Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Materi pembelajaran sastra di Sekolah Dasar (SD) merupakan bagian dari
pembelajaran bahasa Indonesia, pembelajaran bahasa dan sastra dilaksanakan
secara seimbang dan disajikan secara terpadu (Depdikbud, 1999:20 dan
Depdiknas, 2001:14). Materi pembelajaran sastra memiliki karakteristik yang
tidak dimiliki oleh pembelajaran bahasa Indonesia pada umumnya. Hal ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh Solchan Rafiudin dan Budiasih (dalam Hafid
2002:30) bahwa teks sastra memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh bahan ajar
yang

lainnya,

yaitu

struktur

teks,

isi

pesan,

aspek

kejiwaan

yang

ditumbuhkembangkan dan strategi penangkapan isi teks yang diperlukan.


Pernyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa pendidikan sekolah dasar
bertujuan membina kemampuan mengapresiasi sastra. Kemampuan yang akan
dibentuk yaitu kemampuan memahami sastra dan keterampilan mengapresiasi,
karena hal ini harus dimiliki bagi setiap peserta didik. Oleh karena itu guru harus
melatih murid mengapresiasi dan diharapkan dapat mempertajam perasaanperasaan penalaran dan daya khayal serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya,
dan lingkungan hidupnya.
Dalam pencapaian kemampuan mengapresiasi sastra di sekolah dasar,
murid diberi pengalaman belajar sastra melalui kegiatan diskusi kelompok. Hal ini
sejalan dengan Beach dan Marshall (dalam Hafid 2002:7) dalam pembelajaran
sastra ada tiga faktor utama yang berinteraksi secara dinamis, yaitu guru, murid,
1

dan teks. Interaksi antara ketiga komponen tersebut dapat mengembangkan


potensi anak, karena interaksi dengan karya sastra dapat membantu perkembangan
kognitif, bahasa, moral dan sosial anak.
Salah satu bahan pembelajaran sastra di SD adalah cerita fiksi. Sejalan
dengan itu Mason (dalam Hafid 2002:6) menyatakan bahwa teks cerita lebih
digemari anak-anak daripada buku-buku cerita. Teks cerita merupakan suatu
bentuk sastra yang memiliki keindahan dan kenikmatan tersendiri.
Bahan pembelajaran cerita fiksi yang dipilih dan dikembangkan di sekolah
dasar harus sesuai dengan karakteristik siswa. Olehnya itu kesesuaian antara
bahan pembelajaran cerita fiksi dengan karakteristik murid yang berkaitan dengan
perkembangan jiwa dan kemampuan bahasa serta lingkungan hidupnya,
merupakan kriteria yang harus digunakan sebagai pembelajaran cerita fiksi
dengan bahan yang sesuai. Menurut Santosa, (2006:43) ada empat proses dalam
pembelajaran cerita fiksi yaitu (1) pemilihan materi, (2) pemilihan metode yang
sesuai dengan keadaan siswa, (3) kegiatan pembelajaran apresiasi sastra anak, dan
(4) evaluasi belajar sebagai indikator keberhasilan pembelajaran apresiasi sastra.
Guru diharapkan tidak memandang aktifitas pembelajaran sastra sebagai
suatu pekerjaan yang selesai dalam waktu yang singkat, tetapi dapat dipandang
sebagai suatu proses secara bertahap dalam waktu tertentu untuk menghasilkan
pembelajaran apresiasi sastra, yaitu murid mampu memahami unsur-unsur karya
sastra.
Harapan tersebut di atas belum sesuai dengan kenyataan, hal ini terungkap
melalui prapenelitian pada bulan Desember 2011 di kelas VI SDN 31 Tobarakka,

melalui observasi dan wawancara kepada guru dan siswa. Dari hasil observasi
terungkap: yaitu (1) guru dalam mengajarkan cerita fiksi belum maksimal, guru
hanya menentukan tema saja, tidak menentukan unsur-unsur lainya seperti
menentukan alur, perwatakan, latar dalam cerita, (2) guru kurang melibatkan
siswa secara aktif dalam proses pembelajaran, yaitu hanya dapat mendengarkan
cerita yang dibaca oleh guru dalam hal ini siswa tidak diajak untuk mendiskusikan
tentang tema, alur, perwatakan dan latar yang terkandung dalam cerita tesebut, (3)
dalam proses pembelajaran, guru tidak membentuk kelompok diskusi kepada
siswa, dalam menemukan tema, alur, perwatakan dan latar dalam cerita fiksi, (4)
guru kurang mempresentasekan hasil kerja kelompok mengapresiasi cerita fiksi di
depan kelas, tetapi guru hanya mengumpulkan saja hasil kerja kelompok siswa.
Selain itu juga berdasarkan hasil tes prapenelitian kepada siswa kelas VI
SDN 318 Tobarakka tersebut terungkap: (1) murid tidak mampu membedakan
antara tema dan judul cerita, (2) murid sulit menentukan tema, alur, seting dan
amanat yang tekandung dalam sebuah cerita fiksi tersebut dengan baik, (3) murid
sukar menetukan jalannya cerita, (4) murid sukar menentukan sifat-sifat tokoh
dalam cerita. Tes prapenelitian yang dilakukan hanya mencapai 45% murid yang
dapat menentukan unsur-unsur yang terkandung dalam cerita fiksi dan 55% murid
yang masih rendah dalam menentukan unsr-unsur yang terkandung dalam cerita
fiksi tersebut.
Dari hasil temuan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyebab rendahnya
kemampuan

