Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita
perjuangan bangsa dan merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan
nasional kedepan.1 Oleh karena itu diperlukan pembinaan secara terus
menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik,
mental dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang
membahayakan atau merusak masa depan anak.
Kenakalan anak setiap tahun selalu meningkat, apabila dicermati
perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari
kualitas maupun modus operandi yang dilakukan, kadang-kadang tindakan
pelanggaran yang dilakukan anak dirasakan telah meresahkan semua pihak
khususnya para orang tua. Fenomena meningkatnya perilaku tindakan
kekerasan yang dilakukan anak seolah-olah tidak berbanding lurus dengan
usia pelaku. Oleh karen itu, berbagai upaya pencegahan dan penannggulangan
kenakalan anak, perlu segera dilakukan.2
Salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak
(politik kriminal anak) saat ini melalui penyelenggaran sistem peradilan anak
(Juvenile Justice). Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan anak (Juvenile
Justice) tidak semata-mata bertujuan untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi
anak yang telah melakukan tindak pidana, tetapi lebih difokuskan pada dasar
pemikiran bahwa penjatuhan sanksi tersebut sebagai saran mendukung
mewujudkan anak pelaku tindak pidana.
1

Ediwarman, 2006, Peradilan Anak diPerisimpangan Jalan dalam Prespektif Victimology


(belajar dari kasus Raju), Vol. 18 No.1, April 2006, Jurnal Mahkamah, Pekan baru, hlm. 8.
2
Nandang Sambas, 2010, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Graha Ilmu,
Yogyakarta, hlm. 103.

Secara internasional dikehendaki bahwa tujuan penyelenggaraan


sistem peradilan anak, mengutamakan pada tujuan untuk kesejahteraan anak.
Secara khusus ketentuan yang mengatur sistem peradilan pidana anak di
Indonesia ditetapkan dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak. Dibentuknya Undang-undang tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, antara lain karena disadari bahwa walaupun kenakalan
anak merupakan perbuatan anti sosial yang dapat meresahkan masyarakat
namun hal tersebut diakui sebagai suatu gejala umum yang harus diterima
sebagai fakta sosial. Oleh karen itu, perlakuan terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum seyogyanya berbeda dengan perlakuan terhadap orang dewasa.
Anak yang berhadapan dengan hukum berdasarkan perkembangan fisik,
mental maupun sosial mempunyai kedudukan yang lemah dibandingkan
dengan orang dewasa, sehingga perlu ditangani secara khusus.3
Kritik-kritik terhadap penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak
masih saja terus mengalir, setelah kasus Mohammad Azwar alias Raju, anak
berusia 8 tahun yang menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN)
Stabat Kab. Langkat Sumatera Utara, karena berkelahi dengan seorang anak
lain pada tahun 2006, kemnudian kasus persidangan anak kembali mendapat
sorotan, Pengadilan Negeri Tangerang, Banten menyidangkan 10 orrang anak
yang masih di bawah umur dengan melakukan permainan koin dengan taruhan
uang senilai Rp. 1000,- . Perhatian masyarakat terhadap hukum kembali
mencuat ketika Aal anak berusia 15 tahun yang divonis bersalah oleh
Pengadilan Negeri Palu atas dakwaan mencuri sandal milik seorang anaggota
Polri, kasus ini telah menimbulkan berbagai tanggapan dari para pemerhati
anak di negeri ini, bahkan Ketua Komnas Perilindungan Anak dan Direktur
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta meminta kasus-kasus ini dijadikan pintu
masuk untuk mengamandemen Undang-undang Pengadilan Anak. 4 Banyak
kalangan menyatakan penyelenggaraan sistem peradilan pidan anak dalam
3

