Anda di halaman 1dari 11

TINJAUAN PUSTAKA

Kanker Serviks
1. Definisi dan Etiologi
Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel di daerah
skuamokolumner junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis.
Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks atau leher rahim, suatu daerah pada organ
reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan
liang senggama atau vagina. Kanker leher rahim biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun.
Sebanyak 90% dari kanker leher rahim berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10%
sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke rahim.
Kanker seviks uteri adalah tumor ganas primer yang berasal dari sel epitel skuamosa. Sebelum
terjadinya kanker, akan didahului oleh keadaan yang disebut lesi prakanker atau neoplasia intraepitel
serviks (NIS). Penyebab utama kanker leher rahim adalah infeksi Human Papilloma Virus (HPV).
Saat ini terdapat 138 jenis HPV yang sudah dapat teridentifikasi yang 40 di antaranya dapat ditularkan
lewat hubungan seksual. Beberapa tipe HPV virus risiko rendah jarang menimbulkan kanker,
sedangkan tipe yang lain bersifat virus risiko tinggi. Baik tipe risiko tinggi maupun tipe risiko rendah
dapat menyebabkan pertumbuhan abnormal pada sel tetapi pada umumnya hanya HPV tipe risiko
tinggi yang dapat memicu kanker. Virus HPV risiko tinggi yang dapat ditularkan melalui hubungan
seksual adalah tipe 7,16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 69, dan mungkin masih terdapat
beberapa tipe yang lain. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa lebih dari 90% kanker leher
rahim disebabkan oleh tipe 16 dan 18. Yang membedakan antara HPV risiko tinggi dengan HPV
risiko rendah adalah satu asam amino saja. Asam amino tersebut adalah aspartat pada HPV risiko
tinggi dan glisin pada HPV risiko rendah dan sedang (Gastout et al, 1996). Dari kedua tipe ini HPV 16
sendiri menyebabkan lebih dari 50% kanker leher rahim. Seseorang yang sudah terkena infeksi HPV
16 memiliki resiko kemungkinan terkena kanker leher rahim sebesar 5%. Dinyatakan pula bahwa
tidak terdapat perbedaan probabilitas terjadinya kanker serviks pada infeksi HPV-16 dan infeksi HPV18 baik secara sendiri-sendiri maupun bersamaan (Bosch et al, 2002). Akan tetapi sifat onkogenik
HPV-18 lebih tinggi daripada HPV-16 yang dibuktikan pada sel kultur dimana transformasi HPV-18
adalah 5 kali lebih besar dibandingkan dengan HPV-16.
Selain itu, didapatkan pula bahwa respon imun pada HPV-18 dapat meningkatkan virulensi virus
dimana mekanismenya belum jelas. HPV-16 berhubungan dengan skuamous cell carcinoma serviks
sedangkan HPV-18 berhubungan dengan adenocarcinoma serviks. Prognosis dari adenocarcinoma
kanker serviks lebih buruk dibandingkan squamous cell carcinoma. Peran infeksi HPV sebagai faktor
risiko mayor kanker serviks telah mendekati kesepakatan, tanpa mengecilkan arti faktor risiko minor
seperti umur, paritas, aktivitas seksual dini/prilaku seksual, dan meroko, pil kontrasepsi, genetik,
infeksi virus lain dan beberapa infeksi kronis lain pada serviks seperti klamidia trakomatis dan HSV-2
(Hacker, 2000).
2. Faktor resiko
Faktor yang mempengaruhi kanker serviks yaitu :

Usia > 35 tahun mempunyai risiko tinggi terhadap kanker leher rahim. Semakin tua usia
seseorang, maka semakin meningkat risiko terjadinya kanker laher rahim. Meningkatnya
risiko kanker leher rahim pada usia lanjut merupakan gabungan dari meningkatnya dan

