkat pusat penghematan energi dan air di lingkungan Kementerian
Keuangan melaporkan pelaksanaan penghematan energi dan air setiap semester
kepada Menteri Keuangan.
2. Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor 19 Tahun 2012.
53

54

eb.

Di samping mengeluarkan Instruksi Menteri Keuangan Nomor

12/IMK.01/2012, dalam rangka menindaklanjuti Instruksi Presiden Nomor 13


Tahun 2011 dan sekaligus menindaklanjuti IMK itu sendiri, pada tanggal 1
Agustus 2012 Menteri Keuangan c.q. Setjen kemudian menerbitkan SE19/MK.1/2012 tentang Penghematan Anggaran di Lingkungan Kementerian
Keuangan. Dalam SE tersebut disebutkan bahwa diperlukan langkah-langkah
dan upaya-upaya penghematan anggaran dalam rangka pengamanan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan salah satu langkah yang
ditempuh adalah melalui upaya efisiensi dan pengurangan penggunaan listrik.
Untuk itu setiap unit eselon I diminta agar menerapkan langkah-langkah
berikut:
a. Mengoptimalkan pemanfaatan cahaya matahari untuk penerangan kantor, guna
mengurangi penggunaan penerangan listrik. Sedangkan untuk ruang kantor yang
tidak memperoleh cahaya matahari yang cukup, penggunaan penerangan listrik
dilakukan seefisien dan sehemat mungkin. Selanjutnya, terhadap ruangan kerja
yang tidak dan/atau tidak sedang digunakan, penerangan listrik agar dimatikan.
b. Menggunakan AC dengan suhu ruangan minimal 25C. Penggunaan AC pada
gedung kantor diperuntukan hanya selama jam kerja. Di luar jam kerja, AC agar
dioperasikan hanya untuk keperluan menyelesaikan pekerjaan yang sangat
mendesak/lembur.
c. Menggunakan listrik pada malam hari hanya untuk penerangan pada lokasi
strategis bagi keamanan kantor.

54

55

d. Membentuk satuan tugas (satgas) di tiap-tiap satker untuk melakukan


pengawasan harian atas penggunaan listrik, air dan telepon pada masing-masing
satker.
e. Melakukan pengawasan secara bersama-sama yang melibatkan pimpinan dan
seluruh pegawai, terhadap penggunaan listrik, air dan telepon, serta peralatan
kantor agar lebih efisien dan menghindari pemborosan.

55

56

ec. BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Implementasi Kebijakan Efisiensi Energi pada Gedung Kantor Pusat
Kementerian Keuangan
1. Perbandingan kebijakan efisiensi energi di Kementerian Keuangan dengan
pedoman efisiensi energi dalam GREENSHIP.
Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dunia untuk mengurangi
laju perubahan iklim (climate change), hingga saat ini banyak pihak yang memberi
perhatian terhadap isu efisiensi energi pada gedung/bangunan. Keberadaan kebijakan
efisiensi energi yang diimplementasikan dalam pengelolaan suatu gedung pun kini
bukan lagi menjadi suatu hal yang baru.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam Bab II, saat ini di Indonesia sudah ada
berdiri Green Building Council Indonesia (GBCI) yang salah satu kegiatannya adalah
untuk melakukan sertifikasi bangunan hijau di Indonesia melaui sistem rating yang
dinamakan GREENSHIP. Di antara enam aspek yang menjadi penilaian oleh GBCI
terdapat satu aspek yang berfokus pada pelaksanaan efisiensi energi, yaitu aspek yang
kedua: Efisiensi Energi dan Refrigeran (Energy Efficiency & Refrigerant).
Perbandingan materi antara kebijakan efisiensi energi yang berlaku secara

56

57

internal untuk pengelolaan gedung di Kementerian Keuangan dan tolak ukur penilaian
GREENSHIP yang terkait aspek efisiensi energi dapat memberikan gambaran tentang
memadai atau tidaknya materi yang telah diatur dalam kebijakan tersebut. Pengaturan
di dalam IMK Nomor 12/IMK.01/2012 dan SE-19/MK.01/2012 dapat dikatakan
memadai jika mampu menjawab sembilan tolak ukur yang ada dalam GREENSHIP
untuk Bangunan Terbangun (Existing Building), yaitu sebagaimana yang nampak
dalam gambar berikut ini.
Gambar VI.1 Tolak Ukur Efisiensi Energi dan Refrigeran dalam GREENSHIP untuk
Bangunan Terbangun
L
P
M
T
S
E
O
o
i
y
p
n
e
l
n
t
e
s
i
t
r
S
s
c
m
i
e
g
a
u
i
n
m
y
t
E
m
z
g
i
e
n
a
,
E
M
o
e
B
d
o
n
R
r
g
d
u
R
n
e
E
e
r
i
a
n
y
E
l
f
c
g
t
n
e
n
f
y
o
d
w
E
e
i
r
a
m
r
n
c
m
P
i
M
b
g
i
e
n
a
l
s
y
r
g
i
e
s
E
s
f
n
i
M
n
c
i
a
t
E
o
a
y
o
r
e
n
r
m
d
n
e
g
B
i
a
r
y
u
C
n
g
e
i
g
o
c
y
m
P
l
e
n
e
d
o
t
n
i
r
t
f
n
o
o
g
R
l
P
r
e
t
l
m
E
a
n
r
n
e
o
r
c
e
g
o
m
y
m
P
i
e
s
r
s
i
f
o
r
n
m
i
a
n
g
n
c
e

Sumber: Diolah dari GREENSHIP Rating Tools untuk Gedung Terbangun


a. Policy and Energy Management Plan.
Dalam aspek ini, manajemen puncak disyaratkan agar membuat surat
pernyataan yang memuat komitmen mencakup: adanya audit energi, target
penghematan dan action plan berjangka waktu tertentu oleh tim energi. Selain itu,
diperlukan pula adanya kampanye untuk mendorong penghematan energi minimal
dengan memasang kampanye tertulis secara permanen di setiap lantai, antara lain
berupa: stiker, poster, email.
57

58

Perangkat kebijakan efisiensi energi dalam pengelolaan gedung di


Kementerian Keuangan yang ada saat ini (IMK Nomor 12/IMK.01/2012 dan SE19/MK.01/2012) belum mengakomodasi hal-hal yang menjadi penilaian GBCI dalam
aspek ini. Kebijakan di internal Kementerian Keuangan tidak mengatur perlunya
pembuatan surat pernyataan manajemen puncak, tetapi lebih banyak memberikan
petunjuk-petunjuk teknis yang dapat dilakukan untuk mengefisienkan penggunaan
energi di gedung yang bersangkutan. Ketentuan untuk menyediakan surat pernyataan
manajemen puncak sebenarnya akan menjadi bukti komitmen dari manajemen puncak
dalam mendukung kebijakan tersebut. Sebaliknya ketiadaan surat pernyataan tersebut
dapat mengakibatkan ketidakseriusan penerapan kebijakan.
Adanya pernyataan manajemen puncak ini sebenarnya bisa dianalogikan
seperti kontrak kinerja yang diberlakukan di Kementerian Keuangan. Dengan
dibuatnya kontrak kinerja, maka akan timbul komitmen dan terdapat kejelasan tentang
hal-hal yang harus dicapai atau dilakukan selama periode yang ditentukan. Begitu
pula yang diharapkan dengan adanya pernyataan manajemen puncak terkait
implementasi kebijakan efisiensi energi. Terlebih lagi cakupan dari isi surat
pernyataan manajemen puncak tersebut memuat hal-hal seperti seperti audit energi
dan action plan yang merupakan hal penting dalam implementasi kebijakan efisiensi
energi suatu gedung.
Adanya audit energi merupakan salah satu bentuk evaluasi terhadap efisiensi
energi suatu gedung. Langkah-langkah sebagaimana yang diatur dalam petunjuk
teknis bisa saja dilakukan, tetapi tetap diperlukan pengukuran terhadap hasil yang
diraih dari penerapan langkah-langkah tersebut.

58

59

Sementara itu, action plan dari manajemen puncak akan menjamin arah dari
implementasi kebijakan. Action plan itu sendiri seharusnya dibuat di awal
implementasi kebijakan karena dari situlah manajemen puncak dapat merinci berbagai
strategi dan tahapan kegiatan dalam upaya menerapkan kebijakan efisiensi energi di
gedung yang ditempati. Action plan juga memuat tahapan eksekusi kegiatan-kegiatan
yang perlu dilakukan terkait program yang akan dilakukan.
Selain surat pernyataan manajemen puncak, baik IMK maupun SE terkait
kebijakan efisiensi energi di Kementerian Keuangan juga tidak ada memuat ketentuan
yang meminta setiap unit untuk melakukan upaya sosialisasi atau kampanye dalam
rangka mendorong penghematan energi. Ketentuan ini juga diperlukan untuk
memastikan bahwa setiap unit melakukan upaya-upaya untuk menyebarluaskan inti
dari kebijakan.
b. Minimum Building Energy Performance.
Berkenaan dengan aspek ini, kinerja penghematan energi pada suatu gedung
akan dinilai berdasarkan nilai Intensitas Konsumsi Energi (IKE) gedung tersebut dan
kemudian dibandingkan dengan standar acuan yang telah ditetapkan GBCI. Nilai IKE
suatu gedung diukur berdasarkan konsumsi energinya pada rentang waktu tertentu
dibagi dengan luas gedung tersebut.
Dalam kebijakan di Kementerian Keuangan yang ada pada saat ini tidak
dikenal adanya konsep penilaian kinerja penghematan energi berdasarkan perhitungan
IKE sehingga tidak ada yang bisa dibandingkan dengan standar IKE minimal yang
telah ditetapkan GBCI. Keluaran dari kebijakan energi saat ini adalah berupa data atau
catatan penggunaan energi listrik dalam satuan kWh yang belum bisa dijadikan
ukuran untuk menentukan apakah dengan konsumsi energi sejumlah data tersebut
59

60

gedung termasuk kategori efisien atau tidak. Oleh karena itu, penting juga untuk
menyertakan aturan mengenai pengukuran efisiensi energi dengan menggunakan
pendekatan IKE tersebut ke dalam perangkat kebijakan yang diberlakukan untuk
pengelolaan gedung di lingkungan Kementerian Keuangan.
c. Optimized Efficiency Building Energy Performance.
Masih berkaitan dengan poin sebelumnya, aspek tolak ukur yang satu ini juga
berhubungan dengan nilai IKE gedung. Jika pada aspek sebelumnya, GBCI akan
mengukur apakah IKE suatu gedung berada dalam batas toleransi atau tidak, maka
untuk aspek tolak ukur ini GBCI ingin menilai optimalisasi efisiensi energi yang
berhasil dicapai. Setiap sejumlah penurunan IKE yang berhasil dicapai, gedung
tersebut akan mendapat nilai tambahan sesuai standar yang telah ditetapkan.
Berhubung kebijakan di internal Kementerian Keuangan tidak mengenal
konsep IKE, maka juga tidak ada ketentuan untuk melakukan pemantauan terhadap
penurunan IKE yang berhasil dicapai. Berdasarkan IMK, pemantauan terhadap
kinerja penghematan energi hanya dilihat dari besaran presentase kenaikan atau
penurunan pemakaian daya dan jasa listrik pada periode tertentu (format laporan
berdasarkan IMK disajikan dalam Lampiran 1). Sedangkan berdasarkan SE19/MK.1/2012 pemantauan hanya difokuskan kepada besaran anggaran yang berhasil
dihemat saja.
d. Testing, Recommissioning or Retrocommissioning.
Agar dapat memperoleh tambahan nilai dari aspek ini, penting bagi
manajemen

gedung

untuk

melakukan

pengujian

(komisioning

ulang

atau

retrokomisioning) dengan sasaran peningkatan kinerja pada peralatan utama MVAC

60

61

(Mechanical Ventilation and Air Conditioning), misalnya: chiller. Sehubungan dengan


hal ini petunjuk teknis dalam IMK No. 12/IMK.01/2012 hanya mengatur tentang
pelaksanaan pengecekan secara berkala pada AC Split (bukan pada AC Sentral) untuk
menghindari terjadinya kebocoran instalasi, kerusakan, dan memastikan kondisi
mesin AC layak pakai. Dalam kondisi ini seharusnya petunjuk teknis untuk AC sentral
juga memuat ketentuan yang sama dengan petunjuk penggunaan AC Split.
e. System Energy Performance.
Dari sudut pandang aspek ini, manajemen gedung perlu melakukan upaya
penghematan, baik yang berkaitan dengan lighting control maupun MVAC
(Mechanical Ventilation and Air Conditioning). Petunjuk teknis atau pedoman
penghematan energi dalam kebijakan yang ada saat ini memuat hal-hal yang harus
diupayakan oleh manajemen gedung. Upaya-upaya tersebut mencakup tata
pencahayaan maupun tata udara. Materi pengaturan yang berkaitan dengan tata
pencahayaan dan tata udara telah dijelaskan pada Bab III.
f. Energy Monitoring and Control.
Yang dimaksud dalam aspek ini adalah adanya kegiatan kontrol dan monitor
atas penggunaan energi yang dilakukan oleh manajemen gedung, misalnya dengan
cara penyediaan kWh meter, pencatatan rutin bulanan hasil pantau dan koleksi data
pada kWh meter, dan mengapresiasi penggunaan energi dalam bentuk Display Energy
yang ditempatkan di area publik dengan menampilkan informasi dalam bentuk grafik
bar mengenai perbandingan penggunaan energi total pada gedung tersebut.
Dalam hal ini, IMK dan SE yang ada secara umum sudah mengatur perihal
kegiatan kontrol dan monitoring, tetapi belum mengatur secara eksplisit bagaimana

61

62

bentuk-bentuk kegiatan kontrol dan monitoring yang harus dilakukan. IMK Nomor
12/IMK.01/2012 memuat ketentuan bahwa perlu dibentuk Satuan Tugas di setiap
level unit eselon yang bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
penghematan energi dan air di lingkungan unitnya masing-masing.
Sehubungan dengan hal ini, apabila perangkat kebijakan efisiensi energi di
Kementerian Keuangan juga memberikan aturan untuk memasang Display Energy,
hal ini akan menjadi dorongan tersendiri bagi pengelola gedung untuk meningkatkan
kinerja efisiensi gedung yang bersangkutan. Pengaruh positif ini dapat terjadi karena
tentu saja tidak ada satu pengelola gedung pun yang ingin dicap buruk oleh publik
berdasarkan tampilan data kinerja efisiensi energi yang jelek sehingga mereka pun
pada akhirnya akan memaksimalkan upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk
mengoptimalkan penerapan kebijakan efisiensi energi dalam pengelolaan gedung
yang ditempatinya.
g. Operation and Maintenance.
Aspek penilaian ini terkait dengan ada atau tidaknya panduan pengoperasian
dan pemeliharaan seluruh sistem AC dan peralatan lainnya serta laporan bulanan
untuk kegiatan pengoperasian dan pemeliharaan sistem gedung itu sendiri. Pengaturan
sebagaimana yang terdapat dalam IMK Nomor 12/IMK.01/2012 dan SE19/MK.01/2012

belum

ada

menyebutkan

bahwa

pengelola

gedung

harus

menyediakan panduan (SOP) pengoperasian dan pemeliharaan seluruh sistem AC dan


peralatan lainnya.
h. On Site Renewable Energy.

