Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Sari Monik Agustin, S.Sos, M.Si adalah dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Al Azhar Indonesia,
dan mahasiswa Program Doktor di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia
PENDAHULUAN
Dalam kerangka berpikir Ilmu Komunikasi, pada dasarnya tulisan ini adalah tinjauan
mengenai pesan yang ada dalam Bhinneka Tunggal Ika. Untuk memudahkan tinjauan tersebut,
maka penulis melakukan interpretasi pesan yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika
dengan menggunakan paradigma positivis, interpretif dan kritis. Tinjauan ini kemudian
dihubungkan dengan bagaimana Bhinneka Tunggal Ika dimaknai oleh perjalanan bangsa ini
dalam prosesnya menjadi Indonesia.
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan bangsa yang tercantum dan menjadi bagian dari
lambang negara Indonesia, yaitu Garuda Pancasila. Sebagai semboyan bangsa, artinya Bhinneka
Tunggal Ika adalah pembentuk karakter dan jati diri bangsa. Bhinneka Tunggal Ika sebagai
pembentuk karakter dan jati diri bangsa ini tak lepas dari campur tangan para pendiri bangsa
yang mengerti betul bahwa Indonesia yang pluralistik memiliki kebutuhan akan sebuah unsur
pengikat dan jati diri bersama.
Bhinneka Tunggal Ika pada dasarnya merupakan gambaran dari kesatuan geopolitik dan
geobudaya di Indonesia, yang artinya terdapat keberagaman dalam agama, ide, ideologis, suku
bangsa dan bahasa. Keragaman tersebut terjadi karena dari segi geografis, Indonesia adalah
negara kepulauan, terdiri dari 17.200 pulau, terdiri lebih dari 300 etnis mayoritas dan minoritas
yang kemudian berdampak pada keanekaragaman bahasa dari etnis-etnis yang tersebar dalam
untaian pulau-pulau (Rahman, 2010: 8).
Kalimat Bhinneka Tunggal Ika sendiri diambil dari penggalan Sumpah Palapa yang
dikumandangkan oleh Patih Gajah Mada dalam usaha penaklukan nusantara di masa keemasam
Kerajaan Majapahit. Sumpah Palapa kemudian menjadi dasar bagi terciptanya Sumpah Pemuda
pada 28 oktober 1928. Ketika Sumpah Pemuda diikrarkan, saat itulah Indonesia sebenarnya telah
melebur menjadi sebuah bangsa Indonesia dan melepaskan diri dari segala bentuk ide kepulauan,
ide kesukuan dan sebagainya (Setyani, 2009: 4-5). Inilah dasar Proklamasi Kemerdekaan 1945
hingga saat ini. Peristiwa Sumpah Pemuda adalah bukti bahwa bangsa Indonesia memiliki
kesadaran hidup dalam keberagaman, yang oleh karenanya dibutuhkan sebuah semboyan
pemersatu yang harus terus-menerus dijadikan tonggak dan jati diri bangsa.
Bhinneka Tunggal Ika sering diartikan sebagai berbeda-beda tetapi tetap satu. Dalam
perjalanan kemerdekaan Indonesia, frasa ini sering muncul dalam nuansa makna yang berbedabeda. Keberagaman dan persatuan muncul sebagai atribut yang melekat dalam semangat
Bhinneka Tunggal Ika. Nuansa perbedaan makna itulah yang ingin diangkat dalam tulisan ini.
Menurut penulis, nuansa perbedaan makna tersebut didasari oleh adanya perbedaan cara pandang
atau yang populer disebut sebagai paradigma. Dalam paradigma yang berbeda, maka Bhinneka
Tunggal Ika akan terlihat berbeda, terutama bila dilihat dari bagian mana dari semboyan tersebut
ditekankan penerjemahannya dalam kehidupan bernegara dan berbangsa di Indonesia.
