SKRIPSI
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN EFISIENSI ENERGI
DALAM PENGELOLAAN ASET GEDUNG PEMERINTAH
DI KEMENTERIAN KEUANGAN
Diajukan Oleh:
ADITYA RAHMAT
NPM : 144060005748
AJUN AKUNTAN
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
Tahun 2010
Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-Syarat
Guna Mencapai Gelar Sarjana Sains Terapan
Pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
2015
1
NAMA
: ADITYA RAHMAT
JUDUL SKRIPSI
Dengan ini menyatakan bahwa sesungguhnya skripsi ini adalah hasil tulisan
saya sendiri dan atau tidak terdapat bagian atau keseluruhan tulisan yang saya salin
atau tiru tanpa memberikan pengakuan pada penulis aslinya. Bila terbukti saya
melakukan tindakan plagiarisme saya siap dinyatakan tidak lulus dan dicabut gelar
yang telah diberikan.
Tangerang Selatan, September 2015
Yang memberikan pernyataan,
Aditya Rahmat
NAMA
: ADITYA RAHMAT
JUDUL SKRIPSI
Mengetahui,
Direktur STAN
Menyetujui,
Dosen Pembimbing,
NAMA
: ADITYA RAHMAT
JUDUL SKRIPSI
Ketua Penguji
Anggota Penguji/
Pembimbing
Anggota Penguji
2.
3.
KATA PENGANTAR
Puji syukur Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Implementasi Kebijakan
Efisiensi Energi dalam Pengelolaan Aset Gedung Pemerintah di Kementerian
Keuangan ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat, serta orang-orang yang
senantiasa berpegang teguh di jalan-Nya.
Penulis menyadari bahwa dalam terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.
Bapak dan Ibu tercinta atas doa, kasih sayang, motivasi, dan
nasihat yang senantiasa diberikan. Semoga suatu hari penulis dapat membalas
semua yang Bapak dan Ibu telah berikan.
2.
3.
4.
5.
Mas Arif, Mas Irwan, Mas Indra, dan Reni dari Setjen serta
Mas Dwi dan Mas Deni dari DJKN atas kebaikan hatinya membantu penulis
dalam proses pengumpulan data.
6.
7.
8.
9.
10.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan. Semoga
karya tulis tugas akhir ini dapat bermanfaat. Amin.
Tangerang Selatan, September 2015
Aditya Rahmat
6
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL...........................................................................................
...
PERNYATAAN KEASLIAN
SKRIPSI................................................................
TANDA PERSETUJUAN
SKRIPSI....................................................................
PERNYATAAN LULUS UJIAN KOMPREHENSIF .........................................
iv
KATA PENGANTAR ..........................................................................................
DAFTAR ISI .................................................................................................
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
DAFTAR GRAFIK.......................................................................................
DAFTAR TABEL.........................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................
ii
iii
iv
v
vii
xi
xi
xii
xiii
1
11
11
12
13
17
19
20
20
22
23
24
24
24
30
35
43
43
43
50
52
54
56
57
57
58
62
68
71
A. Simpulan .............................................................................................
82
B. Saran ..................................................................................................
82
C. Keterbatasan.........................................................................................
84
86
LAMPIRAN-LAMPIRAN
87
10
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1
18
Gambar III.1 Unit Organisasi yang Terkait Pengelolaan BMN di BKF ...........
28
Gambar III.2 Unit Organisasi yang Terkait Pengelolaan BMN di DJKN ..........
29
Gambar IV.1 Tolak Ukur Efisiensi Energi dan Refrigeran dalam GREENSHIP
44
10
72
11
DAFTAR GRAFIK
Grafik II.1
14
59
Jusuf Wibisono................................................................................
Grafik VI.3 Konsumsi Listrik Gedung Syafruddin Prawiranegara.....................
60
61
11
12
DAFTAR TABEL
Tabel II.1 Standar Acuan IKE Menurut GBCI....................................................
14
59
32
33
34
Tabel IV.1 Kriteria Konsumsi Energi Spesifik untuk Gedung Perkantoran .......
63
64
66
67
69
70
12
13
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I
Lampiran II
Lampiran III
Lampiran IV
Hasil Wawancara
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Isu perubahan iklim (climate change) kini menjadi salah satu tantangan utama
bagi dunia karena menghantui masyarakat dengan beragam ancaman, mulai dari
pergeseran pola cuaca yang mengancam produksi pangan, sampai naiknya permukaan
air laut yang meningkatkan risiko bencana banjir. Perhatian terhadap upaya untuk
mengurangi laju perubahan iklim pun terus ditingkatkan. Salah satunya adalah
melalui efisiensi energi pada sektor properti.
Kontribusi buruk dari sektor properti terhadap lingkungan berasal dari
besarnya energi yang dikonsumsi dalam mengoperasikan gedung. Australian National
Audit Office (ANAO) menyebutkan bahwa: Energy consumption is typically the
13
14
15
pada lingkungan dan masyarakat. Salah satu bagian dari hal tersebut penerapan
kebijakan efisiensi energi pada gedung yang dimiliki/digunakan.
Isu perubahan iklim dan keberlanjutan yang kemudian dihadapkan pada
betapa signifikannya dampak lingkungan dari aktivitas gedung juga telah memberikan
momentum pada perkembangan konsep bangunan hijau (green building). Fisher
(2010, 3) menyatakan bahwa konsep bangunan hijau ini diyakini sebagai sebuah
praktik bangunan terpadu yang secara signifikan mampu mengurangi jejak
lingkungan atau jejak ekologis bangunan jika dibandingkan dengan praktik bangunan
standar. Dalam konsep ini, efisiensi energi juga menjadi salah satu aspek penting yang
harus diwujudkan agar suatu gedung bisa dikategorikan sebagai bangunan hijau.
Saat ini pemerintah Indonesia mempunyai jumlah gedung yang sangat besar
dan merupakan portofolio yang sangat berarti dalam mendukung kebijakan energi
nasional. Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2013, nilai aset tetap
berupa gedung dan bangunan mencapai Rp191,3 triliun atau sekitar 11% dari total
aset tetap Pemerintah Pusat secara keseluruhan. Oleh karena itu, pemerintah sudah
seharusnya mengoptimalkan implementasi kebijakan efisiensi energi dalam
pengelolaan gedung pemerintah untuk mengakomodasi isu perubahan iklim,
keberlanjutan, dan konsep bangunan hijau, sekaligus sebagai salah satu solusi untuk
mengatasi permasalahan energi dan lingkungan di Indonesia.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul Implementasi Kebijakan Efisiensi Energi dalam
Pengelolaan Aset Gedung Pemerintah di Kementerian Keuangan.
B. Ruang Lingkup Penelitian
15
16
Efisiensi energi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah yang terkait
dengan penggunaan energi listrik. Bahasan yang termasuk dalam cakupan penelitian
ini adalah mengenai perangkat kebijakan itu sendiri dan penerapannya di beberapa
gedung di lingkungan Kantor Pusat Kementerian Keuangan, yaitu Gedung Juanda I
dan II, Gedung R.M. Notohamiprodjo dan Jusuf Wibisono, serta Gedung Syafrudin
Prawiranegara.
C. Rumusan Masalah Penelitian
Rumusan masalah yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah:
1. bagaimanakah impelementasi kebijakan efisiensi energi dalam pengelolaan aset
gedung pemerintah di Kementerian Keuangan?
2. apa sajakah permasalahan dan tantangan dalam proses implementasi kebijakan
tersebut?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. untuk mendeskripsikan implementasi kebijakan efisiensi
energi
dalam
16
17
17
18
sumber data dilakukan secara purposive, analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan
hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.
G. Sistematika Pembahasan
BAB I
Penelitian ini direncanakan akan terdiri dari lima bab sebagai berikut:
PENDAHULUAN
Bab ini akan menguraikan mengenai latar belakang penelitian, ruang
lingkup penelitian, permasalahan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian,
BAB II
18
19
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Konsep Implementasi Kebijakan
Secara umum istilah implementasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
berarti pelaksanaan atau penerapan. Istilah implementasi biasanya dikaitkan dengan
suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Lane (1983, 17)
menyebutkan bahwa di dalam Kamus Webster kata implement diartikan sebagai ...to
carry out; accomplish, fulfill; to give practical effect to and ensure of actual
fulfillment by concrete measures; to provide instruments or means of practical
expression
for....
Pengertian
tersebut
mempunyai
arti
bahwa
untuk
19
20
dengan harapan akan memperoleh suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran
dari suatu kebijakan.
Nurdin (2013, 24) mengutip pendapat Budi Winarno yang mengemukakan
bahwa implementasi kebijakan dibatasi sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh individu-individu pemerintah dan individu-individu swasta (kelompokkelompok) yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam
keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Implementasi kebijakan dapat dikatakan
suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas
atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai
dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri.
Namun pada praktiknya suatu kebijakan
tidak
selalu
berhasil
diimplementasikan sehingga sasaran awal yang diinginkan belum tentu bisa tercapai.
Banyak hal yang dapat mempengaruhi sukses atau tidaknya implementasi suatu
kebijakan. Sebagaimana yang dikutip Anggara (2014, 249), George Charles Edwards
III mengemukakan bahwa terdapat empat faktor kritis yang mempengaruhi
keberhasilan atau kegagalan implementasi, yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi
atau sikap pelaksana, dan struktur birokrasi.
1. Komunikasi. Faktor ini memiliki peran/fungsi yang cukup penting untuk
menentukan keberhasilan suatu kebijakan dalam implementasinya. Komunikasi
kebijakan dalam tataran implementasi diperlukan agar dapat membentuk
dukungan dan komitmen dari pihak-pihak yang terkait. Edwads III juga
berpendapat bahwa terdapat tiga indikator keberhasilan komunikasi kebijakan,
yaitu: (a) transmisi, sebuah kebijakan yang telah ditetapkan dan akan
diimplementasikan harus disalurkan kepada pejabat yang akan melaksanakannya;
20
21
(b) kejelasan, tujuan dan cara yang akan digunakan dalam sebuah kebijakan harus
dirumuskan secara jelas; dan (c) konsistensi, suatu implementasi kebijakan akan
efektif dan berdayaguna apabila perintah pelaksanaannya konsisten, yakni
petunjuk pelaksanaan kebijakan tidak saling bertentangan.
2. Sumber daya. Sumber daya yang diperlukan dalam implementasi menurut
Edwards III terdiri dari staf, informasi, kewenangan, dan fasilitas.
3. Disposisi. Disposisi merupakan sikap dan komitmen dari pelaksana terhadap
kebijakan yang harus dilaksanakan. Jika para pelaksana bersikap baik terhadap
suatu kebijakan, berarti ada dukungan sehingga mereka akan melaksanakan
kebijakan sesuai dengan yang diinginkan.
4. Struktur birokrasi. Yang dimaksud oleh Edwards III adalah mekanisme kerja yang
dibentuk untuk mengelola pelaksanaan sebuah kebijakan.
B. Kebijakan Energi Nasional
Atas dasar perhatian dan komitmen pemerintah terhadap pelestarian
lingkungan, pada 11 Agustus 2011 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan
Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penghematan Energi dan Air yang
meminta kepada segenap pimpinan di jajaran pemerintahan untuk melakukan
langkah-langkah dan inovasi penghematan energi dan air di lingkungan instansi
masing-masing. Presiden juga meminta agar para pimpinan daerah dapat melakukan
sosialisasi dan mendorong semua lapisan masyarakat, termasuk perusahaan swasta
yang berada di wilayah masing-masing, untuk melaksanakan upaya penghematan
energi dan air.
Selain itu pemerintah juga menyusun Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan
21
22
Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah
Kaca. RAN-GRK adalah pedoman untuk langkah-langkah dalam memfasilitasi
perubahan iklim, seperti telah disampaikan Komitmen Presiden pada Tahun 2007
dalam G-20 Pittsburgh dan Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen pada
Desember 2009 untuk menurunkan emisi gas rumah kaca pada tahun 2020. (Dewan
Energi Nasional 2014, 58).
Berdasarkan RAN-GRK tersebut diketahui bahwa pemerintah mengharapkan
agar sektor energi dan pengelolaan limbah diharapkan dapat menurunkan emisi
masing-masing kurang lebih 6%. Pengurangan emisi GRK sesuai dengan target
tersebut untuk sektor energi dimaksud dapat dilakukan dengan memanfaatkan energi
baru dan terbarukan serta meningkatkan efisiensi penggunaan energi. (Kementerian
ESDM 2012, 79).