62

63

Untuk mendapatkan nilai dari aspek ini, suatu gedung harus mampu
menyediakan sejumlah energi yang berasal dari energi terbarukan. Kebijakan efisiensi
energi dalam pengelolaan gedung yang dimiliki Kementerian Keuangan tidak ada
mengatur terkait perlunya penyediaan sejumlah energi yang berasal dari energi
terbarukan. Sebagai salah satu bentuk upaya efisiensi energi, seharusnya hal ini juga
menjadi bagian dari kebijakan yang dimiliki oleh Kementerian Keuangan sehingga
dapat mendorong setiap unit untuk mengurangi penggunaan listrik dan beralih ke
penggunaan energi terbarukan.
i. Less Energy Emission.
Aspek ini menghendaki agar manajemen gedung melakukan pengukuran
terhadap penurunan emisi gas karbon yang berhasil dicapai (CO2 emission reduction
measures). Akan tetapi perangkat kebijakan yang ada saat ini tidak ada yang memuat
ketentuan untuk mengakomodasi aspek ini. Baik IMK maupun SE tidak ada yang
menyebutkan bahwa pengelola gedung perlu melakukan pengukuran dimaksud,
sehingga

dalam

implementasinya

Kementerian

Keuangan

tidak

melakukan

pengukuran terhadap penurunan emisi gas karbon yang berhasil dicapai.


2. Strategi dalam penyebarluasan kebijakan.
Terlepas dari lengkap atau tidaknya ketentuan yang dimuat dalam perangkat
kebijakan efisiensi energi dalam pengelolaan gedung di Kementerian Keuangan
sebagaimana yang dijelaskan dalam perbandingan dengan pedoman GREENSHIP,
kebijakan tersebut tetap harus diimplementasikan. Agar kebijakan-kebijakan yang
telah disusun dapat diimplementasikan dalam pengelolaan gedung di Kementerian

63

64

Keuangan, penting bagi Kementerian Keuangan untuk menyampaikan isi dari


kebijakan tersebut kepada para pegawai karena merekalah yang nantinya akan
menjadi pelaksana dari kebijakan tersebut.
Dari hasil wawancara dengan beberapa nara sumber, terdapat beberapa strategi
yang dilakukan oleh manajemen gedung untuk menyebarluaskan informasi tersebut
kepada para pegawai, yaitu:
a.

langsung mengedarkan kebijakan tersebut kepada para pegawai di ruang kerjanya


masing-masing. Strategi ini adalah yang paling lumrah dilakukan tetapi seringkali
edaran tersebut tidak mendapat perhatian dari para pegawai yang berada di

b.

ruangan dimaksud;
mengirimkan perangkat kebijakan dimaksud via surat elektronik (email) kepada para
pegawai yang ada di unit tersebut. Bagi unit kerja yang memiliki database alamat
surat elektronik para pegawai di lingkungannya, strategi ini dipilih karena
dirasakan lebih efektif untuk menyampaikan informasi hingga ke tangan para

c.

pegawai;
menempelkan di papan pengumuman. Pada beberapa unit penyampaian kebijakan
kepada para pegawai juga dilakukan dengan menempelkan kebijakan tersebut di

d.

papan pengumuman yang berada di tempat publik.


dalam beberapa kesempatan, misalnya menjelang libur panjang ketika Idul Fitri,
melalui surat yang dikirimkan kepada unit-unit yang menempati gedung-gedung
milik Kementerian Keuangan, Setjen selaku pihak yang bertanggung jawab
dalam pengelolaan gedung-gedung tersebut mengingatkan kembali agar
memperhatikan penghematan energi listrik. Contoh surat dimaksud dapat dilihat
pada Lampiran 2.

64

65

Semua strategi tersebut harusnya dapat dilaksanakan secara bersamaan


sehingga manajemen gedung tidak hanya mengandalkan satu cara saja untuk
memastikan agar kebijakan efisiensi energi yang ada melekat pada diri pegawai
selaku pelaksana kebijakan. Selain itu, selama ini tidak ditemui adanya kegiatan/acara
sosialisasi yang khusus diadakan untuk menyampaiak kebijakan efisiensi energi
dalam pengelolaan gedung. Bukan hanya kepada pegawai lama, tetapi hal ini juga
perlu dilakukan sejak awal pegawai baru memasuki lingkungan kerja di Kementerian
Keuangan, misalnya ketika penyelenggaraan kegiatan oriantasi atau induksi pegawai
baru.
3. Implementasi pada sistem tata udara.
Data dari The U.S. Energy Information Administration sebagaimana yang
dikutip oleh E Source (2010, 1) menunjukkan bahwa sistem tata udara (heating,
ventilation, and air conditioning/ HVAC systems) bertanggung jawab atas 28%
penggunaan energi listrik pada gedung kantor. Oleh karena itu, pengaturan tata udara
merupakan salah satu faktor yang perlu mendapat perhatian lebih dalam penerapan
kebijakan efisiensi energi pada suatu gedung.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, pengelolaan gedung-gedung di
lingkungan Kantor Pusat Kementerian Keuangan sudah mulai menerapkan kebijakan
efisiensi energi pada sistem tata udara dari gedung tersebut. Upaya efisiensi energi
yang telah diterapkan pada gedung-gedung tersebut ditempuh dengan cara-cara
berikut ini.

65

66

a. Mengingat bahwa gedung-gedung yang menjadi objek pemelitian ini merupakan


aset yang berada dalam penguasaan Setjen, maka pengaturan terhadap sistem tata
udara yang ada pada gedung-gedung tersebut juga dikoordinasikan oleh Setjen.
b. Untuk kepentingan tersebut, Setjen menugaskan teknisi yang ditempatkan di
masing-masing gedung tersebut. Teknisi inilah yang kemudian melakukan
pengaturan terhadap sistem tata udara gedung.
c. Pada gedung-gedung tersebut sudah diterapkan kebijakan untuk mematikan AC
Sentral pada jam kerja selesai. Pada masa awal-awal penerapannya, pengguna
gedung banyak yang mengeluhkan kebijakan ini, tetapi seiring waktu berjalan
akhirnya para pengguna sudah memakluminya.
d. Pegawai yang melaksanakan kerja lembur hanya mendapatkan pelayanan AC
pada lantai yang digunakan dan harus membuat surat keterangan kerja lembur.
Pemberian izin ini pun harus tetap dipertimbangkan berdasarkan tingkat
urgensinya.
e. Penggunaan AC Split pada gedung-gedung objek penelitian ini tidak bisa
dilakukan sesuka hati, melainkan harus berdasarkan izin bagian umum masingmasing dan diteruskan kepada Setjen.
f. Para pegawai yang menggunakan AC Split di ruangannya selalu diingatkan untuk
mematikan AC tersebut meninggalkan ruangan atau pulang kerja. Karena
kealpaan pegawai seringkali terjadi maka perlu adanya kontrol dari sesama rekan
kerja .
g. Pada ruang server seperti yang terdapat pada Pusintek, kebijakan mematikan AC
tidak diberlakukan karena ruangan tersebut membutuhkan pendinginan 24 jam.
Hal ini pun telah sesuai dengan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam
petunjuk teknis IMK.

66

67

h. Teknisi yang ditempatkan pada setiap gedung akan melakukan pengecekan secara
berkala untuk menghindari terjadinya kebocoran instalasi, kerusakan AC, dan
memastikan kondisi mesin AC masih layak pakai.
Meskipun sudah terdapat beberapa langkah nyata yang diterapkan sebagai
bentuk efisiensi energi, terdapat beberapa hal yang bisa dikritisi dari implementasi
yang saat ini berjalan, yaitu:
a. Pengaturan tata udara ini belum konsisten diterapkan pada semua gedung. Masih
terdapat gedung yang pengaturan suhu ruangannya tidak disesuaikan sebagaimana
mestinya sehingga justru terlalu dingin. Padahal perbedaan satu derajat saja pada
tingkat temperatur ruangan akan berpengaruh pada konsumsi energi yang sangat
signifikan.
b. Masih terdapat kebiasaan pegawai yang membiarkan pintu dan jendela yang
menghadap ke luar terbuka terus-menerus sehingga mengganggu kinerja AC yang
sedang dalam keadaan hidup.
4. Implementasi pada sistem tata cahaya.
Selain pengaturan tata udara, pengaturan terhadap lampu penerangan pada
gedung juga berpengaruh besar pada porsi konsumsi listrik suatu gedung. Data dari
The U.S. Energy Information Administration sebagaimana yang dikutip oleh E Source
(2010, 1) menunjukkan bahwa aspek penerangan (lighting) bertanggung jawab atas
39% penggunaan energi listrik pada sebuah gedung kantor. Oleh karena itu,
pengaturan terhadap sistem tata cahaya gedung juga harus mendapat perhatian lebih.
Hasil wawancara yang telah dilakukan memberikan gambaran tentang
implementasi kebijakan efisiensi energi pada sistem tata cahaya di gedung-gedung
Kementerian Keuangan sebagai berikut:

67

68

a. Sama halnya dengan sistem tata udara, pengawasan terhadap sistem tata cahaya
juga dilaksanakan oleh teknisi yang telah ditempatkan oleh Setjen pada masingmasing gedung tersebut.
b. Teknisi yang bertugas telah mengurangi jumlah penggunaan lampu yang ada di
lorong dan ruang kerja. Misalnya jika dalam kondisi biasa pada satu kap lampu
menggunakan 3 buah lampu, maka salah satu lampu dilepas untuk efisiensi
energi.
c. Pada ruang kerja dan lorong antar ruang, lampu penerangan hanya dihidupkan
apabila cahaya penerangan tidak mencukupi.
d. Pegawai yang melaksanakan kerja lembur, hanya menyalakan lampu pada
ruangan yang digunakan.
Meskipun demikian, masih terdapat hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan dalam
rangka menekan penggunaan energi dari aspek lampu penerangan, antara lain:
a. Pengguna gedung masih terbiasa untuk menyalakan lampu pada tempat-tempat
yang sebenarnya tidak sedang digunakan, misalnya pada gudang, ruang rapat,
toilet, dan mushola. Seharusnya begitu penggunaan fasilitas tersebut telah selesai,
pegawai yang bersangkutan segera mematikan lampu yang digunakan.
b. Penerangan dari luar (cahaya matahari) masih kurang dimaksimalkan karena para
pegawai masih memilih menutup tirai pada siang hari dan tetap mengandalkan
pencahayaan dari lampu gedung.
5. Implementasi pada peralatan pendukung.
Implementasi kebijakan efisiensi energi pada peralatan pendukung yang paling
terlihat adalah adanya pengaturan penggunaan lift. Setjen melalui teknisi pada setiap
gedung telah menjadwalkan pengoperasian lift pada waktu-waktu tertentu. Hal ini
menyebabkan tidak semua lift dinyalakan sepanjang waktu, melainkan dikondisikan

68

69

sesuai kebutuhan. Namun kebijakan ini juga belum diimplementasikan secara


konsisten karena pada gedung tertentu didapati bahwa semua lift dioperasikan
sepanjang waktu, bukan hanya pada waktu-waktu tertentu seperti jam masuk kerja,
istirahat, dan pulang kerja.
Penggunaan peralatan lain seperti printer, mesin fotokopi, dan komputer juga
belum menerapkan kebijakan efisiensi energi secara optimal. Masih banyak didapati
peralatan-peralatan tersebut berada dalam kondisi nyala atau tersambung dengan arus
listrik padahal penggunanya tidak berada di tempat (tidak dalam kondisi sedang
digunakan). Petunjuk untuk mencabut stop kontak listrik pada saat pulang kerja pun
masih belum diterapkan oleh semua pegawai. Padahal peralatan listrik termasuk
komputer dan alat kantor lainnya tetap mengonsumsi listrik ketika masih terhubung
dengan sumber listrik meskipun tombol powernya telah dimatikan.
Selain itu, ketentuan untuk menggunakan peralatan kantor seperti komputer
hanya untuk kepentingan dinas masih belum bisa diterapkan sepenuhnya oleh semua
pegawai. Masih ditemui pegawai yang menggunakan komputer untuk urusan pribadi,
misalnya untuk keperluan hiburan (bermain game), yang seharusnya tidak dilakukan
dengan menggunakan fasilitas milik kantor.
6. Implementasi pengawasan dan pelaporan.
Sesuai ketentuan dalam IMK Nomor 12/IMK.01/2012, pengawasan terhadap
pelaksanaan penghematan energi dilakukan oleh Satuan Tugas yang dibentuk oleh
masing-masing pimpinan unit eselon I, eselon II yang bertanggung jawab atas
pengelolaan gedung/kantor, dan eselon III yang bertanggung jawab atas pengelolaan
gedung/kantor. Untuk kasus Gedung Juanda I dan II, R.M. Notohamiprodjo dan Jusuf
Wibisono, serta Gedung Syafrudin Prawiranegara, dikarenakan gedung-gedung
69

