Esai Debat
Esai Debat
Manusia di era saat ini, seakan-akan ikut mati apabila listrik mati.
Pernyataaan yang ironis, namun benar adanya, ketika kita mengupas sedikit hal
tentang satu bahasan yang begitu penting, yakni sumber listrik dan pemenuhannya.
Satu tahun pemerintahan era Presiden Joko Widodo telah berjalan, dan negeri ini
masih dalam perjalanan menyempurnakan pemenuhan pasokan-pasokan listrik ke
seluruh ujung wilayah bentangan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penduduk
negeri yang berada di wilayah terjangkau kemudahan mengakses sumber listrik,
tentu sudah mengalami berbagai keuntungan untuk mempermudah kehidupannya.
Namun, bagaimana dengan perjuangan masyarakat ujung negeri untuk
mendapatkan listrik secara fulltime masih cukup krusial diperbincangkan?
Konsumsi listrik per kapita Indonesia menurut data IEA tahun 2012 hanya
sebesar 733 kWh. Sedangkan Malaysia ada di 4.313 kWh/kapita dan Singapura
8.690 kWh/kapita. Benar, Indonesia masih berkembang dan akan terus mengejar
kemakmuran yang diidamkan seperti negara-negara tersebut. Namun, kondisi ini
membutuhkan perhatian yang tinggi, salah satunya dalam hal dasar, pemenuhan
konsumsi listrik. Pemakaian listrik pada Mei 2013 tumbuh 9,96 % bila dibanding
dengan pemakaian listrik pada Mei 2012. Sementara pertumbuhan pemakaian
listrik bulan Mei 2012 bila dibandingkan pemakaian Mei 2011 sebesar 9,68%.
Sudah cukup wajar, listrik harus segera dipenuhi, yang efeknya akan berantai pada
pertumbuhan industri, pemerataan kesejahteraan, yang tentunya akan berimplikasi
pada perkembangan Indonesia. Pada pemerintahan Presiden Jokowi saat ini,
terdapat program kemandirian Jokowi-JK, yang diantaranya adalah pembangunan
pembangkit listrik berkapasitas 35.000 MW sampai dengan 2019 serta
pembangunan listrik pedesaan melalui jaringan distribusi 8.477 kms dan gardu
distribusi 178,6 MVA. Namun pemerintah akan memangkas target proyek
pembangkit listrik menjadi 16.000 MW. Tentu problematika kelistrikan ini masih
sangat urgent diperbincangkan, mengingat polemik kebijakan strategis dalam
rangka pemenuhan kebutuhan listrik masih terus mengudara.
Bukan hal baru lagi, ketika mendengar ulasan Badan Tenaga Nuklir
Nasional mengusulkan dan merencanakan pembangunan Pembangkit Tenaga
Listrik Tenaga Nuklir di Indonesia. Berdasarkan kebutuhan listrik yang sampai saat
ini masih belum bisa dipenuhi secara optimal oleh ketersediaan PLTA, PLTU, dan
Geo-Thermal saat ini, tentu PLTN merupakan solusi yang menggiurkan sebagai
sumber listrik alternatif. Tidak dipungkiri bahwa banyak pihak yang masih
melontarkan keraguan terbesar untuk pembangunan PLTN adalah tentang
keamanan sistem serta biaya yang diperlukan. Namun sudah saatnya pula,
masyarakat menengok segala sisi positif yang dirasa dapat menjadi solusi hebat
untuk pemenuhan listrik negara.
PLTN yang diwacanakan dalam perencanaan BATAN adalah reaktor
generasi keempat yang sudah memiliki kemampuan keselataman mandiri, sangat
aman, ekonomis dan ramah lingkungan. Prof. Dr. Zaki Su'ud, pakar keselataman
nuklir dan biofisika dari Intitut Teknologi Bandung, mengungkapkan bahwa reaktor
generasi ke empat ini adalah reaktor menuju inherent safety dengan limbah
minimum daur ulang. Penggunaan uranium alam secara efisien, non-proliferasi,
ekonomis, serta reaktor nuklir generasi ke empat ini dirancang membakar sendiri
bahan limbahnya. Tentu bukan saatnya lagi, membandingkan perencanaan PLTN
dengan booming kecelakaan PLTN di Chernobyl, Three Miles Island, dan beberapa
kasus lain pada puluhan tahun silam, karena teknologi yang dipakai pun sudah
berbeda.
Jika meninjau efektivitas rasio bahan baku dan energi yang dihasilkan pun,
secara kasar, dapat dinyatakan, untuk skala yang sama, sebuah truk berisi uranium
dapat menghasilkan energi sebanyak 1.000 truk batubara. Tentu hal ini akan
menjadi dobrakan besar bagi pemenuhan listrik di Indonesia. Indonesia menyimpan
potensi produksi uranium sebanyak 60 ribu hingga 70 ribu ton yang tersebar di
Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat dan Papua. Apabila masih
terberatkan dengan pendanaan pada ekstraksi Uranium pun, untuk sementara ini
kita dapat berkebijakan membeli uranium, karena lebih murah. Teknik ini dapat
dilakukan selayaknya China yang membeli batu bara ke Indonesia, padahal mereka
mempunyia banyak batu bara.