mengapresiasi

cerita

fiksi

adalah

ketidakmampuan

guru

menggunakan pendekatan yang sesuai yang dilakukan oleh guru sehingga murid
tidak dapat menentukan unsur-unsur yang terkandung dalam cerita fiksi.
Jika masalah tersebut tidak dapat diatasi akan berdampak negatif pada
siswa, dalam hal ini siswa tidak dapat memahami unsur-unsur intrinsik yang
terkandung dalam cerita fiksi, dan juga akan berdampak pada rendahnya minat
mengapresiasi karya sastra. Untuk itu peneliti bermaksud untuk mengatasi
permasalahan di atas dengan menggunakan pendekatan kooperatif model STAD
(Student Teams Achievement Divisions). Sejalan dengan itu Nur (1998:9)
menyatakan bahwa untuk mencapai pembelajaran sastra yang maksimal guru
harus menggunakan model koperatif learning tipe STAD dan membuat kelompok
diskusi kecil, sehingga dapat membantu murid dalam meningkatkan keaktifan
antar mereka dan saling kerjasama dalam proses pembelajaran cerita fiksi.
Anggota-anggota

kelompok

memiliki

tanggung

jawab

dan

saling

bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama. Kelompok-kelompok


kecil ini saling berinteraksi satu sama lain dan berusaha menemukan jawaban
terhadap permasalahan yang dihadapi. Tujuan pembentukan kelompok kecil ini
akan memudahkan murid yang berkemampuan rendah dapat berinteraksi dengan
teman kelompoknya yang dianggap mampu.
Berdasarkan harapan dan kenyataan tersebut di atas, maka peneliti
melakukan tindakan perbaikan pembelajaran melalui Penelitian Tindakan Kelas
(PTK) dengan judul Penggunaan Model Kooperatif Learning Tipe STAD Dalam
Meningkatkan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Fiksi di Kelas VI SDN 318
Tobarakka.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka rumusan
masalah dalam penelitian inui adalah : Bagaimanakah meningkatkan kemampuan
siswa dalam mengapresiasi cerita fiksi dengan menggunakan model Kooperatif
Learning Tipe STAD di SDN 318 Tobarakka ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan

penelitian

ini

adalah

untuk

meningkatkan

kemampuan

mengapresiasi cerita fiksi dengan menggunakan model kooperatif learning tipe


STAD kelas VI SDN 318 Tobarakka.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
a)

Hasil penelitian ini diharapkan guru kelas VI SDN 318 Tobarakka


memiliki pengetahuan tentang teori penggunaan model kooperatif learning
tipe STAD sebagai salah satu bentuk inofasi pembelajaran di Sekolah
Dasar.

b)

Hasil penelitian ini diharapkan guru kelas VI SDN 318 Tobarakka


memiliki teori pembelajaran yang dapat dijadikan acuan untuk
meningkatkan proses dan hasil belajar mengapresiasi cerita fiksi di
Sekolah Dasar.

2. Manfaat Praktis
a)

Hasil penelitian ini diharapkan guru kelas VI SDN


318 Tobarakka mendapat pengalaman secara langsung menggunakan

model koopertif learning tipe STAD dalam pembelajaran mengapresiasi


cerita fiksi.
b)

Hasil penelitian ini diharapkan mahasiswa mendapat


pengalaman secara langsung dalam menggunakan model kooperatif
learning tipe STAD dalam meningkatkan kemampuan mengapresiasi cerita
fiksi.

E. Hipotesis Tindakan
Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah jika menggunakan model
kooperatif learning tipe STAD maka dapat meningkatkan kemampuan
mengapresiasi cerita fiksi di kelas VI SDN 318 Tobarakka Kecamatan
Pitumpanua Kabupaten Wajo.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Pengertian dan Manfaat Mengapresiasi Cerita di SD
Istilah apresiasi berasal dari bahasa latin aprecatio yang berarti
mengindahkan atau menghargai Aminudin (dalam Rindiani 2004:4). Dalam
konteks yang lebih luas, istilah apresiasi menurut Gove (dalam Rindiani 2004:4),
mengandung makna: (1) pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin (2)
pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahannya yang diungkapkan
pengarang.
Sejalan dengan pengertian apresiasi di atas Effendi (dalam Hafid 2002:16)
mengungkapkan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra
secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan,
kepekaan, pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra.
Dari pendapat itu juga dapat disimpulkan bahwa kegiatan apresiasi dapat
tumbuh dengan baik apabila pembaca mampu menumbuhkan rasa akrab dengan
teks sastra yang diapresiasinya, menumbuhkan sikap sungguh-sungguh serta
melaksanakan kegiatan apresiasi itu sebagai bagian dari hidupnya, sebagai suatu
kebutuhan yang mampu memuaskan rohaninya.

2. Cerita Fiksi dan Unsur-unsurnya


Cerita fiksi biasa juga disebut prosa atau karya fiksi, juga diistilahkan
dengan prosa cerita, prosa narasi atau cerita berplot. Hal ini sejalan dengan
pendapat Aminuddin (dalam Hafid 2002:31) mengemukakan pengertian cerita
fiksi adalah keesahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dan
peranan latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil
imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita.
Pembelajaran apresiasi sastra yang efektif dapat dilakukan melalui
pembelajaran cerita fiksi secara bertingkat yaitu menggemari, menikmati,
merespon, menceritakan dan memahami cerita fiksi.
Pembelajaran apresiasi yang efektif dapat dilakukan melalui pembelajaran
cerita fiksi secara bertingkat yaitu menggemari, menikmati, merespon, dan
memproduksi karya sastra Rofiudin dan Budiasih, (dalam Hafid 2002:30).
Jika anak diberitahu bahwa sesuatu itu baik misalnya, maka akan lebih baik
dengan memberikan bukti konkret yang mengungkapkan hal itu baik daripada
memberitahu kepada anak bahwa itu tidak baik. Pesan yang disampaikan dalam
cerita fiksi lebih tepat dijadikan sarana penyampaian pesan kepada anak. Akan
jauh lebih efektif menanamkam sesuatu sikap dengan contoh dalam cerita
dibanding dengan hanya memberi tahu. Anak lebih memahami pentingnya suatu
kejujuran misalnya jika diramu dalam suatu cerita yang telah terbukti, dibanding
dengan hanya menyatakan kepada anak bahwa jujur itu baik.
Teks cerita harus disesuaikan dengan perkembangan anak atau usia anak.
Rubbin (1995:150) menyatakan bahwa teks cerita dapat disajikan sebagai