70

tersebut berada dalam penguasaan Setjen maka terdapat kesulitan dalam koordinasi
pengawasan pelaksanaan efisiensi energi sesuai ketentuan yang ada.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa unit-unit yang menempati gedung
tersebut lebih banyak bertindak pasif dalam melakukan pengawasan pelaksanaan
efisiensi energi. Pengaturan-pengaturan penting seperti mengatur sistem tata udara
dan penjadwalan operasional lift dilakukan atas arahan Setjen kepada teknisi yang ada
di setiap gedung. Pelaporan dari unit-unit yang menempati gedung tersebut juga tidak
berjalan dengan baik dikarenakan pencatatan dan pembayaran tagihan listrik
dilakukan oleh pihak Setjen. Bahkan beberapa unit yang menempati gedung-gedung
tersebut, seperti DJKN dan Pusintek, tidak mengetahui secara persis berapa
penggunaan listrik yang dihabiskan dalam operasional gedung yang ditempatinya.
B. Hasil Implementasi Kebijakan
Ketika suatu kebijakan dibuat tentu saja ada hasil atau sasaran yang ingin
dicapai dari penerapan kebijakan tersebut. Begitu pula halnya dengan penerapan
kebijakan efisiensi energi dalam pengelolaan gedung , hasil atau sasaran yang
diinginkan adalah agar tecapai efisiensi atau penghematan energi pada gedung yang
bersangkutan. Berdasarkan pendekatan pedoman yang ada pada IMK No.
12/PMK.01/2012, hasil dari implementasi kebijakakan tersebut dapat dipantau dari
konsumsi listrik yang dihabiskan oleh suatu gedung.
Dalam pendekatan yang lain, yaitu sebagaimana yang digunakan oleh GBCI,
konsumsi listrik tersebut dihubungkan dengan luas gedung untuk diperoleh nilai
Intensitas Konsumsi Energi (IKE) yang menunjukkan tingkat efesiensi energi gedung
yang bersangkutan. Berikut ini dijelaskan mengenai hasil implementasi kebijakan

70

71

efesiensi energi dalam pengelolaan gedung di lingkungan Kantor Pusat Kementerian


Keuangan dengan menggunakan kedua pendekatan dimaksud.
1. Konsumsi listrik masing-masing gedung.
Pada Bab III telah dijelaskan bahwa Gedung Juanda I dan II, Gedung R.M.
Notohamiprodjo dan Gedung Jusuf Wibisono, serta Gedung Syafrudin Prawiranegara
berada di bawah penguasaan Sekretariat Jenderal. Pencatatan konsumsi listrik dari
gedung-gedung tersebut pun dilakukan oleh Setjen c.q. Biro Umum.
Salah satu bentuk sederhana yang dapat dilakukan dalam rangka pemantauan
terhadap kinerja penghematan listrik pada gedung-gedung tersebut adalah dengan
mengamati besaran konsumsi listrik per periode tertentu dan melakukan perbandingan
dengan konsumsi listrik pada periode sebelumya sehingga bisa diketahui apakah
terjadi penurunan konsumsi listrik (penghematan) atau justru malah terjadi
peningkatan. Pendekatan inilah yang kemudian digunakan sebagai pedoman dalam
praktik efisiensi energi di lingkungan Kementerian Keuangan, sebagaimana yang
diatur dalam IMK Nomor 12/IMK.01/2012.
Berdasarkan data dari Bagian Rumah Tangga, Biro Umum, Setjen berikut ini
akan disajikan jumlah konsumsi listrik pada gedung-gedung tersebut selama periode
tahun 2013 dan 2014.
a. Gedung Juanda I dan II.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Bagian Rumah Tangga, Biro Umum,
Setjen, konsumsi listrik Gedung Juanda I dan II digabung menjadi satu karena
keduanya menggunakan satu kWh meter yang sama. Data yang diperoleh
menunjukkan bahwa konsumsi listrik di tahun 2013 menunjukkan rata-rata yang lebih
rendah jika dibandingkan dengan tahun 2014. Rata-rata konsumsi listrik sepanjang
71

72

tahun 2013 adalah 941.092 kWh/bulan, sedangkan rata-rata tahun 2014 adalah
962.817 kWh/bulan. Data konsumsi listrik Gedung Juanda I dan II secara lebih rinci
disajikan dalam tabel pada Lampiran 3.
Grafik IV.1 Konsumsi Listrik Gedung Juanda I dan II
1,150,000
1,100,000
1,050,000
1,000,000
950,000
900,000
850,000
k
800,000
W
h
750,000
700,000
650,000
600,000

2013

2014

Sumber: Diolah dari database Bagian Rumah Tangga, Biro Umum, Setjen.
Grafik konsumsi listrik Gedung Juanda I dan II sebagaimana yang nampak
pada Grafik IV.1 memberikan gambaran bahwa konsumsi listrik untuk periode 2013
dan 2014 sama-sama menunjukkan ketidakstabilan. Hal ini nampak dari garis grafik
yang cenderung naik turun dari satu bulan ke bulan berikutnya. Akan tetapi, yang
paling dirasakan perbedaannya adalah konsumsi listrik pada periode akhir tahun 2014
bukannya menunjukkan adanya penghematan tetapi justru mengalami peningkatan,
yaitu dimulai sejak bulan Agustus hingga Desember 2014.
b. Gedung R.M. Notohamiprodjo dan Gedung Jusuf Wibisono.

72

73

Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian, perkembangan konsumsi


listrik Gedung R.M. Notohamiprodjo dan Jusuf Wibisono tahun 2013 dan 2014
disajikan dalam Grafik IV.2.
Gambar IV.2 Konsumsi Listrik Gedung R.M. Notohamiprodjo dan Jusuf Wibisono.
225,000
200,000
175,000
150,000
125,000
k 100,000
W
75,000
h
50,000
25,000
-

2013

2014

Sumber: Diolah dari database Bagian Rumah Tangga, Biro Umum, Setjen.
Dari tampilan grafik tersebut dapat disimpulkan bahwa konsumsi listrik
Gedung R.M. Notohamiprodjo dan Jusuf Wibisono relatif stabil sepanjang tahun 2013
dan 2014, berbeda dengan gambaran yang diperoleh dari grafik Gedung Juanda I dan
II. Rata-rata konsumsi listrik pada tahun 2014 lebih rendah jika dibandingkan dengan
tahun 2013. Sepanjang tahun 2013 Gedung R.M. Notohamiprodjo dan Jusuf Wibisono
menggunakan listrik rata-rata sebesar 178.780 kWh/bulan, sedangkan rata-rata
penggunaan listrik pada tahun 2014 sebesar 172.137 kWh/bulan. Data konsumsi
listrik secara lebih rinci disajikan pada Lampiran 3.
c. Gedung Syafrudin Prawiranegara.

73

74

Gambar IV.3 Konsumsi Listrik Gedung Syafruddin Prawiranegara

k
W
h

2013

2014

Sumber: Diolah dari database Bagian Rumah Tangga, Biro Umum, Setjen.
Grafik IV.3 menunjukkan bahwa konsumsi listrik pada Gedung Syafrudin
Prawiranegara sepanjang tahun 2013 relatif stabil. Begitu pula halnya dengan
penggunaan listrik sepanjang tahun 2014. Rata-rata penggunaan listrik pada tahun
2013 adalah 465.135 kWh/bulan, sedangkan tahun 2014 sebesar 332.475 kWh/bulan.
Berdasarkan nilai rata-rata tersebut dan dengan diperkuat oleh tampilan data pada
Grafik IV.3 dapat disimpulkan bahwa Gedung Syafrudin Prawiranegara berhasil
melakukan penghematan energi listrik sepanjang tahun 2014. Hal ini dapat dibuktikan
dengan garis grafik untuk tahun 2014 sepenuhnya tidak pernah berada di atas garis
grafik yang menunjukkan konsumsi listrik tahun 2013. Data konsumsi listrik Gedung
Syafrudin Prawiranegara secara lebih rinci disajikan pada Lampiran 3.
2. Pengukuran Intensitas Konsumsi Energi (IKE).
Berdasarkan data konsumsi energi listrik yang tercatat setiap bulannya dan
data luas gedung yang dimiliki, maka dapat diketahui besarnya Intensitas Konsumsi
Energi (IKE) dari masing-masing gedung. Sebagaimana yang telah disebutkan pada
Bab II, IKE merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan besarnya jumlah

74

75

penggunaan energi tiap meter persegi luas kotor (gross) bangunan dalam suatu kurun
waktu tertentu. Dengan demikian, IKE dari suatu gedung dapat dihitung berdasarkan
rumus berikut:
Konsumsi Listrik
IKE=
Luas Gedung
Dalam perhitungan tersebut, konsumsi listrik dinyatakan dalam satuan kWh (kilowatthour) dan luas bangunan dinyatakan dalam satuan meter persegi (m2).
Setelah diperoleh nilai IKE dari masing-masing gedung, tingkat efisiensi
energi dari gedung yang bersangkutan dapat diketahui melalui pengklasifikasian
sesuai dengan kriteria yang ada. Sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam Bab II,
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2012 tentang
Penghematan

Pemakaian

Tenaga

Listrik

memberikan

pedoman

dalam

mengklasifikasikan tingkat efisiensi energi pada suatu gedung dalam periode bulan
tertentu. Kriteria untuk klasifikasi kersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel IV.1. Kriteria Konsumsi Energi Spesifik untuk Gedung Perkantoran Ber-AC
Predikat

Konsumsi Energi Spesifik (kWh/m2/bulan)

Sangat Efisien

Lebih kecil dari 8,5

Efisien

8,5 sampai dengan lebih kecil dari 14

Cukup Efisien

14 sampai dengan lebih kecil dari 18,5

Boros

Lebih besar sama dengan 18,5

Sumber: Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2012
tentang Penghematan Pemakaian Tenaga Listrik
Sedangkan untuk pengukuran tingkat efisiensi secara tahunan dapat menggunakan
batas maksimal IKE yang digunakan oleh Green Building Council Indonesia (GBCI)
sebagai tolak ukur penilaian rating bangunan hijau yang terkait dengan aspek efisiensi
energi, yaitu 250 kWh/m2/tahun untuk gedung perkantoran.
Hanya dengan melihat data konsumsi listrik dari satu periode ke periode
berikutnya tidak akan mampu memberikan gambaran sebenarnya mengenai tingkat
75

76

efisiensi energi gedung tersebut. Pada periode tertentu suatu gedung bisa saja berhasil
menurunkan konsumsi listriknya sehingga dinilai telah sukses melakukan
penghematan energi. Akan tetapi, konsumsi listrik yang menurun pada periode
tersebut belum tentu menunjukkan kinerja efisiensi energi yang bagus dari gedung
yang bersangkutan. Untuk itulah diperlukan penghitungan nilai Intensitas Konsumsi
Energi sesuai dengan konsep yang telah dijelaskan.
a. Gedung Juanda I dan II.
Berdasarkan data gedung yang telah disajikan dalam Bab III, telah diketahui
bahwa luas Gedung Juanda I adalah 26.565 m2 dan luas Gedung Juanda II adalah
27.765 m2, sehingga luas total keduanya adalah 54.330 m2. Dengan adanya data luas
gedung dan data konsumsi listrik pada gedung yang bersangkutan, maka kinerja
efisiensi untuk Gedung Juanda I dan II dapat ditentukan dengan melakukan
perhitungan nilai IKE gedung tersebut. Perhitungan nilai IKE untuk Gedung Juanda I
dan II sebagaimana yang disajikan dalam Tabel IV.2.
Tabel IV.2. Kinerja Efisiensi Energi Gedung Juanda I dan II
Bulan
Januari

Konsumsi Listrik
(kWh)
2013
2014
1.034.440 1.008.100

IKE (kWh/m2)
2013
19,04

Ket.
Boros
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien

2014
18,56

Februari

812.560

827.500

14,96

Maret

981.200

830.400

18,06

April

865.600

929.100

15,93

Mei

1.011.000

941.000

18,61

Boros

17,32

Juni

910.180

921.000

16,75

Cukup
Efisien

16,95

Juli

1.010.120

999.800

18,59

Boros

18,40

76

15,23
15,28
17,10

Ket.
Boros
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien

77

Agustus

960.150

783.700

17,67

Septembe
r

800.550

1.006.600

14,73

Oktober

944.200

1.043.800

17,38

Novembe
r

1.084.900

1.131.400

19,97

Desember

878.200

1.131.400

16,16

Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien

14,42

Cukup
Efisien

18,53

Boros

19,21

Boros

Boros

20,82

Boros

Cukup
Efisien

20,82

Boros

Sumber: Diolah dari database Bagian Rumah Tangga, Biro Umum, Setjen.
Tabel IV.2 menunjukkan bahwa selama tahun 2013, Gedung Juanda I dan II
dikategorikan pada level Boros sebanyak empat kali, yaitu pada bulan Januari, Mei,
Juli, dan November. Kinerja efisiensi gedung mulai membaik dan stabil pada awal
tahun 2014, yaitu sejak bulan Februari s.d. Agustus, karena mampu mempertahankan
IKE di level Cukup Efisien. Sayangnya capaian ini tidak mampu dipertahankan
pada bulan-bulan berikutnya karena nilai IKE menunjukkan peningkatan sampai
tergolong pada level Boros.
Selain untuk mengukur kinerja efisiensi gedung setiap bulannya, nilai IKE
juga dapat digunakan untuk mengukur kinerja efisiensi gedung per tahun. Untuk itu,
data yang diperlukan bukan lagi data konsumsi per bulan, melainkan data konsumsi
energi per satu tahun. Pada Gedung Juanda I dan II, total konsumsi listrik tahun 2013
adalah sebesar 11.293.100 kWh, sehingga nilai IKE tahun 2013 adalah 207,86
kWh/m2. Sedangkan total konsumsi listrik tahun 2014 adalah sebesar 11.553.800
kWh, sehingga nilai IKE tahun 2014 adalah 212,16 kWh/m2. Berdasarkan standar
GBCI, kinerja efisiensi energi Gedung Juanda I dan II pada tahun 2013 dan 2014
masih tergolong efisien atau berada dalam batas yang ditoleransi karena berada di
bawah 250 kWh//m2.