Selanjutnya pemerintah juga telah menyusun suatu Kebijakan Energi Nasional
(KEN) sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun
2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. KEN tersebut disusun sebagai pedoman
untuk memberi arah pengelolaan energi nasional guna mewujudkan kemandirian
energi dan ketahanan energi nasional untuk mendukung pembangunan nasional
berkelanjutan. Dalam Pasal 6 PP No. 79 Tahun 2014 tersebut disebutkan bahwa
kemandirian energi dan ketahanan energi nasional yang menjadi tujuan KEN di
antaranya akan dicapai melalui pemanfaatan energi secara efisien di semua sektor
dan terjaganya kelestarian fungsi lingkungan hidup.
C. Konsep Efisiensi Energi
1. Tantangan perubahan iklim.
Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (2007, 30), istilah
perubahan iklim ini mengacu pada perubahan keadaan iklim yang dapat diidentifikasi
22
23
24
dipertimbangkan
bersama-sama
untuk
mencapai
kesejahteraan
yang
sesungguhnya. Ketiga dimensi ini (the triple bottom line) dapat dilihat juga secara
terpisah tetapi akan tetap saling terhubung satu sama lainnya.
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep keberlanjutan
menghendaki agar setiap aktivitas manusia saat ini yang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhannya pada waktu bersangkutan tidak boleh mengabaikan kepentingan
generasi mendatang. Konsep ini bermaksud mengingatkan bahwa setiap tindakan saat
ini akan mendatangkan konsekuensi di masa mendatang dan untuk menjamin
keberlangsungan hidup di masa depan diperlukan pertimbangan secara seksama untuk
meminimalkan efek negatif dari aktivitas yang dilakukan manusia sekarang ini.
3. Konsep bangunan hijau.
Meningkatnya
kepedulian
masyarakat
dunia
terhadap
keberlanjutan
lingkungan telah mendorong konsep baru di bidang properti yang dikenal dengan
24
25
istilah bangunan hijau (green building). Konsep ini dikembangkan dengan maksud
untuk mengurangi jejak ekologis yang dihasilkan dari aktivitas sebuah bangunan.
Maksud ini tercermin dari definisi bangunan hijau itu sendiri sebagaimana yang
dinyatakan oleh OECD, yaitu: as those that have minimum impacts on the built
and natural environment in terms of the buildings themselves, their immediate
surroundings and the broader regional and global setting. (Hong 2007, 20). Dari
definisi tersebut dapat dipahami bahwa keberadaan bangunan hijau diharapkan dapat
meminimalkan dampak negatif terhadap bangunan itu sendiri, lingkungan sekitar, dan
lingkungan regional serta global.
Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, bangunan harus didesain sedemikian
rupa sehingga beberapa faktor penting yang menjadi karakteristik sebuah bangunan
hijau dapat terpenuhi. Samer (2013, 26) mengutip pernyataan Chatrajee bahwa:
Green buildings exhibit a high level of environmental, economic, and engineering
performance. These include energy efficiency and conservation, improved indoor air
quality, resource and material efficiency, and occupant's health and productivity.
Banyak manfaat yang dapat dirasakan dengan menerapkan konsep bangunan
hijau, terutama manfaat bagi lingkungan. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh
McGraw-Hill Construction (2013, 18), setidaknya terdapat lima manfaat terkait
lingkungan yang mendorong para responden untuk menerapkan konsep bangunan
hijau. Kelima alasan tersebut terlihat dalam gambar berikut ini.
Grafik II.1 Alasan untuk Menerapkan Bangunan Hijau
25
26
46%
72%
24%
27%
2012
14%
27%
2008
4%
25%
6%
17%
26
27
gedung dianggap sebagai salah satu hal yang penting dalam pengelolaan gedung yang
berbasis lingkungan sesuai dengan konsep bangunan hijau.
GREENSHIP yang diselenggarakan oleh GBCI tidak hanya ditujukan untuk
menilai bangunan baru saja (New Building), tetapi juga untuk gedung lama atau
gedung terbangun yang sudah ada (Existing Building). Dalam Ringkasan Tolak Ukur
Greenship Existing Building (GBCI 2011), terkait aspek efisiensi energi pada
bangunan yang dinilai, GBCI menetapkan sembilan tolak ukur yang menjadi bagian
dari penilaian rating terhadap gedung tersebut, yaitu:
a. Policy and Energy Management Plan.
Dalam aspek ini, GBCI akan melihat ada atau tidaknya surat pernyataan yang
memuat komitmen dari manajemen puncak yang mencakup: adanya audit energi,
target penghematan dan action plan berjangka waktu tertentu oleh tim energi. Selain
itu, diperlukan pula adanya kampanye dalam rangka mendorong penghematan energi
dengan minimal pemasangan kampanye tertulis secara permanen di setiap lantai,
antara lain berupa: stiker, poster, email.
b. Minimum Building Energy Performance.
Berkenaan dengan aspek ini, GBCI akan menilai kinerja penghematan energi
suatu gedung yang tercermin dari nilai Intensitas Konsumsi Energi (IKE) gedung
tersebut dan membandingkannya dengan standar acuan yang telah ditetapkan GBCI.
c. Optimized Efficiency Building Energy Performance.
Terkait aspek ini, GBCI akan menilai capaian penurunan IKE dari suatu
gedung. Setiap sejumlah penurunan yang berhasil dicapai, gedung tersebut akan
27
28
mendapat nilai tambahan sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam standar
penilaian.
d. Testing, Recommissioning or Retrocommissioning.
Agar dapat memperoleh tambahan nilai dari aspek ini, penting bagi
manajemen
gedung
untuk
melakukan
pengujian
(komisioning
ulang
atau
maupun
MVAC
29
29
30
rumah kaca melibatkan efisiensi gedung. Keempat ukuran tersebut adalah insulasi
bangunan, sistem pencahayaan, pengaturan udara, dan pemanas air.
Gambar II.1 Konsumsi Energi Sebuah Gedung
Sumber: Building and Construction Authority. 2010. Building Planning and Massing.
Hal. 7
Perlu diperhatikan pula bahwa dengan diberlakukannya efisiensi energi pada
suatu gedung bukan berarti akan memberikan ketidaknyamanan pada pengguna
gedung. Efisiensi energi pada suatu bangunan secara umum berarti menggunakan
lebih
sedikit
energi
untuk
pemanas,
pendingin,
dan
pencahayaan,
tanpa
30
31
Usage Intesity (EUI) ini bukan hanya dilakukan di Indonesia saja, tetapi negaranegara lain pun juga menggunakan nilai IKE untuk menyatakan atau mengukur
tingkat efisiensi penggunaan energi dari suatu gedung.
Intensitas Konsumsi Energi (IKE) adalah istilah yang digunakan untuk
menyatakan besarnya jumlah penggunaan energi tiap meter persegi luas kotor (gross)
bangunan dalam suatu kurun waktu tertentu. Penentuan nilai IKE dinyatakan dalam
satuan kWh/m2 per tahun. IKE merupakan istilah yang digunakan untuk mengetahui
tingkat pemakaian energi pada suatu bangunan. Dalam hal ini, istilah energi yang
digunakan adalah mengacu pada energi listrik. Sehubungan dengan penggunaan IKE
tersebut, GBCI menetapkan standar acuan besaran nilai IKE yang digunakan sebagai
tolak ukur pemeringkatan (rating) bangunan hijau. Standar acuan tersebut
sebagaimana yang ditunjukkan dalam tabel II.1.
Tabel II.1 Standar Acuan IKE Menurut GBCI
No
.
1
2
3
IKE (kWh/m2/tahun)
250
450
350
Sumber: Green Building Council Indonesia. 2011. Ringkasan Tolak Ukur Greenship
Existing Building. Hal. 3
Sementara itu, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13
Tahun 2012 tentang Penghematan Pemakaian Tenaga Listrik menggunakan konsep
pengukuran IKE dengan memakai istilah lain yaitu Konsumsi Energi Spesifik.
Berdasarkan peraturan tersebut, penggolongan penggunaan energi di gedung
perkantoran pemerintah yang didasarkan pada perhitungan Konsumsi Energi Spesifik
dilakukan dengan kriteria sebagai berikut:
Tabel II.2 Kriteria Konsumsi Energi Spesifik untuk Gedung Perkantoran
31
32
Predikat
Gedung Ber-AC
Gedung Tanpa AC
Sangat Efisien
Efisien
Cukup Efisien
Boros
Sumber: Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2012
tentang Penghematan Pemakaian Tenaga Listrik
D. Konsep Pengelolaan Aset
1. Definisi pengelolaan aset.
Dalam berbagai literatur, terdapat banyak pendapat yang menguraikan
pengertian dari pengelolaan aset atau manajemen aset. Pemerintah Australia Selatan
(1999, 1) mendefinisikan manajemen aset sebagai a process to manage demand
and guide acquisition, use and disposal of assets to make the most of their service
delivery potential, and manage risks and costs over their entire life. Sementara itu,
Best Value Task Force Skotlandia (2003, 5) mendefinisikan manajemen aset ke dalam
pengertian berikut:
Asset management is commonly defined as the full life cycle management of
such assets in order to maximise their advantage. It covers site acquisition and
disposal, the replacement and remodelling of buildings, roads and bridges to
include extensions and improvements, plus the management and maintenance of
such capital infrastructure assets.
Dari kedua definisi tersebut dapat diperoleh dua inti pengertian yang samasama diungkapkan, yaitu bahwa pengelolaan atau manajemen aset itu:
a. mencakup jangka waktu yang panjang, bukan hanya pada satu titik waktu
tertentu. Pemerintah Australia Selatan mendefinisikannya dengan over their
entire life, sedangkan Best Value Task Force Skotlandia mendefinisikan jangka
waktu tersebut dengan full life cycle management. Panjangnya jangka waktu
32
33
yang menjadi cakupan pengelolaan atau manajemen aset ini karena meliputi daur
hidup dari aset itu sendiri, yang dimulai dari perencanaan sampai dengan
penghapusan (disposal);
b. dimaksudkan agar suatu aset dapat memberikan layanan terbaik sesuai dengan
potensinya. Dalam pengertian pertama, Pemerintah Australia Selatan menjelaskan
poin ini melalui kalimat to make the most of their service delivery potential,
sedangkan dalam pengertian kedua Best Value Task Force Skotlandia
menjelaskannya dalam kalimat to maximise their advantage.
Adapun dalam perangkat kebijakan yang berlaku di lingkup pemerintah
Indonesia,
yaitu
dan
pemeliharaan,
penilaian,
pemindahtanganan,
pemusnahan,
yang
mendefinisikan
pengelolaan
aset
yang
berbasis
keberlanjutan
33
34
34
35
Energy Usage Intensity (EUI) untuk membandingkan tingkat efisiensi energi antar
gedung atau antar sektor. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa perbandingan
level IKE untuk tipe gedung sejenis, meskipun gedung itu berasal dari lintas
wilayah/regional, akan cukup bermanfaat dalam memahami best practice pada sektor
gedung komersial.
Penelitian yang dilakukan Baso Mukhlis pada tahun 2011 ini mengangkat
judul: Evaluasi Penggunaan Listrik pada Bangunan Gedung di Lingkungan
Universitas Tadulako. Dari peneilitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa dari 708
ruangan yang telah dievaluasi terdapat 136 ruangan yang nilai IKE-nya melebihi
standar IKE kategori efisien, yaitu dengan rincian 29 ruangan kategori agak boros, 42
ruangan kategori boros, dan 65 ruangan kategori sangat boros. Penelitian ini juga
menyimpulkan bahwa potensi penghematan yang dapat dilakukan Universitas
Tadulako adalah sebesar Rp17.686.222,- per bulan.
