BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sholat merupakan hal yang wajib dikerjakan bagi umat Islam, dan sholat
juga kewajiban yang tidak bisa di tinggalkan bagaimanapun keadaannya. Kecuali
oleh orang yang tidak boleh sholat. Di dalam sholat banyak sekali pengerjaanya,
seperti sholatnya orang yang sakit, sholat orang yang sedang berpergian dan
masih banyak lagi sholat-sholat ketentuannya berbeda dari sholat pada umumnya.
Pada pembahasan kali ini pemakalah akan membahas tentang sholatnya orang
yang sedang berpergian, dalam melaksanakan sholat pada saat berpergian ada dua
macam yaitu sholat jama dan qashar, orang yang sedang berpergian bisa
meringkas atau mengabungkan dua sholat sekaligus, oleh karena itu walaupun
sedang berpergian kita tidak bisa meninggalkan sholat bagaimanapun alasannya.
Dalam pembahasan kali ini pemakalah akan memeparkan hadist yang
berkenan tentang sholat qashar, sehingga kita bisa tau bahwa tuntunan dan ajaran
sholat qashar itu dari rosullullah, bukan dari para sahabat atau ulama sehingga
tidak adanya salah paham dikalangan umat Islam sendiri. Dalam hadist ini
pemakalah akan menafsirkan hadist tentang sholat qashar sehingga setelah
ditafsirkan kita akan tahu isi kandungan dan maksud dari hadist tersebut. Dan
semoga dari penjelaslan dan pemaparan kami dapat bermanfaat bagi kita semua
khususnya bagi pemakalah sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Hadith Meringkas Shalat dan Lamanya Bermukim yang
Diperbolehkan untuk Meringkas Shalat?
2. Apa Penadapat Ulama Tentang Hadith Meringakas Shalat dan
Lamanya Bermukim yang Diperbolehkan untuk Meringkas Shalat?
3. Apa Penalaran Ushul Tentang Hadith Meringakas Shalat dan Lamanya
Bermukim yang Diperbolehkan untuk Meringkas Shalat?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui Hadith Meringkas Shalat dan Lamanya Bermukim yang
Diperbolehkan untuk Meringkas Shalat.
2. Mengetahui Penadapat Ulama Tentang Hadith Meringakas Shalat dan
Lamanya Bermukim yang Diperbolehkan untuk Meringkas Shalat.
3. Mengetahui Penalaran Ushul Tentang Hadith Meringakas Shalat dan
Lamanya Bermukim yang Diperbolehkan untuk Meringkas Shalat.
BAB II
PEMBAHASAN
(42 /2)
: :
" : :
" : :
(BUKHARI): Telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar berkata, telah
menceritakan kepada kami 'Abdul Warits berkata, telah menceritakan kepada
kami Yahya bin Abu Ishaq berkata; Aku mendengar Anas radliallahu 'anhu
berkata: "Kami pernah bepergian bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
dari kota Madinah menuju kota Makkah, selama kepergian itu Beliau
melaksanakan shalat dua raka'at dua raka'at hingga kami kembali ke
Madinah. Aku tanyakan: 'Berapa lama kalian bermukim di Makkah?" Dia
menjawab: "Kami bermukim disana selama sepuluh hari".1
Dari keumuman lafadz hadith tersebut, dapat diketahui bahwa, Nabi saat
melakukan perjalanan dari Madinah ke Makkah melaksanakan shalat qashar
selama perjalanan itu. Jika dilihat dari keterangan hadith diatas maka
ketetntuan orang boleh mengqashar shalat adalah selama sepuluh hari.
Namun, tidak dijelaskan shalat apa saja yang diqashar hanya disebutkan
shalat dua rakaat dua rakaat.
B. Pendapat Ulama
Maksud melaksanakan shalat dua rakaat dua rakaat dalam hadith ini
adalah mengqashar shalat, Mengqashar shalat adalah meringkas shalat yang
empat menjadi dua rakaat. Ibnu Mundzir serta lainnya menukil Ijma ulama
tentang tidak adanya qashar dalam shalat Subuh dan Maghrib. Menurut
keterangan ini jelaslah bahwa meringkas shalat ini hanya dilakukan pada
1
shalat selain Subuh dan Maghrib, yaitu Dhuhur, Ashar, dan Isya. 2 Adapun
keterangan lain bahwa dua rakaat dua rakaat ini seluruh shalat kecuali
Maghrib.
Imam Nawawi berkata bahwa jumhur ulama membolehkan meringkas
shalat pada setiap perjalanan yang mubah. Sementara sebagian ulama salaf
mensyaratkan adanya rasa takut saat safar, dan sebagian lainnya mengatakan
bahwa perjalanan itu untuk haji atau umrah maupun jihad. Sebagian lain
mengatakan bahwa perjalanan itu adalah dalam rangka ketaatan. Sementara
Abu Hanifah dan Ats-Tsauri mengatakan bolehnya meringkas shalat pada
semua perjalanan, baik dalam rangka ketaatan maupun maksiat.3
Dijelaskan dalam Fathul Baari, bahwa hadith ini menerangkan shalat
Nabi saat melakukan perjalanan haji wada. Beliau, Nabi SAW keluar dari
Makkah pada waktu pagi di hari ke-empat belas bulan Dzulhijjah, maka masa
beliau bermukim di Makkah dan sekitarnya adalah sepuluh hari. Adapun lama
waktu beliau bermukim di Makkah adalah selama empat hari, karena beliau
keluar dari Makkah pada hari ke-delapan bulan Dzulhijjah dan shalat Dhuhur
di mina. Berdasarkan hal ini maka imam Syafii mengatakan bahwa
sesungguhnya apabila musafir bermukim di suatu negeri, maka ia boleh
meringkas shalat selama empat hari. Sementara imam Ahmad mengatakan
sebanyak dua puluh satu shalat.4
Dalam Fathul Baari, menurut Ibnu Rasyid, maksud Imam Bukhari, hadith
ini sebagai penjelas terhadap hadith yang diriwayatkan Ibnu Abbas, tentang
meringkas shalat selama sembilan belas hari, dan jika lebih dari itu
menyempurnakannya (shalatnya), dan dalam hadith Anas ini menjelaskan
bahwa sepuluh hari itu (saat bermukim), termasuk dalam cakupan sembilan
belas harinya hadith Ibnu Abbas. Artinya Imam Bukhari hendak
mengisyaratkan bahwa keharusan berpegang dengan keterangan tambahan
2
3
4
perlu ditinjau kembali sebab yang demikian hanya berlaku apabila kedua
hadith sama-sama mengisahkan satu kejadian. Sedangkan kedua hadith ini
mengisahkan kejadian yang berbeda. Yaitu pada hadith Ibnu Abbas, tentang
penaklukan Makkah, sedangkan hadith Anas adalah tentang haji wada.5
Masa mukim yang disebutkan dalam hadith ini bisa dijadikan dalil oleh
mereka yang telah berniat untuk mukim, sebab Nabi SAW pada saat haji telah
berniat untuk bermukim pada hari-hari tersebut. Dalam hadith ini dijelaskan
pula bahwa singgah di suatu negeri saat melakukan perjalanan disebut
mukim, dan tempat-tempat yang berada disekitar suatu negeri boleh diberi
nama negeri tersebut. Sebab Mina dan Arafah tidak termasuk wilayah
Makkah, kecuali jika Makkah dikatakan mencakup seluruh semua wilayah
haram (tanah suci).6
Imam Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa dalam hadith ini tidak ada
indikasi dalil selain pernyataan tentang lama beliau, Nabi SAW, bermukim
sejak masuk Makkah hingga keluar saat menunaikan haji. Dengan kata lain
hadith ini menunjukkan tentang dalil tentang lamanya beliau meringkas
shalat, sejak masuk Makkah hingga keluar saat menunaikan haji.7
Al Muhib Ath-Thabari mengatakan bahwa masa mukim Nabi di tempattempat ini dinamakan masa mukim di Makkah, sebab tempat-tempat itu
merupakan tempat pelaksanaan manasik haji, sehingga hukum tempat itu
mengikuti hukum Makkah yang merupakan maksud utama (pelaksanaan
haji).8
C. Penalaran Ushul
5
6
7
8
Ibid, 118.
Ibid.
Ibid, 119.
Ibid.
Dilihat dari lafadznya hadith ini bukan termasuk hadith am, kendati
demikian, hadith ini masih membutuhkan penjelasan lagi di dalam beberapa
lafadznya. Di sisi lain hadith ini merupakan hadith penjelas, seperti yang
disampaikan Ibnu Rasyid dalam pendapat ulama pada poin sebelumnya.
Dari penjelasan ulama sebelumnya, kita dapat mengetahui bahwa hadith
ini perlu di analisis kembali, seperti lafadz ini, masih memerlukan
penjelasan tentang tujuan beliau keluar dari Madinah. Dalam Syarah Nawawi
atas Muslim, dijelaskan bahwa maksud tujuan Nabi keluar dari Madinah
adalah untuk haji wada. Jadi hadith ini memuat kejadian saat beliau
melaksanakan haji wada. Hal ini dijelaskan dalam hadith:
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il berkata, telah
menceritakan kepada kami Wuhaib berkata, telah menceritakan kepada kami
Ayyub dari Abu Al 'Aliyah Al Barra' dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma
berkata: "Pernah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya
datang pada shubuh keempat yang ketika itu mereka niatkan untuk haji, lantas
Beliau memerintahkan mereka agar menjadikannya sebagai 'umrah kecuali
bagi siapa yang membawa hewan sembelihan". Hadits ini juga diikuti oleh
'Atho' dari Jabir. (H.R. Bukhari)
Kemudian lafadz
dalam ini hadith masih terlihat
umum, apakah semua shalat, ataukah hanya shalat-shalat tertentu yang
dilakukan. Seperti yang telah disebutkan dalam pandangan ulama, Ibnu
Mundzir serta lainnya menukil Ijma ulama tentang tidak adanya qashar
dalam shalat Subuh dan Maghrib. Menurut keterangan ini jelaslah bahwa
meringkas shalat ini hanya dilakukan pada shalat selain Subuh dan Maghrib,
yaitu Dhuhur, Ashar, dan Isya. Adapun keterangan lain bahwa dua rakaat dua
rakaat ini seluruh shalat kecuali Maghrib.
Lalu lafadz ini menurut penulis, setelah menelaah dalam Fathul
Baari, menunjukkan bahwa beliau tidak bermukim pada Makkah saja, namun
juga di tempat-tempat sekitarnya, Mina dan Arafah. Hal ini seperti dikatakan
oleh Ath-Thabari sebagai masa mukim di Makkah. Tetapi masa mukim beliau
yang paling lama adalah di Makkah, adapun tempat-tempat yang disebutkan
tadi hanya untuk bermukim sejenak bersamaan dengan melakukan prosesi
ibadah haji. Namun ada perbedaan tentang kebolehan penduduk Makkah
untuk mengqashar shalat di Mina, berdasarkan hadith berikut:
Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan
kepada kami Yahya dari 'Ubaidullah berkata, telah mengabarkan kepada saya
Nafi' dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhuma berkata: "Aku pernah
shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di kota Mina dua raka'at.
Begitu juga ketika aku shalat bersama Abu Bakar, 'Umar dan juga bersama
'Utsman pada awal pemerintahannya. Namun beliau di kemudian hari
menyempurnakannya (empat raka'at). (H.R. Bukhari)
Dan pada hadith berikut:
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id berkata, telah
menceritakan kepada kami 'Abdul Wahid bin Ziyad dari Al A'masy berkata,
telah menceritakan kepada kami Ibrahim berkata; Aku mendengar
'Abdurrahman bin Yazid berkata; 'Usman bin 'Affan radliallahu 'anhu pernah
shalat bersama kami di Mina sebanyak empat raka'at. Kemudian hal ini
disampaikan kepada Ibnu Mas'ud radliallahu 'anhu maka dia mengucapkan
istirja' (innaa lillahi wa innaa ilahi raji'un) kemudian berkata: "Sungguh aku
selalu shalat bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di Mina
sebanyak dua raka'at. Begitu juga aku shalat bersama Abu Bakat Ash-Shiddiq
radliallahu 'anhu di Mina sebanyak dua raka'at. Juga aku pernah shalat 'Umar
bin Al Khaththob radliallahu 'anhu di Mina sebanyak dua raka'at. Namun aku
berharap shalat yang empat raka'at maupun dua raka'at keduanya diterima".
(H.R. Bukhari)
Pada hadith-hadith di atas dapat diketahui bahwa Abu Bakar, Umar, dan
Uthman, melakukan shalat di Mina sebanyak 2 rakaat, tetapi kemudian
Uthman menyempurnakanna menjadi 4 rakaat. Seperti pada hadith riwayat
Ahmad, namun hadith ini dinilai lemah, hadithnya adalah :
Telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id mantan hamba sahaya Bani
Hasyim, Telah menceritakan kepada kami 'Ikrimah Bin Ibrahim Al Bahili
Telah menceritakan kepada kami Abdullah Bin Abdurrahman Bin Abu
Dzubab dari bapaknya bahwa Utsman Bin Affan shalat di Mina empat rakaat,
maka orang-orang mengingkarinya, kemudian dia berkata; "Wahai manusia,
sesungguhnya aku memulai ihram di Makkah sejak kedatanganku, dan
sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Barangsiapa memulai ihram di negri (Makkah) maka shalatlah
seperti shalatnya orang yang mukim (menetap)." (H.R. Ahmad)
10
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.
Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu (anNisa: 101)
Dan pada hadith :
11
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Muhammad berkata, telah
menceritakan kepada kami Sufyan dari Az Zuhriy dari 'Urwah dari 'Aisyah
radliallahu 'anha berkata: "Awal mula diwajibkannya shalat sebanyak dua
raka'at. Kemudian ketentuan ini ditetapkan untuk shalat safar (dalam
bepergian) dan disempurnakan bagi shalat di tempat tinggal (mukim) ".
Berkata, Az Zuhriy: "Aku bertanya kepada 'Urwah: "Mengapa 'Aisyah
radliallahu 'anha menyempurnakan?" 'Urwah menjawab: "Dia mengikuti
seperti yang dilakukan 'Utsman". (H.R. Bukhari)
Dari dalil di atas selain keterangan bahwa shalat qashar itu dibolehkan
karena qashar merupakan suatu keringanan yang diberikan Allah, juga qashar
boleh dilakukan dalam semua perjalanan, hal ini juga diperkuat dengan dalil
berikut:
menceritakan kepada kami Abu 'Awanah dari 'Ashim dari Hushain dari
'Ikrimah dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata: "Nabi shallallahu
'alaihi wasallam pernah menetap (dalam bepergian) selama sembilan belas
hari dengan mengqashar (meringkas) shalat. Maka kami bila bepergian
selama sembilan belas hari mengqashar solat. Bila lebih dari itu, kami
menyempurnakan shalat". (H.R. Bukhari)
12
13
Daftar Pustaka
Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist
Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari, jilid 6