bertambah lamanya waktu pemaparan terhadap karsinogen serta makin melemahnya sistem
kekebalan tubuh akibat usia.
Usia pertama kali menikah. Menikah pada usia kurang 20 tahun dianggap terlalu muda untuk
melakukan hubungan seksual dan berisiko terkena kanker leher rahim 10-12 kali lebih besar
daripada mereka yang menikah pada usia > 20 tahun. Hubungan seks idealnya dilakukan
setelah seorang wanita benar-benar matang. Ukuran kematangan bukan hanya dilihat dari
sudah menstruasi atau belum. Kematangan juga bergantung pada sel-sel mukosa yang
terdapat di selaput kulit bagian dalam rongga tubuh. Umumnya sel-sel mukosa baru matang
setelah wanita berusia 20 tahun ke atas. Jadi, seorang wanita yang menjalin hubungan seks
pada usia remaja, paling rawan bila dilakukan di bawah usia 16 tahun. Hal ini berkaitan
dengan kematangan sel-sel mukosa pada serviks. Pada usia muda, sel-sel mukosa pada
serviks belum matang. Artinya, masih rentan terhadap rangsangan sehingga tidak siap
menerima rangsangan dari luar termasuk zat-zat kimia yang dibawa sperma. Karena masih
rentan, sel-sel mukosa bisa berubah sifat menjadi kanker. Sifat sel kanker selalu berubah
setiap saat yaitu mati dan tumbuh lagi. Dengan adanya rangsangan, sel bisa tumbuh lebih
banyak dari sel yang mati, sehingga perubahannya tidak seimbang lagi. Kelebihan sel ini
akhirnya bisa berubah sifat menjadi sel kanker. Lain halnya bila hubungan seks dilakukan
pada usia di atas 20 tahun, dimana sel-sel mukosa tidak lagi terlalu rentan terhadap
perubahan.
Wanita dengan aktivitas seksual yang tinggi, dan sering berganti-ganti pasangan. Bergantiganti pasangan akan memungkinkan tertularnya penyakit kelamin, salah satunya Human
Papilloma Virus (HPV). Virus ini akan mengubah sel-sel di permukaan mukosa hingga
membelah menjadi lebih banyak sehingga tidak terkendali sehingga menjadi kanker.
Penggunaan antiseptik. Kebiasaan pencucian vagina dengan menggunakan obat-obatan
antiseptik maupun deodoran akan mengakibatkan iritasi di serviks yang merangsang
terjadinya kanker.
Wanita yang merokok. Wanita perokok memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena kanker
serviks dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Penelitian menunjukkan, lendir
serviks pada wanita perokok mengandung nikotin dan zat-zat lainnya yang ada di dalam
rokok. Zat-zat tersebut akan menurunkan daya tahan serviks di samping meropakan kokarsinogen infeksi virus. Nikotin, mempermudah semua selaput lendir sel-sel tubuh bereaksi
atau menjadi terangsang, baik pada mukosa tenggorokan, paru-paru maupun serviks. Namun
tidak diketahui dengan pasti berapa banyak jumlah nikotin yang dikonsumsi yang bisa
menyebabkan kanker leher rahim.
Riwayat penyakit kelamin seperti kutil genitalia. Wanita yang terkena penyakit akibat
hubungan seksual berisiko terkena virus HPV, karena virus HPV diduga sebagai penyebab
utama terjadinya kanker leher rahim sehingga wanita yang mempunyai riwayat penyakit
kelamin berisiko terkena kanker leher rahim.
Paritas (jumlah kelahiran). Semakin tinggi risiko pada wanita dengan banyak anak, apalagi
dengan jarak persalinan yang terlalu pendek. Dari berbagai literatur yang ada, seorang
perempuan yang sering melahirkan (banyak anak) termasuk golongan risiko tinggi untuk
terkena penyakit kanker leher rahim. Dengan seringnya seorang ibu melahirkan, maka akan
berdampak pada seringnya terjadi perlukaan di organ reproduksinya yang akhirnya dampak
dari luka tersebut akan memudahkan timbulnya Human Papilloma Virus (HPV) sebagai
penyebab terjadinya penyakit kanker leher rahim.
Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama. Penggunaan kontrasepsi oral yang
dipakai dalam jangka lama yaitu lebih dari 4 tahun dapat meningkatkan risiko kanker leher
rahim 1,5-2,5 kali. Kontrasepsi oral mungkin dapat meningkatkan risiko kanker leher rahim

karena jaringan leher rahim merupakan salah satu sasaran yang disukai oleh hormon steroid
perempuan. Hingga tahun 2004, telah dilakukan studi epidemiologis tentang hubungan antara
kanker leher rahim dan penggunaan kontrasepsi oral. Meskipun demikian, efek penggunaan
kontrasepsi oral terhadap risiko kanker leher rahim masih kontroversional. Sebagai contoh,
penelitian yang dilakukan oleh Khasbiyah (2004) dengan menggunakan studi kasus kontrol.
Hasil studi tidak menemukan adanya peningkatan risiko pada perempuan pengguna atau
mantan pengguna kontrasepsi oral karena hasil penelitian tidak memperlihatkan hubungan
dengan nilai p>0,05.

