Mild Therapy
Sulfalasalazine ( dan 5-ASA agents lain)
Efektif untuk menginduksi dan mempertahankan remisi KU.
Sulfasalazine memiliki efek terapi antibakterial (sulfapyridine) dan antiinflmasi (5-ASA) terhadap jaringan ikat dari sendi dan mukosa kolon.
Struktur molekul disalurkan ke kolon, dimana molekul obat secara utuh
dapat melewati usus halus hanya dengan absorpsi parsial, dan
dihancurkan oleh kolon oleh bakteri azo reductase yang memotong
ikatan azo yang menghubungkan sulfa dan bagian dari 5-ASA.
Sulfasalazine efektif untuk KU ringan dan sedang, namun efek
sampingnya membatasi penggunaannya.
Meskipun sulfasalazine efektif dalam penggunaan dosis yang lebih
tinggi (6-8 g/d) hamper 30% pasien mengalami alergi atau efek
samping yang tidak ditoleransi, seperti sakit kepala, anorexia, mual,
dan muntah akibat bagian dari sulfapyridine. Reaksi hipersensitivitas,
termasuk ruam, demam, hepatitis, agranulositosis, pneumositis
hipersensitif, (sulfapyridine) pancreatitis, perburukan colitis, dan
abnormalitas sperma yang reversible.
Sulfasalazine juga dapat menganggu absorpsi asam folat dan pasien
harus diberikan suplemen asam folat.
Preparat aminosalisilat bebas sulfa yang lebih baru dapat menyalurkan
jumlah kandungan aktif sulfalazine ( 5 ASA, Mesalamine) lebih tinggi
pada tempat penyakit usus aktif dengan membatas toksisitas sistemik.
Peroxisome proliferator activated receptor gamma (PPAR gamma)
mungkin memediasi aktivitas terapi 5-ASA dengan mengurangi nuclear
localization oleh NFkB.
Formulasi Aminosalisilat bebas sulfa termasuk alternative karier azobonded, 5-ASA dimers, pH dependent tablets, delayed-release,
controlled-release preparations.
Semuanya memiliki efikasi yang sama dengan sulfalazine dalam
konsentrasi equimolar (of or relating to an equal number of moles <an
equimolar mixture> 2. : having equal molar concentration.
Lialda dan apriso diberikan sehari sekali memiliki keuntungan dimana pasien
dapat lebih patuh obat disbanding dengan pemberian 2-4 klai dosis harian untuk
preparat mesalamine lain.
Mesalamine tak berselubung (unencapsulated) (salofalk) beredar di Eropa untuk
induksi dan pertahanan remisi untuk beberapa tahun.
MASUKIN TABEL
50-75% pasien dengan KU ringan hingga sedang membaik dengan pengobatan
5-ASA dosis setara dengan 2g/ hari mesalamine; respon dosis dilanjutkan
sampai setidaknya 4.8d/ hari, secara umum, 5-ASA bekerja dalam 2-4 minggu.
5-ASA dosis setara dengan 1.5-4 g/ hari dosis mesalamine untuk
mempertahankan remisi pada 50-75% pasien dengan KU.
Mesalamine enema topical efektif pada UK distal ringan hingga sedang. Respon
klinis terjadi hingga 80% pasien UK dengan kolitis distal ke fleksura splenikus.
Terapi komninasi dengan mesalamine oral dan enema lebih efektik ketimbang
penggunaan sendiri-sendiri untuk KU distal dan ekstensif.
Mesalamine suppository efektif dalam proktitis.
GLUKOKORTIKOID.
Pasien dengan UK sedang hingga berat mendapat keuntungan dari
glukokortikoid oral dan parenteral.
Prednisone dimulai dengan dosis 40-60 mg/ hari untuk UK aktif yang tidak
berespon terhadap terapi 5-ASA. Glukokortikoid parenteral hidrokortisone
300mg/ hari atau methylprednisolone 40-60mg/ hari.
Glukokortikoid topical juga bermanfaat untuk kolitis distal dan sebagai tambahan
pada [asien dengan keterlibatan rekal dan penyakit yang lebih proksimal.
Hidrokortisone enema atau foam mungkin dapat mengendalikan penyakit aktif
nanun tidak memiliki pembuktian untuk terapi maintanace
Glukokortikoid diabsorpsi secara signifikan dari rectum dan dapat menyebabkan
supresi adrenal bila diberikan dalam jangka waktu panjang. Terapi 5-ASA topical
lebih efektif ketimbang terapi steroid topical dalam terapi KU distal.