Terdapat ketegangan antara kesatuan (unity) dan keragaman (diversity) sebagai isu
utama dalam masyarakat plural yang dalam konteks Indonesia, adalah isu pemaknaan Bhinneka
Tunggal Ika itu sendiri. Menurut Bagir dan Dwipayana, semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah
awal upaya memecahkan masalah ketegangan yang terjadi tersebut. Bhinneka Tunggal Ika
bukanlah sebuah akhir ataupun semboyan yang harus ditafsirkan terus-menerus (Bagir,
Dwipayana, Rahayu, Sutarno, & Wajidi, 2011: 45).
Tulisan ini tidak hendak membicarakan ketegangan dan penafsiran atas Bhinneka
Tunggal Ika tersebut, melainkan berusaha memahami adanya perbedaan pemaknaan sehingga
diharapkan paradigma yang tepat sesuai konteks dapat didiskusikan lebih lanjut untuk Indonesia
dewasa ini.
TINJAUAN PUSTAKA
Tulisan ini mengandung beberapa konsep penting, terutama konsep-konsep yang berhubungan
dengan keberagaman dan persatuan, seperti yang dimaksud dalam Bhinneka Tunggal Ika dan
bagian ini juga akan menjabarkan tinjauan paradigma klasik dalam ilmu sosial dalam memahami
Bhinneka Tunggal Ika.
Keberagaman.
Keberagaman merujuk pada pluralisme. Konsep pluralisme sering digunakan sebagai
konsep yang mendeskripsikan adanya keragaman budaya. Sebagian antropolog menggunakan
pemahaman pluralisme sebagai fakta atas adanya kemajemukan budaya. Parsudi Suparlan
misalnya, menggunakan konsep masyarakat multikultural Indonesia yang dibangun sebagai
3
hasil reformasi dengan tatanan kehidupan orde baru yang bercorak masyarakat majemuk
(plural society). Plural Society adalah istilah yang digunakan Furnival untuk menggambarkan
segregasi masyarakat Indonesia pada masa kolonialisme Belanda (Bagir, Dwipayana, Rahayu,
Sutarno, Wajidi, 2011: 28-29).
Seperti telah disinggung di atas, konsep lain yang berhubungan dengan pluralisme adalah
masyarakat
majemuk
dan
multikulturalisme.
Masyarakat
majemuk
terbentuk
dari
Persatuan.
Persatuan dalam tulisan ini merujuk pada konsep integrasi nasional. Integrasi adalah
suatu pola hubungan yang mengakui adanya perbedaan ras dalam masyarakat, tetapi tidak
memberikan makna penting pada perbedaan ras tersebut. Hak dan kewajiban yang terkait dengan
ras seseorang hanya terbatas pada bidang tertentu saja dan tidak ada sangkut pautnya dengan
bidang pekerjaan atau status yang diraih dengan usaha (Sunarto, 2004). Integrasi nasional adalah
penyatuan bagian-bagian yang berbeda menjadi sebuah kesatuan yang lebih utuh atau
memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak jumlahnya menjadi suatu bangsa
(Herdiawanto & Hamdayama, 2010). Sebutan kesatuan bangsa atau kesatuan wilayah
mempunyai dua makna yaitu (kompasiana, 2010):
1.
2.
Menyatakan wujud yang hanya satu dan utuh, yaitu satu bangsa yang utuh atau satu
Paradigma Positivis.
Paradigma positivis merupakan paradigma yang awalnya berakar dari ilmu alam.
Paradigma ini pertama kali dikenalkan oleh Auguste Comte. Salah satu sumbangan Comte dalam
memandang masyarakat bahwa sejarah peradaban manusia akan melalui tahapan, yang
disebutnya sebagai Hukum Tiga Jenjang, yaitu jenjang teologi, jenjang metafisika dan jenjang
positivis. Hukum ini berlaku di seluruh masyarakat, sehingga tahapan yang telah dilalui oleh
sebuah masyarakat dapat menjadi pembelajaran bagi masyarakat lain yang belum melalui
tahapan tersebut.