35
36
BAB III
GAMBARAN OBJEK PENELITIAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
1. Tugas dan fungsi unit organisasi terkait.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK.01/2014 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan, Kementerian Keuangan
mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang keuangan dan kekayaan negara
dalam
pemerintahan
untuk
membantu
Presiden
dalam
menyelenggarakan
36
37
yang
salah
satunya
adalah
penyelenggaraan
pengelolaan
barang
37
38
39
Negara di lingkungan Itjen, wewenang dan tanggung jawab hal tersebut ada
pada Sekretariat Itjen c.q. Bagian Umum dan Komunikasi Pengawasan. Tugas
dari unit tesebut adalah melaksanakan kegiatan komunikasi dan pelayanan
ketatausahaan pengawasan, protokoler dan kerumahtanggaan, pengadaan dan
pengelolaan barang milik negara, serta penugasan pengawasan dan
pengelolaan perjalanan dinas. Di internal Bagian Umum dan Komunikasi
Pengawasan sendiri terdapat Subbagian Kerumahtanggaan dan Protokoler
(Subbag. RTP) dan Subbagian Pengadaan dan Pengelolaan BMN (Subbag.
PPBMN) yang bertugas:
1) Subbag. RTP: melakukan pelaksanaan urusan protokoler, kerumahtanggaan,
akomodasi, pengangkutan, pemeliharaan inventaris kantor, pemeliharaan rumah
dan kendaraan dinas, dan penyiapan dokumen perjalanan dinas luar negeri.
2) Subbag. PPBMN: melakukan analisis dan penyusunan rencana kebutuhan,
pelaksanaan pengadaan, pencatatan, penyimpanan, penyaluran, pelaporan, dan
penghapusan barang milik negara dan barang persediaan, serta penyiapan
dokumen, pelaksanaan, dan pelaporan layanan pemilihan penyedia barang/jasa.
c. Badan Kebijakan Fiskal (BKF).
m.
39
40
STm ueg bla sk :au mgk aieanln k Mru ksa n a ujienr umv s ea nt a dAr ais lea smt i d, ap e n yg u sau n d an rn e nd oc ak nu ma pe n , gd a dn a n , d is t r ib u s i , p e m e l ih a r a n , d a n p e n g h a p u s a n B M N ,
RpLs aeu rymt aeanlpihe nlTarakP nsae gn gkaae n d la ryna n a dn inp ae sn .g a d a n .
206/PMK.01/2014
disebutkan
bahwa
DJKN
mempunyai
tugas
BMN yang ada di lingkungan DJKN berada pada Sekretariat Ditjen c.q.
Bagian Perlengkapan dan Bagian Umum. Kedua unit tersebut secara bersama-
40
41
B a g i n U m u c .q S u b a g i n R u m a h T n g a
Fungsional
Pranata
Komputer.
Berdasarkan
PMK
No.
41
42
w.
Bagian Tata Usaha c.q. Subbagian Umum merupakan unit yang memegang
wewenang dan tanggung jawab atas hal tersebut. Di dalam PMK No.
261/PMK.01/2014 disebutkan bahwa tugas dari Bagian Tata Usaha adalah
untuk memberikan pelayanan administratif kepada semua unsur di lingkungan
pusat. Subbagian Umum yang merupakan salah satu unit di bawah Bagian
Tata Usaha mempunyai tugas untuk melakukan penyusunan rencana
kebutuhan, pelaksanaan dan dokumentasi pengadaan, perjanjian/kontrak
dengan mitra kerja, penatausahaan dan akuntansi barang milik negara, urusan
penyimpanan dan pendistribusian, urusan inventarisasi dan penghapusan,
urusan rumah tangga, perjalanan dinas, pengajuan permintaan pembayaran,
pengelolaan keamanan ruangan dan barang inventaris, keprotokolan,
dokumentasi dan kearsipan, serta menindaklanjuti hasil pemeriksaan aparat
pengawasan fungsional dan pengawasan masyarakat.
2. Data gedung objek penelitian.
x.
berlokasi di kawasan Jakarta Pusat, yaitu di Jalan Dr. Wahidin dan Jalan
Lapangan Banteng Timur, Kel. Pasar Baru, Kec. Sawah Besar, terdapat
delapan unit eselon I yaitu Sekretariat Jenderal, Inspektorat Jenderal,
Direktorat Jenderal Anggaran, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan,
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Badan Kebijakan
42
43
Fiskal. Dua dari delapan unit eselon I tersebut, yaitu DJPB dan DJKN,
memiliki unit vertikal di daerah sehingga yang berada di lingkungan Kantor
Pusat Kementerian Keuangan tersebut adalah gedung dari kantor pusat unit
eselon I yang bersangkutan.
y.
Sebagaimana yang telah disebutkan, yang menjadi objek dari
penelitian ini adalah beberapa gedung yang ada di lingkungan Kantor Pusat
Kementerian Keuangan, yaitu Gedung Juanda I dan II, Gedung R.M.
Notohamiprodjo dan Jusuf Wibisono, serta Gedung Syafrudin Prawiranegara.
Berdasarkan Kartu Inventaris Barang (KIB) yang merupakan salah satu output
dari Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi BMN (SIMAK-BMN)
diketahui bahwa semua gedung yang menjadi objek penelitian ini berada
dalam penguasaan Sekretariat Jenderal. Dalam SIMAK-BMN, gedung-gedung
tersebut diklasifikasikan ke dalam bidang Bangunan Gedung, kelompok
Bangunan Gedung Tempat Kerja, sub kelompok Bangunan Gedung
Kantor, dan sub-sub kelompok Bangunan Gedung Kantor Permanen.
Berikut ini adalah penjelasan mengenai identitas dari gedung-gedung yang
menjadi objek penelitian ini.
a. Gedung Juanda I dan II.
z.
43
44
aa.
Keuangan, Wakil Menteri Keuangan, Sekretariat Jenderal, dan para Staf Ahli
Menteri Keuangan. Oleh karena itu, di dalam KIB tertulis bahwa status
penggunaan Gedung Juanda I adalah digunakan sendiri untuk operasional.
Sedangkan Gedung Juanda II digunakan sebagai kantor untuk Inspektorat
Jenderal dan Sekretariat Jenderal. Oleh karena itu, di dalam KIB tertulis
bahwa status penggunaannya adalah digunakan oleh satker lain dalam satu
Kementerian/Lembaga (K/L).
ab.
Dikarenakan Gedung Juanda I dan II berada dalam penguasaan
Setjen, maka untuk pencatatan dan pembayaran tagihan layanan jasa listriknya
dikelola oleh Bagian Rumah Tangga, Biro Umum, Setjen. Berdasarkan data
dari Biro Umum, kedua gedung tersebut menggunakan satu kWh meter secara
bersama-sama. Data lainnya tentang Gedung Juanda I dan II dapat dilihat
dalam tabel III.1.
ac. Tabel III.1 Data Gedung Juanda I dan II
ad.
N
ae. Identifikasi
ah.
1
al.
2
am.Jumlah Lantai
ap.
3
at.
au. Tahun
af. Juanda I
ag. Juanda II
aj. Setjen
Kemenkeu
ak. Setjen
Kemenkeu
an. 20
ar.
26.565 m2
av. 2007
44
ao. 20
as.
27.765 m2
aw. 2009
45
Perolehan
ax.
5
bc.
6
bd. Nama
Unit
Pengguna
ba. Rp266.739.45
0.948,be. Setjen
Kemenkeu
bb. Rp222.322.44
8.620,bf. Itjen dan
Setjen
Kemenkeu
bg. Sumber: Diolah dari Kartu Inventaris Barang dan database Biro Perlengkapan
Setjen.
b. Gedung R.M. Notohamiprodjo dan Jusuf Wibisono.
bh.
bk. Identifikasi
bl. R.M.
Notohamipro
djo
bn.
1
bp. Setjen
Kemenkeu
45
bm.
Jusuf
Wibisono
bq. Setjen
Kemenkeu
46
(UAKPB)
br.
2
bv.
3
bw.Luas Gedung
bz.
4
ca. Tahun
Perolehan
cd.
5
ci.
6
bt. 8
bx.
bu. 3
8.668 m2
by.
2.086 m2
cb. 1986
cc. 1990
cg. 42.110.229.85
3,-
ch. Rp10.878.787.
189,-
cj. Nama
Unit
Pengguna
ck. BKF
cl. Setjen
Kemenkeu
cm.Sumber: Diolah dari Kartu Inventaris Barang dan database Biro Perlengkapan
cn.
Dari
Tabel
Setjen.
III.2 diketahui
bahwa
Gedung
R.M.
46
47
cs. Identifikasi
ct. Syafrudin
Prawiranegara
cu.
1
cx.
2
da.
3
dd.
4
dg.
5
dk.
6
cz. 12
dc.
21.344 m2
df. 1995
dj. Rp109.307.915.805,-
47
dm.
DJKN dan
Pusintek
48
dn. Sumber: Diolah dari Kartu Inventaris Barang dan database Bagian
do.
Perlengkapan Setjen.
Dalam operasionalnya, Gedung Syafrudin Prawiranegara
digunakan oleh dua unit yang berbeda, yaitu DJKN dan Pusintek. Oleh karena
itu, status penggunaannya yang tercatat di dalam KIB diisi dengan keterangan
digunakan oleh satker lain dalam satu Kementerian/ Lembaga (K/L).
Berkenaan dengan pencatatan dan pembayaran tagihan layanan jasa listrik
yang digunakan, layaknya gedung lain yang berada di bawah penguasaan
Setjen, untuk Gedung Syafrudin Prawiranegara juga dilakukan oleh Bagian
Rumah Tangga, Biro Umum, Setjen.
B. Pedoman Efisiensi Energi untuk Gedung Kementerian Keuangan
dp.
Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penghematan Energi dan Air yang meminta
segenap pimpinan di jajaran pemerintahan untuk melakukan langkah-langkah
dan inovasi penghematan energi dan air di lingkungan instansi masing-masing,
Menteri Keuangan
kemudian
yang
Instruksi
Menteri
Keuangan
Nomor
12/IMK.01/2012
tentang
48
49
50
51
2) Lampu penerangan.
dv.
berikut:
a) Menggunakan lampu penerangan dengan hitungan 15 watt/1 m2 luas ruangan.
b) Pada ruang kerja dan lorong antar ruang, lampu penerangan hanya dihidupkan
apabila cahaya penerangan tidak mencukupi.
c) Mematikan seluruh lampu penerangan pada ruang kerja, ruang rapat, toilet, dapur
gudang, basement, dan mushola setelah selesai digunakan.
d) Menghidupkan lampu penerangan taman mulai pukul 18.00 dan mematikan pada
pukul 06.00 waktu setempat.
e) Penerangan saat malam hari hanya dihidupkan pada lokasi yang strategis untuk
keamanan gedung.
f) Pegawai yang melaksanakan kerja lembur, hanya menyalakan lampu pada
ruangan yang digunakan.
g) Memaksimalkan penerangan dari luar (cahaya matahari) dengan cara membuka
tirai.
h) Menggunakan lampu hemat energi dan tidak meletakkan barang yang
menghalangi cahaya lampu penerangan
3) Komputer.
dw.
ketentuan:
a) Menghidupkan komputer dan printer dimulai pada saat digunakan dan hanya
untuk keperluan dinas, lalu mematikan komputer dan printer pada saat
rneninggalkan ruang kerja dalam waktu lebih dari 1 jam.
b) Mematikan komputer (Central Processing Unit/CPU dan monitornya) dan printer
serta mencabut stop kontak listrik saat pulang kerja.
c) Disarankan menggunakan komputer dengan teknologi hemat energi.
4) Light emitting diode baliho dan running text.
51
52
dx.
LED Baliho dari running text dihidupkan hanya pada hari kerja,
a) Dihidupkan mulai pukul 05.30 dan dimatikan pada pukul 19.00 waktu setempat.
b) Pengoperasian lift pada jam kerja di gedung yang memiliki lebih dari 10 lantai,
diatur dengan pembagian berdasarkan jangkauan lift: sebagian untuk area bawah
dan sebagian lagi untuk area atas.
c) Penggunaan lift setelah pukul 19.00 waktu setempat dan pada hari libur hanya
difungsikan 1 (satu) lift mencakup semua lantai.
Apabila gedung memiliki lift lebih dari 1 unit, maka sebagian lift dimatikan,
yaitu:untuk hari Senin-Kamis pada pukul 08.00 s.d. 12.00 dan pukul 13.00 s.d.
17.00 waktu setempat; sedangkan untuk hari Jumat pukul 08.00 s.d. 11.00 dan
saat pembuangan sampah oleh petugas kebersihan setelah selesai jam kerja.