landasan tumpuh empat keterampilan berbahasa. Selain itu teks cerita dapat
mengembangkan aspek kejiwaan anak. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Rofiuddin dan Zuchdi (dalam Hafid 200:26) menyatakan bahwa aspek kejiwaan
yang ditumbuhkembangkan melalui teks cerita adalah daya nalar, kepekaan,
emosi, dan daya imajinasi, perluasan wawasan dan daya kreasi. Dengan potensi
yang dimiliki teks cerita sastra relevan untuk diakrabkan pada anak-anak sejak
usia Sekolah Dasar.
3. Manfaat Cerita Fiksi
Cerita fiksi mempunyai peranan yang sangat penting khususnya dalam
peningkatan

minat

baca

bagi

murid.

Ditinjau

dari

segi

manfaatnya

pragmatikahnya sastra anak khususnya cerita fiksi bermanfaat sebagai pendidikan


dan hiburan.
Manfaat pendidikan pada sastra memberi banyak informasi tentang sesuatu
hal, memberi banyak pengetahuan, memberi kreatifitas atau keterampilan anak
dan juga memberi pendidikan moral pada anak. Manfaat hiburan sastra anak jelas
memberi kesenangan, kenikmatan, dan kepuasan pada diri anak.
Selain manfaat pendidikan dan hiburan menurut Endraswaro (2002) sastra
anak khususnya cerita fiksi juga bermanfaat membentuk kepribadian dan
menuntut kecerdasan emosi anak. Perkembangan emosi anak akan dibentuk
melalui karya sastra yang dibacanya setelah menikmati cerita fiksi yang dibacanya
itu, anak-anak secara alamiah akan terbentuk kepribadiannya

menjadi

penyeimbang emosi secara wajar, menanamkan konsep dari harga diri,


menanamkan kemampuan yang realitas, membekali anak untuk memahami

10

kelebihan dan kekurangan diri, dan membentuk sifat-sifat kemanusiaan pada diri
si anak. Seperti ingin dihargai, ingin mendapatkan cinta kasih yang tulus, ingin
menikmati keindahan dan ingin meraih kebahagiaan.
Pada dasarnya dalam karya sastra khususnya cerita fiksi terkandung
masalah-masalah kesemestaan yang dapat dipelajari anak-anak dan dapat
membuahkan pengalaman estetik. Bahasa imajinatif karya sastra dapat
menghasilkan responsi interval dan responsi emosional. Responsi interval dan
emosional akan menuntun anakanak merasakan dan menghayati para tokoh
berbagai konflik dan masalah kehidupan manusia
Sastra anak-anak akan membantu murid memperoleh kesenangan dan
kebahagiaan diri, keindahan dan kesedihan, kelucuan dan keajaiban yang pernah
dialaminya. Cerita fiksi memiliki nilai personal dan nilai pendidikan yang sangat
besar pengaruhnya bagi perkembangan anak-anak. Dengan demikian sastra anak
dapat memberikan: kenikmatan dan kesenangan, memperkuat cara berpikir,
mengembangkan imajinasi, memberi pengalaman, mengembangkan kemampuan
berprilaku menjanjikan.
Adapun sastra cerita fiksi mengandung nilai pendidikan, membantu
perkembangan bahasa, mengembangkan kemampuan membaca, mengembangkan
kepekaan cerita dan meningkatkan kemampuan menulis.
4. Unsur-unsur yang Membangun Cerita Fiksi
Supriadi (2006:59) pada hakikatnya unsur yang membangun cerita fiksi
sama dengan unsur yang membangun cerita fiksi lain seperti cerpen, novel, dan
dongeng lainnya. Unsur ekstrinsik adalah: (a) latar belakang pendidikan

11

pengarang, (b) latar belakang penciptanya, (3) situasi ekonomi, politik, sosial dan
budaya. Sedangkan unsur intrinsik adalah: (a) tema atau amanat, (b) alur atau plot,
(c) perwatakan atau penokohan, dan (d) latar.
Keempat unsur intrinsik tersebut diuraikan sebagai berikut :
a) Tema atau Amanat
Tema adalah dasar atau makna suatu cerita atau novel. Selanjutnya
dikatakan bahwa tema adalah pandangan hidup yang tertentu atau perasaan
tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu
karya fiksi. Tema tidak lain adalah suatu gagasan sentral yang menjadi dasar
tujuan yang hendak dicapai oleh pengarang.
Mengetahui tema suatu cerita/novel, maka kita harus merangkum unsurunsur lain dan sekaligus membaca secara tuntas cerita tersebut. Mengetahui suatu
tema dalam cerita, maka terlebih dahulu kita harus menjawab pertanyaan seperti
apakah motivasi tokoh, apa problemnya dan apa keputusannya yang diambilnya.
Selain itu harus dijejaki konflik sentral. Dan konflik sentral inilah akan menjurus
kepada sesuatu yang hendak dicari.
b) Alur atau Plot
Alur cerita suatu cerpen pada umumnya terdiri atas (1) bagian pembuka,
yaitu situasi yang mulai terbentang sebagai suatu kondisi permulaan yang akan
dilanjutkan dengan kondisi berikut, (2) bagian tengah, yaitu kondisi bergerak ke
arah yang mulai memuncak, (3) bagian puncak, yaitu kondisi mencapai titik
puncak sebagai klimaks peristiwa, (4) bagian penutup, yaitu kondisi memuncak
sebelumnya mulai menampakkan pemecahan masalah atau penyelesainnya.