3. Klasifikasi stadium kanker serviks


Penentuan tahapan klinis penting dalam memperkirakan penyebaran penyakit, membantu prognosis
rencana tindakan, dan memberikan arti perbandingan dari metode terapi. Tahapan stadium klinis yang
dipakai sekarang ialah pembagian yang ditentukan oleh The International Federation Of Gynecologi
And Obstetric (FIGO) tahun 1976. Pembagian ini didasarkan atas pemeriksaan klinik, radiologi,
suktase endoserviks dan biopsi. Tahapan tahapan tersebut yaitu :
a. Karsinoma pre invasif
b. Karsinoma in-situ, karsinoma intraepitel c. Kasinoma invasive
Tabel 2.1. Stadium kanker serviks menurut klasifikasi FIGO (Wiknyosastro (1997)

4. Jenis histopatologis pada kanker serviks


Jenis skuamosa merupakan jenis yang paling sering ditemukan, yaitu 90% merupakan karsinoma sel
skuamosa (KSS), adenokarsinoma 5% dan jenis lain sebanyak 5%. Karsinoma skuamosa terlihat
sebagai jalinan kelompok sel-sel yang berasal dari skuamosa dengan pertandukan atau tidak, dan
kadang-kadang tumor itu sendiri berdiferensiasi buruk atau dari sel- sel yang disebut small cell,
berbentuk kumparan atau kecil serta bulat seta mempunyai batas tumor stroma tidak jelas. Sel ini
berasal dari sel basal atau reserved cell. Sedang adenokarsinoma terlihat sebagai sel-sel yang berasal
dari epitel torak endoserviks, atau dari kelenjar endoserviks yang mengeluarkan mukus (Notodiharjo,
2002).
Klasifikasi histologik kanker serviks ada beberapa, di antaranya :
1. Skuamous carcinoma
Keratinizing
Large cell non keratinizing
Small cell non keratinizing Verrucous
2. Adeno carcinoma
Endocervical

Endometroid (adenocanthoma)
Clear cell - paramesonephric
Clear cell - mesonephric
Serous
Intestinal
3. Mixed carcinoma
Adenosquamous Mucoepidermoid
Glossy cell
Adenoid cystic

4. Undifferentiated carcinoma
5. Carcinoma tumor
6. Malignant melanoma
7. Maliganant non-epithelial tumors
Sarcoma : mixed mullerian, leiomysarcoma, rhabdomyosarcoma
Lymphoma

5. Patofisiologi kanker serviks


Karsinoma serviks adalah penyakit yang progresif, mulai dengan intraepitel, berubah menjadi
neoplastik, dan akhirnya menjadi kanker serviks setelah 10 tahun atau lebih. Secara histopatologi lesi
pre invasif biasanya berkembang melalui beberapa stadium displasia (ringan, sedang dan berat)
menjadi karsinoma insitu dan akhirnya invasif. Berdasarkan karsinogenesis umum, proses perubahan
menjadi kanker diakibatkan oleh adanya mutasi gen pengendali siklus sel. Gen pengendali tersebut
adalah onkogen, tumor supresor gene, dan repair genes. Onkogen dan tumor supresor gen mempunyai
efek yang berlawanan dalam karsinogenesis, dimana onkogen memperantarai timbulnya transformasi
maligna, sedangkan tumor supresor gen akan menghambat perkembangan tumor yang diatur oleh gen
yang terlibat dalam pertumbuhan sel. Meskipun kanker invasive berkembang melalui perubahan
intraepitel, tidak semua perubahan ini progres menjadi invasif. Lesi preinvasif akan mengalami
regresi secara spontan sebanyak 3 - 35%.
Bentuk ringan (displasia ringan dan sedang) mempunyai angka regresi yang tinggi. Waktu yang
diperlukan dari displasia menjadi karsinoma insitu (KIS) berkisar antara 1 7 tahun, sedangkan waktu
yang diperlukan dari karsinoma insitu menjadi invasif adalah 3 20 tahun (TIM FKUI, 1992). Proses
perkembangan kanker serviks berlangsung lambat, diawali adanya perubahan displasia yang perlahanlahan menjadi progresif. Displasia ini dapat muncul bila ada aktivitas regenerasi epitel yang
meningkat misalnya akibat trauma mekanik atau kimiawi, infeksi virus atau bakteri dan gangguan