6) Alat elektronik lainnya.
dz.
berikut:
a) Mesin fotokopi dinyalakan mulai jam kerja dan dimatikan setelah jam kerja
selesai dengan cara mencabut kabel listrik dari stop kontak.
b) Tidak menggunakan alat-alat elektronik lainnya yang tidak berhubgngan
langsung dengan pekerjaan dinas, yaitu setrika, kompor, rice cooker teko,
pemanas air, microwave, pemanggang roti, dan televisi.
c) Pejabat Eselon I dan II dimungkinkan untuk menggunakan alat elektronik seperti
kulkas, dispenser, dan televisi di ruang kerja.
52
53
54
eb.
54
55
55
56
ec. BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Implementasi Kebijakan Efisiensi Energi pada Gedung Kantor Pusat
Kementerian Keuangan
1. Perbandingan kebijakan efisiensi energi di Kementerian Keuangan dengan
pedoman efisiensi energi dalam GREENSHIP.
Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dunia untuk mengurangi
laju perubahan iklim (climate change), hingga saat ini banyak pihak yang memberi
perhatian terhadap isu efisiensi energi pada gedung/bangunan. Keberadaan kebijakan
efisiensi energi yang diimplementasikan dalam pengelolaan suatu gedung pun kini
bukan lagi menjadi suatu hal yang baru.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam Bab II, saat ini di Indonesia sudah ada
berdiri Green Building Council Indonesia (GBCI) yang salah satu kegiatannya adalah
untuk melakukan sertifikasi bangunan hijau di Indonesia melaui sistem rating yang
dinamakan GREENSHIP. Di antara enam aspek yang menjadi penilaian oleh GBCI
terdapat satu aspek yang berfokus pada pelaksanaan efisiensi energi, yaitu aspek yang
kedua: Efisiensi Energi dan Refrigeran (Energy Efficiency & Refrigerant).
Perbandingan materi antara kebijakan efisiensi energi yang berlaku secara
56
57
internal untuk pengelolaan gedung di Kementerian Keuangan dan tolak ukur penilaian
GREENSHIP yang terkait aspek efisiensi energi dapat memberikan gambaran tentang
memadai atau tidaknya materi yang telah diatur dalam kebijakan tersebut. Pengaturan
di dalam IMK Nomor 12/IMK.01/2012 dan SE-19/MK.01/2012 dapat dikatakan
memadai jika mampu menjawab sembilan tolak ukur yang ada dalam GREENSHIP
untuk Bangunan Terbangun (Existing Building), yaitu sebagaimana yang nampak
dalam gambar berikut ini.
Gambar VI.1 Tolak Ukur Efisiensi Energi dan Refrigeran dalam GREENSHIP untuk
Bangunan Terbangun
L
P
M
T
S
E
O
o
i
y
p
n
e
l
n
t
e
s
i
t
r
S
s
c
m
i
e
g
a
u
i
n
m
y
t
E
m
z
g
i
e
n
a
,
E
M
o
e
B
d
o
n
R
r
g
d
u
R
n
e
E
e
r
i
a
n
y
E
l
f
c
g
t
n
e
n
f
y
o
d
w
E
e
i
r
a
m
r
n
c
m
P
i
M
b
g
i
e
n
a
l
s
y
r
g
i
e
s
E
s
f
n
i
M
n
c
i
a
t
E
o
a
y
o
r
e
n
r
m
d
n
e
g
B
i
a
r
y
u
C
n
g
e
i
g
o
c
y
m
P
l
e
n
e
d
o
t
n
i
r
t
f
n
o
o
g
R
l
P
r
e
t
l
m
E
a
n
r
n
e
o
r
c
e
g
o
m
y
m
P
i
e
s
r
s
i
f
o
r
n
m
i
a
n
g
n
c
e
58
58
59
Sementara itu, action plan dari manajemen puncak akan menjamin arah dari
implementasi kebijakan. Action plan itu sendiri seharusnya dibuat di awal
implementasi kebijakan karena dari situlah manajemen puncak dapat merinci berbagai
strategi dan tahapan kegiatan dalam upaya menerapkan kebijakan efisiensi energi di
gedung yang ditempati. Action plan juga memuat tahapan eksekusi kegiatan-kegiatan
yang perlu dilakukan terkait program yang akan dilakukan.
Selain surat pernyataan manajemen puncak, baik IMK maupun SE terkait
kebijakan efisiensi energi di Kementerian Keuangan juga tidak ada memuat ketentuan
yang meminta setiap unit untuk melakukan upaya sosialisasi atau kampanye dalam
rangka mendorong penghematan energi. Ketentuan ini juga diperlukan untuk
memastikan bahwa setiap unit melakukan upaya-upaya untuk menyebarluaskan inti
dari kebijakan.
b. Minimum Building Energy Performance.
Berkenaan dengan aspek ini, kinerja penghematan energi pada suatu gedung
akan dinilai berdasarkan nilai Intensitas Konsumsi Energi (IKE) gedung tersebut dan
kemudian dibandingkan dengan standar acuan yang telah ditetapkan GBCI. Nilai IKE
suatu gedung diukur berdasarkan konsumsi energinya pada rentang waktu tertentu
dibagi dengan luas gedung tersebut.
Dalam kebijakan di Kementerian Keuangan yang ada pada saat ini tidak
dikenal adanya konsep penilaian kinerja penghematan energi berdasarkan perhitungan
IKE sehingga tidak ada yang bisa dibandingkan dengan standar IKE minimal yang
telah ditetapkan GBCI. Keluaran dari kebijakan energi saat ini adalah berupa data atau
catatan penggunaan energi listrik dalam satuan kWh yang belum bisa dijadikan
ukuran untuk menentukan apakah dengan konsumsi energi sejumlah data tersebut
59
60
gedung termasuk kategori efisien atau tidak. Oleh karena itu, penting juga untuk
menyertakan aturan mengenai pengukuran efisiensi energi dengan menggunakan
pendekatan IKE tersebut ke dalam perangkat kebijakan yang diberlakukan untuk
pengelolaan gedung di lingkungan Kementerian Keuangan.
c. Optimized Efficiency Building Energy Performance.
Masih berkaitan dengan poin sebelumnya, aspek tolak ukur yang satu ini juga
berhubungan dengan nilai IKE gedung. Jika pada aspek sebelumnya, GBCI akan
mengukur apakah IKE suatu gedung berada dalam batas toleransi atau tidak, maka
untuk aspek tolak ukur ini GBCI ingin menilai optimalisasi efisiensi energi yang
berhasil dicapai. Setiap sejumlah penurunan IKE yang berhasil dicapai, gedung
tersebut akan mendapat nilai tambahan sesuai standar yang telah ditetapkan.
Berhubung kebijakan di internal Kementerian Keuangan tidak mengenal
konsep IKE, maka juga tidak ada ketentuan untuk melakukan pemantauan terhadap
penurunan IKE yang berhasil dicapai. Berdasarkan IMK, pemantauan terhadap
kinerja penghematan energi hanya dilihat dari besaran presentase kenaikan atau
penurunan pemakaian daya dan jasa listrik pada periode tertentu (format laporan
berdasarkan IMK disajikan dalam Lampiran 1). Sedangkan berdasarkan SE19/MK.1/2012 pemantauan hanya difokuskan kepada besaran anggaran yang berhasil
dihemat saja.
d. Testing, Recommissioning or Retrocommissioning.
Agar dapat memperoleh tambahan nilai dari aspek ini, penting bagi
manajemen
gedung
untuk
melakukan
pengujian
(komisioning
ulang
atau
60
61
61
62
bentuk-bentuk kegiatan kontrol dan monitoring yang harus dilakukan. IMK Nomor
12/IMK.01/2012 memuat ketentuan bahwa perlu dibentuk Satuan Tugas di setiap
level unit eselon yang bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
penghematan energi dan air di lingkungan unitnya masing-masing.
Sehubungan dengan hal ini, apabila perangkat kebijakan efisiensi energi di
Kementerian Keuangan juga memberikan aturan untuk memasang Display Energy,
hal ini akan menjadi dorongan tersendiri bagi pengelola gedung untuk meningkatkan
kinerja efisiensi gedung yang bersangkutan. Pengaruh positif ini dapat terjadi karena
tentu saja tidak ada satu pengelola gedung pun yang ingin dicap buruk oleh publik
berdasarkan tampilan data kinerja efisiensi energi yang jelek sehingga mereka pun
pada akhirnya akan memaksimalkan upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk
mengoptimalkan penerapan kebijakan efisiensi energi dalam pengelolaan gedung
yang ditempatinya.
g. Operation and Maintenance.
Aspek penilaian ini terkait dengan ada atau tidaknya panduan pengoperasian
dan pemeliharaan seluruh sistem AC dan peralatan lainnya serta laporan bulanan
untuk kegiatan pengoperasian dan pemeliharaan sistem gedung itu sendiri. Pengaturan
sebagaimana yang terdapat dalam IMK Nomor 12/IMK.01/2012 dan SE19/MK.01/2012
belum
ada
menyebutkan
bahwa
pengelola
gedung
harus
62
63
Untuk mendapatkan nilai dari aspek ini, suatu gedung harus mampu
menyediakan sejumlah energi yang berasal dari energi terbarukan. Kebijakan efisiensi
energi dalam pengelolaan gedung yang dimiliki Kementerian Keuangan tidak ada
mengatur terkait perlunya penyediaan sejumlah energi yang berasal dari energi
terbarukan. Sebagai salah satu bentuk upaya efisiensi energi, seharusnya hal ini juga
menjadi bagian dari kebijakan yang dimiliki oleh Kementerian Keuangan sehingga
dapat mendorong setiap unit untuk mengurangi penggunaan listrik dan beralih ke
penggunaan energi terbarukan.
i. Less Energy Emission.
Aspek ini menghendaki agar manajemen gedung melakukan pengukuran
terhadap penurunan emisi gas karbon yang berhasil dicapai (CO2 emission reduction
measures). Akan tetapi perangkat kebijakan yang ada saat ini tidak ada yang memuat
ketentuan untuk mengakomodasi aspek ini. Baik IMK maupun SE tidak ada yang
menyebutkan bahwa pengelola gedung perlu melakukan pengukuran dimaksud,
sehingga
dalam
implementasinya
Kementerian
Keuangan
tidak
melakukan
63
64
b.
ruangan dimaksud;
mengirimkan perangkat kebijakan dimaksud via surat elektronik (email) kepada para
pegawai yang ada di unit tersebut. Bagi unit kerja yang memiliki database alamat
surat elektronik para pegawai di lingkungannya, strategi ini dipilih karena
dirasakan lebih efektif untuk menyampaikan informasi hingga ke tangan para
c.
pegawai;
menempelkan di papan pengumuman. Pada beberapa unit penyampaian kebijakan
kepada para pegawai juga dilakukan dengan menempelkan kebijakan tersebut di
d.
64
65
65
66
66
67
h. Teknisi yang ditempatkan pada setiap gedung akan melakukan pengecekan secara
berkala untuk menghindari terjadinya kebocoran instalasi, kerusakan AC, dan
memastikan kondisi mesin AC masih layak pakai.
Meskipun sudah terdapat beberapa langkah nyata yang diterapkan sebagai
bentuk efisiensi energi, terdapat beberapa hal yang bisa dikritisi dari implementasi
yang saat ini berjalan, yaitu:
a. Pengaturan tata udara ini belum konsisten diterapkan pada semua gedung. Masih
terdapat gedung yang pengaturan suhu ruangannya tidak disesuaikan sebagaimana
mestinya sehingga justru terlalu dingin. Padahal perbedaan satu derajat saja pada
tingkat temperatur ruangan akan berpengaruh pada konsumsi energi yang sangat
signifikan.
b. Masih terdapat kebiasaan pegawai yang membiarkan pintu dan jendela yang
menghadap ke luar terbuka terus-menerus sehingga mengganggu kinerja AC yang
sedang dalam keadaan hidup.
4. Implementasi pada sistem tata cahaya.
Selain pengaturan tata udara, pengaturan terhadap lampu penerangan pada
gedung juga berpengaruh besar pada porsi konsumsi listrik suatu gedung. Data dari
The U.S. Energy Information Administration sebagaimana yang dikutip oleh E Source
(2010, 1) menunjukkan bahwa aspek penerangan (lighting) bertanggung jawab atas
39% penggunaan energi listrik pada sebuah gedung kantor. Oleh karena itu,
pengaturan terhadap sistem tata cahaya gedung juga harus mendapat perhatian lebih.