12

Alur merupakan tulang punggung cerita sebab alur menuntun pembaca


menelusuri cerita secara keseluruhan tidak ada jalan cerita yang bisa kita
tinggalkan apabila kita tidak mengetahui jalan cerita secara utuh. Tetapi unsur alur
yang paling perlu adalah konflik dan klimaks. Sebab dalam konflik itulah tampak
masalah secara utuh dan jelas secara menarik pembaca untuk mengikuti kejelasan
cerita.
c) Perwatakan atau Penokohan
Sumarjo (dalam Ridayani, 2004:10) berpendapat, karakter adalah sifatsifat khas pelaku/tokoh yang diceritakan, bagaimana kualitas nalar, sikap, tingkah
laku pribadi, jiwa, yang membedakan dengan tokoh lain dalam sebuah cerita.
Masalah perwatakan/penokohan adalah suatu hal yang kehadirannya dalam
sebuah fiksi amat penting dan menentukan karena tidak mungkin ada suatu karya
fiksi tanpa adanya tokoh yang diceritakan yang membetuk alur.

Tokoh dan

perwatakan harus terstruktur pula. Ia memiliki fisik dan mental secara bersama
membentuk totalitas pelaku yang bersangkutan. Segala tindakan dan prilaku
merupakan jalinan hubungan logis, suatu hubungan yang termasuk akal walaupun
relatif.
Untuk mengetahui tokoh utama atau tokoh tambahan dalam sebuah cerita,
maka kita harus melihat keseringan pemunculannya dalam sebuah cerita. Selain
itu dapat juga diketahui lewat petunjuk yang diberikan oleh pengarang dan juga
lewat judulnya.
Tokoh dalam sebuah cerita digambarkan oleh pengarang seperti halnya
manusia mempunyai watak-watak yang berbeda, ada yang baik ada pula yang

13

jahat, sehingga dalam cerita dikenal istilah pelaku protagonis, yaitu pelaku
disenangi dan pelaku antagonis yaitu pelaku yang tidak disenangi pembaca.
Dalam cerita fiksi, penggambaran penokohan tidak serumit yang di atas
tetapi pengarang langsung menyebutkan karakter pelakunya misalnya, langsung
disebutkan bahwa tokoh itu licik, penyabar, dungu, dan sebagainya. Demikian
pula posisi tokoh sangat jelas yang memihak kepada kebaikan dan yang memihak
kepada kejahatan.
d) Latar
Latar adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi, latar belakang fiksi,
unsur dan ruang dalam suatu cerita. Dalam konteks latar segala yang berkaitan
dengan tempat, waktu, musim, periode, kejadian-kejadian di sekitar peristiwa
cerita semua termasuk latar.
Tarigan (dalam Ridayani, 2004:13) mengemukakan bahwa latar yang
dapat dipergunakan untuk beberapa maksud atau tujuan tertentu antara lain:
1.

Latar harus mudah dikenal kembali dan juga yang dilukiskan dengan
terang dan jelas serta mudah diingat, biasanya cenderung untuk memperbesar
keyakinan terhadap tokoh dan gerak serta tindakannya.

2.

Latar suatu cerita mempunyai suatu relasi yang lebih langsung dengan
arti keseluruhan arti umum.

3.

Kadang-kadang mungkin juga terjadi bahwa latar itu dapat bekerja


bagi maksud-maksud yang lebih tertentu dan terarah dari pada menciptakan
suatu atmosfer yang bermanfaat dan berguna.

14

5. Pembelajaran Cerita Fiksi di Sekolah Dasar


Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP 2006) mata pelajaran
bahasa Indonesia bahan pembelajaran prosa fiksi khususnya cerita fiksi anak pada
dasarnya tidak berdiri sendiri sebagai mana yang dinyatakan dalam kurikulum
sebelumnya. Tetapi jika kita perhatikan dengan baik, justru kurikulum 2006 ada
peluang yang sangat besar bagi guru untuk mengajarkan cerita fiksi.
Hal ini dapat terjadi karena sesuai dengan rambu-rambu kurikulum KTSP
2006, karya sastra (cerita fiksi) bukan hanya dijadikan bahan ajar untuk
mengajarkan sastra tetapi disini dapat juga dijadikan sebagai bahan ajar untuk
kemampuan berbahasa siswa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis). Hal
ini tampak pada rambu-rambu kurikulum KTSP yang berbunyi perbandingan
bobot pembelajaran bahasa dan sastra sebaiknya seimbang dan dapat disajikan
secara terpadu: misalnya wacana sastra dapat sekaligus dipakai sebagai bahan
pembelajaran (Depdiknas 2006:17).
Jika ditelaah kurikulum KTSP 2006 mata pelajaran bahasa Indonesia,
cerita fiksi sebagai bahan pembelajaran dapat dilakukan dalam berbagai
kesempatan khususnya di kelas VI. Berikut ini disajikan butir-butir pembelajaran
yang terdapat dalam kurikulum 2006 mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
sebagai berikut :
1.

Melengkapi bagian awal atau akhir sebuah cerita.

2.

Membaca cerita kemudian menceritakan ciri sifat pelakunya atau


kebiasaan pelakunya.

3.

Membaca buku cerita yang baik dan melaporkan di depan kelas.

15

4.

