Anda di halaman 1dari 20

BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Pend. Terakhir
Pekerjaan
Tgl MRS

:
:
:
:
:
:
:

Ny. Mariolin Takaria


39 tahun
Perempuan
Gunung Nona
SMA
IRT
12 September 2015 Pukul : 17.30 WIT

B. Anamnesis (Autoanamnesis)
Keluhan Utama
: Perdarahan dari jalan lahir
Riwayat Penyakit Sekarang :
G6P5A0 datang dengan keluhan adanya perdarahan dari jalan lahir sejak 2
hari yang lalu. Perdarahan berupa darah segar yang disertai gumpalangumpalan hitam, keluar seperti gelembung (-). Dalam sehari pasien bisa
mengganti pembalut sampai 5 kali. Selain itu, pasien juga mengeluh mual dan
muntah sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan ini sampai membuat pasien lemas
dan sempat diinfus di rumah. HPHT tanggal 5 Juli 2015.
Buang air kecil lancar, warna kuning, darah (-). Buang air besar lancar.
Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien belum pernah menderita keluhan
seperti ini sebelumnya.
Riwayat Obstetrik
: Hamil kembar (-), Riwayat hamil anggur (-)
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada
Riwayat Kebiasaan/Sosial : Tidak ada
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Lemas
Kesadaran
: Kompos Mentis
Tanda-tanda vital :
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Pernapasan
: 20 x/menit
Kepala
: Normocephal

Nadi
Suhu

: 110 x/menit
: 36,60C

Mata
: Sclera ikterus -/-, konjungtiva anemis -/Telinga
: Tidak ada kelainan
Hidung
: Tidak ada kelainan
Mulut
: Tidak ada kelainan
Gigi
: Tidak ada kelainan
Tenggorok : Tidak ada kelainan
Leher
: Tidak teraba pembesaran KGB
Dada
: Pergerakan dada simetris kiri = kanan
Jantung
: Bunyi jantung I & II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru
: Bunyi napas vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen :
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Palpasi
: Ballotement (-), TFU: 2 jari dibawah umbilikus
Perkusi
: Timpani
Hepar
: Tidak ada kelainan
Ginjal
: Tidak ada kelainan
Alat kelamin : Terdapat benjolan padat kenyal pada labia mayor sinistra,
diameter 3 cm
Ekstremitas : Tidak ada kelainan
D. Pemeriksaan Penunjang
Darah Rutin:
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit

12-09-2015
3,43x106 /mm3
10,0 g/dL
29,4%
7.300/mm3
319.000/mm3

Darah Kimia:
Glukosa (GDS)
Ureum/Kreatinin
Bilirubin T/D/I
SGOT/SGPT
Asam Urat
Kolesterol Total

14-09-2015
73 mg/dL
11 / 0,5 mg/dL
0,5/0,2/0,3 mg/dL
90 / 112 U/L
3,0 mg/dL
125 mg/dL
2

USG (14 September 2015) :


Kesan: Tampak gambaran snow like appearance

Gambar 1. Hasil USG pasien

E. Diagnosis
Diagnosis Pra Operasi : Mola Hidatidosa + Anemia
Diagnosis Post Operasi : Mola Hidatidosa + Anemia
F. Planning
Non-Operatif:
IVFD RL 16 tpm
Inj. Cefotaxime 2 x 1 gram/iv (ST)
Rencana transfusi 1 labu WBC
Operatif:
Kuretase dilakukan pada tanggal 15 November 2015, jam 10.00 WIT.
Durante operasinya sebagai berikut:
Dilakukan anestesi dan disinfeksi pada daerah vagina
Dilakukan pemasangan spekulum atas dan bawah
Dilakukan kuretase dengan sendok kuret nomor 6
Keluar jaringan sekitar 500 gram serta pedarahan sekitar 500 cc
(Jaringan berdiameter 0,1-0,3 cm)