Hasil wawancara yang telah dilakukan memberikan gambaran tentang
implementasi kebijakan efisiensi energi pada sistem tata cahaya di gedung-gedung
Kementerian Keuangan sebagai berikut:
67
68
a. Sama halnya dengan sistem tata udara, pengawasan terhadap sistem tata cahaya
juga dilaksanakan oleh teknisi yang telah ditempatkan oleh Setjen pada masingmasing gedung tersebut.
b. Teknisi yang bertugas telah mengurangi jumlah penggunaan lampu yang ada di
lorong dan ruang kerja. Misalnya jika dalam kondisi biasa pada satu kap lampu
menggunakan 3 buah lampu, maka salah satu lampu dilepas untuk efisiensi
energi.
c. Pada ruang kerja dan lorong antar ruang, lampu penerangan hanya dihidupkan
apabila cahaya penerangan tidak mencukupi.
d. Pegawai yang melaksanakan kerja lembur, hanya menyalakan lampu pada
ruangan yang digunakan.
Meskipun demikian, masih terdapat hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan dalam
rangka menekan penggunaan energi dari aspek lampu penerangan, antara lain:
a. Pengguna gedung masih terbiasa untuk menyalakan lampu pada tempat-tempat
yang sebenarnya tidak sedang digunakan, misalnya pada gudang, ruang rapat,
toilet, dan mushola. Seharusnya begitu penggunaan fasilitas tersebut telah selesai,
pegawai yang bersangkutan segera mematikan lampu yang digunakan.
b. Penerangan dari luar (cahaya matahari) masih kurang dimaksimalkan karena para
pegawai masih memilih menutup tirai pada siang hari dan tetap mengandalkan
pencahayaan dari lampu gedung.
5. Implementasi pada peralatan pendukung.
Implementasi kebijakan efisiensi energi pada peralatan pendukung yang paling
terlihat adalah adanya pengaturan penggunaan lift. Setjen melalui teknisi pada setiap
gedung telah menjadwalkan pengoperasian lift pada waktu-waktu tertentu. Hal ini
menyebabkan tidak semua lift dinyalakan sepanjang waktu, melainkan dikondisikan
68
69
70
tersebut berada dalam penguasaan Setjen maka terdapat kesulitan dalam koordinasi
pengawasan pelaksanaan efisiensi energi sesuai ketentuan yang ada.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa unit-unit yang menempati gedung
tersebut lebih banyak bertindak pasif dalam melakukan pengawasan pelaksanaan
efisiensi energi. Pengaturan-pengaturan penting seperti mengatur sistem tata udara
dan penjadwalan operasional lift dilakukan atas arahan Setjen kepada teknisi yang ada
di setiap gedung. Pelaporan dari unit-unit yang menempati gedung tersebut juga tidak
berjalan dengan baik dikarenakan pencatatan dan pembayaran tagihan listrik
dilakukan oleh pihak Setjen. Bahkan beberapa unit yang menempati gedung-gedung
tersebut, seperti DJKN dan Pusintek, tidak mengetahui secara persis berapa
penggunaan listrik yang dihabiskan dalam operasional gedung yang ditempatinya.
B. Hasil Implementasi Kebijakan
Ketika suatu kebijakan dibuat tentu saja ada hasil atau sasaran yang ingin
dicapai dari penerapan kebijakan tersebut. Begitu pula halnya dengan penerapan
kebijakan efisiensi energi dalam pengelolaan gedung , hasil atau sasaran yang
diinginkan adalah agar tecapai efisiensi atau penghematan energi pada gedung yang
bersangkutan. Berdasarkan pendekatan pedoman yang ada pada IMK No.
12/PMK.01/2012, hasil dari implementasi kebijakakan tersebut dapat dipantau dari
konsumsi listrik yang dihabiskan oleh suatu gedung.
Dalam pendekatan yang lain, yaitu sebagaimana yang digunakan oleh GBCI,
konsumsi listrik tersebut dihubungkan dengan luas gedung untuk diperoleh nilai
Intensitas Konsumsi Energi (IKE) yang menunjukkan tingkat efesiensi energi gedung
yang bersangkutan. Berikut ini dijelaskan mengenai hasil implementasi kebijakan
70
71
72
tahun 2013 adalah 941.092 kWh/bulan, sedangkan rata-rata tahun 2014 adalah
962.817 kWh/bulan. Data konsumsi listrik Gedung Juanda I dan II secara lebih rinci
disajikan dalam tabel pada Lampiran 3.
Grafik IV.1 Konsumsi Listrik Gedung Juanda I dan II
1,150,000
1,100,000
1,050,000
1,000,000
950,000
900,000
850,000
k
800,000
W
h
750,000
700,000
650,000
600,000
2013
2014
Sumber: Diolah dari database Bagian Rumah Tangga, Biro Umum, Setjen.
Grafik konsumsi listrik Gedung Juanda I dan II sebagaimana yang nampak
pada Grafik IV.1 memberikan gambaran bahwa konsumsi listrik untuk periode 2013
dan 2014 sama-sama menunjukkan ketidakstabilan. Hal ini nampak dari garis grafik
yang cenderung naik turun dari satu bulan ke bulan berikutnya. Akan tetapi, yang
paling dirasakan perbedaannya adalah konsumsi listrik pada periode akhir tahun 2014
bukannya menunjukkan adanya penghematan tetapi justru mengalami peningkatan,
yaitu dimulai sejak bulan Agustus hingga Desember 2014.
b. Gedung R.M. Notohamiprodjo dan Gedung Jusuf Wibisono.
72
73
2013
2014
Sumber: Diolah dari database Bagian Rumah Tangga, Biro Umum, Setjen.
Dari tampilan grafik tersebut dapat disimpulkan bahwa konsumsi listrik
Gedung R.M. Notohamiprodjo dan Jusuf Wibisono relatif stabil sepanjang tahun 2013
dan 2014, berbeda dengan gambaran yang diperoleh dari grafik Gedung Juanda I dan
II. Rata-rata konsumsi listrik pada tahun 2014 lebih rendah jika dibandingkan dengan
tahun 2013. Sepanjang tahun 2013 Gedung R.M. Notohamiprodjo dan Jusuf Wibisono
menggunakan listrik rata-rata sebesar 178.780 kWh/bulan, sedangkan rata-rata
penggunaan listrik pada tahun 2014 sebesar 172.137 kWh/bulan. Data konsumsi
listrik secara lebih rinci disajikan pada Lampiran 3.
c. Gedung Syafrudin Prawiranegara.
73
74
k
W
h
2013
2014
Sumber: Diolah dari database Bagian Rumah Tangga, Biro Umum, Setjen.
Grafik IV.3 menunjukkan bahwa konsumsi listrik pada Gedung Syafrudin
Prawiranegara sepanjang tahun 2013 relatif stabil. Begitu pula halnya dengan
penggunaan listrik sepanjang tahun 2014. Rata-rata penggunaan listrik pada tahun
2013 adalah 465.135 kWh/bulan, sedangkan tahun 2014 sebesar 332.475 kWh/bulan.
Berdasarkan nilai rata-rata tersebut dan dengan diperkuat oleh tampilan data pada
Grafik IV.3 dapat disimpulkan bahwa Gedung Syafrudin Prawiranegara berhasil
melakukan penghematan energi listrik sepanjang tahun 2014. Hal ini dapat dibuktikan
dengan garis grafik untuk tahun 2014 sepenuhnya tidak pernah berada di atas garis
grafik yang menunjukkan konsumsi listrik tahun 2013. Data konsumsi listrik Gedung
Syafrudin Prawiranegara secara lebih rinci disajikan pada Lampiran 3.
2. Pengukuran Intensitas Konsumsi Energi (IKE).
Berdasarkan data konsumsi energi listrik yang tercatat setiap bulannya dan
data luas gedung yang dimiliki, maka dapat diketahui besarnya Intensitas Konsumsi
Energi (IKE) dari masing-masing gedung. Sebagaimana yang telah disebutkan pada
Bab II, IKE merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan besarnya jumlah
74
75
penggunaan energi tiap meter persegi luas kotor (gross) bangunan dalam suatu kurun
waktu tertentu. Dengan demikian, IKE dari suatu gedung dapat dihitung berdasarkan
rumus berikut:
Konsumsi Listrik
IKE=
Luas Gedung
Dalam perhitungan tersebut, konsumsi listrik dinyatakan dalam satuan kWh (kilowatthour) dan luas bangunan dinyatakan dalam satuan meter persegi (m2).
Setelah diperoleh nilai IKE dari masing-masing gedung, tingkat efisiensi
energi dari gedung yang bersangkutan dapat diketahui melalui pengklasifikasian
sesuai dengan kriteria yang ada. Sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam Bab II,
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2012 tentang
Penghematan
Pemakaian
Tenaga
Listrik
memberikan
pedoman
dalam
mengklasifikasikan tingkat efisiensi energi pada suatu gedung dalam periode bulan
tertentu. Kriteria untuk klasifikasi kersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel IV.1. Kriteria Konsumsi Energi Spesifik untuk Gedung Perkantoran Ber-AC
Predikat
Sangat Efisien
Efisien
Cukup Efisien
Boros
Sumber: Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2012
tentang Penghematan Pemakaian Tenaga Listrik
Sedangkan untuk pengukuran tingkat efisiensi secara tahunan dapat menggunakan
batas maksimal IKE yang digunakan oleh Green Building Council Indonesia (GBCI)
sebagai tolak ukur penilaian rating bangunan hijau yang terkait dengan aspek efisiensi
energi, yaitu 250 kWh/m2/tahun untuk gedung perkantoran.
Hanya dengan melihat data konsumsi listrik dari satu periode ke periode
berikutnya tidak akan mampu memberikan gambaran sebenarnya mengenai tingkat
75
76
efisiensi energi gedung tersebut. Pada periode tertentu suatu gedung bisa saja berhasil
menurunkan konsumsi listriknya sehingga dinilai telah sukses melakukan
penghematan energi. Akan tetapi, konsumsi listrik yang menurun pada periode
tersebut belum tentu menunjukkan kinerja efisiensi energi yang bagus dari gedung
yang bersangkutan. Untuk itulah diperlukan penghitungan nilai Intensitas Konsumsi
Energi sesuai dengan konsep yang telah dijelaskan.
a. Gedung Juanda I dan II.
Berdasarkan data gedung yang telah disajikan dalam Bab III, telah diketahui
bahwa luas Gedung Juanda I adalah 26.565 m2 dan luas Gedung Juanda II adalah
27.765 m2, sehingga luas total keduanya adalah 54.330 m2. Dengan adanya data luas
gedung dan data konsumsi listrik pada gedung yang bersangkutan, maka kinerja
efisiensi untuk Gedung Juanda I dan II dapat ditentukan dengan melakukan
perhitungan nilai IKE gedung tersebut. Perhitungan nilai IKE untuk Gedung Juanda I
dan II sebagaimana yang disajikan dalam Tabel IV.2.
Tabel IV.2. Kinerja Efisiensi Energi Gedung Juanda I dan II
Bulan
Januari
Konsumsi Listrik
(kWh)
2013
2014
1.034.440 1.008.100
IKE (kWh/m2)
2013
19,04
Ket.
Boros
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
2014
18,56
Februari
812.560
827.500
14,96
Maret
981.200
830.400
18,06
April
865.600
929.100
15,93
Mei
1.011.000
941.000
18,61
Boros
17,32
Juni
910.180
921.000
16,75
Cukup
Efisien
16,95
Juli
1.010.120
999.800
18,59
Boros
18,40
76
15,23
15,28
17,10
Ket.
Boros
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
77
Agustus
960.150
783.700
17,67
Septembe
r
800.550
1.006.600
14,73
Oktober
944.200
1.043.800
17,38
Novembe
r
1.084.900
1.131.400
19,97
Desember
878.200
1.131.400
16,16
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
14,42
Cukup
Efisien
18,53
Boros
19,21
Boros
Boros
20,82
Boros
Cukup
Efisien
20,82
Boros
Sumber: Diolah dari database Bagian Rumah Tangga, Biro Umum, Setjen.
