BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Materi pembelajaran sastra di Sekolah Dasar (SD) merupakan bagian dari
pembelajaran bahasa Indonesia, pembelajaran bahasa dan sastra dilaksanakan
secara seimbang dan disajikan secara terpadu (Depdikbud, 1999:20 dan
Depdiknas, 2001:14). Materi pembelajaran sastra memiliki karakteristik yang
tidak dimiliki oleh pembelajaran bahasa Indonesia pada umumnya. Hal ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh Solchan Rafiudin dan Budiasih (dalam Hafid
2002:30) bahwa teks sastra memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh bahan ajar
yang
lainnya,
yaitu
struktur
teks,
isi
pesan,
aspek
kejiwaan
yang
melalui observasi dan wawancara kepada guru dan siswa. Dari hasil observasi
terungkap: yaitu (1) guru dalam mengajarkan cerita fiksi belum maksimal, guru
hanya menentukan tema saja, tidak menentukan unsur-unsur lainya seperti
menentukan alur, perwatakan, latar dalam cerita, (2) guru kurang melibatkan
siswa secara aktif dalam proses pembelajaran, yaitu hanya dapat mendengarkan
cerita yang dibaca oleh guru dalam hal ini siswa tidak diajak untuk mendiskusikan
tentang tema, alur, perwatakan dan latar yang terkandung dalam cerita tesebut, (3)
dalam proses pembelajaran, guru tidak membentuk kelompok diskusi kepada
siswa, dalam menemukan tema, alur, perwatakan dan latar dalam cerita fiksi, (4)
guru kurang mempresentasekan hasil kerja kelompok mengapresiasi cerita fiksi di
depan kelas, tetapi guru hanya mengumpulkan saja hasil kerja kelompok siswa.
Selain itu juga berdasarkan hasil tes prapenelitian kepada siswa kelas VI
SDN 318 Tobarakka tersebut terungkap: (1) murid tidak mampu membedakan
antara tema dan judul cerita, (2) murid sulit menentukan tema, alur, seting dan
amanat yang tekandung dalam sebuah cerita fiksi tersebut dengan baik, (3) murid
sukar menetukan jalannya cerita, (4) murid sukar menentukan sifat-sifat tokoh
dalam cerita. Tes prapenelitian yang dilakukan hanya mencapai 45% murid yang
dapat menentukan unsur-unsur yang terkandung dalam cerita fiksi dan 55% murid
yang masih rendah dalam menentukan unsr-unsur yang terkandung dalam cerita
fiksi tersebut.
Dari hasil temuan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyebab rendahnya
kemampuan
mengapresiasi
cerita
fiksi
adalah
ketidakmampuan
guru
menggunakan pendekatan yang sesuai yang dilakukan oleh guru sehingga murid
tidak dapat menentukan unsur-unsur yang terkandung dalam cerita fiksi.
Jika masalah tersebut tidak dapat diatasi akan berdampak negatif pada
siswa, dalam hal ini siswa tidak dapat memahami unsur-unsur intrinsik yang
terkandung dalam cerita fiksi, dan juga akan berdampak pada rendahnya minat
mengapresiasi karya sastra. Untuk itu peneliti bermaksud untuk mengatasi
permasalahan di atas dengan menggunakan pendekatan kooperatif model STAD
(Student Teams Achievement Divisions). Sejalan dengan itu Nur (1998:9)
menyatakan bahwa untuk mencapai pembelajaran sastra yang maksimal guru
harus menggunakan model koperatif learning tipe STAD dan membuat kelompok
diskusi kecil, sehingga dapat membantu murid dalam meningkatkan keaktifan
antar mereka dan saling kerjasama dalam proses pembelajaran cerita fiksi.
