Anda di halaman 1dari 26

CLINICAL SCIENCE SESSION

DUH TUBUH URETHRA


Disusun oleh :
Yola Yuniaarti Herijanto
Cham Chen Yi
Sukhdeep Sandhu

1301-1213-0504
1301-1213-2510
1301-1213-2501

Preceptor :

Inne Arline Diana dr., SpKK(K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT DR. HASAN SADIKIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2015

PENDAHULUAN
Penyakit kelamin adalah penyakit yang penularannya terutama melalui
hubungan seksual. Cara hubungan kelamin tidak hanya terbatas secara genito-genital
saja, tetapi dapat juga secara oro-genital, atau ano-genital, sehingga kelainan yang
timbul akibat penyakit kelamin ini tidak terbatas hanya pada daerah genital saja, tetapi
dapat juga pada daerah-daerah ekstra genital(1,2).
Meskipun demikian tidak berarti bahwa semuanya harus melalui hubungan
kelamin, tetapi beberapa ada yang dapat juga ditularkan melalui kontak langsung
dengan alat-alat, handuk, thermometer, dan sebagainya. Selain itu penyakit kelamin
ini juga dapat menularkan kepada bayi dalam kandungan(1).
Pada waktu dahulu penyakit kelamin dikenal sebagai Venereal Diseases (V.D)
dan yang termasuk dalam venereal diseases ini, yaitu sifilis, gonore, ulkus mole,
limfogranuloma venereum, dan granuloma inguinale(1).
Ternyata pada akhir-akhir ini ditemukan berbagai penyakit lain yang juga
dapat timbul akibat hubungan seksual dan penemuan ini antara lain disebabkan oleh :
1.

Perbaikan sarana dan teknik laboratorium

2.

Penemuan beberapa jenis penyakit secara epidemic seperti herpes genitalis


dan hepatitis B

3.

Penemuan penyakit yang ada akibatnya pada anak dan ibu, juga bahkan
dapat menimbulkan kemandulan(1).

Oleh karena itu istilah V.D makin lama makin ditinggalkan dan diperkenalkan istilah
Sexually Transmitted Diseases (S.T.D.) yang berarti penyakit-penyakit yang dapat
ditularkan melalui hubungan kelamin, dan yang termasuk penyakit ini adalah kelima
penyakit V.D tersebut ditambah berbagai penyakit lain yang tidak termasuk V.D.
Istilah S.T.D. ini telah diIndonesiakan menjadi P.M.S. (Penyakit menular Seksual),
ada pula yang menyebutnya P.H.S. (Penyakit Hubungan Seksual). Sehubungan P.M.S.
ini sebagian besar disebabkan oleh infeksi, maka kemudian istilah S.T.D. telah diganti
menjadi S.T.I. (Sexually Transmitted Infection)(1).
Infeksi menular seksual (IMS) saat ini merupakan masalah kesehatan terutama
di negara berkembang. Insidens kasus IMS diyakini tinggi pada banyak negara serta
kegagalan dalam mendiagnosis dan memberikan pengobatan pada stadium dini dapat
menimbulkan komplikasi serius/berat dan berbagai gejala sisa lainnya(2).

EPIDEMIOLOGI
Selama dekade terakhir ini insidens IMS cukup cepat meningkat di berbagai
negeri di dunia. Banyak laporan mengenai penyakit ini, tetapi angka-angka yang
dilaporkan tidak menggambarkan angka yang sesungguhnya. Hal tersebut disebabkan
antara lain oleh :
1.

Banyak kasus yang tidak dilaporkan, karena belum ada undang-undang


yang mengharuskan melaporkan setiap kasus baru P.M.S. yang ditemukan.

2.

Bila ada laporan, sistem pelaporan yang berlaku belum seragam.

3.

Fasilitas diagnostik yang ada sekarang ini kurang sempurna sehingga


seringkali terjadi salah diagnosis dan penanganannya.

4.

Banyak kasus yang asimtomatik (tanpa gejala yang khas) terutama


penderita wanita.

5.

Pengontrolan terhadap IMS ini belum berjalan baik(1).


Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa banyak faktor dapat mempengaruhi

meningkatnya insidens IMS ini, antara lain :


1.

Perubahan demografik secara luar biasa :


a. Peningkatan jumlah penduduk
b. Pergerakan masyarakat yang bertambah
c. Kemajuan sosial ekonomi

2.

Perubahan sikap dan tindakan akibat perubahan-perubahan demografik di


atas, terutama dalam bidang agama dan moral.

3.

Kelalaian beberapa negara dalam pemberian pendidikan kesehatan dan


pendidikan seks khususnya.

4.

Perasaan aman pada penderita karena pemakaian obat antibiotik dan


kontrasepsi.

5.

Akibat pemakaian obat antibiotik tanpa petunjuk yang sebenarnya, maka


timbul resistensi kuman terhadap antibiotik tersebut.

6.

Fasilitas kesehatan yang kurang memadai terutama fasilitas laboratorium


dan klinik pengobatan.

7.

Banyaknya kasus asimtomatik, merasa tidak sakit, tetapi dapat menulari


orang lain(1)

ETIOLOGI
Kuman patogen penyebab utama duh tubuh urethra adalah Neisseria
gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis. Neisseria gonorrhoeae dapat menyebabkan
uretritis, epididimitis, servisitis, proktitis, faringitis, konjungtivitis, Barthonilitis.
Chlamydia trachomatis dapat menyebabkan uretritis, epididimitis, servisitis, proktitis,
salpingitis, limfogranuloma venereum. Penyebab paling utama duh tubuh uretra
adalah uretritis. Uretritis sendiri adalah suatu peradangan dari uretra yang ditandai
oleh keluarnya duh tubuh uretra (urethral discharge), disuria, atau rasa gatal pada
bagian ujung dari uretra. Hal ini merupakan respon dari uretra terhadap peradangan
oleh berbagai penyebab, berikut adalah beberapa penyebab uretritis dengan
manifestasi duh tubuh uretra(1,2,3). Secara umum uretritis dapat dikategorikan menjadi
dua yaitu uretritis gonore dan uretritis non gonore.

Uretritis Gonore
Gonore mencakup semua penyakit yang disebabkan oleh Neisseria

gonorrhoeae. Gonore disebabkan oleh gonokok yang ditemukan oleh Neisser pada
tahun 1879 dan baru diumumkan pada tahun 1882. Kuman tersebut dimasukkan
dalam kelompok Neisseria, sebagai Neisseria gonorrhoeae. Selain spesies itu,
terdapat 3 spesies lain, yaitu N.meningitidis, dan 2 lainnya yang bersifat komensal
N.catarrhalis serta N.pharyngitis sicca. Keempat spesies ini sukar dibedakan kecuali
dengan tes fermentasi(4).
Masa tunas gonore sangat singkat, pada pria umumnya berkisar antara 2-5
hari, kadang-kadang lebih lama. Pada wanita masa tunas sulit untuk ditentukan karena
pada umumnya asimtomatik(4).
Tempat masuk kuman pada pria di uretra menimbulkan uretritis. Yang paling
sering adalah uretritis anterior akuta dan dapat menjalar ke proksimal, dan
mengakibatkan komplikasi lokal, asendens serta diseminata. Keluhan subjektif berupa
rasa gatal, panas di bagian distal uretra di sekitar orifisium uretra eksternum,
kemudian disusul disuria, polalkisuria, keluar duh tubuh dari ujung uretra yang
kadang-kadang disertai darah, dapat pula disertai nyeri pada waktu ereksi. Pada
pemeriksaan tampak orifisium uretra eksternum kemerahan, edema, dan ektropion.
Tampak pula duh tubuh yang mukopurulen. Pada beberapa kasus dapat terjadi
pembesaran kelenjar getah bening inguinal unilateral atau bilateral(4,5).

Gambaran klinis dan perjalanan penyakit pada wanita berbeda dari pria. Hal
ini disebabkan oleh perbedaan anatomi dan fisiologi alat kelamin pria dan wanita.
Pada wanita, penyakit akut maupun kronik, gejala subjektif jarang ditemukan dan
hampir tidak pernah didapat kelainan objektif. Pada umumnya wanita datang berobat
kalau sudah ada komplikasi. Sebagian besar penderita ditemukan pada waktu
pemeriksaan antenatal atau pemeriksaan keluarga berencana(4).

Uretritis Non Gonore


Uretritis non gonore adalah peradangan pada uretra tanpa ditemukan adanya

gonokokus sebagai penyebabnya. Dulu dikenal sebagai Infeksi genital non spesifik
(IGNS) karena penyebab yang nonspesifik. Istilah ini mulai digunakan di Inggris
sejak tahun 1972, yang meliputi berbagai keadaan, yaitu uretritis nonspesifik, proktitis
nonspesifik pada pria homoseksual, dan infeksi nonspesifik pada wanita(4).
Uretritis non spesifik (UNS) ialah peradangan uretra yang penyebabnya
dengan pemeriksaan laboratorium tidak dapat dipastikan atau diketahui. Uretriris non
gonore (UNG) ialah peradangan uretra yang bukan disebabkan oleh kuman Neisseria
gonorrhoeae.Kedua istilah ini sering dianggap sama, tetapi bila semua UNS adalah
non-gonore, tidak semua UNG adalah nonspesifik(4).
Uretritis non gonore pada wanita umumnya menunjukkan infeksi pada serviks,
meskipun penyakit menular seksual nonspesifik pada wanita dapat menyerang uretra
maupun vagina. Istilah UNS dan UNG lebih sering digunakan untuk pasien pria.
Organisme penyebabnya ialah :
-

Chlamydial : Chlamydia trachomatis (30-50%)

Non Chlamydial:
a.Ureplasma urelyticum
b. Trichomonas vaginalis
c. Virus herpes simplex
d. Mycoplasma genitalium(4)
-

Chlamydia trachomatis
Merupakan penyebab UNG yang tersering. Kuman ini ditemukan di
uretra dari 25% sampai 60% kasus pria dengan UNG, 4%-35% pria dengan
gonore, dan pada 0-7% pada pria dengan uretritis asimtomatis(4).

Kuman ini dapat ditemukan dengan cara :


-

Pembiakan

Pemeriksaan mikroskop langsung

Metode penentuan antigen

Polimerase Chain Reaction

Ligase Chain Reaction(4,5)

Pada gambaran klinisnya penting untuk mengetahui adanya koitus


suspektus, yang biasanya terjadi 1 sampai 5 minggu sebelum timbulnya gejala.
Juga penting untuk mengetahui apakah telah melakukan hubungan seksual
dengan istri pada waktu keluhan sedang berlangsung, mengingat hal ini dapat
menimbulkan penularan secara fenomena pingpong(4).
Keluarnya duh tubuh uretra merupakan keluhan yang tersering
dijumpai, berupa lendir yang jernih sampai keruh. Keluhan yang paling umum
ialah waktu pagi hari atau morning drops, tetapi bisa juga berupa bercak di
celana dalam. Nyeri kencing atau disuri merupakan salah satu keluhan yang
banyak dijumpai, dan sangat bervariasi dari rasa terbakar sampai rasa tidak
enak pada saluran kencing waktu mengeluarkan urin. Tetapi keluhan disuri
tidak sehebat pada infeksi gonore(2,4,5).
Keluhan gatal di saluran kencing mulai dari gatal yang sangat sampai
ringan dan terasa hanya pada ujung kemaluan(4).
Sebagai akibat terjadinya peradangan pada saluran kencing timbul
perasaan ingin kencing. Bila peradangan hebat biasa bercampur darah, atau
bila infeksi sampai pada pars membranasea uretra, maka pada waktu muskulus
sfingter uretra berkontraksi timbul perdarahan kecil. Selain itu timbul perasaan
ingin kencing pada malam hari atau nokturia. Keluhan lain yang jarang ialah
adanya perasaan demam, pembesaran dan nyeri kelenjar getah bening
inguinal(1,2,4).
Pada pemeriksaan klinis muara uretra tampak tanda peradangan berupa
edema dan eritema, dapat ringan sampai berat. Sekret uretra bisa banyak atau
sedikit sekali, atau kadang-kadang hanya terlihat pada celana dalam penderita.
Sekret umumnya serosa, seromukous, mukous dan kadang bercampur nanah.
Kalu tidak ditemukan sekret, bisa dilakukan pengurutan saluran uretra yang
dimulai dari daerah proksimal sampai distal sehingga nampak keluar sekret.

Kelainan yang nampak pada UNG umumnya tidak sehebat pada uretritis
gonore(4).
-

TRIKOMONIASIS
Trikomoniasis merupakan penyakit infeksi protozoa yang disebabkan
oleh Trichomonas vaginalis, biasanya ditularkan melalui hubungan seksual
dan sering menyerang traktus urogenitalis bagian bawah pada wanita maupun
pria, namun pada pria peranannya sebagai penyebab penyakit masih
diragukan. T.vaginalis merupakan satu-satunya spesies Trichomonas yang
bersifat patogen pada manusia dan dapat dijumpai pada traktus urogenital.
T.vaginalis cepat mati bila mengering, terkena sinar matahari dan terpapar air
selama 35-40 menit. Pada keadaan higiene yang kurang memadai dapat terjadi
penularan melalui handuk atau pakaian yang terkontaminasi(4,5).
Seperti pada wanita spektrum klinik trikomoniasis pada pria sangat
luas mulai dari tanpa gejala sampai pada uretritis yang hebat dengan
komplikasi prostatitis. Masa inkubasi biasanya tidak melebihi 10 hari.
Gambaran klinis dapat dibagi menjadi :
1. Pembawa kuman asimtomatik
Meskipun T.vaginalis dapat ditemukan pada uretra, urin dan cairan
prostat pria kontak seksual wanita dengan trikomoniasis, namun hanya 1050% penderita yang menunjukkan adanya keluhan dan gejala infeksi.
2. Simtomatik
Gambaran klinis akut
Gambaran klinis akut merupakan keadaan yang jarang terjadi.
Harkness (1950) Frisher dan Morton (1969) mengemukakan bahwa
uretritis, prostatitis dan epididimitis dapat merupakan manifestasi
trikomoniasis pada pria, akan tetapi peranannya masih disangsikan, apakah
keadaan tersebut sebenarnya disebabkan oleh Chlamydia trachomatis atau
Ureplasma urealyticum(4,5).
Gambaran klinik ringan
Sebagian besar trikomoniasis simtomatik menunjukkan gejala uretriris
ringan yang gambaran klinisnya sulit dibedakan dari UNG yang
disebabkan oleh sebab lain. Hanya 50-60% kasus simtomatik didapatkan
duh tubuh uretra, sepertiga kasus menunjukkan duh tubuh purulent,
7

sepertiga lainnya masing-masing mukopurulent dan mukoid. Duh tubuh


biasanya keluar secara intermiten, sedang disuria dan perasaan gatal pada
uretra, masing-masing hanya dikeluhkan oleh kurang dari sperempat
kasus. Uretritis oleh karena Trichomonas vaginalis pada umumnya bersifat
self limited. Balanopostitis dapat pula terjadi dan lebih sering pada pria
yang tidak disunat dan kurang memperhatikan higiene. Keadaan ini
ditandai dengan adanya erosi yang nyeri pada glans dan preputium,
kadang-kadang disertai duh tubuh purulen, terutama bila disertai infeksi
sekunder(4).
Variasi gambaran klinis trikomoniasis sangat luas, disamping itu
berbagai kuman penyebab IMS dapat pula menimbulkan keluhan serta
gejala yang sama, sehingga diagnosis hanya berdasarkan gambaran klinis
tidak dapat dipercaya. Meskipun berbagai keluhan dan gejala dapat
mengarahkan pada diagnosis trikomoniasis baik pada pria maupun wanita,
namun hal tersebut tidak cukup untuk membuat suatu diagnosis(2,4).
Diagnosis trikomoniasis ditegakkan setelah ditemukannya T.vaginalis
pada sediaan langsung (sediaan basah) atau pada biakan duh tubuh
penderita. Diagnosis pada pria menjadi lebih sulit lagi, karena infeksi
ditandai oleh jumlah kuman yang lebih sedikti bila dibandingkan wanita.
Uretritis non gonore (UNG) yang disebabkan oleh T.vaginalis tidak dapat
dibedakan secara klinis dari UNG oleh penyebab lain(4).
Respons terhadap pengobatan dapat menunjang diagnosis. UNG yang
gagal diobati dengan rejimen yang efektif terhadap C.trachomatis dan
U.urelyticum, namun responsif terhadap pengobatan dengan metronidasol,
menunjang diagnosis trikomoniasis.

DIAGNOSIS
Diagnosis dalam petalaksanaan kasus IMS dilakukan dengan menggunakan
bagan alur, jenis obat yang dianjurkan, dan untuk fasilitas kesehatan dengan
laboratorium disediakan bagan alur tersendiri. Diagnosis ditegakkan dari hasil
anamnesis dan pemeriksaan fisik serta hasil pemeriksaan laboratorium bila tersedia(3).
Pada pemeriksaan dengan pendekatan sindrom tanpa alat bantu dapat
digunakan bagan alur sebagai berikut :

Bagan Duh tubuh uretra pria(3).

Kuman patogen penyebab utama duh tubuh uretra adalah Neisseria


gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis. Oleh karena itu, pengobatan pasien dengan
duh tubuh uretra secara sindrom harus dilakukan terhadap kedua jenis kuman
penyebab utama tersebut bersama-sama. Bila ada fasilitas laboratorium yang
memadai, kedua kuman penyebab tersebut dapat dibedakan, dan selanjutnya
pengobatan secara lebih spesifik dapat dilakukan(3,5).

Bagan Duh tubuh uretra pria dengan pemeriksaan mikroskop(3).

Pemeriksaan yang dilakukan pada :


-

Infeksi gonokokus :
A. Sediaan langsung
Pada sediaan langsung dengan pengecatan Gram akan ditemukan
gonokok negatif-Gram, intraselular dan ekstraselular. Bahan duh tubuh pada
pria diambil dari daerah fossa navikularis, sedangkan pada wanita diambil dari
uretra, muara kelenjar Bartholin, serviks, dan rektum(1,4).

10

Pemeriksaan Gram dari duh uretra pada pria memiliki sensitivitas


tinggi (90-95%) dan spesifitas 95-99%. Sedangkan dari endoserviks,
sensitivitasnya hanya 45-65%, dengan spesifitas 90-99%(4).
B. Kultur (biakan)
Dengan :
-

Media transpor
a. Media Stuart
b. Media Transgrow

Media pertumbuhan
a. Media Thayer-Martin
b. Modifikasi Thayer-Martin
c. Agar coklat McLeod(4)

Pemeriksaan kultur dengan bahan dari duh uretra pria, sensitivitasnya lebih
tinggi (94-98%) dari pada duh endoserviks (85-95%). Sedangkan spesifitas dari ke
dua bahan tersebut sama yaitu lebih dari 99%(4).
C. Tes definitif
1. Tes oksidasi
Reagen oksidasi yang mengandung larutan tetrametil-p-fenilen-diamin
hidroklorida 1% ditambahkan pada koloni gonokok tersangaka. Semua
Neisseria memberi reaksi positif dengan perubahan warna koloni yang semula
bening berubah menjadi merah muda sampai merah lembayung(4).
2. Tes fermentasi
Tes oksidasi positif dilanjutkan dengan tes fermentasi memakai
glukosa, maltosa, dan sukrosa. Kuman gonokok hanya meragikan glukosa(4).
D. Tes beta-laktamase
Apabila

kuman

mengandung

enzim

beta-laktamase,

akan

menyebabkan perubahan warna dari kuning menjadi merah(4).


-

Klamidosis :
Pada pemeriksaan sekret uretra dengan pewarnaan Gram ditemukan lekosit
>5 pada pemeriksaan mikroskopis dengan pembesaran 1000 kali. Tidak dijumpai
11

diplokokus negatif-Gram, serta pada pemeriksaan sediaan basah tidak didapatkan


parasit Trichomonas vaginalis(4,5).

- Trikomoniasis :
Pemeriksaan yang dapat dilakukan diantaranya :
1. Sediaan basah dan Pewarnaan
2. Tes imunofluoresens
3. Kultur (Media Feinberg) (4)
Bagan Duh tubuh uretra pria dengan pemeriksaan mikroskop dan lab. Khusus(3).

KOMPLIKASI

12

Komplikasi gonore sangat erat hubungannya dengan susunan anatomi dan faal
genitalia. Komplikasi lokal pada pria bisa berupa tisonitis (radang kelenjar Tyson),
parauretritis, littritis (radang kelnjar Littre), dan cowperitis (radang kelenjar Cowper).
Namun, penyulit yang paling sering adalah epididimoorkitis. Selain itu, infeksi dapat
pula menjalar ke atas (asendens), sehingga terjadi prostatitis, vesikulitis, funikulitis,
epididimitis, yang dapat menimbulkan infertilitas. Infeksi dari uretra pars posterior,
dapat mengenai trigonum kandung kemih menimbulkan trigonitis, yang memberi
gejala poliuria, disuria terminal, dan hematuria. Komplikasi diseminata pada pria dan
wanita dapat berupa artritis, miokarditis, endokarditis, perikarditis, meningitis, dan
dermatitis. Kelainan yang timbul akibat hubungan kelamin selain cara genito-genital,
pada pria dan wanita dapat berupa infeksi nongenital, yaitu orofaringitis, proktitis, dan
konjungtivitis(1,4,5).
Sedangkan untuk uretritis non gonore, komplikasi yang timbul biasanya
berupa tisonitis, cowperitis, abses periuretra, striktur uretra, epididimitis, dan mungkin
prostatitis(1,4).
PENGOBATAN
Obat yang digunakan untuk IMS disemua fasilitas pelayanan kesehatan
sekurang-kurangnya harus mempunyai tingkat efektifitas 90-95%(3).
Pemilihan obat-obatan untuk IMS harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

Angka kesembuhan/ kemanjuran tinggi (sekurang-kurangnya

90-95%

diwilayahnya.

Harga murah

Toksisitas dan toleransi yang masih dapat diterima

Diberikan dalam dosis tunggal

Cara pemberian peroral

Tidak merupakan kontraindikasi pada ibu hamil atau ibu menyusui(3,4)


Obat-obatan yang digunakan sebaiknya termasuk dalam Daftar Obat Esensial

Nasional (DOEN), dan dalam memilih obat-obatan tersebut harus dipertimbangkan


tingkat kemampuan dan pengalaman dari tenaga kesehatan yang ada(3).
PENGOBATAN IMS MENGGUNAKAN PENDEKATAN SINDROM

13

Keberhasilan penatalaksanaan IMS memerlukan sikap petugas yang


menghormati dan tidak menghakimi pasien. Pemeriksaan agar dilakukan dalam
suasana yang bersahabat dengan menjaga perasaan pribadi maupun kerahasiaan
pasien(3).

Untuk duh tubuh uretra pengobatan yang dianjurkan adalah sebagai berikut :

Pengobatan untuk gonore tanpa komplikasi


DITAMBAH

Pengobatan untuk klamidiosis

Penderita dianjurkan untuk pengobatan kembali bilamana gejala tetap ada


sesudah 7 hari(3).

Rincian pengobatan duh tubuh uretra(3)


Pengobatan uretritis gonore
Pilihlah salah satu dari beberapa cara
Tiamfenikol* 3,5 mg per oral, dosis tunggal atau
Ofloksasin*

400mg per oral, dosis tunggal, atau

Kanamisin

2 g i.m. dosis tunggal, atau

Spektinomisin 2 g i.m. dosis tunggal


Pilihan pengobatan
Siprofloksasin 500mg per oral, dosis tunggal,
atau
Seftriakson

250mg i.m. , dosis tunggal


atau

Pengobatan uretritis non-gonore


pengobatan yang dianjurkan dibawah ini
Doksisiklin** 100mg peroral,2x1 selama 7hari,
atau
Azitromisin 1 g per oral, dosis tunggal

Lain
Tetrasiklin**500mg peroral, 4x1 selama 7hari,
atau
Eritromisin 500mg peroral, 4x1 selama 7hari,
(bila ada kontraindikasi tetrasiklin)

Sefiksim
400mg per oral, dosis tunggal
* Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui, anak dibawah 12 tahun dan remaja.
** Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui, dan anak dibawah 12 tahun

WHO merekomendasikan agar menggunakan dosis tunggal untuk gonore, dan


dosis ganda untuk klamidiosis(3).
Duh Tubuh Uretra Persisten/ Rekuren
Gejala uretritis yang persisten (setelah pengobatan satu kur selesai)) atau
rekuren (setelah dinyatakan sembuh, muncul lagi dalam waktu 1 minggu tanpa
hibungan seksual) mungkin disebabkan oleh resiostensi obat, atau sebagai akibat
kekurang-patuhan meminum obat atau reinfeksi. Namun pada beberpa kasus hal ini
mungkin akibat infeksi oleh Trichomonas vaginalis (Tv). Sebagai protozoa
14

diperkirakan bahwa Tv memakan kuman gonokokus tersebut (fagositosis), sehingga


kuman gonokokus tersebut terhindar dari pengaruh pengobatan, setelah Tv-nya mati
maka kuman gonokokus tersebut kembali bisa melepaskan diri dan berkembang
biak(3).
Ada temuan baru yang menunjukan bahwa disuatu daerah tertentu bisa di
jumpai prevalens Tv yang tinggi pada laki-laki dengan keluhan duh tubuh uretra.
Bilamana gejala duh tubuh tetap ada atau timbul gejala kambuhan setelah pemberian
pengobatan secara benar terhadap gonore maupun klamidiosis pada kasus indeks dan
mitra seksualnya, maka pasien tersebut harus diobati untuk infeksi Tv. Hal ini hanya
dilakukan bila ditunjang data epidemiologis setempat. Bilamana simptom tersebut
masih ada sesudah pengobatan Tv, maka pasien tersebut harus dirujuk. Sampai saat
ini data epidemiologi trikomoniasis pada pria di Indonesia sangat sedikit, oleh karena
itu, bila gejala duh tubuh uretra masih ada setelah pemberian terapi awal sebaiknya
penderita dirujuk pada tempat dengan fasilitas laboratorium yang lengkap(3,4).
Pengobatan uretritis gonore
Pilihlah salah satu dari beberapa cara
Tiamfenikol* 3,5 mg per oral, dosis tunggal

Pengobatan uretritis non-gonore


pengobatan yang dianjurkan dibawah ini
Doksisiklin** 100mg peroral,2x1 selama 7hari,

atau
Ofloksasin* 400mg per oral, dosis tunggal,

atau
Azitromisin

1 g per oral, dosis tunggal

atau
Kanamisin

2 g i.m. dosis tunggal,


atau

Spektinomisin 2 g i.m. dosis tunggal


Pilihan pengobatan
Siprofloksasin 500mg per oral, dosis tunggal,

Lain
Tetrasiklin**500mg peroral, 4x1 selama 7hari,

atau

atau

Seftriakson 250mg i.m. , dosis tunggal

Eritromisin 500mg peroral, 4x1 selama 7hari,

atau

(bila ada kontraindikasi tetrasiklin)

Sefiksim 400mg per oral, dosis tunggal


Pengobatan Trichomonas
Pengobatan yang dianjurkan
Metronidazol 2 g per oral, dosis tunggal

Vaginalis
Pilihan pengobatan lain
Metronidazol 400 atau 500 mg per oral, 2x sehari,

atau

selama 7 hari, atau

Tinidazol 2 g per oral, dosis tunggal

Tinidazol500 mg per oral, 2x sehari, selama 5 hari

* Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui, anak dibawah 12 tahun dan remaja.
** Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui, dan anak dibawah 12 tahun

15

PERTIMBANGAN PENTING YANG MENDASARI PENGOBATAN


Menentukan Pilihan Antimikroba
Tingkat Kemanjuran
Tingkat kemanjuran merupakan kriteria paling penting dalam menentukan
pilihan pengobatan. Pengobatan IMS yang ideal harus memiliki angka penyembuhan
sekurang-kurangnya 95% untuk IMS dengan penyebab bakteri. Pengobatan dengan
antimikroba dengan cure rate lebih rendah dari 85% sama sekali tidak boleh
digunakan(3,4).
Dalam upaya menurunkan resiko terjadinya dan menyebarnya galur kuman
IMS yang resisten di masyarakat umum, satu program khusus untuk penatalaksanaan
kasus IMS yang efektif perlu dirancang untuk kelompok berperilaku resiko tinggi,
seperti misalnya pada kelompok penjaja seks beserta para pelanggannya. Rejimen
pengobatan untuk kelompok ini sekurang-kurangnya harus memiliki efektivitas
mendekati 100%, dan upaya pencarian pengobatan bagi kelompok populasi ini perlu
ditingkatkan, dengan menggunakan cara peran aktif (participatory approach) oleh
kelompok sebaya, dan petugas kesehatan sebaya (peer health aducators) (3).
Untuk menjamin tingkat kemanjuran, para dokter tidak diperbolehkan untuk
menggunakan dosis obat lebih rendah dari dosis yang dianjurkan(3).
Tingkat Keamanan
Toksisitas merupakan pertimbangan kedua untuk pengobatan IMS, karena
seringnya pasien mengalami infeksi ulang, sehingga perlu diberi pengobatan
antimikroba berulang kali(3).
Disamping itu, pengobatan terhadap kuman penyebab IMS yang resisten
sering memerlukan pencapaian kadar serum antimikroba yang relatif tinggi selama 7
hari atau lebih. Sedangkan pemberian obat kombinasi akan lebih meningkatkan resiko
timbulnya efek samping obat. Dibeberapa tempat, doksisiklin tidak digunakan karena
mungkin bisa menyebabkan fotosensitisasi(1,3,4).
Munculnya sefalosporin generasi ketiga dalam rejimen yang dianjurkan,
karena tingkat kemanjurannya tinggi bahkan untuk organisme yang relatif resisten,
serta tingkat toksisitasnya yang rendah.

16

Pembiayaan
Dalam memperhitungkan biaya dari bermacam-macam rejimen pengobatan
yang ada, penting untuk dipertimbangkan bahwa biaya tersebut akan berpengaruh
pada kemanjuran pengobatan yang akan diperoleh, yaitu resiko pengulangan
pengobatan, resiko terjadinya penyebaran penyakit yang semakin luas, dan resiko
terjadinya peningkatan resistensi mikroba(3).
Penerimaan dan Kepatuhan Berobat
Kepatuhan berobat pasien merupakan masalah serius yang membatasi
kemanjuran pengobatan multidoses, misalnya pengobatan dengan eritromisin dan
tetrasiklin. Oleh karena itu cara yang paling dianjurkan adalah dengan pengobatan
dosis tunggal atau pengobatan dengan jangka waktu sangat pendek. Pelaksanaan
konseling dan penyuluhan kesehatan akan meningkatkan kepatuhan berobat dan
dianjurkan agar kegiatan ini dilaksanakan sebagai salah satu bagian dari
penatalaksanaan klinis pengobatan IMS(3).
Pada kelompok masyarakat tertentu, pengobatan per oral lebih disukai
daripada pengobatan secara injeksi, sebaliknya ada kelompok lain yang melihat cara
injeksi merupakan bentuk pengobatan yang lebih cocok bagi mereka(3).
Dengan adanya infeksi HIV, pilihan yang paling tepat adalah cara pengobatan
per oral dalam kaitan untuk mengurangi resiko yang berhubungan dengan penggunaan
peralatan injeksi yang tidak steril(3).
Penyediaan Obat
Ketersediaan beberapa obat yang bermutu perlu ditingkatkan dengan
memasukannya kedalam Daftar Obat Esensial Nasional(3).
Infeksi Ganda/ Campuran
Bilaman beberapa IMS lazim ditemukan pada suatu populasi tertentu, maka
infeksi ganda tentu sering ditemukan juga. Namun, sangat disayangkan bahwa
kemampuan pengobatan infeksi ganda dengan dosis tunggal terus menurun akibat
terjadinya resistensi N.gonorrhoeae terhadap tetrasiklin. Pada saat ini pemberian
pengobatan ganda hanya dilakukan terhadap infeksi N. gonorrhoeae dan C.
17

trachomatis bersama-sama. Infeksi ganda chancroid dan sifilis memerlukan cara


pengobatan ganda pula. Tingkat keparahan penyakit yang disebabkan oleh beberapa
kuman menular seksual patogen (misalnya virus Herpes simpleks, H. ducreyi, T.
Pallidum) akan meningkat dengan adanya infeksi HIV dan AIDS, sehingga
pengobatan perlu lebih ditingkatkan dan diperpanjang masa pengobatannya(3).
Resiko Penurunan Kemanjuran Obat karena Penggunaan Terhadap Indikasi
Lain.
Pengobatan ganda terhadap beberapa penyakit telah digunakan untuk
mencegah terjadinya resistensi pada tuberkulosis. Kemanjuran cara ini dalam
mencegah timbulnya resistensi terhadap IMS hingga saat ini belum diketahui.
Sayangnya resistensi terhadap sejumlah antimikroba dapat terjadi secara bersamaan
pada N.gonorrhoeae. Penggunaan beberapa macam obat dalam penatalaksanaan
pengobatan penyakit dengan penyebab polimikrobial (misalnya penyakit radang
panggul) atau pengobatan presumptive secara simultan terhadap beberapa infeksi
(misalnya penggunaan tetrasiklin terhadap klamidiosis bila dicurigai adanya gonore),
adalah sangat praktis dan dianjurkan(3,4).
Uraian Masing-Masing Obat
Sefalosporin
Beberapa generasi ketiga sefalosporin menunjukan efektivitas dalam
pengobatan gonore. Sefiksim memiliki kelebihan karena dapat diberikan per oral.
Sedangkan kemanjuran pengobatan seftriakson terhadap gonore dan chancroid tetah
terbukti(3,4).
Selain untuk pengobatan gonore ano- genital tanpa komplikasi, pemberian
seftriakson dosis tunggal juga efektif untuk oftalmia neonatorum dan konjungtivitis,
serta infeksi farings yang disebabkan oleh gonokokus. Oleh karena harganya yang
mahal, orang cenderung menggunakan seftriakson dengan dosis kurang dari 125 mg.
Namun hal ini akan mempercepat terjadinya resistensi dan cara pengobatan demikian
tidak dianjurkan(3).
Makrolid
Azitromisin merupakan derivat terbaru yang pada saat ini dianggap sebagai
obat pilihan utama untuk pengobatan klamidiosis. Obat ini memiliki bioavailabilitas
18

yang panjang dan dapat terakumulasi dalam sel tubuh, sehingga memungkinkan untuk
diberikan

dalam

dosis

tunggal.

Azitromisin

dalam

dosis

tunggal

menunjukkanefektivitas yang setara dengan pemberian doksisiklin 100 mg dua kali


sehari selama seminggu untuk pengobatan klamidiosis. Walaupun demikian,
pengobatan dengan azitromisin menjadi lebih mahal dibandingkan dengan pengobatan
kombinasi ganda untuk pengobatan gonore dosis tunggal dan pengobatan klamidiosis
dengan doksisiklin selama seminggu(3).
Sulfonamid
Penambahan trimetoprim pada sulfonamid tidak akan meningkatkan aktivitas
anti klamidianya. Pemberian tiga hari pengobatan dengan sulfametoksasol dan
trimetoprim tidak cukup adekust untuk pengobatan klamidiosis(3).
Kuinolon
Beberapa kuinolon baru cukup baik untuk digunakan sebagai pengobatan per
oral terhadap gonore. Penggunaan kuinolon merupakan kontraindikasi pada
kehamilan dan tidak dianjurkan untuk anak-anak dan dewasa muda. Siprofloksasin
dianggap memiliki aktivitas terbaik dalam mengobati N. Gonorrhoeae(1,3).
Resistensi gonokokus terhadap flourukuinolon secara umum meningkat sejak
tahun 1992, khususnya di kawasan Asia-Pasifik. Perlu dilakukan evaluasi terusmenerus terhadap resistensi kuinolon, karena kelompok obat ini masih tetap efektif di
sebagian besar belahan dunia(3).
Berdasarkan hasil penelitian terakhir, ofloksasin memiliki potensi yang cukup
baik bila diberikan dalam dosis 300 mg dua kali sehari selama 7 hari. Cara ini cukup
efektif untuk pengobatan baik terhadap gonore maupun klamidiosis, namun
penggunaan obat-obat ini menjadi terbatas mengingat mahalnya obat-obat ini dan
lamanya waktu pengobatan yang akan mempengaruhi kepatuhan pasien(3,4,5).
Tetrasiklin
Berbagai jenis tetrasiklin dengan tingkat kemanjuran yang setara sudah cukup
tersedia, dan obat-obat ini dapat digunakan sebagai pengganti untuk doksisiklin dan
tetrasiklin hidroklorid(3,4,5).
RESISTENSI N. gonorrhoeae TERHADAP ANTIMIKROBA
19

Terdapat dua tipe utama bentuk resistensi antimikroba terhadap gonokokus:


resistensi kromosomal dan plasmid mediated. Resistensi kromosomal menyangkut
penisilin dan beberapa obat lainnya yang digunakan secara luas seperti tetrasiklin,
spektinomisin, eritromisin, kuinolon, tiamfenikol, dan sefalosporin; sedangkan
resistensi plasmid mediated menyangkut peanisilin dan tetrasiklin. Resistensi
kromosomal

terhadap

N. gonorrhoeae, pembentukan

penisilinase

oleh

N.

gonorrhoeae, dan resistensi plasmid mediated yang menimbulkan galur-galur yang


resisten tehadap tetrasiklin, semuanya telah meningkat dan memberikan dampak besar
tehadap kemanjuran rejimen pengobatan yang bersifat tradisional dalam pengobatan
gonore(3).
PENGOBATAN SPESIFIK INFEKSI MENULAR SEKSUAL
1. Infeksi Gonokokus
Sebagian besar gonokokus yang berhasil diisolasi pada saat ini telah
resisten terhadap penisilin, tetrasiklin, dan antimikroba terdahulu lainnya,
sehingga obat-obat ini tidak bisa digunakan lagi untuk pengobatan gonore. Di
Indonesia, kanamisin dan tiamfenikol telah menunjukkan keampuhannya
kembali setelah lama ditinggalkan(1,4).
Secara umum dianjurkan pada semua pasien gonore juga diberikan
pengobatan bersamaan dengan obat anti klamidiosis, oleh karena infeksi
campuran antara klamidiosis dan gonore sering dijumpai. Cara pengobatan
demikian tidak dilakukan terhadap pasien klamidiosis yang telah didiagnosis
berdasarkan pemeriksaan khusus dengan tes laboratorium(1,3,4).
Pemilihan rejimen pengobatan sebaiknya mempertimbangkan pula
tempat infeksi, resistensi galur N.gonorrhoeae terhadap antimikrobial, dan
kemungkinan infeksi Chlamydia trachomatis yang terjadi bersamaan. Oleh
karena seringkali terjadi koinfeksi dengan C.trachomatis, maka pada seorang
dengan gonore dianjurkan pula untuk diberi pengobatan secara bersamaan
dengan rejimen yang sesuai untuk C.trachomatis(1,4).
Macam-macam obat yang dapat dipakai antara lain :
-

Penisilin

Ampisilin dan amoksisilin

Sefalosporin

Spektinomisin
20

Kanamisin

Tiamfenikol

Kuinolon

Infeksi Anogenital tanpa Komplikasi


Cara pengobatan yang dianjurkan
-

Tiamfenikol, 3,5 g, per oral, dosis tunggal, atau

Ofloksasin, 400 mg, per oral, dosis tunggal, atau

Kanamisin, 2 g, intra muskuler, dosis tunggal, atau

Spektinomisin, 2 g, intramuskuler, dosis tunggal.

Pilihan pengobatan lain


-

Siprofloksasin, 500 mg, peroral, dosis tunggal, atau

Seftriakson, 250 mg, intramuskuler, dosis tunggal, atau

Sefiksim, 400 mg, per oral, dosis tunggal.

Siprofloksasin, ofloksasin, dan tiamfenikol merupakan kontraindikasi


untuk kehamilan dan tidak dianjurkan diberikan kepada anak dan dewasa
muda/remaja. Data yang masih kontroversial menunjukkan bahwa angka
penyembuhan azitromisin terhadap infeksi gonokokus menunjukkan hasil
tebaik dengan menggunakkan 2 gram dosis tunggal. Pemberian dengan dosis 1
gram memberikan efek tetapi lebih rendah yang mungkin dapat menyebabkan
resistensi secara cepat(1,3).
Secara individual terdapat beberapa perbedaan aktivitas anti gonokokal
dari kuinolon, dan dianjurkan untuk menggunakan obat yang paling
efektif(1,3,5).
2. Infeksi yang Menyebar
Gonore dengan Komplikasi
Gonore dengan komplikasi seperti bartolinitis, epididimitis, orkitis dan
lain-lain, harus diobati dengan rejimen dosis ganda (multipel dose) (3,4).
Cara pengobatan yang dianjurkan
Lama pengobatan per oral 5 hari, dan per injeksi 3 hari :

21

Tiamfenikol, 3,5 g, per oral, sekali sehari, atau

Ofloksasin, 400 mg, per oral, sekali sehari, atau

Kanamisin, 2 g, intramuskuler, sekali sehari, atau

Spektinomisin, 2 g, intramuskuler, sekali sehari.

Pilihan pengobatan lain


Lama pengobatan per oral 5 hari, dan per injeksi 3 hari :
-

Siprofloksasin, 500 mg, per oral, sekali sehari, atau

Seftriakson, 1 g, intramuskuler atau intravena, sekali sehari,


(sebagai

alternatif

generasi

ketiga

sefalosporin

dapat

digunakan, bila seftriakson tidak tersedia, namun perlu


pemberian yang lebih sering), atau
-

Sefiksim, 400 mg, per oral, sekali sehari

Untuk meningitis dan endokarditis yang disebabkan oleh gonokokus


dapat diberikan dalam dosis yang sama, namun memerlukan jangka waktu
pemberian yang lebih lama, yaitu selama 4 minggu untuk endokarditis.
3. Oftalmia akibat Infeksi Gonokokus
Oftalmia gonore merupakan kasus serius sehingga memerlukan
pengobatan sistemik disertai irigasi lokal menggunakan larutan NaCl 0,9%
fisiologis atau larutan lainnya(1,3,4).

Konjungtivitis Gonore pada Usia Dewasa


Cara pengobatan yang dianjurkan
-

Seftriakson, 250 mg, intramuskuler, dosis tunggal, atau

Spektinomisisn, 2 g, intramuskuler, dosis tunggal, atau

Siprofloksasin, 500 mg, per oral, dosis tunggal, atau

Ofloksasin, 400 mg, per oral, dosis tunggal(5)

Tindak lanjut
Observasi terhadap gejala klinis perlu dilakukan secara cermat.

Konjungtivitis Gonore pada Neonatus


Cara pengobatan yang dianjurkan
-

Seftriakson, 50-100 mg/KgBb, intramuskuler, dosis tunggal, dosis


maksimum 125 mg(5).

Pilihan pengobatan lain

22

Kanamisin, 25 mg/KgBB, intramuskuler, dosis tunggal (dosis


maksimum 75 mg), atau

Spektinomisisn, 25 mg/KgBB, intramuskuler, dosis tunggal (dosis


maksimum 75 mg) (5).

Tindak lanjut
Pasien agar dipantau kembali sesudah 48 jam
Pencegahan Oftalmia Neonatorum
Pengobatan pencegahan yang diberikan pada saat yang tepat akan mencegah
timbulnya oftalmia neonatorum yang disebabkan oleh gonokokus. Mata bayi
yang baru lahir agar dibersihkan secepatnya segera sesudah lahir, dan
kemudian ditetesi dengan larutan nitras argenti 1% atau salep tetrasiklin 1%
sebagai upaya pencegahan. Bayi yang lahir dari ibu dengan infeksi gonokokus
agar diberikan pengobatan pencegahan sebagai berikut :
Cara pengobatan yang dianjurkan :
-

Seftriakson 50 mg/KgBB, intramuskuler, dosis tunggal (dosis


maksimum 125 mg).

Pilihan pengobatan lain :


-

Kanamisin, 25 mg/KgBB, intramuskuler, dosis tumggal, (dosis


maksimum 75 mg), atau

Spektinomisin, 25 mg/KgBB, intramuskuler, dosis tumggal, (dosis


maksimum 75 mg) (5).

4. Infeksi Chlamidia trachomatis (bukan limfogranuloma venereum)

Infeksi Anogenital tanpa Komplikasi


Dianjurkan bahwa pengobatan infeksi klamidiosis harus diberikan

pada semua laki-laki dengan keluhan duh tubuh uretra dan mitra seksualnya.
Cara pengobatan yang dianjurkan
- Doksisiklin** 100 mg, per oral, 2 kali sehari, selam 7 hari, atau
- Azitromisin, 1 g, per oral, dosis tunggal
Pilihan pengobatan lain
-

Amoksisilin, 500 mg, per oral, 3 kali perhari, selama 7 hari,


atau

Eritromisin, 500 mg, per oral, 4 kali perhari, selama 7 hari, atau

23

Ofloksasin, 200 mg, per oral, 2 kali perhari, selama 9 hari, atau

Tetrasiklin, 500 mg, per oral, 4 kali perhari, selama 7 hari.

Doksisiklin (dan tetrasiklin lainnya) merupakan kontraindikasi

Catatan :
pada masa kehamilan dan masa menyusui.
-

Kenyataan saat ini mengindikasikan bahwa 1 gram azitromisin


yang diberikan dalam dosis tunggal cukup manjur untuk infeksi
klamidiosis(5).

Telah terbukti bahwa pengobatan yang melebihi 7 hari merupakan hal


yang kritis. Sampai saat ini belum pernah dijumpai adanya resistensi C.
trachomatis terhadap pengobatan yang sesuai dengan rejimen yang
dianjurkan(4).
Tetrasiklin sampai saat ini masih efektif untuk pengobatan Chlamydia
dan Ureaplasma urelyticum. Eritromisin lebih efektif terhadap Ureaplasma
dibandingkan terhadap Chlamydia. Obat ini dipakai untuk mengobati wanita
hamil dengan IGNS(4).
Doksisiklin merupakan obat yang paling banyak dianjurkan, karena
cara pemakaian yang lebih mudah dan dosis lebih. Azithromisin merupakan
suatu terobosan baru dalam pengobatan masa sekarang, dengan dosis tunggal
1 gram sekali minum dan juga efektif untuk gonore(4).
5. Infeksi Trichomonas vaginalis pada uretritis
Pengobatan yang dianjurkan
Pengobatan trikomoniasis harus diberikan kepada penderita yang
menunjukkan gejala maupun tidak. Rejimen yang dianjurkan untuk
pengobatan adalah Metronidazol 2 gram oral dosis tunggal, atau 5nitroimidazol 2 gram oral dosis tunggal. Rejimen alternatif adalah
Metronidazol 2x0,5 gram oral selama 7 hari(4).
Penderita yang sedang mendapatkan pengobatan metronidasol harus
menghentikan minum alkohol. Berbagai laporan menunjukkan angka
kesembuhan antara 82-88% pada wanita dan angaka ini meningkat menjadi
95% bila mitra seksual penderita diberi pengobatan pula. Bila keluhan
menetap penderita diharuskan datang untuk pemeriksaan ulang 7 hari setelah
24

pengobata. Pemeriksaan dilakukan seperti pada pemeriksaan pertama.


Penderita dinyatakan sembuh bila keluhan dan gejala telah menghilang, serta
parasit tidak ditemukan lagi pada pemeriksaan sediaan langsung(4).
Bila terjadi kegagalan pengobatan, maka tahapan pengobatan berikut
dapat dilaksanakan : Metronidazol 2 x 0,5 gram oral selama 7 hari. Dan bila
masih gagal, dapat diberikan Metronidazol 2 gram oral dosis tunggal selama
3-7 hari ditambah Metronidazol tablet vaginal 0,5 gram, malam hari selama 37 hari. Bila ternyata masih gagal pula, hendaknya dilakukan biakan dan tes
resistensi(4).
Pengobatan mitra seksual
Mitra seksual penderita harus diobati sesuai dengan rejimen penderita.
Dosis yang dianjurkan untuk mitra seksual pria adalah dosis multipel selama 7
hari(4).
Empat Komponen Utama dalam Pencegahan dan Penanggulangan IMS :

Memberikan penyuluhan terhadap setiap orang yang berperilaku resiko tinggi


terhadap penularan penyakit untuk mengurangi resiko penularan,

Mendeteksi infeksi baik yang asimtomatik maupun yang simtomatik yang


tidak mau memeriksakan dirinya untuk mendapatkan pengobatan yang tepat,

Penatalaksanaan yang efektif untuk mereka yang terinfeksi,

Pemberian pengobatan dan penyuluhan terhadap mitraseksual dari mereka


yang terinfeksi(3).
Upaya pencegahan IMS terutama didasarkan pada upaya untuk melakukan

perubahan perilaku seksual seseorang yang beresiko tertular IMS dan promosi
penggunaan kondom(3).

25

DAFTAR PUSTAKA
1.

Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2005. Tinjauan Penyakit Menular Seksual
dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Hal 361-362. Jakarta: Balai penerbit
FKUI.

2.

Freedberg, I.M., Eisen, A.Z., Wolff, K., Austen, F., Goldsmith, L.A., Katz S.
2003. FITZPATRICKS DERMATOLOGY IN GENERAL MEDICINE. Hal
2198-2213. New York : McGraw-Hill.

3.

Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular


dan Penyehatan Lingkungan. 2004. Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular
Seksual. Hal 9-71. Jakarta : Departeman Kesehatan RI.

4.

Daili, S.F., Makes, W.I.B., Zubier, F., Judanarso, J. 2003. Gonore, Infeksi
Genital Non Spesifik, Trikomoniasis dalam Penyakit Menular Seksual. Hal 4472. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

5.

Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNPAD/RS.dr.Hasan Sadikin.


2005. Infeksi Menular Seksual dalam Standar Pelayanan Medik Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin. Hal 1-4. Bandung: FK UNPAD.

26

Anda mungkin juga menyukai