77

78

b. Gedung R.M. Notohamiprodjo dan Jusuf Wibisono.


Data dari Setjen sebagaimana yang disebutkan dalam Bab III menunjukkan
bahwa Gedung R.M. Notohamiprodjo dan Gedung Jusuf Wibisono masing-masing
meiliki luas sebesar 8.668 m2 dan 2.086 m2 sehingga total kedua gedung tersebut
menjadi 10.754 m2. Dengan data tersebut dan data konsumsi listrik yang sudah ada
maka dapat dilakukan perhitungan nilai IKE untuk dijadikan dasar dalam mengukur
kinerja efisiensi energi Gedung R.M. Notohamiprodjo dan Jusuf Wibisono.
Hasil perhitungan IKE yang disajikan dalam Tabel IV.3 memberikan gambaran
bahwa kinerja efisiensi energi Gedung R.M. Notohamiprodjo dan Gedung Jusuf
Wibisono relatif lebih baik jika dibandingkan dengan Gedung Juanda I dan II. Tabel
tersebut menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2013 kinerja efisiensi Gedung R.M.
Notohamiprodjo dan Gedung Jusuf Wibisono dinyatakan dua kali berada pada level
Boros (Maret dan November) dan satu kali pada level Efisien (September).
Kinerja ini tetap bertahan hingga tahun berikutnya, bahkan tidak ada lagi nilai IKE
yang tergolong Boros di sepanjang tahun 2014.
Tabel IV.3. Kinerja Efisiensi Energi Gedung R.M. Notohamiprodjo dan Jusuf
Wibisono

Bulan

Konsumsi Listrik
(kWh)
2013
2014

IKE (kWh/m2)
2013

Januari

182.320

160.640

16,95

Februari

168.080

163.880

15,63

Maret

199.560

156.440

18,56

April

166.120

166.080

15,45

Mei

187.600

174.840

17,44

78

Ket.
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Boros
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien

2014
14,94
15,24
14,55
15,44
16,26

Ket.
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien

79
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien

Juni

175.024

172.040

16,28

16,00

Juli

183.912

185.840

17,10

Agustus

182.944

137.760

17,01

September

143.080

173.920

13,30

Efisien

16,17

Oktober

181.720

181.560

16,90

Cukup
Efisien

16,88

November

203.160

196.320

18,89

Boros

18,26

Desember

171.840

196.320

15,98

Cukup
Efisien

18,26

17,28
12,81

Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien

Sumber: Diolah dari database Bagian Rumah Tangga, Biro Umum, Setjen.
Dalam pengukuran selama setahun, Gedung R.M. Notohamiprodjo dan
Gedung Jusuf Wibisono menghabiskan daya listrik sebesar 2.145.360 kWh pada tahun
2013 dan 2.065.640 pada tahun 2014. Jika dibagi dengan luas gedung, maka diperoleh
nilai IKE tahun 2013 sebesar 199,49 kWh/m2 dan tahun 2014 sebesar 192,08 kWh/m2.
Dengan membandingkan terhadap tolak ukur GBCI, baik performa tahun 2013
maupun 2014, keduanya tergolong efisien atau berada dalam batas yang ditoleransi
karena berada di bawah 250 kWh//m2.
c. Gedung Syafrudin Prawiranegara.
Berdasarkan data dari Setjen, Gedung Syafrudin Prawiranegara yang memiliki
12 lantai ini memiliki luas sebesar 21.344 m 2. Data luas gedung ini dan ditambah data
konsumsi listrik yang ada kemudian dapat digunakan untuk mengukur kinerja
efisiensi energi gedung tersebut berdasarkan konsep IKE. Selanjutnya pengukuran
kinerja efisiensi energi yang dilakukan untuk Gedung Syafrudin Prawiranegara dapat
dilihat dalam tabel IV.4.
Tabel IV.4. Kinerja Efisiensi Energi Gedung Syafrudin Prawiranegara

79

80

Bulan

Konsumsi Listrik
(kWh)
2013
2014

IKE (kWh/m2)
2013

Ket.

2014

Januari

397.560

374.820

18,63

Boros

17,56

Februari

455.616

324.000

21,35

Boros

15,18

Maret

459.324

285.900

21,52

Boros

13,39

April

436.920

309.960

20,47

Boros

14,52

Mei

518.340

327.420

24,29

Boros

15,34

Juni

480.930

317.880

22,53

Boros

14,89

Juli

489.630

350.460

22,94

Boros

16,42

Agustus
Septemb
er

460.320

264.240

21,57

Boros

12,38

402.180

339.360

18,84

Boros

15,90

Oktober

510.840

355.500

23,93

Boros

16,66

525.660

370.080

24,63

Boros

17,34

444.300

370.080

20,82

Boros

17,34

Novemb
er
Desembe
r

Ket.
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien

Sumber: Diolah dari database Bagian Rumah Tangga, Biro Umum, Setjen.
Tabel IV.4 memberikan gambaran bahwa terdapat perbedaan yang sangat
signifikan antara kinerja efisiensi energi gedung pada tahun 2013 dan 2014.
Sepanjang tahun 2013 diketahui ternyata tingkat efisiensi energi pada Gedung
Syafrudin Prawiranegara sepenuhnya berada pada level Boros. Akan tetapi, terjadi
perubahan yang sangat signifikan pada tahun 2014 dimana tidak lagi terdapat nilai
IKE yang berada pada level Boros. Sebaliknya pada bulan Maret dan Agustus 2014
justru berada pada level Efisien, sementara sisanya berada pada level Cukup
Efisien.

80

81

Untuk pengukuran kinerja secara tahunan, data konsumsi sepanjang tahun


dilakukan penjumlahan sehingga diperoleh data konsumsi listrik total untuk tahun
2013 dan 2014 masing-masing sebesar 5.581.620 kWh dan 3.989.700 kWh. Dari nilai
tersebut, setelah dibagi dengan luas gedung, maka didapatkan nilai IKE Gedung
Syafrudin Prawiranegara yaitu sebesar 261,51 pada tahun 2013 dan 186,92 pada tahun
2014.
Jika dibandingkan dengan tolak ukur GBCI, maka dapat diketahui bahwa
kinerja efisiensi energi Gedung Syarudin Prawiranegara pada tahun 2013 tergolong
boros karena melebihi batas maksimal yang ditoleransi yaitu 250 kWh//m 2. Capaian
tersebut kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2014 karena nilai IKE berhasil
turun hingga lebih kecil dari 250 kWh//m2 sehingga tergolong efisien atau berada
dalam batas yang ditoleransi GBCI.
C. Urgensi Optimalisasi Implementasi Kebijakan Efisiensi Energi
Dengan mempelajari hasil pengukuran kinerja efisiensi energi sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat disadari bahwa masih terdapat potensi yang
besar bagi Kementerian Keuangan untuk melakukan penghematan energi dalam
pengelolaan gedung-gedung yang dimilikinya. Potensi tersebut muncul mengingat
hingga saat ini kinerja efisiensi energi per bulan dari setiap gedung masih jarang yang
mencapai level efisien.
Pada Tabel IV.1, IV.2, IV.3, dan IV.4 dapat terlihat bahwa capaian dari efisiensi
energi gedung-gedung tersebut kebanyakan berada pada level Cukup Efisien.
Padahal pada satu waktu tertentu, maksimal capaian gedung-gedung tersebut bisa
berada pada level Efisien. Jika saja pengelola gedung bisa mengoptimalkan
implementasi kebijakan efisiensi energi yang ada, maka setiap gedung tersebut akan
81

82

mampu menurunkan besaran konsumsi energi listrik hingga jumlah tertentu. Untuk
lebih jelasnya, perhitungan potensi efisiensi energi yang bisa diraih oleh setiap
gedung jika berhasil menurunkan IKEnya hingga ke level Efisien bisa dilihat dalam
tabel berikut ini.
Tabel IV.5 Perhitungan Potensi Efisiensi Energi Level 1

Nama Gedung

RataRata
IKE
2014

Ket.

Minimal
IKE untuk
Level
Efisien

Selisi
h IKE

Luas
(m2)

Potensi
Efisiensi
Per
Bulan
(kWh)

Juanda I dan II

17,72

Cukup
Efisien

13,99

3,73

54.33
0

202.651

R.M.
Notohamiprodjo
dan Jusuf Wibisono

16,01

Cukup
Efisien

13,99

2,02

10.75
4

21.723

Syafrudin
Prawiranegara

15,58

Cukup
Efisien

13,99

1,59

21.34
4

33.937

Sumber: Diolah dari database Bagian Rumah Tangga, Biro Umum, Setjen.
Dalam kurun waktu tahun 2014, rata-rata nilai IKE per bulan untuk setiap
gedung tersebut menunjukkan level Cukup Efisien. Jika merujuk pada kriteria yang
ada, satu level yang lebih baik dari Cukup Efisien adalah level Efisien dan itu
diberikan untuk nilai IKE mulai dari 8,5 sampai dengan lebih kecil dari 14. Dengan
demikian, agar naik ke level Efisien minimal nilai IKE yang harus diraih adalah
13,99. Selisih yang muncul antara nilai IKE tersebut dengan rata-rata IKE per bulan
selanjutnya dapat digunakan untuk menghitung potensi efisiensi per bulan setelah
dikalikan dengan luas total masing-masing gedung.
Tabel IV.6 Perhitungan Potensi Efisiensi Energi Level 2
Nama Gedung

RataRata
IKE

Ket.

Minimal
IKE untuk
Level

82

Selisi
h IKE

Luas
(m2)

Potensi
Efisiensi
Per

83

2014

Sangat
Efisien

Bulan
(kWh)

Juanda I dan II

17,72

Cukup
Efisien

8,49

9,23

54.33
0

501.465

R.M.
Notohamiprodjo
dan Jusuf Wibisono

16,01

Cukup
Efisien

8,49

7,52

10.75
4

80.871

Syafrudin
Prawiranegara

15,58

Cukup
Efisien

8,49

7,09

21.34
4

151.329

Sumber: Diolah dari database Bagian Rumah Tangga, Biro Umum, Setjen.
Potensi tersebut akan semakin besar jika pengelola gedung mampu
menurunkan nilai IKE hingga ke level selanjutnya, yaitu Sangat Efisien.
Berdasarkan standar yang ada, suatu gedung dikategorikan sebagai level Sangat
Efisien jika nilai IKEnya lebih kecil dari 8,5. Maka untuk perhitungan kali ini, nilai
IKE minimal yang dijadikan patokan adalah 8,49. Dengan cara perhitungan yang
sama seperti sebelumnya, maka akan didapatkan potensi dari efisiensi energi yang
bisa diraih apabila gedung-gedung tersebut mampu melakukan optimalisasi dalam
penerapan kebijakan efisiensi energi hingga ke level Sangat Efisien.
Berdasarkan hasil perhitungan yang ditampilkan dalam Tabel IV.5 dan IV.6,
dapat dipahami bahwa peningkatan optimalisasi implementasi kebijakan efisiensi
energi dalam pengelolaan gedung di Kementerian Keuangan merupakan hal yang
penting untuk diupayakan. Realisasi terhadap potensi tersebut akan berkontribusi
positif terhadap lingkungan (sustainabilty) dan sekaligus meningkatkan porsi
penghematan biaya penggunaan daya/jasa listrik (pengamanan anggaran) yang
digunakan oleh Kementerian Keuangan. Tidak perlu untuk muluk-muluk hingga harus
meningkat ke level Sangat Efisien karena di level Efisien saja sudah ada potensi
besar untuk penghematan.

83

84

D. Permasalahan dan Tantangan dalam Implementasi


Dari penjelasan tentang langkah-langkah efisiensi energi dalam pengelolaan
gedung yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan maka seharusnya tingkat
penggunaan energi listrik pada gedung-gedung tersebut dapat ditekan seoptimal
mungkin sehingga berada pada level yang efisien. Di dalam Instruksi Menteri
Keuangan Nomor 12/IMK.01/2012 dan Surat Edaran Nomor SE-19/MK.01/2012
sebenarnya telah dijelaskan langkah-langkah efisiensi energi yang meliputi
pengaturan tata udara, tata cahaya, peralatan pendukung lainnya, sampai terkait sistem
pengawasan dan pelaporan. Namun pada kenyataannya data yang ada menunjukkan
bahwa tujuan tersebut belum bisa dicapai, mengingat level efisiensi di gedung-gedung
Kementerian keuangan belum bisa konsisten berada pada level efisien.
Dalam hal ini, patut dipertanyakan mengenai alasan yang melatarbelakangi
tidak optimalnya pencapaian sasaran dari implementasi kebijakan efisiensi energi
dalam pengelolaan gedung di Kementerian Keuangan. Secara umum, berdasarkan
pendapat George Charles Edwards III yang dikutip oleh Anggara (2014, 249),
keberhasilan atau kegagalan dariimplementasi suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh
empat faktor kritis yang meliputi komunikasi, sumber daya, disposisi atau sikap
pelaksana, dan struktur birokrasi.
Gambar IV.2 Permasalahan dan Tantangan dalam Implementasi Kebijakan Efisiensi
Energi

84

85

M a sa l
a h
Pe n d
a naas a
M
a la
n
h S D M
d a n
B u d a y a

O p t im a l
is a s i
E fi s i e n s
i E n e rg i

M a sa l
a h
M a s a la h
K e b ija
M a n a je
ka n
m e n
G e d u n g

Sumber: Diolah dari Berbagai Sumber.


