RENOVA SITORUS
Prodi Pendidikan Ekonomi
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Medan
Email : renovasitorus@yahoo.com
ABSTRAK
Pendidikan karakter merupakan upaya pendidikan yang urgensi dan dilakukan secara
sadar yang dilakukan oleh pendidik terhadap anak didik guna menunjang kehidupan
setiap peserta didik. Pendidikan karakter bukan hanya dilaksanakan dalam lembaga
pendidikan. Oleh karena itu, sudah semestinya dan juga merupakan tanggung jawab
keluarga sebagai lembaga pertama dan utama dalam pembentukan karakter anak didik,
kemudian tidak kalah penting peran dari masyarakat dan pemerintah baik secara
langsung maupun tidak langsung turut membentuk karakter anak didik. Terkhusus untuk
lembaga pendidikan baik formal maupun non formal, pendidikan karakter merupakan
salah satu tujuan pembelajaran yang harus dicapai selain kognitif dan psikomotorik.
Mengingat selama ini pelaksanaan pendidikan hanya cenderung menekankan sisi
kognitif saja, sudah saatnya untuk mengembalikan dan menghidupkan kembali
(revitalisasi) fitrah pendidikan nasional, khususnya pendidikan karakter dalam
pendidikan Indonesia yang timbul tenggelam dan mengembalikan kepercayaan bangsa
memilih lembaga pendidikan sebagai wadah pembentukan karakter anak didik agar
tercipta anak didik yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang baik sesuai dengan
tujuan Pendidikan Nasional. Setiap pendidik (orangtua, guru/dosen, masyarakat &
pemerintah) memiliki peran masing-masing dalam upaya membentuk karakter anak
didik.
Kata Kunci : Revitalisasi, Pendidikan, Karakter, Indonesia
PENDAHULUAN
Meminjam perkataan dari Thomas Lickona pada tahun 1992 Sebuah bangsa sedang
menuju jurang kehancuran ketika karakternya tergadai. Dan pernyataan yang kedua
dari Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara budi pekerti, pikiran, dan
tubuh anak tidak boleh dipisahkan, agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup
anak-anak kita. Kedua pernyataan tersebut sama-sama menempatkan pentingnya
karakter dalam kehidupan, baik bagi pribadi anak sendiri juga bagi kemajuan bangsa.
Pendidikan karakter bukan lagi merupakan hal yang baru diperbincangkan, namun
mengingat betapa urgensinya topik ini di tengah-tengah berbagai krisis multidimensional
dunia, sepertinya karakter menjadi dasar atau akar munculnya krisis lainnya. Tak heran
jika dalam pemerintahan yang baru ini gerakan Revolusi Mental menjadi hal penting
untuk dilaksanakan, bukan sekadar wacana belaka. Sehingga semua lapisan Negara,
termasuk lembaga pendidikan berperan penting dalam mewujudkannya.
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional di samping
mencerdaskan bangsa, yaitu untuk membentuk peserta didik yang berkarakter, bertakwa
terhadap Tuhan yang Maha Esa, serta berakhlak mulia. Bukan merupakan tugas yang
mudah bagi lembaga pendidikan, khususnya guru/dosen yang bertatap muka langsung
dengan peserta didik. Tugas mereka bukan sekedar transfer ilmu namun juga
membentuk kepribadian anak didik. Berusaha menekankan bahwa knowledge is power,
but character is more. Namun perlu disadari bahwa, hal ini tidak akan berhasil tanpa
kerja sama yang baik antara keluarga, masyarakat dan pemerintah, yang secara langsung
dan tidak langsung turut membentuk kepribadian peserta didik.
Permasalahan yang muncul akhir-akhir ini adalah, lembaga pendidikan yang
seharusnya menampilkan wujud dari pendidikan karakter, malah mencoreng kredibilitas
Negara. Beberapa isu moralitas yang termuat di berbagai media massa dan elektronik,
seperti kejahatan seksual yang terjadi di sekolah oleh pihak guru terhadap siswanya,
kekerasan antar sesama anak SD, tawuran antar pelajar/mahasiswa, tindakan kekerasan
seorang guru yang menampar para anak didiknya, sistem UN yang sarat akan
ketidakjujuran, kasus Narkoba yang menjerat Guru Besar sebuah universitas beserta para
rekan mahasiswanya, para alumni universitas yang melakukan jual-beli Narkoba di ekskampusnya, dsb. Munculnya berbagai problematika dalam dunia pendidikan kembali
mempertanyakan nilai pendidikan karakter yang dicanangkan selama ini.