Glukokortikoid tidak memiliki peran dalam terapi maintenance pada KU. Pada
saat remisi sudah tercapai, glukokortikoid harus diturunkan tergantung aktibitas
klinis, normalnya dengan laju tidak lebih dari 5mg/ minggu. Biasanya diturunkan
ke 20mg/ hari dalam 4-5 minggu tetapi biasanya dibutuhkan beberapa bulan
untuk menghentikan semuanya.
Efek samping banyak, retensi cairan, striea abdomen, redistribusi lemak,
hiperglikemia, subkapsular katarak, osteonecrosis tergantung dengan dosisi dan
durasi terapi.
ANTIBIOTIK
Antibiotik tidak memiliki peran dalam pengoibatan aktif atau inaktif KU. Namun,
peradangan pada pouchitis di 1/3 pasien KU setelah kolektomi dan IPAA,
biasanya digunakkan metronidazole dan atau ciprofloksasin.
Dosisi metronidazole 15-20 mg/ kg per hari dibagi dalam 3 dosis.
Efek samping: mual, rasa metalik, reaksi seperti disulfiram (flushing, and may be
accompanied by tachycardia and hypotension.).
Ciprofloxacin: 500mg bid achiles tendinitis dan rupture.
Azathioprine dan 6-Mercaptopurine
Purin analog untuk manajemen glucocortiocoid dependent IBD.
Azathioprine cepat diabsorpsi dan dikonversi ke 6-MP, yang kemudian akan
dimetabolisme ke produk akhir aktif asam thioinosinic, sebuah inhibitor sintesis
purin ribonukleosida dan proliferasi sel. Obat ini juga menghambat imun respon.
Efikasi dapat dilihat 3-4 minggu tetapi dapat dikonsumsi sampai 4-6 bulan.
Kepatuhan terhadap obat ini dapat dimonitor dengan mengukur level 6thioguanine dan 6-methyl mercaptopurine, produk akhir dari metabolism 6-MP.
Azathioprine 2-3mg/kg per hari atau 6-MP 1-1.5 mg/kg per hari telah digunakkan
sebagai glucocorticoid sparing agents pada 2/3 pasien KU dan penyakit Khron
yang sebelumnya tidak dapat diberhentikan dari glukokortikoid.
Azathioprine dan 6-MP biasanya dapat ditoleransi dengan baik, pankreatitis
terjadi pada 3-4% pasien, biasanya muncul pada beberapa minggu pertama
terapi, dan akan kembali reversible setelah terapi diberhentikan. Efek samping
lain adalah mual, demam, ruam, dan hepatitis. Supresi sumsum tulang
(terutama leukopenia) bergantung pada dosis dan oleh sebab itu diperlukan
pemeriksaan rutin CBC. 1 dari 300 pasien yang kekurangan thiopurine
methyltransferase, enzim untuk metabolism obat; 11% populasi heterozigot
dengan aktivitas intermediate mengalami peningkatan toksisitas karena
peningkatan akumulasi metabolit thioguanine. Oleh sebab itu, harus berhati-hati
pemberian obat disesuaikan dengan berat. Penggunaan obat ini meningkatkan
risiko limfoma sebanyak 4 kali.
SIKLOSPORIN
Peptida lipofilik dengan efek inhibisi pada imun selular dan inate. CSA memblok
produksi IL-2 oleh limfosit T-penolong. SCA berikatan dengan siklofilin dan
kompleks ini menghambat calcineurin (enzim sitoplasmik phosphatase) yang
terlibat dalam aktivasi sel T. CSA juga langsung menghambat fungsi sel B
dengan memblok sel T penolong. CSA memiliki onset kerja yang lebih cepat
daripada Azathioprine dan 6-MP.
CSA paling efektif bila diberikan pada 2-4 mg/kg per hari IV pada KU berat yang
tidak berespon terhadap glukokortikoid IV, dengan 42% pasien yang berespon.
SCA dapat menjadi alternative kolektomi.
Dosis 2 mg/ kg dose, diukur dengan monoclonal radioimmunoassay atau
performa tinggi liquid chromatography assay harus dijaga antara 150 sampai 350
ng/ml.
Efek samping:
Hipertensi, hyperplasia ginigival, hipertrikosis, parestesia, tremor, nyeri kepla,
dan abnormalitas elektrolit.