Membaca cerita, mencatat hal yang penting/menarik, kemudian


menyusun pertanyaan.
Sasaran tersebut memiliki implikasi bahwa guru sastra di Sekolah Dasar

perlu memiliki kemampuan yang memadai tentang strategi pembelajaran sastra


agar strategi yang digunakan sesuai dengan sasarannya. Selain itu, guru perlu
memiliki penguasaan ber sastra yang memadai agar proses penyampaian guru
tidak tergelincir pada hal-hal yang bersifat meklanis, teori-teori saja, bahkan agar
guru dapat membagikan pengalaman pada siswa.
Jika diperhatikan kedua pendekatan tadi, keduanya bertentangan. Untuk
itu yang lebih sesuai adalah menggabungkan kedua pendekatan tersebut karena
muara terakhir pembelajaran cerita fiksi adalah terbinanya apresiasi dan
kegemaran terhadap sastra yang didasari oleh pengetahuan cerita fiksi dan
keterampilan dari sastra untuk itu, perlu ditetapkan pandangan bahwa sastra
adalah sesuatu yang kehadiranya untuk dipelajari dan dinikmati. Bimbingan atau
dasar-dasar penafsiran dalam batas-batas tertentu perlu diberikan oleh guru agar
proses penikmatan terjadi lebih terarah. Murid diberi kebebasan dan
tanggungjawab dalam menelusuri karya cerita fiksi dengan cara siswa diminta
menyiapkan satu presentasi atau penampilan tentang karya cerita fiksi yang
dinikmatinya baik dalam bentuk tulis maupun lisan. Peran guru lebih banyak
sebagai fasilitator.
6. Pengertian Pembelajran Kooperatif Tipe STAD
Model STAD yang dikembangkan oleh Robert dan kolega-koleganya di
Universitas John Hopkin, merupakan salahsatu model pembelajarn kooperatif

16

yang paling sederhana, dan merupakan salah satu model yang banyak digunakan
dalam pembelajaran kooperatif. Slavin (dalam Nur, 2006:4) menjelaskan bhwa
pembelajaran kooperatif dengan tipe STAD, Murid di tempatkan dalam kelompok
belajar beranggotakan 4-5 orang murid yang merupakan campuran dari
kemampuan akademik yang berbeda, sehingga dalam setiap kelompok terdapat
siswa yang berprestasi tinggi, sedang, dan rendah atau variasi jenis kelamin,
kelompok ras, dan etnis atau kelompok sosial lainnya.
Pembelajaran kooperatif model STAD merupakan salah satu model
pembelajaranya yang terstruktur dan sistematis, dimana kelompokkelompok
kecil beker jasama untuk mencapai tujuantujuan bersama
Cooper dan Heinich (dalam Rosmawan 2007:13) menjelaskan bahwa:
pembelajaran kooperatif tipe STAD sebagi metode pembelajaran yang melibatkan
kelompok-kelompok kecil yang heterogen dan murid bekerja sama untuk tujuantujuan dan tugas-tugas akademik bersama, sambil bekerja sama, belajar
keterampilan-keterampilan kolaboratif dan sosial.
Anggota-anggota kelompok memiliki tanggung jawab dan saling
bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama. Berdasarkan beberapa
defenisi di atas dapat dikatakan bahwa belajar model kooperatif learning tipe
STAD mendasarkan bahwa murid bekerjasama dalam belajar kelompok dan
sekaligus masing-masing bertanggung jawab pada aktifitas belajar anggota
kelompoknya, sehingga seluruh anggota kelompok dapat menguasai materi
pelajaran dengan baik.

17

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dengan belajar kelompok


siswa dapat bekerjasama, antar sesama kelompok yaitu saling tukar pendapat
dalam menyelesaikan soal yang dikerjakan.
7.

Langkah-Langkah Penggunaan Model Kooperatif Learning Tipe STAD


Kelompok belajar kooperatif tipe STAD diterapkan pada bimbingan

belajar dalam kelas, biasanya akan terjadi tutorial antara siswa dimana murid yang
telah menguasai konsep atau permasalahan (tutor) akan memberikan penjelasan
pada murid lain pada kelompoknya. Proses pengembangan kemampuan akan
terjadi baik untuk tutor sebaya maupun temannya mengalami peningkatan
pemahaman. kelebihan yang dimiliki oleh tutor sebaya adalah dapat memahami
materi lebih baik dibandingkan dengan teman-temannya, Slavin (dalam Asma
(2006:51)
Jumlah anggota adalah kelompok yang berkisar 3-4 orang yang terdiri dari
murid dengan kemampuan yang beragam, sehingga dalam satu kelompok akan
terdapat siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Selanjutnya
mereka diharapkan akan bekerjasama dan saling menolong antar anggota untuk
kesuksesan bersama. Kesuksesan kelompok ini menjadi faktor pemicu
peningkatan motivasi belajar siswa, karena siswa akan merasa bahwa kompetisi
yang diterapkan berjalan adil, Slavin (dalam Asma 2006:52)
Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif model STAD menurut
Asma (2006:51) terdiri dari enam tahap: (a) Persiapan pembelajaran, (b)
penyajian materi, (c) belajar kelompok (d) tes, (e) penentuan skor penempatan

18

individual, dan (f) penghargaan kelompok. tahap-tahap pembelajaran kooperatif


learning tipe STAD sebagai berikut :
Tahap 1 .Persiapan Pembelajaran
a.

Materi
Materi pembelajaran dalam belajar kooperatif dengan menggunakan tipe

STAD dirancang sedemikian rupa untuk pembelajaran secara kelompok. sebelum


menyajikan materi pelajaran, dibuat Lembar Kegiatan Siswa (LKS) yang akan
dipelajari kelompok, dan lembar jawaban dan lembar kegiatan tersebut
b. Menempatkan Siswa dalam Kelompok
Menetapkan siswa dalam kelompok yang masing-masing kelompok terdiri
dari empat orang dengan cara mengurutkan siswa data atas kebawa berdasarkan
kemampuan akademiknya dan daftar siswa yang telah diuraikan tersebut dibagi
menjadi empat bagian. kemudian diambil satu siswa dari tiap kelompok sebagai
anggota kelompok. Kelompok yang sudah dibentuk diusahakan berimbang selain
menurut kemampuan akademik juga diusahakan menurut jenis kelamin dan etnis
c. Menentukan Skor Dasar
Skor dasar merupakan skor rata-rata pada kuis sebelumnya. jika mulai
mengunakan

STAD

setelah

memberikan

tes

kemampuan

prasyarat/tes

pengetahuan awal, maka skor tes tersebut dapat dipakai sebagai skor dasar. Selain
skor tes kemampuan prasyarat/tes pengetahuan awal, nilai siswa pada semester
sebelumnya juga dapat digunakan skor dasar.