Tulisan ini mencoba menelusuri apa yang membuat nilai-nilai karakter begitu
penting untuk direvitalisasi kembali mengingat berbagai persoalan di atas, apakah nilai
karakter dan moralitas bangsa benar-benar mustahil diterapkan khususnya dalam dunia
pendidikan? Bagaimana merevitalisasi pendidikan karakter dalam diri peserta didik?
Semua pertanyaan tersebut akan diulas dalam tulisan ini.
Tujuan
Adapun tujuan penulisan kajian ini adalah untuk menghidupkan kembali nilai-nilai
karakter dalam pendidikan di Indonesia (baik orang tua, guru dan masyarakat) agar tidak
menjadi sekedar wacana dan saling lempar batu sembunyi tangan menghadapi
permasalahan moralitas (karakter buruk) anak didik.
Manfaat
Untuk memberikan semangat dan optimisme bagi pendidikan Indonesia dalam upaya
menciptakan pendidikan karakter dan budaya nilai moral yang baik pada setiap anak
didik.
PEMBAHASAN
Landasan Konseptual
Penalaran otak orang itu luar biasa, demikian kesimpulan ilmuwan kerbau dalam
makalahnya, namun mereka curang dan serakah. Sedangkan sebodoh-bodoh umat
kerbau, kita tidak curang dan serakah. Pernyataan yang lugu, namun benar dan kena,
sungguh menggelitik nurani. Benarkah bahwa semakin cerdas, maka semakin pandai
kita menemukan kebenaran dan semakin baik pula perbuatan kita? Apakah manusia
yang mempunyai intelektual yang tinggi semakin berbudi yang dilandasi analisis yang
hakiki, atau malah sebaliknya? Semakin cerdas semakin pandai pula kita berdusta?
Pendidikan Indonesia dalam sejarah pelaksanaannya selama ini disadari memang
lebih menekankan pada domain kognitif saja, melahirkan peserta didik yang cerdas, atau
berintelektual tinggi, namun tidak semuanya yang memiliki karakter yang baik dan
berketerampilan. Tidak mengherankan bila KKN, tawuran, malapraktik pendidikan,
budaya menyontek, plagiarisme, peserta didik yang bermental buruh (bukan bermental
wirausaha), dan tindakan pelecehan dalam pendidikan terjadi.
Lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi wadah para orang tua, pemerintah
dan masyarakat menempatkan kepercayaannya dalam pembentukan karakter malah yang
menjadi sumber terjadinya permasalahan itu. Pernyataan ini tidak sepenuhnya dapat
dibenarkan, orang tua bahkan masyarakat juga turut ambil bagian dalam tanggung jawab
pembinaan karakter yang baik bagi anak didik.
Menilik kembali pada revolusi IPTEK yang begitu cepat, bagaimana arus globalisasi
dan modernisasi juga turut serta memegang peranan dalam pembentukan karakter anak
didik. Globalisasi sudah menjurus ke semua aspek kehidupan, nilai-nilai budaya yang
selama ini dipegang kuat perlahan memudar, begitu pula moralitas bangsa yang tampak
semakin surut akibat kurangnya upaya filterisasi terhadap budaya luar yang tidak
relevan dengan nilai budaya Indonesia (khususnya nilai Pancasila sebagai falsafah hidup
bangsa).
Menteri pertahanan RI di masa pemerintahan SBY pernah mengungkapkan bahwa
ada kemungkinan dunia pendidiikan kita selama bertahun-tahun terpasung oleh
kepentihgan-kepentingan tertentu yang masih samar. Pendidikan kita tersisih di antara
keinginan mengejar pertumbuhan ekonomi, dan daya saing bangsa, sehingga tampaknya
tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara utuh lahir dan batin, lebih
diorientasikan pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering
dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan dan budi pekerti. Pendidikan lebih
mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa diimbangi dengan
intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, dan emosi. Akibatnya, apresiasi
output pendidikan terhadap keunggulan nilai humanistic, keluhuran budi, dan hati nurani
menjadi dangkal. (dalam Soekardjo, 2009).
Kondisi yang meliputi pendidikan saat ini membutuhkan konsep & strategi yang
mapan dan integral. Selain itu juga harus dapat mendidik seluruh aspek kemanusiaan
dalam menghadapi arus budaya dan sosial yang sedemikian gencar akibat arus
perkembangan IPTEK yang begitu cepat.
Perubahan kurikulum yang lalu beralih ke kurikulum 2013 yang menempatkan
domain afektif & nilai spiritual dalam urutan pertama sebelum domain kognitif.