keseimbangan hormon. Dalam jangka waktu 7 10 tahun perkembangan tersebut menjadi bentuk
preinvasif berkembang menjadi invasif pada stroma serviks dengan adanya proses keganasan.
Perluasan lesi di serviks dapat menimbulkan luka, pertumbuhan yang eksofitik atau dapat berinfiltrasi
ke kanalis serviks. Lesi dapat meluas ke forniks, jaringan pada serviks, parametria dan akhirnya dapat
menginvasi ke rektum dan atau vesika urinaria. Virus DNA ini menyerang epitel permukaan serviks
pada sel basal zona transformasi, dibantu oleh faktor risiko lain mengakibatkan perubahan gen pada
molekul vital yang tidak dapat diperbaiki, menetap, dan kehilangan sifat serta kontrol pertumbuhan
sel normal sehingga terjadi keganasan (Suryohudoyo, 1998; Debbie, 1998). Berbagai jenis protein
diekspresikan oleh HPV yang pada dasarnya merupakan pendukung siklus hidup alami virus tersebut.
Protein tersebut adalah E1, E2, E4, E5, E6, dan E7 yang merupakan segmen open reading frame
(ORF). Di tingkat seluler, infeksi HPV pada fase laten bersifat epigenetic.
Pada infeksi fase laten, terjadi terjadi ekspresi E1 dan E2 yang menstimulus ekspresi terutama
terutama L1 selain L2 yang berfungsi pada replikasi dan perakitan virus baru. Virus baru tersebut
menginfeksi kembali sel epitel serviks. Di samping itu, pada infeksi fase laten ini muncul reaksi imun
tipe lambat dengan terbentuknya antibodi E1 dan E2 yang mengakibatkan penurunan ekspresi E1 dan
E2. Penurunan ekspresi E1 dan E2 dan jumlah HPV lebih dari 50.000 virion per sel dapat
mendorong terjadinya integrasi antara DNA virus dengan DNA sel penjamu untuk kemudian infeksi
HPV memasuki fase aktif (Djoerban, 2000). Ekspresi E1 dan E2 rendah hilang pada pos integrasi ini
menstimulus ekspresi onkoprotein E6 dan E7. Selain itu, dalam karsinogenesis kanker serviks
terinfeksi HPV, protein 53 (p53) sebagai supresor tumor diduga paling banyak berperan. Fungsi p53
wild type sebagai negative control cell cycle dan guardian of genom mengalami degradasi karena
membentuk kompleks p53-E6 atau mutasi p53. Kompleks p53-E6 dan p53 mutan adalah stabil,
sedangkan p53 wild type adalah labil dan hanya bertahan 20-30 menit.
Apabila terjadi degradasi fungsi p53 maka proses karsinogenesis berjalan tanpa kontrol oleh p53.
Oleh karena itu, p53 juga dapat dipakai sebagai indikator prognosis molekuler untuk menilai baik
perkembangan lesi pre-kanker maupun keberhasilan terapi kanker serviks (Kaufman et al, 2000).
Dengan demikian dapatlah diasumsikan bahwa pada kanker serviks terinfeksi HPV

terjadi peningkatan kompleks p53-E6. Dengan pernyataan lain, terjadi penurunan p53 pada kanker
serviks terinfeksi HPV. Dan, seharusnya p53 dapat dipakai indikator molekuler untuk menentukan
prognosis kanker serviks. Bila pembuluh limfe terkena invasi, kanker dapat menyebar ke pembuluh
getah bening pada servikal dan parametria, kelenjar getah bening obtupator, iliaka eksterna dan
kelenjar getah bening hipogastrika. Dari sini tumor menyebar ke kelenjar getah bening iliaka komunis
dan pada aorta. Secara hematogen, tempat penyebaran terutama adalah paru-paru, kelenjar getah
bening mediastinum dan supravesikuler, tulang, hepar, empedu, pankreas dan otak (Prayetni, 1997).

6. Gejala klinis kanker serviks


Menurut Dalimartha (2004), gejala kanker serviks pada kondisi pra-kanker ditandai dengan Fluor
albus (keputihan) merupakan gejala yang sering ditemukan getah yang keluar dari vagina ini makin
lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Dalam hal demikian, pertumbuhan
tumor menjadi ulseratif. Perdarahan yang dialami segera setelah bersenggama (disebut sebagai
perdarahan kontak) merupakan gejala karsinoma serviks (75 - 80%). Pada tahap awal, terjadinya
kanker serviks tidak ada gejala-gejala khusus. Biasanya timbul gejala berupa ketidak teraturannya

