Anda di halaman 1dari 15

REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PENDIDIKAN INDONESIA

RENOVA SITORUS
Prodi Pendidikan Ekonomi
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Medan
Email : renovasitorus@yahoo.com
ABSTRAK
Pendidikan karakter merupakan upaya pendidikan yang urgensi dan dilakukan secara
sadar yang dilakukan oleh pendidik terhadap anak didik guna menunjang kehidupan
setiap peserta didik. Pendidikan karakter bukan hanya dilaksanakan dalam lembaga
pendidikan. Oleh karena itu, sudah semestinya dan juga merupakan tanggung jawab
keluarga sebagai lembaga pertama dan utama dalam pembentukan karakter anak didik,
kemudian tidak kalah penting peran dari masyarakat dan pemerintah baik secara
langsung maupun tidak langsung turut membentuk karakter anak didik. Terkhusus untuk
lembaga pendidikan baik formal maupun non formal, pendidikan karakter merupakan
salah satu tujuan pembelajaran yang harus dicapai selain kognitif dan psikomotorik.
Mengingat selama ini pelaksanaan pendidikan hanya cenderung menekankan sisi
kognitif saja, sudah saatnya untuk mengembalikan dan menghidupkan kembali
(revitalisasi) fitrah pendidikan nasional, khususnya pendidikan karakter dalam
pendidikan Indonesia yang timbul tenggelam dan mengembalikan kepercayaan bangsa
memilih lembaga pendidikan sebagai wadah pembentukan karakter anak didik agar
tercipta anak didik yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang baik sesuai dengan
tujuan Pendidikan Nasional. Setiap pendidik (orangtua, guru/dosen, masyarakat &
pemerintah) memiliki peran masing-masing dalam upaya membentuk karakter anak
didik.
Kata Kunci : Revitalisasi, Pendidikan, Karakter, Indonesia
PENDAHULUAN
Meminjam perkataan dari Thomas Lickona pada tahun 1992 Sebuah bangsa sedang
menuju jurang kehancuran ketika karakternya tergadai. Dan pernyataan yang kedua
dari Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara budi pekerti, pikiran, dan
tubuh anak tidak boleh dipisahkan, agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup
anak-anak kita. Kedua pernyataan tersebut sama-sama menempatkan pentingnya
karakter dalam kehidupan, baik bagi pribadi anak sendiri juga bagi kemajuan bangsa.
Pendidikan karakter bukan lagi merupakan hal yang baru diperbincangkan, namun
mengingat betapa urgensinya topik ini di tengah-tengah berbagai krisis multidimensional

dunia, sepertinya karakter menjadi dasar atau akar munculnya krisis lainnya. Tak heran
jika dalam pemerintahan yang baru ini gerakan Revolusi Mental menjadi hal penting
untuk dilaksanakan, bukan sekadar wacana belaka. Sehingga semua lapisan Negara,
termasuk lembaga pendidikan berperan penting dalam mewujudkannya.
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional di samping
mencerdaskan bangsa, yaitu untuk membentuk peserta didik yang berkarakter, bertakwa
terhadap Tuhan yang Maha Esa, serta berakhlak mulia. Bukan merupakan tugas yang
mudah bagi lembaga pendidikan, khususnya guru/dosen yang bertatap muka langsung
dengan peserta didik. Tugas mereka bukan sekedar transfer ilmu namun juga
membentuk kepribadian anak didik. Berusaha menekankan bahwa knowledge is power,
but character is more. Namun perlu disadari bahwa, hal ini tidak akan berhasil tanpa
kerja sama yang baik antara keluarga, masyarakat dan pemerintah, yang secara langsung
dan tidak langsung turut membentuk kepribadian peserta didik.
Permasalahan yang muncul akhir-akhir ini adalah, lembaga pendidikan yang
seharusnya menampilkan wujud dari pendidikan karakter, malah mencoreng kredibilitas
Negara. Beberapa isu moralitas yang termuat di berbagai media massa dan elektronik,
seperti kejahatan seksual yang terjadi di sekolah oleh pihak guru terhadap siswanya,
kekerasan antar sesama anak SD, tawuran antar pelajar/mahasiswa, tindakan kekerasan
seorang guru yang menampar para anak didiknya, sistem UN yang sarat akan
ketidakjujuran, kasus Narkoba yang menjerat Guru Besar sebuah universitas beserta para
rekan mahasiswanya, para alumni universitas yang melakukan jual-beli Narkoba di ekskampusnya, dsb. Munculnya berbagai problematika dalam dunia pendidikan kembali
mempertanyakan nilai pendidikan karakter yang dicanangkan selama ini.
Tulisan ini mencoba menelusuri apa yang membuat nilai-nilai karakter begitu
penting untuk direvitalisasi kembali mengingat berbagai persoalan di atas, apakah nilai
karakter dan moralitas bangsa benar-benar mustahil diterapkan khususnya dalam dunia
pendidikan? Bagaimana merevitalisasi pendidikan karakter dalam diri peserta didik?
Semua pertanyaan tersebut akan diulas dalam tulisan ini.