Bambang Waluyo, 2008, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 29.
M.Musa, 2007, Peradilan Restoratif suatu Pemikiran Laternatif System Peradilan Anak
Indonesia, Jurnal Mahkamah, Vol.19 Np. 2, Oktober 2007, Pekan Baru, hlm. 169.
4

implementasinya masih jauh keinginan untuk dapat mendukung mewujudkan


tujuan kesejahteraan anak dan kepentingan terbaik bagi anak.
Dari hasil pengamatan terhadap pelaksanaan peradilan pidana anak,
terdapat fakta bahwa prosese pengadilan pidana bagi anak, menimbulkan
dampak negatif akal anak yang berhadapan dengan hukum.
Untuk menghindari efek atau dampak negatif proses peradilan pidana
terhadap anak ini United Standar Minimum Rules for The Administration of
Juvenile Justice (The Beijing Rules) telah memberikan pedoman sebagai
upaya menghindari efek negatif tersebut dengan memberikan kewenangan
kepada aparat penegak hukum mengambil tindakan-tindakan kebijakan dalam
menangani masalah pelanggaran anak dengan tidak mengambil jalan formal
yang disebut Diversi (Diversion)
Sehubungan dengan adanya konsep diversi yang dicanangkan dalam
SMR-JJ yang telah diterima dalam Resolusi Majelis Umum PBB 40/33 ini,
maka perlu dilakukan studi terhadap kebijakan formulasi yang berkaitan
dengan sistem peradilan anak yang ada di Indonesia (Ius Constitutum),
kemuudian perlu dilakukan peninjauan apakah konsep diversi sesuai untuk
diimplementasikan dalam pembaruan sistem peradilan pidana anak di
Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah
dalam makalah ini adalah bagaimana perlindungan anak sebagai pelaku tindak
pidana dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia ?

BAB II
PEMBAHASAN

1. Konsep Diversi yang terkait dengan Sistem Peradilan Pidana Anak di


Indonesia
A. Konsep Diversi dalam kebijakan Formulasi Hukum Pidana Material
Anak
Hukum Pidana material anak diatur dalam KUHP dan UU Pengadilan
Anak.
a. KUHP
Konsep diversi merupakan pemberian kewenangan bagi penegak
hukum anak, setelah dengan pertimbangan yang layak, maka penegak
hukum akan mengambil tindakan-tindakan kebijakan dalam menangangni
atau menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan
formal. Antara lain menghentikan atau tidak meneruskan/melepaskan dari
proses peradilan pidana atau mengembalikan/menyerahkan kepada
masyarakat dan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya, seperti
penyerahan

kepada

orangtua/wali

pembinaan

sosial,

pemberian

peringatan/nasihat/konseling, pengenaan denda ataupun memberi ganti


rugi kepada korban
Menyimak hal-hal yang terdapat dalam diversi tersebut, juika suatu
perkara dikenakan diversi maka: a. tidak dilakukan penuntutan, sehingga
penuntutan dihentikan; b. pemeriksaan perkara di pengadilan dihentikan;
c. anak tidak menjalani putusan pidana. Dengan demikian, perlu diketahui
lebih lanjut di dalam KUHP tentang bagaimana ketentuan tidak dilakukan
penuntuttan; bagaimana pemeriksaan perkaranya dihentikan; bagaimana
anak tidak menjalani putusan (pidana).
Subtansi penghentian penuntutan dalam KUHP, sangat berbeda
dengan subtansi penghentian penuntutan dalam konsep diversi, dengan

dasar tujuan untuk kepentingan menghindari efek negatif proses


penuntutan terhadap anak. Konsep diversi dalam penghentian penuntutan
dalam KUHP adalah pembayaran denda atas perbuatan yang dilakukan
oleh pelaku. KUHP tidak menentukan pemeriksaan perkara dapat
dihentikan dengan alasasn demi kepentingan perlindungan anak. Konsep
diversi dalam bentuk penghentian pemeriksaan pengadilan tidak terdapat
dalam KUHP. Di dalam KUHP terdapat ketentuan tentang pidana bersyarat
sebagaimana diatur dalam Pasal 14 a KUHP. Ketentutan Pasal 14 a KUHP
ini walaupun sama-sama dalam bentuk tidak menjalani pidana, tetapi
sangat berbeda dengan konsep diversi. Putusan pidana bersyarat
merupakan hasil putusan akhir yang merupakan pertanggung jawaban
pidana dari pelaku tindak pidana, dan pelaku tidak menjalani pidana ini
karena dengan adanya putusan pidana bersyarat. Lain dengan tidak
menjalani putusan di dalam diversi, yaitu karena demi perlindungan anak
dan kesejahteraan anak.
b. Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Pengadilan Anak
Sanksi hukum pidana yang dapat dijatuhkan pada anak diatur
dalam Undang-undang nomor 11 Tahun 2012 tentang Pengadilan Anak.
Bentuk-bentuk sanksi dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tersebut
tampal sama dengan bentuk-bentuk program diversi, seperti: pengawasan
masyarakat (community supervision); restitusi (restitution); kompensasi
(compensation); denda (fine); pemberian nasihat (conseling); pelayanan
klien