siklus haid, amenorhea, hipermenorhea, dan penyaluran sekret vagina yang sering atau perdarahan
intermenstrual, post koitus serta latihan berat. Perdarahan yang khas terjadi pada penyakit ini yaitu
darah yang keluar berbentuk mukoid.
Nyeri dirasakan dapat menjalar ke ekstermitas bagian bawah dari daerah lumbal. Pada tahap lanjut,
gejala yang mungkin dan biasa timbul lebih bervariasi, sekret dari vagina berwarna kuning, berbau
dan terjadinya iritasi vagina serta mukosa vulva. Perdarahan pervagina akan makin sering terjadi dan
nyeri makin progresif. Menurut Baird (1991) tidak ada tanda-tanda khusus yang terjadi pada klien
kanker serviks. Perdarahan setelah koitus atau pemeriksaan dalam (vaginal toussea) merupakan gejala
yang sering terjadi. Karakteristik darah yang keluar berwarna merah terang dapat bervariasi dari yang
cair sampai menggumpal. Gejala lebih lanjut meliputi nyeri yang menjalar sampai kaki, hematuria dan
gagal ginjal dapat terjadi karena obstruksi ureter. Perdarahan rektum dapat terjadi karena penyebaran
sel kanker yang juga merupakan gejala penyakit lanjut. Pada pemeriksaan Pap Smear ditemukannya
sel-sel abnormal di bagian bawah serviks yang dapat dideteksi melalui, atau yang baru-baru ini
disosialisasikan yaitu dengan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat. Sering kali kanker serviks tidak
menimbulkan gejala. Namun bila sudah berkembang menjadi kanker serviks, barulah muncul gejalagejala seperti pendarahan serta keputihan pada vagina yang tidak normal, sakit saat buang air kecil
dan rasa sakit saat berhubungan seksual (Wiknjosastro, 1997).
7. Diagnosis kanker serviks
Stadium klinik seharusnya tidak berubah setelah beberapa kali pemeriksaan. Apabila ada keraguan
pada stadiumnya maka stadium yang lebih dini dianjurkan. Pemeriksaan berikut dianjurkan untuk
membantu penegakkan diagnosis seperti palpasi, inspeksi, kolposkopi, kuretase endoserviks,
histeroskopi, sistoskopi, proktoskopi, intravenous urography, dan pemeriksaan X- ray untuk paru-paru
dan tulang. Kecurigaan infiltrasi pada kandung kemih dan saluran pencernaan sebaiknya dipastikan
dengan biopsi. Konisasi dan amputasi serviks dapat dilakukan untuk pemeriksaan klinis. Interpretasi
dari limfangografi, arteriografi, venografi, laparoskopi, ultrasonografi, CT scan dan MRI sampai saat
ini belum dapat digunakan secara baik untuk staging karsinoma atau deteksi penyebaran karsinoma
karena hasilnya yang sangat subyektif. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil
pemeriksaan sebagai berikut (Suharto, 2007) :
1. Pemeriksaan pap smear
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi sel kanker lebih awal pada pasien yang
tidak memberikan keluhan. Sel kanker dapat diketahui pada sekret yang diambil dari porsi serviks.
Pemeriksaan ini harus mulai dilakukan pada wanita usia 18 tahun atau ketika telah melakukan
aktivitas seksual sebelum itu. Setelah tiga kali hasil pemeriksaan pap smear setiap tiga tahun sekali
sampai usia 65 tahun. Pap smear dapat mendeteksi sampai 90% kasus kanker leher rahim secara
akurat dan dengan biaya yang tidak mahal, akibatnya angka kematian akibat kanker leher rahim pun
menurun sampai lebih dari 50%. Setiap wanita yang telah aktif secara seksual sebaiknya menjalani
pap smear secara teratur yaitu 1 kali setiap tahun. Apabila selama 3 kali berturut-turut menunjukkan
hasil pemeriksaan yang normal, maka pemeriksaan pap smearmbisa dilakukan setiap 2 atau 3 tahun
sekali. Hasil pemeriksaan pap smear adalah sebagai berikut (Prayetni,1999):
a. Normal.
b. Displasia ringan (perubahan dini yang belum bersifat ganas).
c. Displasia berat (perubahan lanjut yang belum bersifat ganas).

d. Karsinoma in situ (kanker terbatas pada lapisan serviks paling luar). e. Kanker invasif (kanker telah
menyebar ke lapisan serviks yang lebih
dalam atau ke organ tubuh lainnya).

