Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Gbr. 12-1. Sistem Saraf Simpatis. Inervasi organ, tipe reseptor dan respon terhadap
stimulasi. Rantai simpatis berasal dari spinal cord thoracoabdominal (T1 L3), yang
bertolak belakang dengan distribusi craniosacral dari sistem saraf parasimpatis.
Perbedaan anatomi lain merupakan perubahan yang jauh dari ganglion simpatis ke
struktur visceral.
FISIOLOGI ADRENOSEPTOR
Istilah adrenergik awalnya menggambarkan efek dari adrenalin (epinefrin), yang
merupakan lawan dari efek kolinergik asetilkolin. Saat ini diketahui bahwa norepinefrin
(noradrenalin) merupakan neurotransmiter yang bertanggung jawab pada hampir
sebagian besar dari aktifitas adrenergik sistem saraf simpatis. Dengan pengecualian untuk
kelenjar keringat ekrin dan beberapa pembuluh darah, norepinefrin dilepaskan oleh seratserat simpatis postganglion dan jaringan end organ. Sebaliknya, asetilkolin dilepaskan
oleh serat-serat simpatis preganglion dan seluruh serat parasimpatis.
Norepinefrin disintesa di sitoplasma dan dibungkus di dalam serabut simpatis
postganglionik. Setelah pelepasan melalui proses eksositosis, kerja norepinefrin diakhiri
dengan reuptake ke ujung saraf postganglionik (dihambat oleh antidepresan trisiklik),
difusi dari reseptor-reseptor atau metabolisme monoamine oksidase dihambat oleh
monoamine oksidase inhibitor dan cathecol-0-methyltransferase. Perpanjangan aktifitas
adrenergik memicu desensitisasi dan hiporesponsiveness terhadap stimulasi yang jauh.
Reseptor-reseptor adrenergik dibagi menjadi dua kategori, yaitu dan . Masingmasing dibagi lagi menjadi dua subtipe, yaitu 1 dan 2 serta 1 dan 2.
Reseptor 1
Reseptor 1 adalah adrenoseptor postsinaptik yang bertempat di otot polos di
seluruh tubuh, di mata, paru-paru, pembuluh darah, uterus, usus dan sistem urogenital.
Mekanisme kerja reseptor ini adalah meningkatkan konsentrasi ion kalsium intrasel yang
menimbulkan terjadinya kontraksi. Selain itu, agonis 1 dihubungkan dengan midriasis
(dilatasi pupil sampai terjadinya kontraksi dari otot-otot radial mata), bronkokonstriksi,
vasokonstriksi, kontraksi uterus dan kontraksi spingter di gastrointestinal dan urogenital.
Stimulasi 1 juga menghambat sekresi insulin dan lipolisis. Miokardium dapat
menunjukkan reseptor-reseptor 1 yang memiliki inotropik positif dan efek negatif dari
kronotropik. Selain itu, efek kardiovaskuler yang paling penting dari stimulasi 1 adalah
vasokonstriksi, yang meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer, afterload ventrikel
kiri dan tekanan darah arteri.
Gbr. 12-2. Sintesa norepinefrin. Hidroksilasi dari tirosin menjadi dopa memiliki langkah
yang terbatas. Dopamin secara aktif memindahkannya ke dalam vesikel penyimpanan.
Norepinefrin dapat diubah menjadi epinefrin di dalam medula adrenal.
Reseptor 2
Kebalikan dari reseptor 1, reseptor-reseptor 2 berlokasi di saraf terminal
presinaptik. Aktivitas dari adrenoseptor tersebut menghambat aktivitas adenylate cyclase.
Hal ini mengurangi masuknya ion kalsium ke dalam saraf terminal, yang membatasi
eksositosis vesikel-vesikel penyimpanan yang berisi norepinefrin. Kemudian, reseptorreseptor 2 menciptakan umpan balik negatif yang secara lebih jauh menghambat
pelepasan norepinefrin dari saraf. Sebagai tambahan, otot polos vaskuler mengandung
reseptor-reseptor 2 postsinaptik yang menyebabkan vasokonstriksi. Yang lebih penting,
stimulasi dari reseptor-reseptor 2 postsinaptik di sistem saraf pusat mengakibatkan
terjadinya sedasi dan mengurangi aliran balik simpatis, yang menyebabkan vasodilatasi
di perifer dan penurunan tekanan darah.
Reseptor 1
Reseptor 1 yang paling utama berada di membran postsinaptik di jantung.
Stimulasi dari reseptor-reseptor tersebut mengaktivasi adenylate cyclase, yang mengubah
adenosin trifosfat menjadi siklik adenosin monofosfat dan mengawali proses fosforilase
kinase. Awal dari proses rangkaian tersebut memiliki efek kronotropik positif
(meningkatkan denyut jantung), efek dromotropik (meningkatkan konduksi) dan efek
inotropik (meningkatkan kontraktilitas).
Reseptor 2
Reseptor 2 terutama sebagai adrenoseptor postsinaptik yang berlokasi di otototot polos dan sel-sel kelenjar. Ia berbagi mekanisme kerja dengan reseptor-reseptor 1,
yaitu aktivasi adenylate cyclase. Selain hal itu, stimulasi 2 menyebabkan relaksasi otot
polos yang mengakibatkan bronkodilatasi, vasodilatasi dan relaksasi uterus (tokolisis),
kandung kemih dan usus. Glikogenolisis, lipolisis, glukoneogenesis dan pelepasan insulin
distimulasi oleh aktivitas reseptor 2. Agonis 2 juga mengaktivasi pompa Na-K, yang
menyebabkan kalium masuk ke intrasel dan dapat menyebabkan hipokalemia dan
disritmia.
Epinefrin
Norepinefrin
MAO
Metabolic
Pathway
in nerve
endings
VANILLYLMANDELIC ACID
(VMA)
MAO
Normetanefrin
Metanefrin
Metabolic
Pathway
COMT
COMT
in liver
Norepinefrin
Epinefrin
AGONIS ADRENERGIK
Agonis
adrenergiksekuensial
berinteraksi
dengan
berbagaidan
spesifisitas
dan
Gbr. 12-3.
Metabolisme
dari
norepinefrin
epinefrin.(selektifitas)
Monoaminedioksidase
adrenoseptor.
Ketumpangtindihan
aktivitas
tersebut
berkomplikasi
pada
prediksi
(MAO) dan catechol-0-metyltransferase (COMT) menghasilkan produk dari
akhir,
efek
klinis.
Contohnya,
epinefrin
menstimulasi
1,
2,
1
dan
2
adrenoseptor.
Efek
pada
vanillylmandelic acid (VMA).
tekanan darah arterial tergantung pada keseimbangan antara vasokonstriksi 1, 2 dan
vasodilatasi 1 serta pengaruh-pengaruh dari 1 inotropik. Walaubagaimanapun,
keseimbangan ini berubah pada dosis yang berbeda.
Agonis adrenergik dapat dikategorikan sebagai direk dan indirek. Agonis direk
berikatan dengan reseptor, sedang agonis indirek meningkatkan aktivitas neurotransmiter
endogen. Mekanisme kerja dari indirek termasuk peningkatan pelepasan atau penurunan
pengambilan dari norepinefrin. Perbedaan antara mekanisme kerja direk dan indirek
adalah penting bagi pasien-pasien yang mempunyai simpanan abnormal norepinefrin
endogen ditubuhnya, yang timbul bersamaan dengan penggunaan obat antihipertensi atau
penghambat monoamine oksidase. Hipotensi intra operatif pada pasien-pasien ini harus
diterapi dengan agonis direk karena respon mereka terhadap agonis indirek akan berubah.
Beberapa buku membedakan agonis adrenergik dari struktur kimianya. Agonis
adrenergik yang memiliki struktur 3,4 dihydroxybenzene disebut katekolamin. Obat ini
memiliki tipe short acting karena dimetabolisme oleh monoamine oksidase dan katekol0-metiltransferase. Pasien-pasien yang mengkonsumsi penghambat monoamine oksidase
atau antidepresan trisiklik dapat menunjukkan respon yang berlebihan terhadap
katekolamin. Katekolamin yang terbentuk secara alami adalah epinefrin, norepinefrin dan
dopamin (DA). Merubah rantai struktur (R1, R2, R3) katekolamin alamiah dapat memacu
perkembangan dari katekolamin sintetik (contoh, isoproterenol dan dobutamin) yang
lebih spesifik.
Agonis adrenergik yang digunakan dalam anestesiologi akan dibicarakan secara
terpisah. Perlu dicatat bahwa dosis rekomendasi untuk infus secara kontinue digambarkan
dengan g/kg/mnt untuk beberapa agen dan g/mnt untuk yang lainnya. Dalam kasus
lain, rekomendasi ini sebaiknya hanya sebagai pegangan, karena respon individu sangat
bervariasi.
Fenilefrin
Pertimbangan Klinis
Fenilefrin adalah nonkatekolamin dengan aktivitas agonis 1 direk (dosis tinggi
dapat menstimulasi reseptor-reseptor 2 dan ). Efek primernya adalah vasokonstriksi
perifer dengan kenaikan resistensi pembuluh darah sistemik dan tekanan darah secara
konkomitan. Refleks bradikardi dapat mengurangi cardiac output. Aliran darah koroner
meningkat karena efek vasokonstriksi langsung dari fenilefrin terhadap arteri-arteri
koroner yang sebelumnya mengalami vasodilatasi karena pelepasan faktor-faktor
metabolik.
Dosis dan Sediaan
Bolus intravena dosis kecil dari fenilefrin, sekitar 50 100 g (0,5 1 g/kg),
secara cepat mengembalikan pengurangan tekanan darah yang disebabkan oleh
vasodilatasi perifer (contoh, anestesi spinal). Infus kontinue (100 g/ml dengan
kecepatan 0,25 1 g/kg/mnt) akan memelihara tekanan darah arteri pada aliran darah
ginjal. Takifilaksis timbul pada pemberian infus fenilefrin dengan titrasi. Fenilefrin harus
dilarutkan dari 1 % larutan (10 mg/1 ml amp), biasanya hingga mencapai 100 g/ml
larutan.
Agonis 2
Pertimbangan Klinis
Metildopa, obat prototipe, merupakan analog dari levodopa. Metildopa memasuki
alur sintesa norepinefrin dan diubah menjadi metilnorepinefrin dan metilepinefrin.
Transmiter palsu ini mengaktivasi adrenoseptor, khususnya reseptor-reseptor 2 sentral.
Pertimbangan Klinis
Stimulasi langsung dari reseptor-reseptor 1 oleh epinefrin meningkatkan cardiac
output dan kebutuhan oksigen myocardial dengan meningkatkan kontraktilitas dan
denyut jantung (meningkatkan spontanitas depolarisasi fase IV). Stimulasi 1
menurunkan aliran splanknik dan aliran darah ginjal tapi meningkatkan tekanan koroner
dan tekanan perfusi otak. Tekanan darah sistolik naik, meskipun vasodilatasi mediasi 2
di otot-otot rangka dapat menurunkan tekanan diastolik. Stimulasi dari 2 juga
merelaksasi otot-otot polos bronkial.
Terapi epinefrin adalah terapi farmakologi utama untuk anafilaksis dan digunakan
untuk mengobati fibrilasi ventrikel. Komplikasinya bisa terjadi perdarahan serebral,
iskemik koroner dan disritmia ventrikel. Obat-obat volatile, khususnya halotan,
berpotensi untuk terjadinya efek disritmia oleh epinefrin.
Dosis dan Sediaan
Pada keadaan darurat (contoh, shock dan reaksi-reaksi alergi), epinefrin diberikan
secara bolus intra vena sebesar 0,05 1 mg tergantung dari pertimbangan beratnya
gangguan kardiovaskuler. Untuk memperbaiki kontraktilitas myocardial atau denyut
jantung, tersedia juga infus kontinue (1 mg dalam 250 ml D5W [4 g/ml]) dengan dosis
sekitar 2 20 g/mnt. Beberapa larutan lokal anestesi berisi epinefrin dengan konsentrasi
sebesar 1 : 200.000 (5 g/ml) atau 1 :100.000 (10 g/ml) telah dikarakterisasi oleh
absorbsi sistemik dan durasi kerja yang panjang. Epinefrin tersedia dalam bentuk vial
dengan konsentrasi sebesar 1 : 1000 (1 mg/ml) dan prefilled syringes pada konsentrasi 1 :
10.000 (0,1 mg/ml [100 g/ml]). Untuk anak-anak digunakan konsentrasi 1 : 100.000
(10 g/ml).
Efedrin
Pertimbangan Klinis
Efek kardiovaskuler dari efedrin serupa dengan epinefrin, meningkatkan tekanan
darah, denyut jantung, kontraktilitas dan cardiac output. Selain itu, efedrin juga
merupakan bronkodilator. Ada perbedaan-perbedaan penting diantara keduanya, yaitu
efedrin memiliki durasi kerja yang panjang karena ia merupakan nonkatekolamin, yang
kurang poten, memiliki kerja direk dan indirek dan menstimulasi sistem saraf pusat
(meningkatkan MAC). Properti agonis indirek dari efedrin dapat mencapai stimulasi
sentral, pelepasan norepinefrin perifer postsinaptik atau menghambat pengambilan
norepinefrin.
Efedrin biasa digunakan sebagai vasopresor selama anestesia berlangsung.
Sebagai contoh, penatalaksanaannya harus selalu diperhatikan ketika penyebab
hipotensinya diketahui dan terulang kembali. Tidak seperti agonis 1 yang bekerja secara
langsung, efedrin tidak menurunkan aliran darah uterin. Sehingga vasopresor ini lebih
sering dipilih untuk kasus-kasus obstetri. Efedrin juga telah dilaporkan sebagai obat-obat
antiemetik, terutama yang berhubungan dengan hipotensi yang disebabkan oleh anestesi
spinal. Pengobatan klonidin menguatkan efek dari efedrin.
Dosis dan Sediaan
Pada orang dewasa, efedrin diberikan secara bolus sebesar 2,5 10 mg, pada anak
secara bolus sebesar 0,1 mg/kg. Dosis selanjutnya ditingkatkan untuk menghasilkan
takifilaksis, yang bisa menyebabkan terjadinya pengurangan simpanan norepinefrin.
Efedrin tersedia dalam 1ml ampul yang terdiri dari 25 sampai 50 mg obat.
Norepinefrin
Pertimbangan Klinis
Stimulasi dari 1 langsung tanpa aktivitas 2 mencetuskan vasokonstriksi yang
intensif dari pembuluh darah arteri dan vena. Peningkatan kontraktilitas myocardial dari
efek 1 dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri, tapi peningkatan afterload
dan refleks bradicardia mencegah kenaikan dari cardiac output. Penurunan aliran darah
ginjal dan peningkatan kebutuhan oksigen myocardial membatasi penggunaan dari
norepinefrin pada pengobatan shock yang berulang, dimana kebutuhan vasokonstriksi
dilakukan untuk memelihara tekanan perfusi jaringan. Norepinefrin telah digunakan
bersamaan dengan bloker (contoh, fentolamin) untuk mendapatkan keuntungan dari
aktivitas tanpa penggunaan vasokonstriksi yang disebabkan oleh stimulasi tersebut.
Ekstravasasi dari norepinefrin dalam pemberian intra vena dapat menyebabkan nekrosis
jaringan.
Dosis dan Sediaan
Norepinefrin diberikan secara bolus (0,1 g/kg) atau infus kontinue (4 mg obat
dalam 500 ml D5W [8 g/ml]) dengan kecepatan 2 20 g/mnt. Sediaan ampul
mengandung 4 mg norepinefrin dalam 4 ml larutan.
Dopamin
Pertimbangan Klinis
Efek klinis dari DA, agonis direk dan indirek yang non selektif, bervariasi
tergantung dari dosisnya. Dosis kecil ( 2 g/kg/mnt) memiliki efek adrenergik yang
minimal tapi mengaktivasi reseptor-reseptor dopaminergik. Stimulasi dari reseptorreseptor dopaminergik ini (terutama reseptor-reseptor DA1) mengakibatkan vasodilatasi
dari pembuluh darah ginjal dan menghasilkan diuresis. Pada dosis sedang (2 10
g/kg/mnt) stimulasi 1 meningkatkan kontraktilitas myocardial, denyut jantung dan
curah jantung. Kebutuhan oksigen myocardial meningkat melebihi pemasukan oksigen.
Efek 1 menjadi lebih jelas pada dosis tinggi (10-20 g/kg/mnt), yang menyebabkan
peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan turunnya aliran darah ginjal. Efek
tidak langsung dari DA adalah terjadinya pelepasan dari Norepinefrin, yang bertambah
pada dosis diatas 20 g/kg/mnt.
DA umumnya digunakan pada terapi shock untuk memperbaiki curah jantung,
mempertahankan tekanan darah dan memelihara fungsi ginjal. DA biasanya
dikombinasikan dengan vasodilator (contoh, nitrogliserin atau nitropruside), yang
mengurangi afterload dan lebih jauh lagi untuk memperbaiki curah jantung. Efek
kronotropik dan disritmogenik dari DA membatasi penggunaannya pada beberapa
pasien.
Dosis dan Sediaan
DA tersedia dalam bentuk infus kontinue (400 mg dalam 1000 ml D5W; 400
g/ml) dengan kecepatan 1 20 g/kg/mnt. DA banyak tersedia dalam ampul 5 ml yang
berisi 200 400 mg dari DA.
Isoproterenol
Fenoldopam
Pertimbangan Klinis
Fenoldopam merupakan agonis reseptor DA1 yang selektif yang memiliki banyak
kelebihan DA tapi dengan sedikit atau tidak ada aktivitas dari atau adrenoseptor atau
agonis reseptor DA2. Fenoldopam menunjukkan efek hipotensi yang diperlihatkan
dengan penurunan resistensi pembuluh darah vaskuler, bersamaan dengan peningkatan
aliran darah ginjal, diuresis dan natriuresis. Obat ini diindikasikan pada pasien-pasien
dengan operasi jantung dan perbaikan aneurisma aorta, karena sifat antihipertensi dan
proteksi ginjalnya. Obat ini juga diindikasikan untuk pasien-pasien dengan hipertensi
berat, khususnya dengan gangguan ginjal.
Dosis dan Sediaan
Fenoldopam tersedia dalam ampul 1ml, 2ml dan 5ml, 10 mg/ml. Dimulai dengan
infus kontinue 0,1 g/kg/mnt, meningkat secara bertahap menjadi 0,1 g/kg/mnt pada
interval 15-20 menit sampai target tekanan darah tercapai. Dosis rendah diasosiasikan
dengan berkurangnya refleks takikardi.
Tabel 12-1. Selektivitas reseptor dari agonis adrenergik
DRUG
1
2
1
2
DA1
DA2
Phenylephrine
+++
+
+
0
0
0
Metyldopa
+
+++
0
0
0
0
Clonidine
+
+++
0
0
0
0
Epinephrine
++
++
+++
++
0
0
Ephedrine
++
?
++
+
0
0
Fenoldopam
0
0
0
0
+++
0
Norepinephrine
++
++
++
0
0
0
Dopamine
++
++
++
+
+++
+++
Dopexamine
0
0
+
+++
++
+++
Dobutamine
0/+
0
+++
+
0
0
Terbutaline
0
0
+
+++
0
0
0 = no effect
+ = agonist effect (mild, moderate, marked) ? = unknown effect
DA1 dan DA2 = reseptor-reseptor dopaminergik
Tabel 12-2. Efek dari Agonis Adrenergik terhadap Sistem Organ
DRUG
HR
MAP
COP
PVR
BD
RBF
Phenylephrine
Epinephrine
Ephedrine
Fenoldopam
/
/
Norepinephrine
Dopamine
/
Dopexamine
/
/
Isoproterenol
/
Dobutamine
2 Blockade
0
0
+
0
0
Hepatic
Metabolism
0
0
+
+
+
T
6-7
-
4
3-4
4-6
DISKUSI KASUS
Seorang laki-laki berusia 45 tahun dengan riwayat serangan nyeri kepala paroksismal,
hipertensi, berkeringat dan palpitasi, yang akan dijadwalkan untuk reseksi
pheochromocytoma abdominal.
1. Apakah pheochromocytoma itu ?
Pheochromocytoma adalah tumor pembuluh darah dari jaringan chromaffin
(umumnya medulla adrenal) yang memproduksi dan mensekresi norepinefrin dan
epinefrin. Diagnosis dan penatalaksanaan penyakit ini berdasarkan efek dari tingkatan
sirkulasi yang abnormal dari agonis adrenergik endogen.
2. Bagaimana diagnosis pheochromocytoma berdasarkan hasil laboratorium ?
Ekskresi urin yang mengandung asam vanillylmandelic (hasil akhir dari metabolisme
katekolamin), norepinefrin dan epinefrin biasanya meningkat. Peningkatan level dari
normetanefrin dan metanefrin urin menunjukkan diagnosis yang sangat akurat.
Konsentrasi plasma total dari katekolamin juga akan meningkat. Posisi tumor dapat
ditentukan dengan MRI, CT Scan, USG atau Scintigraphy.
3. Patofisiologi apa yang dihubungkan dengan peningkatan norepinefrin dan
epinefrin kronis ?
Stimulasi 1 meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan tekanan darah
arteri. Hipertensi dapat memacu pengurangan volume intravaskuler (peningkatan
hematokrit), gagal ginjal dan perdarahan otak. Peningkatan resistensi vaskuler perifer
juga meningkatkan kerja jantung, yang merupakan predisposisi bagi pasien-pasien
untuk menjadi iskemik myocardial, hipertropi ventrikel dan gagal jantung kongesti.
Perpanjangan paparan norepinefrin dan epinefrin dapat memacu timbulnya
cardiomyopati karena katekolamin. Hiperglikemia merupakan akibat dari penurunan
sekresi insulin dalam menghadapi peningkatan glikogenolisis dan glukoneogenesis.
Stimulasi 1 meningkatkan otomatisasi dan ektopi ventrikel.
4. Antagonis adrenergik yang mana yang dapat membantu dalam mengontrol efek
dari hipersekresi norepinefrin dan epinefrin ?
Phenoxybenzamine, suatu antagonis 1, secara efektif dapat mengembalikan
vasokonstriksi, mengakibatkan jatuhnya tekanan darah arterial dan peningkatan
volume intravaskuler (turunnya hematokrit). Intoleransi glukosa sering terkoreksi.
Phenoxybenzamine dapat diberikan secara oral dan onsetnya lebih panjang dari pada
fentolamin, suatu antagonis 1 lain. Untuk alasan ini, phenoxybenzamine sering
diberikan pada preoperatif untuk mengontrol gejala-gejala.
Phentolamine intra vena biasa digunakan pada intraoperatif untuk mengontrol episode
hipertensi. Dibandingkan dengan agen hipotensi lain, fentolamin memiliki onset
lambat dan durasi kerja yang panjang, selain itu, takifilaksis sering timbul.
Blokade 1 dengan agen lain seperti labetalol direkomendasikan untuk pasien-pasien
dengan takikardi atau disritmia ventrikel.
5. Mengapa reseptor 1 harus diblok oleh fenoxibenzamin sebelum pemberian
antagonis ?
Jika reseptor diblok terlebih dahulu, norepinefrin dan epinefrin akan memproduksi
stimulasi yang tidak berlawanan. Vasodilatasi mediasi 2 tidak dapat mengimbangi
vasokonstriksi 1 dan resistensi pembuluh darah perifer akan meningkat. Hal ini
menjelaskan hipertensi paradoksal yang dilaporkan pada beberapa pasien dengan