19

Tahap 2 Penyajian Materi


Tahap penyajian materi ini menggunakan waktu sekitar

20-45 menit

setiap pembelajaran dengan model ini, selalu dimulai dengan penyajian materi
oleh guru. Sebelum menyajikan materi pelajaran, guru dapat memulai dengan
penjelasan tujuan pelajaran, memberikan motivasi untuk berkooperatif, menggali
pengetahuan prasyarat dan sebagainya. Dalam penyajian kelas dapat digunakan
model ceramah, dan tanya jawab, diskusi dan sebagainya, sesuai dengan isi bahan
ajar dan kemampuan belajar.
Tahap 3 Kegiatan Belajar Kelompok
Dalam setiap kegiatan belajar kelompok digunakan lembar kegiatan,
lembar tugas, dan lembar kunci jawaban. Masing masing dua lembar untuk setiap
kelompok. dengan tujuan agar terjalin kerjasama diantara kelompoknya. Lembar
kegiatan dan lembar tugas diserahkan pada saat kegiatan belajar kelompok
sedangkan kunci jawaban diserahkan setelah kegiatan kelompok selesai
dilaksanakan setelah penyerahan lembar kegiatan dan lembar tugas, guru
menjelaskan tahapan dan fungsi belajar kelompok dari tipe STAD. Setiap siswa
mendapat peran pemimpin anggota-anggota dalam kelompoknya dengan harapan
bahwa setiap anggota kelompok termotivasi untuk memulai pembicaraan dalam
diskusi.
Tahap 4 Pemeriksaan Terhadap Hasil Kegiatan Kelompok
Pemeriksaan terhadap hasil kegiatan kelompok dilakukan dengan
memprensentasikan hasil kegiatan kelompok di depan kelas oleh wakil dari setiap

20

kelompok. Pada tahap kegiatan ini diharapkan terjadi interaksi antar anggota
kelompok penyajian dengan anggota kelompok lain untuk melengkapi jawaban
kelompok tersebut. Kegiatan ini dilakukan secara bergantian. Pada tahap ini pula
dilakukan pemeriksaan hasil kegiatan kelompok dengan memberikan kunci
jawaban dan setiap kelompok memeriksa sendiri hasil pekerjaanya serta
memperbaiki jika masih terdapat kesalahan-kesalahan.
Tahap 5 Siswa Mengerjakan Soal-soal secara Individu
Pada tahap ini setiap siswa harus memperhatikan kemampuannya dan
menunjukan apa yang diperoleh pada kegiatan kelompok dengan cara menjawab
soal tes sesuai dengan kemampuannya. Siswa dalam tahap ini tidak
diperkenangkan bekerjasama
Tahap 6 Pemeriksaan Hasil Tes
Pemeriksaan hasil tes dilakukan oleh guru, membuat daftar skor
peningkatan satu individu, yang kemudian dimasukan menjadi skor kelompok.
Peningkatan rata-rata skor setiap individu merupakan sumbangan bagi kinerja
pencapaian kelompok.
B. Temuan Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penggunaan Model Kooperatif Learning
Tipe Stad Dalam Meningkatkan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Fiksi, antara
lain : Penelitian yang dilakukan oleh Astarina, B. Shinta Marga. 2011, Jurusan
Kependidikan Sekolah Dasar dan Pra Sekolah. Program Studi S1 Pendidikan
Guru Sekolah Dasar FIP Universitas Negeri Malang, dengan hasil penelitian

21

menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran ini dapat terbukti hasil


belajar siswa meningkat. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan rata-rata hasil
belajar siswa dari 59 dengan persentase ketuntasan 34% kemudian mengalami
peningkatan pada akhir siklus -1 yaitu 67,13 dengan persentase ketuntasan 43%
dan meningkat lagi pada akhir siklus -2 yaitu 76,70 dengan persentase ketuntasan
91%. Kesimpulan dari penelitian adalah penerapan model pembelajaran
kooperatif learning tipe STAD dapat meningkatkan hasil belajar mengapresiasi
cerita fiksi siswa kelas 3A SDN Tanjungrejo 5 Malang. Diharapkan dalam
menerapkan model ini pada pengorganisasian kelas sebaiknya dilakukan guru
sebelum pembelajaran, model ini terbukti dapat meningkatkan hasil belajar
mengapresiasi sastra siswa kelas 3 sehingga dapat menjadi alternatif pembelajaran
yang inovatif dan menarik siswa antusias belajar.
C. Kerangka Pikir
Berdasarkan kerangka teori yang mendasar pelaksanaan penelitian
tentang meningkatkan kemampuan mengapresiasi cerita fiksi siswa kelas VI SDN
318 Tobarakka yang terdiri atas penggunaan model kooperatif learning tipe STAD
pembelajaran mengapresiasi cerita fiksi yang terdiri atas 6 tahap yaitu persiapan
pembelajaran, penyajian materi, kegiatan belajar kelompok, pemeriksaan terhadap
hasil kegiatan kelompok, siswa mengerjakan soal-soal secara individu,
pemeriksaan hasil tes, dan penghargaan kelompok. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat kerangka pikir sebagai berikut :

22

Apresiasi Cerita Fiksi

Strategi Kooperatif Learning


Tipe STAD

Persiapan
Pembelajran

Penyajian
Materi

Belajar
Kelompok

Pemeriksaan
Hasil Klp.