Tabel IV.2 menunjukkan bahwa selama tahun 2013, Gedung Juanda I dan II
dikategorikan pada level Boros sebanyak empat kali, yaitu pada bulan Januari, Mei,
Juli, dan November. Kinerja efisiensi gedung mulai membaik dan stabil pada awal
tahun 2014, yaitu sejak bulan Februari s.d. Agustus, karena mampu mempertahankan
IKE di level Cukup Efisien. Sayangnya capaian ini tidak mampu dipertahankan
pada bulan-bulan berikutnya karena nilai IKE menunjukkan peningkatan sampai
tergolong pada level Boros.
Selain untuk mengukur kinerja efisiensi gedung setiap bulannya, nilai IKE
juga dapat digunakan untuk mengukur kinerja efisiensi gedung per tahun. Untuk itu,
data yang diperlukan bukan lagi data konsumsi per bulan, melainkan data konsumsi
energi per satu tahun. Pada Gedung Juanda I dan II, total konsumsi listrik tahun 2013
adalah sebesar 11.293.100 kWh, sehingga nilai IKE tahun 2013 adalah 207,86
kWh/m2. Sedangkan total konsumsi listrik tahun 2014 adalah sebesar 11.553.800
kWh, sehingga nilai IKE tahun 2014 adalah 212,16 kWh/m2. Berdasarkan standar
GBCI, kinerja efisiensi energi Gedung Juanda I dan II pada tahun 2013 dan 2014
masih tergolong efisien atau berada dalam batas yang ditoleransi karena berada di
bawah 250 kWh//m2.
77
78
Bulan
Konsumsi Listrik
(kWh)
2013
2014
IKE (kWh/m2)
2013
Januari
182.320
160.640
16,95
Februari
168.080
163.880
15,63
Maret
199.560
156.440
18,56
April
166.120
166.080
15,45
Mei
187.600
174.840
17,44
78
Ket.
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Boros
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
2014
14,94
15,24
14,55
15,44
16,26
Ket.
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
79
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Juni
175.024
172.040
16,28
16,00
Juli
183.912
185.840
17,10
Agustus
182.944
137.760
17,01
September
143.080
173.920
13,30
Efisien
16,17
Oktober
181.720
181.560
16,90
Cukup
Efisien
16,88
November
203.160
196.320
18,89
Boros
18,26
Desember
171.840
196.320
15,98
Cukup
Efisien
18,26
17,28
12,81
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Sumber: Diolah dari database Bagian Rumah Tangga, Biro Umum, Setjen.
Dalam pengukuran selama setahun, Gedung R.M. Notohamiprodjo dan
Gedung Jusuf Wibisono menghabiskan daya listrik sebesar 2.145.360 kWh pada tahun
2013 dan 2.065.640 pada tahun 2014. Jika dibagi dengan luas gedung, maka diperoleh
nilai IKE tahun 2013 sebesar 199,49 kWh/m2 dan tahun 2014 sebesar 192,08 kWh/m2.
Dengan membandingkan terhadap tolak ukur GBCI, baik performa tahun 2013
maupun 2014, keduanya tergolong efisien atau berada dalam batas yang ditoleransi
karena berada di bawah 250 kWh//m2.
c. Gedung Syafrudin Prawiranegara.
Berdasarkan data dari Setjen, Gedung Syafrudin Prawiranegara yang memiliki
12 lantai ini memiliki luas sebesar 21.344 m 2. Data luas gedung ini dan ditambah data
konsumsi listrik yang ada kemudian dapat digunakan untuk mengukur kinerja
efisiensi energi gedung tersebut berdasarkan konsep IKE. Selanjutnya pengukuran
kinerja efisiensi energi yang dilakukan untuk Gedung Syafrudin Prawiranegara dapat
dilihat dalam tabel IV.4.
Tabel IV.4. Kinerja Efisiensi Energi Gedung Syafrudin Prawiranegara
79
80
Bulan
Konsumsi Listrik
(kWh)
2013
2014
IKE (kWh/m2)
2013
Ket.
2014
Januari
397.560
374.820
18,63
Boros
17,56
Februari
455.616
324.000
21,35
Boros
15,18
Maret
459.324
285.900
21,52
Boros
13,39
April
436.920
309.960
20,47
Boros
14,52
Mei
518.340
327.420
24,29
Boros
15,34
Juni
480.930
317.880
22,53
Boros
14,89
Juli
489.630
350.460
22,94
Boros
16,42
Agustus
Septemb
er
460.320
264.240
21,57
Boros
12,38
402.180
339.360
18,84
Boros
15,90
Oktober
510.840
355.500
23,93
Boros
16,66
525.660
370.080
24,63
Boros
17,34
444.300
370.080
20,82
Boros
17,34
Novemb
er
Desembe
r
Ket.
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Cukup
Efisien
Sumber: Diolah dari database Bagian Rumah Tangga, Biro Umum, Setjen.
Tabel IV.4 memberikan gambaran bahwa terdapat perbedaan yang sangat
signifikan antara kinerja efisiensi energi gedung pada tahun 2013 dan 2014.
Sepanjang tahun 2013 diketahui ternyata tingkat efisiensi energi pada Gedung
Syafrudin Prawiranegara sepenuhnya berada pada level Boros. Akan tetapi, terjadi
perubahan yang sangat signifikan pada tahun 2014 dimana tidak lagi terdapat nilai
IKE yang berada pada level Boros. Sebaliknya pada bulan Maret dan Agustus 2014
justru berada pada level Efisien, sementara sisanya berada pada level Cukup
Efisien.
80
81
82
mampu menurunkan besaran konsumsi energi listrik hingga jumlah tertentu. Untuk
lebih jelasnya, perhitungan potensi efisiensi energi yang bisa diraih oleh setiap
gedung jika berhasil menurunkan IKEnya hingga ke level Efisien bisa dilihat dalam
tabel berikut ini.
Tabel IV.5 Perhitungan Potensi Efisiensi Energi Level 1
Nama Gedung
RataRata
IKE
2014
Ket.
Minimal
IKE untuk
Level
Efisien
Selisi
h IKE
Luas
(m2)
Potensi
Efisiensi
Per
Bulan
(kWh)
Juanda I dan II
17,72
Cukup
Efisien
13,99
3,73
54.33
0
202.651
R.M.
Notohamiprodjo
dan Jusuf Wibisono
16,01
Cukup
Efisien
13,99
2,02
10.75
4
21.723
Syafrudin
Prawiranegara
15,58
Cukup
Efisien
13,99
1,59
21.34
4
33.937
Sumber: Diolah dari database Bagian Rumah Tangga, Biro Umum, Setjen.
Dalam kurun waktu tahun 2014, rata-rata nilai IKE per bulan untuk setiap
gedung tersebut menunjukkan level Cukup Efisien. Jika merujuk pada kriteria yang
ada, satu level yang lebih baik dari Cukup Efisien adalah level Efisien dan itu
diberikan untuk nilai IKE mulai dari 8,5 sampai dengan lebih kecil dari 14. Dengan
demikian, agar naik ke level Efisien minimal nilai IKE yang harus diraih adalah
13,99. Selisih yang muncul antara nilai IKE tersebut dengan rata-rata IKE per bulan
selanjutnya dapat digunakan untuk menghitung potensi efisiensi per bulan setelah
dikalikan dengan luas total masing-masing gedung.
Tabel IV.6 Perhitungan Potensi Efisiensi Energi Level 2
Nama Gedung
RataRata
IKE
Ket.
Minimal
IKE untuk
Level
82
Selisi
h IKE
Luas
(m2)
Potensi
Efisiensi
Per
83
2014
Sangat
Efisien
Bulan
(kWh)
Juanda I dan II
17,72
Cukup
Efisien
8,49
9,23
54.33
0
501.465
R.M.
Notohamiprodjo
dan Jusuf Wibisono
16,01
Cukup
Efisien
8,49
7,52
10.75
4
80.871
Syafrudin
Prawiranegara
15,58
Cukup
Efisien
8,49
7,09
21.34
4
151.329
Sumber: Diolah dari database Bagian Rumah Tangga, Biro Umum, Setjen.
Potensi tersebut akan semakin besar jika pengelola gedung mampu
menurunkan nilai IKE hingga ke level selanjutnya, yaitu Sangat Efisien.
Berdasarkan standar yang ada, suatu gedung dikategorikan sebagai level Sangat
Efisien jika nilai IKEnya lebih kecil dari 8,5. Maka untuk perhitungan kali ini, nilai
IKE minimal yang dijadikan patokan adalah 8,49. Dengan cara perhitungan yang
sama seperti sebelumnya, maka akan didapatkan potensi dari efisiensi energi yang
bisa diraih apabila gedung-gedung tersebut mampu melakukan optimalisasi dalam
penerapan kebijakan efisiensi energi hingga ke level Sangat Efisien.
Berdasarkan hasil perhitungan yang ditampilkan dalam Tabel IV.5 dan IV.6,
dapat dipahami bahwa peningkatan optimalisasi implementasi kebijakan efisiensi
energi dalam pengelolaan gedung di Kementerian Keuangan merupakan hal yang
penting untuk diupayakan. Realisasi terhadap potensi tersebut akan berkontribusi
positif terhadap lingkungan (sustainabilty) dan sekaligus meningkatkan porsi
penghematan biaya penggunaan daya/jasa listrik (pengamanan anggaran) yang
digunakan oleh Kementerian Keuangan. Tidak perlu untuk muluk-muluk hingga harus
meningkat ke level Sangat Efisien karena di level Efisien saja sudah ada potensi
besar untuk penghematan.
83
84
84
85
M a sa l
a h
Pe n d
a naas a
M
a la
n
h S D M
d a n
B u d a y a
O p t im a l
is a s i
E fi s i e n s
i E n e rg i
M a sa l
a h
M a s a la h
K e b ija
M a n a je
ka n
m e n
G e d u n g
85
86
awal penyusunan suatu kebijakan apabila ternyata kebijakan yang bersangkutan tidak
dirancang dan dibuat dengan baik.
Pada bagian awal Bab IV telah dibahas mengenai perbandingan kebijakan
efisiensi energi yang diberlakukan untuk pengelolaan gedung di Kementerian
Keuangan dengan pedoman efisiensi energi yang terdapat dalam sistem rating
GREENSHIP. Perbandingan tersebut menunjukkan bahwa ternyata masih banyak halhal yang belum tercakup dalam perangkat kebijakan yang ada saat ini.
Selain permasalahan dalam materi kebijakan, dalam wawancara yang telah
dilakukan diungkapkan bahwa sistem yang tercipta dari kebijakan tersebut menjadi
salah satu batu sandungan dalam pencapaian efisiensi energi pada gedung-gedung
Kementerian Keuangan. Pertama, sistem pelaksanaan efisiensi energi yang dirancang
dalam kebijakan tersebut masih tidak jelas dalam hal tindak lanjut pelaporan. Kedua,
sistem yang ada saat ini tidak memuat adanya dorongan atau stimulus untuk
mengoptimalkan penerapan kebijakan.
Berdasarkan kebijakan saat ini, setiap unit akan diminta untuk mencatat dan
melaporkan konsumsi energi yang dihabiskan gedung masing-masing. Kemudian
yang menjadi permasalahan adalah bagaimana tindak lanjut atas pencatatan dan
pelaporan tersebut. Pada sistem yang baik, seharusnya pencatatan dan pelaporan akan
ditindaklanjuti dengan evaluasi, sehingga ada langkah perbaikan yang bisa dilakukan.
Namun pada kenyataannya hal tersebut tidak terjadi dalam sistem kebijakan yang ada
saat ini. Dengan kondisi yang seperti ini maka tidak heran jika pengelolaan gedung
belum bisa mencapai efisiensi energi secara optimal.
Dari hasil wawancara yang dilakukan, diperoleh informasi bahwa meskipun
selama ini ada catatan mengenai konsumsi energi pada gedung-gedung di lingkungan
Kantor Pusat Kementerian Keuangan, tetapi tidak ada evaluasi dan arahan lebih lanjut
86
87
dari pihak yang berwenang terhadap pihak yang menghuni gedung. Sekalipun pada
periode tersebut ada indikasi inefisiensi energi. Dalam kasus lain, pihak yang
menggunakan gedung bahkan tidak mengetahui sejauh apa kinerja efisiensi energi
gedung yang digunakannya karena pencatatan dilakukan oleh pihak lain yang
merupakan pemilik dari gedung tersebut.