Paradigma ini melihat masyarakat diibaratkan memiliki hukum-hukum pasti yang berlaku
universal di seluruh aspek-aspek kehidupan. Dalam hubungannya dengan tulisan ini, paradigma
positivis mengharuskan adanya penyeragaman nilai-nilai dalam setiap masyarakat. Harus ada
sebuah standar normatif yang disepakati berlaku umum dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat.
Standar normatif dalam setiap masyarakat akan memiliki fungsi sebagai penyatu atau perekat
dan menjadi pedoman hidup bagi masyarakat tersebut.
Secara ontologis, paradigm positivis berbicara mengenai hakikat realitas atau kenyataan.
Paradigma ini percaya bahwa realitas yang ada di luar sudah diatur oleh hukum dan kaidahkaidah tertentu secara universal. Sementara itu, secara metodologis, paradigma ini berbicara
mengenai cara yang akan digunakan dalam memperoleh pengetahuan. Cara yang dipakai dalam
pardigma ini adalah cara hipotesis dan metode deduktif (Neuman, 2007).
Paradigma Interpretif.
Paradigma ini juga dikenal dengan nama paradigma konstruktif. Dalam Paradigma
konstruktif, kebenaran tentang suatu realitas bersifat relatif. Artinya
tergantung pada individu pelaku sosial. Dalam paradigma ini, kebenaran atau realitas dunia
sosial, merupakan hasil interaksi dari sesama pelaku sosial. Dalam paradigma ini, cara yang
dipakai untuk mengetahui kebenaran realitas sosial adalah cara dialektis (Neuman, 2007).
Pada dasarnya paradigma ini merupakan antitesis dari positivisme. Secara ontologis
aliran ini menyatakan bahwa realitas itu ada dalam bentuk macam-macam konstruksi mental,
berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal, spesifik dan tergantung pada orang yang
melakukannya. Karenanya, realitas yang diamati seseorang tidak bisa digeneralisasikan kepada
6
semua orang seperti pandangan positivisme. Secara metodologis, aliran ini menerapkan metode
hermeneutics dan dialectics dalam proses pencapaian kebenaran (Salim, 2001).
Paradigma Kritis.
Dalam paradigma ini, realitas sosial dipandang sebagai sesuatu yang semu karena
merupakan hasil dari proses sejarah, sosial maupun politik. Paradigma ini memiliki beberapa
kemiripan dengan paradigma interpretif, namun paradigma ini juga merupakan campuran dari
objektivitas atau materialis ditambah dengan pandangan paradigma konstruktif mengenai realitas
sosial (Neuman, 2007).
Kata kunci paradigma ini adalah tindakan, sehingga penelitian berbasis paradigma ini
sangat berhubungan dengan isu-isu moral dan politik di tingkat praksis. Pendekatan ini
menekankan pada pengupasan realitas sosial yang berlapis-lapis. Dengan kata lain membongkar
apa yang ada dibalik sebuah realitas sosial dengan mengupasnya satu-persatu. Realitas sosial
yang terlihat di permukaan kadangkala hanyalah berupa kepalsuan sebagai akibat adanya
tekanan atau arahan seperti kekuasaan dan otoritas dalam masyarakat (Neuman, 2007).
PEMBAHASAN
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, yang disemangati oleh Sumpah Pemuda
tahun 1928, sebetulnya merupakan terbentuknya sebuah bangsa dalam sebuah negara yaitu
Indonesia tanpa ada unsur paksaan. Namun begitu, pembentukan bangsa yang ada itu, bukanlah
tanpa halangan. Pada awal kemerdekaan Indonesia, tantangan pertama adalah membuat berbagai
perangkat guna melegitimasi pembentukan negara baru, seperti pembuatan perangkat hukum
(undang-undang dasar), perangkat pemerintahan (penyusunan alur tata negara), dan juga
penentuan simbol-simbol kebangsaan. Proses pembuatan berbagai perangkat yang ada tersebut
dijalankan oleh suatu badan yang dikenal dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) melalui sidang-sidangnya. Pada akhirnya dihasilkanlah UUD 1945 sebagai undangundang dasar, pasangan proklamator sebagai presiden dan wakil presiden, Pancasila sebagai
dasar negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara Indonesia.