Tujuan
Adapun tujuan penulisan kajian ini adalah untuk menghidupkan kembali nilai-nilai
karakter dalam pendidikan di Indonesia (baik orang tua, guru dan masyarakat) agar tidak
menjadi sekedar wacana dan saling lempar batu sembunyi tangan menghadapi
permasalahan moralitas (karakter buruk) anak didik.
Manfaat
Untuk memberikan semangat dan optimisme bagi pendidikan Indonesia dalam upaya
menciptakan pendidikan karakter dan budaya nilai moral yang baik pada setiap anak
didik.
PEMBAHASAN
Landasan Konseptual
Penalaran otak orang itu luar biasa, demikian kesimpulan ilmuwan kerbau dalam
makalahnya, namun mereka curang dan serakah. Sedangkan sebodoh-bodoh umat
kerbau, kita tidak curang dan serakah. Pernyataan yang lugu, namun benar dan kena,
sungguh menggelitik nurani. Benarkah bahwa semakin cerdas, maka semakin pandai
kita menemukan kebenaran dan semakin baik pula perbuatan kita? Apakah manusia
yang mempunyai intelektual yang tinggi semakin berbudi yang dilandasi analisis yang
hakiki, atau malah sebaliknya? Semakin cerdas semakin pandai pula kita berdusta?
Pendidikan Indonesia dalam sejarah pelaksanaannya selama ini disadari memang
lebih menekankan pada domain kognitif saja, melahirkan peserta didik yang cerdas, atau
berintelektual tinggi, namun tidak semuanya yang memiliki karakter yang baik dan
berketerampilan. Tidak mengherankan bila KKN, tawuran, malapraktik pendidikan,
budaya menyontek, plagiarisme, peserta didik yang bermental buruh (bukan bermental
wirausaha), dan tindakan pelecehan dalam pendidikan terjadi.
Lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi wadah para orang tua, pemerintah
dan masyarakat menempatkan kepercayaannya dalam pembentukan karakter malah yang
menjadi sumber terjadinya permasalahan itu. Pernyataan ini tidak sepenuhnya dapat

dibenarkan, orang tua bahkan masyarakat juga turut ambil bagian dalam tanggung jawab
pembinaan karakter yang baik bagi anak didik.
Menilik kembali pada revolusi IPTEK yang begitu cepat, bagaimana arus globalisasi
dan modernisasi juga turut serta memegang peranan dalam pembentukan karakter anak
didik. Globalisasi sudah menjurus ke semua aspek kehidupan, nilai-nilai budaya yang
selama ini dipegang kuat perlahan memudar, begitu pula moralitas bangsa yang tampak
semakin surut akibat kurangnya upaya filterisasi terhadap budaya luar yang tidak
relevan dengan nilai budaya Indonesia (khususnya nilai Pancasila sebagai falsafah hidup
bangsa).
Menteri pertahanan RI di masa pemerintahan SBY pernah mengungkapkan bahwa
ada kemungkinan dunia pendidiikan kita selama bertahun-tahun terpasung oleh
kepentihgan-kepentingan tertentu yang masih samar. Pendidikan kita tersisih di antara
keinginan mengejar pertumbuhan ekonomi, dan daya saing bangsa, sehingga tampaknya
tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara utuh lahir dan batin, lebih
diorientasikan pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering
dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan dan budi pekerti. Pendidikan lebih
mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa diimbangi dengan
intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, dan emosi. Akibatnya, apresiasi
output pendidikan terhadap keunggulan nilai humanistic, keluhuran budi, dan hati nurani
menjadi dangkal. (dalam Soekardjo, 2009).
Kondisi yang meliputi pendidikan saat ini membutuhkan konsep & strategi yang
mapan dan integral. Selain itu juga harus dapat mendidik seluruh aspek kemanusiaan
dalam menghadapi arus budaya dan sosial yang sedemikian gencar akibat arus
perkembangan IPTEK yang begitu cepat.
Perubahan kurikulum yang lalu beralih ke kurikulum 2013 yang menempatkan
domain afektif & nilai spiritual dalam urutan pertama sebelum domain kognitif.
Kurikulum tersebut sudah dijalankan saat ini dan diharapkan mampu melahirkan peserta
didik selain cerdas secara intelektual, diutamakan memiliki karakter yang baik, yang

bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berguna bagi dirinya secara pribadi dan juga
sesamanya.
Pembenahan karakter berikutnya dapat dilihat dari kenyataan selama ini yang terjadi
dimana lembaga pendidikan kita semata-mata menghasilkan angkatan kerja bermental
buruh dan berorientasi pada pembunuhan kreatifitas berpikir dan berkarya.. Hingga kini
sistem pendidikan masih sekedar menyiapkan kebutuhan dalam memenuhi pasaran
lowongan pekerja dan pemenuhan kebutuhan industri yang sedang gencar-gencarnya
tumbuh subur di Indonesia. Jika ini terus-menerus tanpa reorientasi, dikhawatirkan
terlahir generasi terdidik yang tidak lebih sebagai limbah sosial (sarjana tapi
pengangguran) yang hanya berharap pada lowongan kerja yang disediakan pemerintah.
Indikator yang digunakan pun cenderung menggunakan indikator kepintaran dan tolak
ukur nilai rapor maupun ijasah. Oleh sebab itu, mengakibatkan terjadinya praktek jualbeli gelar, jual-beli ijasah hingga jual-beli nilai. Untuk itu, sudah saatnya sistem
pendidikan di Indonesia diarahkan agar mampu menciptakan lulusan yang mempunyai
jiwa mandiri, kreatif dan tangguh dalam menghadapi persaingan usaha (berjiwa
wirausaha). Agar perguruan tinggi tidak hanya menghasilkan manusia pencari kerja,
maka perencanaan pembangunan pendidikan tinggi harus diselaraskan dengan
perkembangan lapangan kerja.
Filsuf Pendidikan dalam aliran rekonstruksionisme - Paulo Freire memandang
pendidikan dari sisi praksis harus sejalan dengan praktiknya artinya bahwa pendidikan
yang tidak mampu menggerakkan kaki dan tangan untuk bertindak bukanlah arti
pendidikan yang sesungguhnya; dia juga memandang bagaimana manusia (peserta didik)
dipandang sebagai sosok manusia secara utuh dengan segala pergumulannya ; terakhir
memandang peserta didik bukan sebagai objek saja melainkan juga sebagai subjek
dalam dunia pendidikan, subjek yang mampu bertindak mengubah dunianya dengan
potensi yang dimilikinya tanpa mengkesampingkan nilai-nilai spiritual dan moralitas.
Berangkat dari pandangan Freire, kita menemukan nilai optimisme dari peserta didik
yang memiliki potensi dan moral yang baik walau masih terselubung, demikianlah
peranan orangtua, khususnya pendidik berupaya bersama dengan anak didik
mengaktualisasikan potensi dan nilai karakter yang baik bagi mereka.