Selain masalah tidak adanya tindak lanjut dan evaluasi, sistem yang ada saat
ini juga tidak menyediakan adanya dorongan atau stimulus untuk mengoptimalkan
penerapan kebijakan efisiensi energi. Dorongan tersebut sebenarnya bisa diciptakan di
dalam sistem dengan memasukkan unsur insentif ataupun sanksi. Tanpa adanya
insentif atau sanksi terhadap capaian efisiensi energi dari suatu gedung, maka
implementasi kebijakan hanya akan berjalan seadanya saja.
Beberapa hal yang dibahas dalam permasalahan ini merupakan termasuk ke
dalam bahasan faktor komunikasi dan sumber daya menurut faktor kritis yang
diutarakan Edwards III. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Bab II, indikator
keberhasilan faktor komunikasi meliputi tiga hal yaitu transmisi (saluran
penyampaian), kejelasan kebijakan, dan konsistensi. Khusus untuk bahasan kali ini,
indikator yang terkait dengan masalah kebijakan adalah kejelasan. Selain komunikasi,
faktor lain yang mempengaruhi implementasi adalah sumber daya, yaitu terkait
informasi mengenai cara melaksanakan kebijakan efisiensi energi. Baik faktor
komunikasi maupun sumber daya, keduanya perlu mendapatkan perhatian lebih agar
implementasi kebijakan efisiensi energi bisa berjalan lebih optimal.
2. Masalah pihak manajemen gedung.
Pengawasan terhadap pelaksanaan efisiensi energi suatu gedung akan
melibatkan peranan dari pihak manajemen gedung. Pada gedung-gedung Kementerian
87
88
88
89
dan mendapat perhatian dari para implementor atau pihak-pihak yang terkait agar
implementasinya dapat berhasil. Oleh karena itu diperlukan penyebarluasan informasi
menganai
kebijakan,
melalui
kegiatan
sosialisasi,
mengedarkan
selebaran,
menempelkan sticker, dan lain-lain. Semua upaya tersebut harus dilakukan secara
berkesinambungan agar informasinya melekat di diri para implementor.
Hasil wawancara yang dilakukan memberi informasi bahwa beberapa hal yang
sudah dilakukan dalam rangka menyebarluaskan kebijakan ini adalah melalui
pengiriman email ke seluruh pegawai, penempelan kebijakan di papan-papan
pengumuman, dan mengedarkan SE di ruang kerja. Meskipun demikian, para pegawai
dirasakan tetap kurang menaruh perhatian terhadap informasi-informasi tersebut.
Dengan alasan inilah mengapa seharusnya kebijakan tersebut tetap disebarluaskan
secara terus-menerus dan berkesinambungan. Manajemen gedung sebagai pihak yang
bertanggung jawab harus mempunyai komitmen untuk menerapkan beberapa
kombinasi beberapa saluran/media sekaligus agar informasi bisa tersampaikan ke
semua pegawai.
Jika dilihat dari sudut pandang Edwards III, permasalahan yang muncul terkait
pihak manajemen gedung ini berhubungan dengan faktor kritis yang pertama dan
ketiga, yaitu komunikasi dan disposisi. Faktor komunikasi menyangkut adanya
kejelasan cara yang mampu meningkatkan komitmen manajemen gedung untuk
mengimplementasi kebijakan, sedangkan faktor disposisi menyangkut bagaimana
sikap manajemen gedung dalam menyikapi adanya kebijakan. Baik atau tidaknya
kedua faktor kritis ini akan mempengaruhi terhadap optimalisasi implementasi
kebijakan efisiensi energi.
89
90
merupakan
kegiatan
yang
bersinggungan
dengan
ranah
budaya
90
91
jabatan yang diembannya, misalnya penggunaan alat elektronik yang tidak didapati di
ruang pegawai biasa dan ruang kerja yang lebih luas. Penerapan efisiensi energi yang
dilakukan oleh pimpinan terhadap fasilitas-fasilitas yang diterimanya akan
memberikan pengaruh positif terhadap implementasi di level bawahan.
Meskipun demikian, melakukan perubahan budaya bukanlah sesuatu yang
mustahil. Permasalahan yang terkait dengan hal ini dapat diatasi dengan bantuan
desian sistem yang baik, yaitu dengan bantuan insentif atau sanksi dan dengan gencar
melakukan penyebaran informasi secara terus-menerus. Selain itu, penggunaan
teknologi juga bisa dijadikan sebagai salah satu cara untuk mengatasi kesulitan yang
timbul dalam menghadapi kebiasaan pegawai yang sukar untuk diubah. Beberapa hal
yang bisa dijadikan contoh di antaranya penggunaan sensor untuk menyalakan dan
mematikan lampu dan penggunaan sensor pada pintu sehingga bisa menutup dan
membuka secara otomatis sesuai dengan kebutuhan.
4. Masalah pendanaan.
Permasalahan lain yang juga turut mempengaruhi implementasi kebijakan
efisiensi energi adalah terkait dana. Berdasarkan faktor kritis yang dikemukakan
Edwards III, permasalahan ini termasuk ke dalam faktor sumber daya, yaitu hal-hal
yang dibutuhkan untuk menerapkan suatu kebijakan.
Program atau upaya-upaya untuk melaksanakan efisiensi energi dalam kondisi
tertentu justru mengharuskan pengelola gedung untuk mengeluarkan dana lebih
banyak. Hal ini terkadang dirasakan menjadi kontradiktif karena mengingat maksud
awal menerapkan kebijakan efisiensi energi adalah ingin melakukan penghematan
anggaran tetapi ternyata justru harus menyiapkan anggaran lebih untuk hal itu.
91
92
Satu program yang bisa dijadikan contoh adalah penyelenggaraan audit energi.
Audit energi merupakan salah satu bagian dari program kebijakan efisiensi energi
yang dilakukan untuk mengevaluasi tingkat penggunaan energi suatu gedung. Dari
audit energi kemudian akan dihasilkan rekomendasi bagi pengelola gedung untuk
memperbaiki kinerja efisiensi gedung tersebut. Pelaksanaan kegiatan ini tentu saja
akan menuntut adanya pos pengeluaran baru bagi pengelola gedung karena harus
membayar tim audit tersebut. Pada titik ini kemudian banyak yang akhirnya
mempertimbangkan ulang untuk melaksanakan audit energi terhadap gedungnya.
Sebelumnya juga telah dijelaskan bahwa implementasi kebijakan energi bisa
dilakukan dengan cara menggunakan bantuan teknologi, misalnya penggunaan sensor
pada alat-alat tertentu sehingga dapat meningkatkan efisiensi energi. Meskipun hal ini
bagus, tetapi pengelola atau manajemen gedung bisa saja enggan menggunakannya
lantaran keterbatasan dana yang dimiliki. Pemasangan sensor ke alat-alat tertentu
tentu saja memerlukan pengeluaran lagi untuk keperluan membeli sensor-sensor
tersebut berikut pemasangannya. Sehingga pada akhirnya hal ini bisa batal dilakukan
ketika dana tambahan yang diperlukan tidak tersedia.
Program lain yang membutuhkan dana dari pengelola gedung adalah
penggunaan alat-alat kantor yang hemat energi. Sebagaimana petiunjuk teknis yang
ada, dalam rangka efisiensi energi maka disarankan untuk menggunakan alat-alat
kantor yang berlabel hemat energi. Pembelian alat-alat ini tentu saja akan lebih mahal
dibandingkan dengan alat-alat lain yang biasa saja. Sehingga pada akhirnya program
ini bisa jadi tidak dilaksanakan karena alasan yang sama yaitu besarnya dana yang
dihabiskan.
92
93
Berkenaan dengan hal ini, memang tidak bisa dipungkiri bahwa hal-hal yang
telah disebutkan tersebut membutuhkan dana lebih untuk merealisasikannya. Akan
tetapi yang perlu diperhatikan adalah mahalnya program tersebut hanya akan
dirasakan pada masa-masa awal saja. Seharusnya pengelola gedung bisa melihatnya
sebagai investasi awal dalam upaya implementasi kebijakan efisiensi energi.
Meskipun investasi awal membutuhkan dana yang lebih besar, tetapi dengan
pengeluaran tersebut akan dihasilkan efisiensi energi yang jauh lebih besar pula. Pada
akhirnya, pengelola gedung akan merasakan adanya penghematan anggaran yang
lebih besar daripada periode sebelum investasi tersebut dilakukan.
Oleh karena itu, jika terdapat program efisiensi energi yang terkendala karena
pertimbangan besarnya anggaran yang diperlukan, pengelola gedung hanya perlu
untuk mengubah pola pikirnya. Pengelola gedung harus mampu melihat efek jangka
panjang dari pengeluaran yang lebih besar tersebut.
93
94
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi kebijakan
efisiensi energi dalam pengelolaan aset gedung pemerintah di Kementerian Keuangan
dan untuk mengidentifikasi permasalahan dan tantangan yang ditemui dalam proses
implementasi kebijakan tersebut. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada
bagian sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Implementasi kebijakan efisiensi energi dalam pengelolaan gedung di lingkungan
Kantor Pusat Kementerian Keuangan dapat digambarkan sebagai berikut:
a. pengaturan dalam kebijakan efisiensi energi yang berlaku di Kementerian saat ini
belum mencakup semua hal yang menjadi perhatian dalam pedoman tolak ukur
efisiensi energi GREENSHIP yang dikeluarkan oleh Green Building Council
Indonesia sehingga masih terbuka peluang untuk adanya penyempurnaan;
b. upaya yang dilakukan untuk menyebarluaskan kebijakan belum menggunakan
semua media atau saluran yang ada. Setiap unit hanya menggunakan satu atau
dua media saja, seperti menempelkan di papan pengumuman saja atau
mengirimkan email saja. Cara-cara lain seperti sosialisasi ketika induksi/orientasi
94
95
pegawai baru dan pamflet atau sticker efisiensi energi belum dimaksimalkan
penggunaanya untuk menyebarluaskan informasi kebijakan tersebut.;
c. kebijakan efisiensi energi sudah diterapkan dalam pengelolaan gedung di
lingkungan Kantor Pusat yang meliputi pengaturan sistem tata udara, tata cahaya,
dan peralatan pendukung lainnya. Meski demikian, implementasi dimaksud
belum berjalan dengan baik karena masih didapati tindakan-tindakan pengguna
gedung yang justru berlawanan dengan kebijakan efisiensi energi;
d. implementasi kebijakan efisiensi energi dalam pengelolaan gedung di
Kementerian Keuangan belum mendatangkan hasil yang diinginkan. Data
menunjukkan bahwa konsumsi listrik pada beberapa gedung masih tidak stabil,
kadang konsumsi listrik turun dan kadang meningkat tajam;
e. data Intensitas Konsumsi Energi gedung-gedung di lingkungan Kantor Pusat juga
menunjukkan bahwa rata-rata masih berada pada level Cukup Efisien sehingga
masih terdapat potensi efisiensi energi yang bisa bisa direalisasikan melalui
optimalisasi implementasi kebijakan efisiensi energi.
2. Untuk mengoptimalkan implementasi kebijakan
efisiensi
energi
dalam
96
96
97
diperlukan
upaya-upaya
sosialisasi
secara
berkesinambungan
dengan
97
98
DAFTAR PUSTAKA
Non peraturan:
Anggara, Sahya. 2014. Kebijakan Publik. Bandung: CV Pustaka Setia.
Australian Asset Management Collaborative Group. 2012. Guide to Integrated
Strategic Asset Management. Brisbane: AAMCoG.
Australian National Audit Office. 2012. Public Sector Environmental Management,
Reducing The Environmental Impacts of Public Sector Operations. Canberra:
Commonwealth of Australia.
Best Value Task Force. 2003. Asset Management under Best Value - Advisory Note.
Skotlandia.
Building and Construction Authority. 2010. Building Planning and Massing.
Singapore: Building and Construction Authority.
Dewan Energi Nasional. 2014. Outlook Energi Indonesia 2014. Jakarta: Dewan
Energi Nasional.
Green Building Council Indonesia. 2011. GREENSHIP Existing Building Version 1.0,
Ringkasan Tolak Ukur. Jakarta: Green Building Council Indonesia.