Bhinneka Tunggal Ika sendiri merupakan sebuah kalimat yang diambil dari kitab
Sutasoma karya Mpu Tantular yang ditulis pada abad ke 14, yang juga dipakai oleh Gajah Mada
dalam Sumpah Palapa. Penggunaan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara dikukuhkan
melalui PP no. 66 tahun 1951 tentang Lambang Negara. Sebenarnya Bhinneka Tunggal Ika
merupakan penggalan dari kitab sutasoma yang menggambarkan kerukunan beragama pada masa
Majapahit. Namun pengertian Keragaman dalam Bhinneka Tunggal Ika pada akhirnya tidak
hanya dimaknai keragaman agama namun juga keragaman suku dan etnis yang ada di Indonesia.
Pembahasan dalam tulisan ini berupaya meninjau pesan dalam Bhinneka Tunggal melalui
paradigma interpretif. Pemahaman yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pemahaman dalam
melihat bagaimana cara pandang bangsa dan negara Indonesia mengenai aplikasi Bhinneka
Tunggal Ika dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Tinjauan Paradigma Positivis dalam memandang Bhinneka Tunggal Ika.
Seperti telah dijelaskan, paradigma positivis menekankan masyarakat memiliki nilai
universal sebagai pengikat dan dengan demikian ada penyeragaman nilai dalam masyarakat.
Dengan pemahaman tersebut, dapat dikatakan terdapat beberapa situasi dan kondisi dalam
beberapa periode dimana Indonesia menerapkan cara pandang demikian dalam memaknai
Bhinneka Tunggal Ika. Kondisi ini sangat amat terlihat pada masa Orde Baru, dimana berbagai
macam aspek kehidupan sangat terpusat pada satu titik, yaitu rezim Orde Baru itu sendiri.
Pemusatan ini berujung pada pengontrolan secara ketat terhadap masyarakat. Pengontrolan
terjadi tidak hanya pada bidang politik atau ekonomi semata, namun pengontrolan juga terjadi
pada norma dan nilai yang berkembang pada masyarakat. Dengan fokus utama dari rezim orde
baru yang menekankan kestabilan politik, Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara juga
tentu saja dikontrol maknanya oleh rezim Orde Baru. Konsep Bhinneka Tunggal Ika yang
memiliki dua sisi yaitu persatuan dan keragaman oleh rezim orde baru
maknanya lebih
ditekankan pada persatuan. Bahkan bukan hanya makna persatuan yang dijalankan dan
ditekankan oleh rezim orde baru, melainkan Tunggal Ika itu dimaknai menjadi satu dan seragam.
Persatuan yang ditandai dengan stabilitas sosial sangat kental dalam periode Orde Baru.
Stabilitas sosial sangat penting dalam periode ini, karena kestabilan dimaknai sebagai awal dari
pembangunan. Untuk menciptakan kestabilan tersebut, maka masyarakat harus diseragamkan
8
agar dapat dikontrol dan terjadi pemerataan nilai-nilai yang menunjang tujuan tersebut.
Sosialisasi nilai misalnya terjadi di semua lini masyarakat, baik di tingkat dasar seperti sekolahsekolah dan di tingkat yang lebih tinggi seperti di kantor-kantor.
