I. PENDAHULUAN
Pada kehamilan normal, cairan amnion memberikan ruang bagi janin untuk tumbuh,
bergerak, dan berkembang. Tanpa cairan amnion, uterus akan berkontraksi dan
menekan janin. Jika terjadi pengurangan volume cairan amnion pada awal kehamilan,
janin akan mengalami berbagai kelainan seperti gangguan perkembangan anggota
gerak, cacat dinding perut, dan sindroma Potter , suatu sindrom dengan gambaran
wajah berupa kedua mata terpisah jauh, terdapat lipatan epikantus, pangkal hidung
yang lebar, telinga yang rendah dan dagu yang tertarik ke belakang.
Pada pertengahan usia kehamilan, cairan amnion menjadi sangat penting bagi
perkembangan paru janin. Tidak cukupnya cairan amnion pada pertengahan usia
kehamilan akan menyebabkan terjadinya hipoplasia paru yang dapat menyebabkan
kematian.
Selain itu cairan ini juga mempunyai peran protektif pada janin, cairan ini mengandung
agen-agen anti bakteria dan bekerja menghambat pertumbuhan bakteri yang memiliki
potensi patogen. .Selama proses persalinan dan kelahiran cairan amnion terus
bertindak sebagai medium protektif pada janin untuk memantau dilatasi servik. Selain
itu cairan amnion juga berperan sebagai sarana komunikasi antara janin dan ibu.
Kematangan dan kesiapan janin untuk lahir dapat diketahui dari hormon urin janin yang
diekskresikan ke dalam cairan amnion.
Cairan amnion juga dapat digunakan sebagai alat diagnostik untuk melihat adanya
kelainan-kelainan pada proses pertumbuhan dan perkembangan janin dengan
melakukan kultur sel. Jadi cairan amnion memegang peranan yang cukup penting
dalam proses kehamilan dan persalinan.
II. FISIOLOGI CAIRAN AMNION
Amnion manusia pertama kali dapat diidentifikasi pada sekitar hari ke-7 atau ke-8
perkembangan mudigah. Pada awalnya sebuah vesikel kecil yaitu amnion, berkembang
menjadi sebuah kantung kecil yang menutupi permukaan dorsal mudigah. Karena
semakin membesar, amnion secara bertahap menekan mudigah yang sedang tumbuh,
yang mengalami prolaps ke dalam rongga amnion. 1,2,3
Gambar 1. Kantung amnion pada hari ke-10 ditampakkan pada gambar sebelah kiri dan
di sebelah kanan merupakan kantung amnion pada hari ke-12 yang selanjutnya akan
tumbuh menekan mudigah dikutip dari Cunningham1
Cairan amnion pada keadaan normal berwarna putih agak keruh karena adanya
campuran partikel solid yang terkandung di dalamnya yang berasal dari lanugo, sel
epitel, dan material sebasea. Volume cairan amnion pada keadaan aterm adalah sekitar
800 ml, atau antara 400 ml -1500 ml dalam keadaan normal. Pada kehamilan 10
minggu rata-rata volume adalah 30 ml, dan kehamilan 20 minggu 300 ml, 30 minggu
600 ml. Pada kehamilan 30 minggu, cairan amnion lebih mendominasi dibandingkan
dengan janin sendiri.
Cairan amnion diproduksi oleh janin maupun ibu, dan keduanya memiliki peran
tersendiri pada setiap usia kehamilan. Pada kehamilan awal, cairan amnion sebagian
besar diproduksi oleh sekresi epitel selaput amnion.
Dengan bertambahnya usia kehamilan, produksi cairan amnion didominasi oleh kulit
janin dengan cara difusi membran. Pada kehamilan 20 minggu, saat kulit janin mulai
kehilangan permeabilitas, ginjal janin mengambil alih peran tersebut dalam
memproduksi cairan amnion.
Pada kehamilan aterm, sekitar 500 ml per hari cairan amnion di sekresikan dari urin
janin dan 200 ml berasal dari cairan trakea. Pada penelitian dengan menggunakan
radioisotop, terjadi pertukaran sekitar 500 ml per jam antara plasma ibu dan cairan
amnion.
Pada kondisi dimana terdapat gangguan pada ginjal janin, seperti agenesis ginjal, akan
menyebabkan oligohidramnion dan jika terdapat gangguan menelan pada janin, seperti
atresia esophagus, atau anensefali, akan menyebabkan polihidramnion3.
A. Fungsi Cairan Amnion
Cairan amnion merupakan komponen penting bagi pertumbuhan dan perkembangan
janin selama kehamilan. Pada awal embryogenesis, amnion merupakan perpanjangan
dari matriks ekstraseluler dan di sana terjadi difusi dua arah antara janin dan cairan
amnion. Pada usia kehamilan 8 minggu, terbentuk uretra dan ginjal janin mulai
memproduksi urin. Selanjutnya janin mulai bisa menelan. Eksresi dari urin, sistem
pernafasan, sistem digestivus, tali pusat dan permukaan plasenta menjadi sumber dari
cairan amnion. Telah diketahui bahwa cairan amnion berfungsi sebagai kantong
pelindung di sekitar janin yang memberikan ruang bagi janin untuk bergerak, tumbuh
meratakan tekanan uterus pada partus, dan mencegah trauma mekanik dan trauma
termal.
