PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada umumnya manusia akan menjadi lebih tua dulu, baru kemudian meninggal dunia,
sehingga sehingga menjadi tua seakan-akan merupakan penyakit yang akhirnya
menyebabkan kematian. Kenyataan bahwa kelompok lanjut usia lebih banyak menderita
penyakit uang mengakibatkan ketidakmampuan dankeadaan tersebut masih ditambah lagi
bahwa lanjut usia mengalami beberapa perubahan akibat dari proses menua, baik yang
bersifat perubahan fisik, mental, ataupun perubahan psikososial (Kuntjoro, 2002).
Perubahan-perubahan fisik diantaranya terjadinya penurunan sel, penurunan system
persyarafan, system pendengaran, system penglihatan, system kardiovaskuler, system
respirasi, system kulit, system musculoskeletal. Perubahan-perubahan mental pada lanjut
usia yaitu terjadinya perubahan kepribadian, memori dan perubahan intelegensi.
Sedangkan perubahan psikososial dapat berupa kehilangan pekerjaan, kesepian dan
kehilangan pasangan (Wahyudi, 1995).
Dari perubahan-perubahan yang terjadi pada lanjut usia tersebut, perubahan pada
system perkemihan yaitu inkontinensia urin merupakan salah satu masalah besar yang
banyak dialami lansia dan perlu mendapat perhatian khusus seiring dengan meningkatnya
populasi lanjut usia di Indonesia.
Menurut solomon dalam darmojo (2000), bahwa inkontinensia urin pada lanjut usia
menduduki urutan ke lima. Dari penelitian menyebutkan bahwa 15-30% orang lanjut usia
yang tinggal di masyarakat, dan 50% orang lanjut usia yang dirawat di tempat pelayanan
kesehatan menderita inkontinensia urin. Pada tahun 1999 dari semua pasien geriatri yang
dirawat di ruang rawat geriatric penyakit dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo di dapat
angka kejadian inkontinensia urin sebesar 10% dan pada tahun 2000 meningkat menjadi
12% (Pranarka, 2001).
Latihan kegel yang diperkenalkan pertama kali oleh Dr. Kegel pada tahun 1948 ini
memiliki efektifitas untuk menguatkan otot Pubococcygeus, otot-otot seksual, uterus dan
rectum (Loetan, 2003).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Inkontinensia Urin
.
Masalah inkontinensia urin ini angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada
wanita dibandingkan pria. Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan
daripada yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan
fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah menderita desensus dinding
depan vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai penderita dengan prolapsus
total uterus dan vagina dengan kontinensia urine yang baik.
Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian bawah.
Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami inkontinensia, tetapi
tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan bagian normal proses menua.
Klasifikasi Inkontinensia Urin
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Inkontinensia urin merupakan
salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan
prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 1530% usia lanjut di masyarakat dan 20-30%
pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan
bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun Inkontinensia urin
diklasifikasikan :
1. Inkontinensia Urin Akut Reversibel
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet sehingga
berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin umumnya juga
akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya
inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur tulang
pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya.
Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan
inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis) mungkin
akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut.
Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia urin, seperti
glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat menyebabkan edema dan
nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam
obat juga dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker,
agonist adrenergic alfa, analgesic narcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic.
Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat dilihat
akronim di bawah ini :
D --> Delirium
R --> Restriksi mobilitas, retensi urin
I --> Infeksi, inflamasi, Impaksi
P --> Poliuria, pharmasi
2. Inkontinensia Urin Persisten
Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi anatomi,
patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat
karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis.
Kategori klinis meliputi :
a. Inkontinensia urin stress (stres inkontinence)
Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal, seperti pada saat
batuk, bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul,
merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia di bawah 75 tahun. Lebih sering
terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada sfingter urethra
setelah pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat
tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak.
b. Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence)
Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan berkemih. Inkontinensia
urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor
overactivity). Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi
ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh
tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul
peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab tersering
inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi inkontinensia urgensi adalah
hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi
involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala
seperti inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk mengenali
kondisi tersebut karena dapat menyerupai ikontinensia urin tipe lain sehingga penanganannya
tidak tepat.
c. Inkontinensia urin luapan / overflow (overflow incontinence)
Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung kemih yang berlebihan.
Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor neurogenik pada
diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak
Waktu dan jumlah urin pada saat mengalami inkontinensia urin dan saat kering (kontinen)
Asupan cairan, jenis (kopi, cola, teh) dan jumlahnya.
Gejala lain seperti nokturia, disuria, frekwensi, hematuria dan nyeri.
Kejadian yang menyertai seperti batuk, operasi, diabetes, obat-obatan.
Perubahan fungsi usus besar atau kandung kemih.
Penggunaan Pad atau Modalitas lainnya.
pemeriksaan terhadap abdomen, genitalia, rectum, fungsi neurologis, dan pelvis (pada wanita)
sangat diperlukan.
Pemeriksaan abdomen harus mengenali adanya kandung kemih yang penuh, rasa nyeri, massa,
atau riwayat pembedahan.
Kondisi kulit dan abnormalitas anatomis harus diidentifikasi ketika memeriksa genitalia.
Pemeriksaan rectum terutama dilakukan untuk medapatkan adanya obstipasi atau skibala, dan
evaluasi tonus sfingter, sensasi perineal, dan refleks bulbokavernosus. Nodul prostat dapat
dikenali pada saat pemeriksaan rectum.
Pemeriksaan pelvis mengevaluasi adanya atrofi mukosa, vaginitis atrofi, massa, tonus otot,
prolaps pelvis, dan adanya sistokel atau rektokel.
Evaluasi neurologis sebagian diperoleh saat pemeriksaan rectum ketika pemeriksan sensasi
perineum, tonus anus, dan refles bulbokavernosus. Pemeriksaan neurologis juga perlu
mengevaluasi penyakit-penyakit yang dapat diobati seperti kompresi medula spinalis dan
penyakit parkinson.
Pemeriksaan fisik seyogyanya juga meliputi pengkajian tehadap status fungsional dan kognitif,
memperhatikan apakah pasien menyadari keinginan untuk berkemih dan mengunakan toilet.
Pemeriksaan Pada Inkontinensia Urin
1. Tes diagnostik pada inkontinensia urin
Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk mengidentifikasi
faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan
menentukan tipe inkontinensia.
Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara :
Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau
menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan
kandung kemih tidak adekuat.
Urinalisis
Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi adanya faktor yang berperan
terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan
proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas.
Tes lanjutan tersebut adalah :
Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa
sitologi.
Tes urodinamik --> untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah
Tes tekanan urethra --> mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dianmis.
Imaging --> tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.
2. Pemeriksaan penunjang
Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urin
pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat
dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada saat dilakukan
penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih
penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa
dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang
dapat diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi
kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.
3. Laboratorium
Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan fungsi ginjal
dan kondisi yang menyebabkan poliuria.
4. Catatan berkemih (voiding record)
Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakan untuk
mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin,
dan gejala berkaitan dengan inkontinensia urin. Pencatatan pola berkemih tersebut dilakukan
selama 1-3 hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau respon terapi dan juga dapat
dipakai sebagai intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan pasien faktor-faktor yang
memicu terjadinya inkontinensia urin pada dirinya.
Penatalaksanaan
Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan tetapi pada kasus
ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif. Latihan otot dasar panggul adalah
terapi non operatif yang paling populer, selain itu juga dipakai obat-obatan, stimulasi dan
pemakaian alat mekanis.
Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko,
mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi,
latihan otot pelvis dan pembedahan.
Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik
yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula
waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
2. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin, seperti
hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun
terapi yang dapat dilakukan adalah :
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik
relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat
menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih
pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap
sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia.
Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka
serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan
pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara
berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan
cara :
Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian pinggul
digoyangkan ke kanan dan ke kiri 10 kali, ke depan ke belakang 10 kali, dan berputar searah
dan berlawanan dengan jarum jam 10 kali.
Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan 10 kali.
Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan
baik.
3. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti
Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine.
Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk
meningkatkan retensi urethra.
Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis
seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.
4. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non
farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya
memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan
terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
5.Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia urin,
dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin,
diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan bedpan.
Pampers
Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan sudah tidak
berhasil mengatasi inkontinensia urin.
Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air
seni melebihi daya tampung pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi
lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.
Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat menyebabkan
infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain kateter menetap, terdapat
kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan
kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung
kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih.
Alat bantu toilet
Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjut yang tidak mampu
bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut akan menolong lansia terhindar dari
jatuh serta membantu memberikan kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.
B. Konstipasi
1.1 Definisi
Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar, biasanya kurang dari
3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras dan kadang-kadang disertai
kesulitan sampai rasa sakit saat buang air besar (NIDDK, 2000).
Konstipasi adalah suatu keluhan, bukan penyakit (Holson, 2002;Azer, 2001). Pada umumnya
konstipasi sulit didefinisikan secara tegas karena sebagai suatu keluhan terdapat variasi yang
berlainan antara individu (Azer,2001). Penggunaan istilah konstipasi secara keliru dan belum
adanya definisi yang universal menyebabkan lebih kaburnya hal ini (Hamdy, 1984).
Sedangkan batasan dari konstipasi klinik yang sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah
feses pada kolon, rektum atau keduanya yang tampak pada foto polos perut (Harari, 1999).
Para tenaga medis mendefinisikan konstipasi sebagai penurunan frekuensi buang air besar,
kesulitan dalam mengeluarkan feses, atau perasaan tidak tuntas ketika buang air besar. Studi
epidemiologik menunjukkan kenaikan pesat konstipasi berkaitan dengan usia terutama
berdasarkan keluhan penderita dan bukan karena konstipasi klinik. Banyak orang mengira
dirinya konstipasi bila tidak buang air besar setiap hari. Sering ada perbedaan pandangan
antara dokter dan penderita tentang arti konstipasi (cheskin dkk, 1990).
2.2 Epidemiologi
Sekitar 80% manusia pernah menderita konstipasi dalam hidupnya dan konstipasi yang
berlangsung singkat adalah normal (ASCRS, 2002). Menurut National Health Interview
Survey pada tahun 1991, sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh menderita konstipasi
terutama anak-anak, wanita dan orang usia 65 tahun ke atas. Hal ini menyebabkan kunjungan
ke dokter sebanyak 2.5 juta kali/tahun dan menghabiskan dana sekitar 725 juta dolar untuk
obat-obatan pencahar (NIDDK, 2000).
Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut. Terjadi peningkatan
dengan bertambahnya usia dan 30-40 % orang di atas 65 tahun mengeluhkan konstipasi
(Holson, 2002). Di Inggris ditemukan 30% penduduk di atas usia 65 tahun merupakan
konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar (Cheskin, dkk 1990). Di Australia sekitar
20% populasi di atas 65 tahun mengeluh mendrita konstipasi dan lebih banyak pada wanita
dibanding pria (Robert-Thomson, 1989). Suatu penelitian yang melibatkan 3000 orang usia
lanjut usia di atas 65 tahun menunjukkan sekitar 34% wanita dan 26% pria meneluh
menderita konstipasi (Harari, 1989).
2.3 Etiologi
Banyak lansia mengalami konstipasi sebagai akibat dari penumpukan sensasi saraf, tidak
sempurnanya pengosongan usus, atau kegagalan dalam menanggapi sinyal untuk defekasi.
Konstipasi merupakan masalah umum yang disebabkan oleh penurunan motilitas, kurang
aktivitas, penurunan kekuatan dan tonus otot.
Faktor-faktor risiko konstipasi pada usia lanjut:
Obat-obatan: golongan antikolinergik, golongan narkotik, golongan analgetik, golongan
diuretik, NSAID, kalsium antagonis, preparat kalsium, preparat besi, antasida aluminium,
penyalahgunaan pencahar.
Kondisi neurologik: stroke, penyakit parkinson, trauma medula spinalis, neuropati diabetic.
Gangguan metabolik: hiperkalsemia, hipokalemia, hipotiroidisme.
Kausa psikologik: psikosis, depresi, demensia, kurang privasi untuk BAB, mengabaikan
dorongan BAB, konstipasi imajiner.