2.Pemeriksaan DNA HPV


Pemeriksaan ini dimasukkan pada skrining bersama-sama dengan Paps smear untuk wanita dengan
usia di atas 30 tahun. Penelitian dalam skala besar mendapatkan bahwa Paps smear negatif disertai
DNA HPV yang negatif mengindikasikan tidak akan ada CIN 3 sebanyak hampir 100%. Kombinasi
pemeriksaan ini dianjurkan untuk wanita dengan umur diatas 30 tahun
karena prevalensi infeksi HPV menurun sejalan dengan waktu. Infeksi HPV pada usia 29 tahun atau
lebih dengan ASCUS hanya 31,2% sementara infeksi ini meningkat sampai 65% pada usia 28 tahun
atau lebih muda. Walaupun infeksi ini sangat sering pada wanita muda yang aktif secara seksual tetapi
nantinya akan mereda seiring dengan waktu. Sehingga, deteksi DNA HPV yang positif yang
ditentukan kemudian lebih dianggap sebagai HPV yang persisten. Apabila hal ini dialami pada wanita
dengan usia yang lebih tua maka akan terjadi peningkatan risiko kanker serviks.
3. Biopsi
Biopsi dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu pertumbuhan atau luka
pada serviks, atau jika hasil pemeriksaan pap smear menunjukkan suatu abnormalitas atau kanker.
Biopsi ini dilakukan untuk melengkapi hasil pap smear. Teknik yang biasa dilakukan adalah punch
biopsy yang tidak memerlukan anestesi dan teknik cone biopsy yang menggunakan anestesi. Biopsi
dilakukan untuk mengetahui kelainan yang ada pada serviks. Jaringan yang diambil dari daerah
bawah kanal servikal. Hasil biopsi akan memperjelas apakah yang terjadi itu kanker invasif atau
hanya tumor saja (Prayetni, 1997).
4. Kolposkopi (pemeriksaan serviks dengan lensa pembesar)
Kolposkopi dilakukan untuk melihat daerah yang terkena proses metaplasia. Pemeriksaan
ini kurang efisien dibandingkan dengan pap smear, karena kolposkopi memerlukan keterampilan dan
kemampuan kolposkopis dalam mengetes darah yang abnormal (Prayetni, 1997).
5. Tes Schiller
Pada pemeriksaan ini serviks diolesi dengan larutan yodium. Pada serviks normal akan
membentuk bayangan yang terjadi pada sel epitel serviks karena adanya glikogen. Sedangkan pada sel
epitel serviks yang mengandung kanker akan menunjukkan warna yang tidak berubah karena tidak
ada glikogen ( Prayetni, 1997).
6. Radiologi
a) Pelvik limphangiografi, yang dapat menunjukkan adanya gangguan pada saluran pelvik atau
peroartik limfe.

b) Pemeriksaan intravena urografi, yang dilakukan pada kanker serviks tahap lanjut, yang dapat
menunjukkan adanya obstruksi pada ureter terminal. Pemeriksaan radiologi direkomendasikan untuk
mengevaluasi kandung kemih dan rektum yang meliputi sitoskopi, pielogram intravena (IVP), enema
barium, dan sigmoidoskopi. Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau scan CT abdomen / pelvis
digunakan untuk menilai penyebaran lokal dari tumor dan / atau terkenanya nodus limpa regional
(Gale & charette, 1999).
8. Pencegahan kanker serviks
Sebagian besar kanker dapat dicegah dengan kebiasaan hidup sehat dan menghindari faktor- faktor
penyebab kanker meliputi (Dalimartha, 2004) :
1. Menghindari berbagai faktor risiko, yaitu hubungan seks pada usia muda, pernikahan pada
usia muda, dan berganti-ganti pasangan seks. Wanita yang berhubungan seksual dibawah usia 20
tahun serta sering berganti pasangan beresiko tinggi terkena infeksi. Namun hal ini tak menutup
kemungkinan akan terjadi pada wanita yang telah setia pada satu pasangan saja.
2. Wanita usia di atas 25 tahun, telah menikah, dan sudah mempunyai anak perlu melakukan
pemeriksaan pap smear setahun sekali atau menurut petunjuk dokter. Pemeriksaan Pap smear adalah
cara untuk mendeteksi dini kanker serviks. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cepat, tidak sakit
dengan biaya yang relatif terjangkau dan hasilnya akurat. Disarankan untuk melakukan tes Pap setelah
usia 25 tahun atau setelah aktif berhubungan seksual dengan frekuensi dua kali dalam setahun. Bila
dua kali tes Pap berturut-turut menghasilkan negatif, maka tes Pap dapat dilakukan sekali setahun.
Jika menginginkan hasil yang lebih akurat, kini ada teknik pemeriksaan terbaru untuk deteksi dini
kanker leher rahim, yang dinamakan teknologi Hybrid Capture II System (HCII).
3. Pilih kontrasepsi dengan metode barrier, seperti diafragma dan kondom, karena dapat memberi
perlindungan terhadap kanker leher rahim.
4. Memperbanyak makan sayur dan buah segar. Faktor nutrisi juga dapat mengatasi masalah kanker
mulut rahim. Penelitian mendapatkan hubungan yang terbalik antara konsumsi sayuran berwarna
hijau tua dan kuning (banyak mengandung beta karoten atau vitamin A, vitamin C dan vitamin E)
dengan kejadian neoplasia intra epithelial juga kanker serviks. Artinya semakin banyak makan
sayuran berwarna hijau tua dan kuning, maka akan semakin kecil risiko untuk kena penyakit kanker
mulut rahim
5. Pada pertengahan tahun 2006 telah beredar vaksin pencegah infeksi HPV tipe 16 dan 18 yang
menjadi penyebab kanker serviks. Vaksin ini bekerja dengan cara meningkatkan kekebalan tubuh dan
menangkap virus sebelum memasuki sel-sel serviks. Selain membentengi dari penyakit kanker
serviks, vaksin ini juga bekerja ganda melindungi perempuan dari ancaman HPV tipe 6 dan 11 yang
menyebabkan kutil kelamin.Yang perlu ditekankan adalah, vaksinasi ini baru efektif apabila diberikan
pada perempuan yang berusia 9 sampai 26 tahun yang belum aktif secara seksual. Vaksin diberikan
sebanyak 3 kali dalam jangka waktu tertentu. Dengan vaksinasi, risiko terkena kanker serviks bisa
menurun hingga 75%.

