com
http://islambergerak.com/2015/07/apa-itu-islam-progresif/
Sudah saatnya menceraikan liberalisme Islam dari kata progresif. Kelemahan utama studi yang dilakukan oleh
Martin van Bruinessen dkk dalam Conservative Turn: Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme (2014)
adalah masih mempertahankan istilah ini untuk menggambarkan dinamika keterbukaan pada kelas menengah
Muslim terdidik Indonesia terhadap ide-ide pembaruan Islam. Suatu kelemahan yang juga diulangi oleh Laode Ida
baru-baru ini, yang melihat kebangkitan kaum moderat Nahdliyin sebagai produk dari liberalisme politik pascaReformasi.
Dengan pemetaannya yang sangat problematis, Martin van Bruinessen dkk meletakkan Islam Indonesia secara
diametral dengan tren konservatif pada sebagian umat Muslim, yang disebutnya dengan Islam radikal. Dan
Islam liberal dan progresif dilihat sebagai antitesis bagi Islam radikal tersebut, sekaligus sebagai instansi
paling legitim dari Islam Indonesia yang sedang berada dalam ancaman kelompok-kelompok konservatif.
Dalam prakatanya, Bruinessen menulis: Saya menyebut liberal dan progresif untuk mengacu kepada semua
pemikir dan aktivis yang mengemukakan penafsiran nonliteral atas konsep-konsep Islam (h. 48). Dengan
konsepsi ini, ia memasukkan berbagai faksi pemikiran keislaman dari Jaringan Islam Liberal (JIL),
neomodernisme Islam-nya Cak Nur, tradisionalisme Gus Dur, hingga Islam emansipatoris-nya mereka yang
concern pada hak asasi manusia dan pemberdayaan kaum lemah dan tertindas. Dengan kata lain, ia
memasukkan apa yang dulu disebut Hassan Hanafi sebagai Kiri Islambersama-sama lawannya, para liberal
modernis, dalam satu kategori yang sama. Latar belakang bagi keperluan kategoris ini, sebutnya, adalah
absennya istilah yang lebih baik. Dengan kata lain, kegagalan menemukan satu istilah yang memuaskan untuk
membedakan dan memilah berbagai tendensi di dalam Islam liberal dan progresif sendiri.
Kita patut mempertanyakan, apakah kegagalan ini bukan karena semata-mata persoalan teknis-ilmiah mencari
kata yang ekonomis dan efisien untuk meringkas (dan meringkus) berbagai tendensi tersebut, tetapi juga karena
ketidakberhasilannya menemukan kriteria-kriteria yang memadai, kuat, dan konsisten untuk memahami
progresivitas itu. Kegagalan menemukan kriteria semacam ini, dalam konteks lain, juga tak kalah bermasalah,
seperti kegagalan membedakan dan memilah di antara berbagai tendensi gerakan kiri dengan menyebut mereka
secara keseluruhan dengan marxisme, atau komunisme. Suatu kebingungan yang justru dimanfaatkan
dengan baik oleh kekuatan-kekuatan status quo untuk mendiskreditkan gerakan kiri dan kerakyatan dan menutup
imajinasi kita akan tatanan alternatif, dengan menyamaratakan komunisme totaliter ala Korea Utara dengan
komunisme popular-demokratik Venezuela.
Kriteria yang telah menjadi common place bagi konvensi para penstudi Indonesia adalah bahwa progresivitas
itu diukur setidaknya dari dua parameter, yang juga digunakan oleh Bruinessen: kesesuaian dan kesejalanan
kelompok atau kalangan tersebut dengan demokrasi dan sekularisasi. Dengan kata lain, pada wacana
demokrasi dan sekularisasi, yang dipahami sebagai terbukanya ruang bagi berbagai pihak (baca: individu)
untuk menyuarakan kepentingannya (baca: kepentingan individual atau komunalnya) dan terbukanya ruang
toleransi yang dimungkinkan oleh pemisahan antara agama dan negara, dan pemisahan, sebagai turunannya,
antara peran negara dan kebebasan masyarakat (baca: individu-individu) mengelola kepentingannya sendiri.
Penolakan atas kedua kriteria inidengan segera menempatkan para penolaknya sebagai kelompok anti-progresif,
dengan demikian konservatif. Tingkat penolakan itu menentukan tingkat konservatisme yang dianut, sehingga
semakin keras penolakan yang dipertontonkan, maka semakin konservatif kelompok tersebut untuk, pada
gilirannya,mendapatkan sebutan radikal.
Tanpa mengesampingkan signifikansi politis dari demokrasi, pada kenyataannya wacana demokrasi yang
dikonstruksi oleh parameter tersebut adalah cita-cita demokrasi kelas menengah terdidik. Artinya, suatu tipe
demokrasi yang memungkinkan berkembangnya aspirasi-aspirasi individual yang cocok dengan kepentingan
ekonomi mereka yang tidak dapat leluasa tersalurkan di bawah rezim otoritarian, seperti rezim Soeharto yang
menganut kapitalisme negara dengan oligarki terbatasnya. Cita-cita demokrasi itu niscaya bersifat borjuistis,
karena berorientasi pada penguatan kepentingan individu dan kelompok, yang di bawah rezim otoritarian, baik
sekuler maupun agamis, tidak dapat berkembang secara bebas. Di sini klaim kalangan liberal modernis bahwa
kebebasan (freedom) merupakan produk yang sah dari liberalisme mendapatkan konteksnya, karena kebebasan
itu terlebih didefinisikan pertama-tama sebagai kebebasan bagi pemenuhan, pelepasan, dan pengorganisasian
kepentingan privat (swasta) yang kompatibel dengancita-cita kesejahteraan dan kemapanan kelas menengah.