Kurikulum tersebut sudah dijalankan saat ini dan diharapkan mampu melahirkan peserta
didik selain cerdas secara intelektual, diutamakan memiliki karakter yang baik, yang
bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berguna bagi dirinya secara pribadi dan juga
sesamanya.
Pembenahan karakter berikutnya dapat dilihat dari kenyataan selama ini yang terjadi
dimana lembaga pendidikan kita semata-mata menghasilkan angkatan kerja bermental
buruh dan berorientasi pada pembunuhan kreatifitas berpikir dan berkarya.. Hingga kini
sistem pendidikan masih sekedar menyiapkan kebutuhan dalam memenuhi pasaran
lowongan pekerja dan pemenuhan kebutuhan industri yang sedang gencar-gencarnya
tumbuh subur di Indonesia. Jika ini terus-menerus tanpa reorientasi, dikhawatirkan
terlahir generasi terdidik yang tidak lebih sebagai limbah sosial (sarjana tapi
pengangguran) yang hanya berharap pada lowongan kerja yang disediakan pemerintah.
Indikator yang digunakan pun cenderung menggunakan indikator kepintaran dan tolak
ukur nilai rapor maupun ijasah. Oleh sebab itu, mengakibatkan terjadinya praktek jualbeli gelar, jual-beli ijasah hingga jual-beli nilai. Untuk itu, sudah saatnya sistem
pendidikan di Indonesia diarahkan agar mampu menciptakan lulusan yang mempunyai
jiwa mandiri, kreatif dan tangguh dalam menghadapi persaingan usaha (berjiwa
wirausaha). Agar perguruan tinggi tidak hanya menghasilkan manusia pencari kerja,
maka perencanaan pembangunan pendidikan tinggi harus diselaraskan dengan
perkembangan lapangan kerja.
Filsuf Pendidikan dalam aliran rekonstruksionisme - Paulo Freire memandang
pendidikan dari sisi praksis harus sejalan dengan praktiknya artinya bahwa pendidikan
yang tidak mampu menggerakkan kaki dan tangan untuk bertindak bukanlah arti
pendidikan yang sesungguhnya; dia juga memandang bagaimana manusia (peserta didik)
dipandang sebagai sosok manusia secara utuh dengan segala pergumulannya ; terakhir
memandang peserta didik bukan sebagai objek saja melainkan juga sebagai subjek
dalam dunia pendidikan, subjek yang mampu bertindak mengubah dunianya dengan
potensi yang dimilikinya tanpa mengkesampingkan nilai-nilai spiritual dan moralitas.
Berangkat dari pandangan Freire, kita menemukan nilai optimisme dari peserta didik
yang memiliki potensi dan moral yang baik walau masih terselubung, demikianlah
peranan orangtua, khususnya pendidik berupaya bersama dengan anak didik
mengaktualisasikan potensi dan nilai karakter yang baik bagi mereka.
lingkungan keluarga
merupakan lingkungan pertama, kedua orang tua harus berusaha melakukan pembinaan
karakter melalui penanaman nilai-nilai agama yang luhur (mengenal & mengasihi Tuhan
dan sesamanya, arti hidup sederhana & bersyukur); menjadi teladan yang baik (dalam
tutur kata, sikap dan pola pikir); dan tak kalah penting pola asuh (parenting style) yang
demokratis (agar mampu mandiri & bertanggung jawab); mengarahkan anak
membedakan mana yang baik dan tidak baik, dsb; kesemua upaya tersebut harus
dilandasi dan dilakukan dengan kasih sayang.
Upaya (peran) Lembaga Pendidikan
Lembaga pendidikan (formal & non formal) bertugas memberi pencerahan
intelektual
dan
penjernihan
hati
untuk
membangkitkan
semangat
mengejar
ketertinggalan dan menyeleksi budaya luar, khususnya dari peradaban. Selain itu juga
memberikan pondasi kokoh dalam membangun karakter anak didik di tengah globalisasi
& modernisasi melalui penanaman nilai-nilai pancasila sebagai alat filterasasi .
Untuk lembaga formal (sekolah/universitas) berada di garda depan dalam pendidikan
karakter. Dalam konteks ini, peran pemimpin, konselor, karyawan dan guru dalam
lembaga ini adalah sangat menentukan. Pemimpin lembaga bertugas merevitalisir spirit
guru/dosen dalam membangkitkan pendidikan karakter, berperan pula sebagai figur
teladan yang baik untuk ditiru, kemudian menyediakan pembelajaran yang lengkap
mulai dari silabus, RPP, instrument penilaian, monitoring, evaluasi dan tindak lanjut.