Peningkatan kreatinin turun dosis atau stop terapi
Kejang terjadi bila pasien hipomagnesemia atau serum cholesterol <120 mg./dl.
Infeksi oportunistik bila dikombinasi dengan imunosupresan (pneumocystis
carinii pneumonia); berikan profilaksis. Efek samping berbahayaL nephrotoxicity,
infeksi serius, kejang, anafilaksis, kematian.
TERAPI ANTI-TNF
Infliximab, turunan dari IgG1 antibodi terhadap TNF-alfa, yang sekarang diterima
sebagai terapi KU aktif ringan ke sedang
Infliximab menunjjukan respon pada 37-49 % pasien dan 20% pasien dapat
mempertahankan remisi setelah 40 dan 54 minggu.
Bila pasien tidak menunjukan respon dengan infliximab, dapat diganti dengan
adalinumab atau certolizumab pegol. Laju remisi adalimuman meningkat dengan
peningkatan dosis ke 40 mg setiap minggu. Diberikan dengan injeksi subkutan.
Adalimumab berikatan dengan TNF dan menetralisis fungsinya dengan memblok
interaksi antara TNF dan reseptronya pada permukaan sel. Oleh sebab itu,
memiliki mekanisme kerja yang mirip dengan infliximab.
NUTRITIONAL Theray
Tidak berpengaruh pada KU.
Manifestasi Klinis
manifestasi itama dari KU adalah diare, perdarahan rectum, tenesmus,
keluarnya mucus, nyeri perut keram. Keparahan dari manifestasi
bergantung pada luasnya daerah yang terkena penyakit. Meskipun UK
dapat juga bersifat akut, manifestasi klinis biasanya telah muncul
dalam jangka waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan.
Terkadang, diare dan perdarahan muncul tiba-tiba dan ringan sehingga
pasien tidak menghiraukannya.
Laboratorium
Peningkatan CRP
Hitung Platelet
ESR
Penurunan hemoglobin
Fecal lactoferrin sensitivitas dan spesifitas tinggi untuk deteksi
inflamasi usus
Fecal calprotectin berhubungan dengan histologi inflamasi,
memprediksi relaps, dan mendeteksi pouchitis.
Serum albumin turun = parah
Leukositosis
Proktitis dan proktosigmoiditis jarang menyebabkan peningkatan CRP
Diagnosis: anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan feses negative
untuk bakteri, c.difficile toksin, ova, dan parasite. Penampakan
sigmoidoskopi dan histologi dari rektal atau spesimen biopsi kolon.
Sigmoidoskopi
Meninjau aktivitas penyakit dan biasanya dilakukan sebelum
tatalaksana
Bila pasien tidak berada dalam kondisi akut, kolonoslopi digunakkan
untuk melihat luasnya daerah yang terkena penyakit. Secara
endoskopik, penyakit ringan ditandai dengan eritema, penurunan
corak vascular, dan friability ringan.
Penyakit sedang ditandai dengan eritema yang jelas, absen dari corak
vascular, friability dan erosi.
Penyakit berat ditandai dengan perdarahan spontan dan ulserasi.
Perubahan histologic terjadi lebih lama disbanding dengan perubahan
klinik.
Perubahan radiologic terlihat dengan kontras barium enema dalam
bentuk granulasi mukosa baik. Dengan peningkatan keparahan,
mukosa menebal dan ulkus superfisial tampak. Ulser dalam ditandai
dengan tampaknya ulkus kancing-baju, yang mengindikasikan ulkus
telah mengalami penetrasi hingga ke muosa. Lipatan haustra bisa
terlihat normal pada penyakit ringan, namun seiring meningkatnya
aktivitas penyakit, haustra menjadi edema dan menebal, hingga
haustra menghilang. Selan itu, kolon memendek dan menyempit. Polip
di kolon bisa jadi merupakan polip post inflamasi/ pseudopolip,
edematous polip, carcinoma.
CT scan tidak begitu menolong seperti endoskopi dan barium enema
dalam membuat diagnosis KU, tapi dapat juga menunjukan bila terjadi
penebalan mural ringan (<1.5 cm), densitas dinding yang inhomogen,
absen dari penebalan usus halus, peningkatan lemak perirectal dan
presacral, penampakan target dari rectum dan adenopati.