Peran Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Indonesia


1. Fitrah pendidikan haruslah secara sinergis merefleksikan jati dirinya sebagai institusi
pendidikan, penelitian dan pelayanan yang bermutu, kredibel, relevan, berwawasan
etis, estetis dan manusiawi, maka lembaga pendidikan harus merespon terhadap
perkembangan ilmu dan teknologi serta mengintegrasikannya ke dalam kehidupan
sehari-hari dengan etika keagamaan, mengupayakan inovasi pendidikan, menjunjung
tinggi kualitas kemandirian, membangun organisasi secara terencana dan
responsible, mengembangkan semangat kerja sama.
Dari pernyataan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa fungsi pendidikan yang
tercakup dalam Tri Darma Pendidikan Indonesia harus direalisasikan sesuai dengan
nilai-nilai agama, sehingga dapat dipertanggung jawabkan.
2. Lembaga pendidikan harus memiliki misi luhur untuk turut memecahkan
permasalahan-permasalahan kemanusiaan dengan cara meningkatkan kualitas pikir,
kualitas karya, kualitas hidup, serta meningkatkan peranan ilmu dan teknologi guna
menjawab tantangan zaman yang berubah kemudian dapat meningkatkan kualitas
manusia yang berbasis pada etika.
Jadi pendidikan berperan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang ada dengan
menggunakan ilmu yang dipelajari dalam pendidikan juga melalui perkembangan
teknologi dengan tetap berbasis pada etika sebagai dasar nilai moral pendidikan.
3. Lembaga pendidikan haruslah berusaha secara terus-menerus untuk menghasilkan
keluaran yang memiliki kedalaman iman, kepekaan nurani, ketajaman nalar,
ketangkasan professional dan kemandirian sikap juang.
Output yang dihasilkan pendidikan harus dapat menjadi teladan dan panutan di
sekitarnya, dapat membangun dan berguna di tengah-tengah masyarakat. Seperti:
mampu menciptkan lapangan kerja di sekitarnya.
Dari ketiga fitrah pendidikan di atas, dapat dilihat bahwa pendidikan karakter
berperan inheren dengan pendidikan Indonesia, berjalan beriringan/ berdampingan
menghasilkan peserta didik yang cerdas dan berkarakter.

Revitalisasi 3 Prinsip Reformasi Pendidikan Nasional

Ada 3 prinsip perubahan utama dalam reformasi pendidikan nasional. Pertama,


perubahan paradigma pengajaran menjadi pembelajaran. Istilah pengajaran, dalam arti
belajar dan mengajar sudah tidak relevan lagi, Jika selama ini menitikberatkan pada
peran pendidik memberikan pengetahuan kepada anak didik. Maka sekarang anak didik
didorong untuk mengembangkan potensi dan kreativitas diri. Kedua, perubahan
pandangan peran manusia, yang tadinya dianggap sebagai sumber daya pembangunan,
sekarang menjadi menjadi manusia berbudaya sebagai subyek pembangunan yang utuh
dan bahkan bisa menciptakan lapangan kerja. Ketiga, perubahan pandangan tentang
keberadaan anak didik dengan memahami mereka. Melihat lingkungan tempat mereka
tinggal dan budaya setempat. Perbedaan anak didik lebih dihargai daripada persamaan.
Upaya Penanaman Pendidikan Karakter
Penananman, pemeliharaan, dan pembinaan moral (karakter yang baik) pada diri
seseorang, tidak dapat dilakukan dalam waktu yang singkat serta terputus-putus,
melainkan harus dimulai sejak dini sampai dewasa dan sepanjang hayat dengan cara
berlanjut serta berkesinambungan. Pembinaan perilaku, sifat dan sikap yang diharapkan
melekat pada kepribadian tidak dapat berhasil dalam waktu singkat, karena proses
mental-psikologi itu bertahap, berkelanjutan, berkembang memakan waktu yang lama.
Oleh karena itu, pembinaannya harus dimulai sejak bayi, bahkan menurut pakar
psikologi perkembangan, sudah dimulai sejak bayi dalam kandungan (Monks, Knoers,
Siti Rahayu Haditono. 1994: 38-56, diambil dari Purba, 2014: 121).
Upaya/ peran Orang tua
Anak didik paling banyak menghabiskan waktu ketika berada di rumah. Keluarga
merupakan lembaga pertama dan utama dalam penanaman pendidikan karakter bagi
anak didik. Oleh karena itu, keberhasilan internalisasi pendidikan karakter dalam
keluarga dipengaruhi oleh model keluarganya terutama pola asuh orang tua (parenting
style).
Pakar dari aliran konvergensi (William Stern) berpendapat bahwa faktor yang
mempengaruhi perkembangan seorang anak adalah faktor bawaan dan lingkungan.
Aliran ini merupakan kombinasi dari pendapat yang berbeda dari aliran naturalisme (J.J.