G. Follow Up
Tanggal
Perjalanan Penyakit
14/09/2015 S: Mual dan muntah (-), perdarahan (-)
O:
TD: 140/90 mmHg
N: 102 x/m
P: 20 x/m
Abdomen:
Ballotement (+)
TFU : 2 jari dibawah umbilikus
A:
Mola Hidatidosa
15/09/2015 S: Nyeri perut (+)
O:
TD: 130/90 mmHg
N: 108 x/m
P: 20 x/m
Abdomen:
Ballotement (+)
TFU : 2 jari dibawah umbilikus
A:
Mola Hidatidosa
16/09/2015 S: (-)
O:
TD: 120/70 mmHg
N: 100 x/m
P: 20 x/m
Abdomen:
Perut datar, lembut
Ballotement (-)
A:
Post Kuretase Mola Hidatidosa H1
17/09/2015 S: (-)
O:
TD: 120/80 mmHg
N: 98 x/m
P: 20 x/m
A:
Post Kuretase Mola Hidatidosa H2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Instruksi dokter
IVFD RL 16 tpm
Inj. Cefotaxim 2 x 1 gram/iv
Gastrul 1 tablet / forniks
posterior tiap 6 jam
Pro Kuretase 15/9/2015

IVFD RL 16 tpm
Inj. Cefotaxim 2 x 1 gram/iv
Dilakukan Kuretase jam
10.00 WIT

Inj. Cefotaxime 2 x 1 gram


Metronidazol 3 x 1 tab
SF 1 x 1 tab
Observasi tanda-tanda
perdarahan
Rencana Konsul Penyakit
Dalam
Transfusi 1 labu
Foto Thoraks
Boleh Pulang

A. Pendahuluan
4

1.

Penyakit trofoblas terdiri dari:1


Penyakit trofoblas kehamilan (gestational trophoblastic disease) ialah

2.

penyakit trofoblas yang dihubungkan dengan kehamilan.


Penyakit trofoblas yang tidak dihubungkan dengan kehamilan (non
gestational trophoblastic disease) tetapi berasal dari sel indung telur dan
kejadiannya sangat jarang.
Perkembangan hasil konsepsi ada kalanya mengalami kelainan, antara lain

hasil konsepsi tidak berupa janin, melainkan berkembang secara patologis berupa
gelembung-gelembung yang disebut mola hidatidosa.1
Penyakit trofoblas terdiri dari mola hidatidosa (jinak) dan koriokarsinoma
(ganas). Umumnya penderita mola akan menjadi baik setelah diobati, tetapi
sekitar 15% mengalami degenerasi keganasan menjadi koriokarsinoma.1
Dalam perjalanannya penyakit trofoblas sering menunjukkan gejala-gejala
diluar bidang obstetri/ginekologi, misalnya tirotoksikosis, sesak, batuk darah, dan
kelainan neurologis. Pasien trofoblas harus mendapat pengawasan selama waktu
tertentu untuk mendeteksi adanya keganasan pada stadium dini.1
B. Definisi
Mola hidatidosa merupakan suatu kehamilan yang tidak wajar, yang sebagian
atau seluruh vili korialisnya mengalami degenerasi hidropik berupa gelembung
yang menyerupai anggur.2
Berbagai istilah pernah digunakan untuk menggambarkan kelainan ini,
misalnya bila seluruh vili korialis mengalami degenerasi hidropobik, tanpa ada
embrio, disebut sebagai Complete Mole, True Mole, Classic Mole, atau Mole
Hydatidiform (Prancis). Bila diantara gelembung ditemukan embrio, disebut
Transitional Mole (Alter & Crosgrove), Incomplete Mole (Szulman), atau Mole
Embryonee.2

C. Epidemiologi
Prevalensi mola hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika dan Amerika Latin
dibandingkan dengan Negara-negara barat. Di negara-negara barat dilaporkan
1:200 atau 2000 kehamilan. Di Negara-negara berkembang dilaporkan 100 atau
600 kehamilan. Biasanya dijumpai lebih sering pada umur reproduktif (14-45
tahun) dan multipara. Jadi dengan meningkatnya paritas kemungkinan menderita
mola akan lebih besar. Sebire dkk menemukan bahwa insidensi dari MH
meningkat 10 kali lipat pada wanita berusia 15 tahun dan 45 tahun.3,4