khusus;

kegiatan

yang

melibatkan

pihak

keluarga

(family

intervention).
Dengan mencerati bentuk-bentuk sanksi tindakan dalam undangUndang No. 3 Tahun 1997 dengan bentuk-bentuk program diversi, tampak
terdapat kesamaan antara program diversi dengan salah satu bentuk sanksi
tindakan dalam Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Pengadilan
anak. Namun demkian, bentuk-bentuk sanksi dalam UU tersebut

merupakan produk putusan hakim melalui proses pemeriksaan perkara


pidana secara formal. Sanksi-sanksi dalam Undang-undang No. 11 Tahun
2012 tersebut, sudah dapat menimbulkan efek negatif proses pengadilan
dan menimbulkan stigma (cap jahat) terhadap anak. Dengan adanya
putusan-putusan dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 telah
menimbulkan cap secara yuridis bahwa anak tersebut sebagai Anak Nakal,
hal ini tentunya berbeda dengan tujuan yang dikehendaki oleh konsep
diversi.
Kebijakan formulasi dalam UU No. 11 Tahun 2012, tidak
menentukan diversi dalam bentuk penghentian penyidikan dan penghentian
penuntutan serta penghentian pemeriksaan dalam rangka perlindungan anak
(kecuali bagi pelaku anak yang berumur kurang dari 8 tahun). Namun
demikian

dengan

adanya

jenis

putusan

hakim

berupa:

denda;

mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh; menyerahkan
kepada negara untuk mengiukuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja;
atau

menyerahkan

kepada

Departemen

Sosial

atau

Organisasi

Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan


latihan kerja, sama dengan bentuk-bentuk program diversi. Oleh karen itu,
hal ini menunjukkan adanya indikasi dapat diterimanya konsep diversi.
c. Konsep Diversi Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak
Saat ini telah terdapat Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, di dalamnya terdapat konsep diversi sebagai
bahan pembaruan.
Pada Pasal 1 angka 7 dijelaskan bahwa diversi adalah suatu pengalihan
penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar
peradilan pidana..
Dalam Undang-udang No. 11 tahun 2012 Pasal 6 ditegaskan bahwa
tujuan diversi adalah untuk:
6

1)
2)
3)
4)
5)

Mencapai perdamaian antara korban dan anak;


Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan
Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
Menanamkan rasa tanggungjawab kepada anak.

Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak


dan orang tua/walinya, korban dan/ atau orang tua/walinya, pembimbing
kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan
Keadilan Restoratif.
2. Pengadilan Anak
Juvenile Justice System adalah segala unsur sistem peradilan pidana
yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama,
polisis sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan
dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan
dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga
pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan
dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak,
tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari
dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman.5 Ada dua
kategori perilaku anak yang membuat ia berhadapan dengan hukum, yaitu :
a. Status Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan
seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah ;
dan
b. Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anaka yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran
hukum

Bonger, 1962, Pengantar tentang Kriminologi, Terjemahan oleh Koesnoen, PT. Pembangunan
Jakarta, Jakarta, hlm. 100.

Nur Rochaeti dalam tulisannya tentang Model Restorative Justice


sebagai Alternatif Penanganan bagi Anak delinkuen di Indonesia 6
menyatakan bahwa penegakan hukum melalui sistem peradilan saat ini
masih didominasi oleh cara berfikir positivis yang beranggapan bahwa
penyelesaian kasus tindak pidana hanya besandarkan pada peraturan
perundang-undangan.