Rouseau) yang mengatakan bahwa semua anak dilahirkan mempunyai bawaan


tersendiri, dan aliran empirisme (John Locke) yang berpendapat bahwa anak lahir ke
dunia bagaikan kertas putih (tabula rasa) dan lingkungan yang mengukir/menulis kerta
itu melalui pengalaman empiric.
Pendidikan karakter berangkat dari pendapat aliran konvergensi, baik faktor bawaan
dan lingkungan sama-sama mempengaruhi perkembangan anak termasuk karakternya.
Oleh karena itu, dalam faktor bawaan sejak dalam kandungan anak harus sudah
ditanamkan karakter yang baik melalui perilaku orang tua. Adanya hubungan kontak
batin antara anak dalam kandungan dan ibunya merupakan suatu alat komunikasi dan
alat penanaman karakter yang baik bagi calon anak. Ibu kerap harus memelihara
perilaku yang baik selama mengandung, kerap pula menjalin komunikasi dengan calon
bayi, mempelajari nilai-nilai agama dan menerapkannya, yang secara tak langsung
berlangsung pula pada diri si anak.
Setelah lahir, sebagai faktor kedua (faktor lingkungan) -

lingkungan keluarga

merupakan lingkungan pertama, kedua orang tua harus berusaha melakukan pembinaan
karakter melalui penanaman nilai-nilai agama yang luhur (mengenal & mengasihi Tuhan
dan sesamanya, arti hidup sederhana & bersyukur); menjadi teladan yang baik (dalam
tutur kata, sikap dan pola pikir); dan tak kalah penting pola asuh (parenting style) yang
demokratis (agar mampu mandiri & bertanggung jawab); mengarahkan anak
membedakan mana yang baik dan tidak baik, dsb; kesemua upaya tersebut harus
dilandasi dan dilakukan dengan kasih sayang.
Upaya (peran) Lembaga Pendidikan
Lembaga pendidikan (formal & non formal) bertugas memberi pencerahan
intelektual

dan

penjernihan

hati

untuk

membangkitkan

semangat

mengejar

ketertinggalan dan menyeleksi budaya luar, khususnya dari peradaban. Selain itu juga
memberikan pondasi kokoh dalam membangun karakter anak didik di tengah globalisasi
& modernisasi melalui penanaman nilai-nilai pancasila sebagai alat filterasasi .
Untuk lembaga formal (sekolah/universitas) berada di garda depan dalam pendidikan
karakter. Dalam konteks ini, peran pemimpin, konselor, karyawan dan guru dalam

lembaga ini adalah sangat menentukan. Pemimpin lembaga bertugas merevitalisir spirit
guru/dosen dalam membangkitkan pendidikan karakter, berperan pula sebagai figur
teladan yang baik untuk ditiru, kemudian menyediakan pembelajaran yang lengkap
mulai dari silabus, RPP, instrument penilaian, monitoring, evaluasi dan tindak lanjut.
Kemudian, harus memantau langsung pelaksanaan pembelajaran (dilakukan sewaktuwaktu ; baik melalui perwakilan atau tidak) guru/dosen sehubungan dengan tingkat
efektivitas dan produktivitasnya dalam membentuk karakter anak. Pemimpin lembaga
juga tertantang untuk membangun kultur sekolah yang kondusif bagi pendidikan
karakter. Kultur (budaya) sekolah yang religiositas, menghargai waktu, kedisiplinan,
kreativitas, kepedulian sosial & lingkungan hidup, persaudaraan (multikultural),
nasionalisme, patriotisme & cinta tanah air, serta berprestasi.
Tantangan yang dihadapi saat ini sangat berat dan kompleks, maka selain nilai-nilai
karakter di atas, peserta didik hendaknya perlu dibekali dengan karakter kewirausahaan.
Khususnya

dalam pendidikan

tinggi,

lulusan mahasiswa diharapkan

menciptakan lapangan kerja sendiri bukan menunggu lowongan kerja.