D. Etiologi
Walaupun MH sudah dikenal sejak abad keenam, sampai sekarang masih
belum diketahui apa yang menjadi penyebabnya. Oleh karena itu, pengetahuan
tentang faktor resiko menjadi penting agar dapat menghindarkan terjadinya MH,
seperti tidak hamil pada usia yang ekstrim dan memperbaiki gizi.2
E. Faktor Resiko
Mola hidatidosa dapat terjadi pada semua wanita dalam masa reproduksi.
Pasien termuda yang pernah dilaporkan berusia 12 tahun dan tertua berusia 57
tahun. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa kelompok umur dengan resiko
lebih tinggi adalah mereka yang hamil pada usia dibawah 20 tahun dan diatas 35
tahun. Bahkan menurut Pritchard dan Smalbraak, pada usia diatas 40 tahun,
insidensinya 4-10 kali dari mereka yang berusia 20-40 tahun.2
Selain itu, faktor gizi juga dianggap berpengaruh terhadap kejadian MH.
Berdasarkan beberapa penelitian, diketahui bahwa kekurangan atau defisiensi zat6

zat seperti protein, asam folat, histidin, dan -carotene dapat meningkatkan
insidensi MH.2
WHO Scientific Group tahun 1983, berkesimpulan bahwa selain usia dan gizi,
riwayat obstetrik juga memiliki pengaruh terhadap kejadian MH. Mereka
mengatakan bahwa kejadian MH akan meningkat pada wanita yang pernah
mendapat MH dan kehamilan kembar, tetapi multiparitas bukan merupakan faktor
resiko.2
Genetik juga merupakan faktor resiko lain yang mendapat perhatian. Hasil
penelitian sitogenetik Kaiji et al dan Lawler et al, menunjukkan bahwa pada kasus
MH lebih banyak ditemukan kelainan Balance Translocation dibandingkan
dengan populasi normal (4,6% dan 0,6%). Wanita dengan kelainan sitogenetik
seperti ini, memiliki kemungkinan untuk lebih banyak mengalami gangguan
proses meiosis berupa nondisjunction, sehingga lebih banyak terjadi ovum yang
kosong atau yang intinya tidak aktif.2
Wanita dengan MH akan memiliki resiko tinggi untuk menderita MHK atau
MHP pada kehamilan selanjutnya. Garner dkk melaporkan bahwa sekitar 1,4%
wanita dengan MHK sebelumnya akan menderita MH di kehamilan selanjutnya
dan 2,4% pada pasien dengan MHP.4
F. Patofisiologi
Banyak teori yang telah dilontarkan tentang patogenesis MHK, antara lain
teori Hertig (missed abortion) dan teori Park. Namun, teori yang sekarang banyak
dianut adalah teori sitogenetik. Secara sitogenetik dapat diterangkan sebagai
berikut.2
Kehamilan MHK terjadi karena sebuah ovum yang tidak berinti (kosong) atau
yang intinya tidak berfungsi, dibuahi oleh sebuah sperma haploid 23 X,terjadilah
hasil konsepsi dengan kromosom 23 X. Kromosom ini kemudian mengadakan
7

penggandaan sendiri (endoreduplikasi) menjadi 46 XX. Jadi, kromosom MHK itu


seperti wanita, tetapi kedua X-nya berasal dari ayah, sehingga tidak ada unsur ibu.
Hal ini disebut sebagai Diploid Androgenetik.2
Kehamilan yang sempurna harus terdiri dari unsur ibu yang akan membentuk
bagian embrional (anak) dan unsur ayah yang diperlukan untuk membentuk
bagian ekstraembrional (plasenta, air ketuban, dan lain-lain), secara seimbang.
Karena tidak ada unsur ibu, pada MHK tidak ada bagian embrional (janin). Yang
ada hanya bagian ekstraembrional yang patologis berupa vili korialis yang
mengalami degenrasi hidropik seperti anggur.2
Ovum kosong dapat terjadi karena adanya gangguan pada proses meiosis,
yang seharusnya diploid 46 XX pecah menjadi 2 haploid 23 X, terjadi peristiwa
yang disebut sebagai nondysjunction, dimana hasil pemecahannya adalah 0 dan 46
XX. Pada MHK, ovum 0 inilah yang dibuahi. Gangguan proses meiosis ini, antara
lain terjadi pada kelainan struktural kromosom, berupa balanced translocation.2
MHK dapat juga terjadi akibat pembuahan ovum kosong oleh 2 sperma
sekaligus (dispermi). Bisa oleh dua haploid 23 X atau satu haploid 23 X dan satu
haploid 23 Y. Akibatnya bisa terjadi 46 XX atau 46 XY, karena pada pembuahan
dengan dispermi tidak terjadi endoreduplikasi. Kromosom 46 XX hasil
reduplikasi dan 46 XX hasil pembuahan dispermi, walaupun tampak sama,
sesungguhnya berbeda, karena yang pertama berasal dari satu sperma (homozigot)
dan yang kedua berasal dari dua sperma (heterozigot). Ada yang menganggap
bahwa 46 XX heterozigot mempunyai potensi keganasan yang lebih besar.
Pembuahan dispermi dengan dua haploid 23 Y (46 YY) dianggap tidak penah bisa
terjadi (nonviable).2