Penyakit-penyakit saluran cerna: kanker kolon, divertikel, ileus, hernia, volvulus, iritable
bowel syndrome, rektokel, wasir, fistula/fisura ani, inersia kolon.
Lain-lain: defisiensi diet dalam asupan cairan dan serat, imobilitas/kurang olahraga, bepergian
jauh, paska tindakan bedah parut
2.4 Patofisiologi
Defekasi merupakan suatu proses fisiologi yang menyertakan kerja otot-otot polos dan serat
lintang, persarafan, sentral dan perifer, koordinasi sisitem reflek, kesadran yang baik dan
kemampuan fisik untuk mencari tempat BAB.
Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantarkan feses ke rektum
untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula rektum yang diikuti relaksasi
sfingter anus interna. Untuk menghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks
kontraksi refleks anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang dilayani oleh syaraf
pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfingter anus eksterna
diperintahkan untuk relaksasi, dan rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot
dinding perut. Kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot
elevator ani.baik persyarafan simpatis dan para simpatis terlibat dalam proses ini.
Patogenesis konstipasi bervariasi macam-macam, penyebabnya multipel, mencakup beberapa
faktor yang tumpah tindih, motilitas kolon tidak terpengaruh dengan bertambahnya usia.
Proses menua yang normal tidak mengakibatkan perlambatan perjalanan saluran cerna.
Pengurangan respon motorik sigmoid disebabkan karena berkurangnya inervasi instinsik
akibat degenerasi pleksus myenterikus, sedangkan pengurangan rangsang saraf pada otot
polos sirkuler menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus. Pada lansia mempunyai
kadar plasma beta- endorfin yang meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiat
endogen di usus. Ini dibuktikan dengan efek konstipasif sediaan opiat karena dapat
menyebabkan relaksasi tonus otot kolon, motilitas berkurang dan menghambat refleks gasterkolon. Terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot polos
berkaitan dengan usia khususnya pada wanita. Pada penderita konstipasi mempunyai kesulitan
lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras, menyebabkan upaya mengejan
lebih keras dan lebih lama. Hal ini berakibat penekanan pada saraf pudendus dengan
kelemahan lebih lanjut.
2.5 Manifestasi Klinis
Beberapa keluhan yang mungkin berhubungan dengan konstipasi adalah: (ASCRS, 2002)
-
2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Tatalaksana non farmakologik
a) Cairan
Keadaan status hidrasi yang buruk dapat menyebabkan konstipasi. Kecuali ada
kontraindikasi, orang lanjut usia perlu diingatkan untuk minum sekurang kurangnya 6-8
gelas sehari (1500 ml cairan perhari) untuk mencegah dehidrasi. Asupan cairan dapat
dicapai bila tersedia cairan/minuman yang dibutuhkan di dekat pasien, demikian pula
cairan yang berasal dari sup,sirup, dan es. Asupan cairan perlu lebih banyak bagi mereka
yang mengkonsumsi diuretik tetapi kondisi jantungnya stabil.
b) Serat
Pada orang usia lanjut yang lebih muda, serat berguna menurunkan waktu transit (transit
time). Pada orang lanjut usia disarankan agar mengkonsumsi serat skitar 6-10 gram per
hari. Ada juga yang menyarankan agar mengkonsumsi serat sebanyak 15-20 per hari.
Serat berasal dari biji-bijian, sereal, beras merah, buah, sayur, kacang-kacangan. Serat
akan memfasilitasi gerakan usus dengan meningkatkan masa tinja dan mengurangi waktu
transit usus. Serat juga menyediakan substrat untuk bakteri kolon, dengan produksi gas
dan asam lemak rantai pendek yang meningkatkan gumpalan tinja. Perlu diingat serat
tidaklah efektif tanpa cairan yang cukup, dan dikontraindikasikan pada pasien dengan
impaksi tinja (skibala) atau dilatasi kolon. Peningkatan jumlah serat dapat menyebabkan
gejala kembung, banyak gas, dan buang besar tidak teratur terutama pada 2-3 minggu
pertama, yang seringkali menimbulkan ketidakpatuhan obat.
c) Bowel training
Pada pasien yang mengalami penurunan sensasi akan mudah lupa untuk buang air besar.