Berdasarkan hasil wawancara yang berhasil dihimpun dari berbagai nara
sumber di lingkungan objek penelitian, setidaknya terdapat tiga permasalahan utama
yang saling berkaitan satu sama lain yang dapat diidentifikasi sehubungan dengan
kurang optimalnya implementasi kebijakan efisiensi energi dalam pengelolaan gedung
di Kementerian Keuangan. Permasalahan tersebut meliputi masalah yang berkenaan
dengan perangkat kebijakan itu sendiri, masalah yang berhubungan dengan
manajemen gedung, masalah yang terkait dengan sumber daya manusia dan budaya,
serta masalah pendanaan. Pada intinya, ketiga permasalahan tersebut akan berkaitan
dengan empat faktor kritis yang dikemukakan oleh Edwads III.
1. Masalah kebijakan.
Berbicara mengenai kebijakan maka tidak akan terlepas dari isi kebijakan itu
sendiri. Kelengkapan dan kejelasan dari ketentuan yang ada pada perangkat kebijakan
tersebut selanjutnya akan turut menentukan bagaimana proses implementasi
dilaksanakan. Jangan pernah berharap akan mencapai suatu tujuan sebagaimana niat

85

86

awal penyusunan suatu kebijakan apabila ternyata kebijakan yang bersangkutan tidak
dirancang dan dibuat dengan baik.
Pada bagian awal Bab IV telah dibahas mengenai perbandingan kebijakan
efisiensi energi yang diberlakukan untuk pengelolaan gedung di Kementerian
Keuangan dengan pedoman efisiensi energi yang terdapat dalam sistem rating
GREENSHIP. Perbandingan tersebut menunjukkan bahwa ternyata masih banyak halhal yang belum tercakup dalam perangkat kebijakan yang ada saat ini.
Selain permasalahan dalam materi kebijakan, dalam wawancara yang telah
dilakukan diungkapkan bahwa sistem yang tercipta dari kebijakan tersebut menjadi
salah satu batu sandungan dalam pencapaian efisiensi energi pada gedung-gedung
Kementerian Keuangan. Pertama, sistem pelaksanaan efisiensi energi yang dirancang
dalam kebijakan tersebut masih tidak jelas dalam hal tindak lanjut pelaporan. Kedua,
sistem yang ada saat ini tidak memuat adanya dorongan atau stimulus untuk
mengoptimalkan penerapan kebijakan.
Berdasarkan kebijakan saat ini, setiap unit akan diminta untuk mencatat dan
melaporkan konsumsi energi yang dihabiskan gedung masing-masing. Kemudian
yang menjadi permasalahan adalah bagaimana tindak lanjut atas pencatatan dan
pelaporan tersebut. Pada sistem yang baik, seharusnya pencatatan dan pelaporan akan
ditindaklanjuti dengan evaluasi, sehingga ada langkah perbaikan yang bisa dilakukan.
Namun pada kenyataannya hal tersebut tidak terjadi dalam sistem kebijakan yang ada
saat ini. Dengan kondisi yang seperti ini maka tidak heran jika pengelolaan gedung
belum bisa mencapai efisiensi energi secara optimal.
Dari hasil wawancara yang dilakukan, diperoleh informasi bahwa meskipun
selama ini ada catatan mengenai konsumsi energi pada gedung-gedung di lingkungan
Kantor Pusat Kementerian Keuangan, tetapi tidak ada evaluasi dan arahan lebih lanjut
86

87

dari pihak yang berwenang terhadap pihak yang menghuni gedung. Sekalipun pada
periode tersebut ada indikasi inefisiensi energi. Dalam kasus lain, pihak yang
menggunakan gedung bahkan tidak mengetahui sejauh apa kinerja efisiensi energi
gedung yang digunakannya karena pencatatan dilakukan oleh pihak lain yang
merupakan pemilik dari gedung tersebut.
Selain masalah tidak adanya tindak lanjut dan evaluasi, sistem yang ada saat
ini juga tidak menyediakan adanya dorongan atau stimulus untuk mengoptimalkan
penerapan kebijakan efisiensi energi. Dorongan tersebut sebenarnya bisa diciptakan di
dalam sistem dengan memasukkan unsur insentif ataupun sanksi. Tanpa adanya
insentif atau sanksi terhadap capaian efisiensi energi dari suatu gedung, maka
implementasi kebijakan hanya akan berjalan seadanya saja.
Beberapa hal yang dibahas dalam permasalahan ini merupakan termasuk ke
dalam bahasan faktor komunikasi dan sumber daya menurut faktor kritis yang
diutarakan Edwards III. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Bab II, indikator
keberhasilan faktor komunikasi meliputi tiga hal yaitu transmisi (saluran
penyampaian), kejelasan kebijakan, dan konsistensi. Khusus untuk bahasan kali ini,
indikator yang terkait dengan masalah kebijakan adalah kejelasan. Selain komunikasi,
faktor lain yang mempengaruhi implementasi adalah sumber daya, yaitu terkait
informasi mengenai cara melaksanakan kebijakan efisiensi energi. Baik faktor
komunikasi maupun sumber daya, keduanya perlu mendapatkan perhatian lebih agar
implementasi kebijakan efisiensi energi bisa berjalan lebih optimal.
2. Masalah pihak manajemen gedung.
Pengawasan terhadap pelaksanaan efisiensi energi suatu gedung akan
melibatkan peranan dari pihak manajemen gedung. Pada gedung-gedung Kementerian
87

88

Keuangan fungsi ini biasanya dijalankan oleh Biro/Bagian/Subbagian Umum. Khusus


untuk gedung-gedung di lingkungan Kantor Pusat Kementerian Keuangan, termasuk
gedung-gedung yang menjadi objek penelitian ini, pihak manajemen gedung bukan
hanya Biro/Bagian/Subbagian Umum dari unit yang menempati gedung tersebut saja,
melainkan juga Setjen selaku pemilik gedung-gedung tersebut.
Pihak manajemen gedung bertugas untuk mengontrol pengaturan suhu
ruangan, penerangan, dan peralatan lainnya seperti lift. Peranan ini sangatlah penting
dalam pencapaian efisiensi energi pada gedung yang bersangkutan. Sebagaimana
yang telah dijelaskan, implementansi kebijakan saat ini belum dilakukan secara
konsisten sehingga masih banyak ditemui tindakan atau perilaku yang bertentangan
dengan kebijakan itu sendiri. Di sinilah letak penting komitmen manajemen gedung,
apakah hanya akan membiarkan saja tindakan-tindakan tersebut atau sebaliknya akan
berupaya untuk menghilangkannya sehingga pencapaian efisiensi energi pada gedung
yang bersangkutan dapat meningkat.
Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber dari DJKN, komitmen
manajemen gedung dalam implementasi kebijakan efisiensi energi di gedung yang
bersangkutan sebenarnya sangat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya hubungan antara
capaian kinerja efisiensi gedung dengan penilaian capaian kinerja manajemen gedung
tersebut. Ketika kinerja manajemen gedung salah satunya dinilai dengan berdasarkan
tingkat efisiensi energi yang berhasil diraih, maka hal ini akan mendorong komitmen
manajemen gedung untuk menggiatkan dan mengoptimalkan implementasi efisiensi
energi gedung yang bersangkutan.
Permasalahan lain yang berhubungan dengan komitmen terlihat dari
pemakaian saluran kebijakan yang tidak berjalan efektif. Kebijakan harus diketahui

88

89

dan mendapat perhatian dari para implementor atau pihak-pihak yang terkait agar
implementasinya dapat berhasil. Oleh karena itu diperlukan penyebarluasan informasi
menganai

kebijakan,

melalui

kegiatan

sosialisasi,

mengedarkan

selebaran,

menempelkan sticker, dan lain-lain. Semua upaya tersebut harus dilakukan secara
berkesinambungan agar informasinya melekat di diri para implementor.
Hasil wawancara yang dilakukan memberi informasi bahwa beberapa hal yang
sudah dilakukan dalam rangka menyebarluaskan kebijakan ini adalah melalui
pengiriman email ke seluruh pegawai, penempelan kebijakan di papan-papan
pengumuman, dan mengedarkan SE di ruang kerja. Meskipun demikian, para pegawai
dirasakan tetap kurang menaruh perhatian terhadap informasi-informasi tersebut.
Dengan alasan inilah mengapa seharusnya kebijakan tersebut tetap disebarluaskan
secara terus-menerus dan berkesinambungan. Manajemen gedung sebagai pihak yang
bertanggung jawab harus mempunyai komitmen untuk menerapkan beberapa
kombinasi beberapa saluran/media sekaligus agar informasi bisa tersampaikan ke
semua pegawai.
Jika dilihat dari sudut pandang Edwards III, permasalahan yang muncul terkait
pihak manajemen gedung ini berhubungan dengan faktor kritis yang pertama dan
ketiga, yaitu komunikasi dan disposisi. Faktor komunikasi menyangkut adanya
kejelasan cara yang mampu meningkatkan komitmen manajemen gedung untuk
mengimplementasi kebijakan, sedangkan faktor disposisi menyangkut bagaimana
sikap manajemen gedung dalam menyikapi adanya kebijakan. Baik atau tidaknya
kedua faktor kritis ini akan mempengaruhi terhadap optimalisasi implementasi
kebijakan efisiensi energi.

89

90

3. Masalah sumber daya manusia dan budaya.


Implementasi dari suatu kebijakan akan sangat erat kaitannya dengan
pelaksana kebijakan itu sendiri (SDM), dalam kasus kebijakan efisiensi energi berarti
adalah para pegawai. Keberhasilan dari implementasi suatu kebijakan juga ditentukan
oleh bagaimana para pelaksana kebijakan menyikapi dan berkomitmen terhadap
ketentuan atau program yang harus dilaksanakan. Dalam istilah Edwards III, hal ini
disebut disposisi.
Permasalahan yang muncul di sini adalah implementasi kebijakan efisiensi
energi

merupakan

kegiatan

yang

bersinggungan

dengan

ranah

budaya

masyarakat/pegawai karena menuntut adanya pergeseran perilaku dari yang


sebelumnya inefisien menjadi lebih efisien. Ketika berurusan dengan upaya untuk
mengubah budaya atau kebiasaan, maka tantangan yang akan dihadapi menjadi lebih
berat. Misalnya saja dalam hal penerangan ruangan.
Berdasarkan pedoman yang ada, pencahayaan gedung diupayakan semaksimal
mungkin menggunakan sumber dari luar (cahaya matahari) yaitu dengan cara
membuka tirai yang ada pada gedung. Akan tetapi pada implementasinya pegawai
yang terbiasa untuk menutup tirai akan selalu menutup tirainya lagi. Pada kondisi ini
akhirnya menyebabkan kebijakan tidak akan berjalan sebagaimana mestinya karena
kalah dengan kebiasaan lama.
Persoalan lain yang muncul terkait SDM dan budaya adalah bagaimana sikap
atau contoh dari pimpinan akan mempengaruhi sikap bawahan. Implementasi
kebijakan efisiensi energi dalam pengelolalaan suatu gedung tidak bisa hanya
dibebankan terhadap bawahan saja, melainkan juga harus sampai ke level pimpinan.
Terlebih lagi pada level pimpinan terdapat fasilitas khusus yang diberikan karena

90

91

jabatan yang diembannya, misalnya penggunaan alat elektronik yang tidak didapati di
ruang pegawai biasa dan ruang kerja yang lebih luas. Penerapan efisiensi energi yang
dilakukan oleh pimpinan terhadap fasilitas-fasilitas yang diterimanya akan
memberikan pengaruh positif terhadap implementasi di level bawahan.
Meskipun demikian, melakukan perubahan budaya bukanlah sesuatu yang
mustahil. Permasalahan yang terkait dengan hal ini dapat diatasi dengan bantuan
desian sistem yang baik, yaitu dengan bantuan insentif atau sanksi dan dengan gencar
melakukan penyebaran informasi secara terus-menerus. Selain itu, penggunaan
teknologi juga bisa dijadikan sebagai salah satu cara untuk mengatasi kesulitan yang
timbul dalam menghadapi kebiasaan pegawai yang sukar untuk diubah. Beberapa hal
yang bisa dijadikan contoh di antaranya penggunaan sensor untuk menyalakan dan
mematikan lampu dan penggunaan sensor pada pintu sehingga bisa menutup dan
membuka secara otomatis sesuai dengan kebutuhan.
4. Masalah pendanaan.
Permasalahan lain yang juga turut mempengaruhi implementasi kebijakan
efisiensi energi adalah terkait dana. Berdasarkan faktor kritis yang dikemukakan
Edwards III, permasalahan ini termasuk ke dalam faktor sumber daya, yaitu hal-hal
yang dibutuhkan untuk menerapkan suatu kebijakan.
Program atau upaya-upaya untuk melaksanakan efisiensi energi dalam kondisi
tertentu justru mengharuskan pengelola gedung untuk mengeluarkan dana lebih
banyak. Hal ini terkadang dirasakan menjadi kontradiktif karena mengingat maksud
awal menerapkan kebijakan efisiensi energi adalah ingin melakukan penghematan
anggaran tetapi ternyata justru harus menyiapkan anggaran lebih untuk hal itu.

91

92

Satu program yang bisa dijadikan contoh adalah penyelenggaraan audit energi.
Audit energi merupakan salah satu bagian dari program kebijakan efisiensi energi
yang dilakukan untuk mengevaluasi tingkat penggunaan energi suatu gedung. Dari
audit energi kemudian akan dihasilkan rekomendasi bagi pengelola gedung untuk
memperbaiki kinerja efisiensi gedung tersebut. Pelaksanaan kegiatan ini tentu saja
akan menuntut adanya pos pengeluaran baru bagi pengelola gedung karena harus
membayar tim audit tersebut. Pada titik ini kemudian banyak yang akhirnya
mempertimbangkan ulang untuk melaksanakan audit energi terhadap gedungnya.
Sebelumnya juga telah dijelaskan bahwa implementasi kebijakan energi bisa
dilakukan dengan cara menggunakan bantuan teknologi, misalnya penggunaan sensor
pada alat-alat tertentu sehingga dapat meningkatkan efisiensi energi. Meskipun hal ini
bagus, tetapi pengelola atau manajemen gedung bisa saja enggan menggunakannya
lantaran keterbatasan dana yang dimiliki. Pemasangan sensor ke alat-alat tertentu
tentu saja memerlukan pengeluaran lagi untuk keperluan membeli sensor-sensor
tersebut berikut pemasangannya. Sehingga pada akhirnya hal ini bisa batal dilakukan
ketika dana tambahan yang diperlukan tidak tersedia.
Program lain yang membutuhkan dana dari pengelola gedung adalah
penggunaan alat-alat kantor yang hemat energi. Sebagaimana petiunjuk teknis yang
ada, dalam rangka efisiensi energi maka disarankan untuk menggunakan alat-alat
kantor yang berlabel hemat energi. Pembelian alat-alat ini tentu saja akan lebih mahal
dibandingkan dengan alat-alat lain yang biasa saja. Sehingga pada akhirnya program
ini bisa jadi tidak dilaksanakan karena alasan yang sama yaitu besarnya dana yang
dihabiskan.