Ovum
kosong

23 X

Endoreduplikasi

46 XX
Homozigot

23 X
Ovum
kosong

46 XX
23 X

Heterozigot

Gambar 2. Teori diploid androgenetik2


23 X
G. Klasifikasi
Ovum
46 XY
Penelitian sitogenetik dilakukan pada tahun 1970-an oleh Kaiji, Vassilokos,
kosong
23 Y
Szulman, dan lain-lain dan telah dicapai kesepakatan bahwa mola hidatidosa itu
46 YY
terdiri dari dua jenis, yaitu:2,5
1.
Mola Hidatidosa Komplit (MHK) 2,5
Nonviable
Pada MHK seluruh vili korialis mengalami degenerasi hidropik sehingga
sama sekali tidak ditemukan unsur janin. Secara makroskopis, MHK
mempunyai gambaran yang khas, yaitu berbentuk kista atau gelembunggelembung dengan ukuran antara beberapa mm sampai 2-3 cm, berdinding
tipis, kenyal, berwarna putih jernih, berisi cairan seperti cairan asites atau
edema. Kalau ukurannya kecil, tampak seperti kumpulan telur katak, tetapi
kalau besar, tampak seperti serangkaian buah anggur yang bertangkai.
Oleh karena itu, MHK disebut juga sebagai Kehamilan Anggur. Tangkai
tersebut melekat pada endometrium. Bila tangkainya putus, terjadilah
perdarahan. Kadang-kadang gelembung-gelembung tersebut diliputi oleh
2.

darah merah atau coklat tua yang sudah mengering.


Mola Hidatidosa Parsial (MHP) 2,5

Pada MHP hanya sebagian dari vili korialis yang mengalami degenerasi
hidropik sehingga unsur janin selalu ada. Perkembangan janin akan
tergantung kepada luasnya plasenta yang mengalami degenerasi, tetapi
janin biasanya tidak dapat bertahan lama dan akan mati dalam rahim,
walaupun dalam kepustakaan ada yang melaporkan tentang kasus MHP
yang janinnya dapat hidup sampai aterm.
H. Manifestasi Klinis
Mola hidatidosa merupakan suatu kehamilan, walaupun bentuknya patologis.
Oleh karena itu, pada bulan-bulan pertama, tanda-tandanya tidak berbeda dengan
kehamilan biasa, yaitu dimulai dengan amenore, mual, dan muntah. Ada beberapa
laporan yang mengatakan bahwa pada MH lebih sering terjadi hiperemesis dan
keluhannya lebih hebat dari kehamilan biasa.2,6
Pada kehamilan biasa, pembesaran uterus terjadi melalui dua fase, yaitu fase
aktif sebagai akibat dari pengaruh hormonal dan fase pasif sebagai akibat
pembesaran hasilkehamilan (anak, plasenta dan air ketuban). Proses ini tidak
terjadi pada MH. Vili korialis yang mengalami degenarasi hidropik, berkembang
dengan cepat dan mengisi seluruh kavum uteri. Akibatnya uterus ikut membesar
dengan cepat pula, sehingga ukuran uterus lebih besar dari tuanya kehamilan atau
lamanya amenore. Pembentukan segmen bawah rahim (SBR) biasanya sudah
terjadi pada kehamilan yang lebih muda (24 minggu). Menurut Acosta Sison, SBR
ini terbentuk berupa penonjolan, yang disebut sebagai ballooning, dan merupakan
ciri khas dari MHK. Ballooning dapat diraba pada pemeriksaan dalam sebagai
penonjolan SBR ke arah depan, dengan konsistensi yang lunak.2