Penyeragaman nilai-nilai yang disepakati ini menjadi standar normatif dan difungsikan
sebagai perekat atau penyatu masyarakat. Bhinneka Tunggal Ika, yang menekankan pentingnya
Tunggal Ika terjadi pada periode ini. Oleh karenanya, masa itu diwarnai dengan kebijakankebijakan yang mengarah pada persatuan dan berlaku untuk seluruh masyarakat. Masyarakat
dilihat harus mengalami kemajuan yang sama dengan negara-negara yang dianggap maju, dan
diasumsikan dengan mengikuti cara yang sama dengan pemikiran negara maju, maka Indonesia
akan mencapai kesuksesan yang serupa. Lokalitas tidak dipentingkan dalam periode ini. Oleh
karena itu, kebijakan-kebijakan seperti Repelita yang mengacu pada Tahapan Pertumbuhan
Ekonomi Rostow misalnya sangat amat modernis. Pemikiran ini sejalan dengan pemikiran
positivis Comte yang melihat bahwa setiap masyarakat akan melalui jenjang yang sama.
Berdasarkan pemikiran inilah, proses Tunggal Ika, penyatuan seluruh masyarakat melalui
penyeragaman nilai menjadi penting. Bhinneka Tunggal Ika dimaknai sebagai keberagaman
yang harus disatukan menjadi sebuah identitas nasional. Dengan ciri-ciri termanifes dalam nilainilai yang diseragamkan, kesatuan bangsa yang utuh akan tercapai. Penyeragaman nilai bahwa
kita adalah satu, atau kita adalah sama (satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa) akan menjadi
identitas nasional bangsa. Demi tujuan itu, segala cara harus digunakan termasuk cara represif
sehingga setiap anggota masyarakat yang menunjukkan perbedaan dianggap bertentangan dan
harus ditertibkan.
Kesatuan wilayah juga menjadi ciri khas dalam periode ini. Kebijakan transmigrasi
adalah salah satunya. Dengan dilakukan transmigrasi memindahkan pendudukan dari pulau padat
penduduk ke pulau jarang penduduk, seperti dari Jawa ke Sumatera, Kalimantan atau Sulawesi
adalah sebuah cara agar terjadi kesatuan dan perasaan memiliki yang tinggi terhadap Indonesia
sebagai sebuah kesatuan negara.
Negara berdaulat, bersatu dan melebur merupakan ciri-ciri pesan yang mengutamakan
Tunggal Ika. Kemajemukan bangsa ada namun tidak dimaknai penting karena persatuan dan
kesatuan bangsa dan negara dianggap lebih penting dalam proses kemajuan bangsa (memodernkan bangsa).
9
Bhinneka
Tunggal Ika dikaji dengan menggunakan paradigma kritis, realitas yang berupa terjadi
penekanan pada Bhinneka atau realitas berupa penekanan pada Tunggal Ika hanyalah realitas
yang semu. Kedua realitas yang ada tersebut hanyalah lapisan paling luar dari apa yang terlihat
dan dirasakan.
Penggunaan paradigma kritis yang menganggap untuk memahami suatu realitas yang
diperlukan adalah membongkar realitas semu yang ada; sehingga dalam menelaah Bhinneka
Tunggal Ika akan membongkar realitas-realitas yang ada. Dengan menggunakan pendekatan
kritis ini, kondisi dimana penerapan Bhinneka Tunggal Ika lebih menekankan kesatuan dan
keseragaman dianggap sebagai satu lapisan terluar dari kenyataan atau realitas sosial yang
sesungguhnya terjadi. Dengan paradigma kritis ini, kondisi yang ada tersebut harus dibongkar
dengan mengajukan asumsi-asumsi yang mempertanyakan kondisi yang ada tersebut. Misalnya
saja jika kita melihat pada masa orde baru yang menekankan kesatuan dan penyeragaman, maka
harus dipertanyakan mengapa hal demikian terjadi, siapa yang mendapatkan keuntungan dengan
kondisi yang demikian itu, apakah mungkin kodisi demikian diciptakan negara untuk
memobilisasi rakyat demi pembangunan, dan lain sebagainya.
Apabila Bhinneka Tunggal Ika dalam satu masa dalam sejarah Indonesia ini dianggap
menekankan ke-bhinneka-annya, maka dengan paradigma kritis perlu pula dijelaskan mengapa
itu terjadi dan untuk kepentingan pihak atau kelompok mana kondisi demikan itu terjadi.