Cairan amnion juga berperan dalam sistem imun bawaan karena memiliki peptid
antimikrobial terhadap beberapa jenis bakteri dan fungi patogen tertentu. Cairan amnion
adalah 98% air dan elektrolit, protein , peptide, hormon, karbohidrat, dan lipid. Pada
beberapa penelitian, komponen-komponen cairan amnion ditemukan memiliki fungsi
sebagai biomarker potensial bagi abnormalitas-abnormalitas dalam kehamilan.
Beberapa tahun belakangan, sejumlah protein dan peptide pada cairan amnion
diketahui sebagai faktor pertumbuhan atau sitokin, dimana kadarnya akan berubahubah sesuai dengan usia kehamilan. Cairan amnion juga diduga memiliki potensi dalam
pengembangan medikasi stem cell 1,2,3,4
B. Volume Cairan Amnion
Volume cairan amnion pada setiap minggu usia kehamilan bervariasi, secara umum
volume bertambah 10 ml per minggu pada minggu ke-8 usia kehamilan dan meningkat
menjadi 60 ml per minggu pada usia kehamilan 21 minggu, yang kemudian akan
menurun secara bertahap sampai volume yang tetap setelah usia kehamilan 33
minggu. Normal volume cairan amnion bertambah dari 50 ml pada saat usia kehamilan
12 minggu sampai 400 ml pada pertengahan gestasi dan 1000 1500 ml pada saat
aterm. Pada kehamilan postterm jumlah cairan amnion hanya 100 sampai 200 ml atau
kurang.
menemukan volume produksi urin janin sebesar 1224 ml/hari. Pada tabel menunjukkan
rata-rata volume produksi urin per hari yang didapatkan dari beberapa penelitian. Jadi,
produksi urin janin rata-rata adalah sekitar 1000-1200 ml/ hari pada kehamilan
aterm.1,2,3,5,7,8
2. Cairan Paru
Cairan paru janin memiliki peran yang penting dalam pembentukan cairan amnion.
Pada penelitian dengan menggunakan domba, didapatkan bahwa paru-paru janin
memproduksi cairan sampai sekitar 400 ml/hari, dimana 50% dari produksi tersebut
ditelan kembali dan 50% lagi dikeluarkan melalui mulut. Meskipun pengukuran secara
langsung ke manusia tidak pernah dilakukan, namun data ini memiliki nilai yang
representratif bagi manusia. Pada kehamilan normal, janin bernafas dengan gerakan
inspirasi dan ekspirasi, atau gerakan masuk dan keluar melalui trakea, paru-paru dan
mulut. Jadi jelas bahwa paru-paru janin juga berperan dalam pembentukan cairan
amnion. 1,2,3,5,7,8
3. Gerakan menelan
Pada manusia, janin menelan pada awal usia kehamilan. Pada janin domba, proses
menelan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya usia kehamilan. Sherman
dan teman-teman melaporkan bahwa janin domba menelan secara bertahap dengan
volume sekitar 100-300 ml/kg/hari.
Banyak teknik berbeda yang dicoba untuk mengukur rata-rata volume cairan amnion
yang ditelan dengan menggunakan hewan, namun pada manusia, pengukuran yang
tepat sangat sulit untuk dilakukan. Pritchard meneliti proses menelan pada janin dengan
menginjeksi kromium aktif pada kompartemen amniotik, dan menemukan rata-rata
menelan janin adalah 72 sampai 262 ml/kg/hari. 1,2,4,5,7,8
Abramovich menginjeksi emas koloidal pada kompartemen amniotik dan menemukan
bahwa volume menelan janin meningkat seiring dengan bertambahnya usia kehamilan.
Penelitian seperti ini tidak dapat lagi dilakukan pada masa sekarang ini karena faktor
etik, namun dari penelitian di atas jelas bahwa kemampuan janin menelan tidak
menghilangkan seluruh volume cairan amnion dari produksi urin dan paru-paru janin,
karena itu, harus ada mekanisme serupa dalam mengurangi volume cairan amnion.
1,2,5,7,8
15 persen kasus. Sebaliknya pada peningkatan volume cairan amnion derajat sedang
atau berat, kausa teridentifikasi pada lebih dari 90 persen kasus.
Secara spesifik, pada hampir separuh kasus hidramnion sedang dan berat, ditemukan
adanya anomali janin. Namun , hal yang sebaliknya tidak berlaku, dan dalam Spanish
Collaborative Study of Congenital Malformations (ECEMC) terhadap lebih dari 27000
janin dengan anomali, hanya 3,7 persen yang mengalami hidramnion. Tiga persen
lainnya mengalami oligohidramnion. 1,4,5
Tabel 1. Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan hidramnion.