Kemudian, harus memantau langsung pelaksanaan pembelajaran (dilakukan sewaktuwaktu ; baik melalui perwakilan atau tidak) guru/dosen sehubungan dengan tingkat
efektivitas dan produktivitasnya dalam membentuk karakter anak. Pemimpin lembaga
juga tertantang untuk membangun kultur sekolah yang kondusif bagi pendidikan
karakter. Kultur (budaya) sekolah yang religiositas, menghargai waktu, kedisiplinan,
kreativitas, kepedulian sosial & lingkungan hidup, persaudaraan (multikultural),
nasionalisme, patriotisme & cinta tanah air, serta berprestasi.
Tantangan yang dihadapi saat ini sangat berat dan kompleks, maka selain nilai-nilai
karakter di atas, peserta didik hendaknya perlu dibekali dengan karakter kewirausahaan.
Khususnya
dalam pendidikan
tinggi,
mampu
Menurut
Kemnendiknas (2010; 15-17, dalam Wibowo, 2012; hal 145), kewirausahaan adalah
suatu sikap, jiwa dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, yang sangat
berniliai dan berguna; baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Kewirausahaan
merupakan sikap mental dan jiwa, yang selalu aktif atau kreatif, berdaya, bercipta,
berkarya, bersahaja, dan berusaha dalam rangka meningkatkan pendapatan atas kegiatan
usahanya. Sementara wirausaha adalah orang yang terampil memanfaatkan peluang
dalam mengembangkan usahanya, dengan tujuan untuk meningkatkan kehidupannya.
Kemajuan IPTEK saat ini merupakan peluang sekaligus tantangan dalam menerapkan
nilai-nilai wirausaha.
Dalam kurikulum, karakter keilmuan kewirausahaan sebaiknya didesain untuk
mengetahui (to know), melakukan (to dong) kewirausahaan, yang terintegrasi dalam
program studi dan terdistribusi di dalam berbagai mata ajar keilmuan. Integrasi ini
dimaksudkan untuk menginternalisasikan nilai-nilai kewirausahaan. Dalam tahap ini,
lembaga pendidikan (Sekolah Menengah & Perguruan Tinggi) menyediakan mata ajar
kewirausahaan yang ditujukan untuk bekal motivasi dan pembentukan sikap mental
entrepreneur. Dan terakhir menjadi (to be) wirausaha (entrepreneur) diberikan dalam
dalam pelatihan keterampilan bisnis praktis, kemudian dilatih merealisasikan inovasi
teknologi ke dalam praktek bisnis.
Konselor bertanggung jawab mengidentifikasi problem (persoalan) yang dialami
anak didik dengan mencarikan solusi, jangan sampai anak berlarut-larut dalam
masalahnya tanpa solusi yang jelas (berakibat fatal pada perilaku bunuh diri). Konselor
sebaiknya seorang psikolog atau orang yang mengerti psikologi perkembangan mental
anak didik, sehingga mampu membaca, mendekati, dan memberi solusi bagi
permasalahan anak didik.
Peran Pendidik (guru/dosen)
Guru/dosen bertanggung jawab menyuntikkan virus karakter yang baik kepada anak
didik secara bertahap, sistematis, disiplin, dan kreatif. Seperti perkataan Bapak Ki Hajar
Dewantara bahwa karakter itu terjadi karena perkembangan dasar yang sudah terkena
pengaruh ajar. Oleh karena itu, tiga langkah pertama yang harus dilakukan oleh
pendidik terdapat dalam ajaran beliau yang merupakan lambang Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas), yaitu: Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, dan
Tut Wuri Handayani. Falsafah Ing Ngarso Sung Tulodo bemakna bahwa seorang
pendidik hendaknya memberi teladan yang baik kepada murid-muridnya; Ing Madya
Mangun Karso menyiratkan seorang pendidik harus terus untuk membuat inovasi dalam
pembelajaran ; dan Tut Wuri Handayani seorang pendidk harus dapat membangkitkan
motivasi, memberikan dorongan pada anak didiknya untuk terus maju, berkarya dan
berprestasi.