Penilaian Kemampuan Apresisi Cerita


Melalui STAD

Kemampuan Mengapresiasi Cerita


Meningkat

Soal
Individu

Pemeriksaan
Hasil Tes

23

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Setting Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kelas VI SDN 318 Tobarakka Kecamatan
Pitumpanua Kabupaten Wajo. Alasan memilih sekolah ini yaitu: (1) tempat
peneliti melaksanakan tugas sebagai guru, (2) tidak mengeluarkan biaya banyak,
(3) adanya dukungan dari kepala sekolah dan kawan-kawan guru yang lain untuk
melaksanakan penelitian di sekolah ini, (4) adanya masalah siswa yang ditemukan
dalam pembelajaran apresiasi cerita fiksi, dan (5) peneliti ingin menjelaskan lebih
jauh lagi dengan cara penerapan penggunaan model kooperatif yang efektif pada
guru-guru di sekolah itu.
B. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan
Lokasi penelitian berada di wilayah Gugus I Kecamatan Pitumpanua
Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan. Pelaksanaan penelitian direncanakan
pada semester genap tahun pelajaran 2011/2012 selama 2 bulan, yakni mulai 23
Januari 2012 sampai 23 Maret 2012. Waktu tersebut dimulai dari tahap laporan
sampai selesai kegiatan dua siklus.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah siswa kelas VI SDN 318 Tobarakka berjumlah
15 orang yang terdiri dari 7 orang laki-laki dan 8 orang perempuan. Memilih
siswa kelas VI sebagai responden dengan alasan: (1) tingkat perkembangan
kognitif usia antara 11-12 tahun sudah dapat memahami unsur-unsur instrinsik
23

24

yang terkandung dalam cerita fiksi secara sederhana, karena mereka telah belajar
memahami, membaca ceita-cerita fiksi sejak dikelas tiga sampai kelas lima, (2)
adanya variasi siswa dilihat dari status sosial, pendidikan, pekerjaan orang tua
mereka, (3) adanya masalah yang dialami siswa kelas VI dalam belajar
memahami isi yang terkandung dalam cerita fiksi, dan (4) dilihat dari tingkat
kemampuan (prestasi) belajar mata pelajaran Bahasa Indonesia pada semester satu
rendah.
D. Prosedur Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas, yaitu
rancangan penelitian berdaur ulang (Siklus) hal ini mengacu pada pendapat MC.
Taggart (1998:123) dan Wardani (2007:5) bahwa penelitian tindakan kelas
mengikuti proses siklus atau daur ulang mulai dari perencanaan tindakan,
Pelaksanaan tindakan, Observasi, dan Refleksi (perenungan, pemilihan, dan
evaluasi) tahapan tindakan digambarkan dalam bagan 3.1 berikut ini.

Bagan 3.1 Alur penelitian Tindakan Pembelajaran Mengapresiasi Cerita fiksi


dengan Menggunakan Model kooperatif Learning Tipe STAD

25

Ide awal
Diagnosis
masalah

Menyusun
Rencana Siklus I

Tindakan siklus I
-persiapan
Pembelajaran
-pelaksanaan pembelajaran
-evaluasi

Observasi Siklus I
Siklus I

Refleksi Analisis dan


Evaluasi

Belum Berhasil

Ide awal
Diagnosis
Refleksi
Tindakan
masalah
Siklus II
-Analisis
-Evaluasi

Menyusun
Rencana Siklus I
Berhasil

Refleksi Tindakan
Siklus II
-Analisis
-Evaluasi

Observasi
Siklus II

Tindakan siklus I
-persiapan
Pembelajaran
-pelaksanaan pembelajaran
-evaluasi

Kesimpulan

Observasi
Siklus II

Tindakan Siklus II
-Persiapan
Pembelajaran
- Pelaksanaan
pembelajaran
-Evaluasi

Observasi Siklus I
Siklus I

Menyusun Rencana
Siklus II

Refleksi Analisis dan


Evaluasi

Lasporan
Tindakan Siklus II
-Persiapan
Pembelajaran
- Pelaksanaan
pembelajaran
-Evaluasi

Belum Berhasil

Menyusun Rencana
Siklus II

Belum Berhasil

Rencana Tindakan
Observasi
2.Menyusun
Perencanaan
Siklus III

Siklus III

Tindakan Siklus III


-Persiapan
Pembelajaran
- Pelaksanaan
pembelajaran
-Evaluasi

Kesimpulan

Refleksi Tindakan
Siklus III
-Analisis
-Evaluasi

Berhasil

26

Perencanaan

tindakan

adalah

persiapan

perencanaan

tindakan

pembelajaran mengapresiasi cerita fiksi dengan menggunakan model kooperatif


learning tipe STAD dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1.

Menyamakan persepsi antara peneliti dengan guru tentang konsep


dengan tujuan penggunaan model kooperatif learning tipe STAD dalam
pembelajaran mengapresiasi puisi.

2.

Secara kolaboratif menyusun rencana tindakan pembelajaran siklus I

3.

Menentukan bahan dan media pembelajaran yang akan digunakan

4.

Menyusun rambu-rambu instrumen data keberhasilan guru maupun


instrumen data keberhasilan siswa berupa: format observasi, tes, dan maupun
rekaman foto pelaksanaan tindakan.

5.

Peneliti memberi latihan kepada guru juga menginplementasikan


rencana pembelajaran siklius I sebelum melaksanakan tindakan.

3. Pelaksanaan Tindakan
Tahap pelaksanaan tindakan yaitu tahap mengimplementasikan rencana
yang telah disusun secara kolaboratif antara peneliti dengan guru kelas VI.
Kegiatan yang dilakukan adalah guru melaksanakan tindakan pembelajaran
mengapresiasi cerita fiksi dengan menggunakan pembelajaran kooperatif learning
tipe STAD dengan 6 tahap yaitu: (1) persiapan pembelajaran, (3) penyajian
materi, (4) kegiatan belajar kelompok, (4) pemeriksaan terhadap hasil kegiatan
kelompok, (5) siswa mengerjakan soal-soal tes secara individu, dan (6)
pemeriksaan tes.
4. Pengamatan (Observasi)