Hal tersebut akan menyebabkan rektum lebih mengembang karena adanya penumpukan
feses. Membuat jadwal untuk buang air besar merupakan langkah awal yang lebih baik
untuk dilakukan pada pasien tersebut, dan baik juga diterapkan pada pasien usia lanjut
yang mengalami gangguan kognitif. Pada pasien yang sudah memiliki kebiasaan buang
air besar pada waktu yang teratur, dianjurkan meneruskan kebiasaan teresebut.
Sedangkan pada pasien yang tidak memiliki jadwal teratur untuk buang air besar, waktu
yang baik untuk buang air besar adalah setelah sarapan dan makan malam.
d) Latihan jasmani
Jalan kaki setiap pagi adalah bentuk latihan jasmani yang sederhana tetapi bermanfat bagi
orang usia lanjut yang masih mampu berjalan. Jalan kaki satu setengah jam setelah makan
cukup membantu. Bagi mereka yang tidak mampu bangun dari tampat tidur, dapat
didudukkan atau didudukkan atau diberdirikan disekitar tempat tidur. Positioning bagi
pasien usia lanjut yang tidak dapat bergerak, meninggalkan tempat tidurnya menuju ke
kursi beberapa kali dengan interval 15 menit, adalah salah satu cara untuk mencegah
ulkus dekubitus. Tentu saja pasien yang mengalami tirah baring dapat dibantu dengan
menyediakan toilet atau komod dengan tempat tidur, jangan diberi bed pan. Mengurut
perut dengan hati-hati mungkin dapat pula dilakukan untuk merangsang gerakan usus.
e) Evaluasi penggunaan obat
Evaluasi yang seksama tentang penggunaan obat-obatan perlu dilakukan untuk
mengeliminasi, mengurangi dosis, atau mengganti obat yang diperkirakan menimbulkan
konstipasi. Obat antidepresan, obat Parkinson merupakan obat yang potensial
menimbulkan konstipasi. Obat yang mengandung zat besi juga cenderung menimbulkan
konstipasi, demikian obat anti hipertensi (antagonis kalsium). Antikolinergik lain dan
juga narkotik merupakan obat-obatan yang sering pula menyebabkan konstipasi.
lumen dan merupakan zat pembersih usus yang efektif. Gliserin adalah pencahar
hiperomolar yang dugunakan hanya dalam bentuk supositoria.
e) Enema
Enema merangsang evakuasi sebagai respon terhadap distensi kolon; hasil yang kurang
baik biasanya karena pemberian yang tidak memadai. Enema harus digunakan secara
hati-hati pada usia lanjut. Pasien usia lanjut yang mengalami tirah baring mungkin
membutuhkan enema secara berkala untuk mencegah skibala. Namun, pemberian enema
tertentu terlalu sering dapat mengakibatkan efek samping. Enema yang berasal dari kran
(tap water) merupakan tipe paling aman untuk penggunaan rutin, karena tidak
menghasilkan iritasi mukosa kolon. Enema yang berasal dari air sabun (soap-suds)
sebaiknya tidak diberikan pada orang usia lanjut.
C. Gangguan Tidur pada Lansia
Gangguan tidur pada lansia dapat bersifat nonpatologik karena faktor usia dan ada pula
gangguan tidur spesifik yang sering ditemukan pada lansia. Ada beberapa gangguan tidur
yang sering ditemukan pada lansia.
1) Insomnia Primer
Ditandai dengan:
Keluhan sulit masuk tidur atau mempertahankan tidur atau tetap tidak segar meskipun sudah
tidur. Keadaan ini berlangsung paling sedikit satu bulan
Menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinik atau impairmentsosial, okupasional,
atau fungsi penting lainnya.-Gangguan tidur tidak terjadi secara eksklusif selama ada
gangguan mental lainnya.
Tidak disebabkan oleh pengaruh fisiologik langsung kondisi medik umum atau zat.