Faktor janin
Faktor ibu
Anomali kongenital
- Obstruksi gastrointestinal
- Abnormalitas sistem saraf pusat
- Higroma kistik
- Hidrops non imun
- Aneuploidi
Sindroma distrofi muskular
Diabetes tak terkontrol
Idiopatik
dikutip dari Cunningham1
Gambar 7. Hidramnion tingkat lanjut
dikutip dari 1
Damato dan kawan-kawan melaporkan hasil pemeriksaan lebih dari 105 wanita yang
dirujuk untuk evaluasi kelebihan cairan amnion. Dengan menggunakan definisi-definis
serupa yang dijelaskan oleh Hill dan kawan-kawan, para peneliti ini mengamati bahwa
hampir 65 persen dari 105 kehamilan ternyata abnormal. Terdapat 47 janin tunggal
dengan satu anomali atau lebih: saluran cerna (15), hidrops non imun(12), susunan
saraf pusat (12), toraks (9), tulang rangka (8), kromosom (7), dan jantung (4). Dari 19
kehamilan kembar, hanya dua yang normal. Dua belas dari 17 sisanya memperlihatkan
transfusi antar kembar. 4,5
Dengan menggunakan indeks cairan amnion yang lebih dari 25 cm sebagai patokan
hidramnion, sebagian besar studi menunjukkan bahwa mortalitas perinatal meningkat
secara bermakna. Dalam suatu laporan oleh Carlson dan kawan-kawan, mengenai 49
wanita dengan indeks 24 cm atau lebih, 22 (44 persen) mengalami malformasi janin
dan enam dari mereka juga mengalami aneuploidi. Terjadi 14 kematian perinatal di
antara ke-49 wanita tersebut. Brady dan kawan-kawan menggunakan indeks 25 cm
atau lebih pada 5000 wanita non rujukan dan menemukan hidramnion tanpa kausa atau
idiopatik pada 125 kasus. Mereka menemukan dua janin dengan trisomi 18 dan dua
dengan trisomi 21. Panting-Kemp dan kawan-kawan mendapatkan bahwa hidramnion
idiopatik tidak disertai dengan peningkatan hasil yang merugikan selain seksio seksaria.
6,9
2. Patogenesis Hidramnion
Pada awal kehamilan, rongga amnion terisi oleh cairan yang komposisinya sangat mirip
dengan cairan ektrasel. Selama paruh pertama kehamilan, pemindahan air dan molekul
kecil lainnya berlangsung tidak saja melalui amnion, tapi juga menembus kulit janin.
Selama trimester kedua, janin mulai berkemih, menelan dan menghirup cairan amnion.
Hampir pasti proses ini secara bermakna mengatur pengendalian volume cairan
amnion.
Karena dalam keadaan normal janin menelan cairan amnion, diperkirakan bahwa
mekanisme ini adalah salah satu cara pengaturan volume cairan amnion. Teori ini
dibenarkan dengan kenyataan bahwa hidramnion hampir selalu terjadi bila janin tidak
dapat menelan, seperti pada kasus atresia esofagus. Proses menelan ini jelas bukan
satu-satunya mekanisme untuk mencegah hidramnion. Pritchard dan Abramovich
mengukur hal ini dan menemukan bahwa pada beberapa kasus hidramnion berat, janin
menelan air ketuban dalam jumlah yang cukup banyak. 1,5,6,9
Pada kasus anesefalus dan spina bifida, faktor etiologinya mungkin adalah
meningkatnya transudasi cairan dari meningen yang terpajan ke dalam rongga amnion.
Penjelasan lain yang mungkin pasca anensefalus, apabila tidak terjadi gangguan
menelan, adalah peningkatan berkemih akibat stimulasi pusat-pusat di serebrospinal
yang tidak terlindung atau berkurangnya efek antidiuretik akibat gangguan sekresi
arginin vasopressin. Hal sebaliknya telah jelas dibuktikan bahwa kelainan janin yang
menyebabkan anuria hampir selalu menyebabkan oligohidramnion.5,6,9
Pada hidramnion yang terjadi pada kehamilan kembar monozigot, diajukan hipotesis
bahwa salah satu janin merampas sebagian besar sirkulasi bersama dan mengalami
hipertropi jantung, yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan luaran urin pada
masa neonates dini, yang mengisyaratkan bahwa hidramnion disebabkan oleh
meningkatnya produksi urin janin.
Hidramnion yang sering terjadi pada diabetes ibu selama trimester ketiga masih belum
dapat diterangkan. Salah satu penjelasannya adalah bahwa hiperglikemia janin yang
menimbulkan diuresis osmotik. Bar Hava dan kawan kawan (1994) membuktikan
bahwa volume air ketuban trimester ketiga pada 399 diabetes gestasional
mencerminkan status glikemik terakhir. Yasuhi dan kawan kawan (1994) melaporkan
peningkatan produksi urin janin pada wanita diabetik yang puasa dibandingkan dengan
kontrol nondiabetik. Yang menarik, produksi urin janin meningkat pada wanita
nondiabetik setelah makan, tetapi hal ini tidak dijumpai pada wanita diabetes.1,5,6,9,10
3. Gejala Klinis
Gejala utama yang meyertai hidramnion terjadi semata-mata karena faktor mekanis dan
terutama disebabkan oleh tekanan di dalam sekitar uterus yang mengalami overdistensi
terhadap organ-organ di dekatnya. Apabila peregangannya berlebihan, ibu dapat
mengalami dispnea dan pada kasus ekstrim, mungkin hanya dapat bernafas bila dalam
posisi tegak. Sering terjadi edema akibat penekanan sistem vena besar oleh uterus
yang sangat besar, terutama di ekstremitas bawah, vulva, dan dinding abdomen.
Walaupun jarang, dapat terjadi oligouria berat akibat obstruksi ureter oleh uterus yang
sangat besar.
Pada hidramnion kronik, penimbunan cairan berlangsung secara bertahap dan wanita
yang bersangkutan mungkin mentoleransi distensi abdomen yang berlebihan tanpa
banyak mengalami rasa tidak nyaman. Namun pada hidramnion akut, distensi abdomen
dapat menyebabkan gangguan yang cukup serius dan mengancam. Hidramnion akut
cenderung muncul pada kehamilan dini dibandingkan dengan bentuk kronik dan dapat
dengan cepat memperbesar uterus. Hidramnion akut biasanya akan menyebabkan
persalinan sebelum usia gestasi 28 minggu, atau gejala dapat menjadi demikian parah
sehingga harus dilakukan intervensi. Pada sebagian besar kasus hidramnion kronik,
tekanan cairan amnion tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan pada kehamilan normal.
Gejala klinis utama pada hidramnion adalah pembesaran uterus disertai kesulitan
dalam meraba bagian-bagian kecil janin dan mendengar denyut jantung janin. Pada
kasus berat, dinding uterus sangat tegang. Membedakan antara hidramnion, asites,
atau kista ovarium yang besar biasanya mudah dilakukan dengan evaluasi
ultrasonografi. Cairan amnion dalam jumlah besar hampir selalu mudah diketahui
sebagai ruang bebas-echo yang sangat besar di antara janin dan dinding uterus atau
plasenta. Kadang mungkin ditemui kelainan janin misalnya anensefalus atau defek
tabung syaraf lain, atau anomali saluran cerna. 1,5,6,9,10
Penyulit tersering pada ibu yang disebabkan oleh hidramnion adalah solusio plasenta,
disfungsi uterus dan perdarahan pasca persalinan. Pemisahan dini plasenta yang luas
kadang-kadang terjadi setelah air ketuban keluar dalam jumlah yang besar karena
berkurangnya luas permukaan uterus di bawah plasenta. Disfungsi uterus dan
perdarahan pasca persalinan terjadi akibat atonia uteri karena overdistensi.
1. Penatalaksanaan Hidramnion
Hidramnion derajat ringan jarang memerlukan terapi. Bahkan yang derajat sedang
dengan sedikit gangguan juga dapat ditangani tanpa intervensi sampai terjadi
persalinan atau sampai selaput ketuban pecah spontan. Tirah baring jarang
berpengaruh pada pasien hidramnion, dan pemberian diuretika serta pembatasan air
dan garam juga biasanya kurang efektif. Baru-baru ini dilakukan terapi indometasin
untuk hidramnion simtomatik.
Amniosentesis
Tujuannya adalah untuk meredakan penderitaan ibu, dan cukup efektif untuk tujuan ini.
Namun amniosentesis kadang memicu persalinan walaupun hanya sebagian kecil
cairan yang dikeluarkan. Elliot dan kawan-kawan (1994) melaporkan hasil-hasil dari 200
amniosentesis pada 94 wanita dengan hidramnion. Kausa umum adalah transfusi antar
kembar (38 %), idiopatik (26 %), anomali janin (17 %) dan diabetes (12%).1,11
Cara melakukan amniosentesis adalah dengan memasukkan sebuah kateter plastik
yang menutupi secara erat sebuah jarum ukuran 18 melalui dinding abdomen yang
telah dianestesi lokal ke dalam kantung amnion. Jarum ditarik dan set infus intravena
disambungkan ke kateter. Ujung selang yang berlawanan diturunkan ke dalam sebuah
silinder berskala yang diletakkan setinggi lantai dan kecepatan aliran air ketuban
dikendalikan dengan klem putar sehingga dikeluarkan sekitar 500 ml/jam. Setelah
sekitar 1500-2000 ml dikeluarkan, ukuran uterus biasanya cukup berkurang sehingga
kateter dapat dikeluarkan. Dengan menggunakan teknik aseptik ketat, tindakan ini
dapat diulang sesuai kebutuhan agar wanita yang bersangkutan merasa nyaman. Elliott
dan kawan-kawan (1994) menggunakan penghisap di dinding dan mengeluarkan 1000
ml dalam 20 menit (50 ml/menit).1,11
Terapi Indomestasin
Dalam ulasan terhadap beberapa penelitian, Kramer dan kawan-kawan (1994)
menyimpulkan bahwa indometasin mengganggu produksi cairan paru atau
meningkatkan penyerapannya, mengurangi produksi urin janin, dan meningkatkan
perpindahan cairan melalui selaput janin. Dosis yang digunakan oleh sebagian besar
peneliti berkisar dari 1,5 3 mg/kg/hari. Cabrol dan kawan-kawan (1987) mengobati 8
wanita dengan hidramnion idiopatik sejak usia gestasi 24-35 minggu dengan
indometasin selama 2-11 minggu . 1,5-7
Hidramnion, yang didefinisikan sebagai minimal 1 kantung cairan ukuran 8 cm,
membaik pada semua kasus. Tidak terjadi efek samping serius dan hasil semua kasus
baik. Kirshon dan kawan-kawan (1990) mengobati 8 wanita (3 kembar) dengan
hidramnion dari minggu ke 21 sampai ke 35. Pada seluruh wanita ini, dilakukan 2
amniosintesis terapeutik sebelum indometasin diberikan. Dari 11 janin, 3 kasus lahir
mati berkaitan dengan sindrom transfusi antar kembar dan satu neonates meninggal
pada usia 3 bulan, 7 bayi sisanya normal. 1,5-7
Mamopoulus dan kawan-kawan (1990) mengobati 15 wanita, 11 mengidap diabetes
yang mengalami hidramnion pada gestasi 25 32 minggu. Mereka diberi indometasin
dan volume cairan amnion pada semua wanita ini berkurang, dari rata-rata 10,7 cm
pada gestasi 27 minggu menjadi 5,9 cm setelah terapi. Hasil akhir pada seluruh
neonatus baik.
Kekhawatiran utama pada penggunaan indometasin adalah kemungkinan penutupan
duktus arteriosus janin. Moise dan kawan-kawan (1988) melaporkan bahwa 50% dari
14 janin yang ibunya mendapat indometasin mengalami konstriksi duktus seperti
dideteksi oleh ultrasonografi Doppler. Studi studi yang dijelaskan sebelumnya tidak
menemukan adanya konstriksi menetap dan penyulit ini juga belum pernah dijelaskan
dalam studi-studi yang memberikan indometasin untuk tokolitik. 1,5-7,11
A. OLIGOHIDRAMNION
Pada kasus-kasus yang jarang, volume air ketuban dapat turun di bawah batas normal
dan kadang-kadang menyusut hingga hanya beberapa ml cairan kental. Penyebab
keadaan ini belum sepenuhnya dipahami. Secara umum, oligohidramnion yang timbul
pada awal kehamilan jarang dijumpai dan sering memiliki prognosis buruk. Marks dan
Divon (1992) menemukan oligohidramnion pada 12% dari 511 kehamilan usia 41
minggu atau lebih pada 121 wanita yang diteliti secara longitudinal terjadi penurunan
rata-rata ICA sebesar 25% perminggu setelah 41 minggu. Akibat berkurangnya cairan,
risiko kompresi tali pusat, dan pada gilirannya gawat janin, meningkat pada semua
persalinan, terutama pada persalinan post term.5,13
Kebocoran kronik suatu defek di selaput ketuban dapat mengurangi volume cairan
dalam jumlah bermakna, tetapi seringkali kemudian segera terjadi persalinan. Pajanan
ke inhibitor enzim pengubah-angiotensin (ACE I) dilaporkan berkaitan dengan
oligohidramnion Sebanyak 15 sampai 25 % kasus berkaitan dengan anomali janin.
Pryde dan kawan-kawan (2000) mampu memvisualisasikan struktur-struktur janin pada
hanya separuh dari wanita yang dirujuk untuk evaluasi ultrasonografi terhadap
oligohidramnion mid trimester. Mereka melakukan amnioinfusi dan kemudian mampu
melihat 77 % dari struktur-struktur yang dicitrakan secara rutin. Identifikasi anomali
terkait meningkat dari 12 menjadi 31 %. 1,5-7
Risiko hipoplasia paru letal adalah 20 %. Hasil yang merugikan lebih besar
kemungkinannya apabila pecah ketuban terjadi lebih dini serta durasinya melebihi 14
hari. Menurut Fox dan Badalian (1994) serta Lauria dan kawan-kwan (1995), terdapat
tiga kemungkinan yang menjadi penyebab hipoplasia paru. Pertama, tertekannya toraks
mungkin menghambat pergerakan dinding dada dan ekspansi paru. Kedua, kurangnya
gerakan napas janin mengurangi aliran masuk ke paru. Ketiga dan model yang paling
luas diterima adalah kegagalan mempertahankan cairan amnion atau meningkatnya
aliran keluar pada paru yang tumbuh-kembangnya terhambat.
Cukup banyaknya cairan amnion yang dihirup olehjanin normal, seperti dibuktikan oleh
Duenhoelter dan Pritchard (1976), mengisyaratkan bahwa cairan yang terhirup tersebut
berperan dalam ekspansi, dan pada gilirannya, pertumbuhan paru. Namun, Fisk dan
kawan-kawan (1992) menyimpulkan bahwa gangguan pernapasan janin tidak
menyebabkan hipoplasia paru pada oligohidramnion.1
Dalam suatu eksperimen unik, McNamara dan kawan-kawan (1995) melaporkan
temuan-temuan dari dua set kembar monoamnionik dengan anomali ginjal yang
berlawanan. Mereka menyajikan bukti bahwa volume cairan amnion yang normal
memungkinkan perkembangan paru normal walaupun terdapat obstruksi ginjal janin
Secara normal, volume cairan amnion secara normal berkurang setelah usia gestasi 35
minggu. Dengan menggunakan indeks cairan amnion kurang dari 5 cm, Casey dan
kawankawan (2000) mendapatkan insidensi oligohidramnion pada 2,3 % dari 6400
kehamilan lebih yang menjalani sonografi setelah minggu ke-34 di Parkland Hospital.
Mereka memastikan pengamatan-pengamatan sebelumnya bahwa hal ini berkaitan
dengan peningkatan risiko hasil perinatal yang merugikan.1
Pada kehamilan yang terpilih karena "risiko tinggi", Magann dan kawan-kawan (1999)
tidak mendapatkan bahwa oligohidramnion (indeks cairan amnion kurang dari 5 cm)
meningkatkan risiko penyulit intrapartum seperti mekonium kental, deselerasi variabel
frekuensi denyut jantung, seksio sesarea atas indikasi gawat janin, atau asidemia neonatus.
Chauhan dkk. (1999) melakukan metaanalisis terhadap 18 penelitian yang meliputi
lebih dari 10.500 kehamilan yang indeks cairan amnion intrapartumnya kurang dari 5
cm. Dibandingkan dengan kontrol yang indeksnya lebih dari 5 cm, wanita dengan
oligohidramnion memperlihatkan peningkatan risiko bermakna untuk seksio sesarea
atas indikasi gawat janin. Kompresi tali pusat selama persalinan sering terjadi pada
oligohidramnion. Sarno dan kawan-kawan (1989, 1990) melaporkan bahwa indeks 5 cm
atau kurang menyebabkan peningkatan angka seksio sesarea sebesar lima kali lipat.
Divon dan kawan-kawan (1995) meneliti 638 kehamilan postterm in partu dan
mengamati bahwa hanya wanita yang indeks cairan amnionnya 5 cm atau kurang yang
mengalami deselerasi frekuensi denyut jantung janin dan mekonium.
Amnioinfusi
Infus kristaloid untuk menggantikan cairan amnion yang berkurang secara patologis
paling sering digunakan selama persalinan untuk mencegah kompresi tali pusat. Hasil
amnioinfusi intrapartum untuk mencegah morbiditas janin akibat air ketuban tercemar
mekonium sering berkaitan dengan oligohidramnion masih belum jelas.
Pierce dan kawan-kawan melakukan meta-analisis terhadap 13 penelitian dengan 1924
wanita yang dibagi secara acak untuk mendapat amnioinfus atau tanpa terapi. Mereka
mendapatkan penuruan bermakna hasil yang merugikan: mekonium di bawah tali pusat
(odds ratio, OR 0,18), sindrom aspirasi mekonium (OR 0,30), asidemia neonatus (OR
0,42), dan angka seksio sesarea (0,74). Wenstrom dan kawan-kawan (1995) mensurvei
departemen-departemen obstetri di fakultas kedokteran dan melaporkan bahwa
amnioinfusi digunakan secara luas dengan penyulit yang relatif sedikit. 1,12,14
IV. PEMERIKSAAN YANG MENGGUNAKAN CAIRAN AMNION
A. Amniosintesis
Obstetri modern menginginkan deteksi kelainan pada kehamilan sedini mungkin . Untuk
membuat diagnosis terrsebut umumnya dipakai sel-sel yang terdapat di dalam cairan
amnion dengan melakukan amniosintesis . Amniosintesis pada saat ini lebih sering
dilakukan melalui transabdominal. Penggunaan amniosintesis antara lain digunakan
dalam manajamen kelahiran preterm , dimana dapat mendeteksi secara cepat adanya
infeksi intraamnion.
Penggunaan lainnya adalah untuk mendeteksi infeksi sitomegalo virus pada janin yang
dilakukan dengan kultur cairan amnion. Hal ini berkaitan dengan adanya reaksi rantai
polymerase yang digunakan untuk mendeteksi DNA virus .
Penggunaan lain amniosintesis adalah untuk mendeteksi kadar alpha AFP dalam cairan
amnion . Deteksi kadar alpha feto protein ini dilakukan jika pada pemeriksaan USG
tidak menunjukkan adanya peningkatan kadar alpha feto protein serum ibu.
Amniosintesis sering digunakan untuk mengkonfirmasi kematangan paru janin, dengan
menggunakan konsentrasi relatif dari surfaktan aktif fosfolipid. Amniosintesis untuk
diagnostik genetik biasanya dilakukan pada usia kehamilan 15-20 minggu, beberapa
pusat studi telah mengkonfirmasikan pada saat itu amniosintesis cukup aman dilakukan
dan mempunyai keakuratan diagnostik 99%. 1,5,11,12
Pada wanita yang berusia 35 tahun amniosintesis rutin dilakukan untuk mendeteksi
adanya kelainan genetik, karena terjadinya peningkatan resiko tersebut . Pada
penyakit-penyakit hemolitik dari janin penggunaan amniosintesis dilakukan untuk
mendeteksi kadar bilirubin dalam cairan amnion. Ketika sel-sel darah janin mengalami
hemolisis, menjadi pigmen-pigmen terutama bilirubin.
Kadar bilirubin dalam cairan amnion berhubungan langsung dengan derajat hemolisis
dan secara tidak langsung memprediksikan anemia pada janin, pengukuran kadar
bilirubin ini menggunakan spektrofometer, yang dilakukan pada lebih 350 - 700
rentang panjang gelombang dan nilai-nilainya ditulis pada suatu kertas semilogaritma
dengan panjang gelombang sebagai koordinat linear dan kepadatan optik sebagai
koordinat logaritma. Selain penggunaan diagnostik, amniosintesis juga digunakan
sebagai terapi seperti kasus-kasus hidroamnion, dengan memindahkan cairan amnion.
Bantuan USG diperlukan untuk memandu jarum spinal ukuran 20-22 mencapai kantong
amnion dengan menghindari plansenta, tali pusat dan janin. Inspirasi awal sekitar 1-2
ml , kemudian cairan tersebut dibuang untuk mengurangi kemungkinan adanya
kontaminasi sel-sel ibu, kemudian lebih kurang 20 ml cairan diambil lagi , kemudian
jarum dilepaskan ,Titik luka di observasi kalau ada perdarahan dan denyut jantung janin
dipantau
Komplikasi kecil seperti bercak perdarahan pada vagina , atau kebocoran amnion
berkisar 1-2 %, dan insiden korioamniotis jauh lebih kecil dari 1 dibandingkan 1000
kejadian.
Kemungkinan terkenanya tusukan jarum pada janin sangat jarang dengan penggunaan
bantuan USG. Kesalahan dalam kultur sel juga sangat jarang tetapi dapat terjadi jika
janin abnormal. Kematian pada janin berkisar kurang dari 0,5 % yang sebagian
dihasilkan karena telah adanya abnormalitas pada janin seperti abrupsi plasenta ,
implantasi abnormal plasenta , anomali uterus dan infeksi.1,4,10,11
B. Shake Test
Shake test atau test busa diperkenalkan oleh clements dan kawan-kawan pada tahun
1972, untuk mempersingkat waktu dan mempunyai akurasi yang lebih tepat dalam
mengukur kadar lesitin sphingomyelin. Tes ini tergantung kepada kemampuan
surfaktan dalam cairan amnion , ketika dicampur dengan ethanol , untuk mendapatkan
busa yang stabil pada batas air dan cairan.15
C. Lumadex- FSI tes
Merupakan suatu tes yang didasarkan dari shake tes untuk mengidentifikasi aktifitas
surfaktan pada cairan amnion. 15
D. Fluoresen Polarisasi (Microviscometri)
Adalah sebuah tes yang menggunakan mikroviskositas dari lemak yang terdapat dalam
cairan amnion , yang kemudian dicampur dengan suatu bahan fluorsensi spesifik yang
berikatan dengan hidrokarbon dari lemak surfaktan . Intensitas dari fluoresensi ini
diinduksi dengan lampu polarisasi kemudian akan diukur. Teknik ini cepat dan mudah
dilakukan, akan tetapi biaya yang diperlukan untuk melakukan tes ini cukup mahal12,15
E. Dipalmitoylphosphatidylcholin (DPPC tes)
Merupakan suatu tes dengan menggunakan pengukuran kadar
Dipalmitoylphosphatidylcholin dalam cairan amnion yang mempunyai sensitifitas dan
spesifisitas 100% dan 96% , yang digunakan untuk mendeteksi gawat nafas pada janin
F. Pemeriksaan untuk mendiagnosis ketuban pecah dini
Ketuban pecah sebelum waktunya (KPSW), terjadi sekitar 4,5-7,6% pada kehamilan.
Jika terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu, dapat diindikasikan mungkin terjadi
amnionitis , dan ini meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. 15
Belakangan ini, dengan ditemukan banyaknya jenis protein yang terkandung dalam
amnion, termasuk prolaktin, alfa fetoprotein, fetal fibronectin, -HCG, dan IGFB-1
(Insulin-Like Growth Factor Binding Protein-1), tentu mempermudah dalam
mendiagnosis ketuban pecah sebelum waktunya. Jenis protein yang cukup menjanjikan
tampaknya adalah IGFBP-1. Untuk mendeteksinya, dengan menggunakan dipstick
immunokromatografi, dimana kadarnya pada cairan amnion 100-1000 kali lebih tinggi
daripada dalam serum, dan keberadaannya dalam cairan vagina menunjukkan
keberadaan cairan amnion, yang merupakan pertanda pasti ketuban pecah sebelum
waktunya (KPSW).15
V. RINGKASAN
Cairan amnion diproduksi oleh janin maupun ibu, dan keduanya memiliki peran
tersendiri pada setiap usia kehamilan. Cairan amnion merupakan komponen penting
bagi pertumbuhan dan perkembangan janin selama kehamilan. Telah diketahui bahwa
cairan amnion berfungsi sebagai kantong pelindung di sekitar janin yang memberikan
ruang bagi janin untuk bergerak, tumbuh meratakan tekanan uterus pada partus, dan
mencegah trauma mekanik dan trauma termal.
Volume cairan amnion pada setiap minggu usia kehamilan bervariasi, secara umum
volume bertambah 10 ml per minggu pada minggu ke 8 usia kehamilan dan meningkat
menjadi 60 ml per minggu pada usia kehamilan 21 minggu, yang kemudian akan
menurun secara bertahap sampai volume yang tetap setelah usia kehamilan 33
minggu. Normal volume cairan amnion bertambah dari 50 ml pada saat usia kehamilan
12 minggu sampai 400 ml pada pertengahan gestasi dan 1000 1500 ml pada saat
aterm. Terdapat 3 cara yang sering dipakai untuk mengetahui jumlah cairan amnion,
dengan tehnik single pocket , dengan memakai Indeks Cairan Amnion (ICA), dan
secara subjektif pemeriksa.
Sumber utama cairan amnion adalah urin janin. Ginjal janin mulai memproduksi urin
sebelum akhir trimester pertama, dan terus berproduksi sampai kehamilan aterm.
Cairan paru janin memiliki peran yang penting dalam pembentukan cairan amnion.
Pada penelitian dengan menggunakan domba, didapatkan bahwa paru-paru janin
memproduksi cairan sampai sekitar 400 ml/hari, dimana 50% dari produksi tersebut
ditelan kembali dan 50% lagi dikeluarkan melalui mulut. Untuk mencapai keseimbangan
dalam regulasi cairan amnion, janin menelan cairan amnion, dan juga
mengabsorbsinya. Sembilan puluh delapan persen cairan amnion adalah air dan
sisanya adalah elektrolit, protein, peptide, karbohidrat, lipid, dan hormon. Faktor
pertumbuhan epidermis (epidermal growth factor, EGF) dan faktor pertumbuhan mirip
EGF, misalnya transforming growth factor-, terdapat di cairan amnion.
Hidramnion dijumpai pada sekitar 1 persen dari semua kehamilan. Sebagian besar
penelitian klinis mendefinisikan hidramnion sebagai cairan amnion yang lebih besar dari
25 cm. Hidramnion terjadi oleh karena berbagai sebab. Dari faktor janin sendiri
misalnya karena anomali kongenital, obstruksi gastrointestinal, hidrops non imun,
aneuploidi. Sedangkan Oligohidramnion , Marks dan Divon (1992) menemukan pada
12% dari 511 kehamilan usia 41 minggu atau lebih pada 121 wanita yang diteliti secara
longitudinal. Berbagai penyebabnya atara lain, dari faktor janin, adalah agenesis ginjal,
kehamian lewat waktu, dan uropati obstruksi, Dari faktor ibu misalnya diabetes mellitus
tak terkontrol, dan idiopatik.Sedangkan Oligohdramnion, Dari faktor janin sendiri
misalnya agenesis ginjal, uropati obstruksi, ketuban pecah sebelum waktunya (KPSW),
hamil post term. Dari faktor ibu misalnya dehidrasi-hipovolemi, penyakit hipertensi,
insufisiensi utero-plasenta, sindrom antiposfolipid, dan idiopatik.
Cairan amnion sering digunakan untuk keperluan diagnosis, misalnya untuk
mengetahui kematangan paru janin, mendeteksi gawat nafas pada janin dan
mendiagnosis ketuban pecah sebelum waktunya.
VI. RUJUKAN
1. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstorm KD.
Williams obstetric. 22nd ed. New York. McGraw-Hill Companies, Inc; 2005.
2. Fox H. The placenta , membranes and umbilical cord. In: Chamberlain G, Steer P,
editors. Turnbulls obstetrics. 3rd ed. London: Churchill Livingstone; 2002.
3. Laughlin D, Knuppel RA. Maternal-placental-fetal unit;fetal & early neonatal
physiology. In: DeCherney AH, Nathan L. Current obstetric & gynecologic diagnosis &
treatment. 9th ed. New York: The McGraw-Hill Companies;2003.
4. Chamberlain G, editor. Obstetrics by ten teacher. 16th ed. New York: Oxford
University Press;1995.
5. Gilbert WM. Amniotic fluid dynamics. NeoReviews 2006;7;e292-e299.
6. Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF, Nygaard I, editors. Danforths obstetrics and
gynecology. 10th ed. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
7. Owen P. Fetal assessment in the third trimester: fetal growth and biophysical
methods. In: Chamberlain G, Steer P, editors. Turnbulls obstetrics. 3rd ed. London:
Churchill Livingstone; 2002;147-9;41-43.
8. Tong XL, Wang L, Gao TB, Qin YG, Xu YP. Potential function of amniotic fluid in fetal
development-Novel insight by comparing the composition of human amniotic fluid with
umbilical cord and maternal serum at mid and late gestation. J Chin Med Assoc. 2009
Jul; 72(7) 368-73.
9. Neilson JP. Fetal medicine in clinical practice. In: Ketih D, Edmons, editors.
Dewhursts textbook of obstetrics and gynaecology for postgraduates. 6th ed. London:
Blackwell Publishing; 1999.
10. Barbati A, Renzo GCD. Main clinical analyses on amniotic fluid. Acta Bio Medica
Ateneo Parmenese. 2004; 75 Suppl 1: 14-17.
11. Pernoll ML. Benson and Pernolls handbook of obstetrics and gynecology. 10th ed.
New York: The McGraw-Hill Companies; 2001.
12. Rodeck CH, Cockell AP. Alloimmunisation in pregnancy: rhesus and other red cell
antigens. In: Chamberlain G, Steer P, editors. Turnbulls obstetrics. 3rd ed. London:
Churchill Livingstone; 2002;256-7.
13. Cudleigh T, Thilaganathan B. Obstetric ultrasound: how , why, and when. 3rd ed.
London. Elsevier Science Limited; 2004.
14. Al-Salami KS, Sada KA. Maternal hydration for increasing amniotic fluid volume in
hydramnions. Bas J Surg. 2007 Sept; 59-62.
15. Hacker NF, Moore JG, Gambone JC. Essentials of obstetric and gynecology.
Edinburgh. Churchill Livingstone; 2004.