Anggota-anggota
kelompok
memiliki
tanggung
jawab
dan
saling
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka rumusan
masalah dalam penelitian inui adalah : Bagaimanakah meningkatkan kemampuan
siswa dalam mengapresiasi cerita fiksi dengan menggunakan model Kooperatif
Learning Tipe STAD di SDN 318 Tobarakka ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan
penelitian
ini
adalah
untuk
meningkatkan
kemampuan
b)
2. Manfaat Praktis
a)
E. Hipotesis Tindakan
Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah jika menggunakan model
kooperatif learning tipe STAD maka dapat meningkatkan kemampuan
mengapresiasi cerita fiksi di kelas VI SDN 318 Tobarakka Kecamatan
Pitumpanua Kabupaten Wajo.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Pengertian dan Manfaat Mengapresiasi Cerita di SD
Istilah apresiasi berasal dari bahasa latin aprecatio yang berarti
mengindahkan atau menghargai Aminudin (dalam Rindiani 2004:4). Dalam
konteks yang lebih luas, istilah apresiasi menurut Gove (dalam Rindiani 2004:4),
mengandung makna: (1) pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin (2)
pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahannya yang diungkapkan
pengarang.
Sejalan dengan pengertian apresiasi di atas Effendi (dalam Hafid 2002:16)
mengungkapkan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra
secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan,
kepekaan, pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra.
Dari pendapat itu juga dapat disimpulkan bahwa kegiatan apresiasi dapat
tumbuh dengan baik apabila pembaca mampu menumbuhkan rasa akrab dengan
teks sastra yang diapresiasinya, menumbuhkan sikap sungguh-sungguh serta
melaksanakan kegiatan apresiasi itu sebagai bagian dari hidupnya, sebagai suatu
kebutuhan yang mampu memuaskan rohaninya.
landasan tumpuh empat keterampilan berbahasa. Selain itu teks cerita dapat
mengembangkan aspek kejiwaan anak. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Rofiuddin dan Zuchdi (dalam Hafid 200:26) menyatakan bahwa aspek kejiwaan
yang ditumbuhkembangkan melalui teks cerita adalah daya nalar, kepekaan,
emosi, dan daya imajinasi, perluasan wawasan dan daya kreasi. Dengan potensi
yang dimiliki teks cerita sastra relevan untuk diakrabkan pada anak-anak sejak
usia Sekolah Dasar.
3. Manfaat Cerita Fiksi
Cerita fiksi mempunyai peranan yang sangat penting khususnya dalam
peningkatan
minat
baca
bagi
murid.
Ditinjau
dari
segi
manfaatnya
menjadi
10
kelebihan dan kekurangan diri, dan membentuk sifat-sifat kemanusiaan pada diri
si anak. Seperti ingin dihargai, ingin mendapatkan cinta kasih yang tulus, ingin
menikmati keindahan dan ingin meraih kebahagiaan.
Pada dasarnya dalam karya sastra khususnya cerita fiksi terkandung
masalah-masalah kesemestaan yang dapat dipelajari anak-anak dan dapat
membuahkan pengalaman estetik. Bahasa imajinatif karya sastra dapat
menghasilkan responsi interval dan responsi emosional. Responsi interval dan
emosional akan menuntun anakanak merasakan dan menghayati para tokoh
berbagai konflik dan masalah kehidupan manusia
Sastra anak-anak akan membantu murid memperoleh kesenangan dan
kebahagiaan diri, keindahan dan kesedihan, kelucuan dan keajaiban yang pernah
dialaminya. Cerita fiksi memiliki nilai personal dan nilai pendidikan yang sangat
besar pengaruhnya bagi perkembangan anak-anak. Dengan demikian sastra anak
dapat memberikan: kenikmatan dan kesenangan, memperkuat cara berpikir,
mengembangkan imajinasi, memberi pengalaman, mengembangkan kemampuan
berprilaku menjanjikan.
Adapun sastra cerita fiksi mengandung nilai pendidikan, membantu
perkembangan bahasa, mengembangkan kemampuan membaca, mengembangkan
kepekaan cerita dan meningkatkan kemampuan menulis.