92

93

Berkenaan dengan hal ini, memang tidak bisa dipungkiri bahwa hal-hal yang
telah disebutkan tersebut membutuhkan dana lebih untuk merealisasikannya. Akan
tetapi yang perlu diperhatikan adalah mahalnya program tersebut hanya akan
dirasakan pada masa-masa awal saja. Seharusnya pengelola gedung bisa melihatnya
sebagai investasi awal dalam upaya implementasi kebijakan efisiensi energi.
Meskipun investasi awal membutuhkan dana yang lebih besar, tetapi dengan
pengeluaran tersebut akan dihasilkan efisiensi energi yang jauh lebih besar pula. Pada
akhirnya, pengelola gedung akan merasakan adanya penghematan anggaran yang
lebih besar daripada periode sebelum investasi tersebut dilakukan.
Oleh karena itu, jika terdapat program efisiensi energi yang terkendala karena
pertimbangan besarnya anggaran yang diperlukan, pengelola gedung hanya perlu
untuk mengubah pola pikirnya. Pengelola gedung harus mampu melihat efek jangka
panjang dari pengeluaran yang lebih besar tersebut.

93

94

BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi kebijakan
efisiensi energi dalam pengelolaan aset gedung pemerintah di Kementerian Keuangan
dan untuk mengidentifikasi permasalahan dan tantangan yang ditemui dalam proses
implementasi kebijakan tersebut. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada
bagian sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Implementasi kebijakan efisiensi energi dalam pengelolaan gedung di lingkungan
Kantor Pusat Kementerian Keuangan dapat digambarkan sebagai berikut:
a. pengaturan dalam kebijakan efisiensi energi yang berlaku di Kementerian saat ini
belum mencakup semua hal yang menjadi perhatian dalam pedoman tolak ukur
efisiensi energi GREENSHIP yang dikeluarkan oleh Green Building Council
Indonesia sehingga masih terbuka peluang untuk adanya penyempurnaan;
b. upaya yang dilakukan untuk menyebarluaskan kebijakan belum menggunakan
semua media atau saluran yang ada. Setiap unit hanya menggunakan satu atau
dua media saja, seperti menempelkan di papan pengumuman saja atau
mengirimkan email saja. Cara-cara lain seperti sosialisasi ketika induksi/orientasi

94

95

pegawai baru dan pamflet atau sticker efisiensi energi belum dimaksimalkan
penggunaanya untuk menyebarluaskan informasi kebijakan tersebut.;
c. kebijakan efisiensi energi sudah diterapkan dalam pengelolaan gedung di
lingkungan Kantor Pusat yang meliputi pengaturan sistem tata udara, tata cahaya,
dan peralatan pendukung lainnya. Meski demikian, implementasi dimaksud
belum berjalan dengan baik karena masih didapati tindakan-tindakan pengguna
gedung yang justru berlawanan dengan kebijakan efisiensi energi;
d. implementasi kebijakan efisiensi energi dalam pengelolaan gedung di
Kementerian Keuangan belum mendatangkan hasil yang diinginkan. Data
menunjukkan bahwa konsumsi listrik pada beberapa gedung masih tidak stabil,
kadang konsumsi listrik turun dan kadang meningkat tajam;
e. data Intensitas Konsumsi Energi gedung-gedung di lingkungan Kantor Pusat juga
menunjukkan bahwa rata-rata masih berada pada level Cukup Efisien sehingga
masih terdapat potensi efisiensi energi yang bisa bisa direalisasikan melalui
optimalisasi implementasi kebijakan efisiensi energi.
2. Untuk mengoptimalkan implementasi kebijakan

efisiensi

energi

dalam

pengelolaan aset gedung pemerintah di Kementerian Keuangan, perlu dilakukan


identifikasi mengenai permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam proses
implementasi tersebut. Secara garis besar, terdapat tiga permasalahan dan
tantangan yang muncul dalam implementasi kebijakan dimaksud, yaitu:
a. masalah kebijakan, yaitu permasalahan dan tantangan yang menyangkut belum
memadainya ketentuan-ketentuan dan sistem yang dirancang dalam kebijakan
efisiensi energi sehingga tidak mampu mendorong capaian atau hasil
implementasi ke level yang optimal.
b. masalah komitmen manajemen gedung, yaitu permasalahan dan tantangan yang
terkait dengan sikap dari manajemen gedung terhadap implementasi kebijakan.
95

96

Manajemen gedung bertugas untuk mengontrol pengaturan suhu ruangan,


penerangan, dan peralatan lainnya seperti lift sehingga keseriusannya dalam
mengelola gedung menjadi tantangan tersendiri dalam implementasi kebijakan
efisiensi energi.
c. masalah sumber daya manusia dan budaya, yaitu masalah dan tantangan yang
timbul berkenaan dengan sikap dan kebiasaan hidup dari para pelaksana
kebijakan.
d. masalah pendanaan, yaitu masalah yang terkait dengan mahalnya programprogram efisiensi energi yang harus dijalankan sehingga seringkali menyebabkan
pengelola gedung akan merasa berat untuk mengimplementasikannya.
B. Saran
Adanya kebijakan efisiensi energi dalam pengelolaan aset gedung pemerintah
yang berada di lingkungan Kementerian Keuangan merupakan langkah awal yang
bagus dari Kementerian Keuangan dalam rangka menjawab isu perubahan iklim dan
sekaligus melakukan penghematan anggaran. Akan tetapi terdapat beberapa
kelemahan dalam implementasinya sehingga tujuan yang diinginkan belum bisa
tercapai dengan optimal. Saran-saran yang dapat dipertimbangkan dalam perbaikan
implementasi kebijakan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Memperbaiki transmisi kebijakan yaitu langkah-langkah yang dilakukan pembuat
kebijakan agar isi dari kebijakan tersebut tersalurkan dan dapat diterima dengan
baik oleh pelaksana kebijakan. Kebijakan efisiensi energi harus bisa
ditransmisikan dengan menggunakan berbagai cara sehingga mendapat perhatian
dari pegawai. Terlebih lagi kebijakan ini merupakan jenis kebijakan yang
implementasinya perlu merubah budaya atau kebiasaan manusia sehingga

96

97

diperlukan

upaya-upaya

sosialisasi

secara

berkesinambungan

dengan

memanfaatkan semua media saluran yang ada.


2. Meningkatkan komitmen dan konsistensi dari berbagai pihak untuk menerapkan
kebijakan efisiensi energi pada gedung-gedung Kementerian Keuangan sehingga
semua gedung menerapkan dengan standar yang sama tanpa ada pengecualian
dan ada pihak yang menjalankan pengawasan dan evaluasi dengan benar.
3. Mengoptimalkan kegiatan pelaporan dan evaluasi sehingga data konsumsi energi
gedung yang telah dihimpun pada periode tertentu dapat dijadikan sebagai dasar
bagi perbaikan kinerja efisiensi gedung pada periode berikutnya.
Selain dari sisi implementasinya, perbaikan yang bisa diusulkan dari penelitian
ini dari sisi perbaikan kebijakannya adalah agar kebijakan efisiensi energi yang sudah
ada bisa direvisi kembali dengan merujuk pada tolok ukur efisiensi energi berdasarkan
GREENSHIP, seperti menggunakan pendekatan Intensitas Konsumsi Energi (IKE)
untuk mengevaluasi capaian efisiensi energi gedung dan melaksanakan program audit
energi secara terencana.
C. Keterbatasan
Penelitian terhadap implementasi kebijakan efisiensi energi dalam pengelolaan
aset gedung pemerintah di Kementerian Keuangan ini memiliki beberapa keterbatasan
yang terdiri dari:
1. Penelitian ini terbatas pada studi kasus atas pengelolaan gedung di lingkungan
Kantor Pusat Kementerian Keuangan saja sehingga belum bisa memotret
implementasi kebijakan efisiensi energi dalam pengelolaan gedung di luar
lingkungan Kantor Pusat.
2. Penelitian ini tidak dilakukan dalam rentang waktu yang lama sehingga hanya
menggambarkan implementasi kebijakan efisiensi energi yang dilakukan saat ini

97

98

tanpa bisa mendeskripsikan implementasi pada tahun 2013 dan 2014.

DAFTAR PUSTAKA
Non peraturan:
Anggara, Sahya. 2014. Kebijakan Publik. Bandung: CV Pustaka Setia.
Australian Asset Management Collaborative Group. 2012. Guide to Integrated
Strategic Asset Management. Brisbane: AAMCoG.
Australian National Audit Office. 2012. Public Sector Environmental Management,
Reducing The Environmental Impacts of Public Sector Operations. Canberra:
Commonwealth of Australia.
Best Value Task Force. 2003. Asset Management under Best Value - Advisory Note.
Skotlandia.
Building and Construction Authority. 2010. Building Planning and Massing.
Singapore: Building and Construction Authority.
Dewan Energi Nasional. 2014. Outlook Energi Indonesia 2014. Jakarta: Dewan
Energi Nasional.
Green Building Council Indonesia. 2011. GREENSHIP Existing Building Version 1.0,
Ringkasan Tolak Ukur. Jakarta: Green Building Council Indonesia.
Government of South Australia. 1999. Strategic Asset Management Framework.
Adelaide: Government of South Australia.
Hinge, Adam, Paolo Bertoldi, dan Paul Waide. 2004. Comparing Commercial
Building Energy Use Around The World. Washington DC: American Council for
An Energy-Efficient Economy.
Hong, Wen et al. 2007. Building Energy Efficiency: Why Green Buildings are Key to
Asias Future. Hongkong: Asia Business Council.
Huat, Ng Ban dan Zainal Abidin bin Akasah. 2011. An Overview of Malaysia Green
Technology Corporation Office Building: A Showcase Energy-Efficient Building
Project in Malaysia. Journal of Sustainable Development 4, No.5: 212-228
Intergovermental Panel on Climate Change. 2007. Climate Change 2007: Synthesis
Report. Valencia: Intergovermental Panel on Climate Change.

98

99

Lane, Jan-Erik. 1983. The Concept of Implementation. http://journals.lub.lu.se/


index.php/st/article/viewFile/3298/2870 (Diakses 26 Juli 2015).
Marlow, David. 2008. Sustainability-Based Asset Management, Water for a Healthy
Country Flagship Report. Perth: CSIRO.
McGraw-Hill Constructions. 2013. World Green Building Trends. Bedford: McGrawHill Constructions.
Nurdin, Asrul. 2013. Implementasi Kebijakan Peraturan daerah No 2 Tahun 2008
Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis, dan Pengamen di
Kota Makassar. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Office of Sustainabilty University of Alberta. What is Sustainabilty?.
https://www.mcgill.ca/sustainability/files/sustainability/what-is-sustainability.pdf
(Diakses 2 Agustus 2015).
Organisation of Economic Co-operation Development. 2003. Environmentally
Sustainable Buildings, Challenges and Policies. Paris: OECD.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral-Pusat Data dan Informasi Energi dan
Sumber Daya Mineral. 2012. Kajian Indonesia Energy Outlook 2012. Jakarta:
Kementerian ESDM.
Samer, M. 2013. Towards The Implementation of The Green Building Concept in
Agricultural Buildings: A Literature Review. CIGR Journal Vol. 15 No. 2: 25-46.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
United States Environmental Protection Agency. Climate Change: Basic Information.
http://www3.epa.gov/climatechange/basics/ (Diakses 25 Juli 2015).
United States Environmental Protection Agency. Climate Change Indicators in the
United States 2014. Washington DC: EPA.
World Commission on Environmental Development. 1987. Report of The World
Commission on Environmental Development: Our Common Future. Oslo: World
Commission on Environmental Development.
Peraturan:
Pemerintah Republik Indonesia. 2014. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Pemerintah Republik Indonesia. 2014. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014
tentang Kebijakan Energi Nasional.
Presiden Republik Indonesia. 2011. Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 2011 tentang
Penghematan Energi dan Air.
Kementerian Keuangan. 2014. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206/
PMK.01/2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2012. Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2012 tentang Penghematan Pemakaian
Tenaga Listrik.
Kementerian Keuangan. 2012. Instruksi Menteri Keuangan Nomor 12/IMK.01/2012
tentang Penghematan Energi dan Air di Lingkungan Kementerian Keuangan.
Kementerian Keuangan. 2012. Surat Edaran Nomor SE-19/MK.01/2012 tentang
Penghematan Anggaran di Lingkungan Kementerian Keuangan.
99

100

100

101

LAMPIRAN 1

LAMPIRAN 2

101

102

102

103

103

104

LAMPIRAN 3
TABEL KONSUMSI LISTRIK GEDUNG KANTOR DI LINGKUNGAN KANTOR PUSAT
KEMENTERIAN KEUANGAN

AMA
DUNG

R.M
miprodjo
uf
o

in
negara
Djuanda

AMA
DUNG

TAHUN 2013
Januari

Februari

Maret

April

Mei

Juni

Juli

Agustu
s

Sept.

Okt.

Nov.

182.320

168.080

199.560

166.12
0

187.600

175.02
4

183.912

182.94
4

143.080

181.720

203.160

397.560

455.616

459.324

436.92
0

518.340

480.93
0

489.630

460.32
0

402.180

510.840

525.660

1.034.44
0

812.560

981.200

865.60
0

1.011.00
0

910.18
0

1.010.12
0

960.15
0

800.550

944.200

1.084.90
0

TAHUN 2014
Januari

Februa
ri

Maret

April

Mei

Juni

Juli

Agustu
s

Sept.

Okt.

Nov.