PEMERIKSAAN Mikroskopik
Proses KU terlibat hanya sampai mukosa dan submukos superfisial, dan
tidak berdampak pada lapisan yang lebih dalam kecuali dalam
keadaan parah dan onset cepat. Dalam KU, 2 ciri khas utama yang
membedakan dari infeksi atau acute self limited colitis adalah sbb.
Pertama, kripta kolon berubah; kripta dapat menjadi bifid dan
berkurang jumlahnya, terkadang dengan jarak antar basis kripta dan
mukosa muskularis. Kedua, beberapa pasien memiliki sel basal plasma
dan agregasi multiple basal lymphoid. Kongesti vascular mukosa,
dengan edema dan perdarahan fokal, dan infiltrasi sel inflamasi
neutrofil, limfosit, sel plasma, dan makrofag. Neutrofil menginvasi
epitel, biasanya pada kripta dan menyebabkan kriptitis atau abses
kripta. Perubahan ileum pada pasien dengan backwash ileitis termasuk
atrofi vili dan regenarsi kripta dengan peningkatan inflamasi,
peningkatan neutrofil dan inflamasi mononuclear di lampina propria
dan bercak kriptitis atau abses kripta.
PEMERIKSAAN MAKROSKOPIK
KU adalah penyakit mukosa yang biasanya melibatkan rectum dan
menyebar hingga ke proksimal dan melibatkan seluruh atau sebagian
kolon. 40-50% pasien memiliki penyakit terbatas pada rectum dan
rektosigmoid, 30-40% memiliki penyakit lebih dari sigmoid tapi belum
melibatkan kolon, dan 20% memiliki total kolitis. Penyebaran proximal
terjadi dengan kontinuitas, tanpa melibatkan area mukosa yang tidak
terlibat.
Bila seluruh kolon terlibat, inflamasi hingga 2-3 cm ke ileum terminal
pada 10-20% pasien. Perubahan endoskopik pada backwash ileitis
bersifat superfisial dan ringan dan hanya memiliki sedikit kepentingan
klinis. Meskipun variasi dari aktivitas makroskopik dapat berupa skip
lesion, biopsi dari mukosa yang telrihat normal, sebenarnya dapat juga
abnormal. Oleh karena itu, penting untuk mengambil biopsi dari
berbagai area yang tampaknya mukosa tidak terlibat, proximal
maupun distal dalam endoskopi.
Sebuah gagasan menjabarkan bahwa terapi medikamentosa yang
efektif dapat mengubah penmapakan mukosa pada skip areas atau
seluruh kolon menjadi normal secara mikroskopik.
Inflamasi ringan: mukosa eritema dan memiliki permukaan granular
halus yang menyerupai sandpaper. Pada penyakit yang lebih parah,
mukosa mengalami perdarahan, edema, dan ulkus. Pada penyakit
KOMPLIKASI
Hanya 15% pasien mengalami penyakit yang parah.
1% dengan serangan parah, mengalami perdarahan hebat dan
dilakukan tatalaksana untuk menghentikan perdarahan. Namun, bila
pasien membutuhkan 6-8 L darah dalam 24-48 jam, dibutuhkan
kolektomi.
Megakolon toksik adadalah kolon transversum atau kanan dengan
diameter lebih dari 6 cm dengan kehilang haustra pada pasien dengan
KU berat. Hal ini dicetuskan dengan adanya gangguan elektrolit dan
narkotik.
50% pasien dapat sembuh dengan medikamentosa, namun kolektomi
dibutuhkan bila pasien tidak merespon terhadap pengobatan
medikamentosa.
Komplikasi lokal paling parah adalah perforasi, dan terlihat tanda
peritonitis terutama pada pasien dengan penggunaan glukokortikoid.
Mortalitas 15%
Pasien juga dapat langsung mengalami perforasi tanpa terlebih dahulu
mengalami dilatasi kolon.
5-10% pasien mengalami striktur dan harus diperhatikan sebagai
kemungkinan neoplasia yang mendasari.
Striktur ringan dapat juga terjadi dari inflamasi dan fibrosis. Striktur
yang tidak dapat dilalui oleh kolonoskopi dianggap malignan sampai
terbukti tidak. Striktur yang menghalangi masuknya kolonoskopi
adalah indikasi untuk operasi. Pasien KU biasanya memiliki fisura,
abses perianal, atau hemoroid tetapi bila terjadi secara meluas dapat
menjadi tanda penyakit Kron.
