Anda di halaman 1dari 5

Ekonomi Islam Vs Ekonomi Neo-Liberal

03 Jul 2008 in Analisis, Ekonomi dan Bisnis 7 Comments


IMF membunuh umat manusia tidak dengan peluru atau rudal, tetapi dengan wabah kelaparan.
(Andres Perez, Mantas Presiden Venezuela, The Ecologist Report, Globalizing Poverty, 2000).
Banyak yang tahu dan paham bahwa baik neo-liberalisme maupun liberalisme adalah kebijakan
ekonomi dunia yang berbahaya yang harus dilawan dan dicegah. Akan tetapi, tidak banyak yang
tahu sistem ekonomi seperti apa yang bisa membendung kebijakan neo-liberalisme ini. Berharap
pada sistem ekonomi Komunisme tentunya tidak bisa. Alih-alih sebagai pengganti, sistem ini
sendiri sudah nyata-nyata ambruk. Pilihannya tinggal satu: sistem ekonomi Islam. Bagaimana
sistem ini mampu menjadi lawan seimbang bagi kapitalisme global?
Kebijakan yang Bertolak Belakang
Secara ideologis Islam dan kapitalisme bertolak belakang. Islam menjadikan akidah Islam
berikut syariatnya sebagai landasan sistem ekonominya. Sebaliknya, dasar sistem ekonomi
kapitalisme adalah sekularisme, yang menghalangi agama terlibat dalam ekonomi. Akibatnya,
kebijakan ekonomi kapitalis lebih didasarkan pada hawa nafsu manusia yang rakus.
Lalu bagaimana pandangan dan solusi Islam terhadap kebijakan ekonomi neo-liberal ini?
1. Persoalan ekonomi: distribusi atau produksi?
Kalangan ekonomi kapitalis (liberal) percaya bahwa persoalan ekonomi terletak pada masalah
produksi. Maksudnya, persoalan ekonomi terletak pada tidak terbatasnya keinginan manusia,
sementara sumberdaya yang diperlukan untuk memenuhinya terbatas. Untuk menghilangkan gap
ini harus dengan peningkatan produksi. Karena itu, hitungan angka rata-rata statistik seperti GDP
(Gros domestik product) dan GNP (gross national product) adalah persoalan penting; tanpa
melihat orang-perorang, apakah mereka sejahtera atau tidak.
Sebaliknya, dalam Islam, persoalan ekonomi terletak pada masalah distribusi kekayaan.
Sebenarnya terdapat sumber-sumber yang cukup untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhan
pokok 6 miliar penduduk dunia. Masalahnya adalah pada pendistribusian. Tidak sahihnya
pendistribusian inilah yang menyebabkan terjadinya kesenjangan yang luar biasa antara negara
maju dan Dunia Ketiga (yang ironisnya mayoritas negeri-negeri Islam).

Sejak 1994-1998, nilai kekayaan bersih 200 orang terkaya di dunia bertambah dari 40 miliar
dolar AS menjadi lebih dari 1 trilun dolar AS; aset tiga orang terkaya di dunia lebih besar dari
GNP 48 negara terbelakang; 1/5 orang terkaya di dunia mengkonsumsi 86% semua barang dan
jasa; 1/5 orang termiskin dunia hanya mengkonsumsi kurang dari 1% saja (The United Nations
Human Development Report, 1999).
Di sinilah peran negara, yang dalam pandangan ekonomi Islam, wajib melakukan
pendistribusian kekayaan ini dengan mekanisme tertentu yang sesuai dengan syariat Islam
sehingga setiap orang terpenuhi kebutuhan pokoknya.
2. Peran negara: perlu atau tidak?
Konsekuensi dari keyakinan tentang persoalan ekonomi di atas, penganut ekonomi neo-liberal
percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai hasil normal dari kompetisi bebas. Harga
barang dan jasa selanjutnya menjadi indikator apakah sumberdaya telah habis atau masih
banyak. Jika harga murah berarti persediaan memadai. Sebaliknya, jika harga mahal berarti
produknya mulai langka. Dalam keadaan harga tinggi, orang akan menanamkan modal kesana.
Oleh sebab itu, harga menjadi tanda apa yang diproduksi. Itulah alasannya, mengapa negara
tidak perlu campur tangan; serahkan saja pada mekanisme dan hukum pasar untuk berkerja.
Sebaliknya, dalam Islam negara memiliki peran yang sangat penting untuk memenuhi
kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan rakyatnya; termasuk pelayanan publik seperti
kesehatan, pendidikan, dan jaminan keamanan. Ini merupakan policy mendasar ekonomi Islam.
Sebab, bisa jadi seorang individu tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya dengan berbagai
alasan seperti cacat tubuhnya atau lemah akalnya, sementara keluarganya tidak cukup untuk
membantu.
Di samping itu negara (daulah Khilafah Islam) harus berperan untuk menjamin
pendistribusian kekayaan berdasarkan syariah seperti: memungut dan membagikan zakat;
melarang penimbunan kekayaan, investasi pada bank ribawi untuk mendapatkan keuntungan dari
bunga, penimbunan emas dan perak, penimbunan barang yang mengancam kewajaran harga
pasar, pemilikan harta milik umum oleh individu/swasta, dsb.
Negara juga bertanggung jawab untuk mengelola kepemilikan umum (milkiyah amah) untuk
kepentingan rakyat banyak, memanfaatkan sumber-sumber pendapatan negara untuk rakyat,
menciptakan situasi perekonomian yang kondusif seperti keluasan lapangan kerja dan
kemampuan yang tinggi dari para pekerja (profesionalitas).
(3) Subsidi bagi rakyat: penting atau tidak?
Menurut ekonom liberal, subsidi adalah racun bagi rakyat. Karena itu, subsidi harus dicabut.
Alasannya, selain bertentangan dengan prinsip menjauhkan campur tangan negara dalam
perekonomian, subsidi juga bertentangan dengan prinsip pasar bebas. Ini pula alasan mengapa
dalam kebijakan ekonomi neo-liberal harus ada privatisasi perusahaan yang dikelola negara agar
tidak menghalangi terjadinya persaingan bebas dalam pasar bebas.

Sebaliknya, dalam Islam, karena prinsip politik ekonominya adalah menjamin kebutuhan
pokok tiap individu rakyat, adalah wajar bahkan wajib negara memberikan bantuan secara gratis
kalau memang ada rakyat yang tidak terpenuhi kebutuhan pokoknya. Adalah tanggung jawab
negara juga menyediakan fasilitas kebutuhan kolektif masyarakat yang vital seperti kesehatan,
pendidikan, transportasi, dan keamanan secara murah. Apalagi biaya untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut memang milik rakyat (milkiyah mah) dan digunakan untuk
kepentingan rakyat.
Terbukti pula bahwa pencabutan subsidi dalam kebijakan ekonomi neo-liberal telah
mengsengsarakan rakyat. Kebutuhan pokok rakyat pun terbaikan. Beban mereka semakin berat
akibat negara lepas tangan dalam masalah pendidikan, pendidikan, dan kesehatan yang mahal
akibat diserahkan ke mekanisme pasar (privatisasi).
(4) Pasar bebas atau tidak?
Jelas, dalam pandangan neo-liberal harus ada liberalisasi perdagangan dalam bentuk pasar
bebas. Agenda utama liberalisasi perdagangan adalah penghapusan hambatan non-tarif (proteksi)
dan penurunan tarif perdagangan dalam transaksi perdagangan internasional. Tujuannya, masih
menurut ekenom neo-liberal, untuk memacu semakin meningkatnya volume perdagangan
antarnegara di seluruh dunia. Mereka berharap, kalau volumenya bertambah akan menjadi motor
penggerak bagi percepatan pertumbuhan ekonomi dunia yang berkelanjutan (Kruman dan
Obstfeld, ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan, 2002).
Persoalannya, persaingan ini tidak seimbang. Dengan perbedaan struktur, perkembangan
ekonomi, dan ketimpangan kemampuan sains dan teknologi, negara terbelakang tidak akan
mampu bersaing melawan negara maju. Yang terjadi adalah dominasi negara-negara maju dalam
perdagangan dunia yang membuat mereka semakin untung; negara terkebelakang hanya jadi
obyek dalam pasar bebas ini. Celakanya lagi, sektor-sektor industri yang selama ini menjadi
tumpuan masyarakat seperti pertanian dan sektor informal disikat habis akibat
ketidakseimbangan persaingan ini. Tanah pertanian mereka pun digusur menjadi industri pabrik
pemilik modal besar.
Apalagi kalau perusahan-perusahan transnasional ini masuk pada industri yang sebenarnya
termasuk dalam kategori milik umum (milkiyah amah) seperti minyak, air, atau tambang emas;
pastilah negara terbelakang akan kalah bersaing. Akibatnya, lewat keunggulan modal dan
teknologi, kekayaan alam negara-negara terbelakang itu disedot habis oleh negara maju.
Perdagangan bebas dan investasi asing menjadi senjatanya. Negara terbelakang pun semakin
termiskinkan. Mereka menjadi kuli di tanah air mereka sendiri.
Dalam Islam sendiri, dibedakan antara perdagangan dalam negeri dan luar negeri.
Perdagangan dalam negeri berkaitan dengan aktivitas antar rakyat (warga) negara daulah
Khilafah sendiri. Aktivitas ini tidak butuh campur tangan negara. Hanya saja, aktivitas ini tetap
membutuhkan pengarahan secara umum agar tiap individu yang melakukan perdagangan terikat
pada hukum syariat dalam jual-belinya; termasuk memberikan sanksi terhadap pihak-pihak yang
melanggar. (Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun ekonomi Alternatif Persfektif Islam, hlm. 325).

Berkaitan dengan perdagangan dalam negeri ini negara tidak boleh mematok harga tertentu
untuk barang, apapun alasannya. Harga barang diserahkan kepada pasar.
Adapun perdagangan luar negeri adalah aktivitas jual-beli yang berlangsung antara bangsa
dan umat. Oleh karena itu, negara akan campur tangan. Hubungan-hubungan antarbangsa seperti
ini harus tunduk pada kekuasaan negara; negaralah yang mengatur dan mengarahkan
perdagangan tersebut secara langsung. Islam dalam konteks ini menolak perdagangan bebas.
Negara Khilafah Islam akan melarang dikeluarkannya beberapa komoditi dan membolehkan
komiditi lain sesuai dengan pertimbangan syariat. Negara Khilafah tentu saja akan melarang
warganya yang menjual senjata kepada pasukan musuh, misalnya. Negara juga tidak
membolehkan pihak asing untuk melakukan investasi untuk menguasai sektor-sektor yang
berhubungan dengan pemilikan umum, seperti minyak dan tambang emas. Perusahan-perusahan
multinasional tidak akan dibolehkan memanfaatkan apalagi memiliki sumber-sumber alam
negara Khilafah.
Negara juga akan campur tangan dalam pelaku bisnis kafir harbi atau muhad. Sebab,
prinsip yang diadopsi oleh negara Khilafah dalam aktivitas perdagangan ini adalah prinsip asalmuasal (kewarganegaraan) pedagangnya, bukan asal-muasal komoditasnya. Dalam hal ini,
Negara Khilafah tidak akan mengadakan hubungan dagang dengan negara-negara yang
memerangi kaum muslim secara langsung (muhriban filan) seperti AS, Inggris, dan Israel.
Intervensi negara tersebut bukan sebatas kepentingan ekonomi, tetapi juga untuk tujuan-tujuan
politik sekaligus mengemban dakwah.
Negara Khilafah pada prinsipnya akan menolak setiap perdagangan yang justru memberikan
jalan bagi pihak luar untuk menguasai dan mendominasi negara seperti yang terjadi sekarang ini.
Setiap warga negara berkewajiban mengamankan negara sehingga tidak bergantung pada
produk-produk asing yang mengancam kemandirian negara. Warganegara didorong untuk
memperkuat dan memanfaatkan produk lokal serta mendorong ekspor. Dalam hal ini, negara
boleh memproteksi pasar dalam negeri dari masuknya barang-barang yang justru mengancam
industri dalam negeri seperti dalam bidang pertanian.
(5) Liberalisasi keuangan: diterima atau ditolak?
Pada dasarnya liberalisasi keuangan dalam kebijakan ekonomi neo-liberal ditujukan untuk
mendorong pengintegrasian sebuah negara secara penuh ke dalam sistem perekonomian dan
keuangan internasional. Dengan demikian, akan terbentuk jalan bebas hambatan bagi
berlangsungnya transaksi keuangan dan perdagangan antar berbagai negara di seluruh dunia
(Singh, Memahami Globalisasi Keuangan, 1998).
Persoalannya, akibat liberalisasi ini negara-negara miskin sangat rentan terhadap berbagai
gejolak dan spekulasi moneter yang dilakukan spekulan internasional dari negara kaya tertentu.
Banyak pihak yang percaya, krisis moneter di Asia pada 1997, yang kemudian juga menguncang
Indonesia, merupakan permainan para spekulan internasional ini.
Apalagi liberalisasi keuangan berarti menjadikan dolar sebagai mata uang yang dominan di
dunia internasional. AS memegang kendali nilai mata uang dunia dan dengan mudah

mempengaruhi perekonomian negara lain. Dolar kemudian menjadi alat penjajahan AS di dunia
internasional.
Dalam hal ini, Negara Khilafah akan menerapkan sistem mata uang dengan standar emas dan
perak, bukan dolar. Dengan demikian, sistem moneter internasional akan terjadi secara adil.
Siapapun yang ingin mencetak uang kertas harus mengupayakan persediaan emas dan perak
yang setara. Berbeda dengan saat ini, AS hanya tinggal mencetak uang kertas, sementara negara
lain harus melakukan jual-beli untuk mendapat dolar. Percetakan uang kertas dalam jumlah yang
berlebihan dan tidak diimbangi dengan kekayaan real juga telah menjadi akar penyebab inflasi.
(6) Ihwal privatisasi BUMN.
Kebijakan privatisasi BUMN sesungguhnya menjadi agenda utama kebijakan ekonomi neoliberal. Tentu saja hal ini menyebabkan dieksploitasinya kekayaan negara yang seharusnya
digunakan untuk rakyat oleh perusahaan swasta, terutama transnasional. Kekayaan yang
seharusnya bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat, memenuhi kebutuhan pokok rakyat,
pendidikan dan kesehatan gratis justru jatuh ke individu-individu. Wajarlah jika Indonesia yang
kekayaan alamnya luar biasa, rakyatnya harus hidup miskin.
Dalam Islam kepemilikan dibagi tiga: individu, umum, dan negara. Yang termasuk dalam
kategori kepemilikan umum adalah:
(1) segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital rakyat, yang ketiadaannya akan menyebabkan
kehidupan masyarakat tidak berjalan baik seperti air dan sumber energi (gas, listrik, minyak
bumi, tambang batu bara, dll);
(2) berbagai komoditas yang secara alamiah tidak bisa dimiliki secara pribadi seperti lautan,
sungai, taman umum, masjid, jalan umum, termasuk kereta api maupun alat transportasi
lainnya;
(3) barang tambang yang depositnya tidak terbatas seperti sumberdaya mineral (garam, besi,
emas, perak, timah dll).
Semua yang termasuk dalam kepemilikan umum tidak boleh dimiliki oleh individu atau
swasta (seperti perusahan multi nasional) dan bukan pula milik negara. Negara hanya
mengelolanya saja; hasil pendapatannya diserahkan ke Baitul Mal yang digunakan untuk
kepentingan rakyat. Jadi, bisa kita bayangkan, betapa banyaknya sumber kas Baitul Mal.
Agenda ke Depan
Tentu saja, kebijakan ekonomi Islam di atas harus dijalankan secara komprehensif. Karena itu,
agenda umat Islam ke depan adalah membangun sistem politik untuk itu, yaitu daulah Khilafah
Islam. Negara global inilah yang akan menggeser dan menundukkan arogansi dan kerakusan
negara-negara kapitalis lewat kebajikan ekonomi neo-liberalnya yang merugikan umat manusia
saat ini. Wallhu alam. (M. Arif Adiningrat dan Farid Wadjdi)

Anda mungkin juga menyukai