Hal

ini

dinilai

sangat

berlawanan

dengan

pemahaman bahwa hukum hanya merupakan saran / upaya terakhir


(ultimum remidium).
Terdapat banyak anak yang menderita akibat pemenjaraan anak,
terutama mereka yang ditempatkan di penjara dewasa.
a. Efek Psikologis
Kartini Hartonoo dalam tulisannya yang berjudul Psikologi Anak
(Psikologi Perkembangan) menyatakan bahwa dampak yang ditimbulkan
dari pemenjaran anak ini tidak hanay terbatas pada dampak fisik saja.
Melainkan terdaat juga dampak psikologis yang kadang justru terasa lebih
berat. Anak-anak yang hidup di penjara akan selalui mempunyai
pengalaman masa kecil yang buruk, hidupnya akan selalu terbayang
kekerasan dan ini akan berakibat buruk bila ia sudah dewasa nantinya.
Karena watak dan pribadi seorang dewasa tidak dapat tidak selalu
dipengaruhi

oleh

pengalaman-pengalaman

masa

lalu,

khususnya

pengalaman pada masa kanak-kanak.7 Jadi pengalaman masa kanak-kanak


akan sangat berpengaruh bagi perkembangan dewasa nantinya.
b. Kematian dan Cedera Fisik
Cedera fisik khusunya disebabkan karena kehidupan yang keras di
penjara, perkelahian antara terpidana, penyiksaan yang dilakukan oleh
sipir penjara maupun sesama terpidana yang berakibat bekas luka,
mutilasi, patah tulang bahkan cacat permanen
6

Nur Rochaeti, Model Restorative Justice sebagai Alaternatif Penanganan bagi anak Delinkuen
di Indonesia, MMH Jjilid 37 No.4, Desember 2008.
7
Kartini Hartono, 1995, Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan), Mandar Maju, Bandung, hlm.
37.

c. Masalah Perkembangan
Karena terpidana anak lebih banyak menghabiskan waktunya dalam
penjara maka kesempatan mereka untuk sekolah yang layak juga tidak
ada. Selain karena terbatasnya ruang gerak, pendidikan mereka juga lebih
dibatasi pada keenganan untuk belakar yang diakibatkan oleh lingkungan
yang keras.
Kesulitan menempatkan diri dalam masyarakat, akan menyebabkan
kenakalan remaja dan masalah disiplin. Banyak dari mantan terpidana
anak yang menjadi terpidana dewasa karena mereka tidak mampu berbaur
dengan masyarakat dan ditolak oleh lingkungannya.

BAB III
PENUTUP

Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita


perjuangan perjuangan bangsa dan merupakan sumber daya manusia bagi
pembangunan nasional kedepan. Oleh karena itu diperlukan pembinaan secara
terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan
fisik, mental dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang
membahayakan atau merusak masa depan anak. Hal itu juga berlaku untuk
anak yang berhadapan dengan hukum.
Dengan adanya konsep diversi dan Juvenile Justice System diharapkan
anak yang berhadapan dengan hukum dapat melanjutkan masa depannya dan
merupakan salah satu upaya negara untuk dapat mendukung mewujudkan
tujuan kesejahteraan anak dan kepentingan terbaik bagi anak.

DAFTAR PUSTAKA

10

Ediwarman. 2006. Peradilan Anak diPerisimpangan Jalan dalam Prespektif


Victimology (belajar dari kasus Raju), Vol. 18 No.1, April 2006. Pekan baru :
Jurnal Mahkamah.
Sambas, Nandang. 2010. Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di
Indonesia.Yogyakarta : Graha Ilmu.
Waluyo, Bambang. 2008. Pidana dan Pemidanaa., Jakarta : Sinar Grafika.
M.Musa. 2007. Peradilan Restoratif suatu Pemikiran Laternatif System Peradilan
Anak Indonesia, Pekan Baru : Jurnal Mahkamah.

Bonger, 1962, Pengantar tentang Kriminologi, Terjemahan oleh Koesnoen.


Jakarta : PT. Pembangunan Jakarta.

Rochaeti, Nur. Model Restorative Justice sebagai Alaternatif Penanganan bagi


anak Delinkuen di Indonesia, MMH Jjilid 37 No.4, Desember 2008.
Kartono, Kartini. 1995, Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan), Bandung :
Mandar Maju.

11

Anda mungkin juga menyukai