10

Perdarahan per vaginam juga dapat terjadi, sebagai akibat dari respon tubuh
untuk mengeluarkan gelembung mola. Bedanya dengan abortus biasa adalah pada
abortus biasa, besar uterus sesuai dengan lamanya amenore. Perdarahan pada MH
dapat berupa bercak-bercak sedikit, intermiten, atau sekaligus banyak, sehingga
dapat menyebabkan syok hipovolemik. Kadang-kadang perdarahan ini disertai
dengan keluhan keluarnya gelembung mola, sehingga mempermudah diagnosis.2
Pada kehamilan biasa, kadar hormone hCG (human choriogonadotrophin)
yang dihasilkan oleh sel sinsitiotrofoblas akan naik terus sampai usia kehamilan
60-80 hari, dan kemudian turun lagi setelah umur kehamilan 85 hari. Pada
puncaknya, kadar hCG dapat mencapai 600.000 mIU/ml. Selanjutnya, sampai
kehamilan aterm, kadar hCG rata-rata adalah 20.000 mUI/ml. Sementara pada
MHK, seluruh kavum uteri diisi oleh jaringan trofoblas sehingga tidak akan
terjadi penurunan kadar hCG. Kadar hCG ini akan terus meningkat sampai bisa
mencapai 5.000.000 mIU/ml, selama ada pertumbuhan sel trofoblas dan selama
gelembung mola belum keluar atau dikeluarkan.2,7
Kelainan lain yang menyertai MHK adalah adanya kista lutein sebagai akibat
rangsangan yang berlebihan terhadap ovarium oleh kadar hCG yang sangat tinggi.
Kista yang terjadi bisa unilateral atau bilateral, dan besarnya bervariasi antara
beberapa sentimeter sampai sebesar boa voli. Umumnya kista ini akan mengecil
lagi setelah jaringan mola dievakuasi. Oleh karena itu, kita tidak perlu
mengangkatnya walaupun ukurannya sangat besar, kecuali jika ada komplikasi
seperti torsi atau ruptur.2
I.

Diagnosis
Seorang pasien harus dicurigai menderita MHK, bila ditemukan hal-hal

sebagai berikut:2,8
11

1.

2.

Anamnesis, pasien akan mengeluh:


Terlambat haid (amenorea)
Adanya perdarahan per vaginam
Perut terasa lebih besar dari lamanya amenorea
Tidak terasa adanya pergerakan anak.
Klinis ginekologis, pada pemeriksaan ditemukan:
Uterus lebih besar dari tuanya kehamilan
Tidak ditemukan tanda pasti kehamilan, seperti detak jantung, balotemen,
atau gerakan anak.

3.
4.

Laboratorium
Kadar -hCG lebih tinggi dari normal.
USG
Gambaran USG MH akan menunjukkan gambaran yang khas berupa
vesikel-vesikel (gelembung mola) dalam kavum uteri atau badai salju
(snow flake pattern).3

J.

Komplikasi
Komplikasi tersering yang bisa terjadi padapasien mola hidatidosa adalah

preeklampsia, tirotoksikosis (hipertiroidism), dan emboli paru-paru.2,9

Preeklamsia2
Preeklamsia pada MH tidak berbeda dengan kehamilan biasa, bisa ringan,
berat dan bahkan sampai eklampsia. Hanya saja, pada MH biasanya terjadi
lebih dini. Menurut Pritchard, bila ditemukan preeclampsia pada uterus
usia kehamilan sebesar 24 minggu, harus dicurigai adanya MH. Cara
penanganannya, disamping evakuasi jaringan molanya, tidak berbeda pada

preeclampsia akibat kehamilan biasa.


Tirotoksikosis9
Gejala klinis tirotoksikosis pada mola, ternyata berbeda dengan Graves
disease, terutama dalam kecepatan perkembangannya. Pada MH,
perkembangannya sangat cepat, dari status eutiroid sampai krisis
tiroid yang dapat berlangsung dalam beberapa jam saja, dan
12

menyebabkan kematian. Diagnosis tirotoksikosis pada MH dipersulit


karena sering disertai adanya penyulit-penyulit lain seperti preeclampsia,
payah jantung, emboli paru-paru, dan anemia, yang masing-masing dapat

memberikan gejala seperti tirotoksikosis.