4. Unsur-unsur yang Membangun Cerita Fiksi
Supriadi (2006:59) pada hakikatnya unsur yang membangun cerita fiksi
sama dengan unsur yang membangun cerita fiksi lain seperti cerpen, novel, dan
dongeng lainnya. Unsur ekstrinsik adalah: (a) latar belakang pendidikan
11
pengarang, (b) latar belakang penciptanya, (3) situasi ekonomi, politik, sosial dan
budaya. Sedangkan unsur intrinsik adalah: (a) tema atau amanat, (b) alur atau plot,
(c) perwatakan atau penokohan, dan (d) latar.
Keempat unsur intrinsik tersebut diuraikan sebagai berikut :
a) Tema atau Amanat
Tema adalah dasar atau makna suatu cerita atau novel. Selanjutnya
dikatakan bahwa tema adalah pandangan hidup yang tertentu atau perasaan
tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu
karya fiksi. Tema tidak lain adalah suatu gagasan sentral yang menjadi dasar
tujuan yang hendak dicapai oleh pengarang.
Mengetahui tema suatu cerita/novel, maka kita harus merangkum unsurunsur lain dan sekaligus membaca secara tuntas cerita tersebut. Mengetahui suatu
tema dalam cerita, maka terlebih dahulu kita harus menjawab pertanyaan seperti
apakah motivasi tokoh, apa problemnya dan apa keputusannya yang diambilnya.
Selain itu harus dijejaki konflik sentral. Dan konflik sentral inilah akan menjurus
kepada sesuatu yang hendak dicari.
b) Alur atau Plot
Alur cerita suatu cerpen pada umumnya terdiri atas (1) bagian pembuka,
yaitu situasi yang mulai terbentang sebagai suatu kondisi permulaan yang akan
dilanjutkan dengan kondisi berikut, (2) bagian tengah, yaitu kondisi bergerak ke
arah yang mulai memuncak, (3) bagian puncak, yaitu kondisi mencapai titik
puncak sebagai klimaks peristiwa, (4) bagian penutup, yaitu kondisi memuncak
sebelumnya mulai menampakkan pemecahan masalah atau penyelesainnya.
12
Tokoh dan
perwatakan harus terstruktur pula. Ia memiliki fisik dan mental secara bersama
membentuk totalitas pelaku yang bersangkutan. Segala tindakan dan prilaku
merupakan jalinan hubungan logis, suatu hubungan yang termasuk akal walaupun
relatif.
Untuk mengetahui tokoh utama atau tokoh tambahan dalam sebuah cerita,
maka kita harus melihat keseringan pemunculannya dalam sebuah cerita. Selain
itu dapat juga diketahui lewat petunjuk yang diberikan oleh pengarang dan juga
lewat judulnya.
Tokoh dalam sebuah cerita digambarkan oleh pengarang seperti halnya
manusia mempunyai watak-watak yang berbeda, ada yang baik ada pula yang
13
jahat, sehingga dalam cerita dikenal istilah pelaku protagonis, yaitu pelaku
disenangi dan pelaku antagonis yaitu pelaku yang tidak disenangi pembaca.
Dalam cerita fiksi, penggambaran penokohan tidak serumit yang di atas
tetapi pengarang langsung menyebutkan karakter pelakunya misalnya, langsung
disebutkan bahwa tokoh itu licik, penyabar, dungu, dan sebagainya. Demikian
pula posisi tokoh sangat jelas yang memihak kepada kebaikan dan yang memihak
kepada kejahatan.
d) Latar
Latar adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi, latar belakang fiksi,
unsur dan ruang dalam suatu cerita. Dalam konteks latar segala yang berkaitan
dengan tempat, waktu, musim, periode, kejadian-kejadian di sekitar peristiwa
cerita semua termasuk latar.
Tarigan (dalam Ridayani, 2004:13) mengemukakan bahwa latar yang
dapat dipergunakan untuk beberapa maksud atau tujuan tertentu antara lain:
1.