R.M
miprodjo
uf
o

160.640

163.88
0

156.440

166.08
0

174.840

172.04
0

185.840

137.76
0

173.920

181.560

196.320

Syafrudin
negara

374.820

324.00
0

285.900

309.96
0

327.420

317.88
0

350.460

264.24
0

339.360

355.500

370.080

1.008.10
0

827.50
0

830.400

929.10
0

941.000

921.00
0

999.800

783.70
0

1.006.600

1.043.80
0

1.131.40
0

Djuanda I

Sumber: Database Bagian Rumah Tangga, Biro Umum, Setjen

104

105

LAMPIRAN 4
HASIL WAWANCARA

A. Wawancara dengan DJKN


Narasumber
NIP
Jabatan
Unit Kerja
Tanggal
Waktu

: Denny Setyaji Prabowo


:198406062007011002
: Pelaksana Seksi Barang Milik Negara (BMN) ID
: Direktorat Barang Milik Negara
: 14 September 2015
: Pukul 11.00 11.30

1. Dari sudut pandang asset management, bagaimana sebenarnya hubungan antara


kebijakan pengelolaan gedung dan kebijakan efisiensi energi pada suatu gedung
gedung?
Jawab:
Secara teori manajemen aset, faktor energi itu masuk dalam operational cost, jadi
dalam siklus pengelolaan aset hal tersebut termasuk dalam tahap penggunaan.
Namun memang di Indonesia saat ini masih sulit untuk menghubungkan
pengelolaan aset dengan efisiensi energi.
2. Apakah Kemenkeu sudah mempunyai kebijakan efisiensi energi dalam
pengelolaan gedung-gedungnya? Kalau ada, apakah kebijakan tersebut sudah
memadai?
Jawab:
Ketika hal tersebut sudah menjadi edaran, pertanyaan selanjutnya adalah apakah
efisiensi energi itu benar-benar diukur atau tidak? Hal ini terkait dengan validitas
laporan. Kemudian sekarang sudah dilakukan dievaluasi? Yang terjadi saat ini
hanyalah sebatas pencatatan dan pelaporan saja, tanpa ada tindak lanjut
berikutnya.
Dalam pemikiran saya, seharusnya ada semacam lembaga atau auditor energi
pada setiap gedung yang mengevaluasi seluruh penggunaan energi di gedung.
Kemudian akan dievalusi, apakah gedung A termasuk boros atau gedung B
efisien. Kalau boros lalu diberikan perbaikan yang harus dilakukan agar bisa
menjadi efisien. Jadi dalam kondisi saat ini, kebijakan memang ada, tapi tujuan
tidak tercapai.

105

106

3. Menurut bapak, bagaimana agar implementasi kebijakan tersebut agar bisa


mencapai tujuannya?
Jawab:
Yang namanya kebijakan maka akan berjalan jika terdapat dua hal yang
mendorong, yaitu insentif atau sanksi. Terlebih lagi di pemerintah, kalau tidak
ada sanksi akan susah untuk menjalankan efisiensi energi. Listrik kan sudah ada
yang bayar, dibayar dengan uang negara. Karena tidak ada sanksi, penggunaan
yang besar juga tidak akan berpengaruh apa-apa. Sedangkan insentif sifatnya
akan mendorong secara motivasi yang positif.
4. Menurut Bapak/Ibu, seberapa penting efisiensi energi dalam pengelolaan gedung
di Kemenkeu?
Jawab:
Menurut saya sangat penting. Indonesia sekarang sudah berada dalam krisis
energi. Tindakan efisiensi energi merupakan tindakan preventif dalam menjawab
isu tersebut. Selain itu, efiseiensi energi akan memberikan keuntungan dalam hal
penghematan anggaran. Lalu terhadap lingkungan juga akan berpengaruh secara
positif.
5. Apa saja faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan efisiensi energi
dalam pengelolaan gedung di Kemenkeu?
Jawab:
Ada beberapa hal yang mungkin mempengaruhi. Pertama kebijakan tersebut
harus merancang sistem yang baik. Mulai dari ketentuan-ketentuan yang di atur
hingga evaluasinya. Perlu juga dilakukan sosialisasi kebijakan tersebut, bukan
hanya sekadar menerbitkan edaran saja. Sosialisasi bisa dimulai dari hal-hal yang
kecil seperti memperbanyak sticker, pamflet, atau poster di tempat-tempat
strategis untuk mengingatkan pegawai.
Yang kedua adalah manajemen gedung. Peran manajemen gedung di sini sangat
berpengaruh terhadap efisiensi energi suatu gedung, misalnya saja pengaturan
pendingin ruangan. Manajemen gedung bertugas untuk mengontrol hal tersebut.
Komitmen pengaturan pendingin ruangan saja sudah sangat signifikan dalam
efisiensi energi suatu gedung. Setiap penurunan 1 derajat itu akan berdampak
besar terhadap energi yang dikonsumsi. Sebenarnya mengenai komitmen
manajemen energi ini saling berhubungan dengan bagaimana kinerja manajemen
itu diukur. Kalau indikator kinerja dari manajemen gedung tidak ada terkait
efisiensi energi, maka tentu saja penerapan efisiensi energi gedung tidak akan
optimal.
106

107

Yang ketiga adalah masalah kesadaran dari penghuni gedung tersebut. Kebijakan
efisiensi energi ini berhubungan dengan budaya sehingga memang agak sulit
merubahnya. Masyarakat saat ini tidak terbiasa dalam menerapkan efisiensi
energi. Misalnya saja ketika di kantor. Pada siang hari semua tirai ditutup dan
lampu ruangan dinyalakan. Sebenarnya fungsi tirai tersebut justru untuk
meminimalkan penggunaan penerangan dari lampu sehingga bisa lebih efisien,
tapi ternyata tidak dilaksanakan. Masalah kebiasaan atau budaya ini sebenarnya
bisa saja disiasati dengan penggunaan teknologi. Misalnya penggunaan sensor
untuk mematikan lampu sehingga meskipun penghuni gedung lupa, tapi lampu
tetap bisa dimatikan.

B. Wawancara dengan Bagian Tata Usaha Pusintek


Narasumber
NIP
Jabatan
Unit Kerja
Tanggal
Waktu

: M. Astain
:198908232010121002
: Pelaksana Subbagian Umum
: Pusat Sistem Informasi dan Teknologi Keuangan
: 7 September 2015
: Pukul 10.00 10.30

1. Apakah dalam pengelolaan gedung unit Bapak/Ibu sudah ada upaya-upaya


efisiensi energi? Atas dasar apa kebijakan tersebut diimplementasikan?
Jawab:
Sudah ada dalam beberapa hal, misalnya mematikan AC ketikan sudah pukul 5
sore, ketika jam pulang kerja. Kebijakan tersebut dilakukan berdasarka edaran
dari pihak Setjen.
2. Apakah unit Saudara telah mensosialisasikan kebijakan efisiensi energi kepada
para pegawai?
Jawab:
Kalau di internal Pusintek, kami menyebarkan Surat Edaran dari Setjen tersebut
kepada seluruh pegawai Pusintek via email. Jadi Subbagian Umum punya data
email semua pegawai, ketika ada yang ingin disebarluaskan maka tinggal dikirim
via email. Dari internal Pusintek sendiri tidak membuat edaran turunannya, kami
hanya melanjutkan yang sudah ada saja.
3. Terkait tata udara, apa saja yang sudah unit Anda lakukan dalam rangka efisiensi
energi?
Jawab:
107

108

Ya seperti yang tadi saya contohkan, yaitu mematikan AC ketika jam pulang
kantor, tepat jam 5 sore. Tapi sebenarnya hal ini bukan kami yang melakukan,
melainkan teknisi dari pihak Setjen. Kami hanya menerima saja. Karena gedung
ini kan sebenarnya milik Setjen, Pusintek sifatnya hanya numpang sehingga
kebijakan ada pada Setjen.
4. Terkait tata cahaya, apa saja yang sudah unit Anda lakukan dalam rangka efisiensi
energi?
Jawab:
Sama seperti yang saya sampaikan sebelumnya, bukan Subbagian Umum sendiri
sebenarnya yang mengerjakan melainkan pihak Setjen. Saya masih ingat ketika
Surat Edaran itu dikeluarkan, dari pihak Setjen melalui teknisinya langsung
memeriksa penerangan di gedung dan kemudian mengurangi penggunaan
lampunya. Maksudnya jika biasanya dalam satu box di langit-langit itu ada 4 biji
lampu, teknisi kemudian mencabut beberapa di antaranya.
5. Bagaimana dengan pelaporan dan evaluasi atas penggunaan energi?
Jawab:
Kalau dari Subbagian Umum tidak ada laporan penggunaan listrik karena kami
memang tidak mencatat. Yang mencatat jumlah kWh adalah Setjen. Sejauh ini
untuk evaluasi memang hampir tidak ada karena kami juga tidak pernah
mendapat pemberitahuan kalau ternyata penggunaan listrik di gedung ini boros.

C. Wawancara dengan Bagian Umum DJKN


Narasumber
NIP
Jabatan
Unit Kerja
Tanggal
Waktu

: Dwi Baskoro
:198501062003121003
: Pelaksana Subbagian Rumah Tangga
: Sekretariat DJKN
: 7 September 2015
: Pukul 11.00 11.30

1. Apakah dalam pengelolaan gedung unit Bapak/Ibu sudah ada upaya-upaya


efisiensi energi? Atas dasar apa kebijakan tersebut diimplementasikan?
Jawab:
Iya, di DJKN sudah ada upaya-upaya dalam hal tersebut. Landasarnnya berdasar
pada Surat Edaran dari Setjen.

108

109

2. Apakah unit Saudara telah mensosialisasikan kebijakan efisiensi energi kepada


para pegawai?
Jawab:
Di Kantor Pusat DJKN, pihak Setditjen mengirimkan Nota Dinas ke direktorat
teknis untuk menyebar luaskan SE tersebut. Biasanya melalui papan
pengumuman yang ada pada masing-masing direktorat.
3. Terkait tata udara, apa saja yang sudah unit Anda lakukan dalam rangka efisiensi
energi?
Jawab:
Untuk tata udara di gedung Syafrudin Prawiranegara ditangani oleh teknisi yang
ditugaskan Setjen untuk gedung ini. Di gedung ini juga sudah diterapkan
kebijakan untuk mematikan AC setelah jam kerja berakhir. Bagi yang kerja
lembur, kami Bagian umum akan mengirim surat kepada Setjen untuk meminta
agar AC dinyalakan di lantai tempat unit yang lembur.
4. Terkait tata cahaya, apa saja yang sudah unit Anda lakukan dalam rangka efisiensi
energi?
Jawab:
Untuk tata cahaya sebisa mungkin para pegawai melakukan penghematan.
Misalkan penggunaan ruangan sudah selesai maka diingatkan untuk mematikan
penerangan yang tidak perlu. Masalah penerangan juga bekerja sama dengan
Satpam gedung untuk melakukan monitoring ketika malam.
5. Bagaimana dengan pelaporan dan evaluasi atas penggunaan energi?
Jawab:
Kalau untuk penggunaan energi di gedung ini, DJKN juga tidak pernah mendapat
pemberitahuan mengenai berapa daya yang telah digunakan. Datanya ada pada
Setjen. Tapi bingung juga kalau selama ini tidak ada evaluasinya. Akhirnya kami
yang memakai gedung juga tidak tahu apakah dengan cara operasional kantor
yang sekarang kami sudah efisien atau belum.
Begitu pula dengan unit-unit vertikal, mereka mengirimkan laporan penggunaan
listrik per periode tertentu, tapi tidak jelas bagaimana pengukurannya sehingga
evaluasinya pun tidak jalan.

109

110

D. Wawancara dengan Pegawai Sekretariat Jenderal


Narasumber
NIP
Jabatan
Unit Kerja
Tanggal
Waktu

: Dian Ginanjar
:198912092009121001
: Pelaksana Bagian Perencanaan dan Pengadaan SDM
: Biro SDM Setjen
: 1 September 2015
: Pukul 10.00 10.20 WIB

1. Apakah terdapat perangkat kebijakan (peraturan, edaran, SOP, dsb) yang


mengatur efisiensi energi di gedung unit saudara? Dari mana Bapak/Ibu
mengetahui kebijakan-kebijakan tersebut?
Jawab:
Di Setjen sudah ada surat edaran untuk efisiensi penggunaan energi listrik, air,
dan perangkat lainnya. Namun, sepertinya edaran tersebut tidak terlalu
diperhatikan dengan baik oleh para pegawai.
2. Upaya apa saja yang sudah diterapkan di kantor Anda?
Jawab:
Kalau di unit saya, misalnya yang sudah diterapkan seperti pemadaman lampu
yang tidak dibutuhkan, penggunaan kembali kertas yang tidak terpakai, dan
pembatasan pemakaian perangkat listrik.
3. Menurut Bapak/Ibu, apakah pengelolaan gedung unit saudara sudah menerapkan
kebijakan efisiensi energi dengan optimal? Berikan alasannya.
Jawab:
Menurut saya penerapannya belum optimal. Masih ada beberapa aktivitas yang
tidak memperhatikan efisiensi energi seperti penerapan pendingin ruangan atau
AC yang tidak memperhatikan kondisi ruangan, penggunaan perangkat listrik
seperti TV, lemari es, dan kipas angin, dan penggunaan air yang masih
seenaknya.
4. Menurut Bapak/Ibu, seberapa pentingkah implementasi efisiensi energi di
gedung-gedung Kemenkeu? Mengapa demikian?
Jawab:
Sangat penting, efisiensi energi sebenarnya bukan hanya penting di Kemenkeu
saja tetapi juga di semua aspek hidup dan kegiatan. Keuntungan yang didapat dari
penerapan efisiensi energi di Kemenkeu sendiri mungkin di antaranya
mengurangi beban biaya pemakaian listrik dan air. Selain itu hal tersebut juga
110

111

mendukung penerapan green life living, akan ada pengaruhnya terhadap


lingkungan.
5. Sebagai pengguna gedung, apakah upaya-upaya efisiensi energi saat ini ada yang
mengganggu/menghambat pelaksanaan tusi sehari-hari? Berikan contohnya.
Jawab:
Sejauh ini saya tidak ada merasakan hal-hal yang mengganggu.
6. Menurut Bapak/Ibu, faktor-faktor apa saja yang saat ini dapat menghambat
suksesnya implementasi kebijakan efisiensi energi dalam pengelolaan gedung di
Kemenkeu?
Jawab:
Menurut saya yang paling utama adalah kendala dari kesadaran dari para pegawai
Kemenkeu dalam menerapkan efisiensi energi. Kalau pegawai sudah sadar maka
otomatis kebijakan tersebut akan mudah dijalankan.
7. Apa yang menjadi strength bagi suksesnya implementasi kebijakan efisiensi
energi dalam pengelolaan gedung di Kemenkeu?
Jawab:
Mungkin saat ini yang menjadi strength bagi Kemenkeu adalah kebijakan
efisiensi energi yang sudah ada. Kita sudah punya ketentuannya, tinggal
bagaimana penerapannya.