Emboli Paru2,10
Pada tahun 1893, Schmorl melihat adanya migrasi sel-sel trofoblas ke
dalam peredaran darah, dan akhirnya sampai ke paru-paru, pada kehamilan
normal. Pada MH, fenomena ini juga terjadi, dengan atau tidak disertai vili
korialis. Kadang-kadang jumlah sel yang bermigrasi sedemikian banyak,
sehingga

menyebabkan

tanda-tanda

emboli

paru-paru

akut

dan

menyebabkan kematian. Hal seperti ini jarang sekali terjadi. Pada foto
toraks, akan tampak sebagai suatu metastasis. Fenomena ini disebut
sebagai benign metastases.
Dengan adanya ketiga bentuk penyulit yang memberikan gejala-gejala nonobstetrik itu, maka setiap SpOG harus sadar bahwa penanggulangan kasus MH
seringkali harus melibatkan keahlian lain. Oleh karena itu, pada setiap kasus MH,
adanya penyulit harus dicari secara aktif.2
K. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada mola hidatidosa terdiri dari 4 tahap, antara lain:2,4,10
1. Perbaiki keadaan umum
Sebelum dilakukan tindakan evakuasi jaringan mola, keadaan umum
penderita harus distabilkan dahulu. Tergantung pada bentuk penyulitnya,
penderita dapat diberikan:2

Transfusi darah untuk mengatasi syok hipovolemik

Antihipertensi atau konvulsi seperti pada terapi preeklampsia / eklamsia

Obat antitiroid (bekerjasama dengan Bagian Penyakit Dalam)


Untuk emboli paru-paru, tidak ada pengobatan spesifik, hanya suportif saja,
terutama oksigenasi dan antikoagulan sampai gejala akutnya hilang.2
13

2.

Evakuasi jaringan
Mola hidatidosa merupakan suatu bentuk kehamilan patologis yang sering
disertai dengan penyulit, sehingga pada pinsipnya gelembung mola harus
dievakuasi secepat mungkin. Ada dua cara evakuasi, yaitu:2
a. Kuret Vakum (KV)
Dilakukan setelah persiapan pemeriksaan selesai (pemeriksaan darah
rutin, kadar -hCG, serta foto thoraks) kecuali bila jaringan mola sudah
keluar spontan dan keadaan umum stabil.
Bila kanalis servikalis belum terbuka, maka dilakukan pemasangan
laminaria stifft dan tampon vagina. Kuretase dilakukan 24 jam
setelahnya.
Sebelum kuretase terlebih dahulu disiapkan darah dan pemasangan
infus dengan tetesan oxytocin 10 UI dalam 500 cc Dextrose 5%/.
Setelah KV, dinding uterus dibersihkan dengan kuret tajam.
Untuk PA, diambil jaringan yang melekat pada dinding uterus.
Laporan harus mencakup: jumlah jaringan, darah, diameter gelembung,
ada tidaknya bagian janin.
Kuretase dilakukan hanya 1 kali. Kuretase selanjutnya harus ada
indikasi.
b. Histerektomi Totalis (HT)
Hanya untuk golongan resiko tinggi = GRT (umur >35 tahun dengan
jumlah anak cukup (>3 orang), sebagai tindakan profilaksis terhadap
terjadinya keganasan di uterus.
Dilakukan dengan jaringan mola in toto, atau beberapa hari pasca kuret.
Kalau dilakukan in toto, harus hati-hati karena pembuluh darah
berukuran besar,perdarahn bisa banyak terutama pada uterus diatas 20
minggu.

14

Kalau ada kista lutein, berapapun besarnya, tidak perlu diangkat karena
akan
3.

mengecil

sendiri.