Latar harus mudah dikenal kembali dan juga yang dilukiskan dengan
terang dan jelas serta mudah diingat, biasanya cenderung untuk memperbesar
keyakinan terhadap tokoh dan gerak serta tindakannya.
2.
Latar suatu cerita mempunyai suatu relasi yang lebih langsung dengan
arti keseluruhan arti umum.
3.
14
2.
3.
15
4.
16
yang paling sederhana, dan merupakan salah satu model yang banyak digunakan
dalam pembelajaran kooperatif. Slavin (dalam Nur, 2006:4) menjelaskan bhwa
pembelajaran kooperatif dengan tipe STAD, Murid di tempatkan dalam kelompok
belajar beranggotakan 4-5 orang murid yang merupakan campuran dari
kemampuan akademik yang berbeda, sehingga dalam setiap kelompok terdapat
siswa yang berprestasi tinggi, sedang, dan rendah atau variasi jenis kelamin,
kelompok ras, dan etnis atau kelompok sosial lainnya.
Pembelajaran kooperatif model STAD merupakan salah satu model
pembelajaranya yang terstruktur dan sistematis, dimana kelompokkelompok
kecil beker jasama untuk mencapai tujuantujuan bersama
Cooper dan Heinich (dalam Rosmawan 2007:13) menjelaskan bahwa:
pembelajaran kooperatif tipe STAD sebagi metode pembelajaran yang melibatkan
kelompok-kelompok kecil yang heterogen dan murid bekerja sama untuk tujuantujuan dan tugas-tugas akademik bersama, sambil bekerja sama, belajar
keterampilan-keterampilan kolaboratif dan sosial.
Anggota-anggota kelompok memiliki tanggung jawab dan saling
bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama. Berdasarkan beberapa
defenisi di atas dapat dikatakan bahwa belajar model kooperatif learning tipe
STAD mendasarkan bahwa murid bekerjasama dalam belajar kelompok dan
sekaligus masing-masing bertanggung jawab pada aktifitas belajar anggota
kelompoknya, sehingga seluruh anggota kelompok dapat menguasai materi
pelajaran dengan baik.
17
belajar dalam kelas, biasanya akan terjadi tutorial antara siswa dimana murid yang
telah menguasai konsep atau permasalahan (tutor) akan memberikan penjelasan
pada murid lain pada kelompoknya. Proses pengembangan kemampuan akan
terjadi baik untuk tutor sebaya maupun temannya mengalami peningkatan
pemahaman. kelebihan yang dimiliki oleh tutor sebaya adalah dapat memahami
materi lebih baik dibandingkan dengan teman-temannya, Slavin (dalam Asma
(2006:51)
Jumlah anggota adalah kelompok yang berkisar 3-4 orang yang terdiri dari
murid dengan kemampuan yang beragam, sehingga dalam satu kelompok akan
terdapat siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Selanjutnya
mereka diharapkan akan bekerjasama dan saling menolong antar anggota untuk
kesuksesan bersama. Kesuksesan kelompok ini menjadi faktor pemicu
peningkatan motivasi belajar siswa, karena siswa akan merasa bahwa kompetisi
yang diterapkan berjalan adil, Slavin (dalam Asma 2006:52)
Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif model STAD menurut
Asma (2006:51) terdiri dari enam tahap: (a) Persiapan pembelajaran, (b)
penyajian materi, (c) belajar kelompok (d) tes, (e) penentuan skor penempatan
18
Materi
Materi pembelajaran dalam belajar kooperatif dengan menggunakan tipe
STAD
setelah
memberikan
tes
kemampuan
prasyarat/tes
pengetahuan awal, maka skor tes tersebut dapat dipakai sebagai skor dasar. Selain
skor tes kemampuan prasyarat/tes pengetahuan awal, nilai siswa pada semester
sebelumnya juga dapat digunakan skor dasar.