FAKTOR EKSOGEN
Berbagai macam pathogen dapat menginisiasi IBD dengan memicu
respon inflamasi dimana imun system mukosa gagal untuk
mengontrol. Namun, pada seorang pasien IBD, mikrobiota normal
dikenali seakan-akan dia adalah pathogen. Perubahan komposisi dari
mikrobiota komensal dapat dilihat dalam KU dan PK. Namun, apakah
perubahan ini merupakan primer atau sekunder terhadap inflamasi
juga tidak diketahui. Organisme aerobik terutama Bakteroides dan
Klostridium, dan beberapa spesies aerob seperti Escherichia juga
mungkin bertanggung jawab atas tercetusnya inflamasi. Dugaan ini
didukung oleh respon imun dalam pasien penyakit kron terhadap
sejumlah antigen bakteri. Selain itu, agen yang merubah flora usus
seperti metronidazole, ciprofloxacin, dan makanan, dapat memperbaiki
penyakit kroon. PK juga memiliki respon terhadap fecal diversion
(ileostomy or colestomy) , hal ini menerangkan kemampuan dari
konten lumen untuk memperburuk penyakit. Sebaliknya, organisme
lain, yang disebut probiotik (seperti Faecalibacterium prausnitzii,
Lactobacillus, Bifidobacterium, Taenia Suis, dan Saccharomyces
boulardii spp.) dapat menghambat inflamasi pada model percobaan
binatang dan manusia.
Menurut penelitian, factor psikososial juga berkontribusi dalam
memperburuk gejala IBD. Penyakit, kematian, perceraian, konflik
interpersonal atau kehilang berkaitan dengan peningkatan gejala IBD,
seperti nyeri, disfungsi usus, dan perdarahan. Stress akut juga dapat
memperburuk manifestasi usus .
Sekali diinisiasi dalam IBD oleh system imun inate abnormal yang
mendeteksi bakteri oleh kerja dari sel parenkim (seperti sel epitel
usus) dan sel hematopoietic (seperti sel dendrit), respon imun
inflamasi dipertahankan dengan aktivasi sel-T. Kaskade dari mediator
inflamasi memperpanjang respon; setiap alur dari kaskade ini menjadi
target dari terapi. Sitokin inflamasi seperti IL-1, IL-6, dan TNF memiliki
berbagai macam efek pada jaringan. Mereka menyebabkan terjadinya
fibrogenesis, produksi kolage, aktivasi metalloproteinase jaringan dan
produksi dari mediator inflamasi lain; mereka juga mengaktivasi
kaskade koagulasi dalam pembuluh darah lokal (meningkatkan
produksi factor von willebrand). Sitokin ini normlanya diproduksi dalam
repson terhadap infeksi, namun biasanya dimatikan atau dihambat
pada waktu yang tepat untuk mencegah terjadinya kerusakan jaringan.
Dalam kondisi IBD, aktivitas sitokin ini tidak diregulasi sehingga timbul
ketidakseimbangan antara mediator proinflamasi dan anti-inflamasi.
Terapi seperti 5-ASA berpotensi untuk menghambat inflamasi mediator
ini menlawai penghambata factor transkripsi seperti NFkB yang
meregulasi ekspresinya.
KERUSAKAN REGULASI IMUN DALAM IBD
Imun system mukosa dalam keadaan normal tidak reaktif terhadap
konten lumen karena toleransi oral (mukosa). Bila antigen yang larut
dikonsmsi secara oral ketimbang secara subkutan atau intramuscular,
ketidakresponan spesifik antigen diinduksi. Beragam mekanisme
terlibat dalam induksi secara toleransi oral dan termasuk delesi atau
anergi dari sel T yang reaktif terhadp antigen atau induksi dari Sel T
CD 4yang menekan inflamasi usus (seperti sel T regulator yang
mengekspresikan fator transkripsi FoxP3) yang mensekresikan sitokin
anti inflamasi seperti interleukin (IL) 10 dan TGF beta. Toleransi oral
mungkin bertanggung jawab terhadap kekurangan respon imun
terhadap antigen dari makanan dan mikrobiota komensal di dalam
lumen usus. Pada IBD, supresi terhadap inflamasi berubah, sehingga
terjadi inflamasi yang tidak terkontrol. Mekanisme supresi imun ini
tidak sepenuhnya diketahui.