Kalau

mengganggu,

cukup

dilakukan

dekompresi saja.
Profilaksis
Ada dua cara, yaitu dengan histerektomi totalis dan kemoterapi. Kemoterapi
diberikan pada GRT yang menolak atau tidak bisa dilakukan HT, atau wanita
muda dengan hasil PA yang mencurigakan. Caranya adalah:2
Metotreksat (MTX) 20 mg/hari, IM, Asam Folat 10 mg 3 dd 1 dan Cursil
35 mg 2 dd 1, selama 5 hari berturut-turut.
Profilaksis dengan tablet MTX dianggap tidak bermafaat. Asam Folat
adalah

antidote

dari

MTX

sedangkan

Cursil

berfungsi

sebagai

hepatoprotektor.
Actinomycin D 1 flakon sehari selama 5 hari berturut-turut. Tidak perlu
antidote maupun hepatoprotektor.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa bila setelah diberikan profilaksis
sitostatika terjadi juga keganasan, pengobatannya akan menjadi lebih sukar.
Oleh karena itu, banyak pakar yang tidak setuju dengan pemberian profilaksis
ini. Di samping alas an diatas, mereka mengatakan juga bahwa sitostatika itu
sering memberikan efek samping membahayakan. Dengan follow up yang
baik, kita dapat membuat diagnosis keganasan secara dini sehingga
kemoterapi yang diberikan secara kuratif, akan dapat mengobatinya secara
efektif. Tindakan profilaksis dapat menurunkan presentase keganasan pasca
MHK, tetapi hanya terhadap keganasan di uterus saja, tidak terhadap
kemungkinan metastasis di tempat lain. Oleh karena itu, penderita harus tetap
4.

di-follow up seperti biasa.2


Follow up
Tujuan dari follow up ada dua, yaitu:2
15

Untuk melihat apakah proses involusi berjalan secara normal, baik


anatomis, laboratoris maupun fungsional, seperti involusi uterus, turunnya
kadar -hCG dan kembalinya fungsi haid.
Untuk menentukan adanya transformasi keganasan, terutama pada tingkat
yang sangat dini.
Pada umumnya, para pakar sepakat bahwa lama follow up berlangsung
selama satu tahun, tetapi ada juga yang sampai dua tahun. Dalam tiga bulan
pertama pasca evakuasi, penderita diminta datang untuk kontrol setiap dua
minggu. Kemudian dalam tiga bulan berikutnya, setiap satu bulan.
Selanjutnya dalam enam bulan terakhir, tiap dua bulan. Selama follow up,
hal-hal yang pelu dicatat adalah:2
Keluhan, terutama perdarahan, batuk atau sesak napas.
Pemeriksaan ginekologis, terutama adanya tanda-tanda suatu involusi.
Kadar -hCG, terutama bila ditemukan ada tanda-tanda distorsi dari kurva
regresi yang normal.
Bila dalam tiga kali pemeriksaan berturut-turut ditemukan salah satu dari
tanda-tanda tersebut diatas, penderita harus dirawat kembali untuk dilakukan
pemeriksaan yang lebih intensif, seperti USG, foto thoraks, dan lain-lain.
Follow up dihentikan bila sebelum satu tahun wanita sudah hamil normal
lagi, atau bila setelah setahun tidak ada keluhan uterus dan kadar -hCG
dalam batas normal, serta fungsi haid sudah normal kembali.2
Jenis kontrasepsi yang dianjurkan adalah kondom, atau kalau -hCG sudah
normal, atau haid sudah normal kembali, dapat menggunakan pil kombinasi.
Bila pil antihamil diberikan sebelum -hCG normal, kemungkinan terjadinya
keganasan akan lebih besar. Jangan menggunakan IUD atau preparat
progesterone jangka panjang, seperti DepoProvera atau Norplant, karena

16

keduanya dapat menyebabkan gangguan perdarahan yang bisa menyerupai


salah satu tanda adanya transformasi keganasan.2

BAB III
DISKUSI

G6P5A0 berusia 39 tahun mengeluh adanya perdarahan dari jalan lahir sejak
2 hari yang lalu. Perdarahan berupa darah segar yang disertai gumpalan-gumpalan
hitam, keluar seperti gelembung (-). Dalam sehari pasien bisa mengganti pembalut
sampai 5 kali. Selain itu, pasien juga mengeluh mual dan muntah sejak 1 bulan
yang lalu. Keluhan ini sampai membuat pasien lemas dan sempat diinfus di
rumah. HPHT tanggal 5 Juli 2015. Dari pemeriksaan fisik ditemukan keadaan
umum yang lemas dengan kesadaran kompos mentis, TD 120/70 mmHg, nadi 110
x/m, pernapasan 20 x/m, suhu afebris. Pada palpasi abdomen ballotement (-). TFU
2 jari di bawah umbilikus. Pada pemeriksaan USG ditemukan gambaran snow
like appearance. Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan diatas, pasien
didiagnosis Mola Hidatidosa.
Berdasarkan hasil anamnesis diketahui bahwa pasien datang dengan keluhan
perdarahan dari jalan lahir yang dirasakan sejak 2 hari yang lalu. Perdarahan per
vaginam dapat terjadi sebagai akibat dari respon tubuh untuk mengeluarkan
gelembung mola. Bedanya dengan abortus biasa adalah pada abortus biasa, besar
uterus sesuai dengan lamanya amenore. Sementara pada pasien ini, usia
kehamilan berdasarkan lamanya amenore adalah 10-11 minggu, tetapi besar uterus
pasien sudah setara dengan usia kehamilan 18 minggu (TFU 2 jari di bawah
17