19
20-45 menit
setiap pembelajaran dengan model ini, selalu dimulai dengan penyajian materi
oleh guru. Sebelum menyajikan materi pelajaran, guru dapat memulai dengan
penjelasan tujuan pelajaran, memberikan motivasi untuk berkooperatif, menggali
pengetahuan prasyarat dan sebagainya. Dalam penyajian kelas dapat digunakan
model ceramah, dan tanya jawab, diskusi dan sebagainya, sesuai dengan isi bahan
ajar dan kemampuan belajar.
Tahap 3 Kegiatan Belajar Kelompok
Dalam setiap kegiatan belajar kelompok digunakan lembar kegiatan,
lembar tugas, dan lembar kunci jawaban. Masing masing dua lembar untuk setiap
kelompok. dengan tujuan agar terjalin kerjasama diantara kelompoknya. Lembar
kegiatan dan lembar tugas diserahkan pada saat kegiatan belajar kelompok
sedangkan kunci jawaban diserahkan setelah kegiatan kelompok selesai
dilaksanakan setelah penyerahan lembar kegiatan dan lembar tugas, guru
menjelaskan tahapan dan fungsi belajar kelompok dari tipe STAD. Setiap siswa
mendapat peran pemimpin anggota-anggota dalam kelompoknya dengan harapan
bahwa setiap anggota kelompok termotivasi untuk memulai pembicaraan dalam
diskusi.
Tahap 4 Pemeriksaan Terhadap Hasil Kegiatan Kelompok
Pemeriksaan terhadap hasil kegiatan kelompok dilakukan dengan
memprensentasikan hasil kegiatan kelompok di depan kelas oleh wakil dari setiap
20
kelompok. Pada tahap kegiatan ini diharapkan terjadi interaksi antar anggota
kelompok penyajian dengan anggota kelompok lain untuk melengkapi jawaban
kelompok tersebut. Kegiatan ini dilakukan secara bergantian. Pada tahap ini pula
dilakukan pemeriksaan hasil kegiatan kelompok dengan memberikan kunci
jawaban dan setiap kelompok memeriksa sendiri hasil pekerjaanya serta
memperbaiki jika masih terdapat kesalahan-kesalahan.
Tahap 5 Siswa Mengerjakan Soal-soal secara Individu
Pada tahap ini setiap siswa harus memperhatikan kemampuannya dan
menunjukan apa yang diperoleh pada kegiatan kelompok dengan cara menjawab
soal tes sesuai dengan kemampuannya. Siswa dalam tahap ini tidak
diperkenangkan bekerjasama
Tahap 6 Pemeriksaan Hasil Tes
Pemeriksaan hasil tes dilakukan oleh guru, membuat daftar skor
peningkatan satu individu, yang kemudian dimasukan menjadi skor kelompok.
Peningkatan rata-rata skor setiap individu merupakan sumbangan bagi kinerja
pencapaian kelompok.
B. Temuan Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penggunaan Model Kooperatif Learning
Tipe Stad Dalam Meningkatkan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Fiksi, antara
lain : Penelitian yang dilakukan oleh Astarina, B. Shinta Marga. 2011, Jurusan
Kependidikan Sekolah Dasar dan Pra Sekolah. Program Studi S1 Pendidikan
Guru Sekolah Dasar FIP Universitas Negeri Malang, dengan hasil penelitian
21
22
Persiapan
Pembelajran
Penyajian
Materi
Belajar
Kelompok
Pemeriksaan
Hasil Klp.
Soal
Individu
Pemeriksaan
Hasil Tes
23
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Setting Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kelas VI SDN 318 Tobarakka Kecamatan
Pitumpanua Kabupaten Wajo. Alasan memilih sekolah ini yaitu: (1) tempat
peneliti melaksanakan tugas sebagai guru, (2) tidak mengeluarkan biaya banyak,
(3) adanya dukungan dari kepala sekolah dan kawan-kawan guru yang lain untuk
melaksanakan penelitian di sekolah ini, (4) adanya masalah siswa yang ditemukan
dalam pembelajaran apresiasi cerita fiksi, dan (5) peneliti ingin menjelaskan lebih
jauh lagi dengan cara penerapan penggunaan model kooperatif yang efektif pada
guru-guru di sekolah itu.
B. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan
Lokasi penelitian berada di wilayah Gugus I Kecamatan Pitumpanua
Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan. Pelaksanaan penelitian direncanakan
pada semester genap tahun pelajaran 2011/2012 selama 2 bulan, yakni mulai 23
Januari 2012 sampai 23 Maret 2012. Waktu tersebut dimulai dari tahap laporan
sampai selesai kegiatan dua siklus.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah siswa kelas VI SDN 318 Tobarakka berjumlah
15 orang yang terdiri dari 7 orang laki-laki dan 8 orang perempuan. Memilih
siswa kelas VI sebagai responden dengan alasan: (1) tingkat perkembangan
kognitif usia antara 11-12 tahun sudah dapat memahami unsur-unsur instrinsik
23
24
yang terkandung dalam cerita fiksi secara sederhana, karena mereka telah belajar
memahami, membaca ceita-cerita fiksi sejak dikelas tiga sampai kelas lima, (2)
adanya variasi siswa dilihat dari status sosial, pendidikan, pekerjaan orang tua
mereka, (3) adanya masalah yang dialami siswa kelas VI dalam belajar
memahami isi yang terkandung dalam cerita fiksi, dan (4) dilihat dari tingkat
kemampuan (prestasi) belajar mata pelajaran Bahasa Indonesia pada semester satu
rendah.
D. Prosedur Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas, yaitu
rancangan penelitian berdaur ulang (Siklus) hal ini mengacu pada pendapat MC.
Taggart (1998:123) dan Wardani (2007:5) bahwa penelitian tindakan kelas
mengikuti proses siklus atau daur ulang mulai dari perencanaan tindakan,
Pelaksanaan tindakan, Observasi, dan Refleksi (perenungan, pemilihan, dan
evaluasi) tahapan tindakan digambarkan dalam bagan 3.1 berikut ini.
25
Ide awal
Diagnosis
masalah
Menyusun
Rencana Siklus I
Tindakan siklus I
-persiapan
Pembelajaran
-pelaksanaan pembelajaran
-evaluasi
Observasi Siklus I
Siklus I
Belum Berhasil
Ide awal
Diagnosis
Refleksi
Tindakan
masalah
Siklus II
-Analisis
-Evaluasi
Menyusun
Rencana Siklus I
Berhasil
Refleksi Tindakan
Siklus II
-Analisis
-Evaluasi
Observasi
Siklus II
Tindakan siklus I
-persiapan
Pembelajaran
-pelaksanaan pembelajaran
-evaluasi
Kesimpulan
Observasi
Siklus II
Tindakan Siklus II
-Persiapan
Pembelajaran
- Pelaksanaan
pembelajaran
-Evaluasi
Observasi Siklus I
Siklus I
Menyusun Rencana
Siklus II
Lasporan
Tindakan Siklus II
-Persiapan
Pembelajaran
- Pelaksanaan
pembelajaran
-Evaluasi
Belum Berhasil
Menyusun Rencana
Siklus II
Belum Berhasil
Rencana Tindakan
Observasi
2.Menyusun
Perencanaan
Siklus III
Siklus III
Kesimpulan
Refleksi Tindakan
Siklus III
-Analisis
-Evaluasi
Berhasil
26
Perencanaan
tindakan
adalah
persiapan
perencanaan
tindakan
2.
3.
4.
5.
3. Pelaksanaan Tindakan
Tahap pelaksanaan tindakan yaitu tahap mengimplementasikan rencana
yang telah disusun secara kolaboratif antara peneliti dengan guru kelas VI.