27

Tahap observasi adalah mengamati seluruh proses tindakan dan pada saat
selesai tindakan fokus observasi adalah aktifitas guru dan siswa. aktifitas guru
dapat diamati mulai pada tahap awal pembelajaran, saat pembelajaran, dan akhir
pembelajaran. Data aktivitas guru dan siswa diperoleh dengan menggunakan
format observasi, pedoman wawancara, rekaman, dan hasil pembelajaran
mengapresiasi cerita fiksi setiap responden.
5. Refleksi
Langkah terakhir dalam prosedur penelitian tindakan ini adalah
mengadakan refleksi (renungan terhadap hasil yang telah dicapai pada setiap
siklus). Refleksi dilakukan dengan mengacu pada hasil observasi selama proses
dan pada saat selesai pembelajaran yang terdiri atas aktivitas guru maupun siswa.
Jika hasil yang dicapai pada siklus I belum sesuai indikator dan target (75% ke
atas) sesuai rencana, maka akan dimusyawarakan bersama tentang alternatif
pemecahannya dan selanjutnya direncanakan tindakan berikutnya.
Kriteria keberhasilan dari aspek siswa dapat dilihat pada proses
pembelajaran dan hasil yang dicapai dalam pembelajaran cerita fiksi. Proses
penilaian selama berlangsung tindakan digunakan format observasi. Sementara
keberhasilan menentukan unsur-unsur instrinsik cerita fiksi digunakan kriteria
penilaian sesuai hasil kerjasama kelompok yaitu menentukan tema, alur,
perwatakan/penokohan, setting, latar dan amanat.

28

E. Fokus Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada peningkatan kemampuan mengapresiasi
Cerita fiksi di Sekolah Dasar. Orientasi pelaksanaan ini dilaksanakan dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif learning tipe STAD.
F. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dapat diperoleh dengan teknik observasi,
catatan harian, dan tes akhir pembelajaran. Teknik observasi bertujuan untuk
mengamati proses aktivitas guru dan aktivitas siswa selama berlangsung
pembelajaran. Teknik catatan harian bertujuan untuk mendapatkan data tentang
kejadian penting yang berkaitan dengan data. Teknik tes bertujuan untuk
mendapat data hasil dari pembelajaran mengapresiasi cerita fiksi (menentukan
unsur-unsur cerita fiksi) dengan menggunakan pendekatan kooperatif model
STAD yang terdiri dari enam tahap.
G. Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan cara mengelompokkan data aspek guru
dan aspek siswa, menyajikan data, menafsirkan data, dan menyimpulkan. Data
aspek aktivitas guru dan siswa dalam proses pembelajaran dianalisis berdasarkan
kemunculan indikator. Sedangkan data hasil mengapresiasi cerita fiksi
(menentukan unsur cerita fiksi) dianalisis berdasarkan kemampuan mengerjakan
tes akhir formatif tiap-tiap akhir siklus satu dan dua. Dengan indikator dapat
dilihat pada tabel 3.2 sebagai berikut

29

Penafsiran data proses pembelajaran pada aspek guru dan aspek murid
digunakan acuan dengan rumus:
Frekwensi
x 100 %
Jumlahresp onden

Selanjutnya data ditafsirkan dengan menggunakan rentang taraf keberhasilan


seperti dalam Tabel 3.2 berikut ini
Tabel 3.2 Taraf Kualifikasi Tindakan Pembelajaran
No

Taraf Keberhasilan

Kualifikasi

1.

85 % - 100 %

Sangat Baik (SB)

2.

70 % - 84 %

Baik (B)

3.

55 % - 69 %

Cukup (C)

4.
5.

46 % - 54 %
0 % - 45 %

Kurang (K)
Sangat kurang (SK)

Setiap jenis obyek yang dimulai diksifikasi dan ditemukan kecenderungan


kategori yaitu Sangat Baik (SB) jika semua dekriptif muncul, kualifikasi Baik (B)
jika 1 deskriptor tidak muncul, kualifikasi Cukup (C) jika 3 deskriptor muncul,
kualifikasi Kurang (K) jika 2 deskriptor muncul dan dikategorikan Sangat Kurang
(SK) jika 1 deskriptor muncul.
H. Indikator Keberhasilan
Tindakan dikatakan berhasil bila minimal 80% pelaksanaan proses dan
hasil telah sesuai dalam pembelajaran bahasa Indonesia tentang kemampuan
mengapresiasi cerita fiksi melalui model pembelajaran kooperatif learning tipe
STAD

DAFTAR PUSTAKA

30

Asma. 2006. Model Pembelajaran Kooperatif. Jakarta : Direktorat Dikti.


Depdikbud. 1999. Kurikulum Pendidikan Dasar Garis-garis Besar Program
Pengajaran (GBPP) Sekolah Dasar (SD) Kelas VI. Jakarta Depdikbud.
Depdiknas.2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Mata Pelajaran
Bahasa INdonesia.Jakarta Depdiknas.
Mc Tarigan dan Kenmis, S.R.Mc, Taget. 1988.(Hafid 2002:53) The Action
Research Planner. Victoria : Deakin University Press.
Pice. 1999. Tingkat Perkembangan Anak Dan Proses Belajar. Terjemahan
Jakarta : Gramedia.
Rindiyani. 2004. Memahami karya sastra. Bandung : Alumni.
Rofiudin dan Budiasih.1997/1998.(Hafid 2002:30) Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia di Kelas Tinggi. Jakarta : Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pendidikan
Guru Sekolah Dasar.
Rofiuddin dan Zuchdi. 1999.(Hafid:2002:4) Pendidikan Bahasa Dan Sastra
Indonesia di Kelas Tinggi. Jakarta : Depdikbud.
Santosa Puji. 2006. Materi Dan Pembelajaran Bahasa Indonesia SD. Jakarta:
Universitas Terbuka . Dikti.
Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning: Theory, Research And Practice Second
Edition. Massachusetts : Allyn And Bacon Publishers.
Supryadi. 2006. Pembelajaran Sastra Yang Apresiatif Dan Integratif di SD.
Direktorat Dikti.
Wardani, IGK.2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta. Universitas Terbuka.

Anda mungkin juga menyukai