umbilikus). Selain itu, pasien juga mengeluh mual dan muntah yang dirasakan
sejak 1 bulan yang lalu, pasien juga sempat diinfus akibat keluhan ini.
Berdasarkan beberapa laporan dikatakan bahwa pada MH lebih sering terjadi
hiperemesis dan keluhannya lebih hebat dari kehamilan biasa. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh kadar hCG yang sangat tinggi pada MH, yaitu
dapat mencapai 5.000.000 mIU/ml. Karena menurut teori terbaru, dikatakan
bahwa peningkatan

kadar

human chorionic gonadotropin

(hCG) akan

menginduksi ovarium untuk memproduksi estrogen, yang dapat merangsang mual


dan muntah.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, ditemukan bahwa uterus pasien lebih
besar dari tuanya kehamilan (TFU 2 jari di bawah umbilikus). Selain itu, juga
tidak ditemukan tanda pasti kehamilan seperti balotement. Pada pemeriksaan USG
ditemukan gambaran snow like appearance (badai salju). Gambaran ini
merupakan gambaran yang khas pada USG MH yang mana menunjukkan
gambaran berupa vesikel-vesikel (gelembung mola) dalam kavum uteri.
Pada pasien ini dilakukan evakuasi jaringan mola dengan cara kuretase.
Namun, pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan PA pada jaringan mola
tersebur, untuk mngetahui ada tidaknya kemungkinan keganasan. Kemudian
pasien dipulangkan dari RS setelah 2 hari pasca kuretase. Sebenarnya pada pasien
dengan MH, harus dilakukan follow up selama 1 tahun, dengan tujuan untuk
melihat apakah proses involusi berjalan secara normal, baik anatomis, laboratoris
maupun fungsional, seperti involusi uterus, turunnya kadar -hCG dan
kembalinya fungsi haid. Selain itu, juga untuk menentukan adanya transformasi
keganasan, terutama pada tingkat yang sangat dini. Namun, kepatuhan pasien

18

terhadap kewajiban follow up dalam jangka waktu yang cukup lama ini, sangatlah
rendah. Sehingga biasanya keberhasilan follow up ini sangatlah kecil.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Krisnadi SR, Mose JC, Effendi JS. Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri
dan Ginekologi RS Dr. Hasan Sadikin. Bagian Kedua (Ginekologi). Bandung:
Bagian Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin; 2005.

2.

Martaadisoebrata D. Buku Pedoman Pengelolaan Penyakit Trofoblas

3.

Gestasional. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005.


Mochtar. R. Penyakit Trofoblas. SINOPSIS OBSTETRI. Jilid I. Edisi 2.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG; 1998.

19

4.

Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC. Williams Obstetrics. 20 th

5.

ed. Philadelphia: Mc Graw-Hill; 2007.


Hanretty KP. Obstetrics Illustrated. 6th ed. Toronto: Churchill Livingstone;

6.
7.

2003.
Bader TJ. Obgyn Secrets. 3rd edition. United State: Elsevier; 2007.
Prawirohadjo S, Wiknjosastro H. Mola Hidatidosa. Dalam: Ilmu Kandungan.

8.

Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohadjo; 1999.


Tjokroprawiro, Askandar. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya:

9.

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga; 2007.


Kusuma, Indra P. Kumpulan Materi Kuliah Obsetrik Ginekologi. Surabaya:

Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma; 2005.


10. Winknjosastro, Hanifa. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2007.

20

Anda mungkin juga menyukai