2) Insomnia kronik
Disebut juga insomnia psikofisiologik persisten. Insomnia ini dapatdisebabkan oleh
kecemasan; selain itu, dapat pula terjadi akibat kebiasaan atau pembelajaran atau perilaku
maladaptif di tempat tidur. Misalnya, pemecahan masalahserius di tempat tidur, kekhawatiran,
atau pikiran negatif terhadap tidur ( sudah berpikir tidak akan bisa tidur). Adanya kecemasan
yang berlebihan karena tidak bisatidur menyebabkan seseorang berusaha keras untuk tidur
tetapi ia semakin tidak bisa tidur.
3) Insomnia idiopatik
Insomnia idiopatik adalah insomnia yang sudah terjadi sejak kehidupan dini.Kadangkadang insomnia ini sudah terjadi sejak lahir dan dapat berlanjut selamahidup. Penyebabnya
tidak jelas, ada dugaan disebabkan oleh ketidakseimbanganneurokimia otak di formasio
retikularis batang otak atau disfungsi forebrain. Lansia yang tinggal sendiri atau adanya rasa
ketakutan yang dieksaserbasi pada malam haridapat menyebabkan tidak bisa tidur. Insomnia
kronik dapat menyebabkan penurunanmood (risiko depresi dan anxietas), menurunkan
motivasi, atensi, energi, dankonsentrasi, serta menimbulkan rasa malas. Kualitas hidup
berkurang danmenyebabkan lansia tersebut lebih sering menggunakan fasilitas kesehatan.
Seseorang dengan insomnia primer sering mempunyai riwayat gangguan tidur sebelumnya.
Sering penderita insomnia mengobati sendiri dengan obat sedatif-hipnotik atau alkohol.
Anksiolitik sering digunakan untuk mengatasi ketegangan dan kecemasan.
Penanganan Gangguan Tidur Pada Lansia
Pencegahan Primer
Sebelas peraturan untuk mendapatkan higiene tidur yang baik telah berhasil diidentifikasi
untuk pencegahan primer gangguan tidur.
Tidur seperlunya, tetapi tidak berlebihan, agar merasa segar dan sehat di hari berikutnya.
Pembatasan waktu tidur dapat memperkuat tidur, berlebihnya waktu yang dihabiskan di
tempat tidur tampaknya berkaitan dengan tidur yang terputus-putus dan dangkal.
Waktu bangun yang teratur di pagi hari memperkuat siklus sirkadian dan menyebabkan awitan
tidur yang teratur.
Jumlah latihan yang stabil setiap harinya dapat memperdalam tidur, namun, latihan yang
hanya dilakukan kadang-kadang tidak dapat memperbaiki tidur pada malam berikutnya.
Bunyi bising yang bersifat kadang-kadang (mis, bunyi pesawat melintas) dapat mengganggu
tidur sekalipun orang tersebut tidak terbangun oleh bunyinya dan tidak dapat mengingatnya di
pagi hari. Kamar tidur kedap suara dapat membantu bagi orang-orang yanh harus tidur di
dekat kebisingan.
Meskipun ruangan yang terlalu hangat dapat mengganggu tidur, namun tida ada bukti yang
menunjukkn bahwa kamar yang terlalu dingin dapat membantu tidur.
Rasa lapar menggau tidur, kudapan ringan dapat membantu tidur.
Pil tidur yang hanya kadang-kadang saja digunakan dapat bersifat menguntungkan, namun
penggunaannya yang kronis tidak efektif pada kebanyakan penderita insomnia.
Kafein di malam hari dapat menggu tidur, meskipun pada prang-orang yang tidak berfikir
demikian.
Alkohol membantu orang-orang yang tegang untuk tertidur lebih mudah, tetapi tidur tersebut
kemudian akan terputus-putus.
Orang-orang yang merasa marah dan frustasi karena tidak dapat tidur tidak boleh berusaha
terlalu keras untuk tertidur tetapi harus menyalakan lampu dan melakukan hal lain yang
berbeda.
Penggunaan tembakau secara kronis dapat mengganggu tidur.
Pencegahan sekunder
Seperti biasa, memvalidasi riwayat pengkajian dengan anggota keluarga atau pemberian
perawatan merupakan hal yang penting untuk memastikan ke akuratan dan pengkajian jika
pasien dianggap tidak kompeten untuk memberi laporan sendiri.
Catatan harian tentang tidur merupakan cara pengkajian yang sangat bagus bagi lansia di
rumahnya sendiri. Informasi ini memberikan catatan yang akurat tentang masalah tidur. Untuk
mendapatkan gambaran sejati tentang gangguan tidur yang dialami lansia di rumah atau di
fasilitas kesehatan, catatan harian tersebut harus dibuat selama 3 sampai 4 minggu. Catatan
tersebut harus mencakup faktor-faktor berikut ini:
-
Seberapa sering bantuan diperlukan untuk memberikan obat nyeri, tidak dapat tidur, atau
menggunakan kamar mandi.
Kapan orang tersebut turun dari tempat tidur.
Berapa kali orang tersebut terbangun atau memberi perawatan.
Terjadinya konfusi atau disorientasi.
Penggunaan obat tidur.
Perkiraan orang tersebut bangun di pagi hari.
Pencegahan Tersier
Jika terdapat gangguan tidur seperti apnea tidur yang mengancam kehidupan, kondisi pasien
memerlukan rehabilitasi melalui tindakan-tindakan seperti pengangkatan jaringan yang
menyumbat di mulut dan memengaruhi jalan napas. Saat ini sudah banyak pusat-pusat
gangguan tidur yang tersedia di seluruh negara untuk membantu mengevaluasi gangguan
tidur.
Tempat-tempat tersebut, yang biasanya berkaitan dengan lembaga penelitian dan kedokteran
klinis atau universitas, dilengkapi dengan peralatan medis yang canggih untuk mendeteksi
rekaman listrik di otak dan obstruksi pernapasan. Data-data tersebut membantu menentukan
pengobatan yang terbaik untuk mengatasi kesulitan dan merehabilitasi lansia sehingga ia
dapat menikmati tidur yang berkualitas baik sampai akhir hidupnya.
Penanganan Terapeutik Gangguan Tidur pada Lansia
-
Jika tidak dapat tidur, bangun dan pindah ke ruangan lain. Bangun sampai anda benar-benar
mengantuk, kemudian baru kembali ke tempat tidur. Jika tidur masih tidak biasa dilakukan
dengan mudah, bangun lagi dari tempat tidur. Tujuannya adalah menghubungkan antara
tempat tidur dengan tidur cepat. Ulangi langkah ini sesering yang diperlukan sepanjang
malam.
Siapkan alarm dan bangun di waktu yang sama setiap pagi tanpa mempedulikan berapa
banyak anda tidur di malam hari. Hal ini dapat membantu tubuh menetapkan irama tidur
bangun yang konstan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Inkontinensia urin
merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada pasien geriatri.
Kategori klinis meliputi ; Inkontinensia urin stress (stres inkontinence), Inkontinensia urin
urgensi (urgency inkontinence), Inkontinensia urin fungsional. Tujuan evaluasi inkontinensia
urin awal adalah untuk memastikan adanya inkontinensia urin dan mengenali penyebabpenyebab yang bersifat sementara, pasien yang perlu dievaluasi lebih lanjut, dan pasien yang
bisa memulai pengobatan tanpa memerlukan uji-uji yang canggih.
Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar, biasanya kurang
dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras dan kadang-kadang disertai
kesulitan sampai rasa sakit saat buang air besar. Etiologi konstipasi yaitu Banyak lansia
mengalami konstipasi sebagai akibat dari penumpukan sensasi saraf, tidak sempurnanya
pengosongan usus, atau kegagalan dalam menanggapi sinyal untuk defekasi. Konstipasi
merupakan masalah umum yang disebabkan oleh penurunan motilitas, kurang aktivitas,
penurunan kekuatan dan tonus otot.
Gangguan tidur pada lansia dapat bersifat nonpatologik karena faktor usia dan ada pula
gangguan tidur spesifik yang sering ditemukan pada lansia. Ada beberapa gangguan tidur
yang sering ditemukan pada lansi diantaranya adalah insomnia primer, insomnia kronik,
insomnia idiopatik.