9. Pengobatan kanker serviks

Terapi karsinoma serviks dilakukan bila mana diagnosis telah dipastikan secara histologik dan
sesudah dikerjakan perencanaan yang matang oleh tim yang sanggup melakukan rehabilitasi dan
pengamatan la njutan (tim kanker / tim onkologi). Pemilihan pengobatan kanker leher rahim
tergantung pada lokasi dan ukuran tumor, stadium penyakit, usia, keadaan umum penderita, dan
rencana penderita untuk hamil lagi. Lesi tingkat rendah biasanya tidak memerlukan pengobatan lebih
lanjut, terutama jika daerah yang abnormal seluruhnya telah diangkat pada waktu pemeriksaan biopsi.
Pengobatan pada lesi prekanker bisa berupa kriosurgeri (pembekuan), kauterisasi (pembakaran, juga
disebut diatermi), pembedahan laser untuk menghancurkan sel-sel yang abnormal tanpa melukai
jaringan yang sehat di sekitarnya dan LEEP (loop electrosurgical excision procedure) atau konisasi
(Wiknjosastro, 1997).

1. Pembedahan
Pada karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks paling luar), seluruh
kanker sering kali dapat diangkat dengan bantuan pisau bedah ataupun melalui LEEP (loop
electrosurgical excision procedure) atau konisasi. Dengan pengobatan tersebut, penderita masih bisa
memiliki anak. Karena kanker bisa kembali kambuh, dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan ulang
dan Pap smear setiap 3 bulan selama 1 tahun pertama dan selanjutnya setiap 6 bulan. Jika penderita
tidak memiliki rencana untuk hamil lagi, dianjurkan untuk menjalani histerektomi. Pembedahan
merupakan salah satu terapi yang bersifat kuratif maupun paliatif. Kuratif adalah tindakan yang
langsung menghilangkan penyebabnya sehingga manifestasi klinik yang ditimbulkan dapat
dihilangkan. Sedangkan tindakan paliatif adalah tindakan yang berarti memperbaiki keadaan
penderita. Histerektomi adalah suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk mengangkat uterus
dan serviks (total) ataupun salah satunya (subtotal). Biasanya dilakukan pada stadium klinik IA
sampai IIA (klasifikasi FIGO). Umur pasien sebaiknya sebelum menopause, atau bila keadaan umum
baik, dapat juga pada pasien yang berumur kurang dari 65 tahun. Pasien juga harus bebas dari
penyakit umum (resiko tinggi) seperti penyakit jantung, ginjal dan hepar.
2. Terapi penyinaran (radioterapi)
Terapi radiasi bertujuan untuk merusak sel tumor pada serviks serta mematikan
parametrial dan nodus limpa pada pelvik. Kanker serviks stadium II B, III, IV sebaiknya diobati
dengan radiasi. Metoda radioterapi disesuaikan dengan tujuannya yaitu tujuan pengobatan kuratif atau
paliatif. Pengobatan kuratif ialah mematikan sel kanker serta sel yang telah menjalar ke sekitarnya
atau bermetastasis ke kelenjar getah bening panggul, dengan tetap mempertahankan sebanyak
mungkin kebutuhan jaringan sehat di sekitar seperti rektum, vesika urinaria, usus halus, ureter.
Radioterapi dengan dosis kuratif hanya akan diberikan pada stadium I sampai III B. Apabila sel
kanker sudah keluar ke rongga panggul, maka radioterapi hanya bersifat paliatif yang diberikan secara
selektif pada stadium IV A. Terapi penyinaran efektif untuk mengobati kanker invasif yang masih
terbatas pada daerah panggul. Pada radioterapi digunakan sinar berenergi tinggi untuk merusak sel-sel
kanker dan menghentikan pertumbuhannya. Ada dua jenis radioterapi yaitu radiasi eksternal yaitu
sinar berasal dari sebuah mesin besar dan penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit, penyinaran
biasanya dilakukan sebanyak 5 hari/minggu selama 5-6 minggu. Keduannya adalah melalui radiasi
internal yaitu zat radioaktif terdapat di dalam sebuah kapsul dimasukkan langsung ke dalam serviks.
Kapsul ini dibiarkan selama 1-3 hari dan selama itu penderita dirawat di rumah sakit. Pengobatan ini
bisa diulang beberapa kali selama 1-2 minggu. Efek samping dari terapi penyinaran adalah iritasi

rektum dan vagina, kerusakan kandung kemih dan rektum dan ovarium berhenti berfungsi (Gale &
Charette, 2000).
3. Kemoterapi
Kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat melalui infus, tablet,
atau intramuskuler. Obat kemoterapi digunakan utamanya untuk membunuh sel kanker dan
menghambat perkembangannya. Tujuan pengobatan kemoterapi tegantung pada jenis kanker dan
fasenya saat didiag nosis. Beberapa kanker mempunyai penyembuhan yang dapat diperkirakan atau
dapat sembuh dengan pengobatan kemoterapi. Dalam hal lain, pengobatan mungkin hanya diberikan
untuk mencegah kanker yang kambuh, ini disebut pengobatan adjuvant. Dalam beberapa kasus,
kemoterapi diberikan untuk mengontrol penyakit dalam periode waktu yang lama walaupun tidak
mungkin sembuh. Jika kanker menyebar luas dan dalam fase akhir, kemoterapi digunakan sebagai
paliatif untuk memberikan kualitas hidup yang lebih baik. Kemoterapi secara kombinasi telah
digunakan untuk penyakit metastase karena terapi dengan agen-agen dosis tunggal belum memberikan
keuntungan yang memuaskan. Contoh obat yang digunakan pada kasus kanker serviks antara lain
CAP (Cyclophopamide Adrem ycin Platamin), PVB (Platamin Veble Bleomycin) dan lain lain
(Prayetni, 1997).
10. Prognosis kanker serviks
Prognosis kanker serviks adalah buruk. Prognosis yang buruk tersebut dihubungkan dengan 85-90 %
kanker serviks terdiagnosis pada stadium invasif, stadium lanjut, bahkan stadium terminal (Suwiyoga,
2000; Nugroho, 2000). Selama ini, beberapa cara dipakai menentukan faktor prognosis adalah
berdasarkan klinis dan histopatologis seperti keadaan umum, stadium, besar tumor primer, jenis sel,
derajat diferensiasi Broders. Prognosis kanker serviks tergantung dari stadium penyakit. Umumnya, 5years survival rate untuk stadium I lebih dari 90%, untuk stadium II 60-80%, stadium III kira - kira
50%, dan untuk stadium IV kurang dari 30% (Geene,1998; Kenneth, 2000).
1. Stadium 0
100 % penderita dalam stadium ini akan sembuh.
2. Stadium 1
Kanker serviks stadium I sering dibagi menjadi IA dan IB. Dari semua wanita yang terdiagnosis pada
stadium IA memiliki 5-years survival rate sebesar 95%. Untuk stadium IB 5-years survival rate
sebesar 70 sampai 90%. Ini tidak termasuk wanita dengan kanker pada limfonodi mereka.
3. Stadium 2
Kanker serviks stadium 2 dibagi menjadi 2, 2A dan 2B. Dari semua wanita yang terdiagnosis pada
stadium 2A memiliki 5-years survival rate sebesar 70-90%. Untuk stadium 2B 5-years survival rate
sebesar 60 sampai 65%.
4. Stadium 3
Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 30-50%.
5. Stadium 4

Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 20-30%.


6. Stadium 5
Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 5-10%.

Daftar pustaka
1.
2.

Kanker Leher Rahim, www.medicastore.com


Bahaya Kanker Serviks Bagi wanita, www.kesrepro.info

3.

DEPKES RI, 2005, Penanggulangan Kanker Serviks dengan Vaksin HPV, Departemen
Kesehatan RI.

4.

Cervical cancer Risk Factors, Mayo Research Foundation, www.mayoclinic.com

Anda mungkin juga menyukai