Kegiatan yang dilakukan adalah guru melaksanakan tindakan pembelajaran
mengapresiasi cerita fiksi dengan menggunakan pembelajaran kooperatif learning
tipe STAD dengan 6 tahap yaitu: (1) persiapan pembelajaran, (3) penyajian
materi, (4) kegiatan belajar kelompok, (4) pemeriksaan terhadap hasil kegiatan
kelompok, (5) siswa mengerjakan soal-soal tes secara individu, dan (6)
pemeriksaan tes.
4. Pengamatan (Observasi)
27
Tahap observasi adalah mengamati seluruh proses tindakan dan pada saat
selesai tindakan fokus observasi adalah aktifitas guru dan siswa. aktifitas guru
dapat diamati mulai pada tahap awal pembelajaran, saat pembelajaran, dan akhir
pembelajaran. Data aktivitas guru dan siswa diperoleh dengan menggunakan
format observasi, pedoman wawancara, rekaman, dan hasil pembelajaran
mengapresiasi cerita fiksi setiap responden.
5. Refleksi
Langkah terakhir dalam prosedur penelitian tindakan ini adalah
mengadakan refleksi (renungan terhadap hasil yang telah dicapai pada setiap
siklus). Refleksi dilakukan dengan mengacu pada hasil observasi selama proses
dan pada saat selesai pembelajaran yang terdiri atas aktivitas guru maupun siswa.
Jika hasil yang dicapai pada siklus I belum sesuai indikator dan target (75% ke
atas) sesuai rencana, maka akan dimusyawarakan bersama tentang alternatif
pemecahannya dan selanjutnya direncanakan tindakan berikutnya.
Kriteria keberhasilan dari aspek siswa dapat dilihat pada proses
pembelajaran dan hasil yang dicapai dalam pembelajaran cerita fiksi. Proses
penilaian selama berlangsung tindakan digunakan format observasi. Sementara
keberhasilan menentukan unsur-unsur instrinsik cerita fiksi digunakan kriteria
penilaian sesuai hasil kerjasama kelompok yaitu menentukan tema, alur,
perwatakan/penokohan, setting, latar dan amanat.
28
E. Fokus Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada peningkatan kemampuan mengapresiasi
Cerita fiksi di Sekolah Dasar. Orientasi pelaksanaan ini dilaksanakan dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif learning tipe STAD.
F. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dapat diperoleh dengan teknik observasi,
catatan harian, dan tes akhir pembelajaran. Teknik observasi bertujuan untuk
mengamati proses aktivitas guru dan aktivitas siswa selama berlangsung
pembelajaran. Teknik catatan harian bertujuan untuk mendapatkan data tentang
kejadian penting yang berkaitan dengan data. Teknik tes bertujuan untuk
mendapat data hasil dari pembelajaran mengapresiasi cerita fiksi (menentukan
unsur-unsur cerita fiksi) dengan menggunakan pendekatan kooperatif model
STAD yang terdiri dari enam tahap.
G. Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan cara mengelompokkan data aspek guru
dan aspek siswa, menyajikan data, menafsirkan data, dan menyimpulkan. Data
aspek aktivitas guru dan siswa dalam proses pembelajaran dianalisis berdasarkan
kemunculan indikator. Sedangkan data hasil mengapresiasi cerita fiksi
(menentukan unsur cerita fiksi) dianalisis berdasarkan kemampuan mengerjakan
tes akhir formatif tiap-tiap akhir siklus satu dan dua. Dengan indikator dapat
dilihat pada tabel 3.2 sebagai berikut
29
Penafsiran data proses pembelajaran pada aspek guru dan aspek murid
digunakan acuan dengan rumus:
Frekwensi
x 100 %
Jumlahresp onden
Taraf Keberhasilan
Kualifikasi
1.
85 % - 100 %
2.
70 % - 84 %
Baik (B)
3.
55 % - 69 %
Cukup (C)
4.
5.
46 % - 54 %
0 % - 45 %
Kurang (K)
Sangat kurang (SK)
DAFTAR PUSTAKA
30