Pendidik juga harus mampu meningkatkan prestasi dirinya sendiri sebagai seorang
inspirator, motivator, dinamisator, dan evaluator yang kritis, inovatif, dan produktif
dalam memompa semangat belajar anak didik. Sehingga, mereka berani menghadapi
tantangan, bepikir solutif, bergerak optimis, dan terbang dengan ekspektasi dan
keyakinan diri yang tinggi. Pendidik tidak boleh patah semangat, namun harus yakin dan
terus belajar memperbaiki diri untuk menampilkan pembelajaran yang menarik &
simpati
intuitif
terhadap
perbedaan-perbedaan
dengan
dirinya,
serta
diintegrasikan atau diinternalisasikan (inheren) pada semua mata ajaran. Selain itu,
pembentukan karakter bukan hanya menjadi tanggung jawab pendidik tertentu (pendidik
agama dan PKN), melainkan semua pendidik bertanggung jawab dan berkewajiban
membentuk karakter anak didik.
Upaya/peran Masyarakat & Media Massa
Masyarakat & media massa berperan untuk mendidik anak didik untuk menghargai
keberagaman, budaya demokrasi, persaudaraan (solidaritas), kerja sama, perjuangan,
pentingnya prestasi dan berkarya demi kemajuan bangsa. Selain itu, masyarakat &
media massa harus menampilkan contoh/teladan yang baik, dan kerap mengadakan
kegiatan-kegiatan
yang
menyatukan
keberagaman
(seperti:
kegiatan
royong
PENUTUP
Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian
dan kemampuan di dalam dan di luar lembaga pendidikan dan berlangsung seumur
hidup dan dilaksanakan di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Karena itu
pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, lembaga pendidikan,
masyarakat dan pemerintah mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya.
Pendidikan sebagai upaya menciptakan manusia seutuhnya berarti manusia yang
berkembang seluruh kepribadiannya, haknya sebagai makhluk individu, makhluk sosial,
makhluk susila, dan makhluk berkeTuhanan. Sehingga, pendidikan tidak hanya
menciptakan manusia-manusia yang cerdas, namun juga memiliki kemampuan
professional yang tinggi (terampil), dan sekaligus memiliki kepribadian dan sikap
mental terpuji dan beriman yakni manusia pancasila.
Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang
membantu individu untuk hidup dan bekerja sama sebagai keluarga, masyarakat dan
bangsa, serta membantu orang lain untuk membuat keputusan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis
dan berkelanjutan merupakan bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong
masa depan yang cerah dan mampu menghadapi tantangan kehidupan. Pengembangan
manusia melalui pendidikan menuntut pengembangan semua daya (daya jiwa yaitu
cipta, karsa dan karya) secara seimbang untuk menghasilkan keutuhan perkembangan
sebagai manusia yang berguna dan humanis.
Pada akhirnya, seperti kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan,
bahwa dalam dunia pendidikan terdapat tiga komponen penting yang perlu dimiliki anak
didik. Pertama, setiap anak harus memiliki integritas yang baik. Kedua, anak-anak harus
dididik agar memiliki jiwa kewirausahaan. Sebab jiwa kewirausahaan melihat kesulitan
sebagai kesempatan, dan seorang yang mempunyai jiwa usaha adalah orang yang selalu
optimistis. Ketiga, anak-anak harus diberi bekal agar mempunyai kemampuan
komunikasi yang tinggi. Ketiganya bertujuan aggar Indonesia bisa mempengaruhi dunia,
bukan menerima apa-apa dari dunia.
DAFTAR RUJUKAN
Asmani, Jamal M. 2011. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah.
Yogyakarta : DIVA Press.
Bastian, Aulia Reza. 2002. Reformasi Pendidikan. Yogyakarta : Lappera Pustaka Utama.
Brotoseno,
Iman.
2012.
Quo
Vadis
Pendidikan
di
Indonesia?.
2014.
Ini
Tantangan
Dunia
Pendidikan
(Editor:
Aditia
Maruli),
Indah.
2012.
Potret
Pendidikan
Indonesia.
http://www.haluankepri.com/opini-/32328-potret-pendidikan-di-indonesia.html,
diakses 20 November 2014.
Saptono. 2011. Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter. Salatiga : Penerbit Erlangga.
Sukardjo, M dan Komarudin, Ukim. 2009. Landasan Pendidikan. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada.
Suriasumantri, Jujun S. 1999. Filsafat Ilmu. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
2012.
Generasi
Bermental
Buruh.
http://kuliah2020.wordpress.com/2012/12/29/generasi-bermental-buruh/, diakses
20 November 2014.
---------------. A Sense of The Whole. http://kuliah2020.wordpress.com/2012/12/29/asense-of-the-whole-dalam-pendidikan/, diakses 20 November 2014.
Tambunan, Janwar. 2012. Perkembangan Peserta Didik. Medan : Universitas HKBP
Nommensen.
Wibowo, Agus. 2012. Pendidikan Karakter. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.