mampu
Menurut

Kemnendiknas (2010; 15-17, dalam Wibowo, 2012; hal 145), kewirausahaan adalah
suatu sikap, jiwa dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, yang sangat
berniliai dan berguna; baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Kewirausahaan
merupakan sikap mental dan jiwa, yang selalu aktif atau kreatif, berdaya, bercipta,
berkarya, bersahaja, dan berusaha dalam rangka meningkatkan pendapatan atas kegiatan
usahanya. Sementara wirausaha adalah orang yang terampil memanfaatkan peluang
dalam mengembangkan usahanya, dengan tujuan untuk meningkatkan kehidupannya.
Kemajuan IPTEK saat ini merupakan peluang sekaligus tantangan dalam menerapkan
nilai-nilai wirausaha.
Dalam kurikulum, karakter keilmuan kewirausahaan sebaiknya didesain untuk
mengetahui (to know), melakukan (to dong) kewirausahaan, yang terintegrasi dalam
program studi dan terdistribusi di dalam berbagai mata ajar keilmuan. Integrasi ini
dimaksudkan untuk menginternalisasikan nilai-nilai kewirausahaan. Dalam tahap ini,
lembaga pendidikan (Sekolah Menengah & Perguruan Tinggi) menyediakan mata ajar
kewirausahaan yang ditujukan untuk bekal motivasi dan pembentukan sikap mental

entrepreneur. Dan terakhir menjadi (to be) wirausaha (entrepreneur) diberikan dalam
dalam pelatihan keterampilan bisnis praktis, kemudian dilatih merealisasikan inovasi
teknologi ke dalam praktek bisnis.
Konselor bertanggung jawab mengidentifikasi problem (persoalan) yang dialami
anak didik dengan mencarikan solusi, jangan sampai anak berlarut-larut dalam
masalahnya tanpa solusi yang jelas (berakibat fatal pada perilaku bunuh diri). Konselor
sebaiknya seorang psikolog atau orang yang mengerti psikologi perkembangan mental
anak didik, sehingga mampu membaca, mendekati, dan memberi solusi bagi
permasalahan anak didik.
Peran Pendidik (guru/dosen)
Guru/dosen bertanggung jawab menyuntikkan virus karakter yang baik kepada anak
didik secara bertahap, sistematis, disiplin, dan kreatif. Seperti perkataan Bapak Ki Hajar
Dewantara bahwa karakter itu terjadi karena perkembangan dasar yang sudah terkena
pengaruh ajar. Oleh karena itu, tiga langkah pertama yang harus dilakukan oleh
pendidik terdapat dalam ajaran beliau yang merupakan lambang Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas), yaitu: Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, dan
Tut Wuri Handayani. Falsafah Ing Ngarso Sung Tulodo bemakna bahwa seorang
pendidik hendaknya memberi teladan yang baik kepada murid-muridnya; Ing Madya
Mangun Karso menyiratkan seorang pendidik harus terus untuk membuat inovasi dalam
pembelajaran ; dan Tut Wuri Handayani seorang pendidk harus dapat membangkitkan
motivasi, memberikan dorongan pada anak didiknya untuk terus maju, berkarya dan
berprestasi.
Pendidik juga harus mampu meningkatkan prestasi dirinya sendiri sebagai seorang
inspirator, motivator, dinamisator, dan evaluator yang kritis, inovatif, dan produktif
dalam memompa semangat belajar anak didik. Sehingga, mereka berani menghadapi
tantangan, bepikir solutif, bergerak optimis, dan terbang dengan ekspektasi dan
keyakinan diri yang tinggi. Pendidik tidak boleh patah semangat, namun harus yakin dan
terus belajar memperbaiki diri untuk menampilkan pembelajaran yang menarik &

menyenangkan guna mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan (afektif, kognitif,


dan psikomotorik).
Socrates menganjurkan adanya suatu pengamatan yang berkesinambungan dan
bersih dari pemaksaan terhadap anak-anak, guna mendeteksi siapa di antara mereka
yang menunjukkan potensi tanggap terhadap keseluruhan. Menurut filsuf pendidikan J
Glenn Gray, kualitas anak yang disebut tanggap terhadap keseluruhan (sense of the
whole ) adalah kesediaan merespons tuntutan waktu dan situasi yang dihadapinya. Anakanak yang tanggap terhadap keseluruhan tidak sekadar suka hidup berkelompok, juga
yang personalitasnya tidak bertipe eksekutif. Sebaliknya, dia adalah individu yang
mengurus dengan penuh perasaan, yang concern pada kesejahteraan orang lain, dan
punya

simpati

intuitif

terhadap

perbedaan-perbedaan

dengan

dirinya,

serta

membutuhkan pengalaman pendidikan yang berlainan.


