Huft
Huft
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pemimpin negara adalah faktor penting dalam kehidupan bernegara.
Jika pemimpin negara itu jujur, baik, cerdas dan amanah, niscaya rakyatnya
akan makmur. Sebaliknya jika pemimpinnya tidak jujur, korup, serta
menzalimi rakyatnya, niscaya rakyatnya akan sengsara.
Gerakan reformasi telah menimbulkan berbagai harapan dan
sekaligus kecemasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita
memang sudah dapat keluar dari sistem pemerintahan yang otoriter; namun
kita belum dapat keluar dari krisis multidimensional. Justru yang terjadi,
dengan dibukanya kran kebebasan ibarat membuka pandora maka
muncullah berbagai masalah yang begitu mencengangkan, yang selama ini
telah terpendam di dalam pemerintahan yang menjalankan pendekatan
stabilitas keamanan dengan mengesampingkan aspek kebebasan. Euforia
kebebasan tidak dapat diatasi dengan perangkat hukum dan para penegak
hukum yang tersedia. Kekacauan melanda pada berbagai aspek kehidupan
dengan
akibat
pada
tersendatnya
pertumbuhan
ekonomi.
Bahkan
akan menjalani kehidupan dengan perasaan percaya diri. Memang kita akan
dapat keluar dari krisis ini dengan cepat jika semua orang Indonesia mau
menyele-saikan masalah ini dengan sungguh-sungguh.
Sebenarnya
waktu
lima
puluh
tahun
sudah
cukup
untuk
mengantarkan suatu bangsa menjadi maju. Hal itu telah dibuktikan dalam
sejarah perkembangan bangsa-bangsa maju di dunia, seperti Jerman, Jepang,
dan Amerika Serikat. Jerman pada tahun 1870 mulai memodernisasi
negaranya di bawah Bismark dan pada tahun 1919 sudah dapat
mengalahkan Perancis dan negara-negara Eropa disekitarnya. Jepang mulai
memodernisasi diri sejak dibuka paksanya politik pintu tertutup oleh
Commodore Pery pada tahun 1854 dan tahun 1905 sudah dapat
mengalahkan Rusia, suatu negara dari orang kulit putih yang dianggap
superior itu. Sedangkan Amerika Serikat pada tahun 1895 mulai
mengartikan politik luar negeri Pan-Americanisme secara global dan pada
tahun 1945 sudah berhasil menjadi negara super power.
Untuk membangun suatu bangsa yang maju, disamping diperlukan
perangkat hukum (legal formal) yang dapat menjamin kepastian hukum dan
didukung aparat hukum yang menjiwai substansi hukum yang legal formal
tersebut, diperlukan juga suatu sistem yang bisa melahirkan pemimpin Islam
yang punya legitimasi karena mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam.
Untuk melahirkan pemimpin Islam tersebut perlu dipikirkan suatu ideologi
yang bisa diterima semua umat Islam.
2.
Rumusan Masalah
1. Apakah perlu pemimpin Islam di Indonesia?
2. Apakah sudah dipikirkan masalah kepemimpinan dalam Islam di
Indonesia?
3. Apa hubungannya dengan Ideologi di Indonesia?
4. Mengapa kebangkitan Islam di Indonesia dianggap gagal?
5. Bagaimana cara untuk merenda kembali kebangkitan Islam di
Indonesia?
3. Tujuan
2
II. PEMBAHASAN
1. Perlunya Pemimpin Islam
Kepemimpinan merupakan suatu keniscayaan di dalam Islam,
sehingga sejarah Islam selalu diwarnai per-kembangan politik untuk
menciptakan salvation (kese-lamatan) di dunia, karena keselamatan di
dunia juga yang memungkinkan sifat-sifat ketuhanan berfungsi efektif di
dunia. Karena itu tidak mengherankan bila banyak orang beranggapan
Islam adalah agama yang selalu terkait dengan politik. Berikut kesimpulan
dari Armstrong nilai sejarah eksternal [politik] orang-orang Muslim
bukan pusat perhatian kedua, karena salah satu dari karakteristik utama
Islam adalah pensakralan sejarah.
Akan tetapi Islam tidak identik dengan politik. Al-Quran bukanlah
kitab politik, sehingga di dalamnya tidak ditemukan model sistem
pemerintahan. Al-Quran hanya berisi aturan moral yang harus ditegakkan
dalam kehidupan, termasuk dalam urusan politik. Lagi pula persoalan
politik sangat dipengaruhi oleh kondisi ruang dan waktu, serta sejarah
perkembangan suatu komunitas politik tersebut. Karena al-Quran tidak
menentukan suatu bentuk peme-rintahan yang Islami, maka sepeninggal
Nabi Muhammad SAW terjadi krisis dalam suksesi kepemimpinan Islam,
namun berhasil diselesaikan dengan bijaksana oleh para sahabat Nabi.
Bentuk pemerintahan kurang penting bila dibanding-kan dengan
tegaknya prinsip-prinsip salvation dalam Islam di dunia ini. Memang
sebagian dari umat Islam berobsesi kepada sistem kekhalifahan, karena
sejarah awal yang gemilang di tangan Khulafaur Rasyidin. Namun bila
sejarah kekhalifahan dicermati maka para ulama membolehkan ada-nya
dua atau lebih kekhalifahan asalkan jaraknya berjauhan. Fakta sejarah itu
perlu
ditindak
lanjuti
supaya
di
antara
kekhalifahan
tersebut
dunia pada umumnya. Dalam peran yang pertama tersebut, Islam telah
gagal melahirkan pemimpin yang Islami, dengan konsekuensi pada tingkat
global bahwa umat Islam di Indonesia telah gagal pula mendakwahkan
statement yang sudah menjadi klise bahwa Islam kompatibel dengan
modernisasi. Kedua presiden pertama tersebut diturunkan secara paksa
oleh kekuatan-kekuatan ekstraparlementer secara tragis, karena telah gagal
membawa nahkoda bangsa kepada aspek salvation (kese-lamatan). Kedua
presiden tersebut telah gagal melakukan transformasi di dalam tubuh umat
Islam ke arah modernisasi yang sesuai dengan identitas bangsa yang
mayoritas beragama Islam. Hal itu terjadi karena mereka tidak dibesarkan
dalam tradisi Islam dan tidak tahu caranya memasukkan roh Islam ke
dalam suatu paradigma baru yang sesuai dengan dunia modern. Paradigma
baru sangat perlu supaya umat Islam dapat berpartisipasi secara maksimal,
dengan disertai perasaan ikhlas yang menjadi ciri dari suatu agama.
Mereka melakukan modernisasi model top-down (dari atas ke
bawah) dengan menggerakkan perangkat biro-krasi yang mendukung
kekuasaannnya. Birokrasi menjadi suatu kelas tersendiri yang bukan
melayani rakyat tetapi melayani kekuasaan. Birokrasi mempunyai misi
untuk menge-labuhi rakyat yang masih bodoh supaya dalam pemilu tetap
mendukung kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru. Birokrasi cenderung
menjadi pelayan kekuasaan dan bukan pelayan masyarakat. Birokrasi telah
berkembang begitu kuat untuk mendukung sentralisasi kekuasaan, yaitu
mengenalkan program-program pemerintah yang mendukung status quo,
bukannya mengajak rakyat untuk meru-muskan sendiri masalahnya
sehingga mereka merasakan kegunaan dari program tersebut, disamping
adanya kesinambungan antara tradisi dan modernisasi dalam pembangunan.
Kedua presiden kita tidak mempunyai afiliasi dengan suatu
kelompok agama tertentu (memang mereka secara formal sebagai anggota
ormas Muhammadiyah) dan mereka tidak merasa tertarik untuk
melakukan transformasi di antara berbagai kelompok agama ke arah
modernisasi. Sebaliknya mereka mengembangkan suatu sumber kekuasaan tersendiri untuk mempertahankan kekuasaannya.
3. Krisis Ideologi Islam di Indonesia
Dua presiden berikutnya mewakili dua kelompok Islam yang
berbeda; Presiden B.J. Habibie mewakili suatu kelompok Islam ICMI dan
Presiden KH Abdurrahman Wahid yang dikenal dengan sebutan Gus Dur
mewakili kelompok ormas keagamaan NU. Keduanya hanya bertahan
sebentar dalam kursi krepresidenan. Hal itu menunjukkan bahwa mereka
kurang mempunyai legitimasi di kalangan umat Islam secara keseluruhan
karena adanya krisis ideologi di tubuh umat Islam Indonesia. Lebih parah
lagi karena persaingan di tubuh umat Islam tidak diselesaikan secara legal
formal.
Secara selintas krisis kepemimpinan tersebut merupakan masalah
politik, tetapi bila dikaji lebih mendalam lagi hal tersebut berhubungan
dengan krisis ideologi di kalangan umat Islam di Indonesia, yang
disebabkan selama ini kita tidak membiasakan dialog antar ideologi.
Pentingnya membangun dialog karena sebenarnya Islam adalah suatu
agama yang tidak menekankan segi ideologi (beliefs/ keyakinan), tetapi
lebih menekankan pada peran akal untuk mengatur alam semesta yang
diamanatkan kepada kita untuk menjalankan peran sebagai khalifah
(pemimpin) di bumi.
Persoalan ideologi kurang begitu kental bila diban-dingkan dengan
persoalan politik dalam bongkar pasang kepemimpinan Islam di zaman
reformasi sekarang ini. Akar permasalahan lebih kepada kekhawatiran dari
kelompok-kelompok Islam lainnya terhadap kelompok Islam yang sedang
memerintah kalau-kalau dia tidak memperhatikan kepentingan kelompokkelompok Islam tersebut. Hal tersebut menghendaki adanya usaha saling
memahami tradisi dari berbagai kelompok yang berbeda, untuk kemudian
di rumuskan suatu peraturan yang bersifat legal formal sebagai pedoman
di dalam tata cara pergaulan di antara mereka.
Namun ada kecenderungan untuk bersifat eksklusif pada gerakangerakan radikal keagamaan yang tidak memperjuangkan aspirasi
ideologinya tidak melalui partai politik melainkan melalui pressure
groups. Dalam era refor-masi ini, banyak dari kalangan mereka yang
membentuk partai-partai politik baru yang menyempal dengan alasan
ideologi yang tidak begitu kental, namun dalam jangka panjang dapat
membahayakan integritas bangsa karena mereka dapat memanfaatkan
kelemahan kebijakan otonomi daerah, dimana daerah kabupaten dijadikan
batu loncatan dalam memperjuangkan ideologinya. Konsekuensinya Indonesia akan terbagi ke dalam daerah-daerah ideologi yang masing-masing
bersifat eksklusif. Bila tidak diwaspadai, hal itu akan menyebabkan krisis
kepemimpinan dalam Islam di Indonesia.
Krisis kepemimpinan bermula dari krisis ideologi, sedangkan krisis
ideologi bermula dari masalah reinterpretasi ajaran agama Islam.
Reinterpretasi ajaran agama bukan pekerjaan mudah karena banyak faktor
yang menyebabkan hasil interpretasi berbeda-beda dan kadang saling
bertentangan.
4. Gagalnya Kebangkitan Islam Indonesia
Untuk dapat menyelesaikan permasalah krisis ideologi dalam Islam
di Indonesia maka kita perlu tahu sekresi dalam gerakan Islam tersebut.
Hal itu akan sangat membantu di dalam memetakan persoalan keagamaan
secara menyeluruh, dan selanjutnya dibuat format yang dapat mengatasi
krisis
kepemimpinan
dalam
Islam
di
Indonesia,
dengan
pendidikan modern (Barat), namun dia mendapat dukungan baik dari umat
Islam yang berlatar belakang perkotaan maupun pedesaan karena umat
Islam sedang menantikan munculnya seorang pemimpin, walau-pun
mereka membawa persepsi yang bermacam-macam. Hal itu telah
dicermati oleh pihak Belanda untuk menjalankan politik devide et impera
(memecah-belah) dengan mengakui cabang-cabang SI sebagai organisaasi
yang otonom dari pusat (Central Sarekat Islam).
Di dalam SI berkembang berbagai macam pema-haman tentang
Islam, dan sikap revolusionernya digerakkan oleh konsep Imam Mahdi
(milleniarisme atau mesianisme) dan konsep-konsep komunisme yang
radikal itu. Ketika SI (dari sayap kanan maupun kiri) tidak dapat
mengambil keputusan yang strategis dalam mengakomo-dasikan konsepkonsep Islam dengan konsep-konsep komu-nisme dengan diberlakukannya
monoloyalitas maka SI mengalami perpecahan ke dalam SI Putih dan SI
Merah. Hal itu menandai kemunduran SI karena banyak rakyat yang sudah
terpengaruh konsep radikal komunisme tidak siap untuk dicap sebagai
atheis sehingga tidak mau masuk ke dalam SI Merah karena mengandung
resiko yang tidak ringan, sedangkan mau masuk ke dalam SI putih tidak at
home karena tidak memberikan jaminan ideologis terhadap keinginannya
yang radikal, walaupun pemahaman Islam HOS Cokroaminoto sudah
menerima sosialisme.
Perpecahan dalam tubuh SI sekaligus menghapus kesempatan
Islam untuk tampil sebagai meanstream ideologi politik di Indonesia
karena kepemimpinan politik nasional segera diambil alih oleh ideologi
nasionalisme. Hal itu terjadi karena nasionalisme bersifat open minded
(terbuka) dan tidak mau menghakimi pemahaman keaga-maan seseorang
dengan hukum wajib dan dosa.
Dorongan dari agama selalu ada di dalam pribadi mereka yang
dituduh tidak Islami, seperti terungkap dari pengakuan Hasan Raid yang
terjun ke dalam PKI sejalan dengan petunjuk surat al-Radu ayat 11, yaitu
tentang usaha suatu kaum merubah keadaan, dari kaum tertindas menjadi
kaum tak tertindas. Dia tidak sendirian masuk PKI, karena ada beberapa
10
haji yang ikut masuk seperti H. Misbach, H. Datuk Batuah yang masuk
PKI. Hasan Raid sependapat dengan Mansour Fakih yang ingin
mewujudkan masyarakat tauhidi, suatu konsep masyarakat tanpa kelas. AlQuran sebagai petunjuk bukan ditentukan oleh metode atau prosedur
pemahamannya, tetapi oleh komitmen kemanusiaan yang ada pada
mufassir tersebut. Pemahaman al-Quran yang terpenting adalah persoalan
paradigma dan komitmen kemanusiaan mufassir sendiri. Tafsir al-Quran
harus bersifat transformatif, yaitu untuk memihak kepada mayo-ritas
manusia yang menginginkan perubahan. Yakni keber-pihakan kepada
kaum tertindas, karena dia yakin bahwa perlawanan terhadap Nabi
Muhammad SAW oleh kaum kapitalis Makkah sebenarnya lebih karena
ketakutannya terhadap doktrin egalitarian yang disampaikan Nabi. Persoalan yang timbul antara kelompok elit Makkah dan Muham-mad SAW
sebenarnya bukan seperti banyak diduga umat Islam, yakni hanya
persoalan keyakinan agama, akan tetapi lebih bersumber kepada ketakutan
terhadap konsekuensi sosial ekonomi dari doktrin Nabi Muhammad SAW
yang melawan segala bentuk dominasi ekonomi, pemusatan atau monopoli
harta.
Mansour Fakih mengkritik paradigma pembaharu dengan wataknya
yang elitisme yang lebih menekankan reformasi dan bukan
transformasi sosial yang dapat melakukan perubahan secara mendasar.
Apalagi paradigma fundamentalisme, karena wataknya yang lebih
merupakan teologi untuk kebesaran Tuhan, yang tidak mempunyai
makna terhadap perubahan nasib kaum miskin dan tertindas.
5. Merenda Kembali Kebangkitan Islam Indonesia
Memang kita telah mempunyai ideologi Pancasila sebagai suatu
dasar negara, namun Pancasila disakralkan oleh regim Orde Lama dan
Orde Baru sehingga yang lahir hanyalah tafsir Pancasila yang mendukung
kekuasaannya bukan berupa peraturan perundang-undangan yang legal
formal sebagai patokan di dalam menjalankan kekuasaan negara. Sebagai
konsekuensinya pada zaman reformasi sekarang ini, dengan dibukanya
11
kelompok
Islam
tolong-menolong,
dan
kerjasama
untuk
mewujudkan
12
13
III. SIMPULAN
(pemimpin) di bumi.
Untuk dapat menyelesaikan permasalah krisis ide-logi dalam Islam di
Indonesia maka kita perlu tahu sekresi dalam gerakan Islam tersebut. Hal
itu akan sangat membantu di dalam memetakan persoalan keagamaan
secara menyeluruh, dan selanjutnya dibuat format yang dapat mengatasi
krisis
kepemimpinan
dalam
Islam
di
Indonesia,
dengan
14
DAFTAR PUSTAKA
Stogdill, Ralph M. 1974. Handbook of Leadership : A Survey of Theory and
Research. New York : Free Press.
Wahjosumidjo. 1987. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Zainuddin, Muhadi, Lc., M.A. dan Dr. Abd. Mustaqin, M.Ag. 2005. Studi
Kepemimpinan Islam (Konsep, Teori, dan Praktiknya dalam Sejarah).
Yogyakarta : UII Press.
15