Government of South Australia. 1999. Strategic Asset Management Framework.
Adelaide: Government of South Australia.
Hinge, Adam, Paolo Bertoldi, dan Paul Waide. 2004. Comparing Commercial
Building Energy Use Around The World. Washington DC: American Council for
An Energy-Efficient Economy.
Hong, Wen et al. 2007. Building Energy Efficiency: Why Green Buildings are Key to
Asias Future. Hongkong: Asia Business Council.
Huat, Ng Ban dan Zainal Abidin bin Akasah. 2011. An Overview of Malaysia Green
Technology Corporation Office Building: A Showcase Energy-Efficient Building
Project in Malaysia. Journal of Sustainable Development 4, No.5: 212-228
Intergovermental Panel on Climate Change. 2007. Climate Change 2007: Synthesis
Report. Valencia: Intergovermental Panel on Climate Change.
98
99
100
100
101
LAMPIRAN 1
LAMPIRAN 2
101
102
102
103
103
104
LAMPIRAN 3
TABEL KONSUMSI LISTRIK GEDUNG KANTOR DI LINGKUNGAN KANTOR PUSAT
KEMENTERIAN KEUANGAN
AMA
DUNG
R.M
miprodjo
uf
o
in
negara
Djuanda
AMA
DUNG
TAHUN 2013
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustu
s
Sept.
Okt.
Nov.
182.320
168.080
199.560
166.12
0
187.600
175.02
4
183.912
182.94
4
143.080
181.720
203.160
397.560
455.616
459.324
436.92
0
518.340
480.93
0
489.630
460.32
0
402.180
510.840
525.660
1.034.44
0
812.560
981.200
865.60
0
1.011.00
0
910.18
0
1.010.12
0
960.15
0
800.550
944.200
1.084.90
0
TAHUN 2014
Januari
Februa
ri
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustu
s
Sept.
Okt.
Nov.
R.M
miprodjo
uf
o
160.640
163.88
0
156.440
166.08
0
174.840
172.04
0
185.840
137.76
0
173.920
181.560
196.320
Syafrudin
negara
374.820
324.00
0
285.900
309.96
0
327.420
317.88
0
350.460
264.24
0
339.360
355.500
370.080
1.008.10
0
827.50
0
830.400
929.10
0
941.000
921.00
0
999.800
783.70
0
1.006.600
1.043.80
0
1.131.40
0
Djuanda I
104
105
LAMPIRAN 4
HASIL WAWANCARA
105
106
107
Yang ketiga adalah masalah kesadaran dari penghuni gedung tersebut. Kebijakan
efisiensi energi ini berhubungan dengan budaya sehingga memang agak sulit
merubahnya. Masyarakat saat ini tidak terbiasa dalam menerapkan efisiensi
energi. Misalnya saja ketika di kantor. Pada siang hari semua tirai ditutup dan
lampu ruangan dinyalakan. Sebenarnya fungsi tirai tersebut justru untuk
meminimalkan penggunaan penerangan dari lampu sehingga bisa lebih efisien,
tapi ternyata tidak dilaksanakan. Masalah kebiasaan atau budaya ini sebenarnya
bisa saja disiasati dengan penggunaan teknologi. Misalnya penggunaan sensor
untuk mematikan lampu sehingga meskipun penghuni gedung lupa, tapi lampu
tetap bisa dimatikan.
: M. Astain
:198908232010121002
: Pelaksana Subbagian Umum
: Pusat Sistem Informasi dan Teknologi Keuangan
: 7 September 2015
: Pukul 10.00 10.30
108
Ya seperti yang tadi saya contohkan, yaitu mematikan AC ketika jam pulang
kantor, tepat jam 5 sore. Tapi sebenarnya hal ini bukan kami yang melakukan,
melainkan teknisi dari pihak Setjen. Kami hanya menerima saja. Karena gedung
ini kan sebenarnya milik Setjen, Pusintek sifatnya hanya numpang sehingga
kebijakan ada pada Setjen.
4. Terkait tata cahaya, apa saja yang sudah unit Anda lakukan dalam rangka efisiensi
energi?
Jawab:
Sama seperti yang saya sampaikan sebelumnya, bukan Subbagian Umum sendiri
sebenarnya yang mengerjakan melainkan pihak Setjen. Saya masih ingat ketika
Surat Edaran itu dikeluarkan, dari pihak Setjen melalui teknisinya langsung
memeriksa penerangan di gedung dan kemudian mengurangi penggunaan
lampunya. Maksudnya jika biasanya dalam satu box di langit-langit itu ada 4 biji
lampu, teknisi kemudian mencabut beberapa di antaranya.
5. Bagaimana dengan pelaporan dan evaluasi atas penggunaan energi?
Jawab:
Kalau dari Subbagian Umum tidak ada laporan penggunaan listrik karena kami
memang tidak mencatat. Yang mencatat jumlah kWh adalah Setjen. Sejauh ini
untuk evaluasi memang hampir tidak ada karena kami juga tidak pernah
mendapat pemberitahuan kalau ternyata penggunaan listrik di gedung ini boros.
: Dwi Baskoro
:198501062003121003
: Pelaksana Subbagian Rumah Tangga
: Sekretariat DJKN
: 7 September 2015
: Pukul 11.00 11.30
108
109
109
110
: Dian Ginanjar
:198912092009121001
: Pelaksana Bagian Perencanaan dan Pengadaan SDM
: Biro SDM Setjen
: 1 September 2015
: Pukul 10.00 10.20 WIB
111
112
112
113
: Nurhikmah Alimuddin
:198909302010122001
: Pelaksana Subdit Kekayaan Negara Lain-Lain III
: Direktorat Piutang Negara dan Kekayaan Negara Lain-Lain
: 1 September 2015
: Pukul 11.00 11.25 WIB
114
anggarannya bisa dialihkan untuk pos yang lain, misalnya peningkatan kesehatan
pegawai dll.
5. Sebagai pengguna gedung, apakah upaya-upaya efisiensi energi saat ini ada yang
mengganggu/menghambat pelaksanaan tusi sehari-hari? Berikan contohnya.
Jawab:
Ketika awal-awal kebijakan AC dimatikan Pukul 17.00, rapat dan pekerjaan
mendesak lainnya harus dilaksanakan dan semuanya harus dijalankan dengan
keadaan tidak nyaman, kegerahan. Belum lagi rasa malu ketika ada tamu yang
kurang nyaman.
6. Menurut Bapak/Ibu, faktor-faktor apa saja yang saat ini dapat menghambat
suksesnya implementasi kebijakan efisiensi energi dalam pengelolaan gedung di
Kemenkeu?
Jawab:
Seperti yang saya jelaskan tadi. Masih kurang contoh dari pimpinan, ditambah
kurangnya kesadaran dari pengguna gedung.
1. Apa yang menjadi strength bagi suksesnya implementasi kebijakan efisiensi
energi dalam pengelolaan gedung di Kemenkeu?
Jawab:
Rasanya belum ada ya yang mendukung. Kebijakannya sudah ada. Seharusnya
lebih gencar disosialisasikan karena soasialisasi itu sangat penting.
114
115
Ada, tapi saya tidakingat naskah dinasnya apa dan nomor berapa. Contohnya saat
menjelang libur idul fitri tahun ini, sebelum pegawai berlibur, ada SE dari Biro
Umum yang intinya mengajak para pegawai untuk menonaktifkan PC, lampu,
dan perangkat lainnya yang membutuhkan aliran listrik sebelum ditinggal liburan.
Informasi tersebut diperoleh dari email yang dikirimkan oleh Subbagian Umum
Pusintek. Saya kurang tau apakah ada kebijakan lainnya yang mengatur lebih
detil lagi.
3. Upaya apa saja yang sudah diterapkan di kantor Anda?
Jawab:
Sejujurnya karena Pusintek merupakan unit yang operasionalnya 7 x 24 jam, saya
sendiri berada pada Subbidang Layanan Pengguna yang operasionalnya 7 x24
jam, sehingga efisiensi energi tidak maksimal. Namun sepengetahuan saya, untuk
rekan-rekan yang tidak menjalankan tugas shifting, PC nya dimatikan setiap
Jumat sore sebelum libur akhir pekan. Ada pula yang menonaktifkannya tiap sore
hari sebelum pulang kantor. Untuk lampu-lampu, lebih banyak dimatikan, kecuali
pada ruangan yang terdapat pegawai shifting-nya.
Untuk pendingin ruangan,saya belum pernah tahu ada kebijakan secara spesifik
yang mengatur tentang tata udara (pendingin ruangan). Sementara terkait
perangkat lainnya, saya juga kurang tahu apakah ada kebijakan untuk
menggunakan alat elektronik yang efisien energi. Kebijakannya mungkin hanya
yang saya sebutkan sebelumnya, yaitu ada broadcast arahan untuk
menonaktifkan perangkat sebelum libur panjang idul fitri kemarin.
4. Menurut Bapak/Ibu, apakah pengelolaan gedung unit saudara sudah menerapkan
kebijakan efisiensi energi dengan optimal? Berikan alasannya.
Jawab:
Sepertinya belum optimal karena alasan itu tadi, Pusintek termasuk unit yang
operasionalnya 7 x 24 jam.
5. Menurut Bapak/Ibu, seberapa pentingkah implementasi efisiensi energi di
gedung-gedung Kemenkeu? Mengapa demikian?
Jawab:
Menurut saya pribadi sangat penting. Alasannya karena semua biaya yang
dikeluarkan untuk pasokan energi di kantor merupakan uang negara. Uang rakyat.
Kalau bisa berhemat kan anggaran untuk pasokan energinya bisa dialihakn untuk
kepentingan lain.
115
116
6. Sebagai pengguna gedung, apakah upaya-upaya efisiensi energi saat ini ada yang
mengganggu/menghambat pelaksanaan tusi sehari-hari? Berikan contohnya.
Jawab:
Sama sekali tidak ada yang menggangu. Hanya beberapa kali pemadaman listrik
sehingga harus pakai genset. Entah untuk penghematan atau tidak, tapi sepertinya
bukan untuk tujuan penghematan. Mungkin ada insiden tertentu yang
mengharuskan dilakukan pemadaman listrik.
7. Menurut Bapak/Ibu, faktor-faktor apa saja yang saat ini dapat menghambat
suksesnya implementasi kebijakan efisiensi energi dalam pengelolaan gedung di
Kemenkeu?
Jawab:
Kurangnya kesadaran dan kemauan tiap pegawai untuk menonaktifkan PC,
lampu, dan perangkat lainnya yang membutuhkan aliran listrik, yang berada pada
tanggung jawabnya.
8. Apa yang menjadi strength bagi suksesnya implementasi kebijakan efisiensi
energi dalam pengelolaan gedung di Kemenkeu?
Jawab:
Apa ya? Sekarang sudah mulai ada kebiasaan mematikan lampu lobi dan lampulampu lain di luar ruangan kerja sih, terutama saat akhir pekan, dan setelah jam
kantor. Bahkan tidak jarang lampu musola dan lampu kamar mandi juga
dimatikan, padahal di Pusintek selalu ada orang yang bertugas 7 x 24 jam. Kalau
lampu-lampu dan aliran listrik di ruangan kerja yang tidak terdapat pegawai shiftnya, sejauh yang saya tau, selalu dinonaktifkan. Sebagai tambahan, di Pusintek
hanya ada dua dari lima Bidang yang melaksanakan pola kerja 7x24 jam.
116
117
1. N a m a
: Aditya Rahmat
2. Tempat/Tanggal lahir
3. Jenis Kelamin
: Laki-Laki
4. Agama
: Islam
: 198903172010121002
: Pelaksana
8. Instansi
Negara
9. Pendidikan
10. HP
: 085216000866
: adito.albanjary@gmail.com
PENDIDIKAN FORMAL
No
.
Tingkat Pendidikan
Jurusan/Spesialisa
si
Nama/Tempat
Th.
Lulus
1.
Barabai
2001
2.
Barabai
2004
3.
IPA
Barabai
2007
4.
Akuntansi
Tangerang
Selatan
2010
Prodip IV - STAN
Akuntansi
Kurikulum
Reguler
Tangerang
Selatan
5.
RIWAYAT PEKERJAAN
N
O
1.
Uraian
Periode
2010-2014
117
118
2.
2014-sekarang
118