Momentum Hari Guru
Peringatan hari guru setiap tahunnya pada tanggal 25 November sebaiknya dijadikan
momentum dan instrument refleksi diri bagi pemerintah, masyarakat dan guru itu
sendiri. Bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan nasib guru, khususnya di pelosokpelosok tanah air yang masih memprihatinkan dan perlu disejahterakan karena mereka
merupakan pahlawan (tanpa tanda jasa) yang berusaha memberantas kebodohan dan
pejuang yang akan menciptakan genarasi penerus bangsa. Refleksi bagi masyarakat,
untuk lebih memuliakan guru dan bukan dipandang sebelah mata, bukankah mereka
yang akan melahirkan aset-aset bangsa? Dan refleksi bagi guru itu sendiri dalam arti
untuk tetap belajar (longlife education) meningkatkan kualitas pembelajaran, mendidik
anak dengan penuh cinta & kasih sayang, memandang setiap anak merupakan makhluk
yang unik, membenahi diri agar tetap menjadi teladan dan panutan yang baik bagi anak
didik, tidak terkecuali untuk dosen sebagai pendidik dalam perguruan tinggi, karena
anak didik tidak akan pernah melupakan figur (sosok) yang senantiasa mendidik mereka
agar menjadi cerdas dan menjadi manusia yang utuh hingga kelak dewasa nanti.
Pendidikan karakter di lembaga pendidikan tidak bersifat eksklusif untuk mata
kajian tertentu (pendidikan agama, pendidikan pancasila, PKN, dsb.) melainkan

diintegrasikan atau diinternalisasikan (inheren) pada semua mata ajaran. Selain itu,
pembentukan karakter bukan hanya menjadi tanggung jawab pendidik tertentu (pendidik
agama dan PKN), melainkan semua pendidik bertanggung jawab dan berkewajiban
membentuk karakter anak didik.
Upaya/peran Masyarakat & Media Massa
Masyarakat & media massa berperan untuk mendidik anak didik untuk menghargai
keberagaman, budaya demokrasi, persaudaraan (solidaritas), kerja sama, perjuangan,
pentingnya prestasi dan berkarya demi kemajuan bangsa. Selain itu, masyarakat &
media massa harus menampilkan contoh/teladan yang baik, dan kerap mengadakan
kegiatan-kegiatan

yang

menyatukan

keberagaman

(seperti:

kegiatan

royong

membersihkan lingkungan, kegiatan tujuh belasan meningkatkan nilai nasionalisme &


patriotisme, kegiatan demokrasi untuk menampung aspirasi anak didik melalui
pemikiran dan perasaan mereka).
Upaya Pemerintah
Makna dari sistem desentralisasi pendidikan yang sudah dijalankan selama ini
hingga penerapan kurikulum yang baru (kurikulum 2013) kiranya jangan hanya
dijadikan dan diterjemahkan sebagai upaya pelepasan tanggung jawab atau trial &
error yang malah memberatkan bagi lembaga pendidikan, khususnya pendidik serta
peserta didik. Terlihat beberapa ketidaksiapan pemerintah dalam penerapan kurikulum
baik ini mulai dari tahapan konseptual, mekanisme, hingga pengimplementasian
(langkah konkret) terlihat dari masih perlunya upaya pembenahan, dan evaluasi untuk
didiskusikan oleh Menteri Pendidikan dan para praktisi pendidikan. Tak heran jika
masyarakat bersikap apatis, pesimis dan khawatir terhadap persoalan yang sangat
fundamental ini.
Pemerintah diharapkan tetap memberi dan mengadakan seminar atau lokakarya guna
pelatihan-pelatihan bagi pada pendidik untuk meningkatkan kualitas pembelajaran
mereka. Dan tak kalah penting, pemerintah harus terus berupaya memuliakan para
pendidik khususnya para guru di daerah-daerah terpencil.