E. Wawancara dengan Pegawai Sekretariat Jenderal


Narasumber
NIP
Jabatan
Unit Kerja
Tanggal
Waktu

: Rosyid Bagus Ginanjar Habibi


:198806262009121004
: Pelaksana Bidang Pajak dan PNBP II
: Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF
: 1 September 2015
: Pukul 14.00 14.20 WIB

1. Apakah terdapat perangkat kebijakan (peraturan, edaran, SOP, dsb) yang


mengatur efisiensi energi di gedung unit saudara? Dari mana Bapak/Ibu
mengetahui kebijakan-kebijakan tersebut?
Jawab:
Ada, tapi bentuknya berupa Surat Edaran dari Sekretariat Jenderal.
111

112

2. Upaya apa saja yang sudah diterapkan di kantor Anda?


Jawab:
Di unit kami sudah ada teknisi terkait yang mengurusi hal ini. Untuk teknisi
tersebut juga disediakan ruang khusus sebagai bentuk maintenance.
3. Menurut Bapak/Ibu, apakah pengelolaan gedung unit saudara sudah menerapkan
kebijakan efisiensi energi dengan optimal? Berikan alasannya.
Jawab:
Sudah. Sebagai contoh ketika pukul 5 sore jam pulang, AC central dimatikan.
Dan jika semua pegawai sudah pulang, lampu dimatikan. Namun menurut saya
upaya-upaya efisiensi tersebut perlu dioptimalkan lagi.
4. Menurut Bapak/Ibu, seberapa pentingkah implementasi efisiensi energi di
gedung-gedung Kemenkeu? Mengapa demikian?
Jawab:
Penting. Pemahaman tentang efisiensi energi secara tidak langsung akan
mempengaruhi efisiensi anggaran. Meskipun tidak berpengaruh secara langsung
dan signifikan.
5. Sebagai pengguna gedung, apakah upaya-upaya efisiensi energi saat ini ada yang
mengganggu/menghambat pelaksanaan tusi sehari-hari? Berikan contohnya.
Jawab:
Tidak mengganggu, yang paling terasa mungkin ketika AC dimatikan. Tapi
sebenarnya juga tidak mengganggu.
6. Menurut Bapak/Ibu, faktor-faktor apa saja yang saat ini dapat menghambat
suksesnya implementasi kebijakan efisiensi energi dalam pengelolaan gedung di
Kemenkeu?
Jawab:
Pola pikir tiap pegawai yang tidak sama tentang efisiensi energi. Ada yang cuek,
ada yang acuh, ada yang sangat antusias. Perlu pemahaman berjenjang kepada
semua pegawai. Ada juga pegawai yang menginap di kantor dan bermain game.
7. Apa yang menjadi strength bagi suksesnya implementasi kebijakan efisiensi
energi dalam pengelolaan gedung di Kemenkeu?
Jawab:
Adanya pimpinan yang care dengan efisiensi energi seperti contoh surat edaran
efisiensi energi itu sendiri. Hal itu menjadi modal yang bagus bagi penerapan
efisiensi energi.

112

113

F. Wawancara dengan Pegawai DJKN


Narasumber
NIP
Jabatan
Unit Kerja
Tanggal
Waktu

: Nurhikmah Alimuddin
:198909302010122001
: Pelaksana Subdit Kekayaan Negara Lain-Lain III
: Direktorat Piutang Negara dan Kekayaan Negara Lain-Lain
: 1 September 2015
: Pukul 11.00 11.25 WIB

1. Apakah terdapat perangkat kebijakan (peraturan, edaran, SOP, dsb) yang


mengatur efisiensi energi di gedung unit saudara? Dari mana Bapak/Ibu
mengetahui kebijakan-kebijakan tersebut?
Jawab:
Sudah ada SE terkait penghematan listrik. Oleh Sekten dan Setditjen sudah
diedarkan ke direktorat kami dan seingat saya sempat ditempel didinding
pengumuman direktorat.
2. Upaya apa saja yang sudah diterapkan di kantor Anda?
Jawab:
Jam 17.00 pendingin ruangan sudah dimatikan. Di luar jam sibuk, lift kantor
hanya dinyalakan 2 dari 5 lift yg boleh dipergunakan. Sedangkan di jam sibuk
seperti pulang kantor dan jam istirahat hanya dinyalakan 4 dr 5 lift.
3. Menurut Bapak/Ibu, apakah pengelolaan gedung unit saudara sudah menerapkan
kebijakan efisiensi energi dengan optimal? Berikan alasannya.
Jawab:
Dari segi pengelola gedung, efektif cenderung pelit. Bukan efisiensi. Sebenarnya,
guna implementasi efisiensi energi, perlu kesadaran dari pengguna energi, bukan
hanya dari pengelola. Terutama untuk para pimpinan, selain akan sangat efisien
menghemat energi, yaitu dengan menghilangkan treatment khusus yg
membutuhkan banyak energi, juga bisa mempegaruhi bawahannya untuk
menerapkan efisiensi energi.
4. Menurut Bapak/Ibu, seberapa pentingkah implementasi efisiensi energi di
gedung-gedung Kemenkeu? Mengapa demikian?
Jawab:
Terlepas dari kepentingan sustainability energi untuk anak cucu, ya sangat
penting. Bayar listrik itu kan mahal. Jika penggunaannya dapat dihemat,
113

114

anggarannya bisa dialihkan untuk pos yang lain, misalnya peningkatan kesehatan
pegawai dll.
5. Sebagai pengguna gedung, apakah upaya-upaya efisiensi energi saat ini ada yang
mengganggu/menghambat pelaksanaan tusi sehari-hari? Berikan contohnya.
Jawab:
Ketika awal-awal kebijakan AC dimatikan Pukul 17.00, rapat dan pekerjaan
mendesak lainnya harus dilaksanakan dan semuanya harus dijalankan dengan
keadaan tidak nyaman, kegerahan. Belum lagi rasa malu ketika ada tamu yang
kurang nyaman.
6. Menurut Bapak/Ibu, faktor-faktor apa saja yang saat ini dapat menghambat
suksesnya implementasi kebijakan efisiensi energi dalam pengelolaan gedung di
Kemenkeu?
Jawab:
Seperti yang saya jelaskan tadi. Masih kurang contoh dari pimpinan, ditambah
kurangnya kesadaran dari pengguna gedung.
1. Apa yang menjadi strength bagi suksesnya implementasi kebijakan efisiensi
energi dalam pengelolaan gedung di Kemenkeu?
Jawab:
Rasanya belum ada ya yang mendukung. Kebijakannya sudah ada. Seharusnya
lebih gencar disosialisasikan karena soasialisasi itu sangat penting.

G. Wawancara dengan Pegawai Pusintek


Narasumber
NIP
Jabatan
Unit Kerja
Tanggal
Waktu

: Febry Dwi Putra


:199102112013101001
: Pelaksana Bidang Operasional TIK
: Pusat Sistem Informasi dan Teknologi Keuangan (Pusintek)
: 7 September 2015
: Pukul 13.30 13.55 WIB

2. Apakah terdapat perangkat kebijakan (peraturan, edaran, SOP, dsb) yang


mengatur efisiensi energi di gedung unit saudara? Dari mana Bapak/Ibu
mengetahui kebijakan-kebijakan tersebut?
Jawab:

114

115

Ada, tapi saya tidakingat naskah dinasnya apa dan nomor berapa. Contohnya saat
menjelang libur idul fitri tahun ini, sebelum pegawai berlibur, ada SE dari Biro
Umum yang intinya mengajak para pegawai untuk menonaktifkan PC, lampu,
dan perangkat lainnya yang membutuhkan aliran listrik sebelum ditinggal liburan.
Informasi tersebut diperoleh dari email yang dikirimkan oleh Subbagian Umum
Pusintek. Saya kurang tau apakah ada kebijakan lainnya yang mengatur lebih
detil lagi.
3. Upaya apa saja yang sudah diterapkan di kantor Anda?
Jawab:
Sejujurnya karena Pusintek merupakan unit yang operasionalnya 7 x 24 jam, saya
sendiri berada pada Subbidang Layanan Pengguna yang operasionalnya 7 x24
jam, sehingga efisiensi energi tidak maksimal. Namun sepengetahuan saya, untuk
rekan-rekan yang tidak menjalankan tugas shifting, PC nya dimatikan setiap
Jumat sore sebelum libur akhir pekan. Ada pula yang menonaktifkannya tiap sore
hari sebelum pulang kantor. Untuk lampu-lampu, lebih banyak dimatikan, kecuali
pada ruangan yang terdapat pegawai shifting-nya.
Untuk pendingin ruangan,saya belum pernah tahu ada kebijakan secara spesifik
yang mengatur tentang tata udara (pendingin ruangan). Sementara terkait
perangkat lainnya, saya juga kurang tahu apakah ada kebijakan untuk
menggunakan alat elektronik yang efisien energi. Kebijakannya mungkin hanya
yang saya sebutkan sebelumnya, yaitu ada broadcast arahan untuk
menonaktifkan perangkat sebelum libur panjang idul fitri kemarin.
4. Menurut Bapak/Ibu, apakah pengelolaan gedung unit saudara sudah menerapkan
kebijakan efisiensi energi dengan optimal? Berikan alasannya.
Jawab:
Sepertinya belum optimal karena alasan itu tadi, Pusintek termasuk unit yang
operasionalnya 7 x 24 jam.
5. Menurut Bapak/Ibu, seberapa pentingkah implementasi efisiensi energi di
gedung-gedung Kemenkeu? Mengapa demikian?
Jawab:
Menurut saya pribadi sangat penting. Alasannya karena semua biaya yang
dikeluarkan untuk pasokan energi di kantor merupakan uang negara. Uang rakyat.
Kalau bisa berhemat kan anggaran untuk pasokan energinya bisa dialihakn untuk
kepentingan lain.

115

116

6. Sebagai pengguna gedung, apakah upaya-upaya efisiensi energi saat ini ada yang
mengganggu/menghambat pelaksanaan tusi sehari-hari? Berikan contohnya.
Jawab:
Sama sekali tidak ada yang menggangu. Hanya beberapa kali pemadaman listrik
sehingga harus pakai genset. Entah untuk penghematan atau tidak, tapi sepertinya
bukan untuk tujuan penghematan. Mungkin ada insiden tertentu yang
mengharuskan dilakukan pemadaman listrik.
7. Menurut Bapak/Ibu, faktor-faktor apa saja yang saat ini dapat menghambat
suksesnya implementasi kebijakan efisiensi energi dalam pengelolaan gedung di
Kemenkeu?
Jawab:
Kurangnya kesadaran dan kemauan tiap pegawai untuk menonaktifkan PC,
lampu, dan perangkat lainnya yang membutuhkan aliran listrik, yang berada pada
tanggung jawabnya.
8. Apa yang menjadi strength bagi suksesnya implementasi kebijakan efisiensi
energi dalam pengelolaan gedung di Kemenkeu?
Jawab:
Apa ya? Sekarang sudah mulai ada kebiasaan mematikan lampu lobi dan lampulampu lain di luar ruangan kerja sih, terutama saat akhir pekan, dan setelah jam
kantor. Bahkan tidak jarang lampu musola dan lampu kamar mandi juga
dimatikan, padahal di Pusintek selalu ada orang yang bertugas 7 x 24 jam. Kalau
lampu-lampu dan aliran listrik di ruangan kerja yang tidak terdapat pegawai shiftnya, sejauh yang saya tau, selalu dinonaktifkan. Sebagai tambahan, di Pusintek
hanya ada dua dari lima Bidang yang melaksanakan pola kerja 7x24 jam.

116

117

RIWAYAT HIDUP PENULIS

1. N a m a

: Aditya Rahmat

2. Tempat/Tanggal lahir

: Batali Kec. Barabai, 17 Maret 1989

3. Jenis Kelamin

: Laki-Laki

4. Agama

: Islam

5. Nomor Induk Pegawai

: 198903172010121002

6. Pangkat Golongan/Ruang : Pengatur Tk. I / II/d


7. Jabatan

: Pelaksana

8. Instansi

: Sekretariat Ditjen,Direktorat Jenderal Kekayaan

Negara
9. Pendidikan

: Diploma III (D-III)

10. HP

: 085216000866

11. Alamat email

: adito.albanjary@gmail.com

PENDIDIKAN FORMAL
No
.

Tingkat Pendidikan

Jurusan/Spesialisa
si

Nama/Tempat

Th.
Lulus

1.

SD Negeri Barabai Timur


1

Barabai

2001

2.

MTs Negeri Barabai

Barabai

2004

3.

SMA Negeri 1 Barabai

IPA

Barabai

2007

4.

Prodip III STAN

Akuntansi

Tangerang
Selatan

2010

Prodip IV - STAN

Akuntansi
Kurikulum
Reguler

Tangerang
Selatan

5.

RIWAYAT PEKERJAAN
N
O
1.

Uraian

Periode

Pelaksana pada Bagian Umum, Sekretariat DJKN

2010-2014

117

118

2.

Pegawai tugas belajar DJKN

2014-sekarang

118

Anda mungkin juga menyukai