Misalnya dengan melihat pada masa reformasi dimana penekanan Bhinneka Tunggal Ika hanya
pada bhinneka-nya maka perlu dilihat mengapa hal ini terjadi, bisa saja kondisi demikian terjadi
11
karena negara memang melihat bahwa pada masa reformasi masyarakat sudah lelah dengan
penyeragaman sehingga apabila negara pada masa reformasi tetap memberlakukan
penyeragaman, maka tentangan akan banyak terjadi terhadap negara. Sebaliknya jika negara
lebih mengedepankan keragaman, maka masyarakat akan memihak pada negara, dan dengan
demikian negara akan memperoleh legitimasi dari rakyat.
Dari penjelasan yang ada
pembongkaran realitas semu yang ada dengan bertujuan menyadari atau mengetahui realitas
sosial yang sesungguhnya.
Penutup
Pembahasan Bhinneka Tunggal Ika dengan menggunakan tiga paradigma klasik yang ada
yaitu paradigma positivis, paradigma interpretif, dan paradigma kritis memperlihatkan bahwa
semboyan negara kita bersifat multi-interpretasi. Terlepas dari masih banyaknya konflik yang
ada di negara ini, konsep Bhinneka Tunggal Ika memang bisa diinterpretasikan dari berbagai
paradigma.
Dengan menggunakan paradigma positivis, konsep Bhinneka Tunggal Ika akan lebih
menekankan pada kesatuan, keseragaman dan universalisme nilai-nilai yang ada. Dengan
menggunakan paradigma interpretif, maka Bhinneka Tunggal Ika akan lebih menekankan
perbedaan dan keragaman. Dengan menggunakan paradigma kritis, maka Bhinneka Tunggal Ika
akan membongkar kondis-kondisi ataupun realitas sosial yang ada dengan mempertanyakannya
lebih lanjut.
Tulisan ini tidak membahas mengenai kondisi mana yang ideal ataupun paradigma mana
yang lebih baik digunakan dalam menjelaskan Bhinneka Tunggal Ika. Pada akhirnya penulis
merasa bahwa kesadaran mengenai multi-interpretasi dari pesan yang terkandung dalam
Bhinneka Tunggal Ika adalah hal terpenting dan patut diwacanakan lebih luas.
12
PUSTAKA
Buku.
Bagir, Zainal Abidin, AA GN Ari Dwipayana, Mustaghfiroh Rahayu, Trisno Sutanto, Farid
Wajidi. 2011. Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia.
Bandung: Mizan Media Utama
Herdiawanto, Heri dan Jumanta Hamdayama. 2010. Cerdas, Kritis dan Aktif Berwarganegara.
Jakarta: Penerbit Erlangga
Neuman, Lawrence W. 2007. Basic of Social Research: Qualitative and Qualitative Approaches
(2nd ed.). Boston: Pearson Education Inc.
Rahman, H. Darmawan M, dkk. 2010. Makna Bhinneka Tunggal Ika sebagai Perekat Kembali
Budaya Ke-Indonesia-an. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Salim, Agus, penyunting. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: LPFEUI
Makalah.
Setyani, Turita Indah. 2009. Bhinneka Tunggal Ika sebagai Pembentuk Jati Diri Bangsa.
Dipresentasikan dalam Konferensi Nasional dan Pembentukan Organisasi Profesi
Pengajar, Bahasa, Sastra, Budaya, dan Seni Daerah se-Indonesia, Yogyakarta, 8-9
Agustus 2009.
Website.
Suparlan, Parsudi. 2002. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural, dipresentasikan
dalam
Simposium
Internasional
Jurnal
ANTROPOLOGI
INDONESIA
ke-3:
2010.
Persatuan
dan
Kesatuan
Bangsa
sosbud.kompasiana.com/2010/06/14/persatuan-dan-kesatuan-bangsa-pengantar/
dalam
diakses
14