Pemerintah melalui program-programnya juga harus berupaya memberdayakan


pendidikan non formal yang sampai saat ini juga masih kurang terpandang di
masyarakat. Peran yang terakhir, menyediakan fasilitas-fasilitas yang mendukung
pembelajaran kewirausahaan dalam lembaga pendidikan hingga para anak didik lulus
dari pendidikannya.

PENUTUP
Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian
dan kemampuan di dalam dan di luar lembaga pendidikan dan berlangsung seumur
hidup dan dilaksanakan di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Karena itu
pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, lembaga pendidikan,
masyarakat dan pemerintah mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya.
Pendidikan sebagai upaya menciptakan manusia seutuhnya berarti manusia yang
berkembang seluruh kepribadiannya, haknya sebagai makhluk individu, makhluk sosial,
makhluk susila, dan makhluk berkeTuhanan. Sehingga, pendidikan tidak hanya
menciptakan manusia-manusia yang cerdas, namun juga memiliki kemampuan
professional yang tinggi (terampil), dan sekaligus memiliki kepribadian dan sikap
mental terpuji dan beriman yakni manusia pancasila.
Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang
membantu individu untuk hidup dan bekerja sama sebagai keluarga, masyarakat dan
bangsa, serta membantu orang lain untuk membuat keputusan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis
dan berkelanjutan merupakan bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong
masa depan yang cerah dan mampu menghadapi tantangan kehidupan. Pengembangan
manusia melalui pendidikan menuntut pengembangan semua daya (daya jiwa yaitu
cipta, karsa dan karya) secara seimbang untuk menghasilkan keutuhan perkembangan
sebagai manusia yang berguna dan humanis.

Pada akhirnya, seperti kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan,
bahwa dalam dunia pendidikan terdapat tiga komponen penting yang perlu dimiliki anak
didik. Pertama, setiap anak harus memiliki integritas yang baik. Kedua, anak-anak harus
dididik agar memiliki jiwa kewirausahaan. Sebab jiwa kewirausahaan melihat kesulitan
sebagai kesempatan, dan seorang yang mempunyai jiwa usaha adalah orang yang selalu
optimistis. Ketiga, anak-anak harus diberi bekal agar mempunyai kemampuan
komunikasi yang tinggi. Ketiganya bertujuan aggar Indonesia bisa mempengaruhi dunia,
bukan menerima apa-apa dari dunia.

DAFTAR RUJUKAN
Asmani, Jamal M. 2011. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah.
Yogyakarta : DIVA Press.
Bastian, Aulia Reza. 2002. Reformasi Pendidikan. Yogyakarta : Lappera Pustaka Utama.
Brotoseno,

Iman.

2012.

Quo

Vadis

Pendidikan

di

Indonesia?.

http://blog.imanbrotoseno.com/?p=1800, diakses 19 November 2014.


Indirani.

2014.

Ini

Tantangan

Dunia

Pendidikan

(Editor:

Aditia

Maruli),

http://www.antaranews.com/info-pendidikan/berita/465086/ini-tantangan-duniapendidikan, diakses 20 November 2014.


Purba, Edward dan Yusnadi. 2014. Filsafat Pendidikan. Medan : Unimed Press.
Purnamasari,

Indah.

2012.

Potret

Pendidikan

Indonesia.

http://www.haluankepri.com/opini-/32328-potret-pendidikan-di-indonesia.html,
diakses 20 November 2014.
Saptono. 2011. Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter. Salatiga : Penerbit Erlangga.
Sukardjo, M dan Komarudin, Ukim. 2009. Landasan Pendidikan. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada.
Suriasumantri, Jujun S. 1999. Filsafat Ilmu. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Syarif, Kemali. 2014. Perkembangan Peserta Didik. Medan : Unimed Press.


S,Nur.

2012.

Generasi

Bermental

Buruh.

http://kuliah2020.wordpress.com/2012/12/29/generasi-bermental-buruh/, diakses
20 November 2014.
---------------. A Sense of The Whole. http://kuliah2020.wordpress.com/2012/12/29/asense-of-the-whole-dalam-pendidikan/, diakses 20 November 2014.
Tambunan, Janwar. 2012. Perkembangan Peserta Didik. Medan : Universitas HKBP
Nommensen.
Wibowo, Agus. 2012. Pendidikan Karakter. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai