Anda di halaman 1dari 18

EPIDEMIOLOGI MALNUTRISI PADA ANAK

Oleh: R. Dwi Budiningsari


Garis Besar Topik:
1. Distribusi dan Determinan Masalah Malnutrisi Pada Anak.
2. Penyebab Masalah Malnutrisi Pada Anak.
3. Implikasi Masalah Malnutrisi Pada Anak.
4. Identifikasi Masalah Malnutrisi Pada Anak Menurut Tempat, Waktu, dan
Orang.
5. Penanganan dan Pencegahan Masalah Malnutrisi Pada Anak.

Sasaran Belajar:
Setelah mengikuti kuliah ini, mahasiswa diharapkan dapat:
a. Mengetahui distribusi dan determinan masalah malnutrisi pada anak.
b. Mengetahui penyebab masalah malnutrisi pada anak.
c. Mengetahui implikasi masalah malnutrisi pada anak.
d. Mengidentifikasi masalah malnutrisi pada anak menurut tempat, waktu, dan
orang.
e. Mengetahui cara penanganan dan pencegahan masalah malnutrisi pada
anak.

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 1

1 Distribusi dan Determinan Masalah Malnutrisi Pada Anak


Malnutrisi

diartikan

sebagai

kondisi

kelebihan

maupun

konsumsi terhadap salah satu atau beberapa zat gizi esensial.

kekurangan

Malnutrisi pada

anak dapat berupa Kekurangan Energi dan Protein (KEP), Anemia Gizi Besi,
Kekurangan Vitamin A (KVA), serta Gangguan Akibat Kekurangan Yodium
(GAKY). Topik ini hanya akan memfokuskan pada masalah malnutrisi Kekurangan
Energi dan Protein (KEP).
Di antara seluruh penyebab utama kematian di antara anak di bawah umur
lima tahun, sebanyak 60% berhubungan erat dengan kejadian malnutrisi
Kekurangan Energi dan Protein.

Penyebab-penyebab kematian tersebut terdiri

dari pneumonia (20%), diare (12%), malaria (8%), campak (5%), HIV/AIDS (4%),
perinatal (22%), serta lain-lain (29%). Lebih jelasnya terlihat pada Gambar 1.

100%
80%
60%
40%
20%
0%
Diarrhoea

Malaria

Pneumonia

Measles

All-cause

Proportion of deaths associated with undernutrition

All Deaths

Gambar 1. Kontribusi Masalah Kurang Energi Protein terhadap Kematian


Anak Balita Berdasarkan Penyebab

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 2

Kekurangan Energi dan Protein (KEP) pada anak dibedakan menjadi dua
macam, yaitu marasmus dan kwashiorkor.

Marasmus merupakan kekurangan

energi pada tingkat berat yang telah dimanifestasikan ke dalam gejala klinis.
Biasanya gejala klinis ini dicirikan oleh kulit yang hanya terbalut tulang, rambut
tipis, serta wajah menyerupai orang tua (monkey face). Selain itu, pada anak yang
menderita marasmus juga kerap terjadi hipoglikemia (kadar gula darah yang
rendah) dan hipotermia (suhu tubuh yang rendah).
Kwashiorkor merupakan kekurangan protein pada tingkat berat yang juga
telah dapat diamati dari gejala-gejala klinis yang timbul. Gejala klinis pada anak
yang menderita kwashiorkor antara lain terjadinya edema yang dimulai di kaki dan
telapak kaki; kulit luka dan kering dengan hiperkeratosis dan hiperpigmentasi;
rambut rontok dan kering; serta anoreksia dengan muntah dan diare.
Kejadian malnutrisi pada anak merupakan masalah yang serius dan banyak
terjadi di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang. Pada tahun 2001,
sebanyak 36% anak di seluruh dunia menderita underweight (berat badan yang
rendah menurut umur), 43% lainnya menderita stunted (tinggi badan yang rendah
menurut tinggi badan), serta 9% anak di seluruh dunia menderita wasted (berat
badan yang rendah menurut tinggi badan).
Kecenderungan terjadinya malnutrisi pada anak berdasarkan tahun di
berbagai wilayah di seluruh dunia yang terdiri dari wilayah Afrika, Asia, dan
Amerika, ditunjukkan pada Gambar 2.

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 3

Child
Malnutrition

60
40
20
0

1975

1985

1995

Year
SS Africa

Asia/Naf

C/S Americ

Gambar 2. Kecenderungan Kejadian Malnutrisi Pada Anak Berdasarkan Wilayah

Berdasarkan Gambar 2, dapat diketahui bahwa di wilayah Afrika, kejadian


malnutrisi pada anak cenderung meningkat dari tahun ke tahun mulai 1975, 1985,
dan 1995. Adapun di wilayah Asia dan Amerika, kejadian malnutrisi pada anak
cenderung menurun pada kurun waktu tersebut. Kejadian malnutrisi pada anak
yang paling banyak pada tahun 1975 terjadi di wilayah Asia (45%), sedangkan di
wilayah Afrika dan Amerika relatif sama yaitu sebesar 25%. Pada tahun 1995,
angka kejadian malnutrisi pada anak di wilayah Asia dan Afrika relatif sama yaitu
sebesar 29%. Sebaliknya di wilayah Amerika, kejadian malnutrisi pada anak
menurun tajam menjadi 10% di tahun 1995.

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 4

2. Penyebab Masalah Malnutrisi Pada Anak


Timbulnya masalah malnutrisi pada anak disebabkan oleh berbagai
penyebab yang kompleks. Penyebab masalah malnutrisi pada anak terdiri dari
penyebab mendasar (basic causes), penyebab yang mendasari (underlying
causes), serta penyebab langsung (immediate causes).

Lebih jelasnya dapat

dilihat pada Gambar 3.


Child Malnutrition

outcome

Asupan
makanan yang
tidak cukup

Penyebab
langsung

Penyakit

Sanitasi
Praktek pengasuhan anak
yanglingkungan
kurang baikdan pelayanan kesehatan
Akses terhadap makanan yang tidak memadai
yang buruk Penyebab

yang

health services
mendasari

Jumlah/mutu dan cara pengendalian sumberdaya


aktual & the way

they are controlled

Sumberdaya potensial: lingkungan, teknologi, manusia

Penyebab
mendasar

environment,

Technology, people
Gambar 3. Penyebab Malnutrisi Pada Anak

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 5

3. Implikasi Masalah Malnutrisi Pada Anak


Masalah malnutrisi pada anak mempunyai implikasi yang sangat berat bagi
masa depan anak tersebut karena menyangkut pertumbuhan, perkembangan, dan
intelektualitas. Lebih jauh lagi, implikasi ini bersifat tidak dapat diperbaiki lagi pada
saat anak sudah mencapai usia tertentu (irreversible). Oleh karena itu kejadian
malnutrisi pada anak sering disebut sebagai ancaman generasi yang hilang (the
lost generation) mengingat kualitas anak, baik kecerdasan maupun perkembangan
fisik mereka, jauh menurun dibandingkan generasi sebelumnya.
Implikasi malnutrisi pada anak yaitu tinggi badan yang rendah menurut
umur (stunting), berat badan yang rendah menurut tinggi badan (wasting), berat
badan yang rendah menurut umur (underweight), serta rawan terhadap berbagai
penyakit infeksi, seperti pneumonia, diare, malaria, HIV/AIDS, dan sebagainya.
Lebih jauh lagi, implikasi malnutrisi pada anak menyebabkan tingkat intelektualitas
anak menjadi rendah.

4 Identifikasi Masalah Malnutrisi Pada Anak Menurut Tempat, Waktu, dan


Orang
Informasi adanya masalah malnutrisi pada anak diketahui dari sistem
informasi kesehatan yang rutin di masyarakat, mulai dari tingkat posyandu,
puskesmas, maupun rumah sakit. Sistem informasi epidemiologi ini umumnya
menyediakan informasi tentang frekuensi dan distribusi penyebab utama masalah
malnutrisi pada anak dan kematian akibat masalah gizi tersebut di daerah
setempat.

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 6

Dalam mengidentifikasi adanya masalah malnutrisi pada anak, perlu


didasarkan pada tempat, waktu, dan populasi yang terkena malnutrisi.

Dalam

hubungannya dengan tempat, perlu diketahui dengan jelas di manakah masalah


malnutrisi terjadi, baik tempat tinggal, distribusi geografi, maupun tempat timbulnya
paparan. Tempat tinggal suatu keluarga dapat menunjukkan sebagian dari
masalah malnutrisi yang diderita anak dalam keluarga tersebut, maupun manfaat
yang telah diperoleh dari pelayanan gizi yang ada di daerah tersebut. Variabel
yang terkait dapat berupa seberapa jauh jarak tempat tinggal ke posyandu,
puskesmas, maupun rumah sakit. Demikian pula dapat diselidiki kemungkinan
tempat tinggal tersebut termasuk dalam daerah endemis masalah malnutrisi atau
tidak, berhubungan dengan masalah ketersediaan pangan atau tidak, dan
sebagainya.
Dalam hubungannya dengan waktu, perlu diketahui dengan jelas kapankah
masalah malnutrisi terjadi, dilihat dari satuan hari, bulan, musim, atau tahun.
Penting diketahui kapan masalah malnutrisi pada anak terlihat paling gawat, atau
kapan insidens kasus menunjukkan puncaknya. Untuk menunjukkan hal ini, maka
kasus, episode, atau kejadian dapat dikelompokkan menurut kasus baru per hari,
per minggu, per bulan, atau per tahun. Periode waktu yang dipilih tergantung pada
jenis kasus yang akan dianalisis, misalnya kasus baru Kurang Energi Protein
(KEP) anak balita per minggu.
Dalam hubungannya dengan populasi, perlu diketahui dengan jelas
siapakah yang terkena, berdasarkan umur, jenis kelamin, pendidikan, jumlah

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 7

anggota keluarga, keadaan gizi, suku bangsa, pekerjaan, keturunan, dan


kebiasaan perseorangan.
Status gizi anak dapat diukur dengan berbagai cara. Pengukuran
antropometri seperti berat badan menurut umur, berat badan menurut tinggi
badan, maupun tinggi badan menurut umur sering digunakan untuk menilai status
gizi anak. Kejadian malnutrisi di suatu daerah ditunjukkan dari persentase anak
yang termasuk dalam kategori kurang gizi ringan, sedang, dan berat.
Contoh identifikasi malnutrisi pada anak menurut tempat, waktu, dan orang
adalah seperti yang telah dilakukan di Korea Selatan pada tahun 2002. Tujuan
penelitian adalah untuk mengukur status gizi dari sample representatif anak di
bawah usia 7 tahun dan ibu-ibu mereka di 7 provinsi dan 3 kota di Korea Selatan.
Penelitian dilakukan dengan rancangan time series dengan membandingkan
status gizi anak pada tahun 1998 dengan tahun 2002.
Distribusi usia anak yang diikutsertakan pada penelitian ini yaitu usia kurang
dari 1 tahun sebanyak 23,7%, usia antara 1 hingga 2 tahun sebanyak 24,1%, usia
antara 2 hingga 3 tahun sebanyak 18,2%, usia antara 3 hingga 4 tahun sebanyak
12%, usia antara 4 hingga 5 tahun sebanyak 9,8%, usia antara 5 hingga 6 tahun
sebanyak 7,1%, serta usia antara 6 hingga 7 tahun sebanyak 5%. Lebih jelasnya
terlihat pada Gambar 4.

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 8

50
45
40
35
30

23.7

25

24.1
18.2

20

12

15

9.8

10

7.1

5
0

<1

1<2

2<3

3<4

4<5

5<6

6+

Gambar 4. Distribusi Usia Anak yang Diikutsertakan dalam Penelitian

Seluruh anak yang termasuk ke dalam sampel penelitian diukur berat badan
dan tinggi badan mereka. Indikator status gizi yang digunakan adalah tinggi badan
menurut umur (stunted), berat badan menurut umur (underweight), dan berat
badan menurut tinggi badan (wasted). Prevalensi anak stunted, underweight, dan
wasted yang diperoleh berturut-turut adalah sebanyak 39,22% , 20,15%, serta
8,12%.
Prevalensi keseluruhan wasting yang paling berat adalah sebanyak 2,7%,
bervariasi di tiap provinsi yang dijadikan lokasi penelitian.

Provinsi dengan

prevalensi wasting paling berat terbanyak adalah di Hamgyong (4%) dan yang
paling sedikit adalah di Nampo (1,2%).

Derajat kejadian stunting meningkat

secara terus menerus dari 17,3% pada 6 bulan pertama kehidupan menjadi 41,6%
pada tahun kedua kehidupan dan kemudian menjadi konstan di angka sekitar 47%
Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 9

pada usia 3 - 4 tahun. Derajat kejadian underweight meningkat dari 7,6% pada
semester pertama, mencapai 25% pada semester kedua kehidupan dan kemudian
menjadi sekitar 20-25% hingga anak berusia 7 tahun. Derajat kejadian wasting
meningkat dari 5% pada semester pertama menjadi 12% pada tahun kedua
kehidupan dan kemudian menurun kembali menjadi sekitar 5% di tahun-tahun
berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa derajat kejadian malnutrisi di antara anakanak usia lebih dari dua tahun merefleksikan secara nyata seberapa bagus
pertumbuhan mereka pada dua tahun pertama kehidupan, dimulai sejak dalam
kandungan. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.

50

45.6

47.6
47.5

45
41.6

40

46.7
44.2
39.2
Stunting (H/A)

35

Underweight (W/A)

30
24.9

25

Wasting (W/H)
25.5

22.8

20

20.2

21

19.6

7.4

6.3

5.6

21.7

20.2

17.3

15
10
5

12
7.6
5.3

11.9
8.4

6.7

6.7

8.1

0
0 to 5

6 to 11

12 to 23 24 to 35 36 to 47 48 to 59 60 to 71

72+

TOTAL

Gambar 5. Prevalensi Malnutrisi pada Anak Menurut Kelompok Umur Berbeda di


Antara Anak yang Diikutsertakan sebagai Sampel Penelitian

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 10

Peningkatan situasi gizi anak pada tahun 2002 dibandingkan dengan tahun
1998 berbeda-beda menurut kategori stunting, wasting, dan underweight.
Selengkapnya ditampilkan pada Gambar 6.

70

62.3

60.6

60
50
41.6

40
30
21

20

15.6
8.5

10

1998

0
Stunted

Wasting

Underweight

2002

Gambar 6. Prevalensi Malnutrisi Pada Tahun 1998 dan 2002

Anak dengan kategori stunting walaupun prevalensinya menurun pada


tahun 2002, namun penurunannya tidak sebanyak penurunan prevalensi anak
dengan kategori wasting maupun underweight. Hal ini disebabkan karena stunting
terjadi karena kondisi kronis, yaitu kekurangan gizi telah timbul jauh sebelumnya
sehingga menjadi sulit untuk diperbaiki dibandingkan wasting dan underweight
yang merupakan kekurangan gizi yang timbul pada masa yang baru-baru ini terjadi
atau kondisi akut.
Kesimpulan penelitian yang diperoleh adalah bahwa tingkat prevalensi
malnutrisi pada anak yang ditemukan oleh penelitian pada 10 propinsi/kota di
Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 11

Korea Selatan menunjukkan penurunan pada tahun 2002 dibandingkan dengan


tahun 1998. Tingginya tingkat prevalensi malnutrisi yang tercatat pada tahun 1998
mencerminkan kondisi rendahnya ketersediaan pangan dan krisis ekonomi yang
terjadi pada pertengahan tahun 1990-an. Walaupun terdapat peningkatan status
gizi anak secara signifikan pada tahun 2002 dibandingkan pada tahun 1998,
namun situasi gizi di Korea Selatan masih perlu perhatian dan dukungan yang
terus menerus dari seluruh pihak. Jumlah anak yang menderita malnutrisi berat
yang membutuhkan penanganan medis masih sangat tinggi. Anak-anak dengan
malnutrisi berat yang akut membutuhkan rawat inap untuk kesembuhan dan
pemulihan. Jika tidak demikian, kelangsungan hidup mereka dalam bahaya besar.

5. Penanganan dan Pencegahan Masalah Malnutrisi Pada Anak


Penanganan masalah Kurang Energi Protein (KEP) dilakukan berdasarkan
berat/ringannya KEP.

Pada keadaan ringan atau sedang, anak cukup

diperlakukan rawat jalan, sedangkan bila menderita KEP berat dengan komplikasi
atau tanpa komplikasi sebaiknya dirawat inap di rumah sakit. Penanganan KEP
pada anak berdasarkan berat/ringannya KEP adalah sebagai berikut:

A. Penanganan Gizi Anak KEP Ringan


-

Penyulihan gizi dan nasehat pemberian makanan di rumah.

Pemberian ASI diteruskan.

Pasien KEP ringan yang dirawat karena penyakit lain, diberikan makanan
sesuai penyakitnya untuk mencegah KEP sedang dan berat.

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 12

B. Penanganan Gizi Anak KEP Sedang


-

Anak KEP sedang yang dirawat jalan perlu dipantau kenaikan berat
badannya.

Anak KEP sedang yang dirawat inap perlu dilakukan:

Pemberian makanan tinggi energi dan tinggi protein. Kebutuhan energi


20-50% di atas kebutuhan yang dianjurkan dan diet sesuai penyakitnya.

Pemantauan berat badan setiap hari.

Penyuluhan gizi.

C. Penanganan Gizi Anak KEP Berat


-

Syarat pemberian diet pada KEP berat adalah sebagai berikut:

Melalui 3 fase yaitu fase stabilisasi, fase transisi, dan fase rehabilitasi.

Kebutuhan energi mulai dari 100 sampai 200 kkal/kg BB/hari.

Kebutuhan protein mulai 1-6 gram/kg BB/hari.

Pemberian suplementasi vitamin dan mineral bila ada defisiensi.

Jumlah cairan 150-200 ml/kg BB/hari.

Cara pemberian per oral atau lewat pipa nasogastrik.

Porsi makanan kecil dan frekuensi makanan sering.

Terus memberikan ASI

Makanan fase stabilisasi harus hipoosmolar dan rendah laktosa, rendah


serat.

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 13

Membedakan jenis makanan berdasarkan berat badan, yaitu: BB <7 kg


diberikan kembali makanan bayi dan BB >7 kg dapat langsung diberikan
makanan anak secara bertahap.

Mempertimbangkan hasil anamnesa riwayat gizi.

Pada fase stabilisasi, dilakukan upaya-upaya secara cepat dan akurat untuk
mengatasi kehilangan cairan dan elektrolit-elektrolit penting dalam tubuh. Hal ini
dilakukan dengan memberi rehidrasi oral/nasogastris yang mengandung kalium
dan magnesium untuk mengganti kehilangan yang terjadi, umumnya sebanyak 70100 mg/kg. Selain itu juga dilakukan terapi diet dengan formula khusus seperti FWHO 75 yang rendah laktosa dan hipoosmolar dengan porsi kecil dan sering.
Kebutuhan energi dipenuhi sebesar 100 kkal/kg BB/hari, sedangkan kebutuhan
protein sebesar 1-1,5 g/kg BB/hari. Bila asupan tidak mencapai 80 kkal/kg BB/hari,
berikan formula melalui NGT, namun jangan memberi makan lebih dari 100 kkal/kg
BB/hari.
Fase transisi menitikberatkan pada upaya menghindari risiko gagal jantung
dan intoleransi saluran cerna yang dapat terjadi bila anak mengkonsumsi makanan
dalam jumlah banyak secara mendadak, setelah fase stabilisasi terlampaui. Ubah
pemberian makanan dari formula 75 ke formula 100. Modifikasi bubur atau
makanan keluarga dapat digunakan. Pada fase ini penting dilakukan pemberian
motivasi agar asupan makanan anak dapat tercukupi.
Setelah itu, fase berikutnya adalah fase rehabilitasi yang umumnya sudah
dapat dilakukan di rumah.

Pada fase ini diupayakan pencapaian berat badan

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 14

menurut tinggi badan yang normal dan pemulihan kembali massa otot.
Diharapkan tercapai asupan makanan yang tinggi dan pertambahan berat badan
>50 g/kg BB/minggu. Peningkatan berat badan dikatakan normal apabila sebesar
25-75% berat badan menurut tinggi badan dan berkesinambungan selama satu
bulan kemudian. Biasanya setelah 1-2 minggu dirawat, anak diberi asupan energi
sebesar 150-200 kkal/kg BB/hari dan protein sebesar 4-6 g/kg BB/hari. Bila anak
masih mendapat ASI, pemberian ASI diteruskan dan juga ditambah formula karena
energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh kejar.
Upaya pencegahan malnutrisi pada anak dilakukan berdasarkan hal-hal
sebagai berikut:

a. Bidang Gizi Masyarakat

Pemantauan berkesinambungan terhadap kondisi status gizi dan kesehatan


anak balita melalui berbagai program, termasuk revitalisasi posyandu.

Pemberian pendidikan gizi pada masyarakat tentang pemilihan bahan


pangan dan pengolahannya.

Pemberian

pendidikan

tentang

pentingnya

memperhatikan

sanitasi

lingkungan untuk menurunkan kejadian penyakit-penyakit infeksi.

b. Bidang Lintas Sektor

Pemberian pelatihan utnuk meningkatkan keterampilan dan motivasi


masyarakat untuk meningkatkan pendapatan.

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 15

Pemberian kredit modal kerja pada masyarakat untuk meningkatkan


kemandirian dan pendapatan.

Pencanangan program gerakan kebersihan lingkungan.

Pengadaan air bersih.

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 16

STUDI KASUS EPIDEMIOLOGI MALNUTRISI PADA ANAK


R. Dwi Budiningsari
Diskusikan studi kasus per kelompok berdasarkan surat kabar di bawah ini.
24 Balita Tewas karena Gizi Buruk
Purbalingga, Bernas
Dampak krisis ekonomi yang terjadi beberapa tahun terakhir, mengakibatkan ratusan anak di Kabupaten
Purbalingga mengalami kondisi gizi buruk (kwasiorkor). Kasus itu merupakan yang paling parah di wilayah
Jawa Tengah. Sebanyak 24 balita, bahkan tidak tertolong nyawanya, karena minimnya bantuan. Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten (DKK) Purbalingga, dr Dyah Retnani Basuki MKes, ketika dihubungi Bernas di sela-sela
workshop kampanye penggunaan vitamin A pada balita di aula kantornya, Sabtu (26/8) lalu mengakui, pihaknya
tidak bisa berbuat banyak terutama karena kasus-kasus gizi buruk terjadi pada keluarga miskin di pedesaan.
Sejauh ini, lanjut Dyah Retnani, jumlah balita penderita gizi buruk kini terus bertambah. Hal itu karena bantuan
yang diberikan pemerintah dan donatur lainnya, tidak mampu menopang terpuruknya kemampuan ekonomi
masyarakat. Dipaparkan, kasus gizi buruk paling banyak dijumpai di wilayah cakupan Puskesmas Rembang,
Puskesmas Karangmoncol, Puskesmas Pembantu Karangtengah (Karanganyar) dan Puskesmas Pembantu
Kutawis (Bukateja). Sejumlah puskesmas lain di dalam kota seperti Puskesmas Bojong, Purbalingga kota dan
Bobotsari tidak terdapat laporan gizi buruk.
Menurut Dyah Retnani, tunggakan kasus gizi buruk sampai akhir tahun 1999 tercatat 468 kasus, dari sejumlah
263.455 anak. Pada tahun 2000 terhitung sejak Januari hingga 12 Agustus 2000 terdapat tambahan kasus
sebanyak 85 orang. Diperkirakan sebanyak 45% anak dalam risiko tinggi mengalami gizi buruk. Setelah
mendapat penanganan, bisa diperbaiki sebanyak 441 kasus, 88 dalam penanganan dan sisanya 24 balita
dinyatakan meninggal dunia. Menurut Dyah Retnani, upaya penanganan kasus gizi buruk tak semudah
menangani kasus penyakit lain. Balita yang mengalami gizi buruk bisa saja dinyatakan sehat ketika dirawat
beberapa hari di rumah sakit. Namun, kasusnya bisa muncul kembali begitu pasien kembali ke rumah, karena
kondisi ekonomi keluarga pasien yang memang kurang mampu.
Pemda, lanjut dia, sudah mengambil langkah-langkah guna menekan kasus gizi buruk ini. Seperti menghimpun
dan menyalurkan bantuan dari Kelompok Kerukunan Umat beragama Purbalingga, bantuan Menpangan
Hortikultura, bantuan dari pihak swasta, melalui proyek APBN dan bantuan dari pemda sendiri. "Pemberian
bantuan juga dilakukan kepada orang tua balita yang mengalami gizi buruk. Bantuan berupa modal kerja
tersebut dimaksudkan untuk peningkatan taraf hidup melalui pekerjaan yang digelutinya," kata Dyah.
Ada sebab lain mengenai tingginya kasus gizi buruk di Purbalingga, yakni pendataan yang dilakukan langsung
kader kesehatan di puskesmas dan kader-kader kesehatan lainnya di tiap desa, sehingga tidak ada kasus yang
terlewati. "Kami berharap, orang tua penderita gizi buruk jangan terlalu mengandalkan bantuan dari pemerintah.
Hal ini dimaksudkan agar masyarakat tak mengalami guncangan begitu bantuanya distop," kata Dyah. Selain
kasus gizi buruk, selama kurun waktu April 1999 hingga Maret 2000 terdapat sejumlah kasus penyakit. Kasus
ituPertanyaan:
diantaranya ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) sebanyak 3.182 kasus, diare 20.694 kasus dan campak
(morbili) 54 kasus. "Kasus-kasus penyakit sebut semuanya bisa diatasi dan tidak ada laporan pasien yang
meninggal karena salah satu penyakit itu," ujarnya. (yy)

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 17

Pertanyaan:

1. Identifikasilah masalah gizi buruk pada anak yang terjadi berdasarkan artikel
tersebut.
2. Apa penyebab gizi buruk yang terjadi berdasarkan artikel?

3. Apa saja implikasi gizi buruk yang terjadi:


a. berdasarkan artikel tersebut.
b. berdasarkan diskusi kelompok.
3. Informasi apa saja yang berhubungan dengan pengukuran distribusi frekuensi
dalam epidemiologi?
4. Bagaimana penanggulangan masalah gizi buruk:
a. berdasarkan artikel tersebut.
b. berdasarkan diskusi kelompok.

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 18

Anda mungkin juga menyukai

  • PSIKOFREUD
    PSIKOFREUD
    Dokumen22 halaman
    PSIKOFREUD
    Rezha Indrawan
    Belum ada peringkat
  • Referat OMSK
    Referat OMSK
    Dokumen15 halaman
    Referat OMSK
    Rezha Indrawan
    Belum ada peringkat
  • Penda Hulu An
    Penda Hulu An
    Dokumen13 halaman
    Penda Hulu An
    Rezha Indrawan
    Belum ada peringkat
  • Prevalensi Katarak
    Prevalensi Katarak
    Dokumen65 halaman
    Prevalensi Katarak
    Cecilia Casandra Uneputty
    Belum ada peringkat
  • Responsi THT
    Responsi THT
    Dokumen14 halaman
    Responsi THT
    Rezha Indrawan
    Belum ada peringkat
  • Referat Mata
    Referat Mata
    Dokumen17 halaman
    Referat Mata
    Rezha Indrawan
    Belum ada peringkat
  • Responsi THT
    Responsi THT
    Dokumen14 halaman
    Responsi THT
    vitamomo
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen5 halaman
    Bab I
    Rezha Indrawan
    Belum ada peringkat
  • Chapter II
    Chapter II
    Dokumen23 halaman
    Chapter II
    Rezha Indrawan
    Belum ada peringkat
  • Referat Katarak
    Referat Katarak
    Dokumen17 halaman
    Referat Katarak
    Yolanda Shinta
    100% (1)
  • Metode Gustafson
    Metode Gustafson
    Dokumen4 halaman
    Metode Gustafson
    Mutma Inna
    Belum ada peringkat
  • Demensia
    Demensia
    Dokumen23 halaman
    Demensia
    Rezha Indrawan
    Belum ada peringkat
  • Chapter II Katarak
    Chapter II Katarak
    Dokumen13 halaman
    Chapter II Katarak
    Hawania II
    Belum ada peringkat
  • Responsi Creeping Eruption Retno
    Responsi Creeping Eruption Retno
    Dokumen9 halaman
    Responsi Creeping Eruption Retno
    Rezha Indrawan
    Belum ada peringkat
  • Mola Hidatidosa
    Mola Hidatidosa
    Dokumen10 halaman
    Mola Hidatidosa
    mega_yunita_1
    Belum ada peringkat
  • IMD-Hubungan
    IMD-Hubungan
    Dokumen33 halaman
    IMD-Hubungan
    Rezha Indrawan
    Belum ada peringkat
  • APENDISITIS
    APENDISITIS
    Dokumen12 halaman
    APENDISITIS
    Agus Pratiwa
    100% (3)
  • Krisis Tiroid
    Krisis Tiroid
    Dokumen10 halaman
    Krisis Tiroid
    Rezha Indrawan
    Belum ada peringkat
  • Besar Sampel
    Besar Sampel
    Dokumen22 halaman
    Besar Sampel
    Nova Grisddy Supit
    Belum ada peringkat
  • Patent Ductus Arteriosus
    Patent Ductus Arteriosus
    Dokumen12 halaman
    Patent Ductus Arteriosus
    Rima Ningsi Sultan
    Belum ada peringkat
  • Penyuluhan TB
    Penyuluhan TB
    Dokumen17 halaman
    Penyuluhan TB
    Hana Rangkuty
    80% (5)
  • Demensia
    Demensia
    Dokumen23 halaman
    Demensia
    Rezha Indrawan
    Belum ada peringkat
  • IMD-Hubungan
    IMD-Hubungan
    Dokumen33 halaman
    IMD-Hubungan
    Rezha Indrawan
    Belum ada peringkat
  • Krisis Tiroid
    Krisis Tiroid
    Dokumen10 halaman
    Krisis Tiroid
    Rezha Indrawan
    Belum ada peringkat
  • Ipi 174397
    Ipi 174397
    Dokumen5 halaman
    Ipi 174397
    Riska Nurwati KhaciJe
    Belum ada peringkat