Tesis sekularisasi terkait erat dengan cita-cita demokrasi ini. Keperluan sekularisasi negara teokratis dan
keperluan mencari dasar sekuler bagi suatu teori demokrasi, yang walau demikian, oleh para Muslim liberal
tersebut, berusaha dicari juga fondasi teologis-nya (meminjam istilah Nader Hashemi), berhubungan dengan
keniscayaan terpisahnya Pasar dari Negara, atau terpisahnya kepentingan swasta dari kepentingan organik
masyarakat itu sendiri sebagai suatu totalitas, dan dengan demikian, terpisahnya borjuasi dari pemangku
kekuasaan politis. Keperluan ini memiliki pola yang serupa dengan pengalaman sekularisasi di Eropa sendiri
pasca-Revolusi Prancis, yang oleh Marx, dalam Kritik Doktrin Hegel tentang Negara (1843), dianalisis sebagai
keperluan kelas borjuis untuk membentuk masyarakat sipil, dengan kepentingan-kepentingan swastanya,
meningkat, demikian juga angka buta aksara pada para buruh perempuan formal maupun informal.
Pertanyaan tentang kepada siapa wacana-wacana itu bertuan, tentu akan lebih sulit dijawab, karena melibatkan
relasi kuasa yang kompleks antara liberalisme Islam, lembaga-lembaga funding, serta agenda-agenda global
yang tetap mempertahankan watak kolonial dan imperialistiknya terhadap Dunia Ketiga. Tetapi, liberalisme ini,
meski menyuntikkan gagasan-gagasan yang cukup segar dan modern bagi umat Muslim, tetap tidak dapat
dibilang liberatif (membebaskan), selama pendekatan yang dipakai tetap top-down, hierarkis, dan memanfaatkan
sentimen ketakberdayaan kelas sosial untuk kepentingan-kepentingan humanitariannya. Bila liberalisme Islam
benar-benar ingin dapat liberatif, dan karenanya progresif dalam pengertian yang substansial, bukan artifisial,
maka tiada jalan lain kecuali mengaliansikan diri dengan lapisan masyarakat yang paling dirugikan oleh
kepentingan-kepentingan privat dan mengorganisasikan diri menuju pelenyapan hierarki dan kelas-kelas sosial
sesuatu yang niscaya kontradiktif dengan prasyarat liberalisme sendiri.
Setidaknya, sejak saat ini kita dapat melepaskan asosiasi antara liberalisme Islam dan Islam progresif. Namun
kita belum menjawab secara positif apa itu Islam progresif. Secara umum, kita dapat mengatakan bahwa Islam
progresif bukanlah suatu kubu yang terpisah dari masyarakatnya, atau menempatkan diri sebagai kelas
menengah yang berdiri di atas pundak masyarakatnya, dengan atribut-atribut dan keistimewaan-keistimewaan
intelektualnya sendiri. Ia adalah persenyawaan antara pengalaman-pengalamanrakyat yang tertindas, ajaranajaran religius tentang pembebasan, yang digali dari kearifan lokal, doktrin Islam, ataupun kebijaksanaankebijaksanaan universal, dan teori sosial-kritis yang berwawasan struktural dan emansipatif, serta komitmen etis
dan moral yang diasah terus-menerus dalam wujud keberpihakan dan aksi nyata membumikan wacana
pembebasan yang dibawanya hingga taraf yang paling utopis dan mustahil. Dan, yang sudah pasti, ia bersifat
radikal, dalam arti menghendaki perubahan sosial yang substansial, tanpa mengorbankan kepentingan
kalangan yang dibelanya. Dalam arti tertentu, Islam progresif adalah Islam yang, dilihat dari komitmen
sosialnya, bersifat radikal, sehingga sebutan radikal sebenarnya paling layak dialamatkan bagi Islam ini, dan
bukan kalangan reaksioner Islam garis kanan yang lebih layak disebut ekstremis atau religius fasis. Berbeda
dengan liberalisme Islam, Islam ini tidak asing dengan analisis kelas, namun ia tidak menjadikan analisis kelas
satu-satunya referensinya. Keterbukaan metode dan inspirasi moral menggerakkannya. Namun demikian,
militansi dan keberpihakan merupakan ciri perjuangannya. Keduanya tidak saling menegasikan, karena prinsipprinsip tersebut dibangun di atas prinsip demokratis yang terbuka dan kepercayaan akan proses emansipasi yang
tidak pernah final.
Dan berbeda dari liberalisme Islam, Islam progresif tidak tertarik semata-mata pada ide-ide pembaruan Islam,
tetapi pada penerjemahannya dalam laku konkret, dan konsistensi laku itu dengan tuntutan masyarakat, atau
problem-problem konkret yang tengah dihadapi masyarakat. Ia tidak semata-mata memikirkan penyegaran
wacana dan pencerahan intelektual, tetapi juga pencerahan kondisi-kondisi kehidupan. Dalam arti itu, secara
ideologis, Islam progresif melakukan kritik dan otokritik, tidak sebagaimana liberalisme Islam yang cenderung
mempercayai bahwa gagasan-gagasan pembaruan Islam yang diusungnya saja sudah cukup untuk menjelaskan
keterpurukan dan krisis yang dihadapi oleh umat Muslim.[]
Islam Bergerak 2015. All Rights Reserved.