Gene knockout atau transgenik pada percobaan tikus dalam kasus IBD
menjelaskan bahwa delesi dari sitokin spesifik (seperti IL-2, IL-10, TGF
beta) atau reseptornya, delesi molekul yang terkait dengan
pengenalan antigen sel ( reseptor antigen sel T) atau gangguan
dengan fungsi barrier dari epitel usus dan regulasi dari respon
terhadap bakteri komensal 9seperti XBP1, N-cadherin, mucus,
glikoprotein atau NFkB) berujung pada kolitis spontan dan enteritis. In
the majority of circumstances, inflamasi usus dalam model binatang ini
membutuhkan kehadiran mikrobiata komensal. Oleh karena itu,
berbagai perubahan spesifik dapat menyebabkan aktivasi imun oleh
PERTIMBANGAN GENETIK
IBD adalah penyakit poligenik yang memberikan berbagai
subkelompok klinis dalam KU dan PK. Gangguan genetic primer yang
terkait IBD dapat dilihat pada tabel berikut.
Faktor risiko genetik pada IBD ini dapat dilihat terkait juga dengan
beberapa penyakit autoimun lain, seperti rheumatoid arthritis
(TNFAIP3), psoriasis (IL23R, IL12B), ankylosing spondylitis (IL23R),
Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi yang menyerupai KU dapat disebabkan oleh bekteri,
fungi, virus, atau protozoa.
Campylobacter colitis dapat menyerupai gambaran endoskopi KU dan
menyebabkan kekambuhan pada KU.
Salmonella dapat menyebabkan diare dengan atau tanpa darah, mual,
muntah. Shigelosis menyebabkan diare berair, nyeri perut, dan demam
diikuti dengan tenesmus rectum dan keluarnya darah dan mukus dari
rectum. Ketiga penyakit ini biasanya self limited, tetapi 1 % dari
salmonella dapat menyebabkan karier asimptomatik.
Infeksi Yersinia enterocolitica terjadi terutama pada ileum terminalis
dan menyebabkan ulkus mukosa, invasi neutrofil, dan penebalan
dinding ileum. Infeksi bakteri lain yang dapat menyerupai IBD
termasuk C. Difficile yang memiliki manifestasi klinis sebagai diare,
tenesmus, mual dan muntah; dan E.Coli, dengan tiga tipe:
enterohemorrhagic, enteroinvasive, enteroadherent, yang semuanya
dapat menyebabkan diare berdarah dan nyeri tekan abdomen.
Diagnosis kolitis bakteri dapat ditegakkan dengan mengirim spesimen
tinja untuk kultur bakteri dan analisis toksin C.Difficile. gonorrhea,
chlamydia, dan sifilis dapat menyebabkan proktitis.
Keterlibatan GI dengan infeksi mycobacterium dapat terjadi pada
pasien imun rendah maupun normal. Dominasi dengan keterlibatan
ileum distal dan sekum, dengan gejala obstruksi usus hauls dan massa
abdomen yang nyeri bila ditekan. Diagnosis ditegakkan langsung pada
kolonoskopi dengan biopsi dan kultur. Infeksi kompleks
Mycobacterium avium-intracellulare terjadi pada pasien HIV atau
imunokompromis dan memiliki manifestasi sistemik dengan diare,
nyeri perut, penurunan berat badan, demam dan malabsorpsi.
Diagnosis ditegakkan dengan acid-fasat smear dan kultur dair biopsy
mukosa.
CMV dan herpes simplex. CMV sering terjadi pada esophagus, kolon,
dan rectum tetapi dapat juga melibatkan usus halus. Gejala meliputi
nyeri abdomen, diare berdarah, demam, dan penurunan berat badan.
Pada penyakit parah, nekrosis dan perforasi dapat terjadi. Diagnosis
ditegakkan dengan identifikasi intranuclear inclusion di sel mukosa
pada biopsy. Infeksi herpes simplex pada traktus GI terbatas pada
orofaring, anorektum, dan area perianal. Gejala merliputi nyeri
anorektum, tenesmus, konstipasi, adenopati inguinal, kesulitan
berkemih, dan parasthesia sacrum. Diagnosis ditegakkan dengan
biopsy rectum dengan infentifikasi cellular inclusion dan kultur virus.
HIV juga dapat menyebabkan diare, mual, muntah, dan anoreksia.
Biopsi usus halus menunjukan atrofi vili parsial. Bakteri usus halus
Dermatologi
Rheumatologi
Ocular
Hepatobilier
Urologi
Gangguan metabolik tulang
Gangguan thromboemboli
Gangguan lain