Anda di halaman 1dari 4

islambergerak.

com

http://islambergerak.com/2015/07/apa-itu-islam-progresif/

Apa Itu Islam Progresif?


Muhammad Al-Fayyadl

The Imams of Socialism karya Damir Niki (http://islamicartsmagazine.com/images/uploads/Damir_Niksic_06.jpg)

Sudah saatnya menceraikan liberalisme Islam dari kata progresif. Kelemahan utama studi yang dilakukan oleh
Martin van Bruinessen dkk dalam Conservative Turn: Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme (2014)
adalah masih mempertahankan istilah ini untuk menggambarkan dinamika keterbukaan pada kelas menengah
Muslim terdidik Indonesia terhadap ide-ide pembaruan Islam. Suatu kelemahan yang juga diulangi oleh Laode Ida
baru-baru ini, yang melihat kebangkitan kaum moderat Nahdliyin sebagai produk dari liberalisme politik pascaReformasi.
Dengan pemetaannya yang sangat problematis, Martin van Bruinessen dkk meletakkan Islam Indonesia secara

diametral dengan tren konservatif pada sebagian umat Muslim, yang disebutnya dengan Islam radikal. Dan
Islam liberal dan progresif dilihat sebagai antitesis bagi Islam radikal tersebut, sekaligus sebagai instansi
paling legitim dari Islam Indonesia yang sedang berada dalam ancaman kelompok-kelompok konservatif.
Dalam prakatanya, Bruinessen menulis: Saya menyebut liberal dan progresif untuk mengacu kepada semua
pemikir dan aktivis yang mengemukakan penafsiran nonliteral atas konsep-konsep Islam (h. 48). Dengan
konsepsi ini, ia memasukkan berbagai faksi pemikiran keislaman dari Jaringan Islam Liberal (JIL),
neomodernisme Islam-nya Cak Nur, tradisionalisme Gus Dur, hingga Islam emansipatoris-nya mereka yang
concern pada hak asasi manusia dan pemberdayaan kaum lemah dan tertindas. Dengan kata lain, ia
memasukkan apa yang dulu disebut Hassan Hanafi sebagai Kiri Islambersama-sama lawannya, para liberal
modernis, dalam satu kategori yang sama. Latar belakang bagi keperluan kategoris ini, sebutnya, adalah
absennya istilah yang lebih baik. Dengan kata lain, kegagalan menemukan satu istilah yang memuaskan untuk
membedakan dan memilah berbagai tendensi di dalam Islam liberal dan progresif sendiri.
Kita patut mempertanyakan, apakah kegagalan ini bukan karena semata-mata persoalan teknis-ilmiah mencari
kata yang ekonomis dan efisien untuk meringkas (dan meringkus) berbagai tendensi tersebut, tetapi juga karena
ketidakberhasilannya menemukan kriteria-kriteria yang memadai, kuat, dan konsisten untuk memahami
progresivitas itu. Kegagalan menemukan kriteria semacam ini, dalam konteks lain, juga tak kalah bermasalah,
seperti kegagalan membedakan dan memilah di antara berbagai tendensi gerakan kiri dengan menyebut mereka
secara keseluruhan dengan marxisme, atau komunisme. Suatu kebingungan yang justru dimanfaatkan
dengan baik oleh kekuatan-kekuatan status quo untuk mendiskreditkan gerakan kiri dan kerakyatan dan menutup
imajinasi kita akan tatanan alternatif, dengan menyamaratakan komunisme totaliter ala Korea Utara dengan
komunisme popular-demokratik Venezuela.
Kriteria yang telah menjadi common place bagi konvensi para penstudi Indonesia adalah bahwa progresivitas
itu diukur setidaknya dari dua parameter, yang juga digunakan oleh Bruinessen: kesesuaian dan kesejalanan
kelompok atau kalangan tersebut dengan demokrasi dan sekularisasi. Dengan kata lain, pada wacana
demokrasi dan sekularisasi, yang dipahami sebagai terbukanya ruang bagi berbagai pihak (baca: individu)
untuk menyuarakan kepentingannya (baca: kepentingan individual atau komunalnya) dan terbukanya ruang
toleransi yang dimungkinkan oleh pemisahan antara agama dan negara, dan pemisahan, sebagai turunannya,
antara peran negara dan kebebasan masyarakat (baca: individu-individu) mengelola kepentingannya sendiri.
Penolakan atas kedua kriteria inidengan segera menempatkan para penolaknya sebagai kelompok anti-progresif,
dengan demikian konservatif. Tingkat penolakan itu menentukan tingkat konservatisme yang dianut, sehingga
semakin keras penolakan yang dipertontonkan, maka semakin konservatif kelompok tersebut untuk, pada
gilirannya,mendapatkan sebutan radikal.
Tanpa mengesampingkan signifikansi politis dari demokrasi, pada kenyataannya wacana demokrasi yang
dikonstruksi oleh parameter tersebut adalah cita-cita demokrasi kelas menengah terdidik. Artinya, suatu tipe
demokrasi yang memungkinkan berkembangnya aspirasi-aspirasi individual yang cocok dengan kepentingan
ekonomi mereka yang tidak dapat leluasa tersalurkan di bawah rezim otoritarian, seperti rezim Soeharto yang
menganut kapitalisme negara dengan oligarki terbatasnya. Cita-cita demokrasi itu niscaya bersifat borjuistis,
karena berorientasi pada penguatan kepentingan individu dan kelompok, yang di bawah rezim otoritarian, baik
sekuler maupun agamis, tidak dapat berkembang secara bebas. Di sini klaim kalangan liberal modernis bahwa
kebebasan (freedom) merupakan produk yang sah dari liberalisme mendapatkan konteksnya, karena kebebasan
itu terlebih didefinisikan pertama-tama sebagai kebebasan bagi pemenuhan, pelepasan, dan pengorganisasian
kepentingan privat (swasta) yang kompatibel dengancita-cita kesejahteraan dan kemapanan kelas menengah.
Tesis sekularisasi terkait erat dengan cita-cita demokrasi ini. Keperluan sekularisasi negara teokratis dan
keperluan mencari dasar sekuler bagi suatu teori demokrasi, yang walau demikian, oleh para Muslim liberal
tersebut, berusaha dicari juga fondasi teologis-nya (meminjam istilah Nader Hashemi), berhubungan dengan
keniscayaan terpisahnya Pasar dari Negara, atau terpisahnya kepentingan swasta dari kepentingan organik
masyarakat itu sendiri sebagai suatu totalitas, dan dengan demikian, terpisahnya borjuasi dari pemangku
kekuasaan politis. Keperluan ini memiliki pola yang serupa dengan pengalaman sekularisasi di Eropa sendiri
pasca-Revolusi Prancis, yang oleh Marx, dalam Kritik Doktrin Hegel tentang Negara (1843), dianalisis sebagai
keperluan kelas borjuis untuk membentuk masyarakat sipil, dengan kepentingan-kepentingan swastanya,

sebagai elemen terpisah dari tubuh politis Negara.


Ketertarikan para intelektual Muslim kelas menengah terhadap tesis sekularisasi itu tidak dapat dibaca hanya
sebagai aspirasi untuk membuka ruang kebebasan di dalam agama dan melalui agama, dengan demikian, suatu
aspirasi religius, melainkan mesti juga dibaca sebagai aspirasi politis dan ekonomis untuk membuka ruang
kebebasan individual bagi pemenuhan kepentingan-kepentingan privat dan kelompoknya. Yang dilakukan oleh
para intelektual liberal ini adalah, katakanlah, suatu swastanisasi Islam, suatu upaya menyelaraskan Islam
dengan kebutuhan kelas yang paling maju dan berkepentingan dengan perkembangan materialnyakelas
borjuasi. Kebutuhan itu adalah keperluan untuk menjadikan Islam sarana bagi pembangunan kapitalisme yang
terukur di Indonesia, dengan infrastruktur-infrastruktur sosial-politisnya yang kondusif, sehingga Pasar tidak
mendapat gangguan dari birokrasi yang tak efisien dan dapat berkembang sebagaimana mestinya, sejalan
dengan dogma bahwa kapitalisme adalah tatanan terbaik yang paling cocok bagi masyarakat akhir sejarah.
Di sini, kita patut memberi catatan kaki: mereka layak disebut progresif, sejauh progresif bagi kepentingan
kelasnya sendiri (meski dengan bumbu untuk negara dan bangsa), namun persis pada titik itu kita dapat
membalik logika progresivitas itu: bila progresif semata bagi kepentingan kelasnya sendiri, bagaimana mereka
dapat disebut progresif dalam arti sesungguhnya?
Test-case bagi klaim progresif liberalisme Islam adalah kasus-kasus yang melibatkan konflik antara massa
rakyat dan pemodal maupun aparatus negara. Sepanjang rezim Soeharto, sebagian kasus ini mendapat sorotan
luas dari media-media yang dimiliki oleh kelas menengah ini, namun sangat sedikit, jika nyaris tak terdengar,
suara para Muslim liberal tersebut, baik dalam bentukpemihakan maupun advokasi langsung, terhadap korban
konflik tersebut. Bisa dicatat seberapa banyak suara Muslim terdidik itu terhadap kasus-kasus agraria, atau
represi politik atas korban-korban kekerasan negara dari kalangan buruh atau kelompok marjinal. Sangat sedikit,
jika bukannya nyaris tak ada. Entah atas motif kebungkaman (deliberate silence), ketakutan, komunistofobia, atau
mencari posisi aman, nyaris tak tercatatnya suara-suara Muslim liberal terhadap penindasan struktural yang
terjadi sepanjang rezim otoritarian mengisyaratkan bahwa progresivitas itu tidak teruji di dalam kenyataan.
Peta intelektual Muslim modernis memang mencatat adanya sejumlah nama yang mengusung gagasan-gagasan
Islam transformatif dan emansipatoris, seperti Moeslim Abdurrahman, Adi Sasono, Dawam Raharjo (sebelum
pasca-Reformasi secara blak-blakan beralih ke liberalisme), dan Kuntowijoyo. Namun para intelektual tersebut
ibarat berteriak di dalam ruang kedap suara, karena, selain tidak punya basis massa, atau tidak memiliki kontak
politik dengan jaringan massa yang tiarap karena represi politik rezim, mereka juga tidak memiliki kapasitas
politik untuk mendorong gagasan-gagasan mereka menjadi faktor determinan dalam membentuk segmentasi
yang lebih kuat bagi lapisan-lapisan masyarakat yang tertindas.
Keterputusan antara wacana dan orientasi kelas yang dibangun, sengaja atau tidak, langsung maupun tak
langsung, oleh diskursus liberalisme Islam itulah yang tidak dilihat oleh kajian Islam Indonesia semacam ini, yang
mencukupkan diri melihat dampak-dampak liberasi pada perubahan konstelasi wacana yang dibangun dan
diperkenalkan, seperti dengan diperkenalkannya wacana baru seputar Islam dan demokrasi, pemberdayaan
wanita, hak asasi manusia, toleransi dan pluralisme agama, dan lain-lain, tanpa melihat bagaimana wacana
tersebut benar-benar mampu memajukan agenda-agenda pembebasan dari lapisan masyarakat yang paling
menderita dan kelas sosial yang paling dirugikan oleh proses-proses sosial dan ekonomi-politik yang terjadi.
Liberasi itu lebih berupa progresivitas pada ruang media, yang saat itu tak lain adalah ruang publik ideal dari
kelas menengah sendiri.
Dalam apropriasinya atas wacana-wacana modern, seperti wacana hak asasi manusia, feminisme, dan lain-lain,
para Muslim liberal memang mampu tampil sebagai kelompok yang paling maju dan tanggap, karena mereka
diuntungkan oleh iklim pendidikan dan intelektualisme yang disyaratkan oleh kemajuan materiil kapitalisme itu
sendiri, sebagai sistem yang mendukung hierarki pengetahuan di dalam masyarakat yang berkelas. Namun,
kelemahan studi Islam yang melihat geliat apropriasi wacana-wacana itu sebagai tanda progresivitas intelektual
Muslim, adalah ketidakmampuannya untuk melihat kepada siapa wacana-wacana itu bertuan, siapa yang
diuntungkan oleh wacana-wacana itu, dan benarkah wacana-wacana itu memiliki dampak struktural yang
menyeluruh terhadap pembebasan sosial. Meski feminisme dan emansipasi gender telah menjadi agenda para
intelektual liberal sejak rezim Soeharto, namun angka tenaga kerja perempuan dengan upah murah terus

meningkat, demikian juga angka buta aksara pada para buruh perempuan formal maupun informal.
Pertanyaan tentang kepada siapa wacana-wacana itu bertuan, tentu akan lebih sulit dijawab, karena melibatkan
relasi kuasa yang kompleks antara liberalisme Islam, lembaga-lembaga funding, serta agenda-agenda global
yang tetap mempertahankan watak kolonial dan imperialistiknya terhadap Dunia Ketiga. Tetapi, liberalisme ini,
meski menyuntikkan gagasan-gagasan yang cukup segar dan modern bagi umat Muslim, tetap tidak dapat
dibilang liberatif (membebaskan), selama pendekatan yang dipakai tetap top-down, hierarkis, dan memanfaatkan
sentimen ketakberdayaan kelas sosial untuk kepentingan-kepentingan humanitariannya. Bila liberalisme Islam
benar-benar ingin dapat liberatif, dan karenanya progresif dalam pengertian yang substansial, bukan artifisial,
maka tiada jalan lain kecuali mengaliansikan diri dengan lapisan masyarakat yang paling dirugikan oleh
kepentingan-kepentingan privat dan mengorganisasikan diri menuju pelenyapan hierarki dan kelas-kelas sosial
sesuatu yang niscaya kontradiktif dengan prasyarat liberalisme sendiri.
Setidaknya, sejak saat ini kita dapat melepaskan asosiasi antara liberalisme Islam dan Islam progresif. Namun
kita belum menjawab secara positif apa itu Islam progresif. Secara umum, kita dapat mengatakan bahwa Islam
progresif bukanlah suatu kubu yang terpisah dari masyarakatnya, atau menempatkan diri sebagai kelas
menengah yang berdiri di atas pundak masyarakatnya, dengan atribut-atribut dan keistimewaan-keistimewaan
intelektualnya sendiri. Ia adalah persenyawaan antara pengalaman-pengalamanrakyat yang tertindas, ajaranajaran religius tentang pembebasan, yang digali dari kearifan lokal, doktrin Islam, ataupun kebijaksanaankebijaksanaan universal, dan teori sosial-kritis yang berwawasan struktural dan emansipatif, serta komitmen etis
dan moral yang diasah terus-menerus dalam wujud keberpihakan dan aksi nyata membumikan wacana
pembebasan yang dibawanya hingga taraf yang paling utopis dan mustahil. Dan, yang sudah pasti, ia bersifat
radikal, dalam arti menghendaki perubahan sosial yang substansial, tanpa mengorbankan kepentingan
kalangan yang dibelanya. Dalam arti tertentu, Islam progresif adalah Islam yang, dilihat dari komitmen
sosialnya, bersifat radikal, sehingga sebutan radikal sebenarnya paling layak dialamatkan bagi Islam ini, dan
bukan kalangan reaksioner Islam garis kanan yang lebih layak disebut ekstremis atau religius fasis. Berbeda
dengan liberalisme Islam, Islam ini tidak asing dengan analisis kelas, namun ia tidak menjadikan analisis kelas
satu-satunya referensinya. Keterbukaan metode dan inspirasi moral menggerakkannya. Namun demikian,
militansi dan keberpihakan merupakan ciri perjuangannya. Keduanya tidak saling menegasikan, karena prinsipprinsip tersebut dibangun di atas prinsip demokratis yang terbuka dan kepercayaan akan proses emansipasi yang
tidak pernah final.
Dan berbeda dari liberalisme Islam, Islam progresif tidak tertarik semata-mata pada ide-ide pembaruan Islam,
tetapi pada penerjemahannya dalam laku konkret, dan konsistensi laku itu dengan tuntutan masyarakat, atau
problem-problem konkret yang tengah dihadapi masyarakat. Ia tidak semata-mata memikirkan penyegaran
wacana dan pencerahan intelektual, tetapi juga pencerahan kondisi-kondisi kehidupan. Dalam arti itu, secara
ideologis, Islam progresif melakukan kritik dan otokritik, tidak sebagaimana liberalisme Islam yang cenderung
mempercayai bahwa gagasan-gagasan pembaruan Islam yang diusungnya saja sudah cukup untuk menjelaskan
keterpurukan dan krisis yang dihadapi oleh umat Muslim.[]
Islam Bergerak 2015. All Rights